Anda di halaman 1dari 2

PERBEDAAN PENDEKATAN DALAM PENELITIAN HADITS ANTARA

KESARJANAAN MUSLIM DAN NON MUSLIM

Para sarjana muslim memfokuskan pada bagaimana memverifikasi sebuah hadits


untuk membedakan yang otentik dari yang tidak otentik, Sedangkan sarjana non muslim lebih
menaruh perhatian pada bagaimana melakukan sebuah penanggalan (dating) terhadap hadits
untuk menilai asal usul atau sumbernya.

Para sarjana muslim dalam meneliti hadits itu adalah sebuah kebutuhan untuk menilai
suatu hadits itu layak atau tidak untuk dijadikan hujjah sebagai pengambilan sumber hukum
ke dua setelah Al-Qur'an , Mereka menganalisa Isnad untuk pengujian keotentikan hadits
karena pembawa/penyampai hadits harus bukan seorang mudallis , Apabila penyampai hadits
adalah seorang mudallis maka semua hadits yang disampaikan olehnya lemah bahkan bisa
tertolak dan tidak digunakan sebagai hujjah / pengambilan sumber hukum Islam kecuali
hadits yang disampaikannya dikuatkan oleh hadits yang perawinya tsiqah (terpercaya). Para
sarjana muslim juga ada yang menganalisa sanad dan matan sekaligus untuk menentukan
suatu keotentikan hadits, Benarkah si A menerima hadis dari B seperti yang ia klaim,
benarkah B menerima hadis dari C seperti yang ia kutip, Benarkah C menerima dari D seperti
yang ia katakan, dstnya. Analisa sanad dan matn menjadi sangat menentukan.

Secara umum tidak terdapat perbedaan perbedaan substantif; Kualitas hadis


ditentukan terutama berdasarkan kualitas sanad, meskipun tidak mengabaikan pertimbangan
matannya. Metode menganalisa matan menaksir kualitas hadis berdasarkan matannya,
bahkan kwalitas sanadpun dapat ditaksir melalui matannya. Analisa matan yang dimaksud
bukan apakah matan itu bertentangan dengan al-Quran atau riwayat yang dianggap lebih
kuat, melainkan sejauh mana riwayat teks seorang perawi melenceng, berbeda secara tekstual
dengan riwayat yang lain. Namun sebelum analisa tekstual dilakukan terlebih dahulu
dilakukan pemetaan siapa yang menerima riwayat darimana, mulai dari mukharrij sampai ke
perawi terahir (sahabat) atau pemilik berita (nabi).

Ada perbedaan antara sarjana muslim dan sarjana non muslim dalam penelitian hadits,
Para sarjana non muslim menitikberatkan penelitian hadits untuk tujuan penelitian sejarah
dan mencari kelemahan islam, maka mereka meneliti hadits dengan cara mengkaji suatu
historis hadits dan mencari kelemahan suatu hadits.
Interaksi antara sarjana Muslim dan sarjana Barat merupakan bentuk disrupsi dari
polemik berkepanjangan atas perang antara kubu Islam dan Kristen Barat. Kekalahan Barat
menyebabkan terjadinya arus besar mereka untuk melakukan kajian dengan tujuan
merobohkan Islam dari segi ajaran. Proyeksi mereka sangat terlihat ketika muncul beberapa
tokoh Barat yakni Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, meskipun ada Juyhnbool yang
mendahuluinya. Mereka mencari celah untuk membongkar ketidak absahan Hadis dari
keotentikannya yang dijadikan otoritas dalam Islam. Kajian-kajian mereka yang ditujukan
untuk membuktikan akan ketidak otentikan Hadis berlingkup pada 3 aspek, yakni aspek Nabi
Muhammad dalam berkepribadian, aspek sanad dan perawi, dan aspek matan Hadis yang
hampir tidak dipakai. Menurut mereka dalam memahami Hadis sebagai bentuk kajian akan
keabsahan Hadis seharusnya menggunakan metode kritik dan perlu dipertanyakan kembali
keabsahan-keabsahan yang ada dalam menetapkan keotentikan Hadis.

Adanya pergolakan dalam meruntuhkan Islam dari segi otoritatif dengan kajian yang
mempertanyakan Hadis menyebabkan beberapa sarjana Muslim hadir dalam membenarkan
sekaligus sebagai bantahan atas berbagai rekayasa dan pola berfikir orientalis dalam
mengkaji Hadis. Adapun di antara sarjana Muslim yang membantah ialah, Mustafa as-Syibai,
Mustafa Azami, dan Muhammad ‘Ajjaj al-Kahatib. Mereka menemukan kekeliruan dalam
misi orientalis untuk menyudutkan Islam. Diantaranya ketidaktepatan orientalis dalam
menggunakan metode dan teknik dalam memahami Hadis, sehingga kajiannya
memperliatkan adanya rekayasa.

Anda mungkin juga menyukai