Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH DAN PENDIDIKAN HUKUM ISLAM SEJARAH

Dosen pengampu : Heri Irawan,S.H.,M.H

Kelompok 4 disusun oleh

Annisa humairoh azizah 2121030096

Annisa safitri 2121030179

Zaka alkoni 2121030214

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

FAKULTAS SYARIAH

HUKUM EKONOMI SYARIAH

KELAS F 2021/2021
KATA PENGANTAR

Pertama tama marilah kita panjatkan rasa puja dan puji syukur kita atas kehadirat allah SWT,

Yang mana telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul “sejarah hukum islam pada masa sahabat senior” ini tepat waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memnuhi tugas dari bapak Heri
Irawan,S.H,.M.H pada mata kuliah sejarah dan hukum islam,makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi para penulis. Kami menucapkan
terimakasih kepada bapak heri irawan selaku dosen mata kuliah sejarah dan hukum islam yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan
bidang studi yang kami tekuni.kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, akhir
kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan kami pada
khususnya,kami menyadari bahwa dalam perbuatannya makalah ini masih jauh dari sempurna
untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan kearah
kesempurnaan.akhir kata kami sampaikan terimakasih.
DAFTAR ISI

COVER……………………………………………………………………………………….1
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………….2
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….3
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………….4
1.1 LATAR BELAKANG……………………………………………………………………4
1.2 RUMUSAN MASALAH…………………………………………………………………5
1.3 TUJUAN…………………………………………………………………………………..5
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………..……………………6
2.1 Penetapan Hukum pada Masa Khulafaurrsyidin……………………………………...6
2.2 Ijtihad pada Masa Khulafaurrsyidin……………………………………………………7
2.3 Pemegang Wewenang dalam Menentukan Hukum……………………………………11
BAB III KESIMPULAN……………………………………………………………………..13
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………14
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Perkembangan hukum islam dari masa ke masa dibagi dalam periodisasi oleh kaum intelektual
terdahulu. Periodisasi Fiqih terbagi menjadi enam, yaitu; periode Rasulullah SAW, periode
khulafaurrasyidin, periode tabi'in, periode keemasan dinasti Abbasiyah, periode keterpakuan
intelektual, dan periode kebangkitan kembali. Namun yang menjadi fokus utama pada artikel ini
yaitu tasyri' pada periode khulafaurrasyidin. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sejarah
perkembangan hukum Islam pada periode khulafaurrasyidin, untuk mengetahui apa saja sumber
penetapan Hukum Islam pada periode khulafaurrasyidin, untuk mengetahui ijtihad dari
khulafaurrasyidin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejarah perkembangan hukum Islam
pada periode khulafaurrasyidin dimulai sejak wafatnya Rasulullah SAW pada tanggal 12 Rabiul
Awal tahun 11 H atau 632 M, dan diakhiri pada akhir abad pertama Hijriyah (11-41 H atau 632-
661 M). Menurut para ahli sejarah islam, periode ini adalah periode penafsiran undang-undang
dan terbukanya pintu-pintu Istinbath Hukum atas kejadian-kejadian yang tidak ada nash
hukumnya. Sedangkan sumber penetapan hukum Islam pada masa yaitu al-Qur'an, Hadits, dan
Ijtihad Sahabat. Adapun mengenai ijtihad khulafaurrasyidin dilakukan dengan cara
mengqiyaskan dengan permasalahan yang terdapat di nash dengan persamaan illatnya. Hukum
islam yang sudah semakin kompleks saat ini tidak terlepas dari peran proses tasyri’ sejak zaman
nabi, sahabat, tabi’in, hingga ijtihad para ulama pada zaman ini. Proses perkembangan penetapan
hukum islam dibagi ke dalam beberapa periode. Menurut Hasyim Nawawi (2014) dalam buku
Tarikh Tasyri’, perkembangan tasyri’ dibagi menjadi enam periode, yaitu Periode Rasulullah,
Periode Sahabat/Khulafaur Rasyidin, Periode Tabi’in, Periode Keemasan, Periode Keterpakuan
Tekstual, dan Periode Kebangkitan Kembali. Periode kedua merupakan periode setelah wafatnya
Rasulullah SAW, yaitu pada masa sahabat. Pada periode ini ketetapan tasyri’ diemban oleh
pemimpin umat islam yang disebut khalifah. Khalifah empat yang terkenal dengan Khulafaur
Rasyidin, yaitu khalifah yang terdiri dari sahabat Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab,
Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

Periode kedua tarikh tasyri’ ini dimulai setelah wafatnya Rasulullah SAW, dimana umat islam
kehilangan pemimpin yang selalu dapat memberikan solusi setiap permasalahan. Pada masa
kenabian, proses tasyri’ sepenuhnya berada dalam wewenang Rasulullah, maka setelah
Rasulullah wafat beralih kepada khalifah pengganti Nabi. Karena kondisi ini, khalifah pengganti
Rasulullah diharapkan mampu mempertahankan amanah sebagai pemimpin umat, kepala
pemerintahan, serta sebagai pihak yang berwenang sebagai penata hukum islam seperti yang
dilakukan Rasul.
Semasa Rasulullah masih hidup, setiap permasalahan baru akan dijawab oleh Rasulullah dengan
petunjuk turunnya wahyu Al-Qur’an atau ketetapan berupa sunnah Nabi. Permasalahan yang
dihadapi pada periode sahabat tentunya berbeda dengan permasalahan semasa hidup Nabi. Hal
ini dikarenakan semakin luasnya daerah pemerintahan juga mempengaruhi meluasnya pola pikir
umat islam. Sehingga muncul berbagai permasalahan baru yang tidak ada ketentuan dalam nash.
Adanya problematika baru yang muncul pada masa ini menuntut para sahabat untuk melakukan
ijtihad. Ijtihad banyak dilakukan oleh para sahabat Nabi yang dirasa mampu dalam hal keilmuan
karena seringnya bergaul dengan Nabi, mereka yang sering menyaksikan turunnya Al-Qur’an
dan memahami tasyri’ secara menyeluruh. Para sahabat yang berijtihad harus mampu menyikapi
persoalan yang muncul merujuk pada al-Qur’an dan Sunnah.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Setelah menyusun latar belakang makalah, kami memiliki beberapa rumusan masalah yang
relevan untuk dibahas dalam makalah ini , yaitu

1. Bagaimana penetapan hukum pada masa sahabat senior / khulafaurrsyidin


2. Bagaimana ijtihad pada masa sahabat khulafaurrsyidin
3. Bagaimana pemegang wewenang dalam menentukan hukum pada masa khulafaurrsyidin

1.3 tujuan

Dari rumusan masalah diatas, kami memiliki beberapa tujuan yang kami muat yaitu :

 Mengetahui konsep menetapan hukum pada masa sahabat khulafaurrsyidin


 Dapat memahami ijtihad pada masa sahabat khulafaurrsyidin
 Mengetahui wewenang dalam menentukan hukum pada masa khulafaurrsyidin
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Penetapan Hukum pada Masa Khulafaurrsyidin

Periode Khulafa’ur Rasyidin ini dimulai sejak wafatnya Rasulullah SAW pada tanggal 12 Rabiul
Awal tahun 11 H atau 632 M, dan diakhiri pada akhir abad pertama Hijriyah (11-41 H atau 632-
661 M). Menurut para ahli sejarah islam, periode ini adalah periode penafsiran undang-undang
dan terbukanya pintu-pintu Istinbath Hukum atas kejadian-kejadian yang tidak ada nash
hukumnya. Setelah wafatnya Nabi, umat islam menghadapi banyak masalah, akibat dari
meluasnya pemerintahan islam yang hingga melampaui semenanjung Arabiyah, itu juga tentunya
mempengaruhi perkembangan pemikiran umat islam pada masa itu. Berbagai macam
permasalahan yang timbul dikarenakan vakumnya pemerintahan dan karena perluasan wilayah
islam semakin memaksa para sahabat untuk berijtihad dalam menyelesaikan permasalahan
tersebut. Secara umum permasalahan-permasalahan itu dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
aspek, yaitu :

a.Aspek Politik

Masalah yang paling urgen di kalangan umat islam pasca wafatnya Nabi SAW adalah masalah
politik, terutama masalah imamah atau kekhalifahan. Dalam masa kevakuman pemerintahan ini,
masyarakat islam membutuhkan sosok pemimpin baru, karena tanpa kehadiran seorang
pemimpin baru, wilayah kekuasaan islam yang telah membentang sampai wilayah sebagian besar
jazirah Arab, akan dengan mudah hancur atau terpecah-belah kembali, di samping kekhawatiran
adanya serangan dari bangsa-bangsa lain, seperti dari bangsa Romawi dan Persia, sehingga
stabilitas keamanan umat islam saat itu terancam. Namun yang menjadi persoalan adalah bahwa
Nabi Muhammad di akhir hayatnya tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan
meneruskan perjuangannya menjadi khalifah dan menyebarkan agama islam ke seluruh Dunia.
Hal ini kemudian menjadi tanda tanya sekaligus tugas terbesar bagi umat islam saat itu terutama
para Sahabat Nabi Saw.

b.Aspek Fiqih

Fiqih atau penggalihan hukum islam pada periode Khulafa’ur Rasyidin ini terasa sangat hidup
dan semarak. Beberapa ikhtilaf mulai muncul, meskipun lebih kecil dibanding periode
berikutnya, seiring dengan perkembangan fiqih itu sendiri. Selain periwayatan hadits yang sangat
ketat, pada periode ini ijtihad seringkali dilakukan secara jama’i sehingga ruang ijtihad yang
begitu luas itu jarang menimbulkan ikhtilaf. Pada periode ini fatwa-fatwa dan masa’il fiqih
belum ditulis seperti juga sunnah. Kendati demikian, kita mulai dapat mengklasifikasikan
kaidah-kaidah ushuliyah dan metode ijtihad yang digunakan oleh fuqaha’ sahabat dalam
melakukan ijtihad. Dalam banyak hal, fatwa-fatwa dan masa’il fiqhiyah itu memang masih
bercampur dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah Istidlal.

c.Aspek Aqidah

Aspek akidah pada masa setelah wafatnya Rasul menjadi hal yang sangat menggelisahkan umat
islam. berawal dari berita wafatnya Nabi Muhammad yang tersebar di kalangan para sahabat,
membuat mereka merasa kehilangan yang sangat besar karena secara historis Nabi
Muhammadlah yang mampu mengangkat mereka dari keterpurukan dan kesesatan serta
kekufuran menuju ketauhidan dan agama islam yang rohmatan lil alamin itu. Bagi mereka Nabi
adalah sesosok agung yang senantiasa memberikan cahaya petunjuk dan keadilan bagi seluruh
lapisan masyarakat islam zaman itu. Sehingga ketika mendengar Nabi yang begitu mereka cintai
itu, yang telah memimpin dan menjadi petunjuk bagi mereka selama 38 tahun (25-63 tahun), hati
dan iman mereka mulai gelisah. Hal ini juga yang dialami sahabat Umar ketika mendengar Nabi
wafat, dia langsung berkata : ’’barang siapa yang berkata bahwa nabi Muhammad telah wafat
maka akan kutebas lehernya”. Namun akhirnya hati Umar pun luluh manakala mendengar pidato
abu Bakar : “Barang siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Hidup, tetapi
barangsiapa yang menyembah Muhammad sesungguhnya Muhammad telah wafat”. Tidak hanya
sampai di sini, persoalan akidah menjadi sangat berat manakala ada beberapa oknum islam yang
memanfaatkan kegelisahan iman dan akidah umat islam saat itu dengan memanfaatkannya untuk
menyampaikan dan mengumandangkan pendapat-pendapatnya, di antara mereka ada beberapa
pimpinan rakyat yang kemudian mengaku dirinya telah diangkat menjadi Nabi penerus
Muhammad, seperti Musailamah al Kadzab. Selain itu ada juga beberapa orang yang
menyerukan bahwa kewajiban menunaikan zakat itu telah berhenti setelah wafatnya nabi, karena
menurut mereka zakat itu diberikan utuk kepentingan nabi. Hal-hal ini lah yang kemudian
mamaksa Abu Bakar untuk memerangi mereka dengan tujuan untuk melenyapkan penyakit-
penyakit kekufuran dan pemberontakan dari tubuh islam atau yang biasa kita sebut orang
munafik, karena dikhawatirkan hal ini akan merambat dan mempengaruhi umat islam yang lain.

2.2 Ijtihad pada Masa Khulafaurrsyidin

a. Kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq

i. Penghimpunan Al-Quran

Setelah Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, banyak sekali terjadi pemberontakan serta
penyelewengan akidah di beberapa daerah kekuasaan islam, termasuk diantaranya adalah
seorang Musailamah al- Kadzab yang mengaku menjadi Nabi setelah Nabi Muhammad,
kemudian Abu Bakar pun memerintahkan untuk memerangi kelompok penyeleweng tersebut
hingga akhirnya setelah pertempuran yang sengit, kemenangan diraih pasukan Abu Bakar
dengan meninggalkan banyak syuhada’, termasuk di antaranya jumlah besar para penghafal al-
Quran (Ahmad, 2008). Karena kekhawatiran akan hilangnya al-Quran bersamaan dengan
semakin berkurangnya para penghafal al-Quran, maka Umar bin Khattab pun mengusulkan
pengumpulan al-Quran dalam satu kumpulan (mushaf) kepada Abu Bakar, tentu saja Abu Bakar
menolak usulan umar tersebut, karena sebagai sahabat yang selalu dekat dengan Nabi, yang
selalu mematuhi dan membenarkan segala perkataan dan perbuatan Nabi SAW, pantang bagi
Abu Bakar untuk melakukan hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW, apalagi hal-
hal yang berkenaan dengan al- Quran selaku sumber hukum Primer Islam. Atas kegigihan Umar
dalam memberikan argument, bahwa hal itu untuk menghindari punahnya ayat-ayat al-Quran
yang disebabkan oleh berkurangnya para penghafal al-Quran, dan hal itu akan menjadikan
kemaslahatan umat islam, maka Abu Bakar pun menyetujui usulan Umar tersebut. Dia pun
memerintahkan kepada sang penulis wahyu terbanyak, Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan al-
Quran dalam satu kumpulan atau dalam satu mushaf. Kemudian disimpan di rumah Sahabat Abu
Bakar, kemudian sahabat Umar, kemudian sayyidah Hafshah. (Ibnu al-Jaziry, 833H).

ii.Harta Warisan Nabi Muhammad SAW adalah Shadaqah

Termaktub dalam Al-Quran bahwa Ahli waris dapat menerima harta pusaka apabila yang
mewariskan (muwarits) meninggal dunia. (QS. 4:11). Ketika Nabi Muhammad SAW wafat, yang
menjadi ahli waris adalah Sayyidah Fatimah. Kemudian Sahabat Abu Bakar meriwayatkan salah
satu hadits Nabi SAW yang artinya:“Kami adalah sekalian para Nabi yang tidak mewariskan
harta, harta yang kami tinggal adalah shodaqoh.”

Berdasarkan riwayat tersebut, sahabat Abu bakar berijtihad bahwa surat an-Nisa’ ayat 11 di
takhsish (dikhushuskan) oleh hadits tersebut. Karena itu sayyidah Fatimah tidak dapat
menerima harta pusaka sebab yang ditinggalkan Nabi SAW adalah shodaqoh (al-Hujwi,
1397H).

iii.Bagian waris untuk nenek adalah seperenam

Ada seorang nenek yang datang kepada Khalifah Abu Bakar dan bertanya tentang kadar bagian
yang dapat diterimanya dalam salah satu pembagian harta pusaka. Khalifah Abu Bakar tidak
menemukan ketentuannya dalam Al-Quran. Ia kemudian bertanya kepada sahabat yang lain. Di
antara sahabat yang memberikan tanggapan adalah Sahabat al-Mughirah ibn Syu’ban RA. Ia
berkata, “Saya pernah menghadiri majlis Nabi SAW. yang memberikan hak nenek sebanyak
seperenam”. Lalu, sahabat Abu Bakar berkata: “Adakah orang lain selain kamu yang
mengetahuinya?” Setelah itu, sahabat Muhammad bin Mashlamah RA. berdiri kemudian berkata
seperti yang dikatakan Sahabat al-Mughirah ibn Syu’ban RA
b.Kekhalifahan Umar bin Khattab

i.Diberlakukan sholat Tarawih Jamaah

Pada zaman Nabi Muhammad SAW sampai pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab umat
islam melakukan sholat tarawih di masjid secara munfarid (individu). Kemudian khalifah Umar
mengumpulkan mereka dan umat islam yang ada di masjid diperintahkan untuk sholat Tarawih
berjamaah dengan dipimpin oleh satu imam. Khalifah Umar berpendapat bahwa berjamaah salat
Tarawih adalah mandub (segala sesuatu yang terpuji secara syar’i jika dikerjakan dan tidak
dicela secara syar’i ketika ditinggalkan. Atau sesuatu yang diperintahkan oleh syara’ secara tidak
tegas).

ii.Gharawain bagian 1/3 sisa

Pembagian harta pusaka yang dikenal dengan Gharawain yaitu pembagian harta pusaka yang ahli
warisnya adalah suami, ibu dan ayah; atau ahli warisnya terdiri dari istri, ibu dan ayah. Menurut
sahabat Ibnu Abbas, ibu dalam kasus pembagian harta pusaka tersebut mendapatkan bagian 1/3
(sepertiga) dari harta peninggalan. Oleh karena itu, dalam pandangan sahabat Ibnu Abbas
pembagian harta warisan tersebut adalah sebagai berikut:

Table 1 Bagian Waris Ibu Menurut Ibnu Abbas

No Ahli Waris Bagian Waris Siham

1 Suami 1/2 (1/2 x 6) = 3

2 Ibu 1/3 (1/3 x 6) = 2

3 Ayah Ashobah (6 – (3+2)) = 1

Asal Masalah (AM) = 6 6

Sumber: Risalah fi Fiqih al-Mawarits

Dalam pembagian tersebut terlihat bahwa bagian ibu dua kali lebih besar dibandingkan dengan
bagian ayah. Dalam mempertahankan pendapat-nya Ibnu Abbas beralasan dengan surat an-Nisa’
ayat 11 yang menyatakan bagian ibu yang bersamaan dengan ayah adalah sepertiga apabila yang
meninggal tidak mempunyai anak.

Sedangkan sahabat: Umar, Utsman, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa dalam
pembagian harta pusaka dengan masalah tersebut ibu mendapatkan bagian sepertiga dari sisa
(tsuluts al-baqy). Untuk mempertahankan pendapatnya sahabat Umar bin Khattab dan sahabat
lainnya beralasan dengan surat an-Nisa’ ayat 11,
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian
seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan."

Yang mereka pahami dari ayat tersebut adalah laki-laki, dengan berbagai posisi dalam struktur
keluarga, mendapat dua kali lipat dibandingkan dengan yang diterima oleh perempuan. Mereka
mengajukan konsep sepertiga dari sisa karena ternyata bagian ayah tidak dua kali lipat dari
bagian ibu. Dengan demikian, pembagian harta pusaka menurut sahabat Umar bin Khattab dan
sahabat yang sependapat dengannya adalah sebagai berikut

TabeL 2. Bagian Waris Ibu Menurut Umar bin Khattab

No Ahli Waris Bagian Waris Siham

1 Suami 1/2 (1/2 x 6) = 3

2 Ibu 1/3 sisa (1/3 x 3) = 1

3 Ayah Ashobah (6 – (3+1)) = 2

Asal Masalah (AM) = 6 6

Sumber: Risalah fi Fiqh al-Mawarist

iii.Penetapan Hukum Talak Tiga

Imam Muslim dan Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata, “Pada zaman Rasulullah
SAW dan dua tahun pertama Umar bin Khattab menjadi khalifah, talak tiga yang diucapkan
sekaligus dihukumi talak satu. Pada zaman khalifah Umar, orang-orang sering dengan mudah
mengucapkan talak tiga dengan sekali ucapan. Oleh karena itu, Khalifah umar berfatwa bahwa
talak tiga yang diucapakan dengan sekali ucapan dihukumi talak tiga. c. Kekhalifahan Utsman
bin Affan

i.Mushaf Utsmani

Pembukuan atau penulisan al-Quran dengan satu macam versi qiroah dan membuang mushaf
versi lain merupakan salah satu bentuk ijtihad Usman dalam menghadapi keanekaragam-an
bacaan al-Quran yang mengarah kepada keragaman pemahaman terhadap islam, selanjutnya,
pertentangan di kalangan umat islam. Dan ijtihad itu pun disetujui oleh para sahabatnya. Seperti
diketahui bahwa al-Quran diturunkan atas 7 macam huruf (qiroah), artinya dengan dialek dan
redaksi yang bermacam-macam, sehingga terbuka peluang berbedanya hafalan seorang sahabat
dengan sahabat yang lain.

ii.Bagian Waris untuk Istri

Di antara pendapat Khalifah Utsman bin Affan adalah bahwa istri yang dicerai suaminya yang
sedang sakit dan kemudian suaminya meninggal dunia karena sakitnya itu, mendapatkan harta
pusaka apabila (mantan) suaminya meninggal sedangkan (mantan) istrinya masih dalam masa
‘iddah. Apabila (mantan) suaminya meninggal setelah masa ‘iddah istri selesai, maka istri itu
tidak mendapat harta warisan.

d.Kekhalifahan Ali bin Abi Tholib

i.Tentang Wanita yang Ditinggal Mati Suaminya

Para fuqoha sahabat berbeda pendapat tentang bagaimana hukum seorang wanita yang ditinggal
mati suaminya sebelum melakukan hubungan suami-istri, padahal belum juga ditentukan kadar
mas kawin atau maharnya. Menurut ibnu Mas’ud, wanita itu berhak mengambil maskawin
seperti biasa dari harta peninggalan suaminya seperti terjadi pada Barwa’ binti Wasyik al-
Aslamiyah di zaman Rasulullah. Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa, ketentuan seperti itu
merugikan satu pihak. Karenanya, menurut Ali, wanita itu tidak berhak mengambil maskawin
dari harta peninggalan suaminya sebelum terjadi hubungan suami-istri. “Kami tidak akan
meninggalkan al-Quran hanya karena pernyataan seorang saja”, kata Ali. Dari sini nampak
bahwa Ali telah sampai pada penggunaan qiyas, sebab dalam al-Quran tidak ada ketentuan
tentang masalah ini, yang ada hanyalah wanita yang ditalak oleh suaminya sebelum melakukan
hubungan suami-istri. Dan rupanya Ali mengqiyaskan wanita yang ditinggal mati oleh suaminya
sebelum melakukan hubungan tadi dengan wanita yang ditalak dalam keadaan yang sama.

ii.Sumpah atau Akad Talak yang Dibarengi dengan Syarat adalah Tidak Sah.

Ketika seseorang menikah dengan seorang perempuan. Saat ia bermaksud melakukan perjalanan
tanpa membawa istrinya, keluarga istrinya mengancam bahwa istrinya telah jatuh talak jika tidak
dapat mengirimkan nafkah paling lambat dalam satu bulan. Setelah waktu yang ditentukan telah
berakhir, istri belum memperoleh kiriman. Hal itu kemudian diadukan kepada khalifah ‘Ali bin
Abi Tholib. Beliau berkata, “Bertindaklah bijak sampai suamimu menyatakan talak.” Khalifah
‘Ali menolaknya artinya beliau berpendapat bahwa sumpah atau akad talak yang dibarengi
dengan syarat adalah tidak sah.

2.3 Pemegang Wewenang dalam Menentukan Hukum

Kebijakan Khulafaur Rasyidin Tiap khalifah punya kebijakan yang berbeda. Di zaman Abu
Bakar As Siddiq (632-634 M), terjadi Perang Riddah atau perang melawan kemurtadan. Perang
itu untuk mengatasi perpecahan yang terjadi setelah Nabi wafat.

Di akhir kepemimpinannya, Abu Bakar memperluas daerah kekuasaan dengan mengirim tentara
ke luar. Abu Bakar digantikan Umar bin Khattab (634-644 M).
Pada masa kekhalifahan Umar, Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pasukannya
berhasil mengalahkan dua kekuatan besar saat itu yakni Romawi di barat dan Persia di Timur. Di
bawah Umar, ekspansi Islam dimulai. Ibu kota Suriah, Damaskus, dikuasai pada 635. Setahun
setelah kemenangan di Yarmuk, seluruh daerah Suriah jatuh ke kekuasaan Islam. Suriah
dijadikan basis. Ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah kepemimpinan Amr in Ash. Ke Irak di
bawah kepemimpinan Sa'ad bin Abi Waqqash.

Ibu kota Mesir Alexandria ditaklukkan pada 641 M. Begitu pula ibu kota Persia, Al Madain yang
dikuasai pada tahun 637. Kekuasaan Islam meliputi jazirah Arab, Palestina, Suriah, sebagian
Persia, dan Mesir. Umar mengesahkan ketentaraan, kepolisian, pekerja umum, hingga sistem
kehakiman.Umar juga mengadakan hisbah (pengawasan) terhadap pasar, membangun pusat
pengawasan terhadap takaran atau timbangan, dan mencetak uang negara serta mendirikan bait
al-Mal.Departemen yang dibangun antara lain Departemen Pajak dan Tanah (Diwan al Kharj)
dan Departemen Keangan (Diwan al Mal). Kepada kelompok nonmuslim, Umar memberikan
kemerdekaan beragama.

Kemajuan semakin pesat di masa Usman bin Affan (644-655 M). Di masa kepemimpinannya,
Islam diperluas hingga ke Tripoli, Armenia, Turkistan, dan Cyprus. Ia membagi kekuasaan Islam
menjadi 10 provinsi dengan masing-masing amir atau gubernur. Di bawah Usman, umat Islam
mengalami era paling makmur dan sejahtera. Konon, rakyatnya mampu naik haji berkali-kali.
Bahkan budak dijual berdasarkan berat timbangannya.Ia membangun polisi keamanan dan
pengadilan. Sebelumnya, pengadilan digelar di masjid. Namun di periode kedua, terjadi
perpecahan dan pemberontakan. Usman diprotes karena jabatan-jabatan strategis di
pemerintahan diberikan kepada keluarganya dari Bani Umayyah. Ini menyebabkan Usman lemah
di pemerintahan. Ia tak dapat berbuat banyak terhadap keluarganya Pada tahun 35 H atau 655 M,
sekitar 1.500 orang datang ke Madinah untuk memprotes kebijakan Usman ini.

Penerus Usman, Ali bin Abi Talib (655-660 M) berusaha mengatasi pemberontakan yang terjadi
dengan menarik para amir yang sebelumnya diangkat oleh Usman bin Affan.

Ia juga mengambil alih tanah yang dihadiahkan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan
hasil pendapatan kepada negara.Ali mengembalikan sistem distribusi pajak tahunan di antara
orang Islam yang pernah diterapkan Umar. Pemberontakan yang dihadapi Ali bin Abi Talib di
antaranya datang dari Talhah, Zubair, dan Aisyah. Mereka mengecam Ali yang tak mau
menghukum pembunuh Usman. Mereka minta agar ada pembalasan. Ali tak mampu
menghindari perang. Meletuslah perang yang disebut Perang Jamal (unta) karena Aisyah
menunggang unta.Di akhir masa pemerintahan Ali bin Abi Talib, umat terpecah menjadi tiga
golongan. Setelah Ali terbunuh oleh salah satu golongan, Khulafaur Rasyidin berakhir
BAB III

KESIMPULAN

Sejarah hukum islam pada masa Khulafaur Rasyidin secara periodik terbagi menjadi 4, yaitu
periode Abu Bakar, Periode Umar bin Khattab, periode Utsman bin Affan dan periode Ali bin
Abu Thalib dengan bersumber pada al-Quran, sunnah/hadits Nabi Muhammad SAW, ijma’
shahabi atau ijtihad kolektif dan qiyas

Apabila hukum suatu permasalahan tidak terdapat dalam al-Qur’an, maka para khulafaur
rasyidin mencari hukumnya di dalam hadits. Namun masih sering terjadi perdebatan dikarenakan
hadits pada saat itu belum dibukukan sehingga para sahabat seringkali berdiskusi untuk saling
bertukar wawasan tentang hadits yang mereka hafal. Dan bila mereka tidak dapat menemukan
hukumnya di dalam al-Quran dan Hadits maka mereka berijtiad dengan menggunakan Ra’yu
mereka sendir-sendiri, maka kemudian terciptalah metode Qiyas.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Al-Usairy. (2008.) SEJARAH ISLAM (Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX).
Cet. Keenam. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. Hal. 188.

Al-Fasi, Muhammad Ibn al-Hasan al-Hujwi al-Tsa’labi. (1997). Al-Fikr al-Sami fi Tarikh al-
Fiqh al-Islami. Madinah al-Munawarah

Ibnu al-Jaziry, al-Nasyr fi al-Qira’at al-Asyr ed All Muhammad al-Dhabba’, Dar al-fikr tt:7

Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi Ulum al-Quran, Maktabat al-Ghazali, t.t h.6

Nawawie, Hasyim. 2014. Tarikh Tasyri’.Surabaya, Jenggala Pustaka Utama.

Ruslan, Muhammad Jumali. Risalah fi Fiqih al-Mawarits. Tebuireng: Mathba’ah Tifaza, hal 13

Anda mungkin juga menyukai