PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya kehidupan di dunia ini semua orang pasti membutuhkan
pada sesamanya, karena tidak mungkin oeang hidup di dunia ini tanpa ada
bantuan dari orang lain. Maka dari itu system tolong menolong harus selalu
kita jaga agar hidup lebih nyaman.
Pada dasarnya hokum adat utu lahir dan tumbuh di masyarakat. Sehingga
keberadaannya bersenyawa dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat.
Hokum adat bersusun dan terbangun atas nilai, kaidah, dan norma yang
disepakati dan diyakini kebenarannya oleh komunitas masyarakat adat. Salah
satunya perjanjian bagi hasil ternak.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu perjanjian ternak ?
2. Apa saja syarat sahnya perjanjian ternak ?
3. Apa saja bentuk perjanjian bagi hasil hewan ternak ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perjanjian ternak
Teer Haar menyatak “Pemilik ternak menyerahkan ternaknya kepada
pihak lain untuk dipelihara dan membagi hasil ternak atau peningkatan nilai
dari hewan itu”. Perjanjian bagi hasil ternak adalah perjanjian hak milik
numpang atas ternak, hal itu dapat terjadi dikarenakan adanya perjanjian antara
“Penggaduh” atau pemilik kandang dengan pemilik ternaknya atas dasar
perjanjian “Bagi hasil piara” atau “Bagi hasil karya”. Terjadinya bagi hasil
piara adalahdikarenakan pemilik ternak menyerahkan atau menitipkan
ternaknya, misalnya : seekor untuk diurus dan dipelihara oleh seorang
pengembala. Pabila kelak sapi itu menghasilkan anak maka anak sapi itu jika
seekor saja maka dimiliki keduanya, namun jika dua ekor, maka masing-
masing mendapat seekor, sedangkan induknya tetap menjadi pemilik dari
pemilik ternak itu. Sedangkan jika disamakan cara penentuannya dengan
kerbau maka biasanya anak pertama dimiliki anak pemelihara dan untuk anak
kedua dimiliki biangnya, atau mungkinbisa terjadi sebaliknya.
Suatu perjanjian bagi hasil ternak adalah persetujuan yang diadakan antara
pihak pemilik termak atau pemilik perusaha perikanan (tambak, kolam, tebat)
di perairan darat dengan pihak penggarap, pemelihara, pengembala, atau
penangkap ikan, dengan system bagi hasil. Seseorang yang memiliki ternak ,
namun tidak mampu memlihara sendiri dapat bekerjasama dengan seseorang
yang bersedia menyerahkan tenaganya untuk memelihara ternak tersebut
dengan ketentuan setelah sekian lama dipelihara maka keuntungan dibagi dua,
sebagian untuk pemilik dan sebagian untuk pemeliharanya.
Salah satu bentuk perjanjian lisan adalah perjanjian adat. Perjanjian dalam
pengertian hukum adat ialah “Hukum adat yang menunjukkan tentang
perhitungan dan berbagai perjanjian serta berbagai transaksi. Baik transaksi
yang mengenai hak-hak tanah atau mengenai jasa-jasa. Disamping itu juga
yang dimaksud hukum perjanjian adalah “Hukum adat yang meliputi uraian
tentang hukum perhitungan, termasuk soal-soal transaksi yang menyangkut
tanah. Sepanjang halite ada hubungan dengan masalah perjanjian yang dibuat
menurut hukum adat”.
BAB III
ANALISA
Hukum adat mengutamakan adanya musyawarah dan mufakat, didalam
keluarga, didalam hubungan kekerabatan dan ketetanggaan. Baik untuk memulai
suatu pekerjaan, apalagi yang bersifat (Peradilan) dalam mennyelesaikan
perselisihan antara yang satu dengan yang lain, didalam penyelesaian perselisihan
selalu diutamakan jalan penyelesaian secara rukun dan damai dengan musyawarah
dan mufakat dengansaling memaafkan, tidaklah tergopoh-gopoh begitu saja
langsung menyampaikan ke pengadilan Negara. Jalam penyelesaian damai itu
memerlukan adanya I’tikad baik dari p ara pihak dan adanya semangat yangadil
dan bijaksana dari oeang yang dipercaya sebagai “Penengah” atau semangat dari
permusyawaratan adat. Sebab dalam perjanjian yang telah dibuat bukan dilihat
dari isi dalam perjanjian tetapi dilihat dari maksud atau tujuan perjanjian itu
dibuat.
Sedangkan pemilik ternak dan sipenggaduh sama-sama memiliki hak atas
hewan tersebut. Kewajiban dan hak yang dapat dijabarkan adalah :
1) Hak dan Kewajiban Pemilik :
a) Pemilik berkewajiban untuk menyerahkan sapi kepada penggaduh
b) Pemilik berkewajiban untuk menjalani isi perjanjian yang dibuatnhya
sekalipun perjanjian didalam mengatur tentang pembagian resiko
diantara keduanya.
c) Pemilik berkewajiban membayar biaya pemelihara kepada penggaduh
ketika pemilik mengambil kembali hewan ternaknya sebelum beranak
atau sesuai kesepakatan perjanjian yang telah mereka buat kecuali jika
penggaduh selama itu pula sudah memanfaatkan tenaga sapi tersebut
untuk dikaryakan.
d) Pemilik berhak untuk menerima keuntungan sesuai dengan apa yang
disepakati.
e) Pemilik berhak untuk mengambil kembali sapi yang dititipkan ketika
telah habis masa perjanjiannya.
2) Hak dan Kewajiban Penggaduh :
a) Penggaduh berkewajiban merawat dengan baik sapi yang telah
dititipkan kepadanya.
b) Penggaduh berkewajiban untuk mengkaryakan sapi yang dititipkannya
sesuai dengan perjanjian yang di sepakati.
c) Penggaduh berkewajiban menanggung resiko yang telah disepakati,
sekalipun sapi mati sebab kelalaiannya.
d) Penggaduh berhak untuk menerima hasil keuntungan dari pembagian
presentase yang telah disepakati.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perjanjian ternak adalah perjanjian yang terjadi antara dua belah pihak
mengenai hewan peliharaan dan bagi hasil. Sedangkan perjanjian bagi hasil
merupakan bagi hasil ternak (delwining) merupakan suatu proses dimana
pemilik ternak yang menyerahkan ternaknya kepada pihak lain untuk
dipelihara dan membagi dua hasil ternak atau peningkatan nilai dari hewan itu.
Hubungan hukum antara pemilik ternak berlaku atas dasar kekeluargaan
dan tolong menolong sebagai asas umum dalam hukum adat, apabila seseorang
merawat atau memelihara ternak orang lain dengan persetujuan atau tanpa
persetujuan, berkewajiban membagi hasil dari perawatan ternak yang
dipelihara sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Hadikususma, Hilman. Hukum Perekonomian Adat Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti (Bandung : 2001)
Sudiyat, Imam. Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty (Yogyakarta : 1981)
Soekanto, Soerjono. Intisari Hukun Perikatan Adat, Ghalamania Indonesia
(Jakarta : 1986)