Anda di halaman 1dari 33

2.1.

DIABETES MELLITUS
2.1.1 Definisi Diabetes Mellitus
Menurut DiPiro edisi 8, Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme
yang ditandai dengan hiperglikemia dan ketidaknormalan pada metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein dan menyebabkan komplikasi penyakit-penyakit
kronik termasuk gangguan mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropatik.
Menurut WHO, diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit
atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan
tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid
dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat
disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta
Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel
tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan
oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal jika terdapat rangsangan pada
sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan ke dalam darah sesuai dengan
kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah. Memiliki struktur dipeptida
yang terdiri dari rantai A dan B yang kedua rantainya dihubungkan dengan jembatan
sulfida yang menghubungkan struktur helix terminal N-C dari rantai A dengan
struktur central helix dari rantai B.
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormone insulin)
pada retikulum endoplasma. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin
mengalami pemecahan sehingga terbentuk pro-insulin, yang kemudian dihimpun
dalam gelembung-gelembung (secretory vesicles) dalam sel tersebut. Dengan adanya
bantuan enzm peptidase, proinsulin diurai menjadi insulin dan peptide-C (C-peptide)
yang keduanya sudah siap untuk disekresikan secara bersamaan melalui membrane
sel.
Glukosa merupakan stimulan yang paling kuat untuk sekresi insulin. Ketika
kadar glukosa darah meningkat, semakin banyak glukosa yang masuk ke dalam sel β
Langerhans pankreas. Glukosa masuk ke dalam sel β melalui transporter glukosa

1
GLUT 2 (lokasi di jaringan hati, sel β langerhans pankreas, usus halus, ginjal).
Glukosa yang masuk kemudian difosforilasi oleh glukokinase dan menghasilkan
ATP. Semakin banyak glukosa yang masuk ke dalam sel maka jumlah ATP
intraselular meningkat. Peningkatan jumlah ATP intraselular ini menyebabkan
penutupan kanal KATP. Akibat penutupan kanal KATP terjadi depolarisasi sel 
yang memprakarsai masuknya ion Ca2+ melalui kanal Ca2+ yang sensitif terhadap
voltase dan merangsang pelepasan insulin.
Tabel 1. Kriteria diabetes mellitus berdasarkan kadar glukosa plasma
Glukosa Plasma Glukosa Plasma 2 Jam
Puasa Setelah Makan
Normal < 100 mg/dL < 140 mg/dL
(<5,6 mmol/L) (<7,8 mmol/L)
Pra Diabetes 100-125 mg/dL 140-199 mg/dL
(5,6-6,9 mmol/L) (7,8-11,1 mmol/L)
Diabetes Mellitus ≥ 126 mg/dL ≥ 200 mg/dL
(≥ 7,0 mmol/L) (≥ 11,1 mmol/L)

2.1.2 Etiologi Diabetes Mellitus


Menurut Guyton dan Hall dalam bukunya, Textbook of Medical Physiology 8th
edition, berikut ini beberapa penyebab abnormalnya insulin:
 Kelebihan berat badan atau obesitas (terutama kelebihan lemak bagian perut).
 Kelebihan glukokortikoid (terapi steroid).
 Kelebihan GH (growth hormone) atau somatotropin.
 Sedang hamil (diabetes gestasional).
 Penyakit ovarium polisistik (gangguan keseimbangan hormonal dimana wanita
memproduksi hormon androgen secara berlebih).
 Autoantibodi pada reseptor antibodi.
 Mutasi yang menyebabkan obesitas genetik (contoh: mutasi reseptor
melanokortin).
 Hemokromatosis (penyakit hereditas yang menyebabkan akumulasi zat besi
dalam tubuh).

2
2.1.3 Faktor Resiko Diabetes Mellitus
1. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Riwayat keluarga dengan DM
b. Umur; Resiko menderira prediabetes meningkat seiring dengan meningkatnya
usia
c. Riwayat pernah menderita diabetes gestasional
d. Riwayat berat badan lahir dengan berat badan rendah kurang dari 2500 gram.
2. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
a. Berat badan berlebih (BB> 120% BB idaman atau IMT > 23kg/m2 )
b. Kurangnya aktivitas fisik
c. Memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler
d. Diet tidak sehat dengan tinggi gula dan rendah serat (Depkes RI. 2008)

2.1.4 Gejala Diabetes Melitus


Diabetes seringkali muncul tanpa gejala, namun terdapat beberapa gejala yang
harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala tipikal yang sering
dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air kecil), polidipsia
(sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar) (ADA, 2016).
Pada pasien diabetes, peningkatan glukosa terjadi hingga kadar yang relatif
tinggi. Hal ini menyebabkan ginjal melaksanakan efek-efek regulatorik. Glukosa
secara terus-menerus difiltrasi oleh glomerulus, tetapi dalam keadaan normal
direabsorpsi secara sempurna di tubulus ginjal (distal) melalui transport aktif.
Kapasitas system tubulus untuk menyerap glukosa terbatas hingga kecepatan sekitar
350 mg/menit, dan pada hiperglikemia yang terjadi pada pasien diabetes mellitus,
filtrasi glomerulus dapat mengandung lebih banyak glukosa daripada yang dapat
direabsorpsi sehingga terjadi glukosuria. Hal ini diikuti polisuria, karena glukosa
bersifat diuretik osmotik, dimana glukosa dapat menarik pelarut (air), maka itu pasien
diabetes mellitus selalu merasa ingin buang air kecil (Murray, 2009). Hilangnya air
dalam tubuh akibat pengeluaran urin berlebih, menyebabkan dehidrasi ekstrasel.
dehidrasi ekstraseluler diikuti dehidrasi intraseluler karena air intraseluler berdifusi

3
keluar dari sel, mengubah gradien konsentrasi plasma menjadi hipertonik (sangat
terkonsentrasi). Dehidrasi intraseluler merangsang pelepasan hormon antidiuretik
(ADH; vasopressin) dan menyebabkan rasa haus yang berlebihan pada pasien
diabetes (polidipsia) (Lazenby & Corwin, 2011). Pasien diabetes mellitus memiliki
viskositas darah tinggi yang disebabkan oleh tingginya kadar glukosa darah hasil dari
glukoneogenesis, pemecahan glikogen oleh glukagon, dan kurangnya insulin. Hal ini
menyebabkan aliran darah menjadi lambat, sehingga asupan glukosa yang merupakan
satu-satunya nutrisi otak berkurang, maka itu otak selalu mengirimkan sinyal ‘lapar’,
Karena kurangnya asupan otak. Keadaan inilah yang menyebabkan pasien diabetes
mellitus mengalami polifagia.
Pada pasien diabetes mellitus sering pula muncul keluhan penglihatan kabur,
koordinasi gerak anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul
gatal-gatal yang seringkali sangat mengganggu (pruritus), luka atau memar yang sulit
sembuh dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas (Depkes, 2005).
Pengelihatan kabur merupakan kehilangan ketajaman pandangan dan
ketidakmampuan untuk melihat detail. Hal ini dikarenakan pengaruh dari keadaan
hiperosmolar pada lensa mata dan humor vitreous. Glukosa dengan kadar yang tinggi
pada darah menyebabkan pembengkakan osmotik pada lensa mata sehingga jarak
fokus normal berubah dan menyebabkan pengelihatan kabur. Pengelihatan kabur
dapat terjadi pada satu mata atau pada kedua mata.
Penurunan berat badan dapat dikatakan signifikan apabila berat badan
menurun sebanyak lebih dari 4,5 kg atau lebih dari 5% berat badan). Sel-sel tubuh
yang kekurangan energi menyebabkan pembakaran lemak dan otot sehingga berat
badan menurun. Pasien dengan DM tipe 1 akan mengalami penurunan berat badan
meskipun nafsu makan normal atau meningkat, dikarenakan sedikitnya jumlah air
dalam tubuh dan terjadinya glukoneogenesis.
Kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan sirkulasi darah menjadi buruk
sehingga transportasi O2 dan sel monosit terhambat dan penyembuhan luka menjadi
lama. Gatal pada area genital terjadi apabila penderita DM kurang menjaga
kebersihan area genital. Urin penderita mengandung glukosa dengan kadar tinggi,

4
dimana glukosa merupakan tempat tumbuh bakteri (gula sebagai makanan bakteri),
maka timbul rasa gatal.

2.1.5 Klasifikasi Diabetes Mellitus


Menurut American Diabetes Association (ADA, 2016), klasifikasi diabetes
meliputi empat kelas klinis :
1. Diabetes Mellitus tipe 1
Hasil dari kerusakan sel β pankreas, biasanya menyebabkan defisiensi insulin
yang absolut.
2. Diabetes Mellitus tipe 2
Hasil dari gangguan sekresi insulin yang progresif ynag menjadi latar belakang
terjadinya resistensi insulin.
3. Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes yang terdiagnosis pada kehamilan trimester kedua atau ketiga, ini
bukan diabetes yang nyata.
4. Diabetes tipe spesifik lain
Misalnya : sindrom diabetes monogenik (seperti diabetes neonatal dan diabetes
dengan onset pada usia muda), penyakit eksokrin pankreas (seperti cystic
fibrosis), dan yang dipicu oleh obat atau bahan kimia (seperti dalam pengobatan
HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ).

2.1.6 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 1, Tipe 2 dan Gestasional


1. Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 disebut juga dengan insulin dependent diabetes
mellitus (IDDM). Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit
populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita
diabetes. DM tipe 1 merupakan hiperglikemia yang disebabkan oleh defisiensi insulin
absolut.
Pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel yang
memiliki fungsi spesifik, diantaranya sel β yang berfungsi untuk memproduksi

5
insulin, sel α yang berfungsi untuk memproduksi glukagon, dan sel δ yang berfungsi
untuk memproduksi hormon somatostatin.
Insulin memiliki perbedaan sifat saat makan dan puasa. Setelah makan banyak
kadar insulin naik, gula (glukosa) akan disimpan oleh tubuh. Saat puasa, kadar insulin
turun, gula di hati, otot, dan lemak dilepaskan untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
Semakin lama puasa, energi yang tadinya berasal dari pemecahan gula semakin habis,
digantikan oleh lemak dan protein.
Pada DM, kadar insulin terus menerus rendah atau kadarnya cukup tetapi tidak
efektif sehingga meskipun penyandang DM sudah makan banyak, insulin tidak
meningkat dan tubuh tidak dapat menyimpan gula berlebihan. Keadaan tersebut
disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas baik oleh gen tertentu, virus, proses
autoimun maupun idiopatik sehingga produksi insulin berkurang bahkan terhenti.
Destruksi autoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas langsung
mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan
gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1.
a) Faktor Genetik dan Virus
Gangguan produksi insulin pada DM tipe 1 umumnya terjadi karena
kerusakan sel β pulau Langerhans pankreas yang disebabkan oleh reaksi autoimun.
Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus
Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Gen tertentu akan aktif
bila dicetuskan faktor lingkungan seperti virus atau racun. Enterovirus merupakan
pencetus yang paling jelas dan paling sering diteliti, salah satunya pada hand, foot,
and mouth disease (HFMD) dan polio. Diduga virus mengubah gen tersebut sehingga
gen menjadi aktif membentuk antibodi yang menyerang sel-sel β pulau Langerhans
kelenjar pankreas
b) Faktor Antibodi
 ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies)
ICCA merupakan autoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM Tipe 1.
Hampir 90% penderita DM tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di dalam
tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu, keberadaan

6
ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM tipe 1. ICCA tidak
spesifik untuk sel-sel β pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh sel-
sel lain yang terdapat di pulau Langerhans. Seperti yang telah diketahui bahwa
pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel
α, dan sel δ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi glukagon,
sedangkan sel-sel δ memproduksi hormon somatostatin. Titer ICCA makin lama
makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit.
 ICSA (Islet Cell Surface Antibodies)
Autoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface Antibodies
(ICSA) ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Titer ICSA juga makin
menurun sejalan dengan lamanya waktu. Beberapa penderita DM Tipe 2
ditemukan positif ICSA.
 Antibodi terhadap GAD (Glutamic Acid Decarboxylase)
Autoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada
hampir 80% pasien yang baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1.
Titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun sejalan dengan
perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan prediktor kuat
untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi.
 IAA (Anti-Insulin Antibody)
IAA ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe 1. IAA
bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi insulin.
Destruksi otoimun dari sel- sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas langsung
mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan
gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi insulin, fungsi
sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal.
Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel α
pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon,
namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi
walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia.
Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1

7
mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin. Apabila
diberikan terapi somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi
penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton.
Salah satu masalah jangka panjang pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya
kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia.
Hal ini dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada
penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin. Walaupun defisiensi
sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1, namun pada penderita
yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan kemampuan sel-sel sasaran
untuk merespons terapi insulin yang diberikan.
Terdapat beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini, salah
satu diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam lemak
bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan
adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di
jaringan-jaringan perifer, seperti misalnya di jaringan otot rangka yang kemudian
akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin juga akan
menurunkan sekresi dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk
merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati dan gen GLUT4
(protein transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian besar jaringan
tubuh) pada jaringan adiposa.
Lebih dari 90% penderita DM tipe 1 mempunyai sedikitnya satu antibodi yang
terkait dengan diabetes. Semakin rusaknya sel β pankreas, metabolisme glukosa
menjadi terganggu karena berkurangnya produksi insulin yang diikuti dengan glukosa
yang berlebih. Pada diagnosis, sebagian besar pasien sudah kehilangan 90% dari
fungsi sel β pankreasnya. 10% sisa fungsinya pada diagnosis menandakan
“honeymoon period”. Honeymoon period adalah kondisi pada saat pasien sudah
menerima injeksi insulin dimana pankreas tidak dalam kondisi tertekan karena ada
bantuan insulin dari injeksi sehingga sel βdapat mengeluarkan insulin untuk
mengontrol kadar gula darah. Honeymoon period ini tidak dapat ditentukan waktunya

8
hingga fungsi sel β hilang total. Pada saat inilah pasien akan menjadi benar-benar
kekurangan insulin dan memerlukan insulin dari luar tubuh.
Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria,
polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue), iritabilitas,
dan pruritus (gatal-gatal pada kulit) (Depkes, 2005). Individu dengan DM tipe 1
kebanyakan memiliki tubuh kurus dan rentan untuk mengalami diabetes ketoasidosis
jika produksi insulin ditahan, atau dalam kondisi stres berat dengan hormon kontra
regulator berlebih (DiPiro, 2008). Dengan diabetes ketoasidosis, kadar glukosa darah
meningkat pesat sebagai akibat dari glukoneogenesis dan peningkatan progresif
pemecahan lemak. Gejala diikuti dengan poliuria dan dehidrasi. Tingkat keton juga
meningkat (ketosis) sebagai hasil dari penggunaan hampir keseluruhan asam lemak
untuk menghasilkan ATP. Keton dikeluarkan melalui urin (ketonuria). Ketosis
menyebabkan pH menurun di bawah 7,3. pH rendah menyebabkan asidosis metabolik
dan merangsang hiperventilasi sebagai upaya individu untuk mengkompensasi
asidosis dengan mengeluarkan karbon dioksida (asam volatil). Seseorang dengan
diabetes ketoasidosis sering mengalami mual dan nyeri abdomen. Muntah dapat
terjadi dan dapat berkontribusi pada dehidrasi ekstraseluler dan intraseluler. Tingkat
kalium total tubuh dapat menurun sebagai akibat dari poliuria dan muntah
berkepanjangan (Lazenby & Corwin, 2011). Dua puluh sampai empat puluh persen
pasien dengan DM tipe 1 mengalami diabetes ketoasidosis setelah beberapa hari
mengalami poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan (DiPiro, 2008).

2. Diabetes Melitus Tipe 2


Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak
penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Pada penderita diabetes tipe ini,
insulin masih diproduksi oleh sel β pankreas sehingga tipe ini dikenal dengan Non-
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). DM tipe 2 ditandai dengan
hiperglikemia yang disebabkan karena menurunnya respon sel (resistensi) terhadap
insulin dan defisiensi sekresi insulin. Kasus DM tipe 2 terjadi pada hampir 90-95%
dari keseluruhan populasi penderita diabetes dan umumnya terjadi pada usia di atas

9
40 tahun. Pada DM tipe 2, insulin tetap dihasilkan namun jumlahnya tidak mampu
untuk menjaga glukosa darah dalam kadar normal.
Gejala dan Faktor Risiko
Penderita DM tipe 2 umumnya baru terdeteksi pada usia di atas 40 tahun atau
setelah timbulnya komplikasi. Hal ini disebabkan karena perkembangan penyakit
yang lambat dan bertahap serta didukung pola hidup yang kurang baik dan
menurunnya fungsi organ. Penderita umumnya tidak menunjukkan gejala khusus,
tetapi terkadang mengalami gejala yang sama seperti DM tipe 1 (polifagia, polidipsia,
dan poliuria). Penderita DM tipe 2 memiliki kecenderungan kelebihan berat badan
(obesitas). Seorang individu dengan diabetes tipe 2 masih dapat memproduksi insulin.
Karena biasanya masih terdapat insulin, individu yang memiliki diabetes tipe 2 jarang
sepenuhnya mengandalkan pada asam lemak dalam produksi energi, sehingga tidak
rentan terhadap ketosis (Lazenby & Corwin, 2011). Penderita DM Tipe 2 umumnya
lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk,
dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi
pada pembuluh darah dan syaraf (Depkes, 2005).
Tabel 2. Faktor risiko diabetes mellitus tipe 2
Riwayat - Diabetes dalam keluarga
- Impaired Glucose Tolerance (IGT) atau
Impaired Fasting Glucose (IFG)
- Penyakit vaskular
- Diabetes gestasional atau melahirkan bayi
dengan berat badan lebih dari 4 kg
Obesitas ≥ 20% melebihi berat badan ideal atau BMI ≥ 25
kg/m2
Hipertensi ≥ 140/90 mmHg pada dewasa
Dislipidemia Kadar HDL rendah ≤ 35 mg/dL dan kadar
trigliserida ≥ 250 mg/dL
Etnik atau ras Asia
Pola Hidup - Kurang olahraga atau beraktivitas fisik
- Pola makan tinggi karbohidrat
Patofisiologi
DM tipe 2 ditandai dengan hiperglikemia yang disebabkan karena
menurunnya respon sel (resistensi) terhadap insulin dan defisiensi insulin relatif.

10
Menurunnya respon atau sensitivitas sel terhadap insulin terjadi pada jaringan target,
yaitu otot, hati, dan adiposa. Reseptor insulin pada sel-sel target tersebut gagal atau
tidak mampu merespon insulin secara normal. Glukosa yang berasal dari makanan
dan masuk ke aliran darah menyebabkan kadar glukosa darah meningkat. Glukosa
merupakan stimulan kuat untuk sekresi insulin. Ketika kadar glukosa darah
meningkat, glukosa akan masuk ke dalam sel β pankreas melalui transporter glukosa
GLUT 2 (berlokasi di sel β pankreas, hati, ginjal), kemudian difosforilasi oleh
glukokinase dan menghasilkan ATP. Semakin banyak glukosa yang masuk ke dalam
sel menyebabkan jumlah ATP intraselular meningkat. Peningkatan jumlah ATP
intraselular ini menyebabkan penutupan kanal K yang sensitif terhadap ATP dan
terjadi depolarisasi sel, yang kemudian memprakarsai masuknya ion Ca melalui kanal
Ca yang sensitif terhadap voltase dan selanjutnya merangsang pelepasan insulin.
Pada penderita DM tipe 2, insulin tetap dihasilkan dengan mekanisme seperti
yang telah dijelaskan tersebut. Namun, terjadi penurunan respon sel terhadap insulin
(resistensi insulin) pada jaringan target sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam
sel dan tetap berada di aliran darah yang mengakibatkan terjadinya kondisi
hiperglikemia. Dalam keadaan normal, insulin akan berikatan pada reseptornya di
permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselular yang menyebabkan
translokasi GLUT 4 ke permukaan sel. Glukosa kemudian akan ditranspor masuk ke
dalam sel melalui transporter glukosa (GLUT 4) tersebut. Sedangkan pada pasien
dengan DM tipe 2, terdapat kelainan pengikatan insulin dengan reseptornya yang
disebabkan karena kurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel atau
ketidaknormalan reseptor insulin secara intrinsik, sehingga GLUT 4 tidak dapat
mengalami translokasi dan tidak mampu mentranspor glukosa masuk ke dalam sel.
Resistensi insulin dapat terjadi karena faktor genetik atau faktor lingkungan,
seperti misalnya pola hidup yang meyebabkan obesitas. Berikut ini adalah beberapa
penyebab terjadinya resistensi insulin:
1) Kelainan genetik yang menyebabkan kegagalan reseptor insulin untuk merespon
insulin

11
2) Adanya rangsangan berkepanjangan terhadap reseptor insulin sehingga
menyebabkan penurunan jumlah reseptor insulin (down-regulation)
3) Produksi autoantibodi insulin yang berikatan dengan reseptor insulin sehingga
memblok akses insulin ke reseptor
4) Kekurangan atau tidak berfungsinya gen penghasil leptin, sehingga gagal
merespon rasa kenyang dan meyebabkan insensitivitas insulin
Resistensi insulin terjadi pada situs atau jaringan target yang seharusnya
responsif terhadap insulin, antara lain:
1) Pada jaringan hati, glukagon bekerja dengan merangsang glikogenolisis sehingga
menyebabkan peningkatan produksi glukosa hepatik sebagai akibat dari tidak
bekerjanya insulin untuk memasukkan glukosa ke dalam sel pada jaringan
tersebut.
2) Pada jaringan otot, onset aksi insulin yang terlambat akibat resistensi insulin
menyebabkan penurunan kemampuan pengambilan glukosa pada otot skeletal.
3) Pada jaringan adiposa, glukagon bekerja sebagai akibat tidak bekerjanya insulin
dengan merangsang lipolisis dan menyebabkan peningkatan asam lemak bebas
dalam darah.
Resistensi insulin yang berkelanjutan akan menyebabkan terjadinya defisiensi
sekresi insulin relatif. Hal ini terjadi karena sel β pankreas tidak mampu
menghasilkan insulin yang memadai untuk mengompensasi resistensi insulin dan
menyediakan insulin yang cukup setelah sekresi insulin dilakukan (mengalami
overkompensasi).
Tabel 3. Perbedaan DM tipe 1 dengan DM tipe 2
DM Tipe 1 DM Tipe 2
Umur Pada usia anak-anak dan > 30 tahun
remaja hingga < 30 tahun
Onset penyakit Tiba-tiba Bertahap
Prevalensi 5-10% 90-95%
Berat badan Umumnya kurus Normal atau obesitas
Etiologi Defisiensi insulin absolut Resistensi insulin,
(autoimun, idiopatik) defisiensi insulin relatif
Kadar insulin darah Rendah hingga tidak ada Normal
Gejala Umumnya timbul (poliuria, Tidak menunjukkan

12
polifagia, polidipsia) gejala
Komplikasi saat Jarang Umum
diagnosis
Terapi penyakit Insulin Diet, olahraga, obat
antidiabetik oral
Kebutuhan terapi Secepatnya Beberpa tahun setelah
insulin diagnosis
Komplikasi akut Diabetes ketoasidosis Keadaan hyperosmolar
hiperglikemik

3. Patofisiologi Diabetes Melitus Gestasional


Diabetes mellitus gestasional merupakan diabetes yang terjadi pada ibu hamil,
yaitu terjadinya intoleransi glukosa tepat pada saat mulai mengandung (Corwin,
Elizabeth J, 2008). Selama kehamilan normal, terjadi penurunan bertahap terhadap
toleransi glukosa sehingga meningkatkan konsentrasi glukosa plasma. Dalam
kebanyakan wanita hamil normal toleransi glukosa tetap dalam kisaran normal,
namun jika konsentrasi glukosa puasa pada kehamilan tetap normal dan glukosa oral
tes toleransi (OGTT) kembali ke post partum normal maka keadaan ini disebut
diabetes mellitus gestasional. Faktor risiko GDM antara lain obesitas, glikosuria, usia
di atas 30 tahun, riwayat keluarga penderita diabetes, riwayat menderita GDM atau
intoleransi glukosa, dan riwayat bayi makrosomia
Ketika terjadi kehamilan, tubuh secara otomatis mengalami suatu perubahan
fisiologis. Perubahan fisiologis yang terjadi di sini adalah terbentuknya sebuah
saluran baru yang menghubungkan antara sang ibu dengan janinnya. Perubahan
fisiologis ini menyebabkan terjadinya perubahan endokrin dan metabolik, saluran ini
disebut dengan plasenta. Plasenta ini merupakan situs utama protein dan hormone
steroid diproduksi dan di sekresi. Perubahan endokrin dan metabolik yang terjadi saat
kehamilan sering dikaitkan secara langsung dengan sinyal-sinyal hormone yang
berasal dari plasenta (Ganong,2003; Guyton & Hall, 2006; Monga& Baker, 2006).
Terdapat tiga hormone pokok yang sangat mempengaruhi perubahan metabolisme
sang ibu yang nantinya akan menghasilkan diabetes mellitus gestasional ini,
diantaranya adalah 1) hormon steroid (esterogen, progesterone, dankortisool), 2)
Human placental lactogen (HPL),dan 3) Placental Growth Hormone.

13
1. Mekanisme aksi diabetes oleh Hormon Steroid
Pada awal masa kehamilan, di dalam tubuh sang ibu terjadi peningkatan
konsentrasi insulin yang cukup besar. Hal ini disebabkan karena plasenta
memproduksi hormone steroid yaitu progesterone, esterogen, dan kortisol. Plasenta
akan mensintesis pregnenolon dan progesterone, yang berperan sebagai substrat
untuk pembentukan esterogen dan kortisol. Pregnenolon akan di ubah menjadi
Dehidroepiandrosteron (DHEAS) dan 16- hidroksidrhidroepiandrosteron (16-
OHDHEAS). DHEAS selanjutnya akan diubah menjadi estradiaol, sedangkan 16-
OHDHEAS akan diubah menjadi esriol yang kemudian diubah menjadi esterogen
(Ganong, 2003). Sedangkan progesterone yang disintesis plasenta akan masuk ke
dalam sirkulasi janin. Sebagian akan digunakan untuk pembentukan kortisol dan
kortikosteron dari kelenjar adrenal janin. Esterogen dan progesterone yang dihasilkan
akan meningkatkan dan memicu terjadinya peningkatan abnormal jumlah sel-sel β
pankreas. Hal ini disebabkan karena sel β pancreas terlalu “lelah” untuk
menghasilkan insulin dengan cepat sebagai respon intoleransi glukosa dalam tubuh.
Kortisol berfungsi dalam meningkatkan katabolisme tubuh sehingga energi ibu dan
janin dapat terpenuhi, namun proses ini menimbulkan intoleransi glukosa.
2. Human placental lactogen (HPL)
HPL merupakan rantai polipeptida tunggal yang disatukan oleh ikatan disulfide.
HPL dihasilkan dari gen HPL- A dan HPL-B, disekresikan ke sirkulasi ibu dan janin.
Pada saat memasuki trimester kedua kehamilan, tingkat HPL meningkat, terjadi
perubahan tingkat sirkulasi glukosa pada ibu. Peran metabolik dari HPL adalah untuk
mentransportasikan lipid dan asam lemak bebas. HPL bekerja dengan menstimulasi
proses lipolisis menyebabkan terjadinya peningkatan asam lemak bebas yang
dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif bagi ibu. Peningkatan asam lemak ini
berperan langsung dalam menghambat masuknya glukosa ke dalam sel. Maka dari
itu, obat ini disebut sebagai antagonis poten insulin (Glass &Kase, 1984; Mills et al.,
1985). Mekanisme kerja dari hormon ini adalah ketidakmampuan insulin membawa
GLUT4 dari dalam sel menujuk esitoplasma sehingga tidak terbentuknya jalur khusus
untuk masuknya glukosa ke dalam sel (Glass &Kase, 1984; Mills et al., 1985).

14
3. Placental growth hormone (PGH)
PGH dihasilkan oleh gen GH-V yang spesifik dihasilkan dalam lapisan
syncytiotrophoblastplasenta (Lacroix et al., 2002). Sebagian besar terdapat di
sirkulasi darah ibu dan secara progresif menggantikan hormon pertumbuhan manusia.
Terjadi di trimester ketiga, ketika janin semakin membutuhkan energi yang banyak.
Oleh karena itu tubuh ibu harus mencari alternatif bahan bakar untuk memenuhi
kebutuhan energinya. Maka dari itu, hormon itu meningkatkan proses glikogenolisis
dan glukoneogenesis. Dengan mekanisme yang hampir sama dengan yang
sebelumnya menyebabkan terjadinya penumpukan glukosa dengan resistensi insulin
.
2.1.7 Komplikasi Diabetes
Komplikasi diabetes mellitus secara umum dapat dibagi menjadi 2 kategori
besar yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronis. Komplikasi kronis akan dibagi
menjadi 2 menurut kerusakannya yakni komplikasi mikroangiopati dan
makroangiopati.
1. Komplikasi Akut
a. Hipoglikemia
Hipoglikemi (hypoglicemia) berasal dari kata hipo (hypo) yang berarti rendah
dan glikemia yang berarti gula. Hipoglikemia terjadi bila kadar glukosa darah
menurun hingga dibawah 50/60 mg/dL. Sering ditemukan pada 3 keadaan, yaitu
akibat pemakaian insulin yang terlalu banyak pada pengobatan diabetes (terapi obat
hipoglikemik oral golongan sulfonilurea (glibenklamid, glimepirid, gliklazid) dan
glinid (repaglinid, nateglinid) yang bekerja dengan cara meningkatkan sintesis
insulin), pada pengobatan syok hipoglikemik, dan akibat pembentukan insulin
berlebihan pada tumor pankreas, yang dibentuk oleh sel-sel beta. Gejala-gejala yang
timbul :
1) Fase 1
Gejala-gejala yang timbul akibat aktivasi pusat autonom di hipotalamus sehingga
dilepaskannya hormon epinefrin. Gejalanya berupa palpitasi, banyak keluar urin,
banyak keringat, tremor, ketakutan, rasa lapar, dan mual. Gejala ini merupakan

15
gejala awal karena pada saat itu pasien masih sadar dan dengan demikian dapat
mengambil tindakan yang perlu untuk mengatasi terjadinya hipoglikemik awal
tersebut.
2) Fase 2

Gejala yang terjadi akibat mulai terjadinya gangguan fungsi otak, karena itu
dinamakan juga gejala neurologi. Gejala berupa pusing, pandangan kabur,
ketajaman mental menurun, hilangnya keterampilan motorik yang halus,
penurunan kesadaran, kejang-kejang, dan koma.

Tingakatan hipoglikemia :
1) Hipoglikemia ringan, Kadar glukosa darah 50-60 mg/dL, masih dapat diatasi
sendiri, menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari yang nyata, otak mulai
kekurangan asupan glukosa sebagai sumber energi, gejalanya sakit kepala,
vertigo, perubahan.
2) Hipoglikemia sedang, Kadar glukosa darah <50 mg/dL, otak mulai kekurangan
asupan glukosa sebagai sumber energi, gejalanya sakit kepala, vertigo, perubahan
memori, perilaku irasional, dll
3) Hipoglikemia berat, Kadar glukosa darah <35 mg/dL, membutuhkan terapi
glukosa untuk menanganinya, fungsi sistem saraf pusat mengalami gangguan
berat, disorientasi, kejang, penurunan kesadaran.

Terdapat beberapa faktor pencetus yang dapat menyebabkan hipoglikemia,


antara lain:
1) Kesalahan dalam penggunaan insulin
2) Mengurangi jumlah asupan makanan
3) Aktivitas yang berlebihan
4) Penggunaan alkohol
Kondisi yang menyebabkan hipoglikemia pada penderita diabetes adalah
penderita mengurangi jumlah asupan makanan atau tidak makan dalam jangka waktu
yang lama setelah penyuntikan insulin atau konsumsi obat hipoglikemik oral,

16
sehingga kadar glukosa dalam darah turun karena asupan karbohidrat tidak sebanding
dengan jumlah insulin yang tinggi setelah penyuntikan. Kondisi lain yang dapat
menyebabkan hipoglikemia adalah aktivitas berlebihan, yang akan menurunkan
glukosa darah karena glukosa banyak diubah menjadi energi untuk beraktivitas,
sedangkan kadar insulin dalam tubuh tinggi. Kadar insulin yang tinggi dapat
mengakibatkan penurunan glukosa yang cepat dan menstimulasi tubuh untuk
meningkatkan glukosa dalam darah dengan cara mengubah glikogen menjadi
glukosa. Selain itu, memicu rangsang lapar oleh otak dan aktivasi sistem saraf
simpatik yang berupa peningkatan denyut jantung, tekanan darah, stimulasi kelenjar
keringat untuk mengeluarkan keringat dingin, stimulasi sistem saraf untuk
meningkatkan kecemasan dan bergetar. Hipoglikemia dapat menyebabkan asupan
glukosa sebagai energi di otak berkurang, sehingga mengakibatkan penderita pingsan
dan kejang. Kejadian hipoglikemia ini biasanya terjadi di antara waktu makan dan
pada waktu tengah malam.

Gambar 1. Patofisiologi hipoglikemia (Lang dan Sibernagl, 2000)

17
Gejala hipoglikemia terdiri dari berbagai tingkatan. Pasien biasanya
mengalami gejala awal peringatan munculnya hipoglikemia, namun bila tidak segera
diatasi dapat sampai pada tahap yang lebih serius yaitu neuroglikopenia.
Neuroglikopenia adalah suatu keadaan di mana otak kekurangan energi utama
(glukosa) sehingga mengganggu fungsi otak. Gejala awal hipoglikemia yaitu gemetar,
berkeringat, pusing, lapar, palpitasi, wajah pucat, dan mudah lelah.
b. Ketoasidosis Diabetik
Ketoasidosis Diabetik adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik yang
ditandai oleh trias: hiperglikemia, asidosis, ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relative dan peningkatan hormon kontra regulator
(glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan), keadaan tersebut
menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan penggunaan glukosa oleh sel
tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. Kombinasi defisiensi insulin dan
peningkatan konsentrasi hormon kontraregulator terutama epidefrin, mengaktivasi
hormon lipase sensitif pada jaringan lemak. Akibatnya lipolisis meningkat, sehingga
terjadi peningkatan produksi benda keton dan asam lemak bebas secara berlebihan.
Akumulasi produksi benda keton oleh sel hati dapat menyebabkan metabolik asidosis.
Benda keton utama adalah asam asetoasetat (AcAc) dan 3 beta hidroksi butirat (3HB)
dan aseton darah. Kejadian ketoasidosis diabetik sering ditemukan pada penderita
diabetes mellitus tipe 1 dan jarang ditemukan pada pendeita diabetes mellitus tipe 2.
Terdapat berbagai faktor yang menjadi pencetus terjadinya komplikasi ketoasidosis
diabetik, yaitu penderita berhenti menggunakan terapi insulin secara rutin, infark
miokard, diabetes mellitus tipe 1 yang tidak terdekteksi dan infeksi yang merupakan
faktor pencetus paling umum.
Patofisiologi
Insulin memiliki berbagai fungsi yaitu membantu transpor glukosa masuk ke
dalam sel, menghambat adanya lipolisis dalam jaringan lemak sehingga mencegah
pembentukan asam lemak bebas, dan menghambat glukoneogenenesis di hati.
Apabila terjadi defisiensi insulin maka seluruh proses yang melibatkan insulin akan
terganggu. Ketika terjadi defisiensi insulin, maka kadar glukosa dalam darah akan

18
tinggi (hiperglikemia) karena tidak adanya insulin yang membantu transpor glukosa
ke dalam sel serta tubuh tetap memproduksi glukosa melalui proses glukoneogenesis
di hati. Kondisi hiperglikemia ini menyebabkan kelebihan glukosa dibuang melalui
urin (glukosuria). Adanya kelebihan glukosa ini menyebabkan peningkatan
osmolaritas, sehingga tubuh kehilangan cairan dan elektrolit serta terjadi dehidrasi.
Penderita ketoasidosis diabetik menjadi cepat haus sehingga banyak minum
(polidipsia).
Terjadinya defisiensi insulin menyebabkan liposisis tidak dapat dihambat,
sehingga lipolisis yang secara terus menerus menyebabkan meningkatnya
pembentukkan asam lemak bebas. Berasal dari asam lemak bebas tersebut, hati
membentuk benda keton (asam asetoasetat dan asam β- hidroxibutirat) melalui proses
yang dinamakan ketosis hingga kemudian terjadi akumulasi benda keton yang akan
mengakibatkan asidosis metabolik dan membuat penderita bernapas dalam dan cepat
(Kushmaul breething). Benda keton ini akan dikeluarkan melalui urin (ketonuria) dan
melalui nafas, sehingga nafas penderita diabetes yang menderita ketoasidosis diabetik
berbau seperti buah (Karena dibuang lewat paru, asetoasetat berubah mjd aseton 
napas bau buah).
Gejala dan Tanda Klinis
Tanda klinis yang muncul yaitu hiperglikemia (kadar glukosa >250 mg/dl),
ketonuria, menurunnya pH plasma (<7,3). Gejala-gejala yang dialami penderita
ketoasidosis metabolik yaitu berupa timbulnya rasa haus sehingga penderita sering
minum (polidipsia), poliuria (banyak buang air kecil), dehidrasi terkadang hingga
terjadi syok hipovolemia, lidah dan bibir kering, nyeri pada perut, muntah, takipnea
karena asidosis sehingga menyebabkan pernapasan cepat dan dalam (pernapasan
Kushmaull), dan penurunan kesadaran
Pada ketosis, pH turun dibawah 7,3 pH yang rendah menyebabkan asidosis
metabolik dan merangsang hiperventilasi, yang disebut pernapasan kussmaul, karena
individu berusaha untuk megurangi asidosis dengan mengeluarkan karbondioksida.
Individu dengan ketoasidosis diabetik sering mengalami mual dan nyeri abdomen.

19
Dapat timbul muntah-muntah yang memperparah dehidrasi ekstrasel dan intrasel.
Kadar kalium tubuh total turun akibat poliuria berkepanjangan dan muntah-muntah.
Ketoasidosis diabetik adalah keadaan yang mengancam nyawa dan memerlukan
perawatan di rumah sakit agar dapat dilakukan koreksi terhadap keseimbangan cairan
dan elektrolit nya. Karena kepekaan insulin meningkat seiring dengan penurunan pH,
maka dosis dan kecepatan pemberian insulin harus dipantau secara hati-hati.
Pengobatan yang sering dilakukan yakni dengan insulin masa kerja singkat yang
dapat diberikan melalui infus intravena kontinu atau injeksi intramuskular dan infus
glukosa dalam air atau normal saline, mengurangi lipolisis dan pembentukan badan
keton, serta memulihkan keseimbangan asam-basa. Selain itu, pasien juga
memerlukan penggantian kalium.
c. Hyperosmolar Hyperglycemic Syndrome (HHS)
Hiperglikemik hiperosmolar nonketonik merupakan suatu keadaan gangguan
metabolik yang disebabkan karena meningkatnya resistensi insulin dan kelebihan
asupan glukosa, ditandai dengan adanya hiperglikemia, hiperosmolaritas, dan
dehidrasi tanpa ketoasidosis. Kejadian ketoasidosis diabetik dapat ditemukan pada
penderita diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2. Namun, prevalensi kejadian lebih sering
terjadi pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dibandingkan dengan tipe 1. HHS
terjadi karena defisiensi insulin disertai dengan intake cairan yang tidak adekuat.
Meningkatnya kadar glukosa dalam darah yang ekstrim dapat menyebabkan
hiperglikemia berat. Kondisi hiperglikemia ini menyebabkan meningkatnya
osmolaritas plasma yang mengakibatkan cairan dari dalam sel tertarik dan
meningkatnya volume urin (poliuria). Meningkatnya volume urin mengakibatkan
dehidrasi berat dan juga hilangnya kalium. Dehidrasi yang terjadi pada penderita
hiperglikemik hiperosmolar nonketonik lebih berat dibandingkan pada penderira
ketoasidosis diabetik. Apabila pasien tidak segera ditangani maka akan berujung
kematian. Angka mortalitas dapat mencapai 50%. Pengobatan HHNK dapat
dilakukan dengan rehidrasi (pemberian cairan), penggantian elektrolit, dan pemberian
insulin regular.

20
Tanda klinis yang muncul yaitu hiperglikemia (kadar glukosa >600 mg/dL) dan
hiperosmolaritas plasma (>300 mOsmol/L). Gejala yang dialami penderita
hiperglikemik hiperosmolar nonketonik yaitu berupa dehidrasi berat, kulit kering,
poliuria, gangguan neurologi, hingga koma.
d. Efek Somogy
Suatu efek yang ditandai oleh penurunan unik kadar glukosa darah pada malam
hari, diikuti oleh peningkatan rebound pada paginya. Penyebab hipoglikemia malam
hari kemungkinan besar berkaitan dengan penyuntikan insulin di sore harinya.
Hipoglikemik itu sendiri kemudian menyebabkan glukagon, ketokolamin, kortisol,
dan hormon pertumbuhan. Hormon-hormon ini merangsang glukoneogenesis
sehingga pada pagi harinya terjadi hiperglikemia. Pengobatan untuk efek somogy
ditunjukkan untuk memanipulasi penyuntikan insulin sore hari sedemikian sehigga
tidak menimbulkan hipoglikemia. Intervensi diet juga dapat mengurangi efek
somogy.

2. Komplikasi Kronis
Komplikasi kronik atau komplikasi jangka panjang pada diabetes melitus
sebagian besar tampaknya disebabkan oleh tingginya konsentrasi glukosa darah, dan
berperan menyebabkan morbiditas dan mortalitas penyakit.
1) Mikroangiopati  mengenai pembuluh darah kecil, terjadi pada kapiler.
a. Retinopati
Definisi
Retinopati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular pada mata akibat
diabetes mellitus yang dapat menyebabkan kebutaan. Kebutaan akibat retinopati
diabetik menjadi masalah kesehatan yang diwaspadai di dunia karena kebutaan akan
menurunkan kualitas hidup dan produktivitas penderita yang akhirnya menimbulkan
beban sosial masyarakat.
Patofisiologi
Hiperglikemia yang berlangsung lama merupakan faktor resiko penyebab
terjadinya retinopati. Kerusakan sel yang terjadi sebagai hasil proses biokimiawi

21
akibat hiperglikemia kronis terjadi pada jaringan saraf (saraf optik dan retina),
vaskular retina dan lensa. Berikut ini merupakan mekanisme petofisiologi yang
diduga menyebabkan terjadinya retinopati:
1) Hiperglikemia memicu terbentuknya reactive oxygen intermediates (ROIs) dan
advanced glycation end products (AGEs). ROIs dan AGEs merusak perisit dan
endotel pembuluh darah serta merangsang pelepasan faktor vasoaktif seperti
nitric oxide (NO) dan endotelin yang akan memperparah kerusakan.
2) Hiperglikemia kronik mengaktivasi jalur poliol yang meningkatkan glikosilasi
dan ekspresi aldosa reduktase sehingga terjadi akumulasi sorbitol. Sorbitol
merupakan suatu senyawa gula dan alkohol yang tidak dapat melewati membran
basal sehingga akan tertimbun dalam jumlah yang banyak dalam sel. Kerusakan
sel terjadi akibat akumulasi sorbitol yang bersifat hidrofilik sehingga sel menjadi
bengkak akibat proses osmotik.
3) Hiperglikemia mengaktivasi transduksi sinyal intraseluler protein kinase C (PKC)
dan vascular endothelial growth factor (VEGF) sehingga terjadi trombosis dan
oklusi kapiler retina. Peningkatan PKC juga mengganggu permeabilitas dan aliran
darah vaskular retina yang pada akhirnya terjadi inflamasi dan hipoksia pada
retina.
4) Hipoksia menyebabkan ekspresi faktor angiogenik yang berlebihan sehingga
merangsang pembentukan pembuluh darah baru yang memiliki kelemahan pada
membran basalnya, dan kekurangan jumlah perisit. Akibatnya, terjadi kebocoran
protein plasma dan perdarahan di dalam retina dan vitreous.
Gejala dan Tanda Klinis
Dinding kapiler retina terdiri dari tiga lapisan dari dalam ke luar, yaitu sel
perisit, membran basal dan sel endotel. Sel perisit berfungsi mempertahankan struktur
kapiler, mengatur kontraktilitas dan mengendalikan proliferasi endotel. Membran
basal mempertahankan permeabilitas agar tidak terjadi kebocoran. Sel endotel
membentuk barier yang selektif.
Perubahan histopatologi kapiler retina pada retinopati diabetik dimulai dari
penebalan membran basal, hilangnya perisit, dan proliferasi endotel. Pada tahap awal,

22
tidak terjadi penurunan tajam penglihatan, apabila sawar retina telah rusak, dapat
ditemukan mikroaneurism, eksudat lipid dan protein, edema dan pendarahan retina.
Selanjutnya, terjadi oklusi kapiler retina yang mengakibatkan hipoksia. Gejala yang
timbul meliputi:
1. Kesulitan membaca
2. Penglihatan kabur
3. Penglihatan menurun
4. Melihat lingkaran-lingkaran cahaya
5. Melihat bintik gelap dan cahaya kelap-kelip
Klasifikasi
1) Retinopati Diabetik Non Proliferatif
Retinopati diabetik proliferatif merupakan tipe paling ringan dan kadang tidak
memperlihatkan gejala. Mikroaneurism merupakan tanda paling awal pada retinopati
diabetik non proliferatif. Dengan optalmoskopi atau foto warna fundu,
mikroaneurism tampak berupa bintik merah. Kelainan morfologi lain adalah
terjadinya penebalan membran basal, pendarahan ringan, adanya eksudat yang
tampak berwarna kuning, edema, dan pendarahan ringan.
2) Retinopati Diabetik Proliferatif
Retinopati diabetik proliferatif ditandai dengan adanya pembentukan
pembuluh darah baru yang terdiri dari satu lapisan endotel tanpa sel perisit dan
membran basal sehingga bersifat sangat rapuh dan mudah mengalami pendarahan.
Pembuluh darah baru tersebut tumbuh secara abnormal keluar dari retina dan meluas
ke vitreous. Pendarahan sampai ke vitreous akan menghalangi transmisi cahaya
sehingga menimbulkan gangguan penglihatan.
Tahapan Retinopati
Tabel 4. Tahapan retinopati dan gejala patologi yang ditemukan
Tahapan Retinopati Gejala Patologi yang Ditemukan
Retinopati Non proliferatif (Tahap I)
Abnormalitas Vena Dilatasi dan kontriksi yang tidak biasa
Mikroaneurisma Terbentuk dinding tipis, diameter sekitar
15-20 µm

23
Pendarahan Interretina Sirkular kecil
Edema Makula Disebabkan oleh kebocoran pembuluh
darah yang tidak kompeten
Eksudat Keras Terbentuk eksudat dengan bentuk tidak
beraturan
Retinopati Pre-proliferatif (Tahap II)
Cotton-Woll Patches Infark dari lapisan serabut saraf karena
iskemia retina
Retinopati Proliferatif (Tahap III)
Neovaskularisasi Terdapat pembuluh darah baru yang
dikelilingi oleh jaringan konektif
Proliferasi Gliall Terdapat neovaskular yang semakin tebal,
dan mungkin membentuk cakram
Vitreoretinal Terdapat selaput saraf mata

b. Nefropati
Pada umumnya, nefropati diabetika didefinisikan sebagai sindrom klinis pada
pasien diabetes mellitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam
atau >200 mg/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6
bulan. Hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik dalam
laju kerusakan ginjal.
Diabetes mellitus tipe 2 merupakan penyebab nefropati paling banyak,
sebagai penyebab terjadinya end stage renal disease (ESRD). Kerusakan ginjal yang
spesifik pada DM mengakibatkan perubahan fungsi filtrasi, sehingga molekul-
molekul besar seperti protein ikut tereksresi di urin. Akibat nefropati dapat timbul
kegagalan ginjal yang progresif. Nefropati diabetik disebabkan oleh kondisi
hiperglikemi yang kronis sehingga terjadi perubahan hemodinamik pada
mikrosirkulasi renal (hiperfiltrasi atau hiperfusi, peningkatan tekanan kapiler
glomerular) dan perubahan struktur glomerulus seperti penebalan membran basement,
peningkatan matriks ekstraselular dan fibrosis. Hal ini menyebabkan terjadinya
albuminuria persisten (mikroalbuminaria). Apabila terjadi kerusakan kronis, maka
akan berlanjut ke proteinuria. Proteinuria mengakibatkan turunnya tekanan osmotik
pada kapiler, sehingga menurunkan reabsopsi cairan dari ruang intestinal. Penurunan

24
reabsorpsi cairan ini mengakibatkan edema. Edema ini akan menekan kapiler dan
saraf, sehingga terjadi hipoksia jaringan dan kerusakan saraf.
Akibat dari nefropati diabetik ini ialah sekresi H+ ke urin berkurang, sehingga
terjadi metabolik asidosis; produksi vitamin D berkurang yang berakibat pada
rapuhnya tulang; anemia dapat terjadi karena eritropoetin berkurang; dan penurunan
laju filtrasi glomerulus yang menyebabkan gagal ginjal.
c. Neuropati
Definisi
Neuropati merupakan komplikasi terbesar yang sering terjadi pada penderita
diabetes mellitus yaitu sekitar 50%. Pasien yang mengalami komplikasi neuropati
akan meningkat risikonya seiring dengan bertambahnya usia dan lamanya pasien
mengidap diabetes mellitus. Diabetes neuropati umumnya muncul pada pasien yang
mempunyai masalah dalam mengontrol gula darah, orang-orang yang kelebihan berat
badan, dan kadar lemak dalam darah yang tinggi.
Patofisiologi
1) Jalur Poliol
Hiperglikemia menyebabkan peningkatan kadar glukosa intraseluler pada
saraf sehingga mmenyebabkan saturasi pada jalur normal glikolisis. Kelebihan
glukosa didorong ke jalur poliol dan dikonversi ke sorbitol oleh aldosa reduktase, lalu
diubah menjadi fruktosa oleh sorbitol dehidrogenase. Akumulasi dari pembentukan
sorbitol dan inositol menyebabkan berkurangnya kadar myoinositol yang
menyebabkan penurunan aktivitas membran pada kanal Na+ dan K+. Penurunan
aktivitas ini menyebabkan gangguan transportasi dan kerusakan struktur dari saraf.
Berikut merupakan skema pembentukan sorbitol dan fruktosa pada jalur poliol.

2) Penurunan Kadar Mioinositol

25
Pasien diabetes mellitus memiliki level rendah myoinositol di saraf perifer.
Myoinositol adalah komponen membran sel yang normalnya ditemukan berlimpah di
jaringan saraf. Myoinositol sangat berperan dalam transmisi impuls. Teori yang
menjelaskan bagaimana hiperglikemia pada pasien DM mempengaruhi penurunan
level myoinositol adalah glukosa akan berkompetisi dengan myoinositol, sehingga
menghambat transpor aktif myoinositol oleh saraf. Terjadinya peningkatan poliol
pathway akan menyebabkan hilangnya myoinositol saraf. Abnormalitas ini dapat
segera dikembalikan menjadi keadaan normal dengan kontrol glukosa darah.
Penyebab
Penyebab terjadinya komplikasi diabetes neuropati dapat berbeda-beda,
tergantung pada tipe diabetes neuropati yang dialami. Kerusakan saraf pada penderita
diabetes dapat terjadi karena faktor kombinasi, antara lain:
1) Faktor metabolik, seperti glukosa darah, lamanya pasien menderita diabetes
mellitus, level lemak pada darah yang abnormal, dan level insulin yang rendah.
2) Faktor neurovaskular, yang menyebabkan terganggunya transportasi oksigen dan
nutrisi ke sistem saraf.
3) Faktor autoimun yang menyebabkan terjadinya iflamasi pada sistem saraf
4) Cidera mekanik pada saraf
5) Faktor genetik yang menyebabkan rentan terkena penyakit saraf
Gejala
Beberapa pasien diabetes yang mengalami komplikasi, muncul tanpa gejala
dan beberapa lainnya muncul dengan gejala awal seperti nyeri, kesemutan, dan sakit
pada kaki. Gejala yang muncul pada kerusakan saraf akibat diabetes antara lain:
1) Nyeri, kesemutan, sakit pada jari, kaki, lengan, dan tangan
2) Lelah pada otot-otot kaki atau tangan
3) Gangguan pencernaan, mual, dan muntah
4) Diare atau konstipasi
5) Pusing atau pingsan akibat terlalu lama berdiri atau duduk
6) Masalah pada urinasi
7) Disfungsi ereksi pada pria atau vagina yang kering pada wanita

26
Klasifikasi
1) Neuropati perifer  Neuropati perifer merupakan jenis diabetes neuropati yang
paling umum terjadi. Dapat menyebabkan hilangnya rasa pada jari kaki, tangan,
kaki, dan lengan.
2) Neuropati otonom  Neuropati otonom menyebabkan peubahan pada
pencernaan, fungsi kandung kemih, dan respon seksual. Hal ini juga
mempengaruhi saraf yang mengatur tekanan darah.
3) Neuropati proksimal  Neuropati proksimal menyebabkan nyeri pada paha,
pinggul atau bokong, dan menyebabkan kelemahan di kaki.
4) Neuropati fokal  Neuropati fokal merupakan keadaan dimana secara tiba-tiba
terjadi kelemahan satu atau sekelompok saraf yang menyebabkan kelemahan otot
atau rasa sakit.
Diabetes neuropati dapat menyebabkan beberapa penyakit seperti gigi
menjadi mudah goyang, disfungsi ereksi, dan yang paling sering terjadi yaitu foot
ulcer. Laki-laki yang menderita diabetes mellitus dapat mengalami disfungsi ereksi
karena meningkatnya glukosa pada darah dan mengakibatkan rusaknya sistem saraf
tepi yang pada akhirnya menghambat aliran darah untuk mengalir ke penis. Pasien
diabetes mellitus sangat rentan giginya cepat goyang, hal ini dikarenakan imunitas
dan hormonal pada penderita diabetes mellitus yang sudah menurun akibat fungsi
leukosit terganggu dan kadar glukosa darah yang tinggi. Infeksi yang terjadi di
rongga mulut juga menyebabkan kerusakan pada jaringan penyangga gigi dan
kerusakan tulang alveolar yang cukup berat sehingga mengakibatkan gigi penderita
mudah goyang. Apabila penderita diabetes mellitus ingin mencabut gigi yang goyang,
dianjurkan untuk mengecek kadar glukosa darah terlebih dahulu, karena
dikhawatirkan jika kadar glukosa darahnya sangat tinggi akan terjadi pendarahan.
d. Diabetic Foot Ulcer
Meningkatnya kadar glukosa dalam darah mengakibatkan meningkatnya
beberapa enzim seperti aldose reduktase dan sorbitol dehidrogenase. Akibat
meningkatnya glukosa, sintesis dari myoinositol menjadi berkurang dan
menyebabkan terganggunya penghantaran pada saraf. Awalnya dikarenakan pasien

27
kesulitan untuk mengenali rangsangan nyeri apabila terjadi luka karena kerusakan
saraf sensori. Selain itu, karena pada penderita diabetes mellitus viskositas darah
sangat tinggi akibat tingginya kadar glukosa dalam darah sehingga semakin
memperlambat sirkulasi darah ke daerah perifer kaki yang jauh dari jantung. Sirkulasi
darah yang terhambat mengakibatkan proses fagositosis dan perbaikan jaringan
menjadi terhambat karena leukosit maupun faktor-faktor pembekuan darah sulit
menjangkau jaringan yang rusak. Sel-sel di daerah tersebut akhirnya menjadi
nekrosis. Apabila nekrosis dibiarkan dalam jangka waktu yang lama akan memicu
terjadinya infeksi bakteri sehingga memperparah kerusakan jaringan yang ada.
Pasien diabetes yang terluka pada bagian saraf berada pada risiko tinggi untuk
terkena cedera ringan tanpa menyadari terjadinya cedera tersebut sampai menjadi
ulcer. Diabetes mellitus yang mengenai saraf otonom dapat menyebabkan kulit
menjadi mudah kering dan pecah-pecah sehingga menjadi rentan terhadap infeksi.
Pasien foot ulcer pada awalnya tidak sadar telah terkena ulserasi pada kakinya karena
tidak terlihat oleh pasien (dibawah kaki). Oleh karena itu dapat dijelaskan bahwa
penyakit ini dinamakan “cermin diabetes”, karena pasien tidak sadar sudah terjadi
ulserasi pada kakinya. Penderita foot ulcer secara tidak sadar dapat menggaruk bagian
kaki hingga terjadinya luka, hal ini dikarenakan kulit pasien yang kering dan secara
tidak sadar memicu pasien untuk menggaruk bagian tersebut. Luka yang muncul
biasa disebut “gula kering”, sedangkan bila luka tersebut terkena infeksi maka akan
menimbulkan “gula basah” yaitu bagian luka pada penderita menjadi berair.

2) Makroangiopati
Yaitu mengenai pembuluh darah besar, pembuluh darah jantung, pembuluh
darah tepi dan pembuluh darah otak. Pada sistem kardiovaskuler dipengaruhi oleh
diabetes melitus kronik. Terjadi kerusakan mikrovaskuler terjadi di arteri besar dan
sedang.
Komplikasi mikrovaskuler terjadi akibat penebalan membran basal pembuluh-
pembuluh kecil. Penyebab penebalan tersebut tidak diketahui, tetapi tampaknya
berkaitan langsung dengan tingginya kadar glukosa darah. Penebalan mikrovaskuler

28
menyebabkan iskemia dan penurunan penyaluran oksigen dan zat-zat gizi ke jaringan.
Selain itu, hemoglobin terglikosilasi memiliki afinitas terhadap oksigen yang tinggi
sehingga oksigen terikat lebih erat ke hemoglobin. Hal ini menyebabkan ketersediaan
oksigen untuk jaringan berkurang. Asidosis menyebabkan penurunan 2,3-
difosfogliserat sel darah merah, yang juga menyebabkan peningkatan afinitas
hemoglobin terhadap oksigen sehingga semakin kecil kemungkinan jaringan
teroksigenasi secara adekuat. Hipoksia kronik dapat menyebabkan timbulnya
hipertensi karena jantung dipaksa meningkatkan curahnya sebagai usaha untuk
menyalurkan lebih banyak oksigen ke jaringan yang iskemik. Sirkulasi mikrovaskuler
yang buruk akan menganggu reaksi imun dan peradangan karena kedua hal ini
bergantung pada perfusi jaringan yang baik untuk menyalurkan sel-sel imun dan
mediator-mediator peradangan.
Komplikasi makrovaskuler timbul terutama akibat aterosklerosis. Komplikasi
makrovaskuler ini ikut berperan menyebabkan gangguan aliran darah dan
meningkatkan mortalitas. Pada penyakit diabetes, terjadi kerusakan pada lapisan
endotel arteri. Kerusakan dapat disebabkan secara langsung oleh tingginya kadar
glukosa dalam darah yang sering dijumpai pada pasien-pasien diabetes. Akibat
kerusakan tersebut, permeabilitas sel endotel meningkat sehingga molekul yang
mengandung lemak masuk arteri. Kerusakan sel endotel akan mencetuskan reaksi
imun dan peradangan sehingga akhirnya terjadi pengendapan trombosit, makrofag,
dan jaringan fibrosa. Sel-sel otot polos berproliferasi. Penebalan dinding arteri
menyebabkan hipertensi, yang semakin merusak lapisan sel endotel.
a. Hiperlipidemia
Yaitu peningkatan kolesterol atau trigliserida serum di atas batas normal.
Resistensi insulin, pada kasus DM dapat menaikkan sintesis VLDL hati dan pada
gilirannya akan menaikkan kadar gliserida darah, dapat dikatakan kenaikan
trigliserida akibat pengaruh resistensi insulin terhadap lipoprotein lipase. Kenaikan
VLDL ini akan sedikit banyak juga akan menyebabkan kenaikan LDL karena pada
proses metabolismenya dari VLDL melalui IDL akan terbentuk LDL. Pada penderita
diabetes terjadinya defisiensi insulin menyebabkan peningkatan lipolisis yang

29
merangsang aktivitas lipase di jaringan lemak akibat bertambahnya pasokan asam
lemak bebas ke hati. Sehingga sintesis VLDL-trigliserida oleh hati meningkat. salah
satu fungsi insulin meningkatkan aktivitas lipoprotein lipase sehingga jumlah asam
lemak yang berasal dari lipoprotein digunakan untuk sel. Akan tetapi pada penderita
diabetes terjadi peningkatan lipolisis VLDL-trigliserida yang menyebabkan
meningkatnya asam lemak bebas dalam plasma/darah.
b. Aterosklerosis
Suatu penyakit yang ditandai dengan penebalan dan hilangnya elastisitas
dinding arteri. Menyebabkan stroke, angina pektoris, dll. Pembuluh koroner
merupakan penyebab arteria koronaria yang paling sering ditemukan. Aterosklerosis
menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan fibrosa dalam arteria koronaria,
sehingga secara progresif mempersempit lumen pembuluh darah. Bila lumen
menyempit, maka resistensi terhadap aliran darah akan meningkat, dan
membahayakan alirah darah miokardium. Bila penyakit ini semakin lanjut, maka
penyempitan lumen akan diikuti perubahan vaskuler yang mengurangi kemampuan
pembuluh untuk melebar. Jadi, keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
menjadi penting dan membahyakan miokardium distal dari daerah lesi.
c. Hipertensi
Hipertensi lebih banyak ditemukan pada pasien DM, pasien harus
mempertahankan tekanan darah tidak lebih dari 140/90 mmHg. Hipertensi, suatu
kondisi di mana terjadi peningkatan tekanan darah arteri yang persisten. Mekanisme
terjadinya, pertama pasien diabetes mengalami peningkatan viskositas darah, lalu
suplai oksigen dan nutrisi ke jaringan menurun, terjadi hipoksia, lalu terjadi
peningkatan curah jantung, dan terjadilah hipertensi.
d. Angina pektoris
Angina pektoris adalah sindrom klinis dimana pasien mendapat serangan nyeri
di dada yang seringkali menjalar ke lengan kiri. Serangan bisanya terjadi selama 30
detik sampai 30 menit. Angina pektoris adalah nyeri hebat yang berasal dari jantung
dan terjadi sebagai respon terhadap suplai oksigen yang tidak adekuat ke sel-sel
miokardium. Apabila arteri koroner kaku atau menyempit karena terjadi

30
aterosklerosis dan tidak dapat berdilatasi untuk merespon meningkatnya kebutuhan
oksigen, maka timbul iskemia miokard. Sel-sel miokard akan melakukan
metabolisme secara anaerob untuk menghasilkan energi dan menghasilkan asam
laktat sebagai produk sampingan. Asam laktat akan menurunkan pH miokardium
sehingga timbul nyeri pada dada. Nyeri hebat di jantung yang dapat menyebar ke
lengan kiri, ke punggung, ke rahang, atau ke daerah abdomen. Selain itu, terjadi pula
penimbunan ADP, karena kurangnya O2 ADP tidak diubah menjadi ATP, ADP
merangsang ectorism ectoris constricting factor menyebabkan kontraksi otot jantung
sehingga memperparah rasa nyeri pada angina pektoris.
Abnormalitas ectorism glukosa pada penderita DM menimbulkan komplikasi
makrovaskuler yang menyerang pembuluh darah besar jantung, akhirnya komplikasi
tidak tertangani dan terjadi aterosklerosis. Aterosklerosis yang terjadi pada pembuluh
darah jantung, terjadi penurunan supply oksigen ke jantung pada proses anaerob
sehingga terjadi iskemia. Lalu karena kurangnya oksigen yang dibutuhkan jantung,
menyebabkan hipoksia sehingga terjadi pembentukan asam laktat di jantung (ADP
tak dikonversi menjadi ATP) yang lama-lama terjadi penumpukan laktat di jantung
(ADP tinggi bukan karena ATP) hingga menyebabkan angina pektoris.
e. Iskemia
Kebutuhan akan oksigen yang melebihi kapasitas oksigen oleh pembuluh yang
terserang penyakit menyebabkan iskemia miokardium lokal. Iskemia bersifat
sementara akan menyebabkan perubahan reversible pada tingakat sel dan jaringan
dan menekan fungsi miokardium.
f. Gagal jantung kongestif
Gagal jantung kongestif merupakan kongesti sirkulasi akibat disfungsi
miokardium. Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menimbulkan kongesti
pada vena pulmonalis, sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan
mengakibatkan kongesti vena sistemik. Kegagalan pada kedua ventrikel dinamakan
gagal biventrikel. Manifestasi klinis gagal jantung mencerminkan derajat kerusakan
miokardium dan kemampuan serta besarnya respon kompensasi.
g. Glaukoma

31
Yaitu penyakit mata yang bercirikan peningkatan cairan-cairan mata
intraokuler. Hal ini disebabkan oleh cairan mata terbentuk di mukosa tipis di
belakang pupil dan melalui liang pupil. Bila cairan mata ini tidak dapat keluar dari
ruang mata depan karena penyumbatan, maka tekanan intra okuler akan meningkat.
Peningkatan pada bola mata disebabkan oleh tekanan darah yang tinggi. Faktor yang
mempengaruhi tekanan darah adalah volume pembuluh darah dan viskositas darah.
h. Infark miokard
Yaitu proses kerusakan atau kematian sel-sel miokardium dikarenakan sel-sel
miokardium tidak mendapatkan suplai oksigen dari darah, yang disebabkan oleh
sumbatan plak dan trombus (aterosklerosis). Gejala klinisnya nyeri dada, mual,
muntah, lemas, kulit dingin dan pucat, dan cemas. Awalnya terjadi aterosklerosis.
Plak mempersempit pembuluh darah perifer jantung. Plak ruptur, bekuan darah pada
permukaan plak. Aliran darah terhambat, suplai oksigen ke miokard menurun. Terjadi
iskemia. Lalu terjadilah infark miokard.
i. Stroke
Penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang ditandai dengan
kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena berkurangnya aliran
darah yang menyebabkan berkurangnya supply oksigen ke otak. Stroke akibat DM
sering dijumpai pada diabetes tipe 2 yang terjadi akibat aterosklerosis pembuluh-
pembuluh darah otak dan hipertensi lalu pembuluh darah menjadi lemah dan akhirnya
pecah. Trombus yang dihasilkan pada aterosklerosis dapat menyumbat pembuluh
arteri otak. Penyumbatan tersebut menyebabkan hipoksia. Hipoksia berkepanjangan
menyebabkan cidera dan kematian sel-sel neuron. Kerusakan otak karena stroke,
terjadi akibat pembengkakan dan edema yang timbul dalam 24-72 jam pertama
setelah kematian sel-sel neuron.
3) Lain-lain
a. Katarak diabetikum
Katarak merupakan timbulnya kekeruhan pada seluruh atau sebagian lensa
mata. Katarak diabetikum atau katarak akibat kondisi diabetes terjadi karena
penumpukan sorbitol pada lensa mata. Pada kondisi diabetes kadar glukosa pada

32
humor akuos tinggi, sehingga glukosa dapat berdifusi ke lensa mata dan akan
dikonversi oleh enzim aldosa reduktase menjadi sorbitol, sorbitol tidak dapat
berdifusi dan tidak dapat dimetabolisme sehingga akan menyebabkan penumpukan
sorbitol yang menimbulkan kekeruhan pada lensa mata
b. Infeksi jamur
Lebih dari sepertiga pasien diabetes mengalami beberapa tipe manifestasi kulit
selama perjalanan penyakitnya. Metabolisme karbohidrat yang abnormal,
arterosklerosis, mikroangiopati, degenerasi neuron, dan mekanisme tubuh yang lemah
berperan aktif dalam patogenesis komplikasi kutaneus. Infeksi kulit terutama terjadi
pada bagian-bagian tubuh yang basah dan hangat seperti ketiak, lipatan paha,
skrotum, atau lipatan-lipatan di bawah payudara. Infeksi paling sering terjadi pada
pasien diabetes. Salah satu contoh manifestasi kutaneus yang terjadi adalah
kandidiasis. Kondisi kandidiasis pada penderita diabetes selain pada kulit, jumlah
candida albicans yang jauh melebihi normal juga dapat diperoleh dari saliva pasien
diabetes. Hal ini mungkin diakibatkan oleh peningkatan kadar glukosa dan penurunan
faktor kemotaksis dalam saliva, perubahan fungsi neutrofil, dan penurunan aliran dan
volume saliva.
c. Kerusakan pada gigi (periodontitis)
Terjadinya penurunan aliran darah yang mengandung oksigen akan
meningkatkan pertumbuhan bakteri anaerob, dan itu rawan infeksi. Poliuria (cairan
tubuh yang banyak keluar) akan menimbulkan penurunan produksi saliva. Mulut
menjadi kering dan fungsi saliva sebagai pembilas sisa makanan menurun dan
terakumulasi plak dan karang gigi. Faktor pencetusnya, akumulasi plak, karang gigi,
pertumbuhan bakteri dan penurunan aliran darah pembawa nutrisi akan merusak
jaringan periodontal, akan menyebabkan gusi tidak lagi melekat pada gigi. Tulang
menjadi rusak dan menyebabkan gigi menjadi goyang. Tanda dan gejalanya adalah
gusi berdarah, warna gusi mengkilat, kantong gusi menjadi dalam, kerusakan tulang
di sekitar gigi, gigi mudah goyang dan lepas.

33

Anda mungkin juga menyukai