TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Self-Compassion
2.1.1 Definisi Self-Compassion
Self-compassion merupakan kemampuan untuk menjadi orang yang baik
dan pengertian terhadap diri sendiri dalam hal rasa sakit atau kegagalan daripada
bersikap kritis terhadap diri sendiri (Neff, 2003). Menurut Neff (dalam
Suprabhawanti & Widiasavitri, 2018), self-compassion juga memiliki pengertian
bahwa penderitaan, kegagalan, dan kekurangan merupakan bagian dari kehidupan
manusia. Self-compassion juga dapat mendorong emotional coping skill yang
lebih baik, seperti menjadi lebih memahami perasaan diri dan kemampuan untuk
memperbaiki keadaan emosi negatif.
1. Jenis Kelamin
2. Usia
3. Kepribadian
Neff dan McGehee (2010) menemukan bahwa kritik dari orang tua dan
hubungan orang tua yang penuh dengan masalah terbukti berkolerasi negatif
dengan terbentuknya self-compassion pada masa muda. Sebaliknya, bagi
individu yang merasa diakui dan diterima oleh orang tuanya menyatakan
bahwa tingkat self-compassion-nya lebih tinggi daripada yang tidak.
1. Self-Kindness vs Self-Judgement
oleh dirinya dengan penuh kebaikan, maka akan menghasilkan emosi yang
positif. Hal ini bertolak belakang dengan definisi self-judgment yang adalah
menilai, menghakimi, dan mengkritik dirinya sendiri.
3. Mindfulness vs Over-Identification
a. Dimensi Responsiveness
Responsiveness orang tua (disebut juga sebagai kehangatan orang tua atau
dukungan atau penerimaan) mengacu pada perluasan yang orang tua secara
sengaja menumbuhkan individualitas, pengaturan diri (self-regulation) dan
penegasan diri (self-assertion) dengan menjadi selaras, mendukung dan
menyetujui kebutuhan dan tuntutan khusus anak-anak (Baumrind, 1971).
b. Dimensi Control/Demandingness
Masing-masing jenis pola asuh berbeda dari nilai, praktik, dan perilaku
pola asuh. Pola asuh orangtua dikategorikan berdasarkan tinggi atau
rendahnya control/demandingness dan responsiveness (Gafoor & Kurukkan,
2014). Pada Tabel 2.1 dijelaskan mengenai pola asuh orangtua yang
dikategorikan berdasarkan tinggi atau rendahnya responsiveness dan
control/demandingness.
Control/Demandingnes Control/Demandingness
s Rendah
Tinggi
Otoritatif Permisif
Kontrol yang tinggi dan Sering menunjukan
konsisten kasih sayang dan
Memonitor dan keramahan
menetapkan standar Jarang menerapkan
yang jelas terhadap aturan dan larangan
Responsivenes perilaku anak Dukungan yang tinggi
s Menawarkan Menempatkan diri
Tinggi komunikasi demokratis sebagai teman
Menuntut daripada orangtua
kedewasaan sesuai Membiarkan anak
umur dalam membuat keputusan
bersikap sendiri
Mendorong anak agar Jarang menghukum
mandiri
Tabel 2.1 (Sambungan)
Otoriter Pengabaian
Tegas dalam Perilaku yang
mengontrol anak kurang
Menetapkan memperhatikan
kepatuhan penuh Mengabaikan anak
tanpa pertanyaan dari Interaksi yang
anak sedikit dengan anak
Tidak siap menerima
individualitas anak
Responsivenes Ketidakaptuhan
s dibalas melaui
Rendah pendisiplinan dengan
hukuman yang tegas
Sedikit mengabaikan
kebutuhan anak
Komunikasi yang
minim antar anak dan
orangtua
Perilaku sangat
mengatur
a. Kepribadian Orangtua
b. Keyakinan
1. Penyesuaian
2. Usia Orangtua
Orangtua yang berusia muda cenderung lebih demokratis dan permisif bila
dibandingkan dengan orangtua yang berusia tua.
3. Jenis Kelamin
Ibu pada umumnya lebih mengerti anak dan mereka cenderung kurang
otoriter bila dibandingkan dengan bapak.
4. Status Sosial-Ekonomi
8. Temperamen
9. Kemampuan Anak
Anak yang mengalami rasa takut dan kecemasan biasanya tidak diberi
hukuman oleh orangtua. Tetapi sebaliknya, jika anak menentang dan
berperilaku agresif kemungkinan orangtua akan mengasuh dengan pola
otoriter.
2.3 Remaja
2.3.1 Definisi Remaja
Erik Erickson (dalam Hapsari, 2016) membagi tahap perkembangan
menjadi delapan tahap yang saling berurutan sepanjang hidup. Masing-masing
tahap memiliki aspek psikososial, psikoseksual, dan keterampilan ego. Tahap
remaja yang berada pada rentang usia 12-20 tahun, memiliki krisis
psikososial identitas versus kekacauan identitas. Aspek psikoseksual remaja
berada pada tahap pubertas, dan keterampilan egonya berpusat pada
kesetiaan.
Menurut Santrock (2003), masa remaja merupakan masa transisi dalam
rentang kehidupan manusia, menghubungkan masa kanak-kanak dan masa
dewasa. Santrock menjelaskan bahwa rentang usia remaja dimulai dari usia
10-12 tahun hingga 18-22 tahun. Konopka (dalam Pikunas, 1976) membagi
masa remaja menjadi remaja awal (12-15 tahun), remaja pertengahan (15-18
tahun), dan remaja akhir (19-22 tahun). Individu yang sedang dalam masa
remaja akan mengalami perubahan-perubahan dalam dirinya yaitu perubahan
fisik dan emosi. Pada masa remja ini, selain perubahan yang terjadi dalam diri
remaja, terdapat pula perubahan lain seperti sikap orang tua, anggota keluarga
lain, guru, teman sebaya, maupun masyarakat pada umumnya. Selain itu, pada
masa remaja tersebut akan muncul berbagai konflik yang menurut Walsh
(2006), konflik-konflik ini akan menyebabkan sesorang menjadi tertekan
secara emosional dan menimbulkan perasaan tidak nyaman pada dirinya.
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan
dapatmengakhiri kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terkahir
dari individuuntuk memecahkan masalah yang dihadapi (Keliat 1991 : 4). Risiko
bunuh diri dapatdiartikan sebagai resiko individu untuk menyakitidiri sendiri,
mencederai diri, sertamengancam jiwa. (Nanda, 2012)
Banyak penyebab tentang alasan seseorang melakukan bunuh diri :
4. Perasaan marah/ bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri
sendiri.
Semua prilaku bunuh diri adalah serius apapun tujuannya. Orang yang siap
membunuh diri adalah orang yang merencanakan kematian dengan tindak
kekerasan, mempunyai rencana spesifik dan mempunyai niat untuk
melakukannya. Prilaku bunuh diri biasanya dibagi menjadi 3 kategori:
1. Ancaman bunuh diri Peningkatan verbal atau nonverbal bahwa orang tersebut
mempertimbangkan untuk bunuh diri. Ancaman menunjukkan ambevalensi
seseorang tentang kematian kurangnya respon positif dapat ditafsirkan
seseorang sebagai dukungan untuk melakukan tindakan bunuh diri.
2. Upaya bunuh diri Semua tindakan yang diarahkan pada diri yang dilakukan
oleh individu yang dapat mengarah pada kematian jika tidak dicegah.
2. Bunuh diri Mungkin terjadi setelah tanda peningkatan terlewatkan atau
terabaikan. Orang yang melakukan percobaan bunuh diri dan yang tidak
langsung ingin mati mungkin pada mati jika tanda-tanda tersebut tidak
diketahui tepat pada waktunya. Percobaan bunuh diri terlebih dahulu individu
tersebut mengalami depresi yang berat akibat suatu masalah yang menjatuhkan
harga dirinya
Faktor Prediposisi
Pengetahuan Orang tua
Pola asuh yang
dirasakan orang tua di Pola Asuh
Tingkat self
masa lalu yang
compassion pada
Pengaruh lingkungan diterapkan
anak Usia Sekolah
sosial orang tua pada
Pengaruh budaya yang remaja
dianut
Faktor Presipitasi :
Stressor
2.7 Hipotesis
Pada penelitian ini, peneliti mengajukan sebuah hipotesis yaitu ada
hubungan yang positif antara pola asuh orang tua dengan self-compassion anak.
Pola asuh demokratis akan membentuk self-compassion yang lebih adekuat
dibandingkan dengan pola asuh permisif dan otoriter, karena pola asuh demokratis
lebih banyak memberikan kebebasan kepada anak tanpa melepaskan pengawasan
kepada anak tersebut. Pola asuh demokratis memberikan kesempatan kepada ank
untuk memilih apa yang baik bagi dirinya, sehingga anak tersebut akan cenderung
lebih terbuka , peduli, bersikap baik pada dirinya, dan tidak menghakimi diri
sendiri.