Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Self-Compassion
2.1.1 Definisi Self-Compassion
Self-compassion merupakan kemampuan untuk menjadi orang yang baik
dan pengertian terhadap diri sendiri dalam hal rasa sakit atau kegagalan daripada
bersikap kritis terhadap diri sendiri (Neff, 2003). Menurut Neff (dalam
Suprabhawanti & Widiasavitri, 2018), self-compassion juga memiliki pengertian
bahwa penderitaan, kegagalan, dan kekurangan merupakan bagian dari kehidupan
manusia. Self-compassion juga dapat mendorong emotional coping skill yang
lebih baik, seperti menjadi lebih memahami perasaan diri dan kemampuan untuk
memperbaiki keadaan emosi negatif.

Neff (dalam Suprabhawanti & Widiasavitri, 2018) menjelaskan bahwa


self- compassion berfokus pada kualitas pribadi individu, sehingga individu akan
menjadi lebih menghargai dan memperlakukan diri sendiri dengan lebih baik
tanpa perlu membandingkan diri dengan orang lain. Menurutnya, self-compassion
melibatkan kebutuhan untuk mengelola kesehatan diri dan well being, serta
mendorong inisiatif untuk membuat perubahan dalam kehidupan. Individu yang
memiliki self-compassion tidak mudah menyalahkan diri bila menghadapi
kegagalan, memperbaiki kesalahan, mengubah perilaku yang kurang produktif,
dan menghadapi tantangan baru. Individu yang memiliki self-compassion
termotivasi untuk melakukan sesuatu atas dorongan yang bersifat intrinsik, bukan
hanya karena berharap penerimaan lingkungan (Haryuni, 2019).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa self-compassion


menurut Neff adalah kemampuan untuk bersikap baik dan berbelas kasih
terhadapdiri sendiri dalam menerima kekurangan diri ataupun ketika menghadapi
kesulitan dalam rentang kehidupannya, serta memahami bahwa penderitaan,
kegagalan, dan kekurangan merupakan bagian dari fase kehidupan manusia.

2.1.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Self-Compassion


Melalui studi yang dilakukan oleh Neff (2003) terdapat faktor-faktor yang
dapat memengaruhi self-compassion yaitu:

1. Jenis Kelamin

Menurut Neff, self-compassion dipengaruhi oleh jenis kelamin. Penelitian


menunjukkan bahwa perempuan jauh lebih penuh pemikiran dibandingkan
laki-laki, sehingga perempuan menderita depresi dan kecemasan dua kali
lipat dibandingkan laki-laki. Meskipun perbedaan ini lebih berasal dari faktor
psikologis, namun budaya juga memiliki peran dalam perbedaan ini.
Perempuan dikatakan mempunyai sejarah yang menunjukkan kurangnya
kekuasaan di dalam hubungan bermasyarakat, sehingga mereka memiliki
kontrol yang kurang mengenai apa yang terjadi pada diri mereka, sehingga
mereka memiliki kewaspadaan yang lebih terhadap adanya suatu bahaya atau
ancaman.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Neff, perempuan cenderung memiliki


self-compassion yang rendah dibandingkan laki-laki. Hal itu terjadi karena
perempuan cenderung lebih sering melakukan kritik dan sering menyalahkan
diri sendiri, merasa sendirian saat menghadapi suatu masalah dan sering lebih
fokus pada kegagalan masa lalu serta terbawa emosi negatif. Di sisi lain,
perempuan juga menunjukkan kepedulian yang lebih, empati, dan membantu
lebih banyak kepada orang lain dibandingkan laki-laki. Perempuan cenderung
bertindak sebagai caregiver, membuka hati mereka untuk orang lain, namun
mereka tidak menanamkan rasa peduli untuk diri sendiri.

2. Usia

Terdapat beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa self-


compassion terasosiasi secara signifikan dengan tingkat usia. Latar belakang

keterhubungan ini dianalisis oleh Neff berdasarkan teori perkembangan


Erikson. Orang-orang yang telah mencapai tahapan integrity akan lebih
menerima kondisi yang terjadi pada dirinya, sehingga dapat memiliki level
self-compassion lebih tinggi. Tahapan perkembangan integrity dicirikan
dengan seseorang yang dapat melakukan penerimaan diri dengan positif. Neff
dan McGeehee juga melakukan penelitian pada remaja dan dewasa muda.
Hasilnya menunjukkan bahwa self-compassion berhubungan dengan negative
affect, seperti sifat remaja yang mudah mengalami kecemasan atau depresi
(Neff & McGehee, 2010).

3. Kepribadian

The Big Five Personality merupakan dimensi dari kepribadian


(personality) yang dipakai untuk menggambarkan kepribadian individu. Big
Five adalah taksonomi kepribadian yang disusun berdasarkan pendekatan
lexical, yaitu mengelompokkan kata-kata atau bahasa yang digunakan di
dalam kehidupan sehari-hari untuk menggambarkan ciri-ciri individu yang
membedakannya dengan individu lain. Allport dan Odbert berhasil
mengumpulkan 18.000 istilah yang digunakan untuk membedakan perilaku
seseorang dengan orang lain. Daftar ini menginspirasi Cattell untuk
menyusun model multidimensional dari kepribadian. Dari ciri sifat ini,
Cattell mengelompokkannya kedalam
4.500 ciri sifat, kemudian melakukan analisis faktor sehingga diperoleh 12
faktor.

Karya besar Cattell ini merupakan pemicu bagi peneliti-peneliti


kepribadian lainnya, baik untuk meneliti maupun menganalisis ulang data
dari kalangan yang bervariasi. Data ini mulai dari anak-anak hingga dewasa.
Khusus subjek dewasa, latar belakang pekerjaan mereka antara lain adalah
supervisor, guru, dan klinisi yang berpengalaman. Dari sinilah diperoleh lima
faktor yang sangat menonjol, yang kemudian diberi nama oleh Goldberg
dengan Big Five (Utami & Si, 2016).

4. The Role of Parent

Keluarga merupakan lingkungan pertama anak mendapatkan pendidikan.


Dengan begitu, kondisi keluarga yang harmonis secara teori berpengaruh
pada perkembangan anak di masa depan. Neff dan Mc Gehee (2010)
menyatakan bahwa proses dalam keluarga (seperti dukungan keluarga dan
sikap orang tua) akan berkontribusi dalam menumbuhkan self-compassion.
Ketika mengalami penderitaan, seseorang memperlakukan dirinya
kemungkinan besar dengan cara meniru dari hal yang diperlihatkan orang
tuanya (modelling of parent). Jika orang tua menunjukkan sikap peduli dan
perhatian, maka anak akan belajar untuk memperlakukan dirinya dengan self-
compassion. Pengalaman dini di dalam keluarga diduga sebagai faktor kunci
perkembangan self- compassion pada individu.

Neff dan McGehee (2010) menemukan bahwa kritik dari orang tua dan
hubungan orang tua yang penuh dengan masalah terbukti berkolerasi negatif
dengan terbentuknya self-compassion pada masa muda. Sebaliknya, bagi
individu yang merasa diakui dan diterima oleh orang tuanya menyatakan
bahwa tingkat self-compassion-nya lebih tinggi daripada yang tidak.

Dari uraian di atas, faktor-faktor yang memengaruhi self-compassion,


yaitu jenis kelamin, usia, kepribadian, dan peran orangtua.

2.1.3 Dimensi Self-Compassion


Neff (2003) mengemukakan bahwa self-compassion dapat dipahami
melalui 3 dimensi, yaitu:

1. Self-Kindness vs Self-Judgement

Self-kindness adalah kemampuan individu untuk memahami dan menerima


diri apa adanya serta memberikan kelembutan, bukan menyakiti dan
menghakimi dirinya sendiri. Sebagian besar dari hal ini, individu melihatnya
sebagai sesuatu yang normal. Individu mengakui masalah dan kekurangannya
tanpa ada penilaian atau kritik pada diri, sehingga individu bisa melakukan apa
yang diperlukan untuk membantu dirinya. Ketika kenyataan tersebut diterima

oleh dirinya dengan penuh kebaikan, maka akan menghasilkan emosi yang
positif. Hal ini bertolak belakang dengan definisi self-judgment yang adalah
menilai, menghakimi, dan mengkritik dirinya sendiri.

2. Common Humanity vs Isolation

Common humanity adalah kesadaran individu dalam memandang


kesulitan, kegagalan, dan tantangan merupakan bagian dari hidup manusia dan
merupakan sesuatu hal yang wajar dan dialami oleh semua orang. Pengakuan
tersebut saling berhubungan antar kehidupan yang membantu untuk
membedakan kasih sayang antara diri sendiri dan penerimaan diri atau cinta
diri. Isolation adalah individu berfokus pada kekurangan sehingga tidak dapat
melihat kedepannya serta merasa bahwa dirinya lemah dan tidak berharga.
Ketika individu melihat sesuatu dalam dirinya yang tidak disukai, maka
individu akan merasa orang lain lebih sempurna dibandingkan dengan dirinya.

3. Mindfulness vs Over-Identification

Mindfulness adalah menghadapi kenyataan tanpa menghakimi terhadap


apa yang terjadi di situasi secara jelas dan menerimanya dengan baik. Individu
perlu melihat apa adanya, tidak lebih, tidak kurang untuk merespon terhadap
situasi dengan compassion. Mindfulness adalah menyadari pengalaman yang
terjadi dengan jelas dan sikap yang seimbang sehingga tidak mengabaikan
ataupun merenungkan aspek-aspek yang tidak disukai baik di dalam diri atau
di dalam kehidupannya. Over-identification adalah reaksi ekstrim atau reaksi
berlebihan individu ketika menghadapi suatu permasalahan, apabila individu
memperhatikan, ketakutan, dan cemas. Individu menyelamatkan diri dari
banyak rasa sakit yang tidak beralasan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dimensi self-compassion menurut Neff


(2003) adalah self-kindness vs self-judgment, common humanity vs isolation, dan
mindfulness vs over-identification.
2.1.4 Dampak Self-Compassion
Menurut Neff & Germer (2013) self-compassion memiliki beberapa
manfaat, yaitu menurunkan kecemasan dan depresi individu. Sejalan dengan
hal tersebut Hidayati & Maharani (dalam Hidayati, 2016) mengemukakan
bahwa individu yang mempunyai self-compassion tinggi memiliki ciri-ciri:

1. Mampu menerima diri sendiri baik kelebihan maupun kelemahannya.


2. Mampu menerima kesalahan atau kegagalan sebagai sebuah hal umum
yang juga dialami oleh orang lain.
3. Mempunyai kesadaran tentang keterhubungan antara segala sesuatu.

Breines & Chen dalam penelitiannya menjelaskan bahwa orang-orang


yang dapat menggunakan self-compassion dalam menghadapi kelemahan diri
mereka, memiliki motivasi yang besar untuk meningkatkan dan mengubah
perilaku menjadi lebih baik. Self-compassion dapat membantu individu lebih
mengenal dirinya sendiri, lebih menyayangi dirinya sendiri, sehingga akan
mempermudah individu dalam menghadapi kesulitan yang sedang dialami
(Hasanah & Hidayati, 2017).

Menurut Neff & Germer (2013) setelah melakukan penelitian dalam


beberapa dekade terakhir, self-compassion menunjukan beberapa manfaat
untuk kesejahteraan. Individu yang memiliki self-compassion yang tinggi
cenderung untuk mendapatkan kebahagiaan yang lebih baik, kepuasan hidup,
motivasi, hubungan serta kesehatan yang lebih baik, dan kurangnya
kecemasan serta depresi.

2.2 Pola Asuh Orangtua


2.2.1 Definisi Pola Asuh Orangtua
Menurut Hurlock (1998), pola asuh orangtua adalah suatu metode disiplin
yang diterapkan orangtua terhadap anaknya. Metode disiplin ini meliputi dua
konsep yaitu konsep negatif dan konsep positif. Menurut konsep negatif,
disiplin berarti pengendalian dengan kekuasaan. Hal ini merupakan suatu
bentuk pengekangan melalui cara yang tidak disukai dan menyakitkan.
Kemudian, menurut konsep positif, disiplin berarti pendidikan dan bimbingan
yang lebih menekankan pada disiplin dan pengendalian diri. Hurlock
menyebutkan bahwa fungsi pokok dari pola asuh orangtua adalah untuk
mengajarkan anak menerima pengekangan- pengekangan yang diperlukan dan
membantu mengarahkan emosi anak ke dalam jalur yang berguna dan
diterima secara sosial.

Pendapat Kohn mengenai pola asuh, yaitu merupakan sikap orangtua


dalam berinteraksi dengan anak–anaknnya. Sikap orangtua ini meliputi cara
orangtua memberikan aturan–aturan, hadiah maupun hukuman, cara orangtua
menunjukkan otoritasnya, dan cara orangtua memberikan perhatian serta
tanggapan terhadap anaknya (Kohn, 1963).

Mussen (1994) mengemukakan bahwa pola asuh adalah cara yang


digunakan dalam mencoba berbagai strategi untuk mendorong anak mencapai
tujuan yang diinginkan. Tujuan tersebut antara lain, pengetahuan, nilai moral,
standar perilaku yang harus dimiliki anak saat dewasa nanti.

Menurut Baumrind (1971), pola asuh merupakan apa yang dilakukan


orangtua itu sendiri dan bagaimana orangtua dalam memperlakukan anak-
anaknya dengan gaya mengasuh dan membesarkan mereka. Baumrind (dalam
Santrock, 2007) juga menjelaskan bahwa pola asuh orangtua adalah sikap
orangtua terhadap anak dengan mengembangkan aturan-aturan dan
mencurahkan kasih sayang kepada anak. Baumrind berpendapat, bahwa pola
asuh pada prinsipnya merupakan parental control, yakni cara orang tua
mengontrol, membimbing, dan mendampingi anak– anaknya untuk
melaksanakan tugas–tugas perkembangannya menuju pada proses
pendewasaan.

Berdasarkan uraian di atas, definisi pola asuh orangtua yang akan


digunakan dalam penelitian ini adalah menurut Baumrind, yaitu pola asuh
orangtua merupakan metode mengasuh dan membesarkan anak yang
digunakan orangtua dalam mengontrol, membimbing, dan mendampingi
anak–anaknya untuk melaksanakan tugas–tugas perkembangannya menuju
pada proses pendewasaan serta mencurahkan perhatian dan kasih sayang
kepada anaknya.
2.2.2 Jenis-Jenis Pola Asuh Orangtua
Baumrind (1971) membagi pola asuh menjadi tiga macam, yaitu pola
asuh authoritarian (otoriter), pola asuh authoritative (otoritatif), dan pola asuh
permissive (permisif). Pada tahun 1983, Eleanor Maccoby dan John Martin
memperluas sistem kategori Baumrind dengan mengusulkan jenis pola asuh
yang juga berpengaruh, yaitu pola asuh neglecting (pengabaian). Mereka
menekankan dua dimensi pada keempat pola asuh tersebut, yakni
responsiveness dan control/demandingness (Bee & Boyd, 2010).

a. Pola asuh Authoritarian (Otoriter)

Pola asuh authoritarian (otoriter) menurut Baumrind (1971) adalah gaya


pola asuh dimana orang tua membuat aturan dan kontrol yang harus dipatuhi
oleh anak tanpa berdiskusi terlebih dahulu mengenai aturan tersebut. Orangtua
membuat anak untuk mematuhi standar perilaku yang telah dibuat dan
menghukum anak dengan tegas jika tidak mematuhi aturan tersebut. Orangtua
memberikan jarak kepada anak dan kurang hangat. Bentuk pola asuh
authoritarian (otoriter) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Memperlakukan anaknya dengan aturan yang tegas.


2. Suka menghukum anak yang dianggap tidak sesuai dengan aturan
orang tua.
3. Kurang hangat kepada anak.
4. Tidak membiarkan anak mengutarakan pendapat atas apa yang dia
inginkan.
5. Mudah menyalahkan segala aktivitas anak terutama ketika anak ingin
berlaku kreatif.
6. Jarang memberikan pujian ketika anak berprestasi atau melakukan
sesuatu yang baik.

b. Pola asuh Permissive (Permisif)

Pola asuh ini memperlihatkan bahwa orangtua cenderung memberikan


banyak kebebasan kepada anaknya dan kurang memberikan kontrol. Orangtua
banyak bersikap membiarkan apa saja yang dilakukan anak. Orangtua bersikap
damai dan selalu menyerah pada anak, untuk menghindari konfrontasi.
Orangtua kurang memberikan bimbingan dan arahan kepada anak. Anak
dibiarkan berbuat sesuka hatinya untuk melakukan apa saja yang mereka
inginkan. Orangtua tidak peduli apakah anaknya melakukan hal-hal yang
positif atau negatif, yang penting hubungan antara anak dengan orangtua baik-
baik saja, dalam arti tidak terjadi konflik dan tidak ada masalah antara
keduanya. Gaya pola asuh permissive (permisif) mempunyai ciri–ciri sebagai
berikut:

1. Orangtua memberikan kebebasan kepada anak seluas mungkin.


2. Anak tidak dituntuk untuk belajar bertanggung jawab.
3. Anak diberi hak yang sama dengan orang dewasa, dan diberi
kebebasan yang seluas – luasnya untuk mengatur diri–sendiri.
4. Orangtua tidak banyak mengatur dan mengontrol, sehingga anak tidak
diberi kesempatan untuk mengatur diri sendiri dan kewenangan untuk
mengontrol dirinya sendiri.
5. Orangtua kurang peduli pada anak.

c. Pola asuh otoriter


Pola asuh otoriter merupakan cara mendidik anak dengan menggunakan
standar yang mutlak dimana pemimpin menentukan semua kebijakan, langkah
dan tugas yang harus dijalankan. Pola asuh otoriter mencerminkan sikap orang
tua yang bertindak keras dan cenderung diskriminatif. Pola asuh yang bersifat
otoriter ini juga ditandai dengan hukuman-hukuman yang dilakukan dengan
keras, anak juga diatur dengan berbagai macam aturan yang membatasi
perlakuannya. Perlakuan ini sangat ketat dan bahkan masih tetap diberlakukan
sampai anak tersebut menginjak dewasa.

2.2.3 Dimensi Pola Asuh Orangtua


Baumrind dan Maccoby & Martin (dalam Bee & Boyd, 2010)
mengemukakan, bahwa terdapat dua dimensi utama yang mendasari pola asuh
orangtua yaitu responsiveness dan control/demandingness.

a. Dimensi Responsiveness

Responsiveness orang tua (disebut juga sebagai kehangatan orang tua atau
dukungan atau penerimaan) mengacu pada perluasan yang orang tua secara
sengaja menumbuhkan individualitas, pengaturan diri (self-regulation) dan
penegasan diri (self-assertion) dengan menjadi selaras, mendukung dan
menyetujui kebutuhan dan tuntutan khusus anak-anak (Baumrind, 1971).

b. Dimensi Control/Demandingness

Demandingness orang tua (disebut juga sebagai kontrol perilaku) mengacu


pada klaim yang dibuat orang tua pada anak-anak untuk menjadi terintegrasi
ke seluruh keluarga, dengan tuntutan kedewasaan mereka, pengawasan, upaya
disiplin dan kemauan untuk menghadapi anak yang tidak patuh (Baumrind,
1971).

Masing-masing jenis pola asuh berbeda dari nilai, praktik, dan perilaku
pola asuh. Pola asuh orangtua dikategorikan berdasarkan tinggi atau
rendahnya control/demandingness dan responsiveness (Gafoor & Kurukkan,
2014). Pada Tabel 2.1 dijelaskan mengenai pola asuh orangtua yang
dikategorikan berdasarkan tinggi atau rendahnya responsiveness dan
control/demandingness.

Tabel 2. 1 Kategori Pola Asuh Orangtua

Control/Demandingnes Control/Demandingness
s Rendah
Tinggi
Otoritatif Permisif
 Kontrol yang tinggi dan  Sering menunjukan
konsisten kasih sayang dan
 Memonitor dan keramahan
menetapkan standar  Jarang menerapkan
yang jelas terhadap aturan dan larangan
Responsivenes perilaku anak  Dukungan yang tinggi
s  Menawarkan  Menempatkan diri
Tinggi komunikasi demokratis sebagai teman
 Menuntut daripada orangtua
kedewasaan sesuai  Membiarkan anak
umur dalam membuat keputusan
bersikap sendiri
 Mendorong anak agar  Jarang menghukum
mandiri
Tabel 2.1 (Sambungan)

Otoriter Pengabaian
 Tegas dalam  Perilaku yang
mengontrol anak kurang
 Menetapkan memperhatikan
kepatuhan penuh  Mengabaikan anak
tanpa pertanyaan dari  Interaksi yang
anak sedikit dengan anak
 Tidak siap menerima
individualitas anak
Responsivenes  Ketidakaptuhan
s dibalas melaui
Rendah pendisiplinan dengan
hukuman yang tegas
 Sedikit mengabaikan
kebutuhan anak
 Komunikasi yang
minim antar anak dan
orangtua
 Perilaku sangat
mengatur

2.2.4 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pola Asuh Orangtua


Menurut Hurlock (1999), ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi
pola asuh orangtua, yaitu karakteristik orangtua yang berupa:

a. Kepribadian Orangtua

Setiap orang berbeda dalam tingkat energi, kesabaran, intelegensi, sikap,


dan kematangannya. Karakteristik tersebut akan memengaruhi kemampuan
orangtua untuk memenuhi tuntutan peran sebagai orangtua dan bagaimana
tingkat sensifitas orang tua terhadap kebutuhan anak- anaknya.

b. Keyakinan

Keyakinan yang dimiliki orangtua mengenai pengasuhan akan


memengaruhi nilai dari pola asuh dan akan memengaruhi tingkah lakunya
dalam mengasuh anak-anaknya.
c. Persamaan dengan Pola Asuh yang Diterima Orangtua

Bila orangtua merasa bahwa orangtua mereka dahulu berhasil menerapkan


pola asuhnya pada anak dengan baik, maka mereka akan menggunakan teknik
serupa dalam mengasuh anak bila mereka merasa pola asuh yang digunakan
orangtua mereka tidak tepat, maka orangtua akan beralih ke teknik pola asuh
yang lain:

1. Penyesuaian

Penyesuaian dengan cara disetujui kelompok orangtua yang baru memiliki


anak atau yang lebih muda dan kurang berpengalaman lebih dipengaruhi
oleh apa yang dianggap anggota kelompok (bisa berupa keluarga besar,
masyarakat) merupakan cara terbaik dalam mendidik anak.

2. Usia Orangtua

Orangtua yang berusia muda cenderung lebih demokratis dan permisif bila
dibandingkan dengan orangtua yang berusia tua.

3. Jenis Kelamin

Ibu pada umumnya lebih mengerti anak dan mereka cenderung kurang
otoriter bila dibandingkan dengan bapak.

4. Status Sosial-Ekonomi

Orangtua dari kelas menengah dan rendah cenderung lebih keras,


mamaksa dan kurang toleran dibandingkan dengan orang tua dari kelas
atas.

5. Konsep Mengenai Peran Orangtua Dewasa

Orangtua yang mempertahankan konsep tradisional cenderung lebih


otoriter dibanding orang tua yang menganut konsep modern.

6. Jenis Kelamin Anak

Orangtua umumnya lebih keras terhadap anak perempuan daripada anak


laki-laki.
7. Usia Anak

Usia anak dapat memengaruhi tugas-tugas pengasuhan dan harapan


orangtua.

8. Temperamen

Pola asuh yang diterapkan orangtua akan sangat memengaruhi


temperamen seorang anak. Anak yang menarik dan dapat beradaptasi akan
berbeda pengasuhannya dibandingkan dengan anak yang cerewet dan
kaku.

9. Kemampuan Anak

Orangtua akan membedakan perlakuan yang akan diberikan untuk anak


yang berbakat dengan anak yang memiliki masalah dalam
perkembangannya.

10. Situasi Anak

Anak yang mengalami rasa takut dan kecemasan biasanya tidak diberi
hukuman oleh orangtua. Tetapi sebaliknya, jika anak menentang dan
berperilaku agresif kemungkinan orangtua akan mengasuh dengan pola
otoriter.

Dari pemaparan di atas, faktor-faktor yang memengaruhi pola asuh


menurut Hurlock (1999), yaitu kepribadian orangtua, keyakinan, persamaan
dengan pola asuh yang diterima orangtua, penyesuaian usia orangtua, jenis
kelamin, status sosial-ekonomi, konsep mengenai peran orangtua dewasa, usia
anak, temperamen, kemampuan anak, dan situasi anak.

2.3 Remaja
2.3.1 Definisi Remaja
Erik Erickson (dalam Hapsari, 2016) membagi tahap perkembangan
menjadi delapan tahap yang saling berurutan sepanjang hidup. Masing-masing
tahap memiliki aspek psikososial, psikoseksual, dan keterampilan ego. Tahap
remaja yang berada pada rentang usia 12-20 tahun, memiliki krisis
psikososial identitas versus kekacauan identitas. Aspek psikoseksual remaja
berada pada tahap pubertas, dan keterampilan egonya berpusat pada
kesetiaan.
Menurut Santrock (2003), masa remaja merupakan masa transisi dalam
rentang kehidupan manusia, menghubungkan masa kanak-kanak dan masa
dewasa. Santrock menjelaskan bahwa rentang usia remaja dimulai dari usia
10-12 tahun hingga 18-22 tahun. Konopka (dalam Pikunas, 1976) membagi
masa remaja menjadi remaja awal (12-15 tahun), remaja pertengahan (15-18
tahun), dan remaja akhir (19-22 tahun). Individu yang sedang dalam masa
remaja akan mengalami perubahan-perubahan dalam dirinya yaitu perubahan
fisik dan emosi. Pada masa remja ini, selain perubahan yang terjadi dalam diri
remaja, terdapat pula perubahan lain seperti sikap orang tua, anggota keluarga
lain, guru, teman sebaya, maupun masyarakat pada umumnya. Selain itu, pada
masa remaja tersebut akan muncul berbagai konflik yang menurut Walsh
(2006), konflik-konflik ini akan menyebabkan sesorang menjadi tertekan
secara emosional dan menimbulkan perasaan tidak nyaman pada dirinya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan


individu usia 10-12 tahun hingga 18-22 tahun yang berada pada masa transisi
dalam rentang kehidupan manusia yang akan mengalami banyak perubahan
fisik maupun emosi dan akan mengalami berbagai macam konflik yang
menimbulkan perasaan tidak nyaman karena adanya tekanan emosional.

2.4 Bunuh Diri


2.4.1 Definisi Resiko Bunuh diri
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan
dapatmengakhiri kehidupan. Perilaku bunuh diri yang tampak pada
seseorangdisebabkan karena stress yang tinggi dan kegagalan mekanisme
kopingyang digunakan dalam mengatasi masalah (Damaiyanti, M dan
Iskandar,2014 dalam Asuhan Keperawatan Jiwa yang disebutkan oleh keliat dan
akemat,2009) . Risiko bunuh diri adalah rentan terhadap menyakiti diri sendiri
dancedera yang mengancam jiwa ( Anna Keliat, B. Dkk. DiagnosisKeperawatan:
definisi dan klasifikasi 2015-2017 : 2015)

Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan
dapatmengakhiri kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terkahir
dari individuuntuk memecahkan masalah yang dihadapi (Keliat 1991 : 4). Risiko
bunuh diri dapatdiartikan sebagai resiko individu untuk menyakitidiri sendiri,
mencederai diri, sertamengancam jiwa. (Nanda, 2012)
Banyak penyebab tentang alasan seseorang melakukan bunuh diri :

1. Kegagalan beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stres.

2. Perasaan terisolasi, dapat terjadi karena kehilangan hubungan

3. interpersonal/ gagal melakukan hubungan yang berarti.

4. Perasaan marah/ bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri
sendiri.

5. Cara untuk mengakhiri keputusasaan.

Semua prilaku bunuh diri adalah serius apapun tujuannya. Orang yang siap
membunuh diri adalah orang yang merencanakan kematian dengan tindak
kekerasan, mempunyai rencana spesifik dan mempunyai niat untuk
melakukannya. Prilaku bunuh diri biasanya dibagi menjadi 3 kategori:
1. Ancaman bunuh diri Peningkatan verbal atau nonverbal bahwa orang tersebut
mempertimbangkan untuk bunuh diri. Ancaman menunjukkan ambevalensi
seseorang tentang kematian kurangnya respon positif dapat ditafsirkan
seseorang sebagai dukungan untuk melakukan tindakan bunuh diri.
2. Upaya bunuh diri Semua tindakan yang diarahkan pada diri yang dilakukan
oleh individu yang dapat mengarah pada kematian jika tidak dicegah.
2. Bunuh diri Mungkin terjadi setelah tanda peningkatan terlewatkan atau
terabaikan. Orang yang melakukan percobaan bunuh diri dan yang tidak
langsung ingin mati mungkin pada mati jika tanda-tanda tersebut tidak
diketahui tepat pada waktunya. Percobaan bunuh diri terlebih dahulu individu
tersebut mengalami depresi yang berat akibat suatu masalah yang menjatuhkan
harga dirinya

2.5 Hubungan Antara Pola Asuh Orangtua dan Self-Compassion Remaja


yang Melakukan Resiko Bunuh Diri
Pola asuh orangtua merupakan faktor penting yang memengaruhi
perkembangan anak sampai dia menjadi dewasa. Pola asuh orangtua yang
meliputi proses interaksi orangtua terhadap anak yang meliputi kepercayaan,
pengharapan serta nilai yang dianut dalam membesarkan, menjaga, mendukung
serta menghukum anak, tentu akan memberikan dampak terhadap aspek
psikologis anak (Sharma dan Pandey, 2015). Salah satu aspek psikologis yang
dibentuk sejak kanak-kanak adalah self-compassion. Keempat jenis pola asuh
akan memiliki caranya sendiri dalam hal pembentukan self compassion pada anak.
Pola asuh yang tepat akan memberikan kontrol pada anak sehingga merasa dirinya
bernilai meskipun melakukan kesalahan dan dirinya berharga bukan karena
perbuatan ataupun prestasinya melainkan eksistensinya. Apabila pola asuh orang
tua dan interaksi dengan anggota keluarga yang lain baik, maka akan menjadi
salah satu faktor pendukung pembentukan self compassion positif pada anak
(Sharma dan Pandey, 2015).

2.6 Kerangka Berpikir

Faktor Prediposisi
 Pengetahuan Orang tua
 Pola asuh yang
dirasakan orang tua di Pola Asuh
Tingkat self
masa lalu yang
compassion pada
 Pengaruh lingkungan diterapkan
anak Usia Sekolah
sosial orang tua pada
 Pengaruh budaya yang remaja
dianut

Faktor Presipitasi :
 Stressor

2.7 Hipotesis
Pada penelitian ini, peneliti mengajukan sebuah hipotesis yaitu ada
hubungan yang positif antara pola asuh orang tua dengan self-compassion anak.
Pola asuh demokratis akan membentuk self-compassion yang lebih adekuat
dibandingkan dengan pola asuh permisif dan otoriter, karena pola asuh demokratis
lebih banyak memberikan kebebasan kepada anak tanpa melepaskan pengawasan
kepada anak tersebut. Pola asuh demokratis memberikan kesempatan kepada ank
untuk memilih apa yang baik bagi dirinya, sehingga anak tersebut akan cenderung
lebih terbuka , peduli, bersikap baik pada dirinya, dan tidak menghakimi diri
sendiri.

Anda mungkin juga menyukai