TINJAUAN PUSTAKA
5. Patofisiologi DM
a. Patofisiologi diabetes tipe 1
Pada DM tipe 1, sistem imunitas menyerang dan menghancurkan sel
yang memproduksi insulin beta pankreas (ADA, 2014). Kondisi
tersebut merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan
ditemukannya anti insulin atau antibodi sel antiislet dalam darah
(WHO, 2014). National Institute of Diabetes and Digestive and
Kidney Diseases (NIDDK) tahun 2014 menyatakan bahwa autoimun
menyebabkan infiltrasi limfositik dan kehancuran islet pankreas.
Kehancuran memakan waktu tetapi timbulnya penyakit ini cepat dan
dapat terjadi selama beberapa hari sampai minggu. Akhirnya, insulin
yang dibutuhkan tubuh tidak dapat terpenuhi karena adanya
kekurangan sel beta pankreas yang berfungsi memproduksi insulin.
Oleh karena itu, diabetes tipe 1 membutuhkan terapi insulin, dan tidak
akan merespon insulin yang menggunakan obat oral.
b. Patofisiologi diabetes tipe 2
Kondisi ini disebabkan oleh kekurangan insulin namun tidak mutlak.
Ini berarti bahwa tubuh tidak mampu memproduksi insulin yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan yang ditandai dengan kurangnya
sel beta atau defisiensi insulin resistensi insulin perifer (ADA, 2014).
Resistensi insulin perifer berarti terjadi kerusakan pada reseptor-
reseptor insulin sehingga menyebabkan insulin menjadi kurang efektif
mengantar pesan-pesan biokimia menuju sel-sel (CDA, 2013). Dalam
kebanyakan kasus diabetes tipe 2 ini, ketika obat oral gagal untuk
merangsang pelepasan insulin yang memadai, maka pemberian obat
melalui suntikan dapat menjadi alternatif.
c. Patofisiologi diabetes gestasional
Gestational diabetes terjadi ketika ada hormon antagonis insulin yang
berlebihan saat kehamilan. Hal ini menyebabkan keadaan resistensi
insulin dan glukosa tinggi pada ibu yang terkait dengan kemungkinan
adanya reseptor insulin yang rusak (NIDDK, 2014 dan ADA, 2014).
6. Manifestasi Klinis DM
Penyakit DM dapat menimbulkan berbagai gejala-gejala pada
penderita. Gejala-gejala yang muncul pada penderita DM sangat
bervariasi antara satu penderita dengan penderita lainnya bahkan, ada
penderita DM yang tidak menunjukkan gejala yang khas penyakit DM
sampai saat tertentu. Gejala-gejala DM tersebut telah dikategorikan
menjadi gejala akut dan gejala kronis (Fitriani, 2015).
Gejala akut DM pada permulaan perkembangan yang muncul
adalah banyak makan (poliphagia), banyak minum (polidipsia) dan
banyak kencing (poliuria). Keadaan DM pada permulaan yang tidak
segera diobati akan menimbulkan gejala akut yaitu banyak minum,
banyak kencing dan mudah lelah.
Gejala kronik DM adalah Kulit terasa panas, kebas, seperti
tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal pada kulit, kram, keleahan, mudah
mengantuk, penglihatan memburuk (buram) yang ditandai dengan sering
berganti lensa kacamata, gigi mudah goyah dan mudah lepas, keguguran
pada ibu hamil dan ibu melahirkan dengan berat bayi yang lebih dari 4
kilogram.
7. Diagnosis DM
Diagnosis Diabetes Mellitus tipe 1 dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat ditemukan gejala klasik DM tipe 1
antara lain poliuria, polidipsi, polifagia, dan berat badan yang cepat
menurun. Walupun demikian, beberapa penderita bahkan tidak
menampakkan satupun gejala seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.
Dalam mendiagnosis DM tipe 1, klinisi sangat dibantu dengan adanya
pemeriksaan penunjang, terutama untuk mengetahui kondisi
hiperglikemia pada pasien. Hal yang ditemukan pada pemeriksaan
penunjang penderita dengan DM tipe 1 antara lain (Rustama, 2010):
a. Kadar glukosa darah puasa >126 mg/dL dan 2 jam setelah makan >
200 mg/dL.
b. Ketonemia dan/atau ketonuria.
c. Glukosuria.
d. Bila hasil kadar glukosa darah puasa meragukan atau asimptomatis,
perlu dilakukan uji toleransi glukosa oral (oral glucosa tolerance test).
e. Kadar C-peptide.
f. Marker imunologis antara lain ICA, IA, GAD dan IA2.
Kadar glukosa darah yang tidak memenuhi kriteria normal dan tidak
juga memenuhi kriteria diagnosis DM dikategorikan sebagai kategori
prediabetes. Kriteria prediabetes menurut Perkeni (2015) adalah glukosa
Darah Puasa Terganggu (GDPT), toleransi Glukosa Terganggu (TGT)
dan hasil pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7 – 6,4 %
berdasarkan standar NGSP.
8. Komplikasi DM
Komplikasi yang ditimbulkan oleh DM dibagi menjadi kategori
komplikasi akut dan komplikasi kronis. Komplikasi akut menunjukan
perubahan relatif glukosa darah yang akut dan diabetik ketoasidosis. DM
yang terjadi begitu lama dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh
darah dan menimbulkan komplikasi kronik. Retinopati, neuropati,
nefropati, penyakit arteri koroner, infeksi, katarak dan glaukoma adalah
beberapa contoh komplikasi kronik dari DM (Hanum, 2013).
9. Penatalaksanaan
a. Non‐Medikamentosa
1) Memberikan penjelasan mengenai penyakit yang sedang diderita
oleh pasien dan komplikasinya kepada pasien dan anggota
keluarga.
2) Memberikan penjelasan tentang efek pola makan yang salah bagi
penderita Diabetes Mellitus dan hiperkolesterolemia kepada
pasien dan anggota keluarga.
3) Memberikan penjelasan mengatur gaya hidup dan pola makan
yang baik bagi penderita Diabetes Mellitus dan
hiperkolesterolemia dengan memperhatikan aktivitas fisik
keseharian.
4) Memberikan motivasi untuk minum obat secara kontinu dan
mengambil obat sekaligus mengontrol gula darah dan kolesterol
setiap obat mau habis.
5) Memberikan edukasi kepada keluarga untuk berperan dalam
mengingatkan pasien dengan pola makan dan gaya hidup, serta
rutinitas minum obat (Raditya, 2016).
b. Medikamentosa
1) Metformin tab 2x500 mg
2) Glibenklamid tab 1x5 mg (Raditya, 2016).
a. Diet
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama
dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi
masingmasing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan
jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat
penurun glukosa darah atau insulin. Standar yang dianjurkan adalah
makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat 60-
70%, lemak 20-25% danprotein 10-15%. Untuk menentukan status
gizi, dihitung dengan BMI (Body Mass Indeks).
b. Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan. Pendidikan
kesehatan pencegahan primer harus diberikan kepada kelompok
masyarakat resiko tinggi. Pendidikan kesehatan sekunder diberikan
kepada kelompok pasien DM. Sedangkan pendidikan kesehatan
untuk pencegahan tersier diberikan kepada pasien yang sudah
mengidap DM dengan penyulit menahun.
c. Obat : oral hipoglikemik, insulin
d. Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan latihan fisik tetapi
tidak berhasil mengendalikan kadar gula darah maka
dipertimbangkan pemakaian obat hipoglikemik.
2) Pemanasan II
Berdiri di tempat, angkat kedua tangan ke depan tubuh sehingga
lurus. Kemudian, gerakan kedua jari tangan seperti hendak
meremas. Lalu, buka lebar, leakukan secara beragntian namun
tangan diangkat ke kanan-kiri tubuh hingga lurus bahu.
3) Inti I
Posisi berdiri tegap, kaki kanan maju selangkah ke depan, kaki kiri
ditempat. Tangan kanan diangkat kekanan tubuh selurus bahu.
Sedangkan tangan kiri ditekuk hingga tangan mendekati dada.
Lakukan secara bergantian.
4) Inti II
Posisi berdiri tegap, kaki kanan diangkat hingga paha atas betis
membentuk sudut 90 derajat. Kaki kiri tetap ditempat. Tangan
kanan diangkat ke kanan tubuh selurus bahu, sedangkan tangan
kiri ditekuk hingga telapak tangan mendekati dad, lakukan secara
bergantian.
5) Pendinginan I
Kaki kanan agak menekuk, kaki kiri lurus. Tangan kiri lurus ke
depan selurus bahu, tangan kanan ditekuk ke dalam. Lakukan
secara bergantian
6) Pendinginan II
Posisi kaki bentuk huruv V terbalik, kedua tangan direntangkan ke
atas dengan membentuk huruf V.
C. Konsep Latihan pada Pasien Diabetes Mellitus
1. Pengertian Latihan Diabetes
Komponen aktivitas fisik di bentuk latihan fisik atau olahraga adalah satu
hal penting dalam manajemen diabetes karena efeknya dalam mengurangi
kadar glukosa darah. Meningkatkan glukosa diserap oleh otot dan
meningkatkan penggunaan insulin, sehingga risiko komplikasi akan
menjadi berkurang (Syamsyiah, 2017 dalam Widianti, 2010). Prinsip
latihan untuk penderita diabetes tidak berbeda dari olahraga lain. Latihan
ini bertujuan untuk membakar kalori, ubah glukosa menjadi energi, jadi
gula dalam darah akan berkurang. Satu latihan fisik yang bisa dilakukan
oleh pasien adalah senam diabetes. Ini dampak rendah aerobik dan ritmik
(Widianti, 2010).
Latihan fisik adalah kunci utama dalam pencegahan dan penatalaksanaan
diabetes tipe 2 banyak penyakit kronis tidak melakukan aktifitas fisik
secara teratur. Hasil studi ini memutuskan aktifitas fisik secara teratur
memperbaiki kontrol gula darah dan pentingnya aktifitas fisik pada
penderita diabetes tipe 2 dapat mencegah atau menghilangkan komplikasi
secara positif mempengaruhi lipid, tekanan darah, gangguan
kardiovaskuler, mortality dan kualitas hidup. Intervensi yang dilakukan
dengan kombinasi antara aktifitas fisik dan penurunan berat badan
memperlihatkan bahwa resiko DM tipe 2 dapat menurunkan resiko
sebesar 58% pada populasi (ADA, 2010).
Aktifitas fisik terstruktur yang terdiri dari latihan aerobik, latihan daya
tahan, atau gabungan keduanya dapat menurunkan HbA1c pada pasien
dengan diabetes tipe 2. Latihan terstruktur lebih dari 150 menit
perminggu dapat menurunkan HbA1c, penurunan ini lebih besar dari pada
aktifitas fisik 150 menit atau kurang perminggu. Hal ini lebih efektif bila
aktifitas fisik dikombinasikan dengan diet akan sangat bermanfaat dengan
nilai HbA1c lebih rendah (Umpierreet al., 2011).
2. Latihan fisik pada psien Diabetes Mellitus
Melakukan latihan fisik secara teratur sangatlah penting bagi pasien DM
tipe 2 karena dapat menormalisasikan kadar gula darah dalam tubuh dan
salah satu penyebabnya adalah obesitas. (Zinker, 1997) di dalam (Wu,
2007) menyatakan bahwa pengaktifan otot tubuh dapat menginisiasi
proses glikogenolisis dan lipolisis serta menstimulasi pengeluaran glukosa
dari hepar. Latihan fisik secara teratur yaitu olah raga selama 30 menit
sehari dan dilakukan 3-4 kali dalam seminggu dapat meningkatkan
sensitivitas insulin, meningkatkan kontrol glukosa darah, menurunkan
resiko penyakit jantung dan vaskuler, dan menurunkan tekanan darah dan
tingkat lemak jahat di dalam darah (Gandini, 2013).
Pasien DM type 2 dianjurkan berpartisipasi dalam macam-macam latihan
fisik untuk meningkatkan control metabolic seperti : Cardiovaskuler
fitness, psychological well-being, dan interaksi sosial. Latihan secara
regular dengan intensitas, memperbaiki sensitivitas insulin (ADA, 2000).
Olah raga dan latihan fisik (prinsip olah raga adalah CRIPE) :
a. Continous (terus-menerus) Latihan berkesinambungan, terus-menerus
tanpa berhenti dalam waktu tertentu.
b. Rhytmical (berirama).Jenis olah raga yang dipilih adalah berirama,
yaitu otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur seperti jalan kaki,
berlari, berenang, bersepeda.
c. Interval (berselang). Latihan dilakukan secara berselang-selang antara
gerak lambat dan cepat, misalnya jalan atau jalan cepat diselingi jalan
biasa (asalkan jangan berhenti).
d. Progressive (meningkat) Latihan dilakukan meningkat secara bertahap
sesuai kemampuan dari ringan sam-\pai sedang hingga mencapai 30
-60 menit.
e. Endurence (daya tahan) Latihan harus ditujukan pada latihan daya
tahan untuk meningkatkan kemampuan pernafasan dan jantung. Dapat
dilakukan dengan olah raga jalan kaki, berlari, berenang atau
bersepeda (Gandini, 2013).
3. Manfaat olah raga
a. Pemakaian energy meningkat dan jika disertai pengaturan makan,
terjadilah penurunan berat badan. Ini sangat menguntungkan bagi
penderita yang gemuk.
b. Akan mengurangi resistensi insulin sehingga kerja insulin bisa
diperbaiki.
c. Peredaran darah akan lebih lancar dengan olah raga teratur (Gandini,
2013).