Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Penyakit DM (Diabetes Mellitus)


1. Definisi DM
Diabetes mellitus merupakan kelompok penyakit gangguan
metabolisme kronis yang ditandai peningkatan glukosa darah
(hiperglikemia), disebabkan karena ketidakseimbangan antara supplai dan
kebutuhan insulin. Insulin dalam tubuh dibutuhkan untuk memfasilitasi
masuknya glukosa dalam sel agar dapat digunakan untuk metabolisme
dan pertumbuhan sel. Berkurang atau tidak adanya insulin menjadikan
glukosa tertahan di dalam darah dan menimbulkan peningkatan gula
darah, sementara sel menjadi kekurangan glukosa yang sangat dibutuhkan
dalam kelangsungan dan fungsi sel (Tarwoto, 2012 dalam Yulianto,
2017).
Diabetes Mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Henderina, 2010). Menurut
PERKENI (2011) seseorang dapat didiagnosa Diabetes Mellitus apabila
mempunyai gejala klasik Diabetes Mellitus seperti poliuria, polidipsi dan
polifagi disertai dengan kadar gula darah sewaktu ≥200 mg/dl dan gula
darah puasa ≥126 mg/dL.
2. Klasifikasi DM
a. DM Tipe I
Diabetes tipe 1 biasanya terjadi pada remaja atau anak, dan terjadi
karena kerusakan sel β (beta) (WHO, 2014). Canadian Diabetes
Association (CDA) 2013 juga menambahkan bahwa rusaknya sel β
pankreas diduga karena proses autoimun, namun hal ini juga tidak
diketahui secara pasti. Diabetes tipe 1 rentan terhadap ketoasidosis,
memiliki insidensi lebih sedikit dibandingkan diabetes tipe 2, akan
meningkat setiap tahun baik di negara maju maupun di negara
berkembang (IDF, 2014)
b. DM Tipe II
Diabetes tipe 2 biasanya terjadi pada usia dewasa (WHO, 2014).
Seringkali diabetes tipe 2 didiagnosis beberapa tahun setelah onset,
yaitu setelah komplikasi muncul sehingga tinggi insidensinya sekitar
90% dari penderita DM di seluruh dunia dan sebagian besar
merupakan akibat dari memburuknya faktor risiko seperti kelebihan
berat badan dan kurangnya aktivitas fisik (WHO, 2014).
c. DM Gestational
Gestational diabetes mellitus (GDM) adalah diabetes yang didiagnosis
selama kehamilan (ADA, 2014) dengan ditandai dengan
hiperglikemia (kadar glukosa darah di atas normal) (CDA, 2013 dan
WHO, 2014). Wanita dengan diabetes gestational memiliki
peningkatan risiko komplikasi selama kehamilan dan saat melahirkan,
serta memiliki risiko diabetes tipe 2 yang lebih tinggi di masa depan
(IDF, 2014).
d. Tipe Diabetes Lainnya
Diabetes Mellitus tipe khusus merupakan diabetes yang terjadi karena
adanya kerusakan pada pankreas yang memproduksi insulin dan
mutasi gen serta mengganggu sel beta pankreas, sehingga
mengakibatkan kegagalan dalam menghasilkan insulin secara teratur
sesuai dengan kebutuhan tubuh. Sindrom hormonal yang dapat
mengganggu sekresi dan menghambat kerja insulin yaitu sindrom
chusing, akromegali dan sindrom genetik (ADA, 2015).
3. Epidemiologi DM
Internasional Diabetes Federation (IDF) tahun 2015 menyatakan,
dari 177 juta jiwa di dunia yang menderita penyakit DM tipe 2 dan 25
tahun yang akan datang meningkat menjadi 300 juta jiwa, prevalensi
diabetes tipe 2 tahun 2016 pada penduduk Amerika Serikat yang diatas
berusia 65 tahun atau lebih yaitu sekitar 10,9 juta jiwa (26,9%),
sedangkan di Indonesia jumlah pasien diabetes mellitus tipe 2 mengalami
kenaikan, dari 8,4% juta jiwa pada tahun 2017 dan diperkirakan naik
menjadi 21,3% juta jiwa pada tahun 2022.
Peningkatan angka kejadian dari tahun 1990-2014 sekitar 4,7%-
8,5% pada populasi dewasa. Tahun 2012 DM adalah penyebab angka
kematian tertinggi kurang lebih 12.650.340 orang atau 0,6% dari seluruh
penduduk di Indonesia yang berusia diatas 15 tahun, pernah didiagnosa
menderita Diabetes Mellitus (WHO, 2014).
Indonesia menduduki peringkat ke-4 terbesar penderita DM di
dunia. International Diabetes Federation menyebutkan bahwa pada tahun
2014 terdapat 387 juta orang yang menderita DM dan diperkirakan
jumlah penderita DM di dunia mencapai 592 juta orang pada tahun 2035.
Di Indonesia, prevalensi DM yang terdiagnosis dokter atau gejala
tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%),
Sulawesi Selatan (3,4%), dan Nusa Tenggara Timur (3,3 %) (International
Diabetes Federation, 2015; Kemenkes, 2013).
Diabetes mellitus tipe 2 menunjukkan lebih besar terjadi pada
wanita karena pada wanita terdapat hormon estrogen yang efeknya adalah
meningkatkan lemak dalam tubuh pada jaringan sub-kutis sehingga
wanita cendrung memiliki lemak tubuh yang lebih banyak, lemak tubuh
pada lakilaki adalah >25% dan pada perempuan lemak tubuhnya adalah
>35%. Pada penderita diabetes mellitus tipe 2 untuk mengatur kadar
glukosa darah adalah dengan melakukan latihan jasmani yaitu senam
diabetes mellitus (Sinaga, 2011 dalam Yulianto 2017).
4. Etiologi DM
Diabetes Mellitus tipe 1 diakibatkan oleh kerusakan sel beta pankreas
yang diperantarai berbagai faktor. Faktor genetik dan dipicu oleh faktor
lingkungan diduga sebagai penyebab terjadinya proses autoimun yang
menyebabkan destruksi sel beta pankreas. Onset Diabetes Mellitus tipe 1
biasanya terjadi sebeum usia 25-30 tahun. Beberapa faktor lingkungan
yang diduga memicu terjadinya Diabetes Mellitus tipe 1 antara lain
infeksi virus (rubela kongenital, mumps, dan sitomegalovirus), radiasi,
ataupun makanan (Rustama dkk., 2010).
Menurut Adi dkk (2015) secara garis besar patogenesis Diabetes
Mellitus tipe 2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet) berikut:
a. Kegagalan sel beta pankreas
Pada saat diagnosis Diabetes Mellitus tipe-2 ditegakkan,fungsi sel
beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui
jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid,GLP-1agonis dan DPP-4
inhibitor.
b. Liver
Pada penderita Diabetes Mellitus tipe-2 terjadi resistensi insulin yang
berat dan memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam
8 keadaan basal oleh liver (HGP=hepatic glucoseproduction)
meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin,
yang menekan proses gluconeogenesis.
c. Otot
Pada penderita Diabetes Mellitus tipe-2 didapatkan gangguan kinerja
insulin yang multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi
tirosin sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot,
penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.Obat
yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
d. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak
bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan
merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi
insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin.
Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai
lipotoxocity.Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
e. Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar
dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai
efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon - like
polypeptide - 1) dan GIP (glucose - dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada
penderita Diabetes Mellitus tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan
resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah
oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam
beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah
kelompok DPP-4 inhibitor.Saluran pencernaan juga mempunyai peran
dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase
yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian
diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah 9 setelah
makan.Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-
glukosidase adalah akarbosa.
f. Sel Alpha Pankreas
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam
sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya didalam
plasma akan meningkat.Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam
keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang
normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat
reseptor glucagon meliputi GLP-1 agonis, DPP4 inhibitor dan amylin.
g. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis
Diabetes Mellitus tipe-2.Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa
sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap
kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co Transporter)
pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan
di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan
asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada
penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang
menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan
kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan
lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2
inhibitor.Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.
h. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat.Pada individu
yang obes baik yang Diabetes Mellitus maupun nonDiabetes Mellitus,
didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi
dari resistensi insulin.Pada golongan ini asupan makanan justru
meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak.
Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan
bromokriptin.

Diabetes Mellitus tipe 1 diakibatkan oleh kerusakan sel beta pankreas


yang diperantarai berbagai faktor. Faktor genetik dan dipicu oleh faktor
lingkungan diduga sebagai penyebab terjadinya proses autoimun yang
menyebabkan destruksi sel beta pankreas. Onset Diabetes Mellitus tipe 1
biasanya terjadi sebeum usia 25-30 tahun. Beberapa faktor lingkungan
yang diduga memicu terjadinya Diabetes Mellitus tipe 1 antara lain infeksi
virus (rubela kongenital, mumps, dan sitomegalovirus), radiasi, ataupun
makanan (Rustama dkk., 2010).

5. Patofisiologi DM
a. Patofisiologi diabetes tipe 1
Pada DM tipe 1, sistem imunitas menyerang dan menghancurkan sel
yang memproduksi insulin beta pankreas (ADA, 2014). Kondisi
tersebut merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan
ditemukannya anti insulin atau antibodi sel antiislet dalam darah
(WHO, 2014). National Institute of Diabetes and Digestive and
Kidney Diseases (NIDDK) tahun 2014 menyatakan bahwa autoimun
menyebabkan infiltrasi limfositik dan kehancuran islet pankreas.
Kehancuran memakan waktu tetapi timbulnya penyakit ini cepat dan
dapat terjadi selama beberapa hari sampai minggu. Akhirnya, insulin
yang dibutuhkan tubuh tidak dapat terpenuhi karena adanya
kekurangan sel beta pankreas yang berfungsi memproduksi insulin.
Oleh karena itu, diabetes tipe 1 membutuhkan terapi insulin, dan tidak
akan merespon insulin yang menggunakan obat oral.
b. Patofisiologi diabetes tipe 2
Kondisi ini disebabkan oleh kekurangan insulin namun tidak mutlak.
Ini berarti bahwa tubuh tidak mampu memproduksi insulin yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan yang ditandai dengan kurangnya
sel beta atau defisiensi insulin resistensi insulin perifer (ADA, 2014).
Resistensi insulin perifer berarti terjadi kerusakan pada reseptor-
reseptor insulin sehingga menyebabkan insulin menjadi kurang efektif
mengantar pesan-pesan biokimia menuju sel-sel (CDA, 2013). Dalam
kebanyakan kasus diabetes tipe 2 ini, ketika obat oral gagal untuk
merangsang pelepasan insulin yang memadai, maka pemberian obat
melalui suntikan dapat menjadi alternatif.
c. Patofisiologi diabetes gestasional
Gestational diabetes terjadi ketika ada hormon antagonis insulin yang
berlebihan saat kehamilan. Hal ini menyebabkan keadaan resistensi
insulin dan glukosa tinggi pada ibu yang terkait dengan kemungkinan
adanya reseptor insulin yang rusak (NIDDK, 2014 dan ADA, 2014).
6. Manifestasi Klinis DM
Penyakit DM dapat menimbulkan berbagai gejala-gejala pada
penderita. Gejala-gejala yang muncul pada penderita DM sangat
bervariasi antara satu penderita dengan penderita lainnya bahkan, ada
penderita DM yang tidak menunjukkan gejala yang khas penyakit DM
sampai saat tertentu. Gejala-gejala DM tersebut telah dikategorikan
menjadi gejala akut dan gejala kronis (Fitriani, 2015).
Gejala akut DM pada permulaan perkembangan yang muncul
adalah banyak makan (poliphagia), banyak minum (polidipsia) dan
banyak kencing (poliuria). Keadaan DM pada permulaan yang tidak
segera diobati akan menimbulkan gejala akut yaitu banyak minum,
banyak kencing dan mudah lelah.
Gejala kronik DM adalah Kulit terasa panas, kebas, seperti
tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal pada kulit, kram, keleahan, mudah
mengantuk, penglihatan memburuk (buram) yang ditandai dengan sering
berganti lensa kacamata, gigi mudah goyah dan mudah lepas, keguguran
pada ibu hamil dan ibu melahirkan dengan berat bayi yang lebih dari 4
kilogram.
7. Diagnosis DM
Diagnosis Diabetes Mellitus tipe 1 dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat ditemukan gejala klasik DM tipe 1
antara lain poliuria, polidipsi, polifagia, dan berat badan yang cepat
menurun. Walupun demikian, beberapa penderita bahkan tidak
menampakkan satupun gejala seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.
Dalam mendiagnosis DM tipe 1, klinisi sangat dibantu dengan adanya
pemeriksaan penunjang, terutama untuk mengetahui kondisi
hiperglikemia pada pasien. Hal yang ditemukan pada pemeriksaan
penunjang penderita dengan DM tipe 1 antara lain (Rustama, 2010):
a. Kadar glukosa darah puasa >126 mg/dL dan 2 jam setelah makan >
200 mg/dL.
b. Ketonemia dan/atau ketonuria.
c. Glukosuria.
d. Bila hasil kadar glukosa darah puasa meragukan atau asimptomatis,
perlu dilakukan uji toleransi glukosa oral (oral glucosa tolerance test).
e. Kadar C-peptide.
f. Marker imunologis antara lain ICA, IA, GAD dan IA2.

Diagnosis dini penyakit DM sangat menentukan perkembangan


penyakit DM pada penderita. Seseorang yang menderita DM tetapi tidak
terdiagnosis dengan cepat mempunyai resiko yang lebih besar menderita
komplikasi dan kesehatan yang memburuk (WHO, 2016). Diagnosis DM
dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksan glukosa darah yang dapat
dilakukan dengan menggunakan berbagai macam pemeriksaan
laboratorium seperti pemeriksaan glukosa darah. Metode yang paling
dianjurkan untuk mengetahui kadar glukosa darah adalah metode
enzimatik dengan bahan plasma atau serum darah vena (Perkeni, 2015).
Alat diagnostik glukometer (rapid) dapat digunakan untuk melakukan
pemantauan hasil pengobatan dan tidak dianjurkan untuk diagnosis. DM
tidak dapat didiagnosis berdasarkan glukosa dalam urin (glukosuria).
Keluhan dan gejala DM yang muncul pada seseorang dapat membantu
dalam mendiagnosis DM. Seseorang dengan keluhan klasik DM (poliuria,
polidipsia, poliphagia) dan keluhan lain seperti lemas, kesemutan, gatal,
pandangan kabur dan disfungsi ereksi dapat dicurigai menderita DM
(Perkeni, 2015). Kriteria diagnosis DM menurut Perkeni (2015) adalah
sebagai berikut :

a. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi


tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.
b. Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 mg.
c. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan keluhan
klasik. d. Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5 % dengan menggunakan metode
yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization
Program (NGSP).

Kadar glukosa darah yang tidak memenuhi kriteria normal dan tidak
juga memenuhi kriteria diagnosis DM dikategorikan sebagai kategori
prediabetes. Kriteria prediabetes menurut Perkeni (2015) adalah glukosa
Darah Puasa Terganggu (GDPT), toleransi Glukosa Terganggu (TGT)
dan hasil pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7 – 6,4 %
berdasarkan standar NGSP.

Perbedaan antara prediabetes dan diabetes adalah bagaimana tinggi


kadar gula darah. Pradiabetes adalah ketika kadar gula darah (glukosa)
lebih tinggi dari normal tetapi tidak cukup tinggi untuk didiagnosis
sebagai diabetes tipe 2. Prediabetes tidak harus menghasilkan diabetes
jika perubahan gaya hidup yang dijalani adalah gaya hidup sehat
(Nordisk, 2016). Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada seseorang
yang mungkin menderita DM tetapi tidak menunjukkan gejala dan
keluhan. Pemeriksaan penyaring dilakukan untuk mendiagnosis DM tipe
2 dan prediabetes. Pemeriksaan penyaring ini dilakukan pada kelompok
dengan resiko menderita DM yang tinggi yaitu kelompok dengan Indeks
Massa Tubuh (IMT) yang besar, kelompok dengan faktor risiko DM
tinggi dan kelompok usia >45 tahun (Perkeni, 2015).

8. Komplikasi DM
Komplikasi yang ditimbulkan oleh DM dibagi menjadi kategori
komplikasi akut dan komplikasi kronis. Komplikasi akut menunjukan
perubahan relatif glukosa darah yang akut dan diabetik ketoasidosis. DM
yang terjadi begitu lama dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh
darah dan menimbulkan komplikasi kronik. Retinopati, neuropati,
nefropati, penyakit arteri koroner, infeksi, katarak dan glaukoma adalah
beberapa contoh komplikasi kronik dari DM (Hanum, 2013).
9. Penatalaksanaan
a. Non‐Medikamentosa
1) Memberikan penjelasan mengenai penyakit yang sedang diderita
oleh pasien dan komplikasinya kepada pasien dan anggota
keluarga.
2) Memberikan penjelasan tentang efek pola makan yang salah bagi
penderita Diabetes Mellitus dan hiperkolesterolemia kepada
pasien dan anggota keluarga.
3) Memberikan penjelasan mengatur gaya hidup dan pola makan
yang baik bagi penderita Diabetes Mellitus dan
hiperkolesterolemia dengan memperhatikan aktivitas fisik
keseharian.
4) Memberikan motivasi untuk minum obat secara kontinu dan
mengambil obat sekaligus mengontrol gula darah dan kolesterol
setiap obat mau habis.
5) Memberikan edukasi kepada keluarga untuk berperan dalam
mengingatkan pasien dengan pola makan dan gaya hidup, serta
rutinitas minum obat (Raditya, 2016).
b. Medikamentosa
1) Metformin tab 2x500 mg
2) Glibenklamid tab 1x5 mg (Raditya, 2016).

Prinsip penatalaksanaan diabates melitus secara umum ada lima sesuai


dengan Konsensus Pengelolaan DM di Indonesia tahun 2006 adalah
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien DM. Tujuan Penatalaksanaan
DM adalah :

a. Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan


rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
b. Jangka panjang: tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati.

Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas


DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian
glukosa darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid,melalui
pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan
mandiri dan perubahan perilaku.

a. Diet
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama
dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi
masingmasing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan
jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat
penurun glukosa darah atau insulin. Standar yang dianjurkan adalah
makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat 60-
70%, lemak 20-25% danprotein 10-15%. Untuk menentukan status
gizi, dihitung dengan BMI (Body Mass Indeks).
b. Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan. Pendidikan
kesehatan pencegahan primer harus diberikan kepada kelompok
masyarakat resiko tinggi. Pendidikan kesehatan sekunder diberikan
kepada kelompok pasien DM. Sedangkan pendidikan kesehatan
untuk pencegahan tersier diberikan kepada pasien yang sudah
mengidap DM dengan penyulit menahun.
c. Obat : oral hipoglikemik, insulin
d. Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan latihan fisik tetapi
tidak berhasil mengendalikan kadar gula darah maka
dipertimbangkan pemakaian obat hipoglikemik.

Obat-obat anti Diabetes Mellitus antara lain:

a. Antidiabetik oral. Penatalaksanaan pasien DM dilakukan dengan


menormalkan kadar gula darah dan mencegah komplikasi. Lebih
khusus lagi dengan menghilangkan gejala,optimalisasi parameter
metabolik, dan mengontrol berat badan. Bagi pasien DM tipe 1
penggunaan insulin adalah terapi utama. Indikasi antidiabetik oral
terutama ditujukan untuk penanganan pasien DM tipe 2 ringan
sampai sedang yang gagal dikendalikan dengan pengaturan asupan
energi dan karbohidrat serta olah raga. Obat golongan ini
ditambahkan bila setelah 4-8 minggu upaya diet dan olah raga
dilakukan, kadar gula darah tetap di atas 200 mg% dan HbA1c di atas
8%. Jadi obat ini bukan menggantikan upaya diet, melainkan
membantunya.
b. Insulin Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808
pada manusia. Insulin mengandung 51 asam amino yang tersusun
dalam dua rantai yang dihubungkan dengan jembatan disulfide,
terdapat perbedaan asam amino kedua rantai tersebut. Untuk pasien
yang tidak terkontrol dengan diet atau pemberian hipoglikemik oral,
kombinasi insulin dan obat-obat lain bisa sangat efektif. Insulin
kadangkala dijadikan pilihan sementara, misalnya selama kehamilan.
Namun pada pasien DM tipe 2 yang memburuk, penggantian insulin
total menjadi kebutuhan. Fungsi insulin antara lain menaikkan
pengambilan glukosa ke dalam sel–sel sebagian besar jaringan,
menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan
pembentukan glikogen dalam hati dan otot serta mencegah
penguraian glikogen, menstimulasi pembentukan protein dan lemak
dari glukosa (Fatimah, 2015).
B. Konsep Senam Diabetes Mellitus
1. Pengertian Senam Diabetes Mellitus
Latihan jasmani merupakan upaya awal dalam mencegah, mengontrol dan
mengatasi diabetes mellitus. Latihan jasmani menyebabkan terjadinya
peningkatan aliran darah, jala-jala kapiler lebih banyak terbuka sehingga
lebih banyak tersedia reseptor insulin dan reseptor menjadi lebih aktif
yang akan mempengaruhi terhadap penurunan glukosa darah pada pasien
diabetes mellitus. Senam diabetes mellitus dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan pemakaian glukosa oleh otot yang aktif, sehingga secara
langsung senam diabetes mellitus dapat menyebabkan penurunan kadar
glukosa (Yulianto, 2017).
Latihan fisik yang tepat bagi penderita DM harus memperhaikan
frekuensi, intensitas, durasi dan jenis olahraga:
a. Frekunsi latihan
Frekuensi latihan adalah frekuensi latihan setiap minggu. Latihan fisik
yang dilakukan 3 kali dalam seminggu memberikan efek yang cukup
baik, dan latihan fisik yang dilakukan 4 kali semnggu memberikan
efek yang lebih baik. Latihan yang dianjurkan adalah 3-5 kali
semnggu (Ilyas, 2006 dalam Setiyaningsih, 2019).
b. Intensitas latihan
Intensitas latihan meruapakan faktor terpenting dalam latihan fisik.
Untuk mengetahui apakah intensitas latihan yang dilakukan sudah
cukup, secara sederhana dapat diukur dengan menghitung detaknadi
pada saat melakukan latihan fisik. Intensitas latihan fisik dapat
ditentukan berdasarkan penentuan DNM (Denyut Nadi Maksimal)
terlbih dahulu. DNM adalah 220-umur pasien. Dalam setiap kali
melakukan latihan fisik harus mencapai 72-87% DNM (Setiyaningsih,
2019).
c. Lama latihan
Durasi yang dilanjutkan adalah 15-30 menit setiap kali berolahraga.
Sebaiknya penderita DM melakukan latihan fisik tidak lebih dari 60
menit, karena dapat menimbulkan hipoglikemia. Prinsip yang lain
yang perlu diperhatikan adalah setiap latihan fisik terdiri dari 3
tahapan berturut-turut, pemanasan (5-30 menit), latihan inti (20-40
menit), dan pendinginan (5-10 menit). Jenis olahraga yang dianjukan
untuk penderita DM adalah aerobic low impact dan ritmic,
gerakannya menyenangkan dan tidak membosankan, serta dapat
diikuti oleh semua kelompok umur sehingga menarik autisme
kelompok dalam klub-klub diabetes (Setiyaningsih, 2019).
d. Manfaat senam diabetes
1) Menurunkan kadar glukosa darahdan mencegah kegemukan. Pada
keadaan istirahat metabolisme otot hanya sedikit membutuhkan
glukosa sebagai sumber energi. Tapi pada saat latihan fisik,
glukosa dan lemak merupakan sumber energi utama. Setelah
berolahraga 10 menit, dibutuhkan glukosa 15 kalinya dibanding
pada istirahat.
2) Menekan terjadinya komplikasi (gangguan lipid darah atau
pengendapan lemak di dalam pembuluh darah atau penggumpalan
darah) (Setiyaningsih, 2019).
e. Indikasi dan kontraindikasi senam diabetes
1) Indikasi, senam diabetes dapat diberikan pada seluruh penderita
DM Tipe 1 maupun Tipe 2
2) Kontraindikasi, penderita mengalami perubahan fungsi fisiologis
seperti dispnoe ataunyeri dada, orang yang depresi, khawatir atau
cemas
f. Gerakan senam diabetes
Gerakan senam diabetes menurut Widianti dan Proverawati tahun
2010, yaitu:
1) Pemanasan I
Berdiri di tempat, angkat kedua tangan ke atas seluurh bahu,
kedua tangan bertautan. Lakukan bergantian dengan posisi kedua
tangan di depan tubuh.

2) Pemanasan II
Berdiri di tempat, angkat kedua tangan ke depan tubuh sehingga
lurus. Kemudian, gerakan kedua jari tangan seperti hendak
meremas. Lalu, buka lebar, leakukan secara beragntian namun
tangan diangkat ke kanan-kiri tubuh hingga lurus bahu.
3) Inti I
Posisi berdiri tegap, kaki kanan maju selangkah ke depan, kaki kiri
ditempat. Tangan kanan diangkat kekanan tubuh selurus bahu.
Sedangkan tangan kiri ditekuk hingga tangan mendekati dada.
Lakukan secara bergantian.
4) Inti II
Posisi berdiri tegap, kaki kanan diangkat hingga paha atas betis
membentuk sudut 90 derajat. Kaki kiri tetap ditempat. Tangan
kanan diangkat ke kanan tubuh selurus bahu, sedangkan tangan
kiri ditekuk hingga telapak tangan mendekati dad, lakukan secara
bergantian.
5) Pendinginan I
Kaki kanan agak menekuk, kaki kiri lurus. Tangan kiri lurus ke
depan selurus bahu, tangan kanan ditekuk ke dalam. Lakukan
secara bergantian
6) Pendinginan II
Posisi kaki bentuk huruv V terbalik, kedua tangan direntangkan ke
atas dengan membentuk huruf V.
C. Konsep Latihan pada Pasien Diabetes Mellitus
1. Pengertian Latihan Diabetes
Komponen aktivitas fisik di bentuk latihan fisik atau olahraga adalah satu
hal penting dalam manajemen diabetes karena efeknya dalam mengurangi
kadar glukosa darah. Meningkatkan glukosa diserap oleh otot dan
meningkatkan penggunaan insulin, sehingga risiko komplikasi akan
menjadi berkurang (Syamsyiah, 2017 dalam Widianti, 2010). Prinsip
latihan untuk penderita diabetes tidak berbeda dari olahraga lain. Latihan
ini bertujuan untuk membakar kalori, ubah glukosa menjadi energi, jadi
gula dalam darah akan berkurang. Satu latihan fisik yang bisa dilakukan
oleh pasien adalah senam diabetes. Ini dampak rendah aerobik dan ritmik
(Widianti, 2010).
Latihan fisik adalah kunci utama dalam pencegahan dan penatalaksanaan
diabetes tipe 2 banyak penyakit kronis tidak melakukan aktifitas fisik
secara teratur. Hasil studi ini memutuskan aktifitas fisik secara teratur
memperbaiki kontrol gula darah dan pentingnya aktifitas fisik pada
penderita diabetes tipe 2 dapat mencegah atau menghilangkan komplikasi
secara positif mempengaruhi lipid, tekanan darah, gangguan
kardiovaskuler, mortality dan kualitas hidup. Intervensi yang dilakukan
dengan kombinasi antara aktifitas fisik dan penurunan berat badan
memperlihatkan bahwa resiko DM tipe 2 dapat menurunkan resiko
sebesar 58% pada populasi (ADA, 2010).
Aktifitas fisik terstruktur yang terdiri dari latihan aerobik, latihan daya
tahan, atau gabungan keduanya dapat menurunkan HbA1c pada pasien
dengan diabetes tipe 2. Latihan terstruktur lebih dari 150 menit
perminggu dapat menurunkan HbA1c, penurunan ini lebih besar dari pada
aktifitas fisik 150 menit atau kurang perminggu. Hal ini lebih efektif bila
aktifitas fisik dikombinasikan dengan diet akan sangat bermanfaat dengan
nilai HbA1c lebih rendah (Umpierreet al., 2011).
2. Latihan fisik pada psien Diabetes Mellitus
Melakukan latihan fisik secara teratur sangatlah penting bagi pasien DM
tipe 2 karena dapat menormalisasikan kadar gula darah dalam tubuh dan
salah satu penyebabnya adalah obesitas. (Zinker, 1997) di dalam (Wu,
2007) menyatakan bahwa pengaktifan otot tubuh dapat menginisiasi
proses glikogenolisis dan lipolisis serta menstimulasi pengeluaran glukosa
dari hepar. Latihan fisik secara teratur yaitu olah raga selama 30 menit
sehari dan dilakukan 3-4 kali dalam seminggu dapat meningkatkan
sensitivitas insulin, meningkatkan kontrol glukosa darah, menurunkan
resiko penyakit jantung dan vaskuler, dan menurunkan tekanan darah dan
tingkat lemak jahat di dalam darah (Gandini, 2013).
Pasien DM type 2 dianjurkan berpartisipasi dalam macam-macam latihan
fisik untuk meningkatkan control metabolic seperti : Cardiovaskuler
fitness, psychological well-being, dan interaksi sosial. Latihan secara
regular dengan intensitas, memperbaiki sensitivitas insulin (ADA, 2000).
Olah raga dan latihan fisik (prinsip olah raga adalah CRIPE) :
a. Continous (terus-menerus) Latihan berkesinambungan, terus-menerus
tanpa berhenti dalam waktu tertentu.
b. Rhytmical (berirama).Jenis olah raga yang dipilih adalah berirama,
yaitu otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur seperti jalan kaki,
berlari, berenang, bersepeda.
c. Interval (berselang). Latihan dilakukan secara berselang-selang antara
gerak lambat dan cepat, misalnya jalan atau jalan cepat diselingi jalan
biasa (asalkan jangan berhenti).
d. Progressive (meningkat) Latihan dilakukan meningkat secara bertahap
sesuai kemampuan dari ringan sam-\pai sedang hingga mencapai 30
-60 menit.
e. Endurence (daya tahan) Latihan harus ditujukan pada latihan daya
tahan untuk meningkatkan kemampuan pernafasan dan jantung. Dapat
dilakukan dengan olah raga jalan kaki, berlari, berenang atau
bersepeda (Gandini, 2013).
3. Manfaat olah raga
a. Pemakaian energy meningkat dan jika disertai pengaturan makan,
terjadilah penurunan berat badan. Ini sangat menguntungkan bagi
penderita yang gemuk.
b. Akan mengurangi resistensi insulin sehingga kerja insulin bisa
diperbaiki.
c. Peredaran darah akan lebih lancar dengan olah raga teratur (Gandini,
2013).

Anda mungkin juga menyukai