Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN STRIKTUR URETRA


DI RUANG BOUGENVIL (BEDAH)
RSD RSUD Dr MOH SALEH
PROBOLINGGO

OLEH:
KARTINA WIDIASTUTIK
NIM 14901.08.21084

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


STIKES HAFSHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN
PROBOLINGGO
2021
1. Anatomi dan Fisiologi Uretra

Letak Uretra

Uretra adalah saluran yang dimulai dari orifisium uretra interna dibagian buli- buli

sampai orifisium uretra eksterna glands penis, dengan panjang yang bervariasi.Uretra pria

dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian anterior dan bagian posterior. Uretraposterior

dibagi menjadi uretra pars prostatika dan uretra pars membranasea. Uretra anterior dibagi

menjadi meatus uretra, pendulare uretra dan bulbus uretra. Dalam keadaan normal lumen

uretra laki-laki 24 ch, dan wanita 30 ch. Kalau 1 ch = 0,3 mm maka lumen uretra laki-laki

7,2 mm dan wanita 9 mm.

Gambar 1. Anatomi Uretra

Uretra bagian anterior

Uretra anterior memiliki panjang 18-25 cm (9-10 inchi). Saluran ini

dimulai dari meatus uretra, pendulans uretra dan bulbus uretra. Uretra anterior
ini berupa tabung yang lurus, terletak bebas diluar tubuh, sehingga kalau

memerlukan operasi atau reparasi relatif mudah. Uretra anterior adalah bagian

yang dibungkus oleh korpus spongiousum penis. Uretra anterior terdiri atas :

a) Pars bulbosa

b) Pars pendularis

c) Fossa navikulare

d) Meatus uretra eksterna

Didalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang

berfungsi dalam proses reproduksi, yaitu kelenjar Cowperi berada didalam

diafragma urogenitalis bermuara di uretra pars bulbosa, serta kelenjar Littre

yaitu kelenjar para uretralis yang bermuara di uretra pars pendularis.

Uretra bagian posterior

Uretra posterior memiliki panjang 3-6 cm (1-2 inchi).Uretra yang

dikelilingi kelenjar prostat dinamakan uretra prostatika. Bagian selanjutnya

adalah uretra membranasea, yang memiliki panjang terpendek dari semua

bagian uretra, sukar untuk dilatasi dan pada bagian ini terdapat otot yang

membentuk sfingter.Sfingter ini bersifat volunter sehingga kita dapat menahan

kemih dan berhenti pada waku berkemih. Uretra membranacea terdapat

dibawah dan dibelakang simpisis pubis, sehingga trauma pada simpisis pubis

dapat mencederai uretra membranasea.

2. Definisi Striktur Uretra

Striktur uretra adalah kondisi dimana suatu bagian dari uretra menyempit.

Berbeda dengan obstruksi pada uretra yang disebabkan oleh batu, striktur uretra
merupakan adanya oklus dari dari meatus uretralis karena adanya jaringan yang

fibrotik dengan hipertrofi. Jaringan fibrotik yan tumbuh dengan abnormal akan

menutupi/ mempersempit meatus uretralis, sehingga aliran urine (urine flow) akan

menurun.  (Prabowo & Pranata, 2014: 144)

Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra karena fibrosis pada

dindingnya. Penyempitan lumen ini disebabkan karena dindingnya mengalami

fibrosis dan pada tingkat yang lebih parah terjadi fibrosis korpus spongiosum.

(Purnomo, 2011: 153). Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat

adanya jaringan parut dan kontriksi.  (Suharyanto & Madjid, 2013: 271)

Dari beberapa definisi tersebut, disimpulkan bahwa Striktur uretra

merupakan penyakit atau kelainan yang berupa penyempitan atau konstriksi

dari lumen uretra akibat adanya obstruksi kemudian terbentuk jaringan

fibrotik (jaringan parut) pada daerah uretra.

Epidemiologi

Striktur uretra masih merupakan masalah yang sering ditemukan pada bagian

dunia tertentu. Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria dari pada wanita,

karena uretra pada wanita lebih pendek dan jarang terkena infeksi. Segala

sesuatu yang melukai uretra dapat menyebabkan striktur. Orang dapat terlahir

dengan striktur uretra, meskipun hal tersebut jarang terjadi. Salah satu penyebab

striktur uretra adalah pemasangan kateter dalam waktu yang cukup lama. Pola

penyakit striktur uretra yang ditemukan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung

menyebutkan sebagian besar pasien (82%) masuk dengan retensi urin. Penyebab

utama terjadinya striktur adalah manipulasi uretra (44%) dan trauma (33%). Salah
satu manipulasi uretra adalah pemasangan kateter Folley. Kateterisasi urin

merupakan salah satu tindakan yang membantu eliminasi urin maupun

ketidakmampuan melakukan urinasi. Prosedur pemasangan kateter uretra

merupakan tindakan invasif .Pasien akan dipasangkan sejenis alat yang disebut

kateter Dower pada muara uretra. Dalam melakukan prosedur ini diperlukan

keprofesionalan. Banyak pasien merasa cemas, takut akan rasa nyeri, dan tidak

nyaman pada saat dilakukan kataterisasi uretra. Hasil studi dari Mushhab, 2006

menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara lama waktu terpasang kateter

dengan tingkat kecemasan pada pasien yang terpasang kateter uretra.

3. Etiologi

Berdasarkan penyebab/etiologinya struktur uretra di bagi menjadi 3 jenis :

a. Struktur uretra kongenital

Striktur ini bisanya sering terjadi di fossa navikularis dan pars

membranase, sifat striktur ini adalah stationer dan biasanya timbul terpisah

atau bersamaan dengan anomalia sakuran kemih yang lain.

b. Struktur uretra traumatik

Trauma ini akibat trauma sekunder seperti kecelakaan, atau karena

instrumen, infeksi, spasmus otot, atau tekanan dari luar, atau tekanan oleh

struktur sambungan atau oleh pertumbuhan tumor dari luar serta biasanya

terjadi pada daerah kemaluan dapat menimbulkan ruftur urethra, Timbul

striktur traumatik dalam waktu 1 bulan. Striktur akibat trauma lebih progresif

daripada striktur akibat infeksi. Pada ruftur ini ditemukan adanya hematuria

gross.
c. Struktur akibat infeksi

Struktur ini biasanya sissebabkan oleh infeksi veneral. Timbulnya lebih

lambat daripada striktur traumatic.

Penyebab paling umum dari striktur uretra saat ini adalah traumatik atau

iatrogenik. Penyebab yang lebih jarang ditemui adalah peradangan atau

infeksi, keganasan, dan kongenital. Striktur akibat infeksi biasanya merupakan

gejala sekunder dari urethritis gonococcal, yang masih umum di beberapa

populasi berisiko tinggi. Penyebab yang paling penting adalah idiopati, reseksi

transurethral, kateterisasi uretra, fraktur panggul dan operasi hipospadia.

Penyebab iatrogenik keseluruhan (reseksi transurethral, kateterisasi uretra,

sistoskopi, prostatektomi, operasi brachytherapy dan hipospadia) adalah

45,5% dari kasus striktur. Pada pasien yang lebih muda dari 45 tahun

penyebab utama adalah idiopati, operasi hipospadia dan fraktur panggul. Pada

pasien yang lebih tua dari 45 tahun penyebab utama adalah reseksi

transurethraldan idiopathy. Penyebab utama penyakit penyempitan

multifokal/panurethral adalah kateterisasi uretra anterior, sedangkan fraktur

panggul adalah penyebab utama dari striktur uretra posterior.

Etiologi striktur pada wanita berbeda dengan laki-laki, etiologi striktura

uretra pada wanita radang kronis. Biasanya di derita wanita usia diatas 40

tahun dengan sindroma sistitis berulang yaitu disuria, frekuensi dan urgensi.

Diagnosis striktur uretra dibuat dengan bougie aboul’e, tanda khas dari

pemeriksaan bougie aboul’e adalah pada waktu dilepas terdapat flik/hambatan.


Pengobatan dari striktura uretra pada wanita dengan dilatasi, kalo gagal

dengan otis uretrotomi.

4. Klasifikasi penyempitan Uretra

Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi menjadi

tiga tingkatan:

a) Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra.

b) Sedang : jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen uretra.

c) Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra. Pada

penyempitan derajat berat kadangkala teraba jaringan keras di korpus

spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.

Gambar 2. Derajat Striktur Uretra

5. Patofisiologi

Residu urine yang sedikit mungkin akan menimbulkan gangguan, namun jika

banyak dan melebihi batas kapasitas vesika memungkinan terjadinya refluks dan

jika berlangsung kronis kemungkinan menimbulkan hidronephrosis. Selain itu,

stagnansi urine yang lama menimbulkan sedimentasi sehingga kemungkinan akan


terjadi urolithiasis. Hal yang paling kompleks dari dampak striktur adalah

terjadinya gagal ginjal. Hal ini dikarenakan refluks pada ginjal akan memperberat

kerja ginjal untuk melakukan fungsinya.

Tubuh manusia memiliki banyak cara untuk mengatasi masalah, begitu pula

dengan akumulasi urine yang semakin bertambah dengan adanya striktur. Urine

yang bersifat asam/ basa akan berusaha mencari jalan baru sebgai saluran dengan

meningkatkan iritabilitas pada mukosa jaringan sekitar dan terbentukla fistel.

(Prabowo & Pranata, 2014: 147-149).

Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan

terbentuknya jaringan sikatrik pada uretra. Jaringan sikatriks pada lumen uretra

menimbulkan hambatan aliran urine hingga retensi urine. Aliran urine yang

terhambat tersumbat mencari jalan keluar di tempat lain (di sebelah proksimal

striktura) dan akhirnya mengumpul di rongga periuretra. Jika terinfeksi

menimbulkan abses periuretra yang kemudian pecah membentuk fistula

uretrokutan. Pada keadaan tertentu dijumpai banyak sekali fistula sehingga disebut

sebagai fistula seruling.  (Purnomo, 2011: 144)

Trauma yang menyebabkan striktura uretra adalah trauma tumpul pada

selangkangan (straddle injury) dan fraktur tulang pelvis. Proses radang akibat

trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan terbentuknya jaringan sikatriks

pada uretra. Jaringan sikatriks pada lumen uretra menimbulkan hambatan aliran

urine hingga retensi urine. Aliran urine yang terhambat mencari jalan keluar di

tempat lain (di sebelah proksimal striktura) dan akhirnya mengumpul di rongga

periuretra. Jika terinfeksi menimbulkan abses periuretra yang kemudian pecah


membentuk fistula uretrokutan. Pada keadaan tertentu banyak dijumpai fistula

sehingga disebut sebagai fistula seruling.

Tindakan yang kurang hati-hati pada pemasangan kateter dapat menimbulkan

salah jalan ( false route) yang menimbulkan kerusakan uretra dan menyisakan

strikture dikemudian hari. Demikian pula fiksasi kateter yang tidak benar pada

pemakaian kateter menetap yang menyebabkan penekanan kateter pada perbatasan

uretra bulbo-pendulare yang mengakibatkan penekanan uretra terus menerus,

menimbulkan hipoksia uretra daerah itu, yang pada akhirnya menimbulkan fistula

atau strikur uretra.

6. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada umumnya mirip dengan obstruksi saluran kemih

lainnya, misalnya BPH. Namun ada beberapa yang khas dari klien striktur uretra,

yaitu pancaran urine yang kecil dan bercabang. Hal ini dikarenakan sumbatan/

obstruksi pada saluran meatus uretralis, sehingga akan menurunkan patensi urine

low dan obstruksi yang berada di medial akan membuat alira urine terpecah,

sehingga seolah-olah pancaran urine terbelah dua. Gejala yang lain dari striktur

uretra antara lain:

a) Frekuensi

Merupakan banyaknya jumlah berkemih dalam sehari. Peningkatan

frekuensi untuk berkemih pada klien striktur uretra dikarenakan tidak tuntasnya

klien untuk mengosongkan vesika, sehingga masih terdapat residu urine dalam

vesika. Hal inilah yang kemudian mendorong m.detrusor untuk berespon

mengosongkan vesika.
b) Urgensi

Merupakan perasaan seseorang yang takut mengalami inkontinensia jika

tidak berkemih. Akumulasi yang kronis pada klien striktur uretra adalah

mengakibatkan iritabilitas vesika urinaria meningkat. Hal ini akan merangsang

persarafan yang mengontrol eliminasi uri untuk mengosongkan melalui efek

kontraksi pada bladder. Dengan demikian keinginan untuk miksi akan terjadi

terus-menurus pada striktur uretra.

c) Disuria

Merupakan rasa sakit dan kesulitan untuk melakukan miksi. Klien

striktur urtra akan mengalami iritabilitas mukosa, baik pada uretra maupun

pada vesika urinaria. Hal ini dikarenakan akumulasi urine yang melebihi

kapasitas bladder dan sifat pH dari urine yang cenderung asam/ basa akan

melukai mukosa saluran kemih. Selain itu, relaksasi vesika yang melebihi

dari kemampuan otot vesika akan menimbulkan inflamasi dan nyeri.

d) Inkontenensia urine

Merupakan ketidakmampuan untuk mengontrol miksi ( bahasa awam :

ngompol ) kejadian ini pada klien striktur uretra dipicu oleh iritabilitas sayaraf

perkemihan sehingga kemampuan untuk mengatur regulasi miksi menurun.

e) Urine menetes

Merupakan dampak dari residu urine dan adanya obsruksi pada meatus

uretralis, sehingga pancara urine melemah dan pengosongan tidak bisa spontan.

f) Penis membengkak
Bendungan urine dan obstruksi pada saluran uretra akan menyebabkan

resistensi kapiler jaringan sekitar meningkat dengan gejala inflamasi yang jelas,

sehingga penis akan membengkak.

g) Infiltrat

Jika obstruksi pada klien striktur uretra tidak tertangani dengan baik dan

terjadi dalam jangka waktu yang lama, maka kemungkinan infeksi pada striktur

akan terjadi mengingat urine merupakan media untuk pertumbuhan kuman yang

baik. Jika hal ini terjadi, inflamasi jaringan striktu akan menjadi abses dan

infiltrasi akan terjadi pula.

h) Abses

Diakibatkan oleh invasi bakteri melalui urine kepada jaringan obstruksi

striktur.

i) Fistel

Urine yang bersifat asam/ basa akan berusaha secara patologis untuk

mencari jalan keluar. Oleh karena itu, iritabilitas jaringan sekitar akan terus

terjadi untuk membuat saluran baru, sehingga kemungkinan akan terbentuk

fistel sebagai jalan keluar urine baru.

j) Retensio urine

Striktur yang total akan menghambat secara total aliran urine, sehingga

urine tidak akan keluar sedikit pun dan terakumulasi pada vesika urinaria

k) Kencing bercabang
Pancaran urine yang kecil dan bercabang. Hal ini dikarenakan sumbatan/

obstruksi pada saluran meatus uretralis, sehingga akan menurunkan patensi

urine low dan obstruksi yang berada di medial akan membuat alira urine

terpecah, sehingga seolah-olah pancaran urine terbelah dua. (Prabowo &

Pranata, 2014: 146)

7. Pemeriksaan Penunjang

1) Laboratorium

a) Urin dan kultur urin untuk mengetahui adanya infeks

b) Ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal

2) Uroflowmetri

Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran

urin. Volume urin yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamanya

proses miksi. Kecepatan pancaran urin normal pada pria adalah 20 ml/detik

dan pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga

normal menandakan ada obstruksi.

3) Radiologi

Diagnosa pasti dibuat dengan uretrografi, untuk melihat letak

penyempitan dan besarnya penyempitan uretra. Teknik pemeriksaan

uretrogram adalah pemeriksaan radiografi ureter dengan bahan kontras uretra.

Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai panjang striktur adalah dengan

membuat foto bipolar sistouretrografi dengan cara memasukkan bahan kontras

secara antegrad dari buli-buli dan secara retrograd dari uretra. Dengan
pemeriksaan ini panjang striktur dapat diketahui sehingga penting untuk

perencanaan terapi atau operasi

4) Instrumentasi

Pada pasien dengan striktur uretra dilakukan percobaan dengan

memasukkan kateter Foley ukuran 24 ch, apabila ada hambatan dicoba dengan

kateter dengan ukuran yang lebih kecil sampai dapat masuk ke buli- buli.

Apabila dengan kateter ukuran kecil dapat masuk menandakan adanya

penyempitan lumen uretra.

5) Uretroskopi

Untuk melihat secara langsung adanya striktur di uretra.Jika diketemukan

adanya striktur langsung diikuti dengan uretrotomi interna (sachse) yaitu

memotong jaringan fibrotik dengan memakai pisau sachse.

8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk penderita Striktur Uretra adalah

dengan menggunakan penatalaksanaan farmakologis dan non farmakologis.

1) Terapi Farmakologis

a) Bougie (Dilatasi)

Sebelum melakukan dilatasi, periksalah kadar hemoglobin pasien dan periksa

adanya glukosa dan protein dalam urin. Tersedia beberapa jenis bougie. Bougie

bengkok merupakan satu batang logam yang ditekuk sesuai dengan kelengkungan

uretra pria; bougie lurus, yang juga terbuat dari logam, mempunyai ujung yang

tumpul dan umumnya hanya sedikit melengkung; bougie filiformis mempunyai

diameter yang lebih kecil dan terbuat dari bahan yang lebih lunak.
Berikan sedatif ringan sebelum memulai prosedur dan mulailah pengobatan

dengan antibiotik, yang diteruskan selama 3 hari. Bersihkan glans penis dan meatus

uretra dengan cermat dan persiapkan kulit dengan antiseptik yang lembut.

Masukkan gel lidokain ke dalam uretra dan dipertahankan selama 5 menit. Tutupi

pasien dengan sebuah duk lubang untuk mengisolasi penis.

Apabila striktur sangat tidak teratur, mulailah dengan memasukkan sebuah

bougie filiformis; biarkan bougie di dalam uretra dan teruskan memasukkan

bougie filiformis lain sampai bougie dapat melewati striktur tersebut. Kemudian

lanjutkan dengan dilatasi menggunakan bougie lurus.

Apabila striktur sedikit tidak teratur, mulailah dengan bougie bengkok atau

lurus ukuran sedang dan secara bertahap dinaikkan ukurannya. Dilatasi dengan

bougie logam yang dilakukan secara hati-hati. Tindakan yang kasar tambah akan

merusak uretra sehingga menimbulkan luka baru yang pada akhirnya

menimbulkan striktur lagi yang lebih berat. Karena itu, setiap dokter yang

bertugas di pusat kesehatan yang terpencil harus dilatih dengan baik untuk

memasukkan bougie. Penyulit dapat mencakup trauma dengan perdarahan dan

bahkan dengan pembentukan jalan yang salah (false passage). Perkecil

kemungkinan terjadinya bakteremi, septikemi, dan syok septic dengan tindakan

asepsis dan dengan penggunaan antibiotik.


Gambar 3. Dilatasi uretra dengan bougie

Gambar 4. Dilatasi uretra pada pasien pria (lanjutan). Bougie lurus dan bougie
bengkok (F); dilatasi strikur anterior dengan sebuah bougie lurus (G) dilatasi dengan
sebuah bougie bengkok (H-J)
b) Uretrotomi interna

Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan alat endoskopi yang


memotong jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis atau dengan pisau
Sachse, laser atau elektrokoter. Otis uretrotomi dikerjakan pada striktur
uretra anterior terutama bagian distal dari pendulans uretra dan fossa
navicularis, otis uretrotomi juga dilakukan pada wanita dengan striktur
uretra.

Indikasi untuk melakukan bedah endoskopi dengan alat Sachse


adalah striktur uretra anterior atau posterior masih ada lumen walaupun
kecil dan panjang tidak lebih dari 2 cm serta tidak ada fistel, kateter
dipasang selama 2- 3 hari pasca tindakan. Setelah pasien dipulangkan,
pasien harus kontrol tiap minggu selama 1 bulan kemudian 2 minggu
sekali selama 6 bulan dan tiap 6 bulan sekali seumur hidup. Pada waktu
kontrol dilakukan pemeriksaan uroflowmetri, bila pancaran urinnya < 10
ml/det dilakukan bouginasi.

c) Uretrotomi eksterna

Tindakan operasi terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis


kemudian dilakukan anastomosis end-to-end di antara jaringan uretra yang
masih sehat, cara ini tidak dapat dilakukan bila daerah strikur lebih dari 1
cm. Cara Johansson; dilakukan bila daerah striktur panjang dan banyak
jaringan fibrotik.

 Stadium I: daerah striktur disayat longitudinal dengan menyertakan


sedikit jaringan sehat di proksimal dan distalnya, lalu jaringan fibrotik
dieksisi. Mukosa uretra dijahit ke penis pendulans dan dipasang
kateter selama 5-7 hari.

 Stadium II: beberapa bulan kemudian bila daerah striktur telah


melunak, dilakukan pembuatan uretra baru.
d) Uretroplasty

Dilakukan pada penderita dengan panjang striktur uretra lebih dari 2 cm


atau dengan fistel uretro-kutan atau penderita residif striktur pasca

Uretrotomi Sachse. Operasi uretroplasty ini bermacam-macam, pada

umumnya setelah daerah striktur di eksisi, uretra diganti dengan kulit

preputium atau kulit penis dan dengan free graft atau pedikel graft yaitu

dibuat tabung uretra baru dari kulit preputium/kulit penis dengan

menyertakan pembuluh darahnya.

2) Penatalaksanaan Non Farmakologis

a) Menghindari terjadinya trauma pada uretra dan pelvis.

b) Edukasi dalam menurunkan kecemasan dan manajemen nyeri

c) Tindakan transuretra dengan hati-hati, seperti pada pemasangan kateter.

d) Pemberian kompres hangat untuk mengurangi nyeri.

e) Teknik relaxasi untuk mengurangi rasa nyeri.

f) Terapi SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique).

g) Menghindari kontak langsung dengan penderita yang terinfeksi penyakit

menular seksual seperti gonorrhea, dengan jalan setia pada satu pasangan

dan memakai kondom.

h) Pengobatan dini striktur uretra dapat menghindari komplikasi seperti

infeksi dan gagal ginjal.

9. Komplikasi
Adapun komplikasi dari Striktur Uretra jika adalah:

a) Trabekulasi, sakulasi dan divertikel

Pada striktur uretra kandung kencing harus berkontraksi lebih kuat, maka otot
kalau diberi beban akan berkontraksi lebih kuat sampai pada suatu saat kemudian akan
melemah. Jadi pada striktur uretra otot buli-buli mula-mula akan menebal terjadi
trabekulasi pada fase kompensasi, setelah itu pada fase dekompensasi timbul sakulasi
dan divertikel. Perbedaan antara sakulasi dan divertikel adalah penonjolan mukosa
buli pada sakulasi masih di dalam otot buli sedangkan divertikel menonjol di luar buli-
buli, jadi divertikel buli-buli adalah tonjolan mukosa keluar buli-buli tanpa dinding
otot.

b) Residu urine

Pada fase kompensasi dimana otot buli-buli berkontraksi makin kuat tidak
timbul residu. Pada fase dekompensasi maka akan timbul residu. Residu adalah
keadaan dimana setelah kencing masih ada urine dalam kandung kencing.Dalam
keadaan normal residu ini tidak ada.

c) Refluks vesiko ureteral

Dalam keadaan normal pada waktu buang air kecil urine dikeluarkan buli-buli
melalui uretra. Pada striktur uretra dimana terdapat tekanan intravesika yang meninggi
maka akan terjadi refluks, yaitu keadaan dimana urine dari buli-buli akan masuk
kembali ke ureter bahkan sampai ginjal.

d) Infeksi saluran kemih dan gagal ginjal

Dalam keadaan normal, buli-buli dalam keadaan steril. Salah satu cara tubuh
mempertahankan buli-buli dalam keadaan steril adalah dengan jalan setiap saat
mengosongkan buli-buli waktu buang air kecil. Dalam keadaan dekompensasi maka
akan timbul residu, akibatnya maka buli-buli mudah terkena infeksi. Adanya kuman
yang berkembang biak di buli-buli dan timbul refluks, maka akan timbul pyelonefritis
akut maupun kronik yang akhirnya timbul gagal ginjal dengan segala akibatnya.

e) Infiltrat urine, abses dan fistulas

Adanya sumbatan pada uretra, tekanan intravesika yang meninggi maka bisa
timbul inhibisi urine keluar buli-buli atau uretra proksimal dari striktur. Urine yang
terinfeksi keluar dari buli-buli atau uretra menyebabkan timbulnya infiltrat urine,
kalau tidak diobati infiltrat urine akan timbul abses, abses pecah timbul fistula di supra
pubis atau uretra proksimal dari striktur.
Asuhan Keperawatan Teori

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan.

pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan status

kesehatan dan pola pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien,

serta merumuskan diagnosis keperawatan.

Pengkajian dibagi menjadi 2 tahap, yaitu pengkajian pre operasi Sachse dan

pengkajian post operasi Sachse.

Pengkajian pre operasi Sachse

Pengkajian ini dilakukan sejak klien MRS sampai saat operasinya, yang meliputi;

a. Pengkajian fokus :

Palpasi :

1. Abdomen

Bagaimana bentuk abdomen. Pada klien dengan keluhan retensi umumnya

ada penonjolan kandung kemih pada supra pubik. Apakah ada nyeri tekan, turgornya

bagaimana. Pada klien biasanya terdapat hernia atau hemoroid. Hepar, lien, ginjal

teraba atau tidak. Peristaklit usus menurun atau meningkat.

2. Genitalia dan anus

Pada klien biasanya terdapat hernia. Pembesaran prostat dapat teraba pada

saat rectal touché. Pada klien yang terjadi retensi urine, apakah trpasang kateter,

Bagaimana bentuk scrotum dan testisnya. Pada anus biasanya ada haemorhoid.

Inspeksi :

1.Memeriksa uretra dari bagian meatus dan jaringan sekitarnya .


2. Observasi adanya penyempitan, perdarahan, mukus atau cairan purulent (nanah) .

3. Observasi kulit dan mukosa membran disekitar jaringan.

4. Perhatikan adanya lesi hiperemi atau keadaan abnormal lainnya pada penis,

scrotom, labia dan orifisium Vagina.

5. Iritasi pada uretra ditunjukan pada klien dengan keluhan ketidak nyamanan pada

saat akan mixi.

b. Pengkajian psikososial :

1) Respon emosional pada penderita sistim perkemihan, yaitu : menarik diri,

cemas, kelemahan, gelisah, dan kesakitan.

2) Respon emosi pada pada perubahan masalah pada gambaran diri, takut dan

kemampuan seks menurun dan takut akan kematian. Riwayat psikososial terdiri

dari :

Intra personal

Kebanyakan klien yang akan menjalani operasi akan muncul kecemasan.

Kecemasan ini muncul karena ketidaktahuan tentang prosedur pembedahan.

Tingkat kecemasan dapat dilihat dari perilaku klien, tanggapan klien tentang

sakitnya.

Inter personal

Meliputi peran klien dalam keluarga dan peran klien dalam masyarakat

a. Pengkajian diagnostik

Sedimen urine untuk mengetahui partikel-partikel urin yaitu sel, eritrosit,

leukosit, bakteria, kristal, dan protein.


c. Identitas klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama / kepercayaan, status perkawinan,

pendidikan, pekerjaan, suku/ Bangsa, alamat, no. rigester dan diagnosa medis.

d. Riwayat penyakit sekarang

Pada klien striktur urethra keluhan-keluhan yang ada adalah frekuensi , nokturia,

urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak lampias/ puas sehabis miksi, hesistensi,

intermitency, dan waktu miksi memenjang dan akirnya menjadi retensio urine.

e. Riwayat penyakit dahulu

Adanya penyakit yang berhubungan dengan saluran perkemihan, misalnya ISK

(Infeksi Saluran Kencing ) yang berulang. Penyakit kronis yang pernah di derita.

Operasi yang pernah di jalani kecelakaan yang pernah dialami adanya riwayat

penyakit DM dan hipertensi.

f. Riwayat penyakit keluarga

Adanya riwayat keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita

penyakit striktur urethra Anggota keluarga yang menderita DM, asma, atau hipertensi.

g. Pola Fungsi kesehatan

1. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat

Klien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan tembakau,

penggunaan obat-obatan, penggunaan alkhohol dan upaya yang biasa dilakukan

dalam mempertahankan kesehatan diri (pemeriksaan kesehatan berkala, gizi

makanan yang adekuat).


2. Pola nutrisi dan metabolisme

Klien ditanya frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan, jumlah

minum tiap hari, jenis minuman, kesulitan menelan atau keadaan yang

mengganggu nutrisi seperti nause, stomatitis, anoreksia dan vomiting. Pada pola

ini umumnya tidak mengalami gangguan atau masalah.

h. Pola eliminasi

Klien ditanya tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu ragu, jumlah

kecil dan tidak lancar menetes – netes, kekuatan system perkemihan. Klien juga

ditanya apakah mengedan untuk mulai atau mempertahankan aliran kemih. Klien

ditanya tentang defikasi, apakah ada kesulitan seperti konstipasi akibat dari

p[enyempitan urethra kedalam rectum.

i. Pola tidur dan istirahat .

Klien ditanya lamanya tidur, adanya waktu tidur yang berkurang karena frekuensi

miksi yang sering pada malam hari ( nokturia ). Kebiasaan tidur memekai bantal atau

situasi lingkungan waktu tidur juga perlu ditanyakan. Upaya mengatasi kesulitan tidur.

j. Pola Aktifitas

Klien ditanya aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan waktu senggang,

kebiasaan berolah raga. Apakah ada perubahan sebelum sakit dan selama sakit. Pada

umumnya aktifitas sebelum operasi tidak mengalami gangguan, dimana klien masih

mampu memenuhi kebutuhan sehari – hari sendiri.


k. Pola hubungan dan peran

Klien ditanya bagaimana hubungannya dengan anggota keluarga, pasien lain,

perawat atau dokter. Bagai mana peran klien dalam keluarga. Apakah klien dapat

berperan sebagai mana seharusnya.

l. Pola persepsi dan konsep diri

Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau dirasakan klien

sebelum pembedahan . Biasanya muncul kecemasan dalam menunggu acara

operasinya. Tanggapan klien tentang sakitnya dan dampaknya pada dirinya. Koping

klien dalam menghadapi sakitnya, apakah ada perasaan malu dan merasa tidak

berdaya.

m. Pola sensori dan kognitif

Pola sensori meliputi daya penciuman, rasa, raba, lihat dan pendengaran dari

klien. Pola kognitif berisi tentang proses berpikir, isi pikiran, daya ingat dan waham.

Pada klien biasanya tidak terdapat gangguan atau masalah pada pola ini.

n. Pola reproduksi seksual

Klien ditanya jumlah anak, hubungannya dengan pasangannya, pengetahuannya

tantang seksualitas. Perlu dikaji pula keadaan seksual yang terjadi sekarang, masalah

seksual yang dialami sekarang (masalah kepuasan, ejakulasi dan ereksi ) dan pola

perilaku seksual

o. Pola Mekanisme Koping

Menanyakan apa klien merasakan stress, apa penyebab stress, mekanisme

penanggulangan terhadap stress yang dialami. Pemecahan masalah biasanya dilakukan

klien bersama siapa. Apakah mekanisme penanggulangan stressor positif atau negatif
B. Pemeriksaan fisik

1. Status kesehatan umum

Keadaan penyakit, kesadaran, suara bicara, status/ habitus, pernafasan, tekanan

darah, suhu tubuh, nadi.

a) Kulit

Apakah tampak pucat, bagaimana permukaannya, adakah kelainan

pigmentasi, bagaimana keadaan rambut dan kuku klien

b) Kepala

Bentuk bagaimana, simetris atau tidak, adakah penonjolan, nyeri kepala

atau trauma pada kepala.

c) Muka

Bentuk simetris atau tidak adakah odema, otot rahang bagaimana

keadaannya, begitu pula bagaimana otot mukanya.

d) Mata

Bagainama keadaan alis mata, kelopak mata odema atau tidak. Pada

konjungtiva terdapat atau tidak hiperemi dan perdarahan. Slera tampak

ikterus atau tidak.

e) Telinga

Ada atau tidak keluar secret, serumen atau benda asing. Bagaimana

bentuknya, apa ada gangguan pendengaran.

f) Hidung

Bentuknya bagaimana, adakah pengeluaran secret, apa ada obstruksi atau

polip, apakah hidung berbau dan adakah pernafasan cuping hidung.


g) Mulut dan faring

Adakah caries gigi, bagaimana keadaan gusi apakah ada perdarahan atau

ulkus. Lidah tremor ,parese atau tidak. Adakah pembesaran tonsil.

h) Leher

Bentuknya bagaimana, adakah kaku kuduk, pembesaran kelenjar limphe.

i) Thoraks

Betuknya bagaimana, adakah gynecomasti.

j) Paru

Bentuk bagaimana, apakah ada pencembungan atau penarikan.

Pergerakan bagaimana, suara nafasnya. Apakah ada suara nafas tambahan

seperti ronchi , wheezing atau egofoni.

k) Jantung

Bagaimana pulsasi jantung (tampak atau tidak).Bagaimana dengan iktus

atau getarannya.

l) Abdomen

Bagaimana bentuk abdomen. Pada klien dengan keluhan retensi

umumnya ada penonjolan kandung kemih pada supra pubik. Apakah ada

nyeri tekan, turgornya bagaimana. Pada klien biasanya terdapat hernia

atau hemoroid. Hepar, lien, ginjal teraba atau tidak. Peristaklit usus

menurun atau meningkat.


m) Genitalia dan anus

Pada klien biasanya terdapat hernia. Pembesaran prostat dapat teraba pada

saat rectal touché. Pada klien yang terjadi retensi urine, apakah trpasang

kateter, Bagaimana bentuk scrotum dan testisnya. Pada anus biasanya ada

haemorhoid.

n) Ekstrimitas dan tulang belakang

Apakah ada pembengkakan pada sendi. Jari – jari tremor apa tidak.

Apakah ada infus pada tangan. Pada sekitar pemasangan infus ada tanda –

tanda infeksi seperti merah atau bengkak atau nyeri tekan. Bentuk tulang

belakang bagaimana.

2. Pengkajian post operasi sachse

Pengkajian ini dilakukan setelah klien menjalani operasi, yang

meliputi:

a. Keluhan utama

Keluhan pada klien berbeda – beda antara klien yang satu dengan

yang lain. Kemungkinan keluhan yang bisa timbul pada klien post operasi

Sachse adalah keluhan rasa tidak nyaman, nyeri karena spasme kandung

kemih atau karena adanya bekas insisi pada waktu pembedahan.

Hal ini ditunjukkan dari ekspresi klien dan ungkapan dari klien

sendiri.

b. Keadaan umum

Kesadaran, GCS, ekspresi wajah klien, suara bicara

.
c. Sistem respirasi

Bagaimana pernafasan klien, apa ada sumbatan pada jalan nafas

atau tidak. Apakah perlu dipasang O2. Frekuensi nafas , irama nafas,

suara nafas. Ada wheezing dan ronchi atau tidak. Gerakan otot Bantu

nafas seperti gerakan cuping hidung, gerakan dada dan perut. Tanda

– tanda cyanosis ada atau tidak.

d. Sistem sirkulasi

Yang dikaji: nadi ( takikardi/bradikardi, irama ), tekanan darah,

suhu tubuh, monitor jantung ( EKG ).

e. Sistem gastrointestinal

Hal yang dikaji: Frekuensi defekasi, inkontinensia alvi,

konstipasi / obstipasi, bagaimana dengan bising usus, sudah flatus

apa belum, apakah ada mual dan muntah.

f. Sistem muskuloskleletal

Bagaimana aktifitas klien sehari – hari setelah operasi. Bagaimana

memenuhi kebutuhannya. Apakah terpasang infus dan dibagian

mana dipasang serta keadaan disekitar daerah yang terpasang infus.

g. Sistem eliminasi

Apa ada ketidaknyamanan pada supra pubik, kandung kemih penuh .

Masih ada gangguan miksi seperti retensi. Kaji apakah ada tanda –

tanda perdarahan, infeksi. Memakai kateter jenis apa. Irigasi

kandung kemih. Warna urine dan jumlah produksi urine tiap hari.
Bagaimana keadaan sekitar daerah pemasangan kateter. Terapi yang

diberikan setelah operasi : Infus yang terpasang, obat – obatan

seperti antibiotika, analgetika, cairan irigasi kandung kemih.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin muncul antara lain :

a. Gangguan eliminasi urine: frekuensi, urgensi, hesistancy, inkontinensi,

retensi, nokturia atau perasaan tidak puas setelah miksi berhubungan

dengan obstruksi mekanik : pembesaran prostat.

b. Nyeri berhubungan dengan penyumbatan saluran kencing sekunder

terhadap striktur urethra

c. Cemas berhubungan dengan hospitalisasi, prosedur pembedahan,

kurang pengetahuan tantang aktifitas rutin dan aktifitas post operasi

d. Resiko infeksi area pembedahan berhubungan dengan ketidak

adekuatan pertahanan primer


3. Rencana Asuhan Keperawatan

Tgl/
Diagnosa Keperawatan Luaran Intervensi
Jam
Gangguan Eliminasi Urin Setelah dilakukan tindakan Observasi
berhubungan dengan keperawatan selama 2x24 1. Identifikasi kebiasaan BAK sesuai usia
Penurunan kemampuan menyadari jam, eliminasi urine 2. Monitor integritas kulit pasien
tanda – tanda gangguan kandung membaik
kemih dan saluran kemih Terapeutik
Kriteria Hasil:
1. Suka pakaian yang diperlukan untuk
Dibuktikan dengan: 1. Sensasi berkemih memudahkan eliminasi
Gejala dan tanda mayor: meningkat
2. Dukung penggunaan
1. Desakan berkemih (urgensi) 2. Desakan berkemih toilet/commode/pispot/urinal secara
2. Urin menetes (urgensi) menurun konsistent
3. Sering buang air kecil 3. Distensi kandung kemih 3. Jaga privasi selama eliminasi
4. Nokturia menurun
4. Ganti pakaian pasien setelah eliminasi,
5. Mengompol 4. Berkemih tidak tuntas jika perlu
6. Enuresis (hesitancy)menurun
5. Bersihkan alat bantu BAK setelah
7. Distensi kandung kemih 5. Volume residu urine digunakan
menurun
8. Berkemih tidak tuntas 6. Latihan BAK sesuai jadwal, jika perlu
6. Urine menetes menurun
9. Volume residu urine 7. Sediakan alat bantu (mis.
meningkat 7. Nokturia menurun Katetereksternal, urinal) jika perlu
8. Mengompol menurun
9. Enuresia menurun Edukasi
10. Disuria menurun 1. Anjurkan BAK secara rutin
11. Anuria menurun 2. Anjurkan ke kamar mandi/toilet, jika
12. Frekuensi BAK perlu
membaik
13. Karakteristik urin
membaik
Tgl/
Diagnosa Keperawatan Luaran Intervensi
Jam
Nyeri Akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan Observasi
dengan Agen pencedera keperawatan selama 1x24 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
fisiologis jam, tingkat nyeri menurun frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
Dibuktikan dengan 2. Identifikasi skala nyeri
Gejala dan tanda mayor Kriteria Hasil: 3. Identifikasi respon nyeri nonverbal
1. Mengeluh nyeri 1. Kemampuan menuntaskan 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan
2. Tampak meringis aktifitas meningkat memperingan nyeri
3. Bersikap protektif 2. Keluhan nyeri menurun 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
(mis. Waspada, 3. Meringis menurun tentang nyeri
posisi menghindari 4. Sikap protektif menurun 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap
nyeri) 5. Gelisah menurun respon nyeri
4. Gelisah 6. Kesulitan tidur menurun 7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
5. Frekuensi nadi 7. Menarik diri menurun hidup
meningkat 8. Berfokus pada diri sendiri 8. Monitor keberhasilan terapi komplementer
6. Sulit tidur menurun yang sudah diberikan
9. Diaforesis menurun 9. Monitor efek samping penggunaan analgetik
Gejala dan tanda minor 10. Perasaan depresi (tertekan)
1. Tekanan darah menurun Terapeutik
meningkat 11. Perasaan takut mengalami 1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
2. Pola nafas berubah cidera berulang menurun mengurangi rasa nyeri (mis. Tens, hipnosis,
3. Nafsu makan 12. Anoreksia menurun akupresur, terapi musik, biofedback, terapi
berubah 13. Perinium terasa tertekan pijat, aromaterapi, teknik imajinasi
4. Proses berfikir menurun terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi
terganggu 14. Uterus teraba membulat bermain)
5. Menarik diri menurun 2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
6. Berfokus pada diri 15. Ketegangan otot menurun nyeri (mis. Suhu ruangan, pencahayaan,
sendiri 16. Pupil dilatasi menurun kebisingan)
7. Diaforesis 17. Muntah menurun 3. Fasilitasi istirahat dan tidur
18. Mual menurun 4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
19. Frekuensi nadi membaik pemilihan strategi meredakan nyeri
20. Pola nafas membaik
21. Tekanan darah membaik Edukasi
22. Proses berfikir membaik 1. Jelaskan penyebab periode dan pemicu nyeri
23. Fokus membaik 2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
24. Fungsi berkemih 3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
membaik 4. Anjurkan menggunakan analgetik secara
25. Perilaku membaik tepat
26. Nafsu makan membaik 5. Ajarkan teknik nonfarmakologis unuk
27. Pola tidur membaik mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
2. …………………………………………….
Tgl/
Diagnosa Keperawatan Luaran Intervensi
Jam
Ansietas berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Observasi
Kurang terpapar informasi keperawatan selama 1x24 1. Identifikasi saat tingkat ansietas
jam tingkat ansietas berubah
Dibuktikan dengan: menurun 2. Identifikasi kemampuan mengambil
Gejala dan tanda mayor keputusan
Subjektif Kriteria Hasil: 3. Monitor tanda tanda anietas ( verbal
1. Merasa bingung 1. Verbalisasi dan nonverbal)
2. Merasa khawatir dengan kebingungan menurun
akibat dari kondisi yang 2. Verbalisasi khawatir Terapeutik
dihadapi akibat kondisi ynag 1. Ciptakan suasana terapeutik untuk
3. Sulit berkonsentrasi dihadapi menurun menumbuhkan kepercayaan
3. Perilaku gelisah 2. Temani pasien untuk mengurangi
menurun kecemasan, jika memungkinkan
Objektif 4. Perilaku tegang 3. Pahami situasi yang membuat ansietas
1. Tampak gelisah menurun 4. Dengarkan dengan penuh perhatian
2. Tampak tegang 5. Keluhan pusing 5. Gunakan pendekatan yang tenang
3. Sulit tidur menurun 6. Motivasi mengidentifikasi situasi yang
6. Anoreksia menurun memicu kecemasan
7. Palpitasi menurun 7. Tempatkan barang pribadi yang
Gejala dan tanda minor 8. Frekuensi pernapasan memberikan kenyamanan
Subjektif menurun 8. Diskusikan perencanaan realistis
1. Mengeluh pusing 9. Frekuensi nadi tentang peristiwa yang akan datang
2. Anoreksia menurun
3. Palpitasi 10. Tekanan darah Edukasi
4. Mereka tidak berdaya menurun 1. Anjurkan keluarga untuk tetap bersama
11. Diaforesis menurun pasien , jika perlu
12. Tremor menurun 2. Anjurkan mengungkapkan perasaan
Objektif 13. Pucat menurun dan persepsi
1. Frekuensi nafas meningkat 14. Konsentrasi pola tidur 3. Latih teknik relaksasi
2. Frekuensi nadi meningkat membaik 4. Latih kegiatan pengalihan untuk
3. Tekanan darah meningkat 15. Kontak mata membaik mengurangi ketegangan
4. Diaphoresis 16. Pola berkemih
5. Tremor membaik Kolaborasi
6. Muka tampak pucat 17. Orientasi membaik 1. Kolaborasi pemberian obat
antiansietas, jika perlu
2. ………………………………………
………………………………………
………………………………………
………………………………………

Tgl/ Diagnosa Luaran Intervensi


Jam Keperawatan
Risiko infeksi Setelah dilakukan tindakan Observasi
Dibuktikan dengan keperawatan selama 1x24 jam 1. Identifikasi riwayat kesehatan dan riwayat
Efek prosedur jam kontrol resiko membaik alergi
invasif Kriteria Hasil: 2. Identifikasi kontraindikasi pemberian
1. Kebersihan tangan imunisasi (mis. Reaksi anafilaksis
meningkat terhadap vaksin sebelumnya dan atau
2. Kebersuhan badan sakit parah dengan atau tanpa demam)
meningkat 3. Identifikasi status imunisasi setiap
3. Nafsu makan meningkat kunjungan ke pelayanan kesehatan
4. Demam menurun
5. Kemerahan menurun Terapeutik
6. Nyeri menurun 1. Berikan suntikan pada bayi di bagian
7. Bengkak menurun paha anterolateral
8. Fesikel menurun 2. Dokumentasikan informasi
9. Cairan berbau busuk komunikasi (mis. Nama produsen,
menurun tanggal kadaluarsa)
10. Sputum berwarna hijau 3. Jadwalkan imunisasi pada interval
menurun waktu yang tepat
11. Drainase purulen menurun
12. Oiuria menurun Edukasi
13. Periode malaise menurun 1. Jelaskan tujuan, manfaat, reaksi yang
14. Periode menggigil menurun terjadi, jadwal, dan efek samping
15. Letargi menurun 2. Informasikan imunisasi yang
16. Gangguan kognitif menurun diwajibkan pemerintah (mis. Hepatitis
17. Kadar sel darah putih B, BCG, difteri, tetanus, pertusis, H.
membaik Influenza, polio, campak, measles,
18. Kultur darah membaik rubela)
19. Kultur urine membaik 3. Informasikan imunisasi yang
20. Kultur sputum membaik melindungi terhadap penyakit namun
21. Kultur area luka membaik saat ini tidak diwajibakn pemerintah
22. Kultur feses membaik (mis. Influenza, pneumokokus)
23. Kadar sel darah putih 4. Informasikan vaksinai untuk kejadian
membaik khusus (mis, rabies, tetanus)
5. Informasikan penundaan pemberian
imunisasi tidak berarti mengulang
jadwal imunisasi kembali
6. Informasikan penyedia layanan pekan
imunisasi nasional yang menyediakan
vaksin gratis
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2005. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Lumen. Nicolaase, et al. Etiology of Urethral Stricture Disease in the 21st Century.
The journal of Uroogy. 2009; Vol 182, Issue 3, Pages 983-7

Riyadi, Mushab E. Hubungan anttara lama waktu terpasang kateter dengan tingkat
kecemasan pada klien yng terpasang kateter uretra di bangsal rawat inap
dewasa kelas III RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. 2006.

Mundy, Anthony R. And Andrich, Daniela E. Urethral Strictures. BJU International.


2010;107,6-26

Tijani KH, Adesnya AA, Ogo CN. The New pattern of Urethral Stricture Disease in
Lagos, Nigeria. Niger Postgrad Med J. 2009 Jun;16(2):162-5

Nording L, Liedberg H, Ekman P., et al. Influence of the Nervous System on


Experimentally induced urethral inflammation. Neurosci Lett. 1990 Jul
31;115(2-3):183-8.

Sugandi, Suwandi. Pola Penyakit Striktur Uretra dan Penanganannya di Rumah Sakit
Hasan Sadikin Bandung. MKB2003;Vol.35 No.2

Moorhead, et all. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fifth Edition. Mosby:
Elsevier.

Morton, P.G., Fontaine, D., Hudak, C.M., Gallo, B.M. 2011. Keperawatan Kritis:
Pendekatakan Asuhan Holistik. Jakarta: EGC
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC.

Purnomo, B.B. 2011. Dasar-Dasar Urologi Edisi Ke 3. Jakarta: CV. Agung Seto.

Putri, Puspa Utami. 2013. Discharge planning pada Klien dengan Urolitiasis Post
Ureterorenoscopy (URS) di Ruang Anggrek Tengah Kanan RSUP Persahabatan.
UNiversitas Indonesia [diakses online pada 8 Oktober 2017] lib.ui.ac.id/file?
file=digital/20351454-PR-Puspa%20Utami.pdf
Sjamsuhidrajat R, W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi ke-2. Jakarta :EGC.
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta : EGC.

Muttaqin, A. (2012). Pengkajian Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinik. Jakarta :


Salemba Medika.

Prabowo, E., & Pranata, A. E. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem
Perkemihan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Purnomo, B. B. (2011). Dasar-Dasar Urologi Edisi Ketiga. Jakarta: CV Sagung Seto.

Suharyanto, T., & Madjid, A. (2013). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Trans Info Media.

PPNI.2018.Standart Diagnosa Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostic. Edisi 1. Jakarta:DPP PPNI
PPNI.2018.Standart Luaran Keperawatan Indinesia: Definisi dan Kriteris Hasil
Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI.2018.Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai