Anda di halaman 1dari 24

Kegawadaruratan Pasien dengan Indikasi Gangguan Jiwa

Darryl Anthony 102018005


Windy Arya Pradana Pata’dan 102018096
Misyel Carolina Patandianan 102016071
Kresten Desma Lina 102017136
Catherine Yudi Martono 102018032
Navarti 102018074
Jeanette Sefanya Yefta 102018110
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jln. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510. Tlp. 5666952
Email: windy.2018fk096@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak
Seorang dokter jaga memiliki tanggung jawab dalam menangani pasien gawat darurat baik
dengan dokter ahli maupun tanpa dokter ahli, seorang dokter umum harus mampu memberikan
penanganan pertama secara tepat, cermat dan cepat. Dalam kondisi yang gawat darurat, seorang
dokter jaga perlu menerapkan triase agar menjamin semua orang dapat ditangani dengan cepat
sesuai dengan keadaan gawat yang berhubungan dengan waktu. Pasien yang datang dengan
keluhan gaduh gelisah merupakan pasien yang umumnya dapat datang kedalam instalasi gawat
darurat rumah sakit, tatalaksana dokter untuk menangani pasien ini menentukan bagaimana
prognosis kedepannya hingga kapan seorang dokter perlu merujuk pasien untuk mendapatkan
perawatan lebih intensif terutama dalam kasus gawat darurat psikiatrik yakni gaduh gelisah.
Dalam skenario dijelaskan bahwa pasien datang dengan gaduh gelisah pasca kejadian kecelakaan
yang diakibatkan pasien yang mengemudi dengan ugal-ugalan. Untuk mengetahui diagnosis
lebih lanjut perlu terlebih dahulu menangani gejala dari gaduh gelisah yang dialami oleh pasien
ketika pasien sudah tenang barulah bisa dilakukan anamnesa secara menyeluruh sambil
menunggu hasil tes pemeriksaan penunjang.
Kata kunci: Gaduh gelisah, Tatalaksana Gawat darurat, triase, medikolegal.
Abstract
A doctor on duty has the responsibility of dealing with emergency patients with or without
specialist doctors, a general practitioner must be able to provide appropriate, thorough and fast
first treatment. In an emergency condition, a doctor on duty needs to apply triage to ensure that
everyone can be treated quickly in accordance with emergency situations related to time.
Patients who come with complaints of restlessness are patients who generally can come into the
hospital's emergency department, the doctor's management for dealing with these patients
determines how the prognosis will be in the future until when a doctor needs to refer patients for
more intensive care, especially in cases of psychiatric emergencies, namely rowdy nervous. In
the scenario, it is explained that the patient comes with restless noise after an accident caused by
the patient driving recklessly. To find out further diagnosis, it is necessary to first treat the
symptoms of restlessness experienced by the patient when the patient is calm, then a thorough
history can be done while waiting for the results of the investigations.
Keywords: restless, emergency management, triage, medicolegal.
Pendahuluan
Kegawatdaruratan psikiatri ialah gangguan pada berpikir, perasaan atau tingkah laku
yang memerlukan intervensi terapeutik/ pengobatan secepatnya/segera diantaranya: syarat gaduh
gelisah, tindak kekerasan (violence), tentamen Suicidum/percobaan bunuh diri, gejala ekstra
piramidal dampak penggunaan obat serta delirium. Emergensi psikiatri dapat terjadi pada tempat
tinggal, dijalan, dikantor, pada Unit Jiwa, di Unit Penyakit medis awam, Unit Bedah, pada RSU,
atau bahkan pada unit emergensi sekalipun. Situasi kedaruratan dapat berupa ancaman segera
terhadap kehidupan, kesehatan, harta benda atau lingkungan; kehilangan kehidupan, gangguan
kesehatan, kerusakan mal serta lingkungan; dan cenderung peningkatan bahaya yg tinggi serta
segera terhadap kehidupan, kesehatan, harta benda atau lingkungan.1
Para tenaga medis dalam melaksanakan tugasnya di IGD RS setiap harinya memiliki
potensi setidaknya saat mengatasi pasien kecelakaan yang datang dengan gejala gaduh gelisah
beserta luka-luka akibat kecelakaan. Umumnya pasien gaduh gelisah datang dibawa ke IGD RS
oleh pihak ketiga seperti kerabat, masyarakat sekitar hingga dari pihak kepolisian yang sedang
bertugas. Pasien yang memiliki gejala gaduh gelisah tidak mampu untuk menilai realita atau
berpikir dengan jernih. Apabila tidak mendapatkan pertolongan medis maka pasien dengan
gaduh gelisah berpotensi untuk melukai orang lain hingga dirinya sendiri. Ini merupakan tugas
yang cukup sulit setidaknya dokter perlu mendapatkan bagaimana kronologis kecelakaan bisa
terjadi hingga melakukan tatalaksana terhadap pasien yang terluka akibat kecelakaan yang di
ikuti dengan keluhan gaduh gelisah.1,2

Tatalaksana Kegawatdaruratan
Triase atau Triage ialah sebuah sistem yang terstruktur secara sistematis mengurutkan
skala prioritas pasien dalam hal penanganan medis. Fungsi dari triase secara umum didalam IGD
ialah pasien yang datang secara bersamaan diobati sesuai dengan urgensi klinis mereka mengacu
pada kebutuhan intervensi waktu -kritis. Pasien yang datang ke IGD RS akan selalu dinilai
kegawatannya menjadi 3 prioritas, yaitu prioritas 1, 2 dan 3. Prioritas 1 yaitu kasus/penyakit
dengan kegawatdaruratan yang mengancam jiwa atau gawat darurat berat. Prioritas 2 untuk
kasus/ penyakit dengan gawat darurat ringan. Prioritas 3 untuk kasus/penyakit yang bukan gawat
darurat. Seluruh pasien dengan prioritas 1 menjadi pilihan pertama petugas untuk mendahulukan
pelayanan. Pasien dengan prioritas 2 ditangani setelah pasien prioritas 1 selesai ditangani.
Karena itu perlu pengertian dan kesabaran dari pasien atau pengantarnya. Prioritas 1, 2, dan 3
ditentukan oleh dokter IGD sesuai dengan derajat kegawatannya. Agar tidak mengganggu
petugas dalam melakukan pertolongan pasien, maka hanya satu atau dua orang pengantar
diperbolehkan masuk. 1,3,4

Pasien yang datang ke IGD akan mengalami proses triage/pemilihan. Triase adalah suatu
sistem pembagian/klasifikasi prioritas klien berdasarkan berat ringannya kondisi klien atau
kegawatanya yang memerlukan tindakan segera. Tujuan triase adalah memilih atau
menggolongkan semua pasien yang datang ke IGD dan menetapkan prioritas penanganan.
Prosedur Triase (Permenkes RI No. 47 tahun 2018) yaitu pasien dibedakan menurut
kegawatdaruratannya dengan memberi kode warna: 1,3,4

1. Kategori merah: prioritas pertama (area resusitasi), pasien cedera berat mengancam jiwa
yang kemungkinan besar dapat hidup bila ditolong segera. Pasien kategori merah dapat
langsung diberikan tindakan di ruang resusitasi, tetapi bila memerlukan tindakan medis
lebih lanjut, pasien dapat dipindahkan ke ruang operasi atau di rujuk ke rumah sakit lain.
2. Kategori kuning: prioritas kedua (area tindakan), pasien memerlukan tindakan defenitif
tidak ada ancaman jiwa segera. Pasien dengan kategori kuning yang memerlukan
tindakan medis lebih lanjut dapat dipindahkan ke ruang observasi dan menunggu giliran
setelah pasien dengan kategori merah selesai ditangani.
3. Kategori hijau: prioritas ketiga (area observasi), pasien degan cedera minimal, dapat
berjalan dan menolong diri sendiri atau mencari pertolongan. Pasien dengan kategori
hijau dapat dipindahkan ke rawat jalan, atau bila sudah memungkinkan untuk
dipulangkan, maka pasien diperbolehkan untuk dipulangkan.
4. Kategori hitam: prioritas nol pasien meninggal atau cedera fatal yang jelas dan tidak
mungkin diresusitasi. Pasien kategori hitam dapat langsung dipindahkan ke kamar
jenazah.

Pemeriksaan Kegawatdaruratan
Primary survey
Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan adalah mengamankan dan
mengaplikasikan prinsip ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability Limitation,
Exposure): 5,6
1. A: Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan
nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas oleh adanya benda asing
atau fraktus di bagian wajah. Usaha untuk membebaskan jalan nafas 6 harus memproteksi
tulang cervikal, karena itu teknik Jaw Thrust dapat digunakan. Pasien dengan gangguan
kesadaran atau GCS kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitive.
2. B: Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus menjamin
ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru paru yang baik, dinding
dada dan diafragma. Beberapa sumber mengatakan pasien dengan fraktur ektrimitas
bawah yang signifikan sebaiknya diberi high flow oxygen 15 l/m lewat non-rebreathing
mask dengan reservoir bag.
3. C: Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan di sini
adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac output. Pendarahan sering menjadi
permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama patah tulang terbuka. Patah tulang
femur dapat menyebabkan kehilangan darah dalam paha 3 - 4 unit darah dan membuat
syok kelas III. Menghentikan pendarahan yang terbaik adalah menggunakan penekanan
langsung dan meninggikan lokasi atau ekstrimitas yang mengalami pendarahan di atas
level tubuh. Pemasangan bidai yang baik dapat menurunkan pendarahan secara nyata
dengan mengurangi gerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar patahan.
Pada patah tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat menghentikan
pendarahan. Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting disamping usaha
menghentikan pendarahan.
4. D: Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi singkat terhadap
keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran dengan menggunakan
GCS, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal.
5. E: Pada exposure merupakan bagian terakhir dari primary survey, pasien harus dibuka
keseluruhan pakaiannya untuk melakukan pemeriksaan thoraks kemudian diberikan
selimut hangat, cairan intravena yeng telah dihangatkan dan ditempatkan pada ruangan
cukup hangat ini dilakukan pada saat dirumah sakit. Periksa punggung dengan
memiringkan pasien dengan cara long roll. Pemeriksaan seluruh bagian tubuh harus
segera dilakukan tindakan agar mencegah terjadinya hiportermia.
Secondary survey5,6

Pemeriksaan dilakukan setelah pasien dengan keadaan stabil dan dipastikan airway,
breathing dan sirkulasi dapat membaik. Bagian dari survey sekunder pada pasien kecelakaan
gawat darurat adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik. Tujuan dari survey sekunder adalah
mencari cedera-cedera lain yang mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun terlewatkan
dan tidak terobati. Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil riwayat
AMPLE dari pasien, yaitu Allergies, Medication, Past Medical History, Last Ate dan Event
(kejadian atau mekanisme kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting untuk ditanyakan untuk
mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh pasien, terutama jika kita masih
curiga ada cedera yang belum diketahui saat primary survey. Apabila pasien tidak dapat
melakukan anamnesis maka kita dapat melakukan alloanamnesis melalui teman/kelurga pasien
terkait dengan terjadinya mekanisme trauma.

Selain riwayat 9 AMPLE, penting juga untuk mencari informasi mengenai penanganan
sebelum pasien sampai di rumah sakit. Secara umu pemeriksaan fisik awal yang dilakukan yaitu
menilai keadaan umum, kesadaran dan tanda-tanda vital. Lalu pemeriksaan yang dapat
dilakukan yaitu dengan Look, Feel, Move. Pada Look, kita menilai warna dan perfusi, luka,
deformitas, pembengkakan, dan memar. Penilaian inspeksi dalam tubuh perlu dilakukan untuk
menemukan pendarahan eksternal aktif, begitu pula dengan bagian punggung. Bagian distal
tubuh yang pucat dan tanpa pulsasi menandakan adanya gangguan vaskularisasi. Ekstremitas
yang bengkak pada daerah yang berotot menunjukkan adanya crush injury dengan ancaman
sindroma kompartemen. Pada pemerikasaan Feel, kita menggunakan palpasi untuk memeriksa
daerah nyeri tekan, fungsi neurologi, dan krepitasi. Pada periksaan Move kita memeriksa Range
of Motion dan gerakan abnormal. Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan
mengingat cedera muskuloskeletal juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf dan iskemia
sel syaraf.

Kegawatdaruratan Psikiatri
Secara definisi kegawatdaruratan psikiatri mengacu pada kondisi darurat yang perlu
mendapatkan penanganan medis segera, hal ini disebabkan karena adanya penyimpangan atau
gangguan pada perilaku, sikap, proses berpikir yang dapat membahayakan individu disekitar
pasien maupun dapat menyebabkan resiko pada diri sendiri terhadap lingkungannya. Dalam
kegawatdaruratan psikiatrik dijelaskan bahwa ada hal yang tidak berhubungan dengan kelainan
organis (psikosis, mania, histeri dissosiatif, gangguan panik dan sebagainya) dan hal yang
berhubungan dengan kelainan organis/delirium (trauma kapitis, drug abuse, stroke, kelainan
metabolik, sensitivitas terhadap obat dan sebagainya). Triase pada kasus kegawatdaruratan
psikiatrik dapat dibedakan menjadi:7

1. Darurat Tidak Gawat: keadaan tidak gawat tetapi perlu pertolongan segera; contoh gejala
putus zat, mutilasi diri, keadaan krisis
2. Tidak Gawat Tidak Darurat: keadaan kejiwaan yang tidak gawat dan tidak perlu
pertolongan segera; contoh gangguan jiwa kronis, gangguan jiwa ringan, gangguan
kepribadian
3. Gawat dan Darurat seperti: delirium, status epileptikus, intoksikasi, tentamen suicidum,
gaduh gelisah, kekerasan
4. Gawat Tidak Darurat : Demensia

Pemeriksaan Psikiatrik dan Status Mental

Pemeriksaan Psikiatrik yang komprehensif sangat berbeda dari pemeriksaan medik


umum, setidaknya ada beberapa perhatian khusus yang perlu diperhatikan antaranya manifestasi
emosional, fungsi mental, dan perilaku. Secara kerangka umum pemeriksaan lengkap terdiri
atas:2,8

1. Pemeriksaan tidak langsung (indirect examination)


a) Anamnesis-Keluhan tentang gangguan sekarang dan laporan pasien mengenai
perkembangan keluhannya itu hingga riwayat situasi hidup pasien.
b) Keterangan mengenai pasien yang diperoleh dari pihak keluarga atau dari orang-
orang lain yang mengenalnya.
2. Pemeriksaan Langsung ( direct examination )
a) Pemeriksaan fisik terutama status internus dan neurologik.
b) Pemeriksaan Khusus psikik/Status mental.
a. Penampilan umum, meliputi kesan fisik keseluruhan (penampilan,
pakaian, kerapihan, dan kebersihan.)
b. Bidang emosi, Afek ( Affect/Emotion ), berhubungan dengan Bagaimana
pasien menyatakan perasaannya, kedalaman, intensitas, durasi, fluktuasi
suasana perasaan- depresi, berputus asa, mudah tersinggung, cemas,
menakutkan, marah, meluap-luap, euforia, hampa, rasa bersalah, perasaan
kagum, merendahkan diri sendiri. ), Sedangkan pada Afek ( ialah ekspresi
keluar dari pengalaman dunia dalam pasien), bagaimana pemeriksa
menilai afek pasien-luas, terbatas, tumpul atau datar, dangkal, jumlah dan
kisaran dari ekspresi perasaan.
c. Bidang pikiran/ideasi ( Thought/ideation ) Bentuk pikiran: prosess pikir
cepat/lambat, ide yang meluap-luap, kekurangan ide, ide yang melompat-
lompatberpikir ragu-ragu, apakah pasien bicara secara spontan ataukah
menjawab hanya bila ditanya. Gangguan berbahasa: Gangguan yang
mencerminkan gangguan mental seperti inkoheren, bicara yang tidak
dimengerti. Isi pikiran: termasuk waham, obsesi, fobia, dsb.
d. Bidang motorik/perilaku ( Motor action/behavior ) Perilaku dan aktivitas
psikomotorik ( kesopanan, keinginan untuk bekerja sama, ekspresi wajah,
cara berjalan, gerak-isyarat, kaku, lamban, hiperaktif, melawan, bersikap
seperti lilin.)
c) Pemeriksaan Tambahan: Adanya alasan khusus untuk melaksanakan pemeriksaan
tersebut yakni seperti uji psikologik, elektroensefalografi, foto sinar tembus, CT-
Scan, pemeriksaan zat kimia tubuh ( contohnya : hormon ), dan lain-lain.

Evaluasi Medik dan Evaluasi Psikiatrik.

Evaluasi Medik - NAPZA

Lakukan evaluasi terhadap kesadaran, psikomotor (hipperaktif/hipoaktif, agresif dsb)


serta proses pikir (waham, paranoid, halusinasi dsb). Lakukan pemeriksaan penunjang berupa
urinalisis hendaknya tidak lebih dari 24 jam. Pada kasus didapatkan hasil pemeriksaan penunjang
pasien berupa pemeriksaan urinalisis hasilnya adalah (+) narkoba. Dengan hal ini perlu
dilakukan tatalaksana kedaruratan napza. Pasien psikotik dapat diberikan haloperidol 3 x5 mg
sebagai tatalaksana awal.7

Evaluasi Psikiatrik

Proses evaluasi di kedaruratan psikiatri antara lain: 8-10

a. Wawancara kedaruratan psikiatri,


b. Pemeriksaan fisik,
c. Pemeriksaan penunjang.

Hal hal yang sebaiknya dievaluasi pada pasien yang akan dirujuk ke bagian psikiatri adalah
risiko bunuh diri, risiko kekerasan (violence), dan penilaian psikososial.

Hal-hal yang harus diperhatikan di kondisi kedaruratan yaitu,

a. Agitasi dan agresi,


b. Perkosaan.
c. Withdrawal (lepas zat),
d. Intoksikasi zat,
e. Kekerasan domestik,
f. Kekerasan pada anak,
g. Kekerasan pada lansia.

Perawatan di kedaruratan psikiatri biasanya berfokus pada manajemen perilaku dan


gejala. Proses pengobatan dilakukan bersamaan dengan proses evaluasi (jika pemberian terapi
telah memungkinkan).

Wawancara awal tidak hanya berfungsi untuk memperoleh informasi diagnostik yang
penting, tetapi juga untuk terapi. Dalam melakukan proses evaluasi, bila fasilitas tidak memadai,
dapat dilakukan perujukan pada fasilitas kesehatan terdekat yang memiliki fasilitas yang cukup
untuk penatalaksanannya.

Modalitas terapi yang digunakan untuk seting kedaruratan psikiatri antara lain:

a. Farmakoterapi
b. Seclusion (isolasi) dan restraint (fiksasi fisik),
c. Psikoterapi.

Pemeriksaan Penunjang

Selain itu pemeriksaan penunjang juga perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis
apakah pasien mengalami trauma atau tidak. Pemeriksaan laboratorium untuk pasien gaduh
gelisah akut dengan kecurigaan organik:8,11

1. Darah lengkap untuk melihat hemodinamik pasien.


2. Foto polos kepala, thorax dan abdomen apabila dicurigai adanya trauma organik.
3. CT scan kepala: Pemeriksaan CT scan kepala masih merupakan gold standard bagi setiap
pasien dengan cedera kepala, dan merupakan modalitas pilihan karena cepat, digunakan
secara luas, dan akurat dalam mendeteksi patah tulang tengkorak dan lesi intrakranial. CT
scan dapat memberikan gambaran cepat dan akurat lokasi perdarahan, efek penekanan,
dan komplikasi yang mengancam serta apabila membutuhkan intervensi pembedahan
segera.
4. MRI: Magnetic resonance imaging (MRI) digunakan untuk membedakan antara fraktur
yang disebabkan oleh keganasan, serta melihat kelainan neurologis yang terjadi secara
sekunder akibat dari kompresi nerve roots dan spinal cords.
5. Tes MMSE (Mini Mental State Examination) juga dapat dilakukan jika pasien sudah
dalam keadaan tenang dan kooperatif untuk mendeteksi adakah gangguan kognitif.
6. Urinalisis merupakan spesismen yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan
penggunaan zat secara rutin karena ketersediaanya dalam jumlah besar dan memiliki
kadar obat dalam jumlah besar sehingga lebih mudah mendeteksi obat dibandingkan pada
spesimen lain. Kelebihan spesimen urin adalah pengambilannya tidak invasif dan dapat
dilakukan oleh petugas yang bukan medis. Urin merupakan matriks yang stabil dan
disimpan beku tanpa merusak integritasnya. Obat-obatan dalam urin biasanya dideteksi
sesudah 1-3 hari.

Kelemahan pemeriksaan urin adalah mudahnya dilakukan pemalsuan dengan cara


substitusi dengan bahan lain maupun diencerkan sehingga mengacaukan hasil
pemeriksaan. Pemeriksaan narkoba seringkali dibagi menjadi pemeriksaan skrining dan
konfirmatori.

Pemeriksaan skrining merupakan pemeriksaan awal yang pada obat yang


golongan besar atau metabolitnya dengan hasil presumptif positif atau negatif. Secara
umum pemeriksaan skrining merupakan pemeriksaan yang cepat, sensitif, tidak mahal
dengan tingkat presisi dan akurasi yang masih dapat diterima walaupun kurang spesifik
dan dapat menyebabkan hasil positid palsu karena terjadinya reaksi silang dengan
substansi lain dengan struktur kimia yang mirip.

Pada pemeriksaan skrining metode yang sering digunakan adalaah immunoassay


dengan prinsip pemeriksaan adalah reaksi antigen dan antibodi secara kompetisi.
Pemeriksaan skrining dapat dilakukan diluar laboratorium dengan metode onsite strip test
maupun didalam laboratorium dengan metode ELISA.

Pemeriksaan konfirmasi digunakan pada spesimen dengan hasil positif pada


pemeriksaan skrining. Pemeriksaan konfirmasi menggunakan metode yang sangat
spesifik untuk menghindari hasil positif palsu. Metode konfirmasi yang sering digunakan
adalah gas chromatography/ mass spectrometry atau liquid chromatography/mass
spectrometry yang dapat mengidentifikasi jenis obat secara spesifik dan tidak dapat
bereaksi silang dengan substansi lain.

Kekurangan metode konfirmasi adalah waktu pengerjaannya yang lama dan


membutuhkan ketrampilan tinggi serta biaya pemeriksaan mahal.Waktu deteksi obat
dalam urin tergantung berbagai kondisi termasuk waktu paruh obat.

7. Rapid Test

Dalam
pemeriksaan
zat ada
beberapa
cara salah
satunya dengan menggunakan Rapid Test. Rapid test menggunakan strip/stick test dan
card test.Strip test ada menggunakan 3 parameter yaitu: amphetamine, marijuana, morfin
dan ada yang menggunakan 6 parameter yaitu amphetamine, methamphetamine, cocaine,
morfin, marijuana dan benzidiazephine. Strip ini dibuat dalam bentuk imunokromatografi
kompetitif kualitif yang praktis, tidak memerlukan tenaga terampil dan cepat dengan
diperoleh hasil dalam 3-10menit. Dengan sampel urin teknik ini memiliki sensitivitas
sesuai dengan standar nasional institute on drug abuse dengan spesifitas 99,7%. Perlu
diingat untuk pemeriksaan ini pembacaan hasil harus dilakukan saat 5 menit dan tidak
boleh melebihi 10 menit karena akan terbentuk hasil positif palsu. Sedangkan card test
sama dilakukan seperti strip tes. Yang membedakan adalah strip test ini dicelupkan pada
wadah yang sudah diisi dengan urin sedangkan pada card tes ini urin yang diteteskan
pada zona sampel sekitar 3-4 tetes urin.

8. Tes Darah

Pada pengguna narkoba akan didapat hasil SGOT dan SGPT yang meningkat
karena biasanya pemakaian narkoba dalam jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya
hepatomegali.

9. Sampel Rambut

Cara ini dinilai lebih mantap dibandingkan tes urin untuk memastikan seorang
pecandu obat/zat atau tidak. Ada beberapa kelebihan dari analisis rambut bila
dibandingkan dengan tes urin. Salah satunya adalah narkoba dan metabolisme narkoba
akan berada dalam rambut secara abadi dan mengikuti pertumbuhan rambut yang
berlangsung sekitar 1 inchi per 60 hari. Sedangkan kandungan zat/obat dalam urin segera
berkurang dan menghilang dalam waktu singkat. Berikut ini disediakan tabel
pemeriksaan tes darah dan tes rambut tentang mendeteksi keberadaan narkoba:
Analisis Kejadian Kecelakaan menyebabkan Gangguan Psikiatri

Kecelakaan lalu lintas sering terjadi pada seorang yang penyalahgunaan obat/zat. Salah
satunya pengguna alkohol. Pada seorang yang mengendarai motor/ mobil setelah minum alkohol
dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain karena kecermatan penglihatan seseorang
berkurang dibawah pengaruh alkohol. Kemampuan membedakan warna menjadi terganggu,
kordinasi motorik juga terganggu oleh alkohol sehingga keterampilan mengemudi terganggu dan
kecepatan menginjak rem, kopling dan menggerakkan persneling terganggu. Hambatan alkohol
terhadap pusat inhibisi membuat pengemudi menjadi lebih berani dan nekat. Alkohol juga dapat
memperlambat raktu reaksi terhadap cahaya maupun suara. Oleh karena bahaya tersebut, ada
ketentuan bagi pengemudi kendaraan agar pada waktu mengemudi kadar alkohol dalam darah
tidak lebih tinggi dari batas maksimal yang diperbolehkan setiap negara. Batas maksimal itu
tidak sama untuk setiap negara, tetapi pada umumnya berkisar 0,05-0,08%. Penyalahgunaan
alkohol sering menyebabkan kecelakaan bagi yang mengemudikan mobil ketika dia mabuk
minum alkohol.8,11,12

Tabrakan kendaraan merupakan paling utama pada trauma kepala tertutup untuk usia
remaja dan dewasa muda. Trauma kapitis akibat tabrakan dapat berupa: benturan, pukulan atau
sentakan ke kepala atau cedera yang menembus dan menganggu fungsi normal otak. Hal ini
dapat menyebabkan kerusakan fungsi kognitif, fisik, psikososial permanen serta dapat
menurunkan tingkat kesadaran. Bahkan dapat menyebabkan gangguan psikiatri pasca trauma
kapitis merupakan kejadian yang sering. Beberapa jenis gangguan psikiatri terjadi seperti:
depresi, mania, Obsessive-Compulsive Disorder, post-traumatic stress disorder, psikosis, dan
perubahan kepribadian. Perubahan kepribadian yang dapat terjadi yaitu apatis pada cedera kepala
berat, afektif yang labil dan agresif. 8,11,12
Diagnosis Banding

Trauma kepala

Cedera kepala atau trauma kepala adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional
jaringan otak. Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran dan
dapat menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.13,14

Dalam ilmu kedokteran penyebab terjadinya trauma dapat dibedakan menjadi trauma
tumpul dan trauma tajam. Trauma tumpul ialah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada
permukaan tubuh oleh benda-benda tumpul. Hal ini disebabkan oleh benda-benda yang
mempunyai permukaan tumpul, seperti batu, kayu, martil, terkena bola, dan lain-lain. Sedangkan
trauma tajam ialah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada permukaan tubuh oleh
benda-benda tajam. Trauma tajam dikenal dalam tiga bentuk pula yaitu luka iris atau luka sayat
(vulmus scissum), luka tusuk (vulmus punctum) atau luka bacok (vulmus caesum). 13,14

Klasifikasi trauma kepala dapat dinilai berdasarkan Skala Koma Glasgow yang dibagi
menjadi: 13,14

1. Cedera kepala ringan (GCS 13-15) : Biasanya terjadi penurunan kesadaran dan
apabila ada penurunan kesadaran hanya terjadi beberapa detik sampai beberapa menit
saja. Tidak ditemukan kelaianan pada pemeriksaan CT-scan, LCS normal, dapat
terjadi amnesia retrograde.
2. Cedera kepala sedang (GCS 9-12) : Dapat terjadi penurunan kesadaran yang
berlangsung hingga beberapa jam. Sering tanda neurologis abnormal, biasanya
disertai edema dan kontusio serebri. Terjadi juga drowsiness dan confusion yang
dapat bertahan hingga beberapa minggu. Fungsi kognitif maupun perilaku yang
terganggu dapat terjadi beberapa bulan bahkan permanen.
3. Cedera kepala berat (GCS <8): Terjadi hilangnya kesadaran yang berkepanjangan
atau yang disebut koma. Penurunan kesadaran dapat hingga beberapa bulan. Pasien
tidak mampu mengikuti, bahkan perintah sederhana, karena gangguan penurunan
kesadaran. Termasuk juga dalam hal ini status vegetatif persisten. Tanpa
memperdulikan nilai SKG, pasien digolongkan sebagai penderita cedera kepala berat
bila pupil tak ekual, pemeriksaan motor tak ekual, cedera kepala terbuka dengan
bocornya CSS atau adanya jaringan otak yang terbuka, perburukan neuroloik, dan
fraktur tengkorak depressed.

Gangguan Mental Organik.

Ialah sebuah kelompok diagnosis pada gangguan jiwa yang disebabkan oleh adanya
kelainan pada jaringan otak atau pada organ lain diluar otak tapi mempengaruhi fungsi otak.
Gangguan mental organik adalah suatu gangguan patologi yang jelas, misalnya: tumor otak,
penyakit serebrovaskular, atau intoksikasi obat. Gangguan Mental Organik disebut juga sebagai
Sindrom Otak Organik yang etiologinya (diduga) jelas, Sindrom Otak Organik dikatakan akut
atau menahun berdasarkan dapat atau tidak dapat kembalinya (reversibilitas) gangguan jaringan
otak. Gejala utama Sindrom Otak Organik akut ialah kesadaran yang menurun (delirium) dan
sesudahnya terdapat amnesia dan pada kondisi menahun (kronik) ialah demensia. Gambaran
utama dari gangguan mental organik:2,8,15

1. Gangguan fungsi kognitif: daya ingat (memory), daya pikir (intellect) dan daya
belajar (learning).
2. Gangguan sensorium: gangguan kesadaran (consciousness) dan perhatian (attention).
3. Gangguan manifestasi yang menonjol: perseprsi (halusinasi), isi pikiran
(waham/delusi), suasana perasaan dan emosi (depresi, gembira, cemas).

Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif

Penggolongan zat psikoaktif/NAPZA yang merupakan singkatan dari narkotika,


psikotropiza dan zat lainnya. Gangguan mental dan perilaku yang dapat terjadi akibat
penggunaan zat psikoaktif:16

1. Adiksi dan Ketergantungan Narkoba

Adiksi dan ketergantungan narkoba yaitu suatu pola maldaptif penggunaan zat
yang menimbulkan hendaya dan penderitaan klinis secara signifikan. Berdasarkan
kriteria diagnostik menurut DSM-TR-IV diagnosis ditegakkan jika terdapat 3 atau
lebih gejala dibawah ini dan dialami 1 tahun sebelumnya:

a) Toleransi
 kebutuhan untuk terus meningkatkan jumlah zat untuk
mencapai intoksikasi/ efek yang diinginkan.
 Penurunan efek yang sangat nyata dengan berlanjutnya
penggunaan zat dalam jumlah yang sama.
b) Putus zat, dimanifestasikan sebagai:
 Karakteristik sindrom putus zat spesifik
 Zat yang sama atau yang berkaitan dikonsumsi untuk
mengurangi efek putus zat
c) Zat sering dikonsumsi dalam jumlah yang lebih besar atau dalam periode yang
lebih lama daripada seharusnya
d) Terdapat keinginan persisten, atau tidak berhasil dalam upayamengurangiatau
mengendalikan pemakaian
e) Menghabiskan banyak waktu untuk memperoleh zat untuk pulih dari efeknya.
Misal: mengunjungi banyak dokter untuk mendapatkan obat tersebut.
f) Mengorbankan atau mengurangi aktivitas rekreasional, pekerjaan atau sosial
yang penting, karena penggunaan zat.
g) Pengguaan zat berlanjut, meski menyadari ada masalah fisik atau psikologis
rekuren yang disadarinya disebabkan oleh penggunaan zat.
2. Intoksikasi Akut Zat Psikoaktif

Merupakan kondisi peralihan yang timbul akibat penggunaan zat psikoaktif


atau alcohol sehigga terjadi penurunan kesadaran, gangguan kognitif, gangguan
persepi, gangguan afek, fungsi dan respon psikofisiologis lainya. Intoksikasi
berkurang dengan berjalannya waktu dan efeknya akan hilang. Dan orang akan
kembali normal jika tidak menggunakan lagi, kecuali sudah terjadi kerusakan
jaringan.

a) Intoksikasi Ganja
o Gejala klinik pada intoksikasi ganja adalah sebagai berikut:
 Gejala subyektif antara lain adalah euforia, palpitasi, peningkatan
kewaspadaan, gangguan persepsi, reaksi panik: gangguan memori,
depersonalisasi, disorientasi, halusinasi visual, psikosis akut.
 Gejala obyektif antara lain adalah takikardia, hipotensi ortostatik,
conjunctival injectoin, tremor, ataksia.
b) Intoksikasi Kokain
o Gejala Klinik pada intoksikasi kokain adalah:
 Sistem syaraf pusat: euforia, ansietas, agitasi, tremor, rigiditas otot,
hiperaktivitas, kejang, hipertermia, hipertensi, perdarahan serebral,
delirium, koma, psikosis.
 Pemakaian kronis: insomnia dan paranoid.
 Withdrawal/putus zat: rasa lelah, mimpi buruk (nightmare),
insomnia/ hipersomnia, nafsu makan, agitasi atau bahkan retardasi
psikomotor.
 Kardiovaskuler: ventrikuler takiaritmia, hipertensi, stroke
hemorhagic, spasme arteri coronaria/thrombus menyebabkan
infark miokard.
 Vasokonstriksi pembuluh darah: extravasasi, renal failure.
c) Intoksikasi Alkohol

Gejala Klinik

 Akut: euforia, gangguan koordinasi, ataksia, nistagmus, gangguan


pertimbangan, respon reflek menurun, depresi pernafasan bahkan
koma.
 Kronis: perdarahan lambung, pankreatitis, hepatitis, sirosis hepatis,
hepatic ensefalopati, hipoglikemia, hipokalemia, hipofosfatemia,
hipomagnesia, dan alkohol ketoasidosis.

Gejala putus alkohol:

Hiperaktivitas sistem syaraf otonom: keringat banyak, nadi >100, tremor,


insomnia, mual, muntah, halusinasi, agitasi, ansietas, kejang.
d) Intoksikasi Opioida

Gejala klinik:

 Terdapat tanda-tanda pemakaian: needle track.


 Terdapat perilaku maladaptif: euforia, apatia, disforia, agitasi, retardasi
psikomotor, hendaya dalam perhatian dan daya ingat serta, hendaya
fungsi sosial atau pekerjaan.
 Bicara cadel, mual, muntah, kulit kemerahan, demam.
 Konstriksi pupil, gangguan kesadaran (apatis, somnolens, hingga
koma), tekanan darah turun dan nadi lemah, depresi pernafasan
(frekuensi nafas kurang dari 10 X /menit).
 Withdrawal: disforia, nausea, vomitus, nyeri otot, lakrimasi atau
rinorhea, dilatasi pupil, piloereksi, keringat sangat banyak, dia-re,
menguap, demam, insomnia.

Tatalaksana Medik dan Psikiatrik

Tatalaksana gaduh gelisah

Beberapa literature menyatakan ada empat poin penting dalam penanganan pasien gaduh gelisah
yaitu, manipulasi lingkungan, verbal de-escalation, fiksasi mekanik, dan intervensi farmakologi,
di antaranya:7,17-19

1. Manipulasi Lingkungan : Perhatian utama dalam penanganan pasien gaduh gelisah adalah
memastikan keselamatan pasien dan orang-orang yang ada di sekitar pasien. Tenaga
medis jangan menempatkan dirinya di situasi yang tak menguntungkan, contohnya
melakukan pemeriksaan seorang diri, melakukan pemeriksaan di ruang tertutup atau
akses ke pintu keluar terhalang. Semua barang yang berpotensi mencederai diri pasien
atau orang lain, sebaiknya dijauhkan dari jangkauan pasien. Tempatkan pasien di ruangan
yang tenang dengan pencahayaan yang cukup, sambil ditemani oleh keluarga yang
dikenal oleh pasien.
2. Verbal de-Escalation : Teknik verbal de-escalation adalah suatu teknik untuk
menenangkan pasien yang terbukti dapat mengurangi kondisi gaduh gelisah pasien dan
potensi terjadinya tindak kekerasan pasien. Pemeriksa harus dapat bersikap tenang,
meyakinkan dan waspada akan apapun kemungkinan yang dapat terjadi.
 Alur dari verbal de-escalation
1. Menghargai individu dan lingkungan \
2. Tidak bersifat provokatif
3. Membina kontak verbal
4. Komunikasi singkat/ringkas
5. Identifikasi keinginan dan perasaan
6. Dengarkan secara jelas apa yang diueapkan pasien
7. Setuju atau setuju untuk tidak setuju
8. Buat batamn jelas
9. Tawarkan dan optimisme
10. Ada tanya Jawab antara pasien dan petugas
3. Fiksasi Mekanik (Physical Restrain) Fiksasi dilakukan untuk membatasi mobilitas fisik
pasien, dengan cara mengikat pasien menggunakan cloth bands agar pasien tidak
mencederai dirinya sendiri maupun orang lain. Fiksasi harus dilakukan secara hati-hati
agar tidak mencederai pasien. Komplikasi yang dapat terjadi akibat fiksasi mekanik
adalah trauma psikologis pasien, dehidrasi, fraktur ekstrimitas, depresi napas, bahkan
kematian mendadak. Oleh karena itu, pasien juga harus dimonitoring secara ketat selama
difiksasi.

Intervensi Farmakologi 19-21

Penggunaan obat bertujuan untuk menenangkan pasien dan mengurangi agresivitas


pasien, tetapi pemeriksa masih memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan yang diperlukan.
Obat yang paling sering digunakan yaitu:

 Obat injeksi antipsikotik tipikal (haloperidol 5-10 mg IM; dapat diulang 30 menit
kemudian dengan dosis maksimal 30-45 mg, dosis maksimal 60 mg/ hari)
 Obat golongan benzodiazepine (diazepam 5-10 mg PO atau IM atau lorazepam 1-
4 mg PO)
 Obat injeksi antipsikotik atipikal (Olanzapine 5-10 mg IM, dapat diulang 30-45
menit kemudian, dengan dosis maksimal 20 mg/ hari).

Kriteria Rujukan

Rujukan adalah memindahkan Pasien ke tingkat Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang lebih
tinggi ataupun ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang memiliki sarana dan prasaran medis serta
tenaga ahli yang dibutuhkan untuk memberikan terapi definitif kepada Pasien.4,15

1. Rujukan dilaksanakan jika tindak lanjut penanganan terhadap pasien tidak


memungkinkan untuk dilakukan di Puskesmas/Klinik/tempat praktik mandiri Dokter dan
Dokter Gigi/tenaga kesehatan karena keterbatasan sumber daya. Proses pengiriman
Pasien dilakukan bila kondisi Pasien stabil, menggunakan ambulans Gawat Darurat atau
ambulans transportasi yang dilengkapi dengan penunjang resusitasi, didampingi oleh
tenaga kesehatan terlatih untuk melakukan tindakan resusitasi dan membawa surat
rujukan. Bagi tempat praktik mandiri Dokter dan Dokter Gigi/tenaga kesehatan,
penyediaan ambulans dilaksanakan berkoordinasi dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
rujukan atau PSC 119.
2. Gangguan psikotik akut dengan gaduh gelisah.
3. Gangguan afektif bipolar, gangguan depresi dengan gejala psikotik.
4. Gangguan perilaku dan emosi pada dementia.
5. Adanya ide/tindakan bunuh diri atau ada waham/halusinasi kuat untuk bunuh diri atau
mencelakakan orang lain.

Medikolegal

Medikolegal adalah tatacara atau prosedur penatalaksanaan dan berbagai aspek yang
berkaitan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum. Tujuan pemeriksaan medikolegal
pada seorang korban adalah untuk menegakkan hukum pada peristiwa pidana yang dialami
korban melalui penyusunan VeR yang baik. Visum et Repertum (VeR) merupakan salah satu
bantuan yang sering diminta oleh pihak penyidik (polisi) kepada dokter menyangkut perlukaan
pada tubuh manusia.

Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis
(resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup maupun
mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah
dan untuk kepentingan peradilan. Hal penting yang harus diingat adalah bahwa surat permintaan
VeR harus mengacu kepada perlukaan akibat tindak pidana tertentu yang terjadi pada waktu dan
tempat tertentu. Surat permintaan VeR pada korban hidup bukanlah surat yang meminta
pemeriksaan, melainkan surat yang meminta keterangan ahli tentang hasil pemeriksaan
medis.22,23

Struktur Visum et Repertum:23

1. Pro Justitia: kata tersebut dicantumkan di kiri atas, dengan demikian VeR tidak perlu
bermaterai.
2. Pendahuluan: identitas pemohon visum et repertum, tanggal dan pukul diterimanya
permohonan VeR, identitas dokter yang melakukan pemeriksaan, identitas subjek yang
diperiksa.
3. Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan)

Pada pemeriksaan korban hidup, bagian pemberitaan terdiri dari:

 Pemeriksaan anamnesis atau wawancara: mengenai apa yang dikeluhkan dan apa
yang diriwayatkan yang menyangkut tentang penyakit yang diderita korban
sebagai hasil dari kekerasan/tindak pidana/diduga kekerasan.
 Hasil pemeriksaan: yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik pemeriksaan
fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu
hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan serta hal-hal lain yang
berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis).
 Tindakan dan perawatan berikut indikasinya: atau pada keadaan sebaliknya,
alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan. Uraian
meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya tindakan dan perawatan
tersebut. Hal tersebut perlu diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman tentang
tepat/ tidaknya penanganan dokter dan tepat/tidaknya kesimpulan yang diambil.
 Keadaan akhir korban: terutama tentang gejala sisa dan cacat badan merupakan
hal penting untuk pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan dengan jelas.
4. Kesimpulan: memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat VeR, dikaitkan dengan maksud
dan tujuan dimintakannya VeR tersebut. Pada bagian ini harus memuat minimal 2 unsur
yaitu jenis luka dan kekerasan dan derajat kualifikasi luka.
5. Penutup: memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan
mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan mengucapkan
sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan serta dibubuhi tanda
tangan dokter pembuat VeR.

Kesimpulan

Hal pertama yang dilakukan saat menghadapi pasien gawat darurat dengan sebab apapun ialah
melakukan primary survey yaitu airway, breathing, dan circulation. Setelah primary suvey
selesai, selanjutnya dilakukan secondary survey berupa anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang lengkap. Berdasarkan pada skenario, diagnosis banding yang
mungkin dialami pasien yaitu trauma kepala, gangguan mental organik dan gangguan mental dan
perilaku karena zat psikoaktif. Namun dikarenakan kurangnya data anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang yang didapatkan sehingga diperlukan evaluasi lebih lanjut agar
dapat mengetahui diagnosis kerja pasien dan penatalaksanaan yang tepat.
Daftar Pustaka
1. Hamarno R, Ciptaningtyas MD, Farida I. Bab i triage & pengkajian keperawatan gawat
darurat. Praktek Klinik Keperawatan Gawat Darurat. n.d.
2. Maslim; R. Buku saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan ringkas dari PPDGJ III dan
DSM 5. FK Unika Atma Jaya; 2013.
3. Bazmul MF, Lantang EY, Kambey BI. Profil Kegawatdaruratan Pasien Berdasarkan Start
Triage Scale di Instalasi Gawat Darurat RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode
Januari 2018 sampai Juli 2018. E-Clin 2019;7. https://doi.org/10.35790/ecl.v7i1.23538.
4. Kementrian Kesehatan RI. Permenkes RI No. 47 tahun 2018 n.d.
5. Marlisa. Pengetahuan perawat tentang primary survey (penilaian awal) pada pasien gawat
darurat di instalasi gawat darurat (igd). Jurnal Ilmiah PANNMED. 2018; 12(3) n.d.
6. Parahita. PS, Kurniyanta P. Penatalaksanaan kegawat daruratan pada cedera fraktur
ekstrimitas. Denpasar: Ilmu Anastesi Dan Terapi Intensif, Pp. 1 -18. n.d.
7. Lofchy J, Boyles P, Delwo J. Emergency Psychiatry: Clinical and Training Approaches.
Can J Psychiatry Rev Can Psychiatr 2015;60:1–7.
8. Elvira, Sylvia D dan Gutayanti Hadisukanto,. Wawancara pada pasien psikiatrik dan
Gangguan penggunaan Zat dalam Buku ajar psikiatri FKUI. 3rd ed. Jakarta: Badan
Penerbit FK UI.; 2018.
9. Trent James. A Review of Psychiatric Emergencies. CME Resource, Sacramento:
California; 2013 n.d.
10. Riba M.B, Ravindranath D. Clinical Manual of Emergency Psychiatry 1st ed. American
Psychiatric Publishing Inc: Washington DC; 2010 n.d.
11. Moeller K, Lee KC, Kissack JC. Urine drug screening: practical guide for clinicans.
Mayo Clin Proc. 2017: 83(1):66-76. n.d.
12. Riyadina W. Suspected Alcohol and Addictive Narcotic Use Were More at Risk to
Severe Head Injury. Health Sci J Indones 2011;2:34–40.
https://doi.org/10.22435/hsji.v2i1.
13. Suryadi T, Priyanto MH. Peran kedokteran forensik dalam pengungkapan kasus
pembunuhan satu keluarga di banda aceh. Jurnal Kedokteran Syiahkuala; 19(1): 45-50
n.d.
14. Nasution SH. Mild head injury. Medula. 2014; 2(4) n.d.
15. Pinastikasari N. Penatalaksanaan kegawat daruratan psikiatri. Psikovidya. 2009; 13 n.d.
16. Yustiana AV, Alit Aryani LN. Gangguan psikotik akibat penggunaan ganja (cannabis):
studi kasus. Medicina (Mex) 2019;50. https://doi.org/10.15562/medicina.v50i2.123.
17. Gottlieb M, Long B, Koyfman A. Approach To The Agitated Emergency Department
Patient. Clinical Reviews in Emergency Medicine. 2018. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.jemermed.2017.12.049 n.d.
18. National Institute for Health and Care Excellence. Violence and aggression: short-term
management in mental health, health and community settings. 2015. Available from:
https://www.nice.org.uk/guidance/ng10/resources/violence-and-aggression-shortterm-
management-in-mental-health-health-and-community-settings-pdf-1837264712389 n.d.
19. Garriga M, et al. Assessment and management of agitation in psychiatry: Expert
consensus. The World Journal of Biological Psychiatry. 2016. Available from:
https://doi.org/10.3109/15622975.2015.1132007 n.d.
20. Zareifopoulos N, Panayiotakopoulos G. Treatment Options for Acute Agitation in
Psychiatric Patients: Theoretical and Empirical Evidence. Cureus. 2019;11(11):e6152.
Published 2019 Nov 14. doi:10.7759/cureus.6152. Available from: n.d.
21. Zaman H, et al. Benzodiazepines for psychosis‐induced aggression or agitation. Cochrane
Library. 2017. Available from:
https://www.cochranelibrary.com/cdsr/doi/10.1002/14651858.CD003079.pub4/full n.d.
22. Utama WT. VISUM ET REPERTUM: A MEDICOLEGAL REPORT AS A
COMBINATION OF MEDICAL KNOWLEDGE AND SKILL WITH LEGAL
JURISDICTION. JUKE Unila 2014;4:269–75.
23. Afandi D. Visum et repertum perlukaan: aspek medikolegal dan penentuan derajat luka.
Maj Kedokt Indon 2010;60:188–95.

Anda mungkin juga menyukai