Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

“MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH”

DOSEN PENGAMPUH;
ADE HASTUTY, S.T, S.Kom, M.T

Disusun oleh:
Kelompok 3
1. Muh. Ansar Apriansyah 2020203884206002
2. Mardatillah Burhan 2020203884206003
3. Nurazizah Syuaib 2020203884206004
4. Nurlinda 2020203884206008
5. Rya Safitri 2020203884206028

PROGRAM STUDI TADRIS IPA


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PAREPARE
2021
KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahim
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Manajemen
Berbasis Sekolah” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Ade Hastuty Hasyim pada mata kuliah Manajemen Pendidikan. Selain itu, makalah
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Manajemen bagi para pembaca
dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu ADE HASTUTY, S.T, S.Kom, M.T
selaku dosen mata kuliah Manajemen Pendidikan yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
kami tekuni.

Parepare, 05 November 2021

Kelompok 3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I...........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................2

C. Tujuan Penulisan............................................................................................................2
BAB II.........................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.........................................................................................................................3
A. MBS di Lembaga PIAUD...............................................................................................3
B. Model MBS ditingkat Sekolah Menengah Atas...........................................................6
C. Model Ideal sebuah MBS dan Masyarakat diera Society 5.0 .....................................8
D. Cara Mengidentifikasi sebuah Lembaga Pendidikan sudah Menggunakan MBS. .10
E. Pengimplementasian MBS di Indonesia dan Permasalahannya...............................11
BAB III......................................................................................................................................14
PENUTUP.................................................................................................................................14
KESIMPULAN.....................................................................................................................14
SARAN..................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................16
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan kata bentukan yang terdiri dari tiga kata,
yakni manajemen, berbasis, sekolah. Secara harfiah kata manajemen terjemahan dari Bahasa
Inggris "management dan berasal dari kata to manage', kalau diterjemahkan kedalam Bahasa
Indonesia berarti mengelola, menata, atau mengatur'. Kata 'management' merupakan kata benda
yang dapat diterjemahkan menjadi pengelolaan, dan akhirnya diadopsi dalam Bahasa Indonesia
menjadi manajemen. Arti kata berbasis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
mempunyai basis, atau arti lainnya adalah berdasarkan pada. Sekolah adalah lembaga untuk
para siswa, pengajaran siswa/murid di bawah pengawasan guru. Apabila dirangkai dari tiga kata
manajemen berbasis sekolah dapat diartikan manajemen berdasarkan pada sekolah.

Seiring bergulirnya era otonomi daerah, terbukalah peluang untuk melakukan


reorientasi paradigma pendidikan menuju kearah desentralisasi pengelolaan pendidikan.
Peluang tersebut semakin tampak nyata setelah dikelurkanya kebijakan mengenai
otonomi pendidikan melalui strategi pemberlakuan manajemen berbasis sekolah (MBS).
MBS bukan sekedar mengubah pendekatan pengelolaan sekolah dari yang sentralistis ke
desentralistis, tetapi lebih dari itu melalui MBS maka akan muncul kemandirian
sekolah.
Manajemen Berbasis Sekolah ini merupakan kebijakan dalam sistem penyelenggaraan dan
pengelolaan sekolah yang dilakukan secara mandiri. Sistem ini memberikan peluang bagi
sekolah untuk mengatur pengelolaan sekolahnya secara demokratis, professional, dan dinamis.
Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemerataan pendidikan, mutu sekolah dan
peningkatan efisiensi masyarakat.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah yang dirumuskan dalam
makalah ini adalah :
1. Bagaimana MBS di lembaga PIAUD?
2. Bagaimana model MBS ditingkat sekoleh menegah atas?
3. Bagaimana model ideal sebuah Manajemen Berbasis Sekolah dan
masyarakat diera society 5.0?
4. Bagaimana cara mengidentifikasi sebuah lembaga pendidikan sudah
menggunakan MBS?
5. Bagaimana pengimplementasian MBS di Indonesian dan
permasalahannya?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Dapat memahami MBS di lembaga PIAUD
2. Dapat memahami model MBS ditingkat sekoleh menegah atas
3. Dapat mengetahui model ideal sebuah Manajemen Berbasis Sekolah dan
masyarakat diera society 5.0
4. Dapat mengetahui cara mengidentifikasi sebuah lembaga pendidikan
sudah menggunakan MBS
5. Dapat memahami pengimplementasian MBS di Indonesian dan
permasalahannya
BAB II

PEMBAHASAN

A. MBS di Lembaga PIAUD

a. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini


Anak usia dini merupakan anak yang berada pada usia antara kelahiran sampai dengan
delapan tahun. Istilah yang banyak digunakan, yaitu "pendidikan dan perawatan anak usia dini"
(ealy childhood care and education, ECCE) mengacu pada berbagai proses dan mekanisme yang
menopang dan mendukung pengembangan selama tahun-tahun awal kehidupan: Ini mencakup
pendidikan, fisik, sosial dan perawatan emosional, stimulasi intelektual, perawatan kesehatan
dan nutrisi. Ini juga termasuk dukungan keluarga dan masyarakat yang perlu mempro mosikan
perkembangan kesehatan anak (UNESCO dan UNICEF, 2012).
Pendidikan anak usia dini adalah upaya pembinaan untuk anak se jak lahir sampai dengan
usia enam tahun yang dilakukan melalui pem berian rangsangan pendidikan, untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sis tem Pendidikan Nasional).
Pendidikan anak usia dini pada dasarnya meliputi seluruh upaya dan tindakan yang
dilakukan oleh pendidik dan orangtua dalam proses perawatan, pengasuhan dan pendidikan
pada anak dengan menciptakan aura dan lingkungan di mana anak dapat mengeksplorasi
pengalaman yang memberikan kesempatan kepadanya untuk mengetahui dan memahami
pengalaman belajar yang diperolehnya dari lingkungan, melalui cara mengamati, meniru dan
bereksperimen yang berlangsung secara berulang-ulang dan melibatkan seluruh potensi dan
kecerdasan anak. Oleh karena itu, anak adalah pribadi yang unik dan melewati berbagai tahap
perkembangan kepribadian, maka lingkungan yang diupayakan oleh pendidik dan orangtua
yang dapat memberikan kesempatan pada anak untuk mengeksplorasi berbagai pengalaman
dengan berbagai suasana hendaklah memperhatikan keunikan anak-anak dan disesuaikan
dengan tahap perkembangan kepribadian anak (Sujiono, 2009). Tujuan pendidikan anak usia
dini secara umum adalah untuk mengembangkan berbagai potensi anak sejak dini sebagai
persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Dalam melaksanakan pendidikan anak usia dini hendaknya menggunakan 10 prinsip yang
digunakan dalam proses pembelajaran anak usia dini sebagai berikut: (Direkorat Pembinaan
PAUD, 2015)
1. Belajar melalui bermain
Anak di bawah usia enam tahun berada pada masa bermain. Pemberian rangsangan
pendidikan dengan cara yang tepat melalui bermain dapat memberikan pembelajaran yang
bermakna pada anak Anak mendapatkan pengetahuan melalui kegiatan mainnya. Bermain
merupakan kegiatan melatih otot besar dan kecil, melatih keterampilan berbahasa,
menambah pengetahuan, melatih cara mengatasi masalah, mengelola emosi, bersosialisasi,
mengenal matematika, sains, dan banyak hal lainnya. Bermain bagi anak juga sebagai
pelepasan energi, rekreasi, dan emosi saat bermain anak dengan nyaman dan gembira.
Dalam keadaan nyaman semua saraf otak dalam keadaan rileks sehingga memudahkan
menyerap berbagai pengetahuan dan membangun pengalaman positif. Kegiatan
pembelajaran melalui bermain mempersiapkan anak menjadi senang belajar.
2. Berorientasi pada perkembangan anak
Pendidik harus mampu mengembangkan semua aspek perkembangan sesuai dengan tahapan
usia anak. Perkembangan anak ter gantung pada kematangan anak. Kematangan anak
dipengaruhi oleh status gizi, kesehatan, pengasuhan pendidikan, dan faktor bawaan.
Perkembangan anak bersifat individu. Anak yang usianya. sama bisa jadi perkembangannya
berbeda. Guru perlu memberikan kegiatan dan dukungan yang sesuai dengan tahapan
perkembangan anak secara perseorangan walaupun kegiatannya dilakukan di dalam
kelompok. Untuk itulah pentingnya guru memahami tahapan perkembangan anak.
3. Berorientasi pada kebutuhan anak
Pendidik harus mampu memberi rangsangan pendidikan atau stimulasi sesuai dengan
kebutuhan anak, termasuk anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus. Untuk dapat
hidup secara sehat dan cerdas membutuhkan: Kesehatan dan gizi, Pengasuhan, Pendidikan
dan Perlindungan. Program layanan PAUD harus memenuhi kebutuhan tersebut.
Penyelenggara PAUD harus bekerja sama dengan layanan kesehatan, gizi, kesejahteraan
sosial, hukum, dan orangtua. Dengan kata lain, layanan PAUD Holistik Integratif menjadi
keharusan termasuk untuk anak berkebutuhan khusus.
4. Berpusat pada anak
Pendidik harus menciptakan suasana yang bisa mendorong semangat belajar, motivasi,
minat, kreativitas, inisiatif, inspirasi, inovasi, dan kemandirian sesuai dengan karakteristik,
minat, potensi, tingkat perkembangan, dan kebutuhan anak. Anak diberi kesempatan untuk
mencari, menemukan, menentukan pilihan, mengemukakan pendapat, dan aktif melakukan
serta mengalami sendiri. Anak sebagai pusat pembelajaran artinya kegiatan pembelajaran
direncanakan dan dilaksanakan untuk mengembangkan seluruh potensi fisik dan psikis
anak. Kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan cara yang menyenangkan sesuai dengan
cara berpikir dan perkembangan kognitif anak dan pembelajaran PAUD harus berorientasi
pada anak, bukan pemenuhan keinginan lembaga/guru/orangtua.
5. Pembelajaran aktif
Pendidik harus mampu menciptakan suasana yang mendorong anak aktif mencari,
menemukan, menentukan pilihan, mengemukakan pendapat, dan melakukan serta
mengalami sendiri. Pembelajar aktif berarti anak belajar, melakukan atas dasar idenya
bukan hanya mengikuti instruksi atau arahan guru. Pembelajaran aktif tidak hanya aktif
anggota tubuhnya, tetapi yang penting juga aktif proses berpikirnya.
6. Berorientasi pada pengembangan nilai-nilai karakter
Pemberian rangsangan pendidikan diarahkan untuk mengembang kan nilai-nilai yang
membentuk karakter yang positif pada anak. Pengembangan nilai-nilai karakter tidak
dengan pembelajaran langsung, akan tetapi melalui pembelajaran untuk mengembangkan
kompetensi pengetahuan dan keterampilan serta melalui pembiasaan dan keteladanan. Nilai-
nilai karakter yang termuat dalam kompetensi dasar sikap meliputi: Menerima ajaran agama
yang dianutnya, menghargai diri sendiri, orang lain dan lingkungan, memiliki perilaku
hidup sehat, rasa ingin tahu, kreatif, estetis, percaya diri, disiplin, sabar, mandiri, peduli,
toleran, menyesuaikan diri, bertanggung jawab, jujur, rendah hati, dan santun dalam
berinteraksi.
7. Berorientasi pada pengembangan kecakapan hidup
Pemberian rangsangan pendidikan diarahkan untuk mengembang. kan kemandirian anak.
Pengembangan kecakapan hidup dilakukan secara terpadu baik melalui pembelajaran untuk
mengembangkan kompetensi pengetahuan dan keterampilan maupun melalui pembiasaan
dan keteladanan baik yang bersifat spontan maupun ter program.
8. Didukung oleh lingkungan yang kondusif
Lingkungan pembelajaran diciptakan sedemikian rupa agar menarik, menyenangkan, aman,
dan nyaman bagi anak. Penataan ruang diatur agar anak dapat berinteraksi dengan guru,
pengasuh, dan anak lain. Lingkungan yang kondusif mampu mendorong munculnya proses
pemikiran ilmiah. Lingkungan yang kondusif atau yang mendukung mencakup suasana
yang baik, waktu yang cukup, dan penataan yang tepat. Waktu yang cukup maksudnya
waktu cukup untuk bermain, cukup untuk beristirahat, dan cukup untuk bersosialisasi.
Suasana lingkungan yang mendukung anak belajar, yaitu mampu memberikan perlindungan
dan kenyamanan saat anak bermain dengan bahan dan alat sesuai ide anak, memberi
kebebasan untuk anak melakukan eksplorasi dan eksperimentasinya, memberi kesempatan
anak untuk memberikan penjelasan tentang cara kerja dan hasil yang dibuatnya,
menyediakan berbagai alat dan bahan yang dapat mendukung cara anak bermain dan
memberi dukungan dalam bentuk pertanyaan yang mendorong anak mengembangkan ide,
bukan memberi arahan untuk dilakukan anak.
9. Berorientasi pada pembelajaran yang demokratis
Pembelajaran yang demokratis sangat di perlukan untuk mengembangkan rasa saling
menghargai antara anak dan guru, dan dengan anak lain. Pembelajaran demokratis
memupuk sikap konsisten pada gagasan sendiri, tetapi menghargai orang lain dan menaati
aturan.

10. Pemanfaatan media belajar,


sumber belajar, dan narasumber Penggunaan media belajar, sumber belajar, dan narasumber
yang ada di lingkungan PAUD bertujuan agar pembelajaran lebih kon tekstual dan
bermakna. Termasuk narasumber adalah orang-orang dengan profesi tertentu yang
dilibatkan sesuai dengan tema, misal nya dokter, polisi, nelayan, dan petugas pemadam
kebakaran.

b. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN PAUD


- Rencana pembelajaran adalah sebuah rencana belajar yang disusun untuk mengalirkan
materi-materi yang telah dipilih, yang diorganisasikan ke dalam serangkaian kegiatan serta
prosedur kerja.
- Rencana pembelajaran menyediakan garis-garis besar dan detail pelaksanaan pembelajaran
yang membimbing guru untuk menyampaikan TFP (materi pembelajaran) melalui metode
penyajian serta proses pelaksanaan.
- Rencana pembelajaran adalah sebuah rencana belajar yang disusun terencana untuk
mengalirkan materi-materi yang telah dipilih dengan metode-metode (dalam hal ini metode
sentra) yang dior ganisasikan ke dalam serangkaian kegiatan serta prosedur kerja.
- Rencana pembelajaran adalah panduan guru dalam bekerja.
- Rencana pembelajaran (lesson plan) adalah sebuah rencana pembelajaran yang disusun
untuk panduan guru tentang materi dan metode penyajian.
Dapat disimpulkan bahwa rencana pembelajaran adalah sebuah panduan dan bimbingan
kerja guru yang disusun secara terencana sebagai acuan dalam bekerja untuk mengalirkan
materi-materi (TEP) yang dipilih dengan metode-metode yang diorganisasikan ke dalam
serangkaian kegiatan serta prosedur kerja.
Anda sekarang memiliki penghargaan tentang beberapa faktor-faktor perkembangan yang
secara signifikan mempengaruhi perilaku anak prasekolah, beberapa gagasan tentang bagaimana
anak-anak belajar, dan keyakinan serta strategi mendasar untuk membantu Anda memulai.
Sekarang mari kita lihat lebih dekat tentang baga mana perilaku dipelajari. Anak prasekolah
belajar banyak tentang perilaku mereka dari pengalaman mereka berinteraksi dengan orang lain-
terutama Anda, orangtuanya. Anak kecil itu seperti karet busa; mereka menyerap perilaku yang
baik, seperti bersikap sopan berbagi, dan baik hati terhadap orang lain sama mudahnya seperti
menyerap perilaku yang kurang diinginkan, seperti merengek, tidak mendengarkan, berteriak,
atau berdebat. Banyak perilaku dimula sebagai sebuah eksperimen; anak prasekolah suka
menguji perilaku mereka terhadap dunia di sekitar mereka dan melihat hasilnya.

B. Model MBS ditingkat Sekolah Menengah Atas

Melalui MBS, sekolah dapat mengarah pada kemandirian dan peningkatan mutu. Oleh
karena itu, model implementasi manajemen berbasis sekolah harus terus didorong pada semua
satuan pendidikan, khususnya SMA. Dengan demikian akan muncul kekhasan sekolah dalam
mengelola pendidikan.
Pada prinsipnya, MBS merupakan model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar
kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan
pengembaliankeputusansecarapartisipatifuntukmemenuhikebutuhanmutu sekolah atau untuk
mencapaitujuan mutusekolah dalam kerangka pendidikan nasional. Oleh karena itu, terdapat
sejumlah kata kunci terkait MBS, yakni otonomi sekolah, pengambilan keputusan partisipatif
untuk mencapai sasaran mutu sekolah.

1. Otonomi Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemandirian dalam mengatur dan


mengurus dirinya sendiri, dan mereka tidak tergantung pada pihak manapun. Jadi otonomi
sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan
perundangundangan pendidikan nasional yangberlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud
harus didukung oleh sejumlah kemampuan. Yaitu kemampuan mengambil keputusan yang
terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi
sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik dan kemampuan
berkomunikasi dengan cara yang efektif. Selain itu juga kemampuan memecahkan persoalan-
persoalan sekolah, kemampuan adaptasi dan antisipasi, kemampuan bersinergi dan
berkolaborasi dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.

2. Pengambilan keputusanpartisipatif Pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu cara


untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik oleh
warga sekolah (guru, siswa, karyawan, orangtua siswa, tokoh masyara kat). Warga sekolah
didoronguntukterlibatsecaralangsungdalamprosespengambilan keputusan yang dapat
berkontribusi terhada ppencapaian tujuan sekolah.Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika
seseorang dilibatkan (berpartisipasi) daIam pengambilan
keputusan,Imakaoyangobersangkutanoakanomempunyai“rasamemiliki” terhadap keputusan
tersebut sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungj awab dan berdedikasi sepenuhnya
untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya:makin besartingkat partisipasi, makin besar pula
rasa tanggung jawab; dan makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab dan
makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula dedikasinya. Tentu saja pelibatan warga
sekolah dalam pengambilan keputusan harus mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan,
dan relevansinya dengan tujuan pengambilan keputusan sekolah.

Dengan pengertian di atas, sekolah memiliki kewenangan dan kemadirian lebih besar dalam
mengelola sekolahnya untuk mencapai mutu pendidikan. Dengan kata lain, sekolah merupakan
unit utama pengelolaan proses pendidikan. Sedangkan unit-unit di atasnya, seperti Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan serta Dinas Pendidikan di daerah merupakan unit pendukung dan
pelayan sekolah.

Sekolah yang mandiri atau berdaya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Tingkat kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah;

2. Bersifat adaptif dan antisipatif proaktifsekaligus;


3. Memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil risiko,
dansebagainya);

4. Bertanggungjawab terhadap kinerja sekolah;

5. Memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya;

6. Memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisikerja;

7. Komitmenyangtinggipadadirinya;danprestasimerupakanacuanbagipenilainya. Selanjutnya,
bagi sumber daya manusia sekolah yang berdaya, pada umumnya. memiliki ciri-ciri: pekerjaan
adalah miliknya, dia bertanggungjawab, pekerjaannya memiliki kontribusi, dia tahu posisinya di
mana, dia memiliki kontrol terhadap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan bagian dari
hidupnya.

Contoh tentang hal-hal yang dapat memandirikan/memberdayakan warga sekolah adalah


dengan pemberian kewenangan, pemberian tanggung jawab, pekerjaan yang bermakna,
pemecahan masalah sekolah secara teamwork, variasi tugas, hasil kerja yang terukur,
kemampuan untuk mengukur kinerjanya sendiri, tantangan, kepercayaan, didengar, ada pujian,
menghargai ide-ide, mengetahui bahwa dia adalah bagian penting dari sekolah, kontrol yang
luwes, dukungan, komunikasi yang efektif, umpan balik bagus, sumber daya yang dibutuhkan
ada, dan warga sekolah diberlakukan sebagai manusia ciptaan-Nya yang memiliki murtabat
tertinggi.

C. Model Ideal sebuah MBS dan Masyarakat diera Society 5.0

Model Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat (MBSM) yang ideal oleh Lawler
(1986) ditandai dengan adaya keterlibatan tinggi dalam manajemen di sekolah, terutama yang
menyangkut empat hal:
1. Informasi, yang memungkinkan para individu ber-partisipasi dan mempengaruhi
pengambilan keputusan dengan memahami lingkungan organisasi, strategi, sistem kerja,
persyaratan kinerja, dan tingkat kinerja.
2. Pengetahuan dan Keterampilan, yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja pekerjaan
dan kontribusi efektif atas kesuksesan organisasi.
3. Penghargaan, untuk menyatukan kepentingan pribadi karyawan dengan keberhasilan
organisasi.
4. Kekuasaan, yang diperlukan untuk mempengaruhi proses kerja, praktik keorganisasian,
kebijakan dan strategi.

Secara tradisional empat hal tersebut dikonsentrasikan dipuncak organisasi, namun pada
model MBSM dilimpahkan ketingkat yang paling rendah, yaitu sekolah. Kebanyakan orang
berpendapat bahwa pendesentralisasan MBSM hanya pada kekuasaan, dan kurang
memperhatikan tiga hal lainnya. Model MBSM yang lebih terinci menggambarkan pertukaran
dua arah dalam hal pengetahuan, kekuasaan, informasi dan penghargaan. Alur dua arah
memberikan pengaruh yang saling menguntungkan secara terus menerus antara PEMDA
dengan sekolah.

Model ideal ini dimaksudkan untuk menerapkan MBSM pada keseluruhan aspek
pendidikan melalui pendekatan sistem. Model ideal MBSM yang dikembangkan oleh Slamet
PH, terdiri dari output, proses, dan input.

1. Output sekolah diukur dengan kinerja sekolah, yaitu prestasi yang dihasilkan oleh
proses sekolah, diukur dari efektivitas, kualitas, produktivitas, efisiensi, inovasi,
kualitas kehidupan kerja, dan moral kerja.
2. Proses sekolah, yang dimaksud adalah proses pengambilan keputuan, proses
pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan program, dan proses belajar mengajar.
3. Input yaitu sesuatu yang tersedia karena dibutuhkan untuk proses, yaitu visi, misi,
tujuan, sasaran, struktur organisasi, input manajemen dan sumber daya.

Konsep society 5.0 merupakan konsep yang secara fundamental dapat mengubah cara kita
hidup, bekerja, dan berhubungan satu dengan yang lain. Dalam menghadapi era society 5.0,
dunia pendidikan berperan penting dalam meningkatkan kualitas SDM. Selain pendidikan
beberapa elemen dan pemangku kepentingan seperti pemerintah, Organisasi Masyarakat
(Ormas) dan seluruh masyarakat juga turut andil dalam menyambut era society 5.0 mendatang.
Menurut Dwi Nurani, S.KM, M.Si, Untuk menghadapi era society 5.0 ini satuan pendidikan
pun dibutuhkan adanya perubahan paradigma pendidikan. Diantaranya pendidik meminimalkan
peran sebagai learning material provider, pendidik menjadi penginspirasi bagi tumbuhnya
kreativitas peserta didik. Pendidik berperan sebagai fasilitator, tutor, penginspirasi dan
pembelajar sejati yang memotivasi peserta didik. Konsep Manajemen berbasis sekolah dan
Masyarakat yang dimaksud di era ini adalah "Merdeka Belajar".
Dwi Nurani menyampaikan merdeka belajar akan menciptakan pendidikan berkualitas bagi
seluruh rakyat Indonesia. Melalui peningkatan layanan dan akses pendidikan dasar salah
satunya adalah upaya pemenuhan maupun perbaikan infrastruktur dan platform teknologi di
sekolahdasar. Pendidikan nasional berbasis teknologi dan infrastruktur yang memadai
diharapkan dapat menciptakan sekolah dan ataupun kelas masa depan.
Era Society 5.0 telah mengubah cara berpikir tentang pendidikan. Perubahan yang dibuat
bukan hanya cara mengajar, namun yang terpenting adalah perubahan dalam perspektif konsep
pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum untuk saat ini dan masa depan
harus melengkapi kemampuan siswa dalam dimensi pedagogik, keterampilan hidup,
kemampuan untuk hidup bersama (kolaborasi) dan berpikir kritis dan kreatif. Mengembangkan
soft skill dan transversal skill, serta keterampilan tidak terlihat yang berguna dalam banyak
situasi kerja seperti keterampilan interpersonal, hidup bersama, kemampuan menjadi warga
negara yang berpikiran global, serta literasi media dan informasi.
Society 5.0 dalam dunia pendidikan menekankan pada pendidikan karakter, moral, dan
keteladanan. Hal ini dikarenakan ilmu yang dimiliki dapat digantikan oleh teknologi sedangkan
penerapan soft skill maupun hard skill yang dimiliki tiap peserta didik tidak dapat digantikan
oleh teknologi. Selain peran peserta didik dan teknologi, tenaga pendidik yang professional dan
berkompeten juga akan sangat berpengaruh untuk masa depan dunia kependidikan di Society
5.0. Tenaga pendidik di era ini harus memiliki keterampilan yang baik dibidang digital dan juga
berpikir kreatif. Seorang guru dituntut untuk lebih inovatif dan dinamis dalam mengajar di
kelas.
Selain hal tersebut tenaga pendidik juga harus memiliki kecakapan dan memiliki
kemampuan leadership, digital literacy, communication, entrepreneurship, dan problem solving.
Karena zaman yang semakin maju ditambah lagi di era Society 5.0 disemua sektor akan menjadi
lebih maju. Jika dunia Pendidikan tidak dipersiapkan dan mengikuti perkembangan zaman yang
begitu pesat, maka pendidikan di Indonesia akan sangat tertinggal jauh. Tenaga pendidik di
abad society 5.0 ini harus menjadi guru penggerak yang mengutamakan murid, inisiatif untuk
melakukan perubahan terutama untuk peserta didik, mengambil tindakan tanpa ada yang
menyuruh, dan terus berinovasi serta keberpihakan kepada peserta didik.

D. Cara Mengidentifikasi sebuah Lembaga Pendidikan sudah Menggunakan


MBS

Ada dua esensi penting MBS yaitu otonomi sekolah dan pengambilan keputusan partisipatif
(Depdiknas, 2001). Otonomi sekolah diartikan sebagai kewenangan/kemandirian dalam
mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung. Pengambilan keputusan
partisipatif adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang
terbuka dan demokratis, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan, orangtua siswa, tokoh
masyarakat) didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang
dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Di samping kedua aspek inti tersebut,
MBS juga dicirikan oleh indikator berikut:
(1) berkembangnya kultur sekolah yang demokratis dan dinamis,
(2) keterbukaan manajemen
penyelenggaraan pendidikan,
(3) terjalinnya kerjasama di sekolah secara internal dan eksternal,
(4) meningkatnya partisipasi semua pihak dalam mewujudkan tujuan pendidikan di sekolah,
(5) adanya pengendalian mutu melalui quality
assurance dan akreditasi sekolah (Depdiknas, 2002).Secara kelembagaan, keberhasilan
MBS ditandai dengan terbentuknya badan yang diharapkan menjadi katalisator MBS, yaitu
Komite Sekolah. Untuk menyelaraskan pendekatan MBS yang bertumpu pada partisipasi
masyarakat, maka pada tingkat kabupaten/kota juga dibentuk Dewan Pendidikan.Menurut
Slamet, ciri-ciri sekolah yang "berdaya" pada umumnya: tingkat kemandirian tinggi/tingkat
ketergantungan rendah; bersifat adaptif dan antisipatif/proaktif sekaligus; memiliki jiwa
kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dsb.); bertanggungjawab
terhadap hasil sekolah; memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber
dayanya; kontrol terhadap kondisi kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya; dan dinilai oleh
pencapaian prestasinya. Selanjutnya, bagi sumber daya manusia sekolah yang berdaya, pada
umumnya, memiliki ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, dia bertanggung jawab, dia memiliki
suara bagaimana sesuatu dikerjakan, pekerjaannya memiliki kontribusi, dia tahu posisinya
dimana, dia memiliki kontrol terhadap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan bagian
hidupnya.

E. Pengimplementasian MBS di Indonesia dan Permasalahannya

a. Masalah Pendidikan Di Indonesia


Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendah
nya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, meskipun mungkin telah
banyak upaya dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya
pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pela tihan,
pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan,
dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu
pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-
kota, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, tetapi sebagian
lainnya masih memprihatinkan.
Berdasarkan masalah ini, maka berbagai pihak mempertanyakan apa yang salah da lam
penyelenggaraan pendidikan kita? Dari berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya ada tiga
faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.
Faktor pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan
pendekatan education function atau input-output analisys yang tidak dilaksanakan secara
konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi
yang apabila dipenuhi semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi
tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini
menganggap bahwa apabila input seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan
perbaikan sarana serta prasarana pendidikan lainnya dipenuhi, mutu pendidikan (output) secara
otomatis akan terjadi. Dalam kenyataannya, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi.
Mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan educational production function
terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memerhatikan pada proses pendidikan.
Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan.

b. Permasalahan Pendidikan Di Era Otonomi


Merujuk pada isi UU Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 1999, UU Nomor 32 Tahun 2004,
dan UU Pemerintah Daerah Nomor 23 Tahun 2014 dapat disimpulkan bahwa fokus
pelaksanaan otonomi daerah adalah desa. Pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan kota
sesuai tugasnya akan memegang peranan penting dalam pelaksanaan pendidikan. Dengan
demikian, diharapkan layanan di bidang pendidikan akan dapat memenuhi kebutuhan, lebih
cepat, efisien, efektif, dan lebih menegakkan aparat yang bersih dan berwibawa. Namun
untuk mencapai tujuan yang mulia tersebut diperlukan antisipasi mengenai permasalahan
pendidikan yang mungkin dihadapi dalam pelaksanaannya. Permasalahan tersebut di
antaranya (1) permasalahan yang berkaitan dengan kepentingan nasional dalam upaya
membangun karakter nasional, pemerataan, dan relevansi, (2) permasalahan mutu
pendidikan yang memenuhi standar nasional, profesional, dan internasional, (3)
permasalahan efisiensi pendidikan baik secara teknis dan ekonomis, (4) permasalahan
kesenjangan antardaerah yang meliputi fasilitas, ketersediaan guru, pendanaan, partisipasi
dan peran serta masyarakat, (5) permasalahan akuntabilitas aparat pelayanan pendidikan,
serta (6) permasalahan paradigma manajemen pendidikan yang meliputi struktur organisasi,
pola hubungan, jenis organisasi, manajemen SDM dan guru, manajemen sarana prasarana,
manajemen pendanaan, manajemen kesejahteraan guru PNS dan honorer, kurikulum,
pengendalian, dan evaluasi. Dalam mengimplementasikan paradigma ini harus disiapkan
terlebih dahulu (1) sistem dan strategi pengelolaannya, pembagian kewenangan, dan
pedoman pelaksanaan, (2) perangkat perundang-undangan, (3) sosialisasi dan
pemberdayaan personel melalui pendidikan dan pelatihan, 4) penyempurnaan sistem secara
terus-menerus, (5) perluasan sistem yang sudah teruji.
Merujuk kepada berbagai pengalaman empiris negara Indonesia khusus nya di bidang
pendidikan (UU Nomor 5 Tahun 1974; PP Nomor 45 Tahun 1992 dan PP Nomor 8 Tahun
1995), menunjukkan bahwa dalam reformasi pendidikan betapa pentingnya membangun
konsensus dan komitmen atas otonomi pendidikan bahkan sampai pada otonomi sekolah. Dalam
reformasi seperti sistem pemerintahan daerah, reformasi penyelenggaraan pendidikan
memerlukan konsensus dan komitmen bersama dari semua komponen bangsa yang terkait
(Fiske, 1996). Tampaknya akhir-akhir ini konsensus dan komitmen tersebut mulai terbentuk
sehingga menjadi peluang sekaligus tantangan, bagi implementasi berbagai kebijakan
penyelenggaraan pendidikan umumnya dan otonomi sekolah khususnya.
Beberapa tips bagi para guru di lapangan yang perlu diperhatikan saat akan menggunakan
metode bermain peran adalah:
1. Tetapkan terlebih dahulu pokok-pokok materi atau bagian dari masalah yang paling
menarik perhatian peserta didik untuk diperankan,
2. Berikan pokok-pokok pikiran utama atau pointer penting saja kepada peserta didik,
biarkan peserta didik sendiri yang melakukan improvisasi dalam mengembangkan pikiran
penjelasnya,
3. Tetapkan peserta didik yang menjadi pemeran sesuai dengan potensi yang dimiliki
masing-masing,
4. Selalu memberikan reinforcement dan umpan balik terhadap kinerja siswa setelah
bermain peran dilakukan.
Saat membelajarkan peserta didik dengan metode bermain peran, guru akan mendapatkan
banyak peluang untuk mengenalpotensi peserta didik lebih dalam meski secara tidak
langsung. Yang diperlukan hanyalah instrumen observasi kinerja peserta didik dengan
berbagai aspek sesuai dengan karakteristik konsep yang diperankan.

a. Pemberdayaan Sekolah
Pemberdayaan sekolah adalah bagaimana sekolah mampu mandiri dalam merencanakan
pendidikan dengan segala macam elemennya. Tanpa pemberdayaan sekolah maka makna
otonomi pendidikan akan berkurang. bahkan desentralisasi pendidikan akan memindahkan
permasalahan pendidikan selama ini dari pusat ke daerah. Jika fenomena ini terjadi maka
tujuan desentralisasi pendidikan yang antara lain merangsang peran serta masyarakat dalam
pendidikan tidak akan tercapai. Selama ini pemerintah senantiasa berkeinginan untuk
mengatur segala sendi kehidupan masyarakat sampai kepada hal-hal yang terkecil. Dalam
pendidikan hal itu terasa sekali, yaitu dengan menjadikan lembaga birokrasi pendidikan
sebagai pusat kegiatan. Akibatnya, sekolah tidak mampu mengembangkan diri dari apa
yang sudah ditetapkan oleh instansi birokrasi pendidikan di pusat. Oleh karena itu, otonomi
pendidikan harus mengubah paradigma manajemen pendidikan. Pemerintah daerah harus
mampu menanamkan sikap sebagai perangsang kreativitas pendidikan di kalangan
masyarakat. Cara ini dapat ditempuh dengan menjadikan sekolah sebagai basis manajemen
pendidikan.
b. Akuntabilitas Pendidikan
Tanggung jawab pejabat birokrasi pemerintahan atau yang saat ini lebih populer dengan
istilah akuntabilitas publik, diyakini merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan otonomi
daerah termasuk di bidang pendidikan. Tanpa akuntabilitas publik, prakarsa kreativitas
dan partisipasi masyarakat sebagai inti kekuatan daerah akan sulit dibangun. Oleh karena
itu, dalam era otonomi daerah masing-masing institusi harus dapat membangun
akuntabilitas peran dan fungsinya untuk dipertanggung jawabkan kepada masyarakat.

Terdapat tiga pilar utama yang menjadi prasyarat terbangunnya akuntabilitas. Pertama,
adanya transparansi para penyelenggara pemerintahan dalam menetapkan kebijakan publik
dengan menerima masukan dan mengikutsertakan berbagai institusi. Kedua, adanya standar
kinerja di setiap institusi yang dapat diukur dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan
wewenangnya. Ketiga, adanya partisipasi untuk saling menciptakan suasana kondusif dalam
menciptakan pelayanan masyarakat dengan prosedur yang mudah, biaya yang murah, dan
pelayanan yang cepat (Kompas, 16 April 2001). Selanjutnya, tumbuhnya akuntabilitas di setiap
daerah diharapkan dapat mendorong; 1) pemberdayaan masyarakat serta tumbuhnya prakarsa,
kreativitas, maupun partisipasi masyarakat, 2) proses demokrasi yang dimulai dari pemerintah
daerah kabupaten/kota, (3) pemerataan dan keadilan dalam bidang ekonomi. Dengan
tumbuhnya akuntabilitas di setiap daerah dan instansi diharapkan ekstensifikasi pelayanan
kepada masyarakat yang bermutu semakin tumbuh dan berkembang.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Pendidikan anak usia dini adalah upaya pembinaan untuk anak se jak lahir sampai dengan
usia enam tahun yang dilakukan melalui pem berian rangsangan pendidikan, untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sis tem Pendidikan Nasional).
Melalui MBS, sekolah dapat mengarah pada kemandirian dan peningkatan mutu. Oleh
karena itu, model implementasi manajemen berbasis sekolah harus terus didorong pada semua
satuan pendidikan, khususnya SMA. Dengan demikian akan muncul kekhasan sekolah dalam
mengelola pendidikan.

Menurut Dwi Nurani, S.KM, M.Si, Untuk menghadapi era society 5.0 ini satuan pendidikan
pun dibutuhkan adanya perubahan paradigma pendidikan. Diantaranya pendidik meminimalkan
peran sebagai learning material provider, pendidik menjadi penginspirasi bagi tumbuhnya
kreativitas peserta didik. Pendidik berperan sebagai fasilitator, tutor, penginspirasi dan
pembelajar sejati yang memotivasi peserta didik. Konsep Manajemen berbasis sekolah dan
Masyarakat yang dimaksud di era ini adalah "Merdeka Belajar".
MBS dicirikan oleh indikator berikut:
(1) berkembangnya kultur sekolah yang demokratis dan dinamis,
(2) keterbukaan manajemen
penyelenggaraan pendidikan,
(3) terjalinnya kerjasama di sekolah secara internal dan eksternal,
(4) meningkatnya partisipasi semua pihak dalam mewujudkan tujuan pendidikan di sekolah,
(5) adanya pengendalian mutu melalui quality
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendah
nya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, meskipun mungkin telah
banyak upaya dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya
pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pela tihan,
pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan,
dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu
pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-
kota, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, tetapi sebagian
lainnya masih memprihatinkan.

SARAN

Dari uraian yang kami susun kemungkinan besar masih banyak kekurangan,namun dalam hal
ini kami belajar untuk memperbaiki diri dalam proses belaja agar lebih baik lagi kedepannya,dan
apabila banyak kesalahan kami mohon maaf dan kami sangat berharap agar pembina mengoreksi
dengan baik,yang menjadi perbaikan yang sifatnya positif dan membangun bagi kami..

j
DAFTAR PUSTAKA

Eliana Sari, 2008. Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat. Hal 71-73. Jayabaya
University Press

Dr. E Mulyasa M.Pd, 2007. Manajemen Berbasis Sekolah. Hal 81-92. Remaja Rosdakarya
Bandung

Dr. Ir. Arita Marini M.E, 2014. Manajemen Sekolah dasar. Hal 113-122. Remaja Rosdakarya
Bandung

M. Ridha MA dkk, 2018. Manajemen Berbasis sekolah berorientasi pelayanan publik. Hal. 5 -
21. Zahir Pubhlising

Dr. Umaedi, M.Ed dkk, 2015. Manajemen berbasis sekolah. Hal 13- 36. Universitas Terbuka.

Ardiansyah, Dirjo,dkk. (2018). Manajemen Berbasis Sekolah SMA. Jakarta Selatan:


Direktorat Pembinaan SMA. Hal 9-11.
http://repository.unair.ac.id/59267/1/karil%2024%20%28pengukuran%20kerusakan%20dna
%20inti%29.pdf

https://journal.uii.ac.id/Tarbawi/article/download/3975/4806

http://ejournal.unsub.ac.id/index.php/FKIP/article/download/78/71

Suryana,dindan,dkk. 2020. Manajemen Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Akreditasi


Lembaga. Januari:Prenadmedia Group. Hal 67-69.

Latif,Mukhtar,dkk. 2016. Orientasi Baru Pendidikan Anak Usia Dini. Mei:Kencana. Hal 85-89.

Sowere sol,dkk. 2003. Bagaimana Bersikap Pada Anak Agar Anak Prasekolah Anda Bersikap
Baik. Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal 121-133

Rivai,veithzal,dkk. 2010. Education Management.Februari:PT Rajagrafindo Persada. Hal 139.


Meilani,leni,dkk. 2013. Implementasi Pendekatan PAKEM. Januari:CV. Mughni Sejatera. Hal
5-14.

Wibawa,basuki.2017. Manajemen Pendidikan Teknologi Kejuruan.Januari:Sinar Grafika


Offset.Hal 96

Arismunandar,dkk. 2015. Manajemen Berbasis Sekolah.Makassar:Badan Penerbit UNM.


Hal.31-33

Anda mungkin juga menyukai