Anda di halaman 1dari 14

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL SEBAGAI OPSI PENANGGULANGAN

RADIKALISME

MAKALAH

PRODI/SEMESTER : Tarbiyah/ PAI V-B

DOSEN PEMBIMBING : Muhammad Safawi, M.Pd

MATA KULIAH : Pendidikan Multikultural

Disusun sebagai syarat mengikuti perkuliahan Pendidikan Multikultural

Disusun Oleh:

 FAHRUL Haji
 Khuraina Ainal Qisti Dalimunthe

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

JAM’IYAH MAHMUDIYAH

TANJUNG PURA

T.A 2021-2022

i
KATA PENGANTAR

segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongannya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad Saw. Yang
kita nantikan syafaat-nya di yaumil akhir.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah Swt atas limpah nikmat sehatnya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah “Pendidikan Multikultural” dengan judul
“Pendidikan Multikultural Sebagai Opsi Penanggulangan Radikalisme”

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan di dalamnya. Untuk itu penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak khususnya kapada Bapak
Dosen Pembimbing yang telah memberi arahan dalam menulis makalah ini. Demikian
semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Tanjung Pura, 12 Oktober 2021

Penyusun

(Kelompok 15)

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... iii

A. Latar Belakang.................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 2

A. Multikulturalisme Pada Masa Rasullah dan Sahabat.................... 2


B. Radikalisme Dalam Dunia Islam....................................................... 4
C. Radikalisme Bukan Karakter Islam................................................. 7

BAB III PENUTUP......................................................................................... 9

A. Kesimpulan.......................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Multikultural bukanlah merupakan suatu hal yang baru dalam Islam, jauh sebelumnya
konsep multikultural sudah dijelaskan dalam Alqur‟an, namun belum menjadi suatu disiplin
ilmu yang disusun secara sistematis. Alqur‟an sebagai pedoman bagi umat Islam mengakui
dan menjunjung tinggi perbedaan, sebagaimana yang dijelaskan dalam Alqur‟an surah al-
Hujarat ayat 13:

Rasulullah Saw. sebagai suri tauladan dan panutan umat Islam telah mencontohkan
kepada umatnya bagaimana hidup dengan penuh kerukunan di tengah-tengah masyarakat
multikultural. Sejarah telah mencatat bahwa ketika Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah, beliau
mempersaudarakan kedua suku yang selalu bertikai yaitu suku Aus dan Khazraj, demikian
pula umat Islam hidup rukun di Madinah yang notabene bukan hanya satu suku satu agama
akan tetapi terdapat beberapa suku dan agama seperti Yahudi dan Nasrani.

Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan dan sikap saling menghargai
tanpa memandang perbedaan suku dan agama, bahkan melindungi agama-agama lain yang
tinggal di dalam masyarakat Islam selama menjaga keamanan masyarakat dan tidak
mengganggu umat Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana multikulturalisme pada masa Rasulullah dan sahabat
2. Bagaimana Radikalisme dalam Dunia Islam
3. Kenapa Radikalisme bukan Karakter Islam
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana Multikulturalisme pada masa Rasulullah dan Sahabat
2. Untuk mengetahui Radikalisme dalam Dunia Islam
3. Untuk mengethui bahwa Radikalisme bukan Karakter Islam

iii
BAB II

PEMBAHASAN

A. Multikulturalisme Pada Masa Rasulullah dan Sahabat


Telah menjadi pengetahuan umum bahwa masyarakat Arab di Mekah menjelang
kemunculan Islam adalah masyarakat yang terikat dengan kehidupan kekabilahan. Kehidupan
bersama seperti ini diikat dengan tali keturunan sedarah, dan kehidupan kekabilahan menjadi
komunitas politik masyarakat Arab kala itu. Bahkan dalam perkembangannya, komunitas
politik kabilah itu berbeda derajat kompleksitasnya antara satu dengan lainnya, karena suatu
kabilah bisa mengalami perkembangan kian membesar. Misalnya, berasal dari satu kabilah
Quraisy menurunkan unit kabilah di bawahnya seperti Bani Hasyim dan Bani Umayyah,
kemudian keduanya berhasil membangun imperium kekuasaan. Pemimpin suatu kabilah
disebut Syaykh atau Sayyid al-Qabilah, dengan beragam kualifikasi seperti berani,
dermawan, berhati mulia, tegas, berpikir jernih, kaya, banyak pengalaman serta berumur, dan
merupakan keturunan asli dari kabilah bersangkutan.1
Proses internalisasi ajaran-ajaran keyakinan maupun tradisi kebudayaan berlangsung
melalui kekabilahan. Memang, kabilah adalah keluarga besar yang anggotanya memiliki rasa
keterikatan tinggi di antara mereka. Eksistensi kabilah dan adat istiadat yang jadi kesepakatan
anggotanya, dipertahankan dengan rasa dan sikap fanatis (‘ashabiyyah), dengan harga
setinggi apapun. Sebab dengan kabilah mereka tumbuh berkembang dan dengan kabilah pula
mereka membanggakan diri. Namun demikian, meskipun melalui kabilah ini muncul sikap
fanatisme, bagi masyarakat Arab, ‘ashabiyyah seperti inilah yang memberi andil bagi
terciptanya keseimbangan antar kabilah serta terjaminnya hak-hak individu anggota kabilah
dan kehormatannya.
Mereka melangsungkan perdagangan di Mekah, khususnya pada musim haji, dan juga
ke luar kota seperti ke Yaman dan ke Ethiopia di musim dingin, sedangkan di musim panas
mereka banyak berdagang ke Syiria dan Irak. 2
Setelah 13 tahun Rasulullah berada dimekah rasulullah pun berhijrah ke kota
madinah, Selain sebagai kota suci yang ditunjuk Allah Swt., keistimewaan Madinah yang lain
bukan terjadi begitu saja, akan tetapi melalui proses transformasi sosial yang tidak sederhana.
Setelah mengganti nama Yastrib dengan Madinah, nabi kemudian melakukan pemetaan dan
sensus penduduk. Barangkali ini merupakan sensus penduduk pertama di dunia. Dalam

1
Junaidi Abdullah, multikultural dalam historis Islam, (Jakarta: Paramadina, 2006) hal.36
2
Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1996) hal. 124

1
sensus tersebut ditemukan kenyataan bahwa Madinah adalah sebuah kota yang multikultural.
Heterogenitas kultural masyarakat kota Madinah dapat dilihat dari hasil cacah penduduk yang
dilakukan atas perintah nabi, di mana dari 10.000 jiwa penduduk Madinah kala itu kaum
muslim adalah minoritas yakni 1500 orang (15%). Mayoritas adalah orang musyrik Arab
4500 orang (45%) dan orang Yahudi 4000 orang (40%).3
Tingkat heterogenitas ini lebih tinggi lagi manakala dipaparkan bahwa masing-masing
kelompok muslim, musyrik Arab, dan Yahudi itu di dalamnya terdiri dari berbagai kabilah
atau sub-kelompok. Kaum muslim sendiri terdiri dari dua kelompok besar Muhajirin (migran)
dan Anshor (non-migran), yang masing-masing terdiri dari berbagai suku atau kabilah yang
punya tradisi bermusuhan karena kuatnya akar sukuisme dalam masyarakat Arab. Meski
begitu, uniknya, kehidupan di Madinah dapat berlangsung dengan damai. Tidak
mengherankan jika Madinah menjadi kota yang maju pada masa itu.
Pada tahun pertama di Madinah, Nabi Muhammad membuat langkah awal
mengurangi semangat ‘ashabiyyah qabaliyah melalui penetapan hubungan persudaraan
(muakhkhah) antara kaum Muhajirin yang berbasis kabilah Quraisy dan kaum Anshar yang
berbasis kabilah al-Khazraj dan sebagain kabilah al-Aus. Dengan membangun ukhuwah
islamiyah diharapkan setiap muslim merasa terikat dalam suatu persaudaraan dan
kekeluargaan. Apa yang dilakukan Nabi Muhammad ini berarti menciptakan suatu bentuk
persaudaraan yang baru, yaitu persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan
berdasarkan darah.
Multikulturalisme adalah realitas yang sudah ada dalam sejarah umat manusia. Dalam
konteks sejarah masyarakat Arab pra Islam khususnya di Madinah, multikulturalisme yang
dibingkai dalam keragaman sistem teologi, keragaman suku, budaya dan bahasa adalah
wujud nyata dari multikulturalisme tersebut. Karena, multikulturalisme menjadi bagian dari
realitas sosial masyarakat saat itu. Ini berarti, multikulturalisme merupakan bagian tak
terpisahkan dari realitas sosial kehidupan manusia. Dari masa yang sangat dini,
multikulturalisme telah ada dan selalu mendampingi sejarah sosial mereka. Wacana
multikulturalisme inilah yang disebut sebagai nilai universal yang memungkinkan antar
agama dan keyakinan untuk berbicara segala sesuatu dalam bingkai universalitas, bukan
sesuatu yang partikular dan eksklusif. Wacana multikulturalisme sebenarnya tidak berpotensi
menghilangkan nilai-nilai partikular dari agama karena upaya seperti itu merupakan hal yang
tidak mungkin.

3
Prof. Dr. Dudung Abdurrahman, Komunitas Multikultural dalam sejarah Islam Priode Klasih, (Yogyakarta:
Ombak, 2014) hal. 14

2
Nabi Muhammad saw adalah tokoh yang patut dijadikan teladan dalam hal
membumikan multikulturalisme. Ketika nabi saw. hijrah ke Madinah, beliau mulai
memimpin berbagai komunitas yang berbeda latar belakang agama, suku, politik yang
disatukan dalam satu bingkai dimana imam sebagai payung hukum utama di atas tata sosial
berdasarkan suku dan kabilah tertentu. Muhammad saw. adalah orang yang berhasil menjadi
pemimpin seluruh komponen masyarakat, dan bukan hanya kaum muslim saja. Ketika di
Madinah, berbagai budaya, agama dan aliran politik bisa disatukan sehingga kehidupan
Madinah pada waktu itu dapat berlangsung damai. Muhammad saw. memimpin komunitas
besar Yahudi yang banyak menguasai aspek Ekonomi, politik dan kultur di Madinah.
Nabi Muhammad mampu menciptakan kedamaian di kalangan masyarakat
multikultural dikarenakan beliau berhasil meletakkan dasar hubungan persahabatan yang baik
dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Agar stabilitas masyarakat dapat
diwujudkan, Nabi Muhammad mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka. Ikatan
perjanjian itu dituangkan dalam sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-
orang Yahudi sebagai suatu komunitas. Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu
dalam bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan agama dijamin, dan seluruh anggota
masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri itu dari serangan luar. Dalam
perjanjian itu jelas disebutkan bahwa Nabi Muhammad menjadi kepala pemerintahan karena
sejauh menyangkut peraturan dan tata tertib umum, otoritas mutlak diberikan kepada beliau.
Dalam bidang sosial, beliau juga meletakkan dasar persamaan antar sesama.4
Dengan menempatkan semua manusia pada derajat yang sama, otomatis Islam hendak
memberikan ruang dan kesempatan yang sama pada semua manusia. Semua manusia berhak
eksis dengan keragaman budaya, adat, dan keyakinan masing-masing. Nuansa demokratis
dalam berkehidupan, berbangsa, dan bernegara menjadi ajaran yang sangat inheren dengan
Islam. Nabi Muhammad saw. bersama para sahabatnya telah membangun Negara Madinah
yang demokratis, sebagai simbol yang harus dipahami oleh umat muslim generasi penerus.
Dalam pasal-pasal Piagam Madinah, misalnya, ditemukan spirit-spirit demokrasi mengental.
Piagam Madinah menjadi simbol bagi spirit Islam yang menjunjung tinggi demokrasi,
kesetaraan, anti-rasisme, keadilan antar etinis, ras, dan agama. Prinsip keadilan, kesetaraan,
dan demokrasi yang diperjuangkan oleh Islam mewujud dalam teks-teks Piagam Madinah.
Oleh karenanya, simbolisme Islam dalam Piagam Madinah ini harus dipahami dan nilai-
nilainya ditransformasikan terus-menerus dari generasi ke generasi melalui saluran

4
Prof. Dr. Dudung Abdurrahman, Komunitas Multikultural dalam sejarah Islam Priode Klasih, Ibid, Hal. 15

3
pendidikan yang tepat, yaitu pendidikan Islam yang menjunjung prinsip dan spirit
multikulturalisme.5
B. Radikalisme dalam dunia islam
1. Pengertian Radikalisme
Kata radikalisme berasal dari bahasa Inggris berakar dari kata radix berarti akar
atau angka pokok. Menurut Poerwodarminto, radikal artinya hilang sampai ke akar-akarnya.
Atau, haluan politik yang amat keras, menurut perubahan undang undang ketatanegaraan dan
sebagainya. Menurut Komaruddin, radikalisme berasal dari bahasa Latin radix yang berarti
akar, kaki atau dasar. Radikalisme berarti suatu paham yang menginginkan pembaharuan atau
perubahan sosial dan politik dengan ekstrem dan drastik hingga keakarnya.6
Berangkat dari beberapa pendapat tersebut dapat dilihat suatu rumusan bahwa
radikalisme adalah suatu pergerakan yang mengandung beberapa unsur pelaku, yaitu
seseorang yang melakukannya objek, yaitu arah yang ingin dicapai pergerakannya, materi
yaitu berupa ideologi atau gagasan, tempat yaitu di mana ruang pergerakan itu terjadi, dan
waktu yaitu kesempatan pada saat tertentu pergerakan itu muncul. Enam unsur ini merupakan
faktor yang menjadikan suatu pergerakan radikalisme dapat terjadi.
Adapun radikalisme dalam Islam dapat diartikan sebagai suatu pergerakan berupa
suatu pergerakan untuk menggantikan atau merubah ideologi lama menjadi ideologi baru
yang muncul pada internal Islam. Ini dipengaruhi oleh pemahaman terhadap ajaran Islam itu
sendiri dan pengaruh dari eksternal Islam yang menjadi stimulus sehingga terjadi interaksi
sosial sehingga mengakibatkan pergerakan radikal.
2. Faktor dan Penyebab Radikalisme dalam Islam
Radikalisme dapat muncul dipermukaan, hal ini, telah dikemukakan oleh Syamsul
Bahri, bahwa ini akan muncul didorong oleh lima faktor, yaitu faktor sosial politik, faktor
emosi keagamaan, faktor kultural, faktor ideologis anti westernisasi, dan faktor kebijakan
pemerintah.7 Faktor-faktor tersebut agar nampak gambaran yang lebih jelas akan disajikan
keterangan berikut ini.
Pertama, faktor sosial politik yaitu suatu bagian pergerakan yang mengarah pada
suatu pengaruh atau kekuasaan yang dapat mengakibatkan munculnya suatu gerakan radikal
baru. Ini muncul akibat dari interaksi sosial antara kelompol internal Islam didorong adanya
pergarakan mengarah pada kekuasaan. Seperti pergerakan dalam bentuk suksesi
5
Ibid. Hal. 15-16
6
Lukman Hakim Saifuddin, Radikalisme Agama Tantangan Kebangsaan, (Jakarta: Direktorat Jendral bimbingan
masyarakat islam Kemendag RI, 2014) Hal. 22
7
Lukman Hakim Saifuddin, Radikalisme Agama Tantangan Kebangsaan, Ibid, hal. 22-23

4
pemerintahan dalam bentuk khalifah. Sikap radikal pada masa pasca wafat Rasul saw,
Khalifah pertama dipergang oleh Abu Bakar As-Sidiq ra belum nampak pergerakan radikal.
Walaupun muncul pergerakan radikal namun belum begitu ketara. Suksesi kepemimpinan
dari Abu Bakar ra kepada Umar bin Khatab ra secara demokratis namun pada akhir
pemerintahan Umar bin Khatab ra terjadi pergerakan radikal dalam bentuk kekerasan, bahwa
Umar terbunuh oleh Abu Lukhiah (seorang budak dari Persia). Begitu juga suksesi
pemerintahan dari Umar ra kepada Utsman bin Affan ra disebabkan oleh pergerakan radikal
berupa pembunuhan, bahwa ia dibunuh oleh Zubair Thalhah, sehingga digantikan oleh
Sayyidina Ali ra, dalam pemerintahannya mendapat perlawanan pergerakan radikal.8
Ali ra terjadi konflik dengan Muawwiyah akan melahirkan dua kubu politik.
Muawwiyah menawarkan arbitrasi (damai) yang mengakibatkan kekalahan di pihak Ali ra.
Arbitrasi ini membawa dampak kekecewaan di kubu Ali ra, yang mengakibatkan munculnya
kelompok Khawarij, yang mempunyai pergerakan radikal dalam masalah teologi maupun
praktek. Kedua kubu ini selalu memunculkan argumentasi bahwa keduanya melakukan dosa
besar, sampai keduanya diberi keputusan bahwa keduanya melakukan dosa besar dan darah
keduanya halal ditumpahkan. 9
Kedua, faktor emosi keagamaan. Maksudnya adalah penyebab munculnya gerakan
radikalisme ini adanya fakta sentimen pemeluk internal Islam. Sentimen ini terjadi karena
adanya penindasan suatu kelompok pemeluk agama yang mempunyai kekuatan atau
kekuasaan tertentu sehingga muncul emosi yang dilampiaskan menggunakan dalih agama.
Faktor emosi keagamaan diawali adanya interaksi sosial dalam kelompok Islam itu sendiri,
didasari atas motivasi yang berakar pada kepentingan masing-masing kelompok, sebagai
pemicu lahirnya sentimen antar kelompok. Gerakan emosi keagamaan ini biasanya
dituangkan dalam bentuk radikal pergerakan menggunakan simbul keagamaan dan selalu
mengibarkan bendera simbul keagamaan dengan dalih membela agama, seperti jihad
fisabilillah (jihad di jalan agama Allah) dan sebagai syuhada (pahlawan atas perjuangan
membela agama Allah). Emosi keagamaan ini diawali dari pemahaman suatu teks Al-Quran
atau Al-Hadits atau fatwa ulama, yang bersifat interpretatif yang bersifat subjektif didasari
pemahaman pribadi.
Ketiga, faktor kultural. Maksudnya adalah suatu budaya yang dapat menggeser
terdapat keadilan Islam, sehingga Islam termarjinalkan, tidak ada kesempatan untuk

8
Ibid, hal. 23
9
Anzar Abdullah, Gerakan Radikalisme dalam Islam Perpektif Historis, (Makasar: Universitas Pejuang Republik
Indonesia, 2016) hal. 9

5
mendapatkan ruang mengamalkan syariat Islam, karena adanya dominasi budaya yang
bersifat sekulerisme (anti agama). Dominasi suatu budaya non-Islam yang dapat menggeser
budaya Islam ini dipengaruhi oleh interaksi sosial seperti interaksi antara budaya sekuler
dengan budaya Islam, sehingga budaya Islam tidak mendapat ruang. Dominasi budaya
sekuler ini menjadikan tekanan pada umat Islam sehingga muncul pergerakan radikal.
Pergerakan radikal ini bermotivasi untuk menggeser peradaban sekuler diganti dengan
peradaban Islam yang telah berada sebelumnya sehingga terjadi benturan budaya atau
peradaban.
Keempat, faktor ideologis, Maksudnya ideologi yang berfaham bangsa Barat yang
mengandung nilai sekuler perlu diganti dengan ideologi yang befaham Islam. Proses
penggantian ideologi barat ini melalui interaksi sosial yang bercorak pergerakan radikal.
Pergerakan radikal ini merupakan penolakan terhadap ideologi barat yang bertentangan
dengan syariat Islam. Ideologi barat dapat diketahui melalui simbul-simbul, tata cara
pergaulan yang tidak sesuai dengan syariat Islam, tata cara pergaulan antar jenis kelamin
yang berbeda yang merusak hukum Islam. Ini dapat dilakukan dengan menolak ajaran dan
budaya barat itu, dan penyadaran terhadap umat Islam, bahwa budaya barat yang tidak sesuai
syariat Islam perlu ditolak atau dijauhi sedini mungkin.
Hal ini telah ditulis oleh Azyumardi Azra, perlawanan Laskar Jihad Ahlussunnah
Waljamaah terhadap berbagai fenomena yang terjadi lebih didorong karena sikap pemerintah
yang tidak mau merespon secara positif terhadap tertindasnya kaum Muslim. Penyimpangan
norma agama terutama dengan masuknya faham sekuler dalam kehidupan umat Islam,
sehingga mendorong umat Islam melakukan gerakan kembali pada otentitas Islam.24 Faham
sekuler dalam kehidupan Islam seperti tiada ajaran agama yang mengatur kehidupan dunia,
sehingga menafikan terhadap kehidupan akhirat.
Kelima, faktor kebijakan pemerintah, artinya, tindakan pemerintah di negara-
negara Islam, atau negara berpenduduk mayoritas Islam kurang diberdayakan untuk
menanggulangi, mengatasi munculnya pergerakan radikalisme yang muncul dari internal
maupun eksternal pada suatu negara. Fenomena radikalisme ini muncul adanya
kecenderungan masuknya ideologi atau ekonomi dari suatu negara pada negara Islam atau
negara berpenduduk mayoritas Islam yang pemegang kekuasaan adalah para elit-elit
pemerintah di negara Muslim belum dapat mewujudkan pola selain untuk mengatasi
perkembangan itu. Misalnya, ideologi dari ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) memasuki

6
negara Indonesia dapat membangkitkan sikap radikal terhadap orang-orang Islam di
Indonesia.10
C. Radikalisme Bukan Karakter Islam
Gejala radikalisme agama tidak pernah berhenti dalam rentang perjalanan sejarah
umat Islam hingga sekarang. Bahkan, wacana tentang hubungan agama (Islam) dan
radikalisme belakangan semakin menguat seiring dengan munculnya berbagai tindakan
kekerasan dan lahirnya gerakan-gerakan radikal, khususnya pasca peristiwa 9 September
2001 di New York, Washington DC, dan Philadelphia, yang kemudian diikuti pengeboman di
Bali (12/10/2002 dan 1/10/2005), Madrid (11/3/2004), London (7/7/2005), dan terakhir di
Paris (13/10/2015). Pandangan stereotipikal Islam dengan radikalisme semakin meningkat
dan juga membangkitkan kembali gelombang Islamofobia, baik dalam hal agama, budaya,
maupun politik, di kalangan masyarakat Eropa, Amerika, dan Australia. Islam dan umat
Islam menjadi pihak yang tertuduh dalam berbagai aksi tersebut. Berbagai stigma dilekatkan
bahwa Islam identik dengan radikalisme, terorisme, dan kekerasan.11
Pada kenyataannya, sebagian muslim yang melakukan tindakan kekerasan sering kali
merujuk pada ayat al-Qur’an dan hadis Nabi saw. yang dijadikan legitimasi dan dasar
tindakannya. Padahal, Islam adalah agama universal dan moderat (wasatiyah) yang
mengajarkan nilai-nilai toleransi (tasamuh > ) yang menjadi salah satu ajaran inti Islam yang
sejajar dengan ajaran lain, seperti keadilan (‘adl), kasih sayang (rahmat), dan kebijaksanaan
(hikmah). Sebagai rahmat bagi semesta alam, al-Qur’an mengakui kemajemukan keyakinan
dan keberagamaan, Dalam Surat Al-Hujurat (49) : 13 disebutkan yang artinya “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa diantara kamu”.
Keanekaragaman budaya, etnis, ras, suku, bahasa, agama merupakan anugerah yang
diberikan Allah kepada ummat manusia. Bukan suatu faktor penyebab timbulnya permusuhan
atau perselisihan di muka bumi. Dengan berbagai perbedaan yang ada Indonesia dipersatukan
dalam satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Keberagaman mewarnai kehidupan
masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Menggambarkan
bahwasannya Islam adalah agama yang damai.

10
Ibid. Hal. 24-25
11
Inayatul Ulya, Jurnal Radikalisme atas nama Agama, (Jateng: Institut Pesantren Mahali’ul Falah, 2016) hal.
116

7
Islam secara normatif melalui Al-Qur’an dan Sunnah telah menguraikan tentang
kesetaraan dalam bermasyarakat yang tidak mendiskriminasikan kelompok manapaun.
Agama Islam memandang segala perbedaan tersebut sebagai sebuah anugerah Tuhan yang
begitu besar yang seharusnya disyukuri.12
Dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat multikulturalis dalam
pandangan Islam memiliki kedudukan yang sama, tidak ada yang merasa paling unggul
ataupun paling hebat dari yng satu dengan yang lain. Mereka memiliki hak dan kewajiban
yang sama baik dalam bidang sosial, poltik mupun hukum.
Islam mengajarkan suatu konsep bahwa perbedaan seharusnya membuat ummat
manusia bisa saling melengkapi antara satu umat dan umat lainnya bukan malah menjadi
faktor yang menjadi penyebab perselisihan.
Sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah dalam peristiwa Fathul Makkah
(pembebasan kota makkah). Saat itu Nabi bersama 10.000 kaum muslimin datang ke Mekah.
Nabi memerintahkan para sahabat membawa obor di malam hari. Sehingga terlihat banyak
dan berhasil membuat kaum kafir Makah bergetar. Mereka tunduk kepada Nabi. Sejarah
mencatat, tidak ada darah yang menetes pada peristiwa pembebasan itu. Islam kembali ke
Mekah dengan damai. Bahkan, apa yang dilakukan oleh Nabi kepada penduduk Mekah
sungguh di luar kebiasaan penguasa pada umumnya. Yang seharusnya membalas dendam
karena tindak penindasan dan pengusiran, justru Nabi melakukan hal sebaliknya. Nabi
bersabda dengan ungkapan yang sangat terkenal:
"‫"اذهبوا فانتم الطلقاء‬
"Pergilah, saat ini kalian bebas".
"‫ ومن دخل المسجد فهو آمن‬،‫ ومن أغلق عليه بابه فهو آمن‬،‫فمن دخل دار أبي سفيان فهو آمن‬..."
"Barang siapa masuk rumah Abu Sufyan (pemimpin kafir Quraisy) maka dia aman,
barang siapa menutup pintu rumahnya, dia aman dan barang siapa memasuki masjid,
maka dia juga aman".13
Meskipun beliau berhasil menguasai Mekah, namun beliau tidak memaksa
penduduknya untuk menganut Islam dan tidak juga menganiaya. Begitulah karakter Islam
yang diajarkan oleh Rasulullah, yang semestinya dicontoh oleh kita sebagai umatnya.

12
Firman, Jurnal Nilai-nilai Pendidikan Multikultural dalam al-Qur’an, ( samarinda: IAIN Samarinda, 2008) hal.
67
13
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994) hal. 154

8
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Multikulturalisme adalah realitas yang sudah ada dalam sejarah umat manusia. Dalam
konteks sejarah masyarakat Arab pra Islam khususnya di Madinah, multikulturalisme yang
dibingkai dalam keragaman sistem teologi, keragaman suku, budaya dan bahasa adalah
wujud nyata dari multikulturalisme tersebut. Karena, multikulturalisme menjadi bagian dari
realitas sosial masyarakat saat itu. Ini berarti, multikulturalisme merupakan bagian tak
terpisahkan dari realitas sosial kehidupan manusia.
Islam mengajarkan suatu konsep bahwa perbedaan seharusnya membuat ummat
manusia bisa saling melengkapi antara satu umat dan umat lainnya bukan malah menjadi
faktor yang menjadi penyebab perselisihan.
Islam secara normatif melalui Al-Qur’an dan Sunnah telah menguraikan tentang
kesetaraan dalam bermasyarakat yang tidak mendiskriminasikan kelompok manapaun.
Agama Islam memandang segala perbedaan tersebut sebagai sebuah anugerah Tuhan yang
begitu besar yang seharusnya disyukuri.

9
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Anzar. (2016). Gerakam Radikalisme dalam Islam Prespektif Historis. Makasar:
Universitaas Pejuang Republik Indonesia.
Syalabi, Ahmad. (1994). Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna.
Prof. Dr. Abdurrahman, Dudung. (2014). Komunitas Multikultural dalam sejarah Islam
Priode Klasik. Yogyakarta: Ombak
Firman. (2008). Jurnal Nilai-nilai Pendidikan Multikultural dalam al-Qur’an. Samarinda:
IAIN Samarinda
Nasution, Harun. (1996). Islam Rasional. Bandung: Mizan
Ulya, Inayatul. (2016). Jurnal Radiklaisme Atas Nama Agama. Jateng: Institut Pesantren
Mahali’ul Falah
Abdullah, Junaidi. (2006). Multikultural dalam Historis Islam. Jakarta: Paramadina.
Hakim, Lukman Saifuddin. (2014). Radikalisme agama Tantangan Kebangsaan. Jakarta:
Direktorat Jendral bimbingan masyarakat islam Kemendag RI

10

Anda mungkin juga menyukai