Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN SPINAL CORD INJURY

A. DEFINISI
Trauma pada tulang belakang (spinal cord injury) adalah cedera yang
mengenai servikal, vertebralis, dan lumbalis dari suatu trauma yang mengenai
tulang belakang (Mutttaqin, 2008).
Trauma spinal adalah injuri/cedera/trauma yang terjadi pada spinal,
meliputi spinal collumna maupun spinal cord, dapat mengenai elemen tulang,
jaringan lunak, dan struktur saraf pada cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat
trauma berupa jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olah raga,
dan sebagainya. Trauma spinalis menyebabkan ketidakstabilan kolumna vertebral
(fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra) atau injuri saraf yang
aktual maupun potensial (Price, 2005).
Trauma spinal yaitu gangguan pada serabut spinal (spinal cord) yang
menyebabkan perubahan secara permanen atau sementara, akan tetapi fungsi
motorik, sensorik atau anatomi masih normal.
Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada medulla spinalis (Brunner & Suddarth,2001)
Cedera medulla spinalis adalah kerusakan tulang sumsum yang
mengakibatkan gangguan sistem persyarafan didalam tubuh manusia yang
diklasifikasikan sebagai : komplit (kehilangan sensasi dan fungsi motorik), tidak
komplit (campuran kehilangan sensori dan fungsi motorik).

B. MEKANISME CEDERA
Ada 4 mekanisme yang mendasari :
a. Kompresi oleh tulang, ligamen, benda asing, dan hematoma. Kerusakan paling
berat disebabkan oleh kompresi dari fragmen korpus vertebra yang tergeser
ke belakang dan cedera hiperekstensi.
b. Tarikan/regangan jaringan: regangan berlebih yang menyebabkan gangguan
jaringan biasanya setelah hiperfleksi. Toleransi regangan pada medulla
spinalis menurun sesuai usia yang meningkat.
c. Edema medulla spinalis timbul segera dan menimbulkan gangguan sirkulasi
kapiler lebih lanjut serta aliran balik vena yang menyertai cedera primer.
d. Gangguan sirkulasi merupakan hasil kompresi oleh tulang atau struktur lain
pada sistem arteri spinal posterior atau anterior.

Kecelakaan mobil atau terjatuh olahraga, kecelakaan industri, tertembak


peluru, dan luka tusuk dapat menyebabkan trauma medulla spinal. Sebagian besar
pada medulla spinal servikal bawah (C4-C7,T1) dn sambungan torakolumbal
(T11-T12, L1). Medula spinal torakal jarang terkena.

C. KLASIFIKASI
Cedera medulla spinalis dapat diklasifikasikan sesuai dengan level,beratnya
defisit neurologi, spinal cord syndrome, dan morfologi:
a. Level
Level neurologis adalah segmen paling kaudal dari medulla spinalis yang
masih dapat ditemukan keadaan sensoris dan motoris yang normal dikedua sisi
tubuh. Apabila level sensoris digunakan, ini menunjukan kearah bagian
segmen kaudal medulla spinalis dengan fungsi sensoris yang normal pada
kedua bagian tubuh. Level motoris dinyatakan seperti sensoris, yaitu daerah paling
kaudal dimana masih dapat ditemukan motoris dengan tenaga 3/5 pada lesi
komplit, mungkin masih dapat ditemukan fungsi sensoris maupun motoris di
bawah level sensoris/motoris. Ini disebut sebagai daerah dengan “preservasi
parsial” Penentuan dari level cedera pada dua sisi adalah penting.
Terdapat perbedaan yang jelas antara lesi di bawah dan di atas T1. Cedera
pada segmen servikal diatas T1 medulla spinalis menyebabkan quadriplegia
dan bila lesi di bawah level T1 menghasilkan paraplegia. Level tulang vertebra
yang mengalami kerusakan, menyebabkan cedera pada medulla spinalis.
Level kelainan neurologis dari cedera ini ditentukan hanya dengan
pemeriksaan klinis. adang-kadang terdapat ketidakcocokan antaralevel tulang
dan neurologis disebabkan nervus spinalis memasuki kanalis spinalis melalui
foramina dan naik atau turun didalam kanalis spinalissebelum benar-benar
masuk kedalam medulla spinalis. Ketidakcocokan akanlebih jelas kearah
kaudal dari cedera Pada saat pengelolaan awal level kerusakan menunjuk pada
kelainan tulang, cedera yang dimaksudkan level neurologis
b. Beratnya Defisit Neurologis
Cedera medulla spinalis dapat dikategorikan sebagai paraplegia tidak komplit,
paraplegia komplit, kuadriplegia tidak komplit, dan kuadraplegia komplit.
Sangat penting untuk menilai setiap gejala dari fungsi medulla spinalis yang
masih tersisa. Setiap fungsi sensoris atau motoris dibawah level cedera
merupakan cedera yang tidak komplit. Yang termasuk dalam cedera tidak
komplit adalah :
 Sensasi (termasuk sensasi posisi) atau gerakan volunter pada ekstremitas
bawah
 Sakra l sparing, sebagai contoh: sensasi perianal, kontraksi sphincterani
secara volunter atau fleksi jari kaki volunter. Suatu cedera tidak
dikualifikasikan sebagai tidak komplit hanya dengan dasar adanya
reservasi refleks sacral saja, misalnya bulbocavernosus, atau anal wink.
Refleks tendon dalam juga mungkin di preservasi pada cedera tidak
komplit.

c. Spinal Cord Syndrome


Beberapa tanda yang khas untuk cedera neurologis kadang-kadang dapat
dilihat pada penderita dengan cedera medulla spinalis Pada Central cord
syndrome yang khas adalah bahwa kehilangan tenaga pada ekstremitas atas,
lebih besar dibanding ekstremitas bawah, dengan tambahan adanya
kehilangan adanya sensasi yang bervariasi. Biasanya hal ini terjadi cedera
hiperekstensi pada penderita dengan riwayat adanya stenosis kanalis sevikalis
(sering disebabkan oleh osteoarthritis degeneratif). Dari anamnesis umumnya
ditemukan riwayat terjatuh ke depan yang menyebabkan tumbukan pada
wajah yang dengan atau tanpa fraktur atau dislokasi tulang servikal.
Penyembuhannya biasanya mengikuti tanda yang khas dengan penyembuhan
pertama pada kekuatan ekstremitas bawah kemudian fungsi kandung kemih
lalu kearah proksimal yaitu ekstremitas atas dan berikutnya adalah tangan.
Prognosis penyembuhannya sentral cord syndrome lebih baik dibandingkan
cedera lain yang tidak komplit. Sentral cord syndrome diduga disebabkan
karena gangguan vaskuler pada daerah medulla spinalis pada daerah distribusi
arteri spinalis anterior. Arteri ini mensuplai bagian tengah medulla spinalis.
Karena serabut saraf motoris ke segmen servikal secara topografis mengarah
ke senter medulla spinalis, inilah bagian yang paling terkena.
Anterior cord syndrome ditandai dengan adanya paraplegia dan kehilangan
dissosiasi sensoris terhadap nyeri dan sensasi suhu Fungsi kolumna posterior
(kesadaran posisi, vibrasi, tekanan dalam) masih ditemukan. Biasanya
anterior cord syndrome disebabkan oleh infark medulla spinalis pada daerah
yang diperdarahi oleh arteri spinalis anterior Sindrom ini mempunyai
prognosis yang terburuk diantara cidera inkomplit.
Brown Sequard Sydrome timbul karena hemiksesi dari medulla spinalis dan
akan jarang dijumpai. Akan tetapi variasi dari gambaran klasik cukup sering
ditemukan. Dalam bentuk yang asli syndrome ini terdiri dari kehilangan
motoris opsilateral (traktus kortikospinalis) dan kehilangan kesadaran posisi
(kolumna posterior) yang berhubungan dengan kehilangan disosiasi sensori
kontralateral dimulai dari satu atau dua level dibawah level cedera (traktus
spinotalamikus). Kecuali kalau syndrome ini disebabkan oleh cedera
penetrans pada medulla spinalis, penyembuhan (walaupun sedikit) biasanya
akan terjadi.
d. Morfologi
Cedera tulang belakang dapat dibagi atas fraktur, fraktur dislokasi,cedera
medulla spinalis tanpa abnormalitas radiografi (SCIWORA), atau cedera
penetrans. Setiap pembagian diatas dapat lebih lanjut diuraikan sebagai stabil
dan tidak stabil. Walaupun demikian penentuan stabilitas tipe cedera tidak
selalu sederhana dan ahlipun kadang-kadang berbeda pendapat. Karena itu
terutama pada penatalaksanaan awal penderita, semua penderita dengan
defisit neurologis, harus dianggap mempunyai cedera tulang belakang yang
tidak stabil. Karena itu penderita ini harus tetap diimobolisasi sampai ada
konsultasi dengan ahli bedah saraf/ ortopedi.
Klasifikasi fraktur dapat mengambil berbagai bentuk tergantung dari besar
kecilnya kerusakan anatomis atau berdasarkan stabil atau tidak stabil. ‘Major
Fracture’ bila fraktur mengenai pedikel, lamina atau korpus vertebra . ‘Minor
Fraktur’ bila fraktur terjadi pada prosesus transversus, prosesus spinosus atau
prosesus artikularis .
Suatu fraktur disebut ’stable’, bila kolumna vertebralis masih mampu
menahan beban fisik dan tidak tampak tanda – tanda pergeseran atau deformitas
dari struktur vertebra dan jaringan lunak. Suatu fraktur disebut ’unstable’, bila
kolumna vertebralis tidak mampu menahan beban normal, kebanyakan
menunjukkan deformitas dan rasa nyeri serta adanya ancaman untuk terjadi
gangguan neurologik.

Cedera yang mengenai kolumna spinalis akan diuraikan dalam urutan


anatomis, dari cranial mengarah keujung kaudal tulang belakang:
 Dislokasi atlanto  –  oksipital (atlanto-occipital dislocation)
Cedera ini jarang terjadi dan timbul sebagai akibat dari trauma fleksi dan
distraksi yang hebat. Kebanyakan penderita meninggal karena kerusakan
batang otak. Kerusakan neurologis yang berat ditemukan pada level saraf
kranial bawah. kadang- kadang penderita selamat bila resusitasi segera
dilakukan di tempat kejadian.
 Fraktur atlas (C-1)

Atlas mempunyai korpus yang tipis dengan permukaan sendi yang lebar.
Fraktur C-1 yang paling umum terdiri dari burst fraktur (fraktur Jefferson).
Mekanisme terjadinya cedera adalah axial loading, seperti kepala tertimpa
secara vertikal oleh benda berat atau penderita terjatuh dengan puncak kepala
terlebih dahulu. Fraktur Jefferson berupa kerusakan pada cincin anterior
maupun posterior dari C-1, dengan pergeseran masa lateral. Fraktur akan
terlihat jelas dengan proyeksi open mouth dari daerah C-1 dan C-2dan dapat
dikomfirmasikan dengan CT Scan. Fraktur ini harus ditangani secara awal
dengan Neck Collar .
 Rotary subluxation dari C-1
Cedera ini banyak ditemukan pada anak-anak  Dapat terjadi spontan setelah
terjadi cedera berat/ ringan, infeksi saluran napas atas atau penderita dengan
rematoid arthritis. Penderita terlihat dengan rotasi kepala yang menetap. Pada
cedera ini jarak odontoid kedua lateral mass C-1 tidak sama, jangan dilakukan
rotasi dengan paksa untuk menaggulangi rotasi ini, sebaiknya dilakukan
imobilisasi. Dan segera rujuk.
 Fraktur aksis (C-2)
Aksis merupakan tulang vertebra terbesar dan mempunyai bentuk yang
istimewa karena itu mudah mengalami cedera.
a. Fraktur odontoid
Kurang 60% dari fraktur C-2 mengenai odontoid suatutonjolan tulang
berbentuk pasak. Fraktur ini dapat diidentifikasi dengan foto ronsen
servikal lateral atau buka mulut.
b. Fraktur dari elemen posterior dari C-2
Fraktur hangman mengenai elemen posterior C-2, parsinter artikularis
20% dari seluruh fraktur aksis fraktur disebabkan oleh fraktur ini.
Disebabkan oleh trauma tipe ekstensi, dan harus dipertahankan dalam
imobilisasi eksternal.
 Fraktur dislocation ( C-3 sampai C-7)
Fraktur C-3 sangat jarang terjadi, hal ini mungkindisebabkan letaknya berada
diantara aksis yang mudah mengalami cedera dengan titik penunjang tulang
servikal yang mobile, seperti C-5 dan C-6, dimana terjadi fleksi dan ekstensi
tulang servikal terbesar.
 Fraktur vertebra torakalis ( T-1 sampai T-10)
Fraktur vertebra Torakalis dapat diklasifikasikan menjadi 4 kategori : (1)
cedera baji karena kompresi bagian korpus anterior, (2) cedera bursi, (3)
fraktur Chance, (4) fraktur dislokasi. Axial loading disertai dengan fleksi
menghasilkan cedera kompresi pada bagian anterior. Tip kedua dari fraktur
torakal adalah cedera burst disebabkan oleh kompresi vertikal aksial. Fraktur
dislokasi relatif jarang pada daerah T-1 sampai T-10.
 Fraktur daerah torakolumbal - fraktur lumbal (T-11 sampai L-1)
Fraktur di daerah torakolumbal tidak seperti pada cedera tulang servikal, tetapi
dapat menyebabkan morbiditas yang jelas bila tidak dikenali atau terlambat
mengidentifikasinya. Penderita yang jatuh dari ketinggian dan pengemudi
mobil memakai sabuk pengaman tetapi dalam kecepatan tinggi mempunyai
resiko mengalami cedera tipe ini. Karena medulla spinalis berakhir pada level
ini, radiks saraf yang membentuk kauda ekuina bermula pada daerah
torakolumbal.
Tingkat cedera didefinisikan oleh ASIA (American Spinal Injury Association)
menurut Penurunan Skala (dimodifikasi dari klasifikasi Frankel), dengan
menggunakan kategori berikut :
 A = Cedera Saraf Lengkap: Terjadi kehilangan fungsi motorik dan sensori
lengkap (Complet Loss) khususnya di segmen S4-S5.
 B = Cedera Saraf Tidak Lengkap: Fungsi motorik hilang, fungsi sensori utuh,
kadang terjadi pada segmen S4-S5.
 C = Cedera Saraf Tidak Lengkap: Fungsi motorik ada tetapi secara praktis
tidak berguna (dapat menggerakan tungkai tetapi tidak bisa berjalan) dan
tingkat kekuatan otot dibawah 3.
 D = Cidera Saraf Tidak Lengkap: fungsi motorik terganggu (dapat berjalan
tetapi tidak dengan normal) tingkat kekuatan otot sama atau diatas 3.
 E = Normal: Fungsi sensorik dan motorik normal.

STANDAR KLASIFIKASI NEUROLOGI UNTUK SCI menurut ASIA adalah :


terlampir

D. ETIOLOGI
Penyebab trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
olah raga, terjatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja.
Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun
mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan.
Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu:
a. Fraktur akibat peristiwa trauma

Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang


dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran atau
penarikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat
yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan
biasanya menyebabkan fraktur lunak juga pasti akan ikut rusak.
Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada
kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur
komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas.
b. Fraktur akibat kelelahan atau tekanan

Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain
akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan
pada tibia, fibula atau matatarsal terutama pada atlet, penari atau calon
tentara yang berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh.
c. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak
(misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh.

E. PATOFISIOLOGI
Penyebab tersering terjadinya cedera tulang belakang cervical adalah
kecelakaan mobil, kecelakaan motor, jatuh, cedera olah raga, dan luka akibat
tembakan atau pisau. Menurut mekanisme terjadinya cidera, cidera servikal di
bagi atas fleksi, fleksi rotasi, ekstensi, kompresi aksial. Cidera cervical atas
adalah fraktura atau dislokasi yang mengenai Basis Occiput-C2. Cidera tulang
belakang cervical bawah termasuk fraktura dan dislokasi ruas tulang belakang
C3-C7. Ruas tulang belakang C5 adalah yang tersering mengalami fraktur.
C1 hanya berupa cincin tulang yang terdiri atas arcus anterior yang tebal
dan arcus posterior yang tipis, serta masa lateralis pada masing-masing sisinya.
Tulang ini berartikulasi dengan kondilus occipitalis membentuk articulatio
atlanto-occipitalis, tempat berlangsungnya gerakan mengangguk. Dibawah,
tulang ini beratikulasi dengan C2, membentuk articulasio atlanto-axialis, tempat
berlangsungnya gerakan memutar kepala. Ketika cidera terjadi fraktur tunggal
atau multiple pada cincin C1 dan dislokasi atlanto-occipitalis sehingga
menyebabkan ketidakmampuan menggerakkan kepala dan kerusakan pada batang
otak. Cedera pada C1 dan C2 menyebabkan ventilasi spontan tidak efektif.
Pada C3-C5 dapat terjadi kerusakan nervus frenikus sehingga dapat terjadi
hilangnya inervasi otot pernafasan aksesori dan otot interkostal yang dapat
menyebabkan komplience paru menurun.
Pada C4-C7 dapat terjadi kerusakan tulang sehingga terjadi penjepitan
medula spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi
osteosif/material diskus dari anterior yang bisa menyebabkan nekrosis dan
menstimulasi pelepasan mediator kimia yang menyebabkan kerusakan myelin dan
akson, sehingga terjadi gangguan sensorik motorik. Lesi pada C5-C7 dapat
mempengaruhi intercostal, parasternal, scalenus, otot2 abdominal. Intak pada
diafragma, otot trapezius, dan sebagian pectoralis mayor.
Cedera pada tulang servikal dapat menimbulkan lesi atau cedera pada medulla
spinalis yang dapat terjadi beberapa menit setelah adanya benturang keras
mengenai medulla spinalis. Saat ini, secara histologis medulla spinalis masih
normal. Dalam waktu 24-48 jam kemudian terjadi nekrosis fokal dan inflamasi.
Pada waktu cedera terjadi disrupsi mekanik akson dan neuron. Ini disebut cedera
neural primer. Disamping itu juga terjadi perubahan fisiologis dan patologis
progresif akibat cedera neural sekunder.
Beberapa saat setelah terjadi kecelakaan atau trauma pada servikal maka
akan terjadi kerusakan secara struktural yang mengakibatkan gangguan pada saraf
spinal dan pembuluh darah disekitarnya yang akan menghambat suplai O2 ke
medulla spinalis atau akan terjadi ischemik pada jaringan tersebut. Karena terjadi
ischemik pada jaringan tersebut, dalam beberapa menit atau jam kemudian akan
ada pelepasan vasoactive agent dan cellular enzym yang menyebabkan konstriksi
kapiler pada pusat substansi abu-abu medula spinalis. Ini merupakan permulaan
dari cedera neural sekunder pada cedera medula spinalis. Selanjutnya adalah
peningkatan level Ca pada intraselular yang mengakibatkan kerusakan pada
endotel pembuluh darah yang dalam beberapa jam kemudian dapat
menimbulakan aneurisma dan ruptur pada pembuluh darah di medula spinal.
Peningkatan potasium pada ekstraseluler yang mengakibatkan terjadinya
depolarisasi pada sel (Conduction Block). Hipoxia akan merangsang pelepasan
katekolamin sehingga terjadi perdarahan dan nekrosis pada sel.
Di tingkat selular, adanya kerusakan mitokondria akibat defisit suplai O2 dapat
merangsang pelepasan superoksid (radikal bebas), disertai terjadinya
ketidakseimbangan elektrolit, dan pelepasan mediator inflamasi dapat
mengakibatkan terjadinya kematian sel (apoptosis) dengan manifestasi sel
mengkerut dan kromatin nuclear yang padat.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah
maupun torakalis bawah misalnya pada waktu duduk di kendaraan yang sedang
cepat berjalan kemudian berhenti secara mendadak. Atau pada waktu terjun
dari jarak tinggi menyelam dan masuk air yang dapat mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi,
hiperfleksi, tekanan vertikal (terutama pada T12 sampai L2), rotasi Kerusakan
yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap Akibat
trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi
untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam
beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa edema, perdarahan
perivaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla
spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi
lesi,contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang
belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat
mematahkan /menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi). Lesi
transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen
transversa, hemitransversa, kuadran transversa). Hematomielia adalah perdarahan
dalam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia
grisea. Trauma ini bersifat “whiplash“ yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat
badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi
medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh
penyempitan kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstrameduler
traumatik dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip
diantara duramater dan kolumna vertebralis. Gejala yang didapat sama dengan
sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis
vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis
dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis. Pada trauma whislap, radiks columna
5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler
spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersebut disebut hematorasis atau
neuralgia radikularis traumatik yang reversible. Jika radiks terputus akibat trauma
tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah
radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T8 atau T9
yangakan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma
yang bersangkutan dan sindroma sistema astomosis anterial anterior spinal.
F. MANEFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis bergantung pada lokasi yang mengalami trauma dan apakah
trauma terjadi secara parsial atau total. Berikut ini adalah manifestasi berdasarkan
lokasi trauma :
1. Antara C1 sampai C5
Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal.
2. Antara C5 dan C6
Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang lemah;
kehilangan refleks brachioradialis.
3. Antara C6 dan C7
Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan fleksi
sikumasih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep.
4. Antara C7 dan C8
Paralisis kaki dan tangan
5. C8 sampai T1
Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis kaki.
6. Antara T11 dan T12
Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut.
7. T12 sampai L1
Paralisis di bawah lutut.
8. Cauda equine
Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan biasanya nyeri
dan sangat sensitive terhadap sensasi, kehilangan kontrol bowel dan bladder.
9. S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1
Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total.
Bila terjadi trauma spinal total atau complete cord injury, manifestasi yang
mungkin muncul antara lain total paralysis, hilangnya semua sensasi dan aktivitas
refleks
Tanda dan gejala yang akan muncul:
a. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya
spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
b. Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada
daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c. Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di
jaringan sekitarnya
d. Spasme otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
e. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema
f. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot.
paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
g. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi
normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang
h. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang
digerakkan.
i. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan
pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
j. Shock hipovolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.
G. PENATALAKSANAAN
a. Imobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan
sampai ke unit gawat darurat.Yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan
leher dalam posisi normal; dengan menggunakan ’cervical collar’. Cegah agar
leher tidak terputar (rotation). Baringkan penderita dalam posisi terlentang
(supine) pada tempat/alas yang keras. Pasien diangkat/dibawa dengan cara ”4
men lift” atau menggunakan ’Robinson’s orthopaedic stretcher’.
b. Stabilisasi Medis
Terutama sekali pada penderita tetraparesis/ tetraplegia, lakukan :
 Periksa vital signs
Segera normalkan ’vital signs’. Pertahankan tekanan darah yang normal
dan perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor produksi urin,
bila perlu monitor AGD (analisa gas darah), dan periksa apa ada
neurogenic shock.
 Pasang ’nasogastric tube’
 Pasang kateter urin
 Pemberian megadose Methyl Prednisolone Sodium Succinate
dalam kurun waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat memperbaiki
kontusio medula spinalis.
c. Mempertahankan posisi normal vertebra ”Spinal Alignment”
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau
Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi
traksi diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15
menit sampai terjadi reduksi.
d. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal
Bila terjadi ’realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila ’realignment’
dengan caran tertutup ini gagal maka dilakukan ’open reduction’ dan
stabilisasi dengan ’approach’ anterior atau posterior.
e. Rehabilitasi.
mungkin. Termasuk dalam program ini adalah ‘bladder training’, ’bowel
training’, latihan otot pernafasan, pencapaian optimal fungsi-fungsi
neurologik dan program kursi roda bagi penderita paraparesis/paraplegia.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. CT SCAN
Pemeriksaan ini dapat memberikan visualisasi yang baik komponen tulang
servikal dan sangat membantu bila ada fraktur akut. Akurasi Pemeriksaan CT
berkisar antara 72 -91 % dalam mendeteksi adanya herniasi diskus. Akurasi
dapat mencapai 96 % bila mengkombinasikan CT dengan myelografi
b. MRI
Pemeriksaan ini sudah menjadi metode imaging pilihan untuk daerah servikal .
MRI dapat mendeteksi kelainan ligamen maupun diskus. Seluruh daerah
medula spinalis , radiks saraf dan tulang vertebra dapat divisualisasikan.
Namun pada salah satu penelitian didapatkan adanya abnormalitas berupa
herniasi diskus pada sekitar 10 % subjek tanpa keluhan , sehingga hasil
pemeriksaan ini tetap harus dihubungkan dengan riwayat perjalanan penyakit ,
keluhan maupun pemeriksaan klinis.
c. EMG
Pemeriksaan Elektromiografi ( EMG) mengetahui apakah suatu gangguan
bersifat neurogenik atau tidak, karena pasien dengan spasme otot, artritis juga
mempunyai gejala yang sama. Selain itu juga untuk menentukan level dari
iritasi/kompresi radiks , membedakan lesi radiks dan lesi saraf perifer,
membedakan adanya iritasi atau kompresi .

I. KOMPLIKASI
a. Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang
desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan tonus
vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung sehingga
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ekstremitas bawah
maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya terjadi hipotensi.
b. Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah
terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak
seperti lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak.
c. Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil dari
cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal bawah atau
torakal atas
d. Hiperfleksia autonomik
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut , keringat banyak, kongesti
nasal, bradikardi dan hipertensi.

J. WEB OF CAUTION
K. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Apakah pasien pernah menderita :
 Stroke
 Infeksi Otak
 DM
 Diare/muntah
 Tumor Otak
 Trauma kepala
b. Pemeriksaan Fisik 
 Sistem pernafasan
Gangguan pernafasan, menurunnya vital kapasitas, menggunakan otot-
otot pernafasan tambahan
 Sistem kardiovaskuler
Bardikardia, hipotensi, disritmia, orthostatic hipotensi
 Status neurologi
Nilai GCS karena 20% cedera medulla spinalis disertai cedera kepala
 Fungsi motorik
Kehilangan sebagian atau seluruh gerakan motorik dibawah garis
kerusakan,adanya quadriplegia, paraplegia
 Refleks Tendon
Adanya spinal shock seperti hilangnya reflex dibawah garis kerusakan,
postspinal shock seperti adanya hiperefleksia ( pada gangguan upper
motor neuron/UMN) dan flaccid pada gangguan lower motor neuron/
LMN).
 Fungsi sensorik
Hilangnya sensasi sebagian atau seluruh bagian dibawah garis
kerusakan
 Fungsi otonom
Hilangnya tonus vasomotor, kerusakan termoreguler
 Autonomik hiperefleksia (kerusakan pada T6 ke atas)
Adanya nyeri kepala, peningkatan tekanan darah, bradikardia,
hidungtersumbat, pucat dibawah garis kerusakan, cemas dan gangguan
penglihatan.
 Sistem gastrointestinal
Pengosongan lambung yang lama, ileus paralitik, tidak ada bising usus,
stressulcer, feses keras atau inkontinensia.
 Sistem urinaria
Retensi urine, inkontinensia
 Sistem Muskuloskletal 
Atropi otot, kontraktur, menurunnya gerak sendi (ROM
 Kulit
Adanya kemerahan pada daerah yang terrtekan (tanda awal dekubitus)
 Fungsi seksual
Impoten, gangguan ereksi, ejakulasi, menstruasi tidak teratur
 Psikososial 
Reaksi pasien dan keluarga, masalah keuangan, hubungan dengan
masyarakat
2. Diagnosa Keperawatan Dan Intervensi
a. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan tidak
efektifnya refleks batuk, immobilisasi
Data Pendukung:
 Kemampuan batuk kurang atau tidak ada 
 Slem banyak 
 Suara nafas stridor
 Terpasang alat dimulut
 Pernafasan cepat lebih dari 20 x/menitf.Perubahan nilai AGD
Kriteria Hasil:
 Batuk Efektif 
 Pasien mampu mengeluarkan secret
 Bunyi nafas normal
 Jalan nafas bersih
 Respirasi normal : Irama dan jumlah pernafasan
 Pasien mampu melakuakan reposisi Nilai AGD : PaO2 > 80 mmHg,
PaCO2 :35-45 mmHg, pH : 7,35-7,45
Rencana Tindakan Rasional:
 Kaji kemampuan batuk dan produksi secret
 Auskultasi bunyi nafas
 Pertahankan jalan nafas (hindari fleksi lehe, bersihkan sekret)
 Berikan terapi nebulizer
 Monitor warna, jumlah dan konsistensi sekret,lakukan kultur.
 Lakukan suction jika perlu.
 Lakukan latihan nafas.
 Berikan minum hangat jika tidak ada kontraindikasi.
 Berikan oksigen dan monitor analisis gas darah.
 Monitor tanda vital setiap 2 jam dan status neurologi. Hilangnya
kemampuan motorik otot intercosta dan abdomen berpengaruh
terhadap kemampuan Batuk.
b. Tidak efektif pola nafas berhubungan dengan paralisis otot pernafasan.
Data Pendukung:
 Taruma pada daerah servikal 
 Pola nafas cepat lebih dari normal
 Ekspansi paru tidak simetris/ normal
 Irama nafas tidak teratur 
 Perubahan nilai AGD
Kriteria Hasil:
 Pasien dapat menunjukan adanya peningkatan Tidal volume >7
10ml/kg 
 RR < 25 x/mnt
 Pasien mengatakan mudah bernafas
Rencana Tindakan Rasional:
 Auskultasi bunyi nafas setiap jam 
 Suction jika perlu
 Berikan oksigen 100% selam 1 menit sebelum dan sesudahsuction
 Pertahankan kepatenan jalan nafas
 Monitor ventilator jika pasien dipasang ventilator 
 Monitor analisa gas darahg
 Monitor tanda-tanda vital setiap 2 jam
 Lakukan posisi semifowler, jika tidak ada kontraindikasii
 Hindari obat-obatan sedatif jika memungkinkan untuk mengetahui
adanya kelainan paru-paru
c. Menurunnya kardiak output berhubungan dengan hilangnya tonus
vasomotor (shock neurologi).
Data Pendukung:
 Kesadaran menurun 
 Tekanan darah turun, nadi cepat, irama tidak teratur 
 Adanya keringat dingin
 Produksi urine kurang
Kriteria Hasil:
 Tanda vital dalam keadaan stabil 
 Tekanan darah 120/80 mmHg (sesuai usia), nadi 80-100 x/mnt, suhu
37,5Occ
 Irama nadi reguler, outpun dan input cairan seimbang
Rencana Tindakan Rasional:
 Lakukan perubahan posisi dengan pelan-pelan 
 Kaji fungsi kardiovaskuler dan cegah spinalshock. (tekanan darah,
nadi, suhu, temperatur kulit, status hidrasi)
 Monitor secara berkala postural hipotensi, bradikardia, disritmia,
menurunnya output urine, monitor tekanan darah
 Laksanakan program terapi misalnya atropi
 Lakukan ROM setiap 2 jam. - Menurunnya postural hipotensi
d. Gangguan perfusi jaringan medula spinalis berhubungan dengan kompresi,
kontusio, dan edema
Data Penunjang:
 Nyeri pada daerah trauma 
 Gangguan fungsi sensorik dan motorik 
 Gangguan fungsi bladder dan bowel
Kriteria hasil :
 Meningkatnya fungsi sensorik dan motorik  
 Fungsi bladder dan bowel optimal
Rencana Tindakan Rasional:
 Lakukan Pengkajian neurologik setiap 4 jam 
 Pertahankan traksi skeletal
 Jaga posisi tubuh dengan kepala dan tubuhlurus, hindari manuver 
 Berikan pengobatan sesuai program sepertisteroid, vitamin K,
antaside.Ukur intake dan output stiap jam, catat outputurine kurang dari
30 ml/ jam. Memonitor perubahan status neurologidengan mendeteksi
perkembangan trauma spinal
e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan tidak stabilnya spinal,
defisit, sensasi/ motorik, gangguan sirkulasi, penggunaan traksi.
Data Pendukung:
 Ketidakmampuan melakukan aktivitas 
 Adanya paraplegia
 Kekuatan otot berkurang tonus otot kurang
 Adanya trauma/ kerusakan medula spinalise-Kontraktur / atropi
Kriteria Hasil:
 Pasien mempertahankan fleksibilitas seluruh sendi 
 Bebas dari fotdrop, kontaktur, rotasi panggul
 Pasien dapat melakukan mobilitas secara bertahap.
Rencana tindakan Rasional:
 Lakukan pengkajian neurologik setiap 4 jam 
 Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilan
tubuh dan kenyamanan pasien
 Beri papan penahan pada kaki
 Gunakan alat ortopedi, colar, handsplite
 Lakukan ROM pasif setelah cedera 4-5 kali / harif
 Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien
 Konsultasikan kepada fisioterapi untuk latiahan dan penggunaan alat
seperti splints- Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien dalam
pergerakan
f. Gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, defisit
sensasi / motorik, gangguan sirkulasi, penggunaan traksi.
Data pendukung:
 Ketidak mampuan melakukan aktivitas 
 Kemerahan atau tanda-tanda dekubitus pada kulityang tertekan
 Terdapat dekubitu
 Immobilisasie.Terapi bedrestf.Kelemahan otot
Kriteria Hasil:
 Keadaan kulit pasien utuh, bebas darikemerahan 
 Bebas dari infeksi pada lokasi yang tertekan
DAFTAR PUSTAKA
Arif Mutaqqin (2008), Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Price da Wilson. 2005. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: EGC.
Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 3 . Jakarta :
EGC.
Lewis. 2000. Medical surgical nursing. St Louis: Mosby
Batticaca Fransisca B, 2008, Asuhan keperawatan dengan Gangguan Sistem Persarafan,
Jakarta : Salemba Medika
No Diagnosa Tujuan Intervensi
1 Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer NOC : masalah teratasi setelah dilakukan NIC :
tindakan keperawatan selama…..x 24 jam Manajemen syok
Definisi : penurunan sirkulasi darah ke dengan 1. observasi tanda tanda vital
perifer yang dapat mengganggu kesehatan. Kriteria Hasil : 2. atur posisi pasien
 pengisian kapiler jari (5) 3. ajarkan cara mengobservasi pengisian
Batasan karakteristik:  tekanan darah sistolik (5) kapiler jari
- Tidak ada nadi perifer  tekanan darah diastolic (5) 4. kolaborasi pemberian infus, tranfusi,
- Perubahan fungsi motoric  kelemahan otot (5) pemasangan NGT
- Penurunan nadi perifer
- Kelambatan penyembuhan luka
perifer
- Edema
- Nyeri ekstremitas
- Waktu pengisian kapiler > 3
detik
- Warna kulit pucat saat elevasi

Factor yang berhubungan


- Asupan garam tinggi
- Kurang pengetahuan terhadap
proses penyakit
- Kurang pengetahuan terhadap
factor yang dapat diubah
- Gaya hidup kurang gerak
- Merokok
Kondisi terkait
- DM
- Prosedur endovaskuler
- Hipertensi
- trauma
No Diagnosa Tujuan Intervensi
2 Nyeri Akut NOC : NIC :
Sensori yang tidak menyenangkan dan   Pain Level, Pain Management
pengalaman emosional yang muncul   Pain control,  Lakukan pengkajian nyeri secara
secara aktual atau potensial kerusakan   Comfort level komprehensif termasuk lokasi,
jaringan atau menggambarkan adanya Kriteria Hasil : karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
kerusakan (Asosiasi Studi Nyeri  Mampu mengontrol nyeri (tahu faktor presipitasi
Internasional): serangan mendadak atau penyebab nyeri, mampu  Observasi reaksi nonverbal dari
pelan intensitasnya dari ringan sampai menggunakan tehnik ketidaknyamanan
berat yang dapat diantisipasi dengan nonfarmakologi untuk mengurangi  Gunakan teknik komunikasi terapeutik
akhir yang dapat diprediksi dan dengan nyeri, mencari bantuan) untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
durasi kurang dari 6 bulan.  Melaporkan bahwa nyeri berkurang  Kaji kultur yang mempengaruhi respon
dengan menggunakan manajemen nyeri
nyeri  Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
Batasan karakteristik :  Mampu mengenali nyeri (skala,  Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan
-          Laporan secara verbal atau non intensitas, frekuensi dan tanda lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri
verbal nyeri) masa lampau
-          Fakta dari observasi  Menyatakan rasa nyaman setelah  Bantu pasien dan keluarga untuk mencari
-          Posisi antalgic untuk nyeri berkurang dan menemukan dukungan
menghindari nyeri  Tanda vital dalam rentang normal
-          Gerakan melindungi  Kontrol lingkungan yang dapat
-          Tingkah laku berhati-hati mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
-          Muka topeng pencahayaan dan kebisingan
-          Gangguan tidur (mata sayu,  Kurangi faktor presipitasi nyeri
tampak capek, sulit atau gerakan kacau,  Pilih dan lakukan penanganan nyeri
menyeringai) (farmakologi, non farmakologi dan inter
-          Terfokus pada diri sendiri personal)
-          Fokus menyempit (penurunan  Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
persepsi waktu, kerusakan proses menentukan intervensi
berpikir, penurunan interaksi dengan  Ajarkan tentang teknik non farmakologi
orang dan lingkungan)  Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
-          Tingkah laku distraksi, contoh :
jalan-jalan, menemui orang lain  Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
dan/atau aktivitas, aktivitas berulang-  Tingkatkan istirahat
ulang)  Kolaborasikan dengan dokter jika ada
-          Respon autonom (seperti keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
diaphoresis, perubahan tekanan darah,  Monitor penerimaan pasien tentang
perubahan nafas, nadi dan dilatasi manajemen nyeri
pupil)
-          Perubahan autonomic dalam Analgesic Administration
tonus otot (mungkin dalam rentang dari  Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan
lemah ke kaku) derajat nyeri sebelum pemberian obat
-          Tingkah laku ekspresif (contoh :  Cek instruksi dokter tentang jenis obat,
gelisah, merintih, menangis, waspada, dosis, dan frekuensi
iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah)  Cek riwayat alergi
-          Perubahan dalam nafsu makan  Pilih analgesik yang diperlukan atau
dan minum kombinasi dari analgesik ketika pemberian
lebih dari satu
Faktor yang berhubungan :  Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe
Agen injuri (biologi, kimia, fisik, dan beratnya nyeri
psikologis)  Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal
 Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri secara teratur
 Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik pertama kali
 Berikan analgesik tepat waktu terutama saat
nyeri hebat
 Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan
gejala (efek samping)
No Diagnosa Tujuan Intervensi
3 Ketidakefektifan pola nafas NOC : masalah teratasi setelah dilakukan NIC :
Definisi tindakan keperawatan selama…..x 24 jam Manajemen jalan nafas
Inspirasi/ekspirasi yang tidak memberi dengan 1. Observasi status pernafasan dan RR
ventilasi adekuat Kriteria Hasil : status pernafasan 2. Posisikan untuk meringankan sesak nafas
Batasan karakteristik  Frekuensi pernafasan (5) 3. Buka jalan nafas dengan tehnik jaw thrust
- Pola nafas abnormal  Kepatenan jalan napas (5) dan chin lift
- Bradipnea  Saturasi oksigen (5) 4. Ajarkan tehnik relaksasi nafas dalam
- Dispnea  Penggunaan otot bantu nafas (5) 5. Ajarkan tehnik batuk efektif
- Pernafasan cuping hidung  Pernafasan cuping hidung (5) 6. Kolaborasi pemberian bronkodilator
- Fase ekspirasi memanjang  Perasaan kurang istirahat (5)
- Pernafasan bibir
- Takipnea
- Ortopnea
- Penggunaan otot bantu
pernafasan

Factor yang berhubungan


- Ansietas
- Posisi tubuh menghambat
ekspansi paru
- Nyeri
- Keletihan
- Obesitas
Kondisi terkait
- Deformitas tulang
- Deformitas dinding dada
- Gangguan neurologis
- Cedera medulla spinalis

No Diagnosa Tujuan Intervensi


2

Anda mungkin juga menyukai