Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

“SEJARAH HADITS MELIPUTI MASA PRA-KODIFIKASI DAN


KODIFIKASINYA”
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Ulumul Hadits
Dosen Pengampu:
Deden Suparman, S. Ag., M.A

Disusun oleh:
Kelompok 3
Abdul Azis Rafiat 1197020001
Aulia Nurilah Agustini 1197020017
Deva Dirgantina 1197020026
Fadiya Muafa Hamzah 11970200
Fauziah Munawarroh 1197020033
KELAS 5A

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLGI
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, dimana atas


rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Sejarah Hadits Meliputi Masa Pra-Kodifikasi Dan Kodifikasinya”. Tak lupa
shalawat serta salam semoga selalu terlimpah curah kepada Nabi akhir zaman
yaitu Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya, para tabi'in
tabi’atnya, dan juga kita seluruh umatnya.
Dalam penyusunan makalah ini, tentu kami mendapat dukungan dari
berbagai pihak. Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna,
karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan kami. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak, utamanya dari Bapak Deden
Suparman, S. Ag., M.A selaku Dosen Pengampu mata kuliah Ulumul Hadits yang
bersangkutan untuk perbaikan pada masa yang akan datang.
Akhirnya, usaha kami dalam menyusun laporan ini mudah-mudahan
bermanfaat dan diridhoi oleh Allah SWT. Harapan kami, apabila terdapat
kekurangan kami menerima atas saran, kritik maupun pembetulannya.

Bandung, Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………. …….i


DAFTAR ISI ……………………………………………………...……………..ii
BAB I PENDAHULUAN ………...………………….…………………....……..1
A. Latar Belakang...……..…....…………………….…………..….……...……..1
B. Rumusan Masalah..… ………………….……………………….…......……..2
C. Tujuan Penulisan..…… …….……………………………..……...…………..2
D. Manfaat Penulisan.… …………..………………….……….………….……..2

BAB II PEMBAHASAN ……...……………...…………………..……….……..3


A. Sejarah Hadits Pada Masa Pra-
Kodifikasi…………………………….............3
1. Hadis Pada Masa Rasullah
SAW…………………………………………..3
2. Larangan Menulis Hadis Pada Masa Rasulullah
SAW…………………….4
3. Diperbolehkannya Menulis Hadits Pada Masa Rasulullah
SAW………….5
4. Tanggapan Terhadap Larangan Pencatatan Hadis Pada Masa Rasulullah…
6
B. Sejarah Hadits Pada Masa Kodifikasi…………………………………………
6
1. Kodifikasi Pada Masa Nabi dan Sahabat (Fase Penulisan Individual)……
6
2. Kodifikasi Hadis pada Masa
Tabi’in……………………………………...8
3. Kodifikasi Hadist pada Masa az-Zuhri (w. 124 H)
………………………..9
4. Kodifikasi Hadits Pasca az-
Zuhri………………………………………..10
a. Model Penulisan “Musannafa
”……………………………………...10
b. Metode Penulisan “Al-
Masanid”…………………………………….10
c. Metode Penulisan “Al-
Shahhah”…………………………………….11

BAB III PENUTUP ………………………………………...……………..........12


Kesimpulan ……………………………………….……….….............................12
Daftar Pustaka…………………………………………………………………..13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadits adalah segala yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW
baik perkataan, perbuatan, maupun keizinannya. Menurut Muhadditsin,
khabar identik dengan hadits. Sekalipun ada segolongan yang
mengkhususkan khabar yang selain hadits seperti sejarah. Adapun Atsar ialah
segala yang dinisbatkan kepada sahabat Rasul. Sebagian ulama berpendapat
bahwa Atsar adalah periwayatan secara mutlak dari Rasulullah SAW atau
sahabat (Mahmud, 1998).
Hadits Nabi merupakan sumber hukum ajaran Islam kedua setelah al-
Qur’an karena hadits merupakan bayan (penjelas) terhadap ayat-ayat al-
Quran yang masih global, yang umum dan yang mutlak (Muhammad Ajjaj,
1989). Dengan demikian, hadits menduduki posisi dan fungsi yang cukup
signifikan dalam ajaran Islam. Pada sisi lain, al-Qur’an berbeda dengan hadits
Nabi, misalnya dari segi periwayatan, al-Qur’an seluruhnya bersifat qath’i al
wurud, sedangkan untuk hadits Nabi pada umumnya bersifat zhannial-wurud.
(Arifuddin Ahmad, 2005).
Hadits dalam sejarah pengumpulannya tidak terjaga sebagaimana al-
Qur’an. Berbagai macam kesalahan, penyimpangan, dan pemalsuan,
walaupun sejarah penulisan hadis secara individual telah ada pada masa awal
Islam, semasa Rasulullah SAW masih hidup, dan ditulis secara resmi dan
massal pada abad kedua hijriyah atas perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz
(MM. Azami, 1995).
Terbukti dalam sejarah, ketika pergolakan politik dan perebutan
kepentingan muncul, diketahui banyak beredar hadis-hadis palsu. Atas dasar
motivasi ini dan beberapa motivasi lain mendorong para ulama hadis
mengadakan penelitian, baik dari segi sanad maupun matan hadis, walaupun

1
kritik sanad lebih banyak ditemukan. Dengan adanya kritik ini pula klasifikasi
hadis menjadi sahih, hasan, dan dha’if mulai diidentifikasikan (M. Syuhudi,
1994). Dua kategori pertama yaitu hadis sahih dan hasan, disepakati sah
dalam pembentukan dan penetapan hukum. Berbeda dengan hadis dha’if yang
terdapat kontroversi di antara ulama hadis.
Hadits dha’if dengan berbagai kontroversi di kalangan ulama, hanya
beredar dikalangan tertentu dan bertujuan untuk menunjukkan fadha’il al-
a’mal dan nasehat-nasehat, lambat laun tujuan ini beralih fungsi sebagai dasar
teologis keselamatan manusia. Terlepas dari permasalahan di atas,
pemaknaan hadis merupakan problematika tersendiri dalam dirkursus hadis
(M. Syuhudi, 1994). Karena itulah, hadits Nabi memang sangat perlu diteliti
otentisitasnya. Karena ia mencakup segala macam bentuk mu’amalah,
syari’ah dan ibadah yang telah diajarkan Nabi. Di samping itu, hadits Nabi
sebagai petunjuk praktis tentu harus di pahami secara tepat dan benar.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah hadits pada masa pra-kodifikasi?
2. Bagaimana sejarah hadits pada masa kodifikasi?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah hadits pada masa pra-kodifikasi
2. Untuk mengetahui sejarah hadits pada masa kodifikasi.

D. Manfaat
1. Dapat mengetahui sejarah hadits pada masa pra-kodifikasi
2. Dapat mengetahui sejarah hadits pada masa kodifikasi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Hadits Pada Masa Pra-Kodifikasi


Sejarah hadits pada masa pra-kodifikasi maksudnya adalah pada masa
sebelum pembukuan. Mulai sejak zaman Rasullah SAW hingga
ditetapkannya pembukuan hadist secara resmi (kodifikasi).
1. Hadis Pada Masa Rasullah SAW
Membicarakan hadits pada masa Rasullah SAW berarti
membicarakan hadits pada awal kemunculannya. Uraian ini akan terkait
langsung kepada Rasulullah SAW sebagai sumber hadits. Rasulullah
SAW membina umat islam selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun
waktu turunnya wahyu sekaligus diwurudkannya hadits. Keadaan ini
sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai
pewaris pertama ajaran islam.
Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepadanya dijelaskannya
melalui perkataan, perbuatan, dan pengakuan atau penetapan Rasulullah
SAW sehingga apa yang disampaikan oleh para sahabat dari apa yang
mereka dengar, lihat, dan saksikan merupakan pedoman. Rasullah adalah
satu-satunya contoh bagi para sahabat, karena Rasulullah memiliki sifat
kesempurnaan dan keutamaan yang berbeda dengan manusia lainnya.
Adapun metode yang digunakan oleh Rasulullah SAW dalam
mengajarkan hadits kepada para sahabat sebagai berikut:
a. Para sahabat berdialog langsung dengan Rasulullah SAW
b. Para sahabat menyaksikan perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW
c. Para sahabat mendengarkan perkataan sesama sahabat yang
diperoleh dari Rasulullah SAW
d. Para sahabat menyaksikan perbuatan sesama sahabat yang diperoleh
dari Rasullah SAW.

3
2. Larangan Menulis Hadis Pada Masa Rasulullah SAW
Pada masa Rasulullah SAW sedikit sekali sahabat yang bisa menulis
sehingga yang menjadi andalan mereka dalam menerima hadis adalah
dengan menghafal. Menurut Abd Al-Nashr, Allah telah memberikan
keistimewaan kepada para sahabat kekuatan daya ingat dan kemampuan
menghafal. Mereka dapat meriwayatkan Al-Qur’an, hadis, dan syair dengan
baik. Seakan mereka membaca dari sebuah buku.
Perhatian sahabat terhadap hadits sangat tinggi, terutama diberbagai majlis
nabi atau tempat untuk menyampaikan risalah islamiyah seperti di masjid,
halaqah ilmu, dan diberbagai tempat yang dijanjikan Rasulullah. Rasulullah
menjadi pusat naraumber, referensi, dan tumpuan pertanyaan ketika para
sahabat menghadapi masalah, baik secara langsung atau tidak langsung
seperti melalui istri-istri Rasulullah dalam masalah keluarga dan
kewanitaan, karena mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui
keadaan Rasulullah dalam masalah keluarga.
Hadis pada waktu itu umumnya hanya diingat dan dihafal oleh para
sahabat dan tidak ditulis seperti Al-Qur’an ketika disampaikan oleh Nabi,
karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan. Nabi melarang karena
khawatir bercampur antara hadits dan Al-Qur’an. Banyak hadits yang
melarang para sahabat untuk menulis hadits, di antara hadis yang melarang
penulisan hadis adalah:
ِ ْ‫َب َعنِّيي َغ ْي َر ْالقُر‬
‫ان‬ َ ِ‫ع َْن اَبِ ْي َس ِع ْي ُد ْال ُخ ْد ِري اَ َّن َرسُوْ ُل هللا‬
َ ‫ اَل تَ ْكتُبُوْ ا َعنِّي َو َم ْن َكت‬:‫صلَّى هللاِ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
‫ رواهُ مسل ٌم‬.ُ‫فَ ْليَ ْم ُحه‬
“Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda:
janganlah engkau menulis (hadis) dariku, barangsiapa menulis dariku selain
dari Al-Qur’an maka hapuslah. (HR. Muslim)”

3. Diperbolehkannya Menulis Hadits Pada Masa Rasulullah SAW


Larangan menulis hadits tidaklah umum kepada semua sahabat, ada
sahabat tertentu yang diberikan izin untuk menulis hadis. Nabi melarang
menulis hadis karena khawatir tercampur dengan Al-Qur’an dan pada
kesempatan lain nabi memperbolehkannya. Sebagaimana diriwayatkan oleh
Abd Allah Ibn Umar, dia berkata: “Aku permah menulis segala sesuatu
yang ku dengar dari Raulullah, aku ingin menjaga dan menghafalkannya.
Tetapi orang Quraisy melarangku melakukannya.” Mereka berkata: “Kamu
hendak menulis (hadits) padahal Rasulullah bersabda dalam keadaan marah
dan senang”. Kemudian aku menahan diri (untuk tidak menulis hadits)
hingga aku ceritakan kejadian itu kepada Rasulullah. Beliau berabda:
ٌّ ‫اُ ْكتُبْ فَ َوالَّ ِذيْ نَ ْف ِس ْي بِيَ ِد ِه َما َخ َر َج َعنِّي اِاَّل َح‬
‫ق‬
“Tulislah, maka demi dzat yang aku berada dalam kekuasaannya tidaklah
keluar dariku kecuali kebenaran”.
Adanya larangan tersebut berakibat banyak hadits yang tidak ditulis dan
seandainya Nabi tidak pernah melarang pun tidak mungkin hadits dapat
ditulis. Karena menurut M Suyudi Ismail hal ini disebabkan oleh beberapa
alasan berikut:
1) Hadits disampaikan tidaklah selalu di hadapan sahabat yang pandai
menulis
2) Perhatian Nabi dan para sahabat lebih banyak tercurah pada Al-Qur’an
3) Meskipun Nabi mempunyai sekretaris tetapi mereka hanya diberi tugas
menulis wahyu yang turun dan surat-surat Nabi
4) Sangat sulit seluruh pernyataan, perbuatan, ketetapan, dan hal-hal orang
yang masih hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain apalagi dengan
alat sederhana.

5
4. Tanggapan Terhadap Larangan Pencatatan Hadis Pada Masa
Rasulullah
Menghadapi dua hadits yang tampak bertentangan di atas, ada beberapa
pendapat berkenaan dengan ini, yaitu:
1) Larangan menulis hadits terjadi pada periode permulaan, sedangkan
izin penulisannya diberikan pada periode akhir kerasulan
2) Larangan penulisan hadits itu ditujukan bagi orang yang kuat
hafalannya dan tidak dapat menulis dengan baik, serta dikhawatirkan
salah dan bercampur dengan Al-Qur’an. Izin menulis hadits diberikan
kepada orang yang pandai menulis dan tidak dikhawatirkan salah dan
bercampur dengan Al-Qur’an.
3) Larangan itu ditujukan bagi orang yang kurang pandai menulis
dikhawatirkan tulisannya keliru, sementara orang yang pandai menulis
tidak dilarang menulis hadits
4) Larangan hadits dicabut oleh izin menulis hadits karena tidak
dikhawatirkan tercampurnya catatan hadtis dengan Al-Qur’an
5) Larangan itu bersifat umum, sedangkan izin menulis hadits bersifat
khusus kepada para sahabat yang dijamin tidak akan mencampurkan
catatan hadits dan catatan Al-Qur’an
6) Larangan ditujukan untuk kodifikasi formal sedangkan izin ditujukan
untuk sekedar dalam bentuk catatan yang dipakai sendiri
7) Larangan berlaku ketika wahyu masih turun, belum dihafal dan dicatat.
Adapun ketika wahyu yang turun sudah dihafal dan dicatat, maka
penulian hadits diizinkan.

B. Sejarah Hadits Pada Masa Kodifikasi


1. Kodifikasi Pada Masa Nabi dan Sahabat (Fase Penulisan Individual)
Kodifikasi hadist sejatinya dilarang pada masa pertama-tama
Islam, karena banyak hal yang ditakutkan salah satunya bercampurnya
antara al-

6
hadist dan Al-Qur’an. Tetapi, seiring dengan kuantitas kaum muslimin
sudah mulai signifikan dan mereka sudah banyak yang mendalami isi
kandungan AlQur’an serta mampu membedakan antara kandungan al-
hadist dan Al-Qur’an, maka dinasakh-lah hukum pelarangan tersebut
menjadi boleh. Bahkan Abdullah bin Mas’ud berkata; “Pada masa
Rasulullah kita tidak menulis hadist apapun kecuali menyangkut al-
istikharah dan tasyahhud”. Hal ini mengindikasikan bahwa penulisan
hadits (selain Al-Qur’an) pada masa sahabat telah ada walaupun
jumlahnya pada saat itu sangat minim dan Ibn Masud merupakan
termasuk orang yang tidak melarang penulisan al-hadist. Selain itu, Abu
Hurairah juga turut memperbolehkan Basyir bin Nuhaik untuk menulis
hadist-nya. Hal ini diriwayatkan oleh Basyir bahwa ia berkata, “aku
menyodorkan tulisan yang telah aku tulis, dan aku bacakan padanya, lalu
aku bertanya; inikah yang aku dengar dari mu?” Abu Hurairah
menjawab, “ya”.
Pada abad pertama hijriah, kodifikasi hadist telah dimulai dari yang
ditulis dalam bentuk dishahifah-shahifah (teks-teks), tepatnya pada masa
nabi dan para sahabat. Sahifah ini merupakan bentuk warisan peninggalan
berupa catatan-catatan hadis pertama yang dicatat pada pertengahan abad
pertama hijriyyah dan diriwayatkan dari Abu Hurairah. Diantara sahabat
yang mencatat naskah atau teks hadis adalah Abdullah bin Amr bin Al-As
yang Sahifahnya diberi nama “al-sadiqah” karena Abdullah bin Amr bin
al-As memperoleh hadis yang ia catat langsung dari Nabi SAW. Oleh
karenanya, sahifah al-Sadiqah ini merupakan salah satu catatan hadist
yang telah ada pada zaman rasulullah. Sahifah ditempatkan sebagai posisi
termulia karena merupakan kumpulan hadist yang sudah tertib
pengumpulannya.
Banyak para sahabat yang rumahnya memiliki catatan-catatan
hadis (Sahifah) diantaranya adalah Sa’d bin Ubadah al-Ansori, Samrah
bin

7
Jundab, Jabir bin Abdullah al-Ansari, Anas bin Malik dan lainnya. Fase
penulisan hadist pada masa Nabi ini menurut para ulama dikenal dengan
“penulisan individual” yang penulisannya masih dilakukan perseorangan
dan metodenya belum beraturan.

2. Kodifikasi Hadis pada Masa Tabi’in


Pada masa ini, pengkoleksian hadits mulai disusun menjadi suatu
kitab yang lebih beraturan dengan metode pertemuan-pertemuan (al-
talaqqi) dengan para sahabat untuk kemudian mereka mencatat apa yang
didapatkannya dari pertemuan tersebut. Salah satunya seperti yang
dilakukan oleh Said bin al-Jabir, beliau mencatat hadis-hadis dari
talaqqinya bersama Ibn Abbas, Abdurrahman bin Harmalah mencatat
hasil dari talaqqinya dari Said bin al-Musayyab, dan Hammam bin al-
Munabbih hasil talaqqi mencatat hasil dari talaqqinya dari Abu Hurairah
dan lain-lain.
Pada akhir abad pertama hijriyah hingga abad kedua hijriyah,
Umar bin Abdul Aziz sangat gemar mencatat hadist, hal ini sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Qilabah bahwa beliau berkata; “kita berangkat
bersama Umar bin Abdul Aziz untuk menunaikan solat dzuhur dan beliau
membawa kertas demikian juga pada waktu asar ditangannya juga
terdapat kertas, lalu aku bertanya, tulisan apa itu? Beliau menjawab,
hadis dari Aun bin Abdullah, saya terpesona olehnya maka aku tulis”.
Pada masa Umar bin Abdul Aziz inilah sebagian para ulama disebut
sebagai periode atau fase dimana para penulis hadis sudah mulai semakin
banyak dan tersebar yang ditandai dengan banyaknya catatan-catatan
hadis (sahaif) hasil karya para tabi’in. Pada masa pemerintahan khalifah
Umar bin Abdul Aziz terdapat sejumlah nama-nama yang ditugaskan
untuk mekodifikasi hadist. Diantara ulama terkenal yang memperoleh
tugas tersebut adalah Muhammad bin Syihab Az-Zuhri, Ar-Robi’ bin
Subaih, Said bin Abi Arubah dan lainnya.

8
Monumental dan sahaif yang pertama ditulis pada masa ini adalah
Sahifah “As-Sahihah” yang ditulis oleh Hammam bin al-Munabbih.
Dinamakan demikian karena mengambil langsung dari sahabat (Abu
Hurairah) yang mendalami ilmu hadits karena selalu bersama rasulullah
selama 40 tahun. Sahifah ini isinya mencakup 138 hadist dan kesemuanya
diriwayatkan dari Abi Hurairah. Pada masa ini banyak ulama yang
merangkum sahifahnya tersebut dalam karangan-karangannya seperti
kitab musnadnya Imam ibn hambal dalam juz kedua. Selanjutnya, Sahifah
juga dimuat dalam musnadnya al-Imam Abdurrazzaq Al-Sun’ani dan
banyak dinukil oleh Imam al-Bukhari dalam bab yang berbeda.

3. Kodifikasi Hadist pada Masa az-Zuhri (w. 124 H)


Setelah terjadi kodifikasi hadits secara besar-besaran pada masa
Umar bin Abdul Aziz, dimulai pada masa tersebut Umar bin Abdul Aziz
memerintahkan seorang ulama’ bernama az-Zuhri untuk menulis hadist
secara lengkap dan dibukukan secara sistematis dan metodologis.
Sementara upaya penulisan para pendahulunya dalam sahifah masih
bersifat sederhana dan belum terkodifikasi secara beraturan. Peran penting
az-Zuhri ini dalam kodifikasi hadist tertuang dalam ungkapan Ibnu Hajar
yang berkata bahwa “para ulama berkata bahwa golongan para sahabat
dan tabiin membenci penulisan hadis, dan mereka memperbolehkan
mengambil hadis dengan cara penghafalan, akan tetapi karena
ditakutkan hilangnya ilmu (hadis), maka ditulislah hadis-hadis, dan
orang pertama yang menulis hadis adalah Ibnu Syihab az-Zuhri atas
perintah Umar bin Abdul Aziz”.

9
4. Kodifikasi Hadits Pasca az-Zuhri
a. Model Penulisan “Musannafa ”
Pada periode ini kumpulan hadits ditertibkan sesuai dengan bab-
bab yang sama. Periode ini dimulai pada akhir masa kehidupan Imam
Az-Zuhri ra. Metode penulisannya identik dengan penulisan kitab
fiqih. Tujuan tulisan model ini ialah untuk membantu para ulama
khususnya yang berkecimpung dalam urusan fiqih. Model ini dikenal
dengan metode musannafa dengan perangkum pertamanya ialah
Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij, dalam sebuah kitab yang
bernama “Kutub al-Sunan”. Ulama lain yang turut merangkum model
ini adalah al-Imam Zaid bin Ali Zainul Abidin dengan judul kitabnya
“Kitabal-Majmu”, kitab “Al Muwatta” karangan Imam malik bin
Anas, dan kitab “al-Musannaf” karangan dari al-Imam Abdurrazzaq
Al-Sun’ani. Masih banyak lagi karangan-karang tipe perangkuman
hadist ini yang tidak dapat disebut satu persatu.

b. Metode Penulisan “Al-Masanid”


Metode ini terjadi pada akhir abad kedua hijriah dan awal abad
ketiga. Perbedaan dari metode sebelumnya adalah hadis yang
dikumpulkan kemudian ditertibkan sesuai dengan urutan sahabat.
Misalnya hadist-hadistnya Abu Bakar dengan nama “Musnadu Abi
Bakr”, hadis-hadis Umar dengan nama “Musnadu ‘Umar” dan
lainnya. Ada bermacam-macam peletakkan metode pada penulisan ini,
antara lain:
1. Perangkumannya mulai dari para sahabat yang lebih pertama
masuk Islam (sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga), masuk
Islam dan ikut hijrah hingga pada para sahabat yang umurnya
masih kecil dan para wanita. Metode ini diterapkan oleh Imam
Ahmad bin Hambal pemilik mazhab Hambali (164-241 H),

10
Imam Abu Dawud At-Tayalisi (130-204 H), Imam Abu Bakar
Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi dan lainnya.
2. Berdasarkan urutan para sahabat sesuai dengan urutan huruf
hijaiyyah. Akan tetapi, model ini hanya sedikit yang
menerapkannya. Salah satunya adalah Imam Baqi bin Mukhallad
Al-Qurtubi.
3. Model perangkuman hadist berdasarkan asal daerahnya,
kesukuaannya misalnya seperti musnadnya orang-orang madinah
dan orang-orang Basroh.

c. Metode Penulisan “Al-Shahhah”


Ciri khas model ini adalah para ulama mengumpulkan berdasarkan
hadist-hadist Sohih pilihannya. Metodenya masih sama yaitu dengan
cara menertibkannya seperti layaknya kitab-kibab fiqih. Sebagian
ulama ada juga yang mengumpulkan hadits-hadits zaif seperti yang
dilakukan oleh Imam Abu Dawud, Imam AtTurmuzi, Imam An-
Nasa’i dan Imam Ibnu Majah. Orang pertama yang menggunakan
model ini adalah Imam al-Bukhari (194-256 H). Beliau merangkum
kitab-kitab al-Masanid dan al-musannafat dan lainnya dengan
mengambil yang sohih saja. Kitab rangkumannya ini dinamakan
dengan “al-jami’ al-Sahih al-musnad al-mukhtasar min hadisi
Rasulillahi saw. wa Sunanihi wa Ayyamihi”. Orang kedua yang
menggunakan metode ini adalah muridnya yaitu Imam muslim (204-
261 H) dengan nama kitabnya “al-Jami’u al-Sahih al-Musnad min
hadisi Rasulillahi saw.” Kedua kitab ini menduduki urutan kedua dan
ketiga setelah Al-Qur’an sebagai rujukan hukum islam. Sementara
kitab-kitab dengan tingkat kesohihan yang paling tinggi lainnya atau
disebut “al-kutub al-Sittah” adalah kitab sahih Bukhari, Muslim, An-
Nasa’i, Abu Dawud, At-Tirmizi dan Ibn Majah.

11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada masa pra-kodifikasi rekapan Hadits masih berupa metode dialog para
sahabat secara langsung dengan Rasulullah SAW, menyaksikan perbuatan dan
ketetapan Rasulullah SAW, mendengarkan perkataan sesama sahabat yang
diperoleh dari Rasulullah SAW, dan menyaksikan perbuatan sesama sahabat yang
diperoleh dari Rasullah SAW. Hadits-hadits tersebut kemudian dihafal atau
diingat dan pada masa itu belum diperbolehkan perekapan Hadits dengan cara
ditulis. Hal ini karena Nabi khawatir bercampur antara hadits dan Al-Qur’an.
Kemudian, pada akhir kerasulan penulisan hadits diperbolehkan dengan catatan
izin menulis hadits diberikan kepada orang yang pandai menulis. Masa ini disebut
kodifikasi. Pada masa ini, penulisan Hadits dilakukan bertahap mulai dari masa
"penulisan individual” yang penulisannya masih dilakukan perseorangan dan
metodenya belum beraturan, disusun per bab (Al Musannafa), disusun per bab
sesuai urutan sahabat (Al Masanid), disusun berdasarkan hadits-hadits Shohih
(Al-Shahhah).

12
DAFTAR PUSTAKA
Arifuddin Ahmad. T.t. M. Syuhudi Ismail Paradigma Baru dalam Memahami
Hadis Nabi. (Jakarta: Insan Cemerlang, 2005).
Irham, M. (2013). SISTEMATIKA KODIFIKASI HADIS NABI DARI
TINJAUAN SEJARAH. Jurnal ADDIN, 7 (2), 273-290.
M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual: Telaah Ma’ani
al-Hadits Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal Dan Lokal,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 89.
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1994), 69
MM. Azami, Memahami Ilmu Hadits, (Jakarta: Lentera, 1995), terjm. Meth
Kieraha,. 49.
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhuwa Mushthalahuhu,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1989), 46.

13

Anda mungkin juga menyukai