Disusun oleh:
Kelompok 3
Abdul Azis Rafiat 1197020001
Aulia Nurilah Agustini 1197020017
Deva Dirgantina 1197020026
Fadiya Muafa Hamzah 11970200
Fauziah Munawarroh 1197020033
KELAS 5A
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLGI
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits adalah segala yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW
baik perkataan, perbuatan, maupun keizinannya. Menurut Muhadditsin,
khabar identik dengan hadits. Sekalipun ada segolongan yang
mengkhususkan khabar yang selain hadits seperti sejarah. Adapun Atsar ialah
segala yang dinisbatkan kepada sahabat Rasul. Sebagian ulama berpendapat
bahwa Atsar adalah periwayatan secara mutlak dari Rasulullah SAW atau
sahabat (Mahmud, 1998).
Hadits Nabi merupakan sumber hukum ajaran Islam kedua setelah al-
Qur’an karena hadits merupakan bayan (penjelas) terhadap ayat-ayat al-
Quran yang masih global, yang umum dan yang mutlak (Muhammad Ajjaj,
1989). Dengan demikian, hadits menduduki posisi dan fungsi yang cukup
signifikan dalam ajaran Islam. Pada sisi lain, al-Qur’an berbeda dengan hadits
Nabi, misalnya dari segi periwayatan, al-Qur’an seluruhnya bersifat qath’i al
wurud, sedangkan untuk hadits Nabi pada umumnya bersifat zhannial-wurud.
(Arifuddin Ahmad, 2005).
Hadits dalam sejarah pengumpulannya tidak terjaga sebagaimana al-
Qur’an. Berbagai macam kesalahan, penyimpangan, dan pemalsuan,
walaupun sejarah penulisan hadis secara individual telah ada pada masa awal
Islam, semasa Rasulullah SAW masih hidup, dan ditulis secara resmi dan
massal pada abad kedua hijriyah atas perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz
(MM. Azami, 1995).
Terbukti dalam sejarah, ketika pergolakan politik dan perebutan
kepentingan muncul, diketahui banyak beredar hadis-hadis palsu. Atas dasar
motivasi ini dan beberapa motivasi lain mendorong para ulama hadis
mengadakan penelitian, baik dari segi sanad maupun matan hadis, walaupun
1
kritik sanad lebih banyak ditemukan. Dengan adanya kritik ini pula klasifikasi
hadis menjadi sahih, hasan, dan dha’if mulai diidentifikasikan (M. Syuhudi,
1994). Dua kategori pertama yaitu hadis sahih dan hasan, disepakati sah
dalam pembentukan dan penetapan hukum. Berbeda dengan hadis dha’if yang
terdapat kontroversi di antara ulama hadis.
Hadits dha’if dengan berbagai kontroversi di kalangan ulama, hanya
beredar dikalangan tertentu dan bertujuan untuk menunjukkan fadha’il al-
a’mal dan nasehat-nasehat, lambat laun tujuan ini beralih fungsi sebagai dasar
teologis keselamatan manusia. Terlepas dari permasalahan di atas,
pemaknaan hadis merupakan problematika tersendiri dalam dirkursus hadis
(M. Syuhudi, 1994). Karena itulah, hadits Nabi memang sangat perlu diteliti
otentisitasnya. Karena ia mencakup segala macam bentuk mu’amalah,
syari’ah dan ibadah yang telah diajarkan Nabi. Di samping itu, hadits Nabi
sebagai petunjuk praktis tentu harus di pahami secara tepat dan benar.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah hadits pada masa pra-kodifikasi?
2. Bagaimana sejarah hadits pada masa kodifikasi?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah hadits pada masa pra-kodifikasi
2. Untuk mengetahui sejarah hadits pada masa kodifikasi.
D. Manfaat
1. Dapat mengetahui sejarah hadits pada masa pra-kodifikasi
2. Dapat mengetahui sejarah hadits pada masa kodifikasi.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
2. Larangan Menulis Hadis Pada Masa Rasulullah SAW
Pada masa Rasulullah SAW sedikit sekali sahabat yang bisa menulis
sehingga yang menjadi andalan mereka dalam menerima hadis adalah
dengan menghafal. Menurut Abd Al-Nashr, Allah telah memberikan
keistimewaan kepada para sahabat kekuatan daya ingat dan kemampuan
menghafal. Mereka dapat meriwayatkan Al-Qur’an, hadis, dan syair dengan
baik. Seakan mereka membaca dari sebuah buku.
Perhatian sahabat terhadap hadits sangat tinggi, terutama diberbagai majlis
nabi atau tempat untuk menyampaikan risalah islamiyah seperti di masjid,
halaqah ilmu, dan diberbagai tempat yang dijanjikan Rasulullah. Rasulullah
menjadi pusat naraumber, referensi, dan tumpuan pertanyaan ketika para
sahabat menghadapi masalah, baik secara langsung atau tidak langsung
seperti melalui istri-istri Rasulullah dalam masalah keluarga dan
kewanitaan, karena mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui
keadaan Rasulullah dalam masalah keluarga.
Hadis pada waktu itu umumnya hanya diingat dan dihafal oleh para
sahabat dan tidak ditulis seperti Al-Qur’an ketika disampaikan oleh Nabi,
karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan. Nabi melarang karena
khawatir bercampur antara hadits dan Al-Qur’an. Banyak hadits yang
melarang para sahabat untuk menulis hadits, di antara hadis yang melarang
penulisan hadis adalah:
ِ َْب َعنِّيي َغ ْي َر ْالقُر
ان َ ِع َْن اَبِ ْي َس ِع ْي ُد ْال ُخ ْد ِري اَ َّن َرسُوْ ُل هللا
َ اَل تَ ْكتُبُوْ ا َعنِّي َو َم ْن َكت:صلَّى هللاِ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم
رواهُ مسل ٌم.ُفَ ْليَ ْم ُحه
“Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda:
janganlah engkau menulis (hadis) dariku, barangsiapa menulis dariku selain
dari Al-Qur’an maka hapuslah. (HR. Muslim)”
5
4. Tanggapan Terhadap Larangan Pencatatan Hadis Pada Masa
Rasulullah
Menghadapi dua hadits yang tampak bertentangan di atas, ada beberapa
pendapat berkenaan dengan ini, yaitu:
1) Larangan menulis hadits terjadi pada periode permulaan, sedangkan
izin penulisannya diberikan pada periode akhir kerasulan
2) Larangan penulisan hadits itu ditujukan bagi orang yang kuat
hafalannya dan tidak dapat menulis dengan baik, serta dikhawatirkan
salah dan bercampur dengan Al-Qur’an. Izin menulis hadits diberikan
kepada orang yang pandai menulis dan tidak dikhawatirkan salah dan
bercampur dengan Al-Qur’an.
3) Larangan itu ditujukan bagi orang yang kurang pandai menulis
dikhawatirkan tulisannya keliru, sementara orang yang pandai menulis
tidak dilarang menulis hadits
4) Larangan hadits dicabut oleh izin menulis hadits karena tidak
dikhawatirkan tercampurnya catatan hadtis dengan Al-Qur’an
5) Larangan itu bersifat umum, sedangkan izin menulis hadits bersifat
khusus kepada para sahabat yang dijamin tidak akan mencampurkan
catatan hadits dan catatan Al-Qur’an
6) Larangan ditujukan untuk kodifikasi formal sedangkan izin ditujukan
untuk sekedar dalam bentuk catatan yang dipakai sendiri
7) Larangan berlaku ketika wahyu masih turun, belum dihafal dan dicatat.
Adapun ketika wahyu yang turun sudah dihafal dan dicatat, maka
penulian hadits diizinkan.
6
hadist dan Al-Qur’an. Tetapi, seiring dengan kuantitas kaum muslimin
sudah mulai signifikan dan mereka sudah banyak yang mendalami isi
kandungan AlQur’an serta mampu membedakan antara kandungan al-
hadist dan Al-Qur’an, maka dinasakh-lah hukum pelarangan tersebut
menjadi boleh. Bahkan Abdullah bin Mas’ud berkata; “Pada masa
Rasulullah kita tidak menulis hadist apapun kecuali menyangkut al-
istikharah dan tasyahhud”. Hal ini mengindikasikan bahwa penulisan
hadits (selain Al-Qur’an) pada masa sahabat telah ada walaupun
jumlahnya pada saat itu sangat minim dan Ibn Masud merupakan
termasuk orang yang tidak melarang penulisan al-hadist. Selain itu, Abu
Hurairah juga turut memperbolehkan Basyir bin Nuhaik untuk menulis
hadist-nya. Hal ini diriwayatkan oleh Basyir bahwa ia berkata, “aku
menyodorkan tulisan yang telah aku tulis, dan aku bacakan padanya, lalu
aku bertanya; inikah yang aku dengar dari mu?” Abu Hurairah
menjawab, “ya”.
Pada abad pertama hijriah, kodifikasi hadist telah dimulai dari yang
ditulis dalam bentuk dishahifah-shahifah (teks-teks), tepatnya pada masa
nabi dan para sahabat. Sahifah ini merupakan bentuk warisan peninggalan
berupa catatan-catatan hadis pertama yang dicatat pada pertengahan abad
pertama hijriyyah dan diriwayatkan dari Abu Hurairah. Diantara sahabat
yang mencatat naskah atau teks hadis adalah Abdullah bin Amr bin Al-As
yang Sahifahnya diberi nama “al-sadiqah” karena Abdullah bin Amr bin
al-As memperoleh hadis yang ia catat langsung dari Nabi SAW. Oleh
karenanya, sahifah al-Sadiqah ini merupakan salah satu catatan hadist
yang telah ada pada zaman rasulullah. Sahifah ditempatkan sebagai posisi
termulia karena merupakan kumpulan hadist yang sudah tertib
pengumpulannya.
Banyak para sahabat yang rumahnya memiliki catatan-catatan
hadis (Sahifah) diantaranya adalah Sa’d bin Ubadah al-Ansori, Samrah
bin
7
Jundab, Jabir bin Abdullah al-Ansari, Anas bin Malik dan lainnya. Fase
penulisan hadist pada masa Nabi ini menurut para ulama dikenal dengan
“penulisan individual” yang penulisannya masih dilakukan perseorangan
dan metodenya belum beraturan.
8
Monumental dan sahaif yang pertama ditulis pada masa ini adalah
Sahifah “As-Sahihah” yang ditulis oleh Hammam bin al-Munabbih.
Dinamakan demikian karena mengambil langsung dari sahabat (Abu
Hurairah) yang mendalami ilmu hadits karena selalu bersama rasulullah
selama 40 tahun. Sahifah ini isinya mencakup 138 hadist dan kesemuanya
diriwayatkan dari Abi Hurairah. Pada masa ini banyak ulama yang
merangkum sahifahnya tersebut dalam karangan-karangannya seperti
kitab musnadnya Imam ibn hambal dalam juz kedua. Selanjutnya, Sahifah
juga dimuat dalam musnadnya al-Imam Abdurrazzaq Al-Sun’ani dan
banyak dinukil oleh Imam al-Bukhari dalam bab yang berbeda.
9
4. Kodifikasi Hadits Pasca az-Zuhri
a. Model Penulisan “Musannafa ”
Pada periode ini kumpulan hadits ditertibkan sesuai dengan bab-
bab yang sama. Periode ini dimulai pada akhir masa kehidupan Imam
Az-Zuhri ra. Metode penulisannya identik dengan penulisan kitab
fiqih. Tujuan tulisan model ini ialah untuk membantu para ulama
khususnya yang berkecimpung dalam urusan fiqih. Model ini dikenal
dengan metode musannafa dengan perangkum pertamanya ialah
Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij, dalam sebuah kitab yang
bernama “Kutub al-Sunan”. Ulama lain yang turut merangkum model
ini adalah al-Imam Zaid bin Ali Zainul Abidin dengan judul kitabnya
“Kitabal-Majmu”, kitab “Al Muwatta” karangan Imam malik bin
Anas, dan kitab “al-Musannaf” karangan dari al-Imam Abdurrazzaq
Al-Sun’ani. Masih banyak lagi karangan-karang tipe perangkuman
hadist ini yang tidak dapat disebut satu persatu.
10
Imam Abu Dawud At-Tayalisi (130-204 H), Imam Abu Bakar
Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi dan lainnya.
2. Berdasarkan urutan para sahabat sesuai dengan urutan huruf
hijaiyyah. Akan tetapi, model ini hanya sedikit yang
menerapkannya. Salah satunya adalah Imam Baqi bin Mukhallad
Al-Qurtubi.
3. Model perangkuman hadist berdasarkan asal daerahnya,
kesukuaannya misalnya seperti musnadnya orang-orang madinah
dan orang-orang Basroh.
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada masa pra-kodifikasi rekapan Hadits masih berupa metode dialog para
sahabat secara langsung dengan Rasulullah SAW, menyaksikan perbuatan dan
ketetapan Rasulullah SAW, mendengarkan perkataan sesama sahabat yang
diperoleh dari Rasulullah SAW, dan menyaksikan perbuatan sesama sahabat yang
diperoleh dari Rasullah SAW. Hadits-hadits tersebut kemudian dihafal atau
diingat dan pada masa itu belum diperbolehkan perekapan Hadits dengan cara
ditulis. Hal ini karena Nabi khawatir bercampur antara hadits dan Al-Qur’an.
Kemudian, pada akhir kerasulan penulisan hadits diperbolehkan dengan catatan
izin menulis hadits diberikan kepada orang yang pandai menulis. Masa ini disebut
kodifikasi. Pada masa ini, penulisan Hadits dilakukan bertahap mulai dari masa
"penulisan individual” yang penulisannya masih dilakukan perseorangan dan
metodenya belum beraturan, disusun per bab (Al Musannafa), disusun per bab
sesuai urutan sahabat (Al Masanid), disusun berdasarkan hadits-hadits Shohih
(Al-Shahhah).
12
DAFTAR PUSTAKA
Arifuddin Ahmad. T.t. M. Syuhudi Ismail Paradigma Baru dalam Memahami
Hadis Nabi. (Jakarta: Insan Cemerlang, 2005).
Irham, M. (2013). SISTEMATIKA KODIFIKASI HADIS NABI DARI
TINJAUAN SEJARAH. Jurnal ADDIN, 7 (2), 273-290.
M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual: Telaah Ma’ani
al-Hadits Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal Dan Lokal,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 89.
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1994), 69
MM. Azami, Memahami Ilmu Hadits, (Jakarta: Lentera, 1995), terjm. Meth
Kieraha,. 49.
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhuwa Mushthalahuhu,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1989), 46.
13