Anda di halaman 1dari 18

TUGAS

TEORI ADMINISTRASI PUBLIK

Nama : Samrin V. Itranbey


Program : Pasca Sarjana Administrasi Publik
Semester :I
Kelas :B
SOAL :

Teori Administrasi Publik

1. Jelaskan Konsep kinerja secara perorangan dan organisasi ?


2. Indikator Kinerja ?
3. Pengukuran Kinerja ?
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ?
5. Konsep Etika ?
6. Apa itu etika administrasi publik ?
7. Implementasi nilai-nilai Etika Administrasi Publik ?
 Kinerja Perseorangan

Konsep kinerja di lihat dari dua segi, yaitu kinerja pegawai (perindividu) dan
kinerja organisasi. Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan
tugas dalam suatu organisasi, dalam upaya mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi
organisasi tersebut (Bastian,2001:329).
Artinya bahwa kinerja merupakan ukuran capaian pelaksanaan suatu tugas
dalam organisasi sehingga apa yang hendak dicapai dapat terwujud baik sasaran
organisasi, tujuan organisasi, maupun visi dan misi organisasi.
Dalam mewujudkan visi dan misi serta tujuan organisasi tentunya dibutuhkan
pegawai selaku tenaga atau orang-orang yang melaksanakan berbagai tugas-tugas
organisasi. Pegawai adalah orang yang melakukan pekerjaan dengan mendapatkan
imbalan jasa berupa gaji dan tunjangan dari pemerintah. Unsur manusia sebagai pegawai
maka tujuan badan (wadah yang telah ditentukan) kemungkinan besar akan tercapai
sebagaimana yang diharapkan. Pegawai inilah yang mengerjakan segala pekerjaan atau
kegiatan-kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Berdasarkan penjelasan di atas, maka
pengertian kinerja pegawai adalah hasil kerja perseorangan dalam suatu organisasi.
Definisi kinerja di atas menjelaskan tingkat pencapaian pelaksanaan tugas
yang dilakukan oleh seluruh pegawai yang ada disuatu organisasi atau instansi
pemerintah. Meningkatkan kinerja dalam sebuah organisasi atau instansi pemerintah
merupakan tujuan atau target yang ingin dicapai oleh organisasi dan instansi
pemerintah dalam memaksimalkan suatu Kegiatan.

 Kinerja Organisasi

Kinerja organisasi merupakan keseluruhan hasil pekerjaan yang dicapai


suatu organisasi. kinerja pegawai dan kinerja organisasi memiliki keterkaitan yang
erat, yang tidak dapat dipisahkan guna tercapainya tujuan organisasi. Kinerja pegawai
tidak dapat dilepaskan dari sumber daya yang dimiliki oleh organisasi, sumber daya yang
digerakan atau dijalankan pegawai yang berperan aktif sebagai pelaku dalam upaya
mencapai tujuan organisasi tersebut.
“Kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam
melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas
kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu” (Hasibuan, 2001:34)
Artinya bahwa hasil yang diperlihat oleh seorang pegawai dalam melakukan
seluruh tugas yang diberikan kepadanya dikarenakan pegawai tersebut memiliki
kecakapan, pengalaman serta pekerja keras dalam melaksanakan tugasnya.
Pendapat lain tentang kinerja, seperti yang dikemukakan oleh Widodo (2006:78)
mengatakan bahwa kinerja adalah melakukan suatu kegiatan dan menyempurnakannya
sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang di harapkan.
Artinya bahwa penyempurnaan suatu kegiatan harus didasari dengan
kesungguhan bekerja serta dengan rasa tanggung jawab agar tercapai hasil yang
diinginkan.
Peningkatan kinerja aparatur pemerintah melalui penggunaan teknologi dan
informasi pada instansi pemerintah akan menghasilkan kualitas kerja yang produktif
dan tepat guna. Aplikasi e-Government tidak akan berjalan sempurna apabila tidak selalu
di imbangi dengan SDM yang memadai dan kinerja yang efektif. Menurut Baban
Sobandi dan kawan-kawan “Kinerja merupakan sesuatu yang telah dicapai oleh organisasi
dalam kurun waktu tertentu, baik yang terkait dengan input, output, outcome,
benefit, maupun impact.” (Sobandi dkk, 2006:176).
Dapat digambarkan bahwa hasil kerja yang dicapai oleh aparatur suatu
instansi dalam menjalankan tugasnya dalam kurun waktu tertentu, baik yang terkait
dengan input, output, outcome, benefit, maupun impact dengan tanggung jawab dapat
mempermudah arah penataan organisasi pemerintahan. Adanya hasil kerja yang dicapai
oleh aparatur dengan penuh tanggung jawab akan tercapai peningkatan kinerja yang
efektif dan efisien.

 Indikaror Kinerja
Menurut Robbins (2006) kinerja karyawan memiliki enam indikator, yaitu:
1. Kualitas.
Kualitas kerja diukur dari persepsi karyawa terhadap kualitas pekerjaan yang
dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap keterampilan dan kemampuan
karyawan.
2. Kuantitas.
Merupakan jumlah yang dihasilkan dinyatakan dalam istilah seperti jumlah unit,
jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan.
3. Ketepatan Waktu.
Merupakan tingkat aktivitas diselesaikan pada awal waktu yang dinyatakan, dilihat
dari sudut koordinasi dengan hasil output serta memaksimalkan waktu yang tersedia
untuk aktivitas lain.
4. Efektivitas.
Merupakan tingkat penggunaan sumber daya organisasi (tenaga, uang, teknologi,
bahan baku) dimaksimalkan dengan maksud menaikkan hasil dari setiap unit dalam
penggunaan sumber daya.
5. Kemandirian.
Merupakan tingkat seseorang karyawan yang nantinya akan dapat menjalankan tugas
kerjanya.
6. Komitmen kerja.
Merupakan suatu tingkat dimana karyawan mempunyai komitme kerja dengan
instansi dan tanggung jawab karyawan terhadap kantor.

Pengukuran Kinerja

Organisasi pemerintahan menggunakan alat untuk mengukur suatu kinerja birokrasi


publik, indikator yang digunakan menurut Baban Sobandi dan para ahli lainnya dalam bukunya
yang berjudul Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah sebagai berikut:
1. Keluaran (Output)
2. Hasil
3. Kaitan Usaha dengan Pencapaian
4. Informasi Penjelas
(Sobandi dkk, 2006 : 179-181)
1. Pertama, output adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu
kegiatan yang berupa fisik (sarana dan prasarana) atau pun non fisik (pelatihan). Suatu
kegiatan yang berupa fisik maupun non fisik yang diharapkan oleh suatu organisasi
atau instansi dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
2. Kedua, hasil adalah mengukur pencapaian atau hasil yang terjadi karena pemberian
layanan. segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada
jangka menengah (efek langsung). Maka segala sesuatu kegiatan yang dilakukan atau
dilaksanakan pada jangka menengah oleh suatu organisasi atau instansi harus dapat
memberikan efek langsung dari kegiatan tersebut.
3. Kaitan usaha dengan keluaran pelayanan. Berdasarkan pengertian diatas, maka
Mengukur sumber daya yang digunakan atau biaya per unit keluaran, dan memberi
informasi tentang keluaran di tingkat tertentu dari penggunaan sumber daya,
menunjukan efisiensi relatif suatu unit jika dibandingkan dengan hasil
sebelumnya, tujuan yang ditetapkan secara internal, norma atau standar yang bisa
diterima atau hasil yang bisa dicapai oleh organisasi yang setara. Biaya merupakan
laporan biaya per unit hasil dan kaitan biaya dengan hasil sehingga manajemen
publik dan masyarakat bisa mengukur pelayanan yang telah diberikan.
4. Informasi penjelas adalah suatu informasi yang harus disertakan dalam pelaporan
kinerja yang mencakup informasi kuantitatif dan naratif. Membantu pengguna untuk
memahami ukuran kinerja yang dilaporkan, menilai kinerja organisasi, dan
mengevaluasi signifikansi faktor yang akan mempengaruhi kinerja yang dilaporkan.
Ukuran informasi penjelas disini dapat dilihat dari dua sub indikator yaitu faktor
substansial merupakan faktor yang ada diluar kontrol organisasi dan faktor yang dapat
dikontrol oleh organisasi seperti pengadaan staf.
Ruky (2001:7) mengidentifikasi faktor yang berpengaruh langsung
terhadap tingkat pencapaian kinerja organisasi sebagai berikut:
1. Teknologi yang meliputi peralatan kerja dan metode kerja yang digunakan untuk
mengahasilkan produk atau jasa yang dihasilkan oleh organisasi. semakin berkualitas
teknologi yang digunakan, maka akan semakin tinggi tingkat kinerja organisasi
tersebut.
2. Kualitas input atau material yang digunakan oleh organisasi.
3. Kualitas lingkungan fisik yang meliputi keselamatan kerja, penataan ruangan, dan
kebersihan.
4. Budaya organisasi sebagai pola tingkah laku dan pola kerja yang ada dalam
organisasi yang bersangkutan.
5. Kepemimpinan sebagai upaya untuk mengendalikan anggota organisasi agar
bekerja sesuai dengan standar dan tujuan organisasi.
6. Pengelolaan sumber daya manusia yang meliputi aspek kompensasi, imbalan,
promosi dan lainnya.(Ruky, 2001:7)

Kinerja organisasi merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam


menjalankan tugas organisasi, baik itu dalam lembaga pemerintahan maupun swasta.
Kinerja berasal dari bahasa job performance atau actual perpormance (prestasi kerja atau
prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang atau suatu institusi). Kamus bahasa
Indonesia.
Pengertian kinerja menurut A. A Anwar Prabu Mangkunegara mengatakan bahwa:
“Kinerja karyawan adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh
seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya” (Mangkunegara, 2007: 9).
Dapat diartikan bahwa kinerja organisasi merupakan hasil kerja yang dicapai oleh
seorang aparatur dalam melakukan suatu pekerjaan dapat dievaluasi tingkat kinerjanya.
Kinerja dalam organisasi pemerinthan tergantung bagaimana proses kinerja itu
dilaksanakan.
kinerja tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi. Berikut faktor-faktor
yang mempengaruhi kinerja sebagaimana yang dikemukakan oleh Keith Davis dalam
buku Anwar Prabu Mangkunegara.
1. Faktor Kemampuan Ability
Secara psikologis, kemampuan ability terdiri dari kemampuan potensi IQ dan
kemampuan reality knowledge+skill. Artinya pimpinan dan karyawan yang memiliki
IQ superior, very superior, gifted dan genius dengan pendidikan yang memadai
untuk jabatan dan terampil dalammenjalankan pekerjaan sehari-hari maka akan
mudah menjalankan kinerja maksimal.
2. Faktor motivasi Motivation
Motivasi diartiakan sebagai suatu sikap attitude piminan dan karyawan terhadap situasi
kerja situation dilingkungan organisasinya. Mereka yang bersikap positif fro
terhadap situasi kerjanya akan menunjukan motivasi kerja tinggi dan sebaliknya jika
mereka berpikir negatif kontra terhadap situasi kerjanya akan menunjukan pada
motivasi kerja yang rendah. Situasi yang dimaksud meliputi hubungan kerja, fasilitas
kerja, iklim kerja, kebijakan pimpinan, pola kepemimpinan kerja dan kondisi kerja.
(Mangkunegara, 2000:13)
Artinya bahwa suatu kinerja dipengaruhi oleh faktor pendukung dan penghambat
berjalannya suatu pencapaian kinerja yang maksimal, faktor tersebut meliputi faktor yang
berasal dari intern maunpun ekstern. Menilai suatu kinerja apakah sudah berjalan dengan
yang direncanakan perlu diadakan suatu evaluasi kinerja sebagai mana yang dikemukakan
oleh Andrew E. Sikula dalam buku Anwar Prabu Mangkunegara.
 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja

Aparatur sebagai pelayan masyarakat, harus memberikan pelayanan terbaik


untuk mencapai suatu kinerja. Kenyataannya untuk mencapai kinerja yang diinginkan
tidaklah mudah, banyak hambatan-hambatan yang harus dilewati.
Menurut Keith Davis dalam A.A. Anwar Prabu Mangkunegara terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi pencapain kinerja, faktor tersebut berasal dari faktor
kemampuan dan motivasi aparatur. Berdasarkan hal tersebut maka akan dijelaskan
sebagai berikut: “Faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor
kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation), yang dirumuskan sebagai berikut:
“Human Performance = Ability + Motivation, Motivation = Atitude + Situation, Ability =
Knowledge + Skill” (Mangkunegara, 2005:13-14)
Berdasarkan pengertian diatas, maka aparatur dalam pencapaian kinerja harus
memiliki kemampuan dan motivasi kerja. Kemampuan yang dimiliki aparatur dapat
berupa kecerdasan ataupun bakat. Motivasi yang dimiliki aparatur dilihat melalui sikap
dan situasi kerja yang kondusif, karena hal ini akan berhubungan dengan pencapaian
prestasi kerja atau kinerja organisasi.

Kemampuan
Kemampuan seorang aparatur berbeda-beda, kemampuan di dapat dari kecerdasan
ataupun bakat dari aparatur tersebut. menurut Moenir bahwa: “Kemampuan berasal dari
kata dasar mampu yang dalam hubungan dengan tugas/pekerjaan berarti dapat
(kata sifat/keadaan) melakukan tugas/pekerjaan sehingga menghasilkan barang atau
jasa sesuai dengan yang diharapkan”(Moenir, 2002:116).
Dapat diartikan bahwa kemampuan merupakan keadaan dimana seorang pegawai
sanggup melakukan tugas atau pekerjaan guna menghasilkan barang maupun jasa sesuai
dengan tujuan organisasi.
Kemampuan yang dimiliki aparatur dalam memberikan pelayanan merupakan
ujung tombak dan sekaligus gambaran kualitas organisasi Nayono dalam buku Mengenal
Kehidupan Berorganisasi bahwa: “Kemampuan adalah salah satu unsur dari kematangan,
berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari pendidikan, latihan
dan pengalaman”(Nayono,1998:19 )
Berdasarkan teori di atas, dapat dilihat bahwa kemampuan sebagai keadaan yang
dimiliki seseorang sehingga memungkinkan dirinya untuk dapat melakukan sesuatu
berdasarkan keahlian dan ketarampilannya.

Motivasi
Motivasi terbentuk dari sikap (attitue) aparatur dalam menghadapi situasi
(situation) kerja di lingkungan pekerjaannya. Pengertian motivasi dikatakan oleh Chung
dan Megginson bahwa: Motivasi dirumuskan sebagai perilaku yang ditunjukan pada
sasaran. Motivasi berkaitan dengan tingkat usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam
mengejar suatu tujuan motivasi berkaitan erat dengan kepuasan pegawai dan performansi
pekerjaan) (Dalam Gomes, 1995:177-178)

Artinya motivasi aparatur untuk bekerja biasanya ditunjukkan oleh aktivitas yang
terus-menerus, dan berorientasikan tujuan. Motivasi merupakan kondisi yang
menggerakan diri aparatur secara terarah untuk mencapai tujuan kerja.
Pengertian lain dikatakan oleh Keith Davis yang dikutip A.A Anwar
Mangkunegara, bahwa: Motivasi diartikan suatu sikap (attiude) pimpinan dan karyawan
terhadap situasi kerja (situation) dilingkungan organisasinya. Mereka yang bersikap
positif (pro) terhadap situasi kerjanya akan menunjukan motivasi kerja tinggi dan
sebaliknya jika mereka bersikap negatif (kontra) terhadap situasi kerja akan
menunjukan kerja yang rendah, situsi kerja yang dimaksud mencakup antara lain
hubungan kerja, fasilitas kerja, kebijakan pimpinan, pola kepemimpinan kerja dan kondisi
kerja (Mangkunegara, 2006:14).

Dari pengertian diatas dapat dijelaskan bahwwa Sikap mental aparatur yang
positif terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja tinggi dan sebaliknya
jika bersikap negatif terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja yang
rendah. Sikap mental aparatur haruslah memiliki sikap mental yang siap sedia secara
psikofisik (siap secara mental, fisik, situasi dan tujuan). Artinya, aparatur dalam bekerja
secara mental siap, fisik sehat, memahami situasi dan kondisi serta berusaha keras
mencapai target kerja (tujuan utama organisasi).
 Konsep Etika

Etika (etimologi), berasal dari bahasa Yunani “Ethos” yang berarti watak
kesusilaan atau adat

Pengertian umum etika dari Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: (1) ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak dan kewajuban moral (akhlak),
(2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, (3) nilai mengenai benar dan
salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. Sementara itu, Bertens (1993: 4)
mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari adat kebiasaan, termasuk di dalamnya
moral yang mengandung nilai dan norma yang menjadi pegangan hidup seseorang atau
sekelompok orang bagi pengaturan tingkah lakunya
Etika (Yunani Kuno: ethikos, berarti timbul dari kebiasaan) adalah cabang utama
filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar
penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik,
buruk, dan tanggung jawab. Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis
dalam pendapat- pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi iyu akan kita rasakan,
antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain.
Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan
oleh manusia. Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan
sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistemastis dalam melakukan
refleksi. Karena itulah, etika merupakan suatu ilmu . sebagai suatu ilmu, objek dari etika
adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi, berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti
juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif, maksudnya adalah etika
melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.

 Etika Administrasi Publik


Dalam ensiklopedi Indonesia, etika disebut sebagai ilmu ke- susilaan yang menentukan
bagaimana sepatutnya manusia hidup dalam masyarakat; apa yang baik dan apa yang buruk.
Sedangkan secara etimologis, etika berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang
berarti kebiasaan atau watak. Etika menurut bahasa Sansekerta lebih berorientasi kepada
dasar- dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik).
Etika menurut Bertens dalam (Pasolong, 2007: 190) adalah kebiasaan, adat atau akhlak
dan watak.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah etika selalu berhubungan
de- ngan kebiasaan atau watak manusia (sebagai individu atau dalam kedudukan tertentu),
baik kebiasaan atau watak yang baik maupun kebiasaan atau watak buruk. Watak baik
yang termanifestasikan dalam kelakuan baik sering dikatakan sebagai sesuatu yang patut
atau sepatutnya. Sedangkan watak buruk yang termanifestasikan dalam kelakuan buruk,
sering dikatakan sebagai sesuatu yang tidak patut atau tidak sepatutnya.
Dalam lingkup pelayanan publik, etika administrasi publik (Pasolong, 2007: 193)
diartikan sebagai filsafat dan profesional standar (kode etik) atau right rules of conduct
(aturan berpe- rilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik
atau administrasi publik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa etika administrasi publik adalah aturan
atau standar pengelolaan, arahan moral bagi anggota organisasi atau pekerjaan manajemen;
aturan atau standar pengelolaan yang merupakan arahan moral bagi administrator publik
dalam melaksanakan tugasnya melayani masyarakat. Aturan atau standar dalam etika
administrasi negara tersebut terkait dengan kepegawaian, perbekalan, keuangan, ketata-
usahaan, dan hubungan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. etika bertalian erat dengan administrasi publik.
2. Etika mempelajari tentang filsafat, nilai, dan moral sedangkan administrasi publik
mempelajari tentang pembuatan kebijakan, pengam- bilan keputusan, dan
pengimplementasian kebijakan.
3. Etika bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan baik dan buruk, sedangkan
administrasi bersifat konkrit dan harus mewujudkan apa yang telah dirumuskan dan
disepakati dalam kebijakan publik.
4. Pembicaraan tentang etika dalam administrasi publik adalah bagaimana mengaitkan
keduanya, bagaimana gagasan-gagasan administrasi, seperti efektivitas, efisiensi,
akuntabilitas, kemanfaatan, produktivitas dapat menjelaskan etika dalam prakteknya, dan
bagaimana gagasan- gagasan dasar etika, seperti mewujudkan yang baik dan meng-
hindari yang buruk, dapat menjelaskan hakikat administrasi publik. Sehingga diharapkan
seorang administratur publik selalu menggunakan pertimbangan etika dalam melakukan
segala aktivitas yang menyangkut kepentingan publik.

 Implementasi Nilai-nilai Etika Administrasi Publik


Terdapat seperangkat nilai dalam etika administrasi publik
yang dapat digunakan sebagai acuan dan pedoman bagi penyelenggara administrasi publik
dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Widodo (2001: 251-258) menguraikannya
sebagai berikut.
Pertama, nilai efisiensi. Nilai efisiensiartinya tidak boros. Sikap, perilaku, dan perbuatan
birokrasi publik (administrasi publik) dikatakan baik jika mereka efisien (tidak boros).
Artinya menurut Darwin (1995: 198) mereka akan menggunakan dana publik (public
resources) secara hati-hati agar memberikan hasil yang sebesar-besarnya bagi publik.
Resources public tidak boleh dibelanjakan secara boros, tidak boleh digunakan untuk proyek-
proyek yang tidak menyentuh kepentingan masyarakat luas, atau disalahgunakan untuk
memperkaya diri. Dengan demikian, nilai efisiensi lebih mengarah pada penggunakan sumber
dana dan daya yang dimiliki secara tepat, tidak boros, dan dapat dipertanggung- jawabkan.
Efisiensi dapat dicapai manakala setiap anggota organisasi dapat memberikan konstribusi
kepada organisasi. Karenanya perlu ditegakkan suatu prinsip jangan bertanya apa yang bisa
didapatkan dari organisasi, tapi bertanyalah apa yang dapat diberikan kepada organisasi.

Kedua, nilai membedakan milik pribadi dengan milik kantor. Birokrasi publik yang baik adalah
birokrasi publik yang dapat membedakan mana milik kantor dan mana milik pribadi. Artinya
mereka tidak akan menggunakan milik kantor untuk kepentingan pribadi. Mereka
menggunakan barang publik (milik kantor) hanya betul-betul untuk kepentingan kantor.
Kendaraan dinas hanya digunakan untuk kepentingan menjalankan dinas, dan bukan untuk
mengantar anaknya ke sekolah dan istrinya ke pasar. Uang kantor tidak boleh digunakan untuk
kepentingan pribadi dan lain sebagainya.

Ketiga, nilai impersonal. Dalam melaksanakan hubungan antara bagian satu dengan yang lain,
antara orang satu dengan yang lain dalam bingkai kerjasama kolektif yang diwadahi oleh
organisasi, hendaknya dilakukan secara formal (impersonal) dan tidak pribadi
(personal).Hubungan impersonal ini perlu ditegakkan untuk menghindari menonjolkan unsur
perasaan dari pada unsur rasiodalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan
peraturan dan pengaturan yang ada dalam organisasi. Sebagai gambaran, dalam suatu
organisasi ada seorang pimpinan (bapak), kemudian ada staf, bawahan, atau pelaksana adalah
masih ada hubungan kekerabatan (anak, keponakan, famili, alumni, dan sejenis). Ketika staf
tadi berbuat salah, jika mereka menggunakan pendekatan personal, maka unsur perasaan
mereka yang akan berbicara dari pada unsur rasio untuk mengambil suatu tindakan hukuman
(punishment) terhadap staf yang berbuat salah tadi. Namun manakala menggunakan
pendekatan impersonal, maka siapa- pun yang salah harus diberikan tindakan hukuman
(punish- ment). Siapapun yang berprestasi selayaknya mendapatkan imbalan (rewards) kepada
orang yang bersangkutan sesuai dengan peraturan dan pengaturan yang ditegakkan dalam
organisasi tersebut.

Keempat, nilai merytal system. Nilai merytal system, berkaitan dengan penerimaan
(recrutment) atau promosi (promotion), hendaknya dilakukan dengan menggunakan
“meryt system”, dan bukan “spoil system”. Merytal system merupakan suatu sistem penarikan
atau promosi pegawai yang tidak didasarkan pada hubungan kekerabatan, patrimonial (anak,
keponakan, famili, alumni, daerah, golongan, dan lain- lain), akan tetapi didasarkan pada
pengetahuan (knowlegde), ketrampilan (skill), kemampuan (capable) dan pengalaman
(experience) yang dimiliki oleh orang yang bersangkutan. Sedangkan spoil system
merupakan suatu sistem penarikan atau promosi pegawai yang didasarkan pada hubungan
kekerabatan, patrimonial (anak, keponakan, famili, alumni, daerah, golongan, dan lain lain),
dan bukan didasarkan pada pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), kemampuan
(capable) dan pengalaman (experience) yang dimiliki oleh orang yang bersangkutan. Merytal
system ini akan menjadikan orang- orang yang terlibat dalam kegiatan usaha kerjasama tadi
menjadi cakap dan profesional (professional and capable) dalam menjalankan tugas dan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Kelima, nilai responsibel. Nilai responsibel (responsible) berkaitan dengan


pertanggungjawaban birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Birokrasi
publik yang baik adalah birokrasi yang responsibel. Responsibilitas (responsibility) menurut
Friedrich dalam Darwin (1996: 190) merupakan konsep yang berkenaan dengan standar
professional dan kompetensi teknis yang dimiliki administrator (birokrasi publik) dalam
menjalankan tugasnya. Administrator negara (birokrasi publik) dinilai responsib jika pelakunya
memiliki standar profesionalisme atau kompetensi teknis yang tinggi. Untuk bisa melakukan
penilaian terhadap apa yang menjadi sikap, perilaku, dan sepak terjang administrator negara
(biro- krasi publik), maka harus memiliki standar penilaian tersendiri yang sifatnya
administratif atau teknis, dan bukan politis. Karena itu, responsibilitas juga sering
disebut “subjective responsibility’ atau “administrative responsibility’. Tanggung jawab
subjektif ini dapat berarti mempunyai rasa tanggung jawab (sense of responsibility) dan dapat
pula berarti memiliki kemampuan dan kecakapan (capable to do atau professional) yang
memadai dalam menjalankan tugas, fungsi, dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Mempunyai rasa tanggung jawab, artinya birokrasi public akan melaksana- kan apa yang
menjadi tugas dan tanggung jawabnya secara serius dan sungguh-sungguh kendatipun tidak
ada pihak lain yang mengawasinya (mengontrolnya). Mereka akan tetap menjaga pemihakan
kepada kepentingan publik, meskipun untuk melakukan penyelewengan bagi mereka cukup
terbuka. Mereka tidak akan melakukan tindakan korup, kendatipun mereka berada pada
lingkungan (sistem) yang korup, bahkan mereka berusaha untuk merubah dan memperbaiki
lingkungan dan sistem yang korup tadi, kendatipun mereka tahu apa yang menjadi resikonya.
Sementara itu, birokrasi publik yang bertanggung jawab dalam arti “capable to do atau
professional”, menuntut birokrasi publik mempunyai kemampuan dan kecakapan teknis
(kompetensi teknis) yang memadai dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab, baik yang
bersifat administratif maupun fungsional yang diberikan kepadanya. Dengan memiliki
kemampuan dan kecakapan teknis tadi, mereka akan dapat menjalankan tugas dan tanggung
jawabnya secara efektif, efisien, dan produktif. Karenanya responsibilitas dalam pengertian ini
menuntut agar birokrasi publik senantiasa melakukan aktualisasi diri atas potensi yang
dimilikinya dan melakukan tugas dan tanggung jawabnya secara sungguh-sungguh.
Meskipun demikian, menurut Friedrich, pertanggungjawa- ban administratif tersebut
menjadi penting karena masalah- masalah publik yang dihadapi oleh administrator negara
menjadi semakin kompleks memerlukan ketrampilan teknis yang tinggi dan administrator.
Walaupun responsibilitas tetap penting, tetapi dipandang tidak cukup karena politisi
cenderung memiliki kemampuan yang terbatas untuk menilai secara teknis kinerja dan
administrator negara. Sisi lain dan pertanggungjawaban administratif adalah bahwa
administrator negara (birokrasi publik) harus bertindak berdasarkan tang- gung jawab moral
yang mereka sadari terhadap publiknya. Misalnya, administrator negara (birokrasi publik)
perlu ber- sikap adil, tidak membedakan client, peka terhadap ketimpa- ngan yang terjadi
dalam masyarakat, atau memegang teguh kode etik sebagai pelayan publik. Birokrasi publik
yang responsibel tadi, diharapkan akan mampu memberikan layanan publik yang baik
dan profesional.

Keenam, nilai akuntabilitas (accoutability). Nilai akunta- bilitas juga berkaitan dengan
pertanggungjawaban birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Biro-
krasi publik yang baik adalah birokrasi publik yang akuntabel. Akuntabel menurut Hatry dalam
Joko Widodo (2001: 256-257) merupakan suatu istilah yang diterapkan untuk mengukur
apakah dana publik telah digunakan secara tepat untuk tujuan di mana dana publik tadi
ditetapkan dan tidak digunakan secara ilegal. Dalam perkembangannya, akuntabilitas diguna-
kan juga bagi pemerintah untuk melihat akuntabilitas efisiensi program ekonomi. Usaha-usaha
tadi berusaha untuk mencari dan menemukan apakah ada penyimpangan staf atau tidak efisien
atau ada prosedur yang tidak diperlukan. Sungguh pun demikian, akuntabilitas dapat digunakan
untuk melihat kua- litas pelayanan kendati pun jarang yang menggunakannya. Sedangkan
Herman Finner (1941) dalam Muhadjir (1998: 256) mengatakan akuntabilitas merupakan
konsep yang berkenaan dengan standar eksternal yang menentukan kebenaran suatu tindakan
oleh administrasi negara (birokrasi publik). Akunta- bilitas ini yang menilai adalah orang atau
institusi yang berada di luar dirinya. Karenanya akuntabilitas ini sering disebut sebagai
tanggung jawab yang bersifat objektif (objective responsibility). Birokrasi publik dikatakan
accountable mana- kala mereka dinilai secara objektif oleh orang (masyarakat atau melalui
wakilnya) dapat mempertanggunggungjawabkan sega- la macam perbuatan, sikap dan sepak
terjangnya kepada pihak mana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki itu berasal. Politisi
harus mempertanggungjawabkan tindakannya kepada kelompok pemilihnya, eksekutif harus
mempertanggung jawab- kan implementasi kebijakan yang dilakukan kepada lembaga
legislatif. Selanjutnya secara keseluruhan politisi dan birokrat harus mempertanggungjawabkan
seluruh tindakannya kepada masyarakat luas. Akuntabilitas administrasi publik dalam pe-
ngertian yang luas melibatkan lembaga-lembaga publik (agencies) dan birokrat (their wokers)
untuk mengendalikan bermacam-macam harapan yang berasal dari dalam dan luar
organisasinya. Strategi untuk mengendalikan harapan-harapan dan akuntabilitas administrasi
publik tadi akan melibatkan dua faktor kritis, sebagai berikut.
a. Bagaimana kemampuan mendefinisikan dan mengendali- kan (control) harapan-harapan
yang dilakukan oleh keseluruhan lembaga (agency) khusus di dalam atau di luar organisasi.
b. Derajat kontrol keseluruhan terhadap harapan-harapan yang telah didefinisikan para
agen.
Dengan demikian, maka akuntabilitas administrasi publik, sesungguhnya berkaitan
dengan bagaimana birokrasi publik (agencies) mewujudkan harapan-harapan publik. Untuk
dapat mewujudkannya, tampaknya bukan saja tergantung pada kemampuan birokrasi publik di
dalam mendefinisikan dan mengelola harapan-harapan publik, tapi juga tergantung pada
kemampuan publik dalam melakukan kontrol atas harapan- harapan yang telah didefinisikan,
baik yang dilakukan oleh lembaga kontrol resmi maupun oleh para politisi dan masyarakat.
Sehingga birokrasi publik dapat dikatakan akuntabel manakala mereka dapat mewujudkan apa
yang menjadi harapan publik (pelayanan publik yang profesional dan dapat memberikan
kepuasan publik).

Ketujuh, nilai responsivitas. Nilai responsivitasberkaitan dengan daya tanggap dan menanggapi
apa yang menjadi keluhan, masalah, aspirasi publik. Birokrasi publik yang baik adalah
birokrasi yang responsif (mempunyai daya tanggap yang tinggi dan cepat menanggapi) apa
yang menjadi keluhan, masalah, aspirasi publik. Responsivitas (responsiveness) merupakan
pertanggungjawaban dari sisi yang menerima pelayanan (masyarakat). Seberapa jauh mereka
melihat administrator negara (birokrasi publik) memiliki tanggap yang tinggi terhadap apa
yang menjadi permasalahan, kebutuhan, keluhan dan aspirasi mereka. Dengan demikian
birokrasi publik dapat dikatakan baik jika mereka dinilai mempunyai daya tanggap yang
tinggiterhadap apa yang menjadi permasalahan, kebutuhan, keluhan, dan aspirasimasyarakat
yang diwakilinya. Mereka cepat memahami apa yang menjadi tuntutan publik, dan berusaha
semaksimal mungkin memenuhinya. Ia dapat menangkap masalah yang dihadapi publik,
dan berusaha untuk mencari solusinya. Mereka tidak suka menunda-nunda waktu,
memperpanjang jalur pelayanan, atau mengutamakan prosedur tetapi mengabaikan substansi.
Selain nilai-nilai etika di atas, kode etik juga bisa dijadikan sebagai pedoman bagi
administrator publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Kode etik (Suyamto,
1989: 32-40) adalah suatu alat untuk menunjang suatu pencapaian tujuan suatu organisasi atau
sub-organisasi atau bahkan kelompok- kelompok yang belum terikat dalam suatu
organisasi. Pada dasarnya kode etik adalah suatu hukum etik. Hukum etik biasanya dibuat oleh
suatu organisasi atau suatu kelompok, sebagai suatu patokan tentang sikap mental yang
wajib dipatuhi oleh para anggotanya dalam menjalankan tugasnya.
Oleh karena itu, di samping berfungsi sebagai patokan sikap mental yang ideal
bagi segenap unsur organisasi, kode etik dapat pula mendorong keberhasilan organisasi itu
sendiri. Manfaat lain yang diperoleh dari rumusan kode etik adalah para aparat akan
memiliki kesadaran moral atas kedudukan yang diperolehnya dari negara atas nama rakyat.
Pejabat yang menaati norma-norma dalam kode etik akan menempatkan kewajibannya
sebagai aparat di atas kepentingannya akan karir dan kedudukan. Pejabat akan melihat
kedudukan sebagai alat, bukan sebagai tujuan. Untuk itu, kode etik mengandaikan bahwa para
pejabat publik dapat berperilaku sebagai pendukung nilai moral dan sekaligus pelaksana dari
nilai tersebut dalam tindakan yang nyata. Namun sayangnya, Kode etik di Indonesia masih
terbatas pada beberapa kalangan seperti ahli hukum dan kedokteran. Kode etik bagi profesi
yang lain masih belum ada (Pasolong, 2007: 200).
Kode etik tidak hanya sekedar menjadi bacaan tetapi juga diimplementasikan dalam
melakukan pekerjaan, dinilai tingkat implementasinya melalui mekanisme monitoring,
kemudian dievaluasi dan diupayakan perbaikan melalui konsensus. Komitmen terhadap
perbaikan etika ini perlu ditunjukkan, agar pihak pemberi pelayanan mendapatkan kepercayaan
dari masyarakat dalam melaksanakan kegiatan pelayanan publik.
Oleh karena itu, mungkin tidak ada salahnya jika negara kita belajar dari negara lain
yang sudah maju dan memiliki kedewasaan beretika. Misalnya negara Amerika Serikat,
dengan kode etik administrasi publik, yang dimiliki ASPA (America Society for Public
Administration) pada tahun 1989, seperti dijelaskan Kumorotumo (1992: 413-414) sebagai
berikut.
a. Pelayanan kepada masyarakat adalah di atas pelayanan kepada diri sendiri.
b. Rakyat adalah berdaulat dan mereka yang bekerja dalam instansi pemerintah pada
akhirnya bertanggung jawab kepada rakyat.
c. Hukum mengatur semua tindakan dari instansi pemerintah. Apabila
hukumdirasa bermakna ganda, tidak bijaksana, atau perlu perubahan, maka akan mengacu
kepada sebesar-besarnya kepentingan rakyat sebagai patokan.
d. Manajemen yang efisien dan efektif adalah dasar bagi administrasi public.
e. Sistem penilaian kecakapan, kesempatan yang sama dan asas-asas iktikad baik akan
didukung, dijalankan dan dikembangkan.
f. Perlindungan terhadap kepercayaan rakyat adalah sangat
penting. Konflik kepentingan, penyuapan, hadiah, atau favoritisme yang merendahkan
jabatan publik untuk kepentingan pribadi tidak dapat diterima.
g. Pelayanan kepada masyarakat menuntut kepekaan khusus dengan ciri-ciri sifat keadilan,
keberanian, kejujuran, persamaan, kompetensi dan kasih saying.
h. Hati nurani memegang peranan penting dalam memilih arah tindakan.
i. Para administrator publik tidak hanya terlibat untuk mencegah hal yang salah, tetapi
juga untuk mengusahakan yang benar melalui pelaksanaan tanggungjawab dengan penuh
semangat dan tepat pada waktunya.

Nilai-nilai etika dan kode etik pelayanan publik di atas jika konsisten diimplementasikan
oleh penyelenggara pemerintah (administrator publik) dan menjadi norma bagi organisasi
publik, maka mal-administrasi akan dapat diminimalisir, bahkan mungkin juga akan bisa
diberantas secara tuntas.

Anda mungkin juga menyukai