Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

Bank Dan Keharaman Riba Dan Jenis-Jenis Dalam Fiqih Muamalah

D
I

S
U
S
U
N

OLEH :
KELOMPOK 3
SATRIA ADJI PRATAMA (90100120070)
DIANISA DEWI UTAMI (90100120072)
MUHAMMAD RIF’AT 90100120067
ASMAHUL YUSNA (90100120068)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS SYARIAH


JURUSAN EKONOMI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDING MAKASSAR
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul”Bank,dan keharaman riba Dalam
Fiqih Muamalah”. Keberhasilan dalam pembuatan makalah ini juga tidak lepas bimbingan dari
bapak Syarifuddin, S.E.,ME selaku Dosen mata kuliah fiqih muamalah dan juga kerja sama
antara teman-teman dari kelompok kami, untuk itu kami ucapkan terima kasih.

Kami berharap semoga dengan adanya makalah ini dapat berguna bagi orang-orang yang
membacanya. Namun kami menyadari atas penyusunan makalah ini masih terdapat kesalahan
baik kosa kata maupun isi keseluruhan dari makalah kami. Oleh karena itu, kami berharap agar
teman-teman dapat memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata, kami
mengucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Hertasning baru, 11 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i


DAFTAR ISI................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................. 3
1.3 Tujuan Masalah ..................................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................ 4
2.1 DEFENISI RIBA .................................................................................................................. 4
2.2 MACAM- MACAM RIBA................................................................................................... 4
2.3 ANCAMAN BAGI PEMAKAI RIBA ................................................................................. 5
2.4 PENDAPAT UlALAMA TENTANG ‘Illat RIBA DAN TEORI BUNGA.......................... 6
a. Pendapat ulama dalam illat riba .......................................................................................... 6
2.5 DALIL PENGHARAMAN RIBA ........................................................................................ 9
2.6 Produk Bank Tinjauan Umum dan Fiqih Muamalah .......................................................... 10
a. Produk Bank Konvensional ............................................................................................... 10
B. Berbagai pendapat terhadap bank konvensional .............................................................. 12
2.7 TINJAUAN FIQH MUAMALAH ..................................................................................... 13
a. Kedudukan Bunga Bank ................................................................................................. 13
b. Bentuk Produk Bank Konvensional ............................................................................ 13
2.8 TINJAUAN RIBA PADA PRAKTEK BANK................................................................... 14
BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 16
3.1 KESIMPULAN ................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam adalah agama rahmatan lil-„ālamīn, universal dan komprehensif, aturan-aturannya
menyentuh semua sendi-sendi kehidupan manusia. Islam tidak hanya berbicara tentang
hubungan sang pencipta dan makhluk-Nya (Ibadah), tetapi juga berbicara tentang ekonomi,
politik, sejarah, dan lain sebagainya. Islam memiliki dua sumber hukum yang kebenarannya
absolut yaitu al-Qur‟an dan hadis yang dipercaya mampu menjawab semua problematika zaman
yang selalu berkembang. Semua hal yang berkaitan dengan aktivitas manusia telah diatur di
dalamnya, yang secara garis besar terbagi menjadi tiga yaitu akidah, ibadah dan muamalah.
Semua aturan yang tertuang dalam al-Qur‟an dan hadis tersebut diyakini mengandung maslahat
bagi manusia. Tidaklah Allah Swt. membuat aturan kecuali untuk kemaslahatan manusia di
dunia dan akhirat. Allah Swt. sebagai sang pencipta tentunya lebih mengetahui yang terbaik bagi
makhluk-Nya, sehingga harus yakin bahwa aturan Allah Swt. adalah kemaslahatan , seperti
larangan al-Muzābanah yang bermaslahat bagi penjual dan pembeli yaitu menjaga hak mereka,
karena al-Muzābanah dapat merugikan salah satu pihak, sebab kurma basah akan berkurang
ukurannya ketika mengering.

Secara bahasa, kata riba berpadan dengan kata usury,atau interet yang berarti ‘tambahan’
enrichment without justification which upsets the balance of benefits,jadi riba menurut etimologi
adalah tambahan (az-ziyzdah).

Dalam istilah llinguistik,riba berarti tambahan dan membesar.Akan tetapi tidak tidak semuah
ambahan adalah ribah .Seperti pengertian zakat dalam bahasa juga dapat diartikan sebagai an-
namuw wa az-ziyadah (bertambah dan berkembang), jika diucapkan zaka al-zar, berarti tanaman
itu tumbuh dan bertambah. Tapi bertambah disini (riba),beberapa dengan pengertian zakat
tersebut. Dalam istilah fiqih, riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok secara batil
baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam

Menurut terminologi ulama fiqih tentang riba, sebagaimana mazhab Hanabila mengatakan “riba
adalah pertambahan sesuatu yang dikhususkan.” Sedangkan, mazhab

1
Hanafiyah, menjelaskan “Tambahan pada harta pengganti dalam pertukaran harta dengan harta.

Begitu banyak diantara kita mengenal riba sekedar hanya sebutan istilah belaka, oleh sebab itu
ketika nama istilah riba di ganti dengan kamuflase nama-nama yang berbeda, sebagian dari kita
tidak mengenal lagi atau bisa juga mengikuti hawa nafsu untuk berpura-pura tidak mau tahu
agar bisa terbebas dari rasa bersalah dan dosa, meskipun yang bersangkutan sedang
bermuamalah melalui transaksi riba. Agar bisa menjauhi riba maka kita pun perlu berbekal
pengetahuan mengenai apa itu yang dimaksud dengan riba.

Riba ini terjadi karena pengambilan manfaat tambahan terhadap utang, baik dalam transaksi
utangpiutang (qardh) yang muncul karena semata-mata akad utang-piutang, yaitu meminjam
harta orang lain untuk dihabiskan lalu diganti pada waktu lain atau pun dalam transaksi jual-beli
yang tidak tunai (bai’ muajjal) muncul karena harga yang belum diserahkan pada saat transaksi,
baik sebagian atau keseluruhan.

Masalah ekonomi mendapat perhatian cukup besar dalam dua sumber tersebut. Banyak ayat dan
hadis-hadis yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi, seperti hukum, etika,
bahkan upaya preventif dalam berbisnis pun tertuang dalam dua sumber tersebut. Hal tersebut
karena ekonomi merupakan salah satu pilar keberlangsungan hidup manusia, sehingga pantas
jika mendapat perhatian khusus demi kemaslahatan manusia yaitu tercapainya kehidupan yang
sejahtera, makmur dan berkeadilan. Satu hal yang sangat penting pada bagian ini adalah aturan
Allah Swt. berupa larangan riba, karena berdampak buruk terhadap manusia yaitu perampasan
harta orang lain, merusak moralitas, melahirkan benih kebencian dan permusuhan, serta yang
kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin, sehingga akan terjadi ketidakadilan dan
kezaliman dalam kehidupan manusia. Semua itu merupakan kerusakan, maka Allah Swt.
melarang riba. Keharaman riba merupakan mujma‟ „alaih dan termasuk dosa besar berdasarkan
ayat dan hadis-hadis yang melarangnya. Kendati demikian, praktek riba dinilai kerap terjadi di
dunia perbankan, khususnya bank konvensional. Tampaknya bunga bank menjadi dasar asumsi
mereka bahwa bank konvensional tidak lepas dari riba, mereka mengira bahwa bunga bank
memiliki karakteristik

Asumsi bahwa bunga bank adalah riba merupakan masalah yang masih diperdebatkan.
Perdebatan tersebut merupakan akibat dari perbedaan metode beristidlāl dalam mengkaji
karakteristik riba yang dimaksud dalam ayat dan hadis-hadis riba. Sebagian dari mereka
menitikberatkan segi gramatikal wahyu dalam memahami karakteristik riba yang dimaksud oleh

2
syari‟at. Sedangkan yang lain lebih mengedepankan aspek moral dengan menjadikan latar
belakang masyarakat wahyu (konteks) sebagai perangkat analisis inti

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Yang Dimaksud Dengan Riba?
2. Bagaimana Tinjauan Riba Pada Peraktek Bank?
3. Bagaimana Produk Bank Mengenai Tinjauan Umum Dan Fiqih
Muamalah?
4. Apa saja Ancaman Bagi Pemakai Riba ?
5. Bagaimana Pendapat Ulama Tentang illat Riba Dan Teori Riba ?
6. Mengetahui Jenis-Jenis Riba
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui Riba
2. Untuk mengetahui Tinjauan Riba Pada Peraktek Bank
3. Untuk mengetahui Produk Bank Mengenai Tinjauan Umum Dan
Fiqih Muamalah
4. Untuk memahami dan mengetahui jenis-jenis riba
5. Untuk mengetahui pendapat ulama tentang illat riba dan teori riba
6. Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis riba

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFENISI RIBA


riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok secara batil baik
dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam.
Menurut terminologi ulama fiqih tentang riba, sebagaimana
mazhab Hanabila mengatakan “riba adalah pertambahan sesuatu
yang dikhususkan.” Sedangkan, mazhab
Hanafiyah, menjelaskan “Tambahan pada harta pengganti dalam
pertukaran harta dengan harta.1
2.2 MACAM- MACAM RIBA
1) Riba Fadhl.
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang
berbeda. Menurut ulama Hanfiyah, riba adalah: “tambahan zat harta
pada akad jual beli yang diukur dan sejenis.” Dengan kata lain riba
fadhl adalah jual beli yang mengandung unsur riba pada barang sejenis
dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut. Oleh karena
itu, jika melaksanakan akad jual-beli antar barang yang sejenis, tidak
boleh dilebihkan salah satunya agar terhindar dari unsur riba. Jadi, riba
fadhl adalah riba yang terjadi dalam masalah barter atau tukar menukar
benda. Namun bukan dua jenis benda yang berbeda, melainkan satu
jenis barang namun dengan kadar atau ukuran yang berbeda, dan tidak
semua jenis barang. Barang jenis tertentu itu kemudian sering disebut
dengan “barang ribawi”
2) Riba Nasi’ah.
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba ini muncul
karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang
diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian. Menurut ulama
Hanafiyah, riba nasi’ah adalah: “Memberikan kelebihan terhadap
pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada
benda dibanding utang pada benda yang di takar dan ditimbang yang
sama jenisnya.” Meksunya menjual barang dengan sejenisnya, tetapi
yang satu lebih banyak, dengan pembayaran di akhirkan, seperti

1
1 Obeid, Nayla Commir. 1996. The Law of Business Contracts in the Arab Midle East. Kluwer Law International,
Boston, hal. 43
2 Aziz, Abdul. 2010. Manajemen Investasi Syariah. Alfabeta, Bandung, hal. 211
3 Antonio, 2001. Bank Syariah. Gema Insani Press, Jakarta, hal. 37
4
menjual satu kilogram gandum dengan satu setengah kilogram
gandum, yag dibayarkan setelah dua bulan. Contoh, jual beli yang
tidak ditimbang, seperti menjual satu buah semangka yang akan
dibayar setelah sebulan.
3) Riba qardh. Suatu manfaat yang disyaratkan terhadap yang
berutang (muqtaridh)
4) Riba jahiliyah. Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si
peminjam tidak dapat membayar pada waktu yang ditentukan.
2.3 ANCAMAN BAGI PEMAKAI RIBA
Selain pemakan riba, dalam sebuah hadits juga disebutkan
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mencela
beberapa pihak yang turut terlibat dalam muamalah yang tidak
barakah tersebut. Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu
mengatakan “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat
orang yang memakan riba, memberi makan riba (orang yang
memberi riba kepada pihak yang mengambil riba),

Mereka semua terkenai ancaman laknat dari Nabi shallallahu


‘alaihi wasallam karena dengan itu mereka telah berta’awun (tolong
menolong dan saling bekerjasama) dalam menjalankan dosa dan
kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman (artinya): “Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [Al-Maidah: 2]

Dalam riwat lain, Rasullah shallallahu alaihi wasallam


bersabda Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda : “Allah melaknat pemakan riba, pemberi makan riba (orang yang
memberimakan kepada pihak yang mengambil riba) dua saksinya, dan justru
juru tulisnya” [HR. Ahmad, dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu, disahihkan oleh AL-Imam AL-Albani rahimahullah, Shahihul jami’’]

Dua hadits di atas menunjukan ancaman bagi semua pihak yang


bekerjasama melakukan praktek ribawi,yaitu akan mendapankan laknat dari
Allah subhana wa ta’ala dan Rasulnya, yang berarti dia mendapatkan celaan
dan akan terjauhkan dari rahmat allah subhana wa ta’ala. 2

2
4Sarwat, Ahmad. Tanpa Tahun. Fiqih Muamalat., hal. 23
5 Diana, 2008. Hadits-Hadits Ekonomi. UIN Press, Malang, 139
5
2.4 PENDAPAT UlALAMA TENTANG ‘Illat RIBA DAN TEORI BUNGA

a. Pendapat ulama dalam illat riba


a. Pendapat Ulama tentang Ilat Riba
Ulama sepakat menetapkan riba fadhl pada tujuh barang, seperti terdapat pada
nash, yaitu emas, perak, gandum, sya’ir, kurma, garam dan anggur kering. Pada benda-
benda ini, adanya tambahan dalam pertukaran sejenis adalah diharamkan.
Adapun pada barang selain itu, para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:

1. Madzhab Hanafi
‘Illat riba fadhl menurut ulama hanafiyah adalah jual beli barang yang ditukar atau
ditimbang dengan barang yang sejenis, emas, perak, gandum, sya’ir, kurma, garam dan
anggur kering. Dengan kakta lain, dari barang yang sejenis dari barang- barang yang
sudah disebutkan di atas, seperti gandum dengan gandum ditimbang untuk
diperjualbelikan dan terdapat tambahan dari salah satunya, terjadilah riba fadhl.
Adapun jual beli pada selain barang-barang yang ditimbang, seperti hewan, kayu,
dan lain-lain tidak dikatakan riba meskipun ada tambahan dari salah satunya, seperti
mejual satu kambing dengan dua kambing sebab tidak termasuk barang yang bisa
ditimbang.
Ulama Hanafiyah mendasarkan pendapat mereka pada hadits sahih dari Said Al-
Khudri dan Ubadah Ibn Shanit r.a. bahwa Nabi Saw bersabda:

“(jual beli) emas dengan perak keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada)
tambahan adalah riba, (jual beli) perak dengan perak, keduanya sama tumpang
terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, (jual beli) gandum dengan gandum,
keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada) adalah riba, jual beli sya’ir dengan
sya’ir, keduanya sama tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, (jual
beli) kurma dengan kurma, sama saja, tumpang terima, (apabila ada) tambahan
adalah riba, (jual beli) garam dengan garam, sama saja, tumpang terima, (apabila
ada) tambahan adalah riba.”

Diantara hikmah diharamkannya riba adalah untuk meng-hilangkan tipu- menipu


diantara manusia dan juga menghindari kemadaratan. Asal keharamannya adalah Sadd
Adz-Dzara’i (menurut pintu kemadaratan). Namun demikian, tidak semua menurut Sadd
Adz-Dzara’i, tetapi ada juga yang betul-betul dilarang, seperti menukar barang yang baik
dengan yang buruk, sebab hal yang keluar dari ketetapan harus adanya kesamaan.
Ukuran riba fadhl pada makanan adalah setengah sha’, sebab menurut golongan ini,
itulah yang telah ditetapkan syara’, oleh karena itu, dibolehkan tambahan jika kurang
dari setengah sha’.
‘Illat riba nasi’ah adalah adanya salah satu dari dua sifat yang ada pada riba fadhl
dan pembayarannya diakhirkan. Riba jenis ini telah biasa dikerjakan oleh orang
jehiliyah, seperti seseorang membeli dua kilogram beras pada bulan Januri dan akan
dibayar dengan dua setengah kilogram beras pada bulan Februari. Contoh lain dari riba
nasi’ah yang berlaku secara umum sekarang adalah bunga bank.

6
2. Madzhab Malikiyah
‘Illat diharamkannya riba menurut ulama Malikiyah pada emas dan perak adalah
harga, sedangkan mengenai ‘illat riba dalam makanan, mereka berbeda pendapat dalam
hubungannya dengan riba nasi’ah dan riba fadhl.

7
‘Illat diharamkannya riba nasi’ah dalam makanan adalah sekedar makanan saja
(makanan selain untuk mengobati), baik karena pada makanan tersebut terdapat unsur
penguat (makanan pokok) dan kuat disimpanlama atau tidak ada kedua unsur tersebut.
‘Illat diharamkannya riba fadhl pada makanan adalah makanan tersebut
dipandang sebagai makanan pokok dan kuat disimpan lama.
Alasan ulama Malikiyah menetapkan ‘illat di atas antara lain, apabila riba difahami
agar tidak terjadi penipuan diantara manusia dan dapat saling menjaga, makanan tersebut
haruslah dari makanan yang menjadi pokok kehidupan manusia, yakni makanan pokok,
seperti gandum, padi, jagung dan lain-lain.

3. Madzhab Syafi’i
‘Illat riba pada emas dan perak adalah harga, yakni kedua barang tersebut dihargakan
atau menjadi harga sesuatu. Begitu pula uang, walaupun bukan terbuat dari emas,
uangpun dapat menjadi harga sesuatu.
‘Illat pada makanan adalah segala sesuatu yang bisa dimakan dan memenuhi
tiga kriteria berikut :
a. Sesuatau yang bisa ditujukan sebagai makanan atau makanan pokok.
b. Makanan yang lezat atau yang dimaksudkan untuk melezatkan makanan, seperti
ditetapkan dalam nash adalah kurma, diqiyaskan padanya, seperti tin dan anggur
kering.
c. Makanan yang dimaksudkan untuk menyehatkan badan dan memperbaiki makanan,
yakni obat. Ulama Syafi’iyah antara lain beralasan bahwa makanan yang
dimaksudkan adalah untuk menyerahkan badan termasuk juga obat untuk
menyehatkan badan.
d. Dengan demikian, riba dapat terjadi pada jual beli makanan yang memenuh kriteria
di atas. Agar terhindar dari unsur riba, menurut ulama Syafi’iyah, jual beli harus
memenuhi kriteria sebagai berikut :
• Dilakukan waktu akad, tidak mengaitkan pembayarannya pada masa yang akan
datang.
• Sama ukurannya.
• Tumpang terima

Menurut ulama Syafi’iyah, jika makanan tersebut berbeda jenisnya, seperti menjual
gandum dengan jagung, dibolehkan adanya tambahan. Golongan mendasarkan
pendapatnya pada hadis sebagai berikut :
“(jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair
dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, keduanya sama,
tumpang terima. Jika tidak sejenis, juallah sekehendakmu asalkan tumpang terima.”

Selain itu, dipandang tidak riba walaupun ada tambahan jika asalnya tidak sama
meskipun bentuknya sama, seperti menjual tepung gandum dengan tepung jagung.

4. Madzhab Hambali
Pada madzhab ini terdapat tiga riwayat tentang ‘illat riba, yang paling mashyur
adalah seperti pendapat ulama Hanafiyah. Hanya saja, ulama Hanabilah mengharamkan
pada setiap jual beli sejenis yang ditimbang dengan satu kurma.

8
Riwayat kedua adalah sama dengan ‘illat yang di-kemukakan oleh ulama
syafi’iyah.
Riwayat ketiga, selain pada emas dan perak adalah pada setiap makanan yang
ditimbang, sedagkan pada makanan yang tidak ditimbang tidak dikategorikan riba
walaupun ada tambahan. Demikian juga pada sesuatu yang tidak dimakan manusia. Hal
itu sesuai dengan pendapat Said Ibn Masayyab yang mendasarkan pendapatnya pada hdis
Rasulullah Saw. “Tidak ada riba, kecuali pada yang ditimbang atau dari yang dimakan
dan diminum.” (HR. Daraquthni)

5. Madzhab Zhahiri
Menurut golongan ini, riba tidak dapat di-‘illat-kan, sebab ditetapkan dengan nash
saja. Dengan demikian, riba riba hanya terjadi pada barang-barang yang telah ditetapkan
pada hadis di atas, yang enam macam sebab golongan ini mengingkari adanya qiyas.
Kesimpulan dari pendapat para ulama di atas antara lain: ‘Illat riba menurut ulama
Hanafiyah dan Hanabilah adalah timbangan atau ukuran (alkail wa alwajn), sedangkan
menurut ulama Malikiyah adalah makanan pokok dan makanan tahan lama, dan menurut
ulama Syafi’iyah adaah makanan.3

2.5 DALIL PENGHARAMAN RIBA


Praktik riba sangat merugikan bagi salah satu pihak. Inilah salah satu alasan kenapa
Islam melarang adanya praktik riba. Namun, mungkin masih banyak orang yang kurang
memahami atau mengetahui alasan lain kenapa riba itu dilarang dalam Islam.
Di dalam Al-Quran, Allah SWT telah berfirman di dalamnya dan melarang dengan tegas
bagi siapa pun untuk memakan harta riba. Setidaknya ada 5 ayat yang melarang praktik
riba.

1. Al-Quran Surat Ar-Rum ayat 39


‫ٱّلل فَأُو َٰلَئِّكَ هُ ُم‬ ِّ َّ َ‫ٱّلل ۖ َو َما َءاتَ ْيتُم مِّن زَ ك ََٰوة ت ُ ِّريدُونَ َوجْ ه‬
ِّ َّ َ‫اس ف ََل يَرْ بُوا عِّند‬ ِّ َّ‫َو َما َءاتَ ْيتُم مِّن ِّربًا ِّليَرْ ب َُوا فِّى أَ ْم َٰ َو ِّل ٱلن‬
َ‫ض ِّعفُون‬ ْ ‫ٱل ُم‬ ْ
Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan
berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang
berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
2. Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 278-280
ِّ َّ َ‫الر َبا ِّإن كُنتُم ُّمؤْ مِّ نِّينَفَإِّن لَّ ْم تَ ْف َعلُوا فَأْذَنُوا ِّب َحرْ ب مِّن‬
‫ّللا َو َرسُو ِّل ِّه ۖ َو ِّإن ت ُ ْبت ُ ْم‬ ِّ َ‫ِّي مِّن‬ َ ‫ّللا َوذَ ُروا َما َبق‬ َ َّ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِّينَ آ َمنُوا اتَّقُوا‬
َّ
‫صدَّقُوا َخيْر لكُ ْم ۖ ِّإن كُنت ُ ْم‬ ْ ْ
َ َ‫وس أَ ْم َوا ِّلكُ ْم َل تَظ ِّل ُمونَ َو َل تُظلَ ُمون ََو ِّإن كَانَ ذُو عُس َْرة فَنَظِّ َرة ِّإلَ َٰى َم ْي َس َرة ۚ َوأن ت‬
َ ُ ‫فَلَكُ ْم ُر ُء‬
َ
َ‫تَ ْعل ُمون‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu
pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang yang
berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan

3
6. Muhammad, Sahri. 1982. Zakat dan Infak. Al-Ikhlas, Surabaya, hal. 76-81
7 Murasa Sarkaniputra dalam Membangun Masyarakat Madani yang diterbitkan oleh Nuansa Madani, Jakarta,
Tahun 1999, hal. 300
9
menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.
3. Al-Quran Surat Ali Imran ayat 130
َ‫ٱّلل لَ َعلَّكُ ْم ت ُ ْف ِّلحُون‬
َ َّ ‫ض َعفَةً ۖ َوٱتَّقُوا‬ َ َٰ ‫ض َٰ َعفًا ُّم‬ ِّ ‫َٰ َيأَيُّ َها ٱلَّذِّينَ َءا َمنُوا َل تَأْكُلُوا‬
ْ َ‫ٱلر َب َٰوا أ‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
4. Al-Quran Surat An-Nisa ayat 160-161
‫ع ْنهُ َوأَ ْك ِّل ِّه ْم‬
َ ‫الربَا َوقَدْ نُ ُهوا‬ ِّ ‫ِّير َاوأَ ْخ ِّذ ِّه ُم‬
ً ‫ّللا َكث‬
ِّ َّ ‫عن َس ِّبي ِّل‬ َ ‫ط ِّيبَات أُحِّ لَّتْ لَ ُه ْم َو ِّب‬
َ ‫ص ِّد ِّه ْم‬ َ ‫فَ ِّبظُ ْلم مِّنَ الَّذِّينَ هَادُوا َح َّر ْمنَا‬
َ ‫علَ ْي ِّه ْم‬
َ
‫عذَابًا ألِّي ًما‬ ْ َ ْ
َ ‫اس بِّالبَاطِّ ِّل ۚ َوأ ْعتَدْنَا لِّلكَاف ِِّّرينَ مِّ ْن ُه ْم‬ َ
ِّ َّ‫أ ْم َوا َل الن‬
Artinya: Maka disebabkan kedhaliman orang Yahudi, maka kami haramkan atas mereka
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka. Dan
karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan disebabkan mereka
memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka
memakan harta orang dengan jalan yang batil. Dan Kami telah menjadikan untuk orang-
orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
5. Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 276
‫ٱّلل َل يُحِّ بُّ كُ َّل َكفَّار أَثِّيم‬ ُ َّ ‫ت ۗ َو‬ ِّ َ‫صدَ َٰق‬ َّ ‫ٱلربَ َٰوا َويُرْ بِّى ٱل‬ ُ َّ ُ‫يَ ْم َحق‬
ِّ ‫ٱّلل‬
Artinya: Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
Nah, itulah lima ayat di dalam Al-Qur'an yang menerangkan kalau perbuatan riba itu
dilarang agama Islam dan tidak disukai oleh Allah SWT. 4

2.6 Produk Bank Tinjauan Umum dan Fiqih Muamalah

a. Produk Bank Konvensional


Kegiatan usaha bank dalam melakukan penghimpunan dana masyarakat maupun dalam
penyaluran dana dilakukan melalui produksi jasa keuangan. Hal ini karena produksi jasa
keuangan dan bank dapat memperngaruhi peredaran uang di masyrakat, serta
berpengaruh terhadap perekonomian. Oleh karena itu, produksi jasa keuangan bank
diatur oleh peraturan yang sifatnya mengikat dalam kegiatan operasional bank, sehingga
dapat memberikan keamanan bagi masyarakat dalam menyimpan dananya maupn bagi
stabilitas ekonomi nasional.
Diantara produk-produk bank, antara lain sebagai berikut :

Simpanan (Saving)
Menurut UU RI No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, simpanan adalah dana yang
dipercayakan oleh masyarakat kepada bank dalam bentuk giro, deposito berjangka,
sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

Giro
Pegertian Giro menurut UU Perbankan RI No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, yaitu
simpanan yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran dan penarikannya dapat

4
8 Syafe’i, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia. Hlm 259.
9 ad-Dimasyqi, Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman. 2001. Fiqih Empat Mazhab. Bandung:
Hasyimi. Hlm. 226-227.
10 Nur Diana, Ilfi Nur. 2008. Hadits-Hadits Ekonomi. UIN-Press Malang, hal. 134
10
dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, sarana pembayaran lainnya, atau dengan
cara pemindahbukuan.

Cek
Cek adaah perintah tidak bersyarat dari pemegang rekening (nasabah giro) kepada bank
untuk membayar sejumlah uang tertentu.

Tabungan
Berdasaran UU RI No. 7 tahun 1992, Bab I, Pasal I, utir 10, tabungan adalah simanan
yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi
tidak dapat ditarik dengan cek atau alat yang dapat dipersamakan dengan itu.

Deposito
Menurut UU RI No. 7 tahun 1992, Bab I, Pasal I, Butir 8, deposito berjangka adalah
simpanan yag penarikannya hanya dapat dilakukan pada wajtu tertentu menurut
perjanjian antara penyimpan dan bank yang bersangkutan.

Inkaso dan kiring


Inkaso adalah perhitungan utang piutang antarbank di satu kota dengan kota lainnya,
baik bank tersebut merupakan cabang yang sama maupun bank yang berlainan dengan
menggunakan cek/bilyet giro, yang berita inkasonya disampaikan melalui surat, kawat
telepon, ataupun teleks. Dengan kata lain inkaso adalah rangkaian suatu kegiatan bank
dalam kegiatan transfer uang ke suatu bank lain dalam suatu kota.
Kliring adalah tata cara perhitungan piutang dalam bentuk surat dagang dan surat
berharga yang terdiri atas cek, bilyet giro, bukti penerimaan transfer dari luar kota,
kredit, wesel, dan surat-surat lainnya.

Garansi Bank
Secara umum istilah garansi bank adalah jaminan pembayaran yang diberikan kepada
satu pihak, baik perseorangan, perasahaan, badan-badan, dan lembaga- lembaga tempat
bank menyatakan akan memenuhi kewajiban dari pihak yang tidak memenuhi
(membayar) kewajiban pada ppihak lainnya. Jadi, bank akan memeberikan jaminan
pelayanan kepada nasabahnya jika terjadi manifestasi dengan mitra usaha nasabah bank.
Surat yang Dapat Diperdagangkan
Kasifikasi surat-surat yang dapat diperdagangkan menurut uniform commercial code
pasal 3-104.

Wesel Bank
Wesel Bank adalah surat yang ditarik oleh suatu bank atas bank yang lain.
Aksep Bank (Accepted Bank)
Aksep Bank adalah wesel yang diakseptasi oleh bank. Akseptasi adalah pernyataan
kesanggupan pembayar/ tertarik untuk membayar sejumlah uang yang ditulis di atas
surat wesel serta menandatangannya.

Endosemen
Endosemen, berasal dari kata endos yang artinya di belakang maka endosemen berarti
harus dibuat di bagian belakang dari surat wesel bersangkutan.

11
B. Berbagai pendapat terhadap bank konvensional
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat Islam hampir tidak dapat
menghindari diri dari bermuamalah dengan bank konvensional, yang memakai sistem
bunga dalam segala aspek kehidupannya, termasuk kehidupan agamanya. Misalnya,
ibadah haji di Indonesia, uat Islam harus memakai jasa bank. Tanpa jasa bank,
perekonomian Indonesia tidak selancar dan semaju sekarang ini.
Para ulama dan cendekiawan muslim masih tetap berbeda pendapat tentang hukum
bermuamalah dengan konvensional dan hukum bunga bank. Perbedaan pendapat mereka
seperti yang disimpulkan Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi adalah sebagai berikut :
Pendapat Syekh Abu Zahrah, Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Cairo, Abu
A’la Al-Maududi (Pakistan), Muhammad Abdullah Al-Arabi, penasihat hukum pada
Islamic Congress Cairo, dan lain-lain, menyatakan bahwa bunga bank termasuk riba
nasi’ah yang dilarang oleh Islam. Oleh karena itu, umat Islam tidak boleh bermuamalah
dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali kalau dalam keadaan darurat atau
terpaksa. Mereka mengharapkan lahirnya bank Islam yang tidak memakai sistem bunga
sama sekali.

Pendapat A. Hasan, pendiri dan pemimpin Pesantren Bangil (Persis), bahwa bunga bank,
seperti di negara kita ini bukan riba yang diharamkan karena tidak bersifat ganda
sebagaimana dinyatakan dalam surat Ali Imran ayat 130.
Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo jawa Timu tahun 1968 memutuskan bahwa bunga
bank yang diberikan oleh bank-bank negara kepada nasabahnya, demikian pula
sebaliknya, termasuk subhat atau mutasyabihat, artinya belum jelas halal dan haramkan.
Sesuai dengan petunjuk hadis, kita harus berhati-hati menghadapi masalah yang masih
subhat. Leh karena itu, jika kita dalam keadaan terpaksa atau dalam keadaan hajah,
artinya keperluan yang mendesak/penting, barulah kita diperbolehkan bermuamalh
dengan bank dengan sistem bunga itu sekedernya saja.

Perbedaan pendapat tentang riba secara garis besarnya terdiri dari dua golongan,
yaitu :
Pendapat yang menegaskan bahwa riba itu haram dalam segla bentuknya.
Pendapat ini dikemukakan oleh DR. Muhammad Darraz, seorang ahli hukum dari Saudi
Arabia. Ia mengatakan, baik secara moral maupun sosiologis, riba itu sangat merusak.
Persoalan riba sekarang bukanlah persoalan sebab, illat, atau prinsip-prinsip dasar
tentang riba, melainkan spersoalan bagaimana menerapkan konsep riba itu. Namun, ia
mengatakan keharaman riba itu merupakan sadd adz-dzari’ah.

Pendapat kedua yang menegaskan keharaman riba, seperti yang disebutkan dalam al-
Qur’an, berkaitan dengan kondisi ekonomi (kondisi sosial). Oleh karena itu, hukum riba
sudah berubah sesuai kondisi ekonomi sekarang jauh berbeda dengan kondisi masa lalu.
Pendapat ini dikemukakan oleh DR. Ma’ruf Dawalibi, seorang ahli hukum dari Mesir. Ia
membedakan antara riba produktif dan riba konsumtif. Riba produktif diharamkan,
sedangkan riba konsumtif tidak.

12
2.7 TINJAUAN FIQH MUAMALAH
Tinjauan Fiqih Muamalah
Pembahasan produk perbankan konvensional, menurut tinjauan fiqih muamalah,
berkaitan dengan sejumlah bentuk muamalah dan terpulang pada kedudukan bunga yang
dianut oleh bank itu sendiri dan bentuk produknya.

a. Kedudukan Bunga Bank


Yang berkaitan dengan bunga bank, seperti telah dijelaskan di atas, disini akan sebab
atau illat hukum diaramkannya riba.
Adanya kezaliman, yaitu adanya keuntungan yang tidak sebanding. Sebenarnya
kelebihan itu bukanlah sebab keharaman riba, melainkan karena adanya unsur kezaliman
riba.
Adanya eksploitasi dalam keutuhan pokok atau adanya gharar, ketidakpastian, dan
spekulasi yang tinggi.
Oleh karena itu riba tidak diharamkan selama tidak mengandung dua unsur di atas.

b. Bentuk Produk Bank Konvensional


Diantara produk bank tersebut yang sangat erat kaitannya dengan fiqih muamalah adalah
mudharabah. Mudharabah sejak zaman jahiliyah sudah dilaksanakan, kemudian Islam
dan membolehkannya dengan peraturan- peraturan tertentu.
Diantara persyaratan mudharabah yang terpenting yang telah ditetapkan fuqaha adalah
keuntungan mudharabah merupakan hak milik bersama entara pemilik modal dan
penggna modal yang pembagiannya melalui presentase, seperti 50%, 30%, dan lain-lain.
Atas dasar ini, bila salah satu pihak terlebih dahulu menetapkan keuntungan tertentu
tanpa penjelasan, mudharabah dinyatakan fasid, karena dinilai mengandung kezaliman.
Akan tetapi, sebagian fukaha modrn berpendapat bahwa pembatasan sejumlah uang
tertentu sebagai keuntungan pemilik modal tidak merusak mudharabah selama
pembatasan itu disepakati kedua belah pihak, alasannya :

Keuntungan dalam mudharabah yang harus brsifat relatif, seperti yang telah ditetapkan
para fukaha, bukan kadar tertentu dan tidak terdapat dalilnya dalam al-Qur’an dan
Sunah. Pada intinya mudharabah itu didasarkan kesepakatan kedua pihak.
Bagi fukaha yang menyatakan mudharabah itu fasid bila tidak emenuhi syarat,
menyatakan bahwa penggunaan modal menjadi buruh (penjual jasa) bagi pemilik modal
sehingga masih dibenarkan oleh hukum dan tidak mengandung kezaiman dan
memudaratkan dapat dibenar-kan sesuai dengan hadis: “Tidak mudarat dan tidak
memudaratkan”.

Pendapat iniapat diterima dengan pertimbangan sebagai berikut :


Masalah pembatasan keuntungan terlebih dahulu atau tidak danya penentuan bukanlah
masalah akidah atau ibadah yang tidak dapat berubah, melainan masalah muamalah,
dapat berubah dan bergantung pada kesepakatan kedua belah pihak dengan syarat untuk
menjaga kemaslahatan manusia.
Syari’ah Islam bertujuan untuk kemaslahatan manusia.
Tidak disampaikan nash syara’ yang melarang penentuan keuntungan
13
Sesuatu yang telah diketahui bahwa bank tidak menentukan keuntungan terlebih dahulu,
kecuali setelah penelitian keadaan pasar, situasi ekonomi, dan situasi muamalah lainnya.
Penentuan keuntungan terlebih dahulu di zaman sekarang dapat bermanfaat bagi modal
dan pengguna modal.
Penentuan keuntungan terlebih dahulu tidak bertentangan dengan kemungkinan adanya
kerugian dari investor.
Tidak adanya penentuan keungtungan terlebih dahulu pada masa sekarang merugikan
investor dan menguntungkan pengusaha karena tidak amanah. Selain itu, bila dikaitkan
dengan prinsip muamalah bahwa muamalah itu dobolehkan selama ada maslahat, seperti
pernah terjadi di zaman sahabat ketika ada muamalah baru. Mamalah diterima kalau ada
maslahat atau merupakan kebutuhan manusia12.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa riba adalah faidhul
qimmah, yakni eksploitasi orang kaya (kuat) atas orang lemah (mustada’fin) dengan cara
yang tidak baik. Aktifitas ribawi merupakan aktivitas dari kegiatan yang mengeksploitasi
kebutuhan orang lemah, penimbunan kekayaan berlebih atas modal ekonomi lemah, baik
dilaksanakan oleh pihak lembaga keuangan maupun lainnya13.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa besar (ad’afan mudha’af, Q.S. 2: 275) kecil
(Muslim hadits ke-2995 dan Bukhari hadits ke 2145)-nya riba merupakan perbuatan yang
tidak diperbolehkan dalam syara’.

2.8 TINJAUAN RIBA PADA PRAKTEK BANK


Secara umum bisa kita katakan bahwa ajaran islam menghalalkan jual beli dengan
adanya laba (selama tidak ada hal yang bertentangan dengan syariat). Dan ajaran islam
mengharamkan praktek ribawi. Jika dipandang dari sudut pandang hitung matematik
memang laba dan riba busa menghasilkan hasil selisih hitung yang sama yakyi berupa
kelebihan hasil dari pemutaran uang atau modal sebelumnya, namun hasil selisih
keuntungan laba dan riba ini menjadi masalah jika dilihat dari sudut pandang halal dan
haram syariat islam serta pengaruh keberkahannya. Hal ini semua dipengaruhi oleh akad
dan cara yang digunakan sehingga bisa dibedkan menjadi halal dab haramnya
keuntungan hasil selisih hitung dari angka-angka yang sama. Hal ini bisa dilihat pada
intrumen bunga itu sendiri.

Hakekatnya bunga itu merupakan hasil aktifasi jual beli ataukah hasil lebih dari
pinjaman. Jika akad bank merupakan akad pinjaman dalam konteks ini akad utang
piutang, maka mengambil keuntungannya darinya merupakan riba yang di haramkan
meskipun sudah diberi nama lain seperti bungan bank, karena perubahan dan modifikasi
nama tidaklah merubah sifat dan hakekat yang sesungguhnya pada apa yang sudah
ditentukan sebagai praktek riba. Perlu dikaji lebih cermat dari ketiga produk simpanan
bank seperti tabungan,giro dan deposito tersebut apakan merupakan akad titipan harta
atau jasa penitipan dari nasabah yang dititipkan kepada bank ataukah memang
hakekatnya merupakan akad piutang nasabah kepada bank sebagai penghutang dalam
posisi ini. Untuk itu dapat dicermati antara realita yang berlaku pada aktifitas simpanan
bank dengan sifat dari masing-masing akad tersebut.

14
Analisa dari sifat simpanan bank yang dikomprasikan antara sifat umum akad piutang,
penitipan dan jasa penitipan untuk mengetahui kecocokan sifatnya adalah sebagai
berikut:
1. Bank sepenuhnya dibenarkan menggunakan uang nasabah baik untuk
dibelanjakan atau dihibahkan atau dihutangkan kembali. Penghutang memang
leluasa untuk menggunakan harta yang dipinjamnya tersebut, karena jika akad
maupun jasa penitipan yang diterapkan bank maka bank sebagai penyimpan tidak
dibenarkan menggunakan uang/ barang tersebut kecuali atas seizin pemiliknya,
bila menggunkannya berarti telah khianat.
2. Bila uang atau barang rusak atau hilang setelah akad terjadi maka sepenuhnya
menjadi tanggung jawab bank, demikianlah sifat utang. Sebagai penghutang
wajib mengembalikan pinjaman sedangkan resiko hilang menjadi tanggung
jawab penghutang, sedangkan pada akad titipan maka pihak yang dititipakannya
tidak bertanggung jawab jika harta tersebut rusak bukan dari kesengajaan atau
kelalainnya, dan jika akad menggunkan akad jasa penitipan maka
penyimpanannya memang bertanggung jawab memberikan jaminan sesuai jasa
yang ditawarkan ( ada kesamaan konsekwensi antara posisi penghutang dan
penyimpan jasa titipan)
3. Bank memberi keuntungan kepada nasabah berupa bunga atau jasa giro atas
simpanannya, Pada pembahasan sebelumnya telah terdapat kejelasan kesamaan
akad nasabah dan bank dalam simpanan bank menyerupai akad piutang nasabah
kepada bank. Maka dengan adanya pengambilan keuntungan pada akad ini
semakin jelaslah adanya riba pada transaksi tersebut, sedang untuk akad titipan
dan jasa penitipan maka hal tersebut mustahil jika ada pihak yang dititipkan
mensyaratkan agar memberi keuntungan padahal penyimpan tidak dibenarkan
untuk menggunakan barang simpanan.
4. Bank memungut upah kepada nasabah maka hal ini suatu kezaliman jika kita
mendapati fakta tersebut. Akad yang hakiki bank terhadap nasabah adalah
sebagai penghutang dan posisi nasabah sebagai pemberi piutang. Jika akad titipan
murni tidak memungut upah karena semata-mata membantu atau menolong.
Sedangkan pada akad jasa penitipan maka hal ini dibenarkan untuk memungut
upah atas jasa penitipan sebagai konsekwensi pemberian jaminan atas barang
yang dititipkan.
5. Bank memanfaatkan dana nasabah untuk keperluan investasi usaha bank dan
operasionalnya. Dalam konteks piutang memang bertujuan menguntungkan
penghutang dan terserah buat dimanfaatkan untuk apa saja harta tersebut, sedang
tujuan akad titipan ialah menolong semata dan yang diuntungkan ialah pemilik
harta yang hartanya terjaga sedang pada jasa penitipan betujuan memberikan
jaminan keamanan atas barang yang dititip dan bukan memutarnya untuk
keperluan usaha, semakin kuatlah fakta bahwa akad bank dan nasabah ialah utang
piutang.5

5
11 Opcit. Hlm 259-278.
12 Abduh, Isa. 1973. Wad’u al-Riba fi al-Bina al-Iqtishadiy. Daar al-Buhus al-Ilmiyah, Kuwait, hal. 90
15
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Maka ditarik kesimpulan bahwa ciri simpanan bank ketika dibandingkan dengan ciri-ciri
sejumlah akad maka bisa disimpulkan bahwa akad simpanan bank memiliki kesamaan
besar dengan akad piutang nasabah terhadap bank, namun pada sebagian poin
menyerupai akad titipan maupun jasa penitipan sehingga terjadi kesimpangsiuran dari
akad piutang yang semestinya berorientasi pada akad sosial murni namun pada simpanan
bank menjadi berakad komersial dan hal ini menyalahi syariat Islam serta merupakan
praktek riba. Demikian pula pada produk pinjaman bank baik kredit usaha, kredit
konsumsi dan kredit serba guna beserta semua nama-nama produk turunannya dimana
pada konteks ini terjadi akad pinjaman bank terhadap nasabah, dimana pihak bank
mewajibkan nasabah peminjam untuk mengembalikan total angsuran berupa angsuran
pokok beserta bunganya. Padahal telah diuraikan sebelumnya pada pembahasan riba
telah dinyatakan Sebagaimana dinyatakan oleh para ulama dalam banyak kitab-kitabnya
diantaranya Majmu’ fatawa Ibnu Taimiyah dalam Muhammad Arifin Badri menyatakan
bahwa “Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah
riba”.

16
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Isa. 1973. Wad’u al-Riba fi al-Bina al-Iqtishadiy. Daar al-Buhus al-Ilmiyah, Kuwait.

Antonio, M. Syafi’i. 2001. Bank Syariah. Gema Insani Press, Jakarta.

Aziz, Abdul. 2010. Manajemen Investasi Syariah. Alfabeta, Bandung.

Obeid, Nayla Commir. 1996. The Law of Business Contracts in the Arab Midle East. Kluwer Law International,
Boston.

Syafe’i, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia. ad-Dimasyqi, Syaikh al-‘Allamah Muhammad
bin ‘Abdurrahman. 2001. Fiqih Empat Mazhab. Bandung: Hasyimi.

Diana, Ilfi Nur. 2008. Hadits-Hadits Ekonomi. UIN-Press Malang. As-Shanani, 1995. Subulussalam, terjamahan
Abu Bakar Muhammad, Al-Ikhlas, Surabaya.

Sarwat, Ahmad. Tanpa Tahun. Fiqih Muamalat.

Muhammad, Sarhi. 1982. Zakat dan Infak. Al-Ikhlas, Surabaya.

Sarkaniputra, Murasa. 1999. Membangun Masyarakat Madani yang diterbitkan oleh Nuansa Madani, Jakarta.
1

Anda mungkin juga menyukai