ABCDEFGILA - Asoli - Id
ABCDEFGILA - Asoli - Id
2
Chapter 1
God, Family and My Maddy
Entah berapa kali aku harus menyatakan ini semua, entah harus
berulang kali mengucapkan hujan turun di setiap sudut jiwaku,
andaikan semuanya terbilang sempurna, itu absurd sekali,
bahkan ini bukanlah sebuah tulisan yang mendatangkan
kebahagiaan. Ini adalah sebuah tulisan gila yang selalu
mensyukuri ketidakwarasan dan kepercayaan diri terhadap
hidupnya. Monyet kembali berdansa di antara ramainya kota,
lantunkan sebuah lagu dengan ritmis dan bersuara parau,
bersama pelangi dan hijaunya daun-daun yang melingkari
lehernya, semakin bersemangat monyet itu, apakah semuanya
menghargai? Tentu saja. Namun hanya Tuhan yang menepuk
tangannya sebagai apresiasi yang tinggi dan mengagungkan
monyet itu. Monyet pecandu sastra itu kembali memutarkan
piringan yang berisi lagu-lagu klasik khas Eropa di abad 17,
piano dan violin mengalun merdu di telinganya, hingga ia
berjoged di kelambu yang ia susun menutupi halaman
rumahnya.
Rumah adalah sumber cahaya, lampu-lampu adalah partikel
terkecil cahaya itu, dan Tuhan adalah cahaya paling besar yang
menerangi gelap jiwanya. Kecoa ikut berdansa menikmati
alunan piano Mozart, bila ini sebuah film klasik tentu ini
bagian film yang menampilkan masa silam khas Eropa tahun
Pertengahan, di kala Mozart sedang terkenal sekali dan
hidupkan seni musik disana. Lahir pula musisi-musisi yang
dinamis dan menggilai seni musik, hingga puisi dan seni lukis
pun turut mengiringinya. Dari Beerhoven sampai Leonardo Da
Vinci, monyet itu sanggup mengumpulkan karya-karya klasik
dalam kurun waktu 9 bulan, seperti kehamilan yang melahirkan
sebuah gagasan, seperti penelitian yang menghadirkan teori-
teori kehidupan ala Sokrates hingga Che Guevara.
Pemberontakan pada kesucian hidup sudah bukan lagi prinsip
baginya, kini ia semakin menggilai dirinya dan mencintai
Penciptanya. Tuhan, kabulkan monyet ini untuk bersandar di
telaga Kautsar, dan berendam dengan para filsuf terbaik
sepanjang masa, hingga cerita Abu Nawas mewarnai kegilaan
mereka dengan tawa yang khas.
3
Bergelantungan di tiang-tiang yang bersandiwara, diapit
gedung yang menjulang tinggi adanya, hingga tiada lagi yang
bisa melihat kegilaannya. Karena matahari sudah tak
bersahabat, uang-uang kembali meninggalkannya, tak ada lagi
keparat, bahkan sundulan dari getirnya malam tak sanggup ia
cipta. Hanya pasrah dan berdoa, agar kembalikan kebahagiaan
yang telah ia miliki, semakin menjerit dan bersendawa, di balik
kuas dan puasa elegi. Akhirnya, di siang hari, saat kembali
pada ruang gelapnya, ia bersyair dengan nada tinggi,
“Wahai pencakar langit, dimanapun engkau berpijak, peluklah
aku hingga tak lagi terhimpit, oleh goresan yang semakin
mengoyak."
Ia lantangkan suara itu kepada sang pena, sahabatnya yang
sedari dulu mengikutinya sampai tua renta, dan menggila.
Tentunya kebaktian mana lagi yang sanggup menandingi?
Keharmonisan apa lagi yang mampu mengalahkan monyet dan
pena? Hanyalah sepatah kata untuk mereka. Mereka adalah sel-
sel kebisean, adalah senjakala yang memadu warna di balik
pekatnya awan, hanyalah sebutir partikel yang saling mencintai
satu sama lain, hingga saling melengkapi kegilaan dan
ketidakwarasan menjadi sepucuk harumnya keharmonisan dan
kesatuan yang utuh dan erat. Nikmatilah, kawan sejalan. Kalian
adalah jalang-jalang pembantu acara Tuhan.
Di dalam cerita ini, sang pena menyebutkan bahwa sang dia
adalah perwujudan dari orang yang sangat tangguh, patuh dan
berhati memengaruh. Maksudnya, dia mampu memengaruhi
siapa saja yang berbicara dengannya melalui tingkah lakunya
yang dibilang sangat kental dengan kegilaan yang biasa dialami
para pemulung dramatik. Dia juga mampu berbicara lewat hati
ke hati, artinya ia bisa menelusuri isi hati seseorang hanya
dengan kedipan mata. Ia juga bisa tertidur sambil berdiri, hal
yang tidak bisa dilakukan oleh manusia lumrah, biasanya
tertidur dengan badan tertidur dan dalam keadaan yang sunyi di
malam hari, orang ini malah tertidur di siang hari hanya dalam
waktu singkat. Dalam ilmu kesehatan, tidur di siang hari
memang menyehatkan dan menyegarkan otak, tetapi jika tidak
diimbangi dengan tidur malam justru berbahaya bagi tubuh.
Orang ini tidak percaya diberitahu, malah tidak bisa fokus
kalau tidur malam dulu, entah apa yang ada di benaknya,
sebenarnya ia terkena tekanan apa, termakan waktu kelelawar,
atau diganggu tubuh seksi sang bintang atau jangan-jangan
terhipnotis oleh senyuman manisnya rembulan? Entah siapa
tahu.
4
Di gubuknya ia hanya seorang diri, terbalut oleh kertas-kertas
bekas yang ia dapat di outlet fotocopy langganannya, hanya
untuk dia jadikan media menulis. Terkadang ia pergi ke
kampus, hanya untuk mengambil berkas-berkas makalah yang
telah dipelajari oleh mahasiswa, katanya mau ditukar dengan
nasi ayam. Hahaha, ada-ada saja tingkahnya, bolak balik
kampus, mengikuti materi kuliah dan pulang membawa satu
kilo sampai dua kilo kertas dan beberapa alat tulis sebagai
media pendukung ia melantunkan kata-kata kegilaannya. Entah
apa yang ada di dalam pikirannya, jauh mata memandang ia
semakin mengandai-andai siapakah istri yang ia anggap terbaik
dalam hidupnya. Setelah tujuh tahun berkelana dengan kisah
asmara, hanya dua wanita yang melengkapi kegilaannya, ia
semakin yakin bahwa salah satu dari mereka adalah istri terbaik
sepanjang hidupnya, ia semakin mengejar kebahagiaan untuk
masa depannya kelak. Namun, ekspektasi hanyalah ilusi yang
sering menipunya.
Tiga tahun silam, kedua wanita pergi mencari lelaki yang
sanggup membahagiakannya, ternyata hanya ingin kebahagiaan
materi, kebatinan yang telah ia bangun, jatuh berdarah bangun
terpanah terhujam panah-panah bualan sumbang ternyata tak
menjadikan mereka sebagai istri. Ah, hanya lontaran kata-kata
kotor yang ia sampaikan kepada langit dan bumi. Kepesimisan
hingga trauma yang mendalam makin menghunus jiwanya,
hingga membunuh seluruh hatinya. Dan ia memutuskan untuk
kembali mencintai Dzat Sang Penciptanya, Tuhan Maha
Tunggal, Tuhan Maha Esa. Tuhan Yang Maha Mencintai lelaki
pena itu, kata-kata kotor itu berubah menjadi bait-bait puitis
yang selama 4 bulan ia kumpulkan, menjadi sebuah memori
terpendam dan bukti bahwa ia masih hidup jiwanya, ia tak bisa
mati karena cinta bullshit, ia tak bisa mati karena janji-janji
palsu, bak calon pemimpin yang berorasi kesana kemari untuk
kesejahteraan pasangan hidupnya. Sudahlah, bullshit tetap
bullshit.
Ketidakwarasan padaku
Membuat hidupku lebih tenang
Menentramkan malamku
Mendamaikan tidurku
5
Berbicara pada dinding kamar
Aku akan tenang
Sebelum sehatku datang
Ketidakwarasan padaku
Selimut tebal hati rapuhku
Berkah atau kutukan
Namamu yang kusebut
11
Aku mau hidup denganmu, aku mau mati pun karenamu
Aku mau di sisa waktuku bersamamu
12
manusia, aku tak akan setia menyebutmu. Aku bersyukur kau
masih disini, Kasih. Mari menuai cinta kembali, dengan
lantunan lagu klasik.
18
“Iya, aku memang sering kesini, hanya berbelanja buku dan
menikmati senja di pantai, dan bermalam di sini.”
“Aku senang, Mas. Ternyata ini sungguh menakjubkan.”
Yang aku inginkan hanyalah dirimu, Kasih. Iya, hanya dirimu
yang mampu mengobrak-abrik hitamnya jiwa ini, yang pekat
tertutup pesimistis kepada wanita dan traumatik yang akut
stadium akhir. Hanya kau, Kasih. Iya, hanya kamu.
Kemacetan memenuhi jalanan ini, aku pun hanya memandangi
dirimu tanpa berpaling oleh apapun, aku sangat senang bila kau
bahagia denganku walaupun hanya dengan mengatakan kau
gembira di malam ini, aku ingin malam ini abadi tak bertepi.
Pesananmu tersaji,memang khas dirimu, hanya es teh dan
mendoan yang hangat. Wah, sangat minimalis seleramu,
mengandalkan harga murah karena memang tak suka atau
karena kau malu padaku? Tidak, aku percaya kau seorang
minimalis. Terlihat dari gaya hidupmu yang acak-acakan tetapi
penuh seni dan eksotisme kepada tubuh indahmu. Setelah kau
puas menyusuri kota ini, kau pun memintaku untuk
mengantarkan ke stasiun.
“Hati-hati ya, Mira. Boleh aku ketemu kamu lagi?” tanyaku
ketika ia hendak masuk gerbong kereta.
“Nanti aku kabarin ya, Mas. Hati-hati juga buat Mas Noto,”
jawabnya renyah dan lembut, menyesakkan dadaku yang
semakin berdebar. Mira, Mira, sudah cantik dilengkapi suara
yang halus pula, aku ingin tetap bersamamu tapi tidak untuk
saat ini, akan ada waktunya, Kasih. Percayalah kalian tidak
akan percaya jika aku ingin mengecupnya berkali-kali,
mendekapnya dengan pelukanku yang lembut sampai
mengusap kepalanya yang sangat intelektual dan penuh kreasi.
Tuhan, terima kasih, aku sangat mencintaimu dan aku memulai
momen ini dengan judul Langkah Awal menuju Bahtera Cinta
Mira.
Semakin aku terpikat, semakin membawaku pada titik terang.
Ya Tuhan, terima kasih segalanya, apa harus aku
mendeklarasikan bahaa aku berselingkuh dengannya darimu,
tentunya bukan sebuah negativitas, aku hanya mencintainya
sebagaimana kau mencintaiku. Ya Tuhan, mari bermesraan
kembali, di balik hujan dan terpaan angin yang membunyikan
angklung di kolase tembok kamarku. Sebelah mata ini
memandang penuh wujudmu, memandang segenap cintamu
yang agung. Sebelah mata ini kuhadirkan untuk sebuah
pengakuan, bahtera dalam lautan syukurku kembali berlayar,
akan abadi selamanya pada Dzat-Mu, Kasih. Stalaktit di ujung
19
otakku membiru, biarkan aku dalam keteguhan hati, andaikan
semuanua harus kubinasakan di hari Minggu, aku memanen
seluruh oksigen yang telah kita tuai di bulan Juni. Apakah
sebenarnya hari Minggu dan bulan Juni? Hanyalah segenggam
mahkota yang selalu kau bawa di saat kita bersama. Kopiku
semakin hangat, mari kita habiskan malam kita, di antara sepi
dan ramainya kota Semarang.
Noto, begitulah namanya, bercengkerama dengan pena-pena
yang asyik, yang menghadirkan sebuah ideologi yang
membuatnya bebas. Mencintai Tuhan, dan mulai mencintai
ciptaan-Nya, tetapi itu hanyalah sebuah kebodohan. Mengapa
harus mencintai wanita sebelum melengkapi kecintaan pada
Tuhan dan alam semesta? Bodo amat bagi Noto, ia hanya ingin
menghantarkan kasih sayang kepada manusia sebagaimana
takdirnya.
5 November 2018 : 05.25
Pagi di sudut kelam kota, ia terbangun dengan wajah yang
merah. Ia tak tahu apa yang dialami, langsung ia bergegas
menuju kamar mandi, dan segera menelepon dokter
langganannya, maklum ia tak pernah dokter. Ia hanya duduk di
teras rumah, menyeduh kopi dan bermain WhatsApp berbalas
pesan dengan 25 dokter pilihannya. Ia malas ke dokter, entah
apa yang dia alami sampai begitu sungkannya ia pergi kesana.
Aduh, kegilaan lagi yang ke-48 sepertinya, yang nomor satu
adalah mempercayai Tuhan Maha Cinta, dan baru kali ini ia
menemukan argumentasi bahwa dokter hanyalah petugas
Tuhan yang ditakdirkan untuk menyembuhkan manusia,
melalui ilmu-ilmu-Nya dan materi yang Dia antarkan kepada
sang dokter semasa ia sekolah sampai kuliah. Ah, absurd abis,
makanya ia tak mau ke dokter, ia mempercayai Tuhan pasti
menyembuhkan, karena Dia telah memberi penyakit padanya,
walaupun hanya demam karena terlalu memikirkan pekerjaan
dan hobinya. Dalam catatan di pagi hari, ia menemukan sebuah
ide baru yang memungkinkan bahwa jiwa dan hatinya akan
segera hidup, ia tuliskan di dalam buku yang bernoda, bercak-
bercak hitam terpampang rapi di halaman penghujung, yang
tertulis dengan gaya font klasik ala pena bulu milik penulis
masa Renaissance,
Monyet-monyet kembali berlibur, jangkrik pun ikut berpesta di
hari sabtu, adakah sehelai kertas yang akan aku kirimkan pada
penghibur? Adakah sajak-sajak dari burung perkutut untukku?
Kusampaikan pada sebuah air mancur, tinggalah bersamaku,
akan kuceritakan hidup itu serupa bubur, lembek dan dinamis
untuk memurnikan pikiranmu.
20
Ia teringat sebulan yang lalu, kala berjalan-jalan di kota
Semarang. Ia melihat segerombolan monyet yang sedang
berpuisi, memandangi dan mendengarkan pimpinannya
berorasi dengan nada-nada yang sangat eksotis bak penyanyi
solo yang karirnya melebihi Marlyn Monroe. Wah, ia langsung
takjub dan langsung masuk dalam lautan monyet-monyet itu.
Dan benar saja, ia terhipnotis oleh sajak-sajak syahdu tersebut.
Seakan jiwanya melayang, menembus panasnya mentari,
hingga kuucapkan kata sayang, kepada Tuhan yang sudah
menghadiri, obsesiku yang semakin menggila sampai kemudian
hari. Terima kasih, Tuhan Maha Kasih. Kau menumbuhkan
kegilaanku setiap hari. Barangsiapa yang bersyukur, maka akan
ditambah rasa syukurnya, maka tidak akan pernah bisa berhenti
bersyukur sampai mulutnya tak bisa melewatkan kata hamdalah
atau pujian pada-Nya. Abadikan cintaku padamu,Tuhan.
Setelah ia kembali tenang, ia kembali ke rumah. Dan tibalah
saatnya ia memunculkan ssbuah ide gila lagi, kembalikan
cahaya di balik kaca-kaca yang pecah, agar aku mampu untuk
menusukkan kaca itu ke dalam lidahku, agar tak kelu dan
lancar berbicara. Andaikan kau tahu, Kasih, maafkan aku telah
melukai anggotaku, entah mengapa aku sebengis itu. Rasa itu
kembali muncul dalam benakku, sejenak aku memikirkan
semua kelamku dan akhirnya aku merdeka, aku kembali ke
rumah dalam waktu 25 detik. Sungguh kecepatan luar biasa
dari jarak satu bulan yang berkilo-kilo jalannya, sampai
mengitari pulau Jawa dan Bali selama 29 kali. Takjub,
terheran-heran. Pastikan kalian jangan membayangkan,
kesungguhan batin hanya terpusat pada keagungan Sang
Pemberi Kegilaan padaku. Bayangkan saja percikan air kopi
yang menggelapkan siang hari, dan segumpal busa-busa cucian
motor yang menerangi malam hari, kemudian senja dan fajar
bersepakat memakan kopi dan meminum busa. Sudah kubilang
jangan bayangkan, nanti kau menjadi anggota keluargaku yang
gila. Sudahlah, mari kita sambut ketidakwarasan bunglon yang
menenggak kertas 2 rim sekaligus, dan akhirnya ia terkenal
dengan julukan Master of Absolute from Crazinisme dengan
mengemukakan teori kolektivitas absurdis dan geometri, yang
tertulis di dalam tesis kelimanya.
“...sebenarnya kegilaan adalah kemiringan yang bergaris-
lurus pada simpangan posisi semula otak, sementara
persentase kewarasan berada pada IQ = 75-100 pada orang
dewasa, berada di titik koordinat x=0 dan y=1, seimbang
namun miring ke kanan. Jika perhitungan kegilaannya
seseorang tidak melebihi titik koordinat senilai x=-1 dan y=2 ,
maka kemungkinan besar akan terus gila apabila terus-
21
menerus tergerus oleh sikap-sikap absurd dan gejala abnormal
seseorang. Maka dari itu, orang yang sering berperilaku
abnormal tanpa ada faktor-faktor psikologis, bisa dipastikan
bahwa ia gila, entah gila kepada diri sendiri, asmara, materi,
bahkan sampai gila cintanya Tuhan.”
Bunglon memang gila, ia mampu menciptakan sebuah teori
ketidakwarasan, dan menjadi skala perbandingan terhadap
diriku dengan monyet-monyet yang setia kawan. Apakah aku
harus mengikuti teorinya? Antara iya atau tidak semakin tak
menentu, bahkan tak ayal lagi aku akan terhanyut oleh teorinya.
Heran sekali, seekor binatang hutan pun mampu, mengapa aku
yang berkategori manusia paling aktif dengan kegilaan tak
mampu menciptakan? Ah, sampai rumah aku langsung
membuka laptopku, kemudian menuliskan sepucuk surat yang
kususun sudah berbulan lamanya, karena objek pengiriman
sudah dipeluk oleh kawula yang sejati, yang akan diangkat
menjadi Adipati. Aku menyerah. Aku kembali memerah, bak
permen-permen yang berubah warna, berkamuflase layaknya
bunglon jenius ini. Ia termasuk yang paling aktif dalam
kehidupanku, ia adalah motivator kegilaanku, juga penunjuk
arah kemana aku harus pergi dan pulang. Hal yang paling aku
suka darinya hanyalah kesunyian dan kekosongan batinnya dari
sikap-sikap pesimistis. Berwarna-warni jiwanya, hingga
membingungkan banyak orang, tetapi ia lakukan hanya untuk
membahagiakan sukmanya yang relatif, kadang negatif kadang
positif, aku yakin pasti banyak negatifnya, tiap malam pasti
bertapa di atas dinding kaca di depan balkonnya yang masih
kinclong. Wah, andaikan saja aku tinggal serumah dengannya,
entah apa yang akan kulakukan. Mungkin dengan bermain
domino, atau catur, bahkan main congklak di meja makan?
Bunglon tetap bunglon, cerdas berintelektual, hanya butuh
waktu singkat untuk bercengkerama dengannya. Tepat 20
menit, aku kembali ke sukmaku sendiri, dan meneruskan hari-
hariku bersayang-sayangan dengan dokter yang sangat ahli.
Bunglon berjuta warna, teman dekatku selama di hutan
belantara dekat sungai Kapuas. Dia adalah petarung tangguh,
sedangkan kepintarannya hanyalah bayang semu yang ia
sembunyikan meski ia tak pintar menyembunyikan sifat. Ia
hanya bisa bersembunyi di balik sendu dan bahagia. Hanya
sepintas kata-kata takjub ketika ia bermain kata, cerdas dan
cadas. Tak bisa kubayangkan betapa warna-warni bunglon
membuatku tak sadar diri bahwa keyakinan pada diri sendiri
sama saja membunuh persepsi orang lain terhadap dirimu
sendiri. Andaikan sifat percaya diri itu tidak ada, maka yang
ada hanyalah kebisuan dunia. Keyakinan dan kepercayaan
22
hanya beda tipis. Keyakinan adalah berusaha meyakinkan diri
untuk maju, kepercayaan adalah percaya bahwa dirinya mampu
untuk maju. Dan aku berada di titik tengah, tenang dan damai.
Plus minusnya hanyalah terpinggirkan. Semoga lebih baik,
semoga ada keberkahan di balik titik jengahku ini, hanyalah
doa-doa pada ibuku, ayahku dan saudara-saudara seantero
dunia. Dialah bunglon, berkencan dengan warna, bermain
dengan kata-kata.
Selesai berdoa dalam altar yang sunyi, tiba-tiba aku mendengar
suara dari depan,
Tok.. Tok.. Tok.. Bunyi ketukan pintu terdengar sampai
kamarku di lorong belakang sendiri. Ini bukan mengetuk, tapi
menggedor. Siapa sih jam-jam waktunya burung berhubungan
ini malah ada tamu. Aku hampiri pintu itu, dan kubuka pintu...
Aku dikejutkan dengan kotak-kotak yang bervariasi. Siapakah
pengirim kotak ini? Aku jadi heran. Langsung aku masukkan
ke dalam rumah, takut banyak yang curiga kalau kotak tersebut
berisi makanan, nantinya malah repot tetangga pada ngomel
minta makanannya. Kalau pun isi kotak itu adalah beberapa
kode, mungkin aku sangat antusias karena kelebihan dan
kekurangan aku sendiri berada di titik terendah kehidupan
Newton, dimana ia tak kenal menyerah untuk membuat suatu
teori fisika yang akhirnya menghasilkan sebuah teori yang
dikenal dunia. Wah, bahaya pula ini. Ketika kotak aku
masukkan, tiba-tiba suara gesekan biola berbunyi di sayup-
sayup ruang tengah, padahal hanya ada aku sendiri, terdengar
suara biola dan gesekannya lembut sekali, menenangkan telinga
sampai gendang telingaku ingin menabuh mengiringi alunan
musik klasik. Merinding, iya. Tapi aku menikmati kesunyian
yang sedikir menyeramkan, wajar saja rumah ini tadinya
kosong dan penuu canda tawa keluarga iblis. Iblis yang anggun
dan molek bak bintang film Hollywood, sebut saja dari era
film-film action sampai family semuanya kalah anggunnya
dengan iblis yang sangat menggoda. Kerap menggodaku setiap
aku menikmati kopi di malam hari.
Gesekan itu semakin keras semakin nyaring, aku hanya acuh
saja. Aku ingin segera tahu kotak ini, ada 4 kotak berbeda
warna, putih, merah, biru, hijau. Dan aroma kotaknya juga
berbeda-beda, yang paling wangi dari kotak putih yang
lumayan besar, sekitar 30x15 cm, yang lainnya bisa ditebak
dari aromanya pun isinya apa. Benar saja, hanyalah selembar
kertas kosong di dalam kotak warna putih, selanjutnya kubuka
kotak merah, aku bersumpah ini pasti kertas lagi, dan tap!
Benar tebakanku. Kertas kosong dan satu buah bolpoin. Kotak
biru semakin buatku deg-degan, seperti buku tulis tapi setelah
23
kubuka hanyalah sebuah hardcover dan kosong sama sekali tak
goresan tinta sedikitpun, kotak terakhir yang buat aku gemetar
karena muncul alunan piano mengiringi suara biola dengan
tempo nada Allegro, wah sudah seperti backsound-nya film-
film mistis. Taraaa!! Hanya sebuah kertas, tapi di belakangnya
tertulis sebuah kutipan,
“Mau makan kertas dan minum tinta atau mati dimakan kertas
dan tinta?”
Pesan singkat hanyalah puncak kebahagiaan, asumsi kalian
berpatok pada sinyal menyeramkan, bahwasanya mati di
tumpukan kertas adalah sebuah ironi yang sangat dihindari
semua manusia. Semuanya pasti tak mau mati konyol, semua
hanya ingin mati dengan cara baik, tanpa menata kehidupannya
dengan baik. Semua ingin hidup baik, tetapi melupakan
kebaikan yang selama ini diajarkan. Sama juga bohong. Tatkala
sekolah, memiliki cita-cita, memiliki potensi dan kemampuan,
tetapi tak pernah ada potensi yang menumbuhkam bahwa itu
benar-benar dari dirimu sendiri. Yang sering muncul adalah
ketika passion-mu kau ubah dengan cara kapitalis. Meraup
keuntungan yang banyak, sehingga kau lupa dengan butir-butir
kebaikan dari rahim ibu. Sudahilah semuanya, kembali pada
fitrahmu sendiri yang benar-benar dirimu.
Dan ingatlah, bintang-bintang tak bisa memeluk jiwa-jiwa yang
abu-abu, tak bisa mencumbu bagian sayap yang ganjil, hingga
setan-setan enggan menyampaikan godaan, jika bunga mawar
merubah sukmanya sebelah bunga seroja. Dan ingatlah, jadilah
manusia yang utuh, jangan sampai monyet dan bunglon
berubah menjadi manusia atau pelangi, jangan deh, yang timbul
hanya kesengsaraan hidup dan pesimistis dalam menjalani
hidupnya. Habis sudah waktuku untuk menata pikiran dalam
kotak tersebut, akan aku buat apa kertas, pulpen dan hardcover
ini. Anugerah-Mu pasti terbaik,Tuhan. Putuskan saja untuk
menulis kegilaanku. Kamar gelap kuisi dengan catatan
observasiku, apalah daya aku hanya senang menuliskan
kegilaan daripada harus terbuai dalam keilmuan yang hakiki,
yang tidak bisa didiskusikan sama sekali oleh kaum sudra.
Sosial-budaya hanyalah kepastian hidup, kelangsungan hidup
dan tujuan hidup manusia. Mari kita awali dengan menyebut
nama Tuhan.
45 menit melayang, aku kembali pada ingatanku.
***
Sebenarnya hanya bayang semu yang kupinta, hanya belaian
kaktus yang seringkali memelukku. Aku tahu inikah rembulan
24
atau buana? Aku tak tahu. Inikah yang disebut dengan
perfeksionisme pilihan antara memakan darah beku atau
menelan wiski yang kenyal? Aku tak tahu. Malaikat kembali
membelai ubun-ubunku,
“Tenanglah, tenanglah, munculkan, tegakkan, lakukan,” suara
lembut membisiki telingaku sampai membuat gendang
telingaku menari-nari.
Aku tak ingin lama-lama dalam lamunan, pasti aku semakin
gila ini. Dan pastikan saja bahwa aku masih tetap pada garis
stagnan yang berorientasi pada pertumbuhan edanisme
manusia, akhirnya sukses. Seraya memusatkan pikiranku, aku
sambil melambai pada daun-daun yang ceria, dan memastikan
bahwa aku harus menghubunginya. Iya, aku ingin memastikan
dia masih sama seperti pertama aku kenal, dokter yang cantik,
yang renyah senyum dan tertawanya. Semasa itu, ia masih
magang PPL di rumah sakit ternama di Pekalongan, saat itu aku
masih lajang dan fase awal kejalanganku. Entah ilham dari
mana sampai aku dipertemukan, ah terserah Gusti aja deh,
ngapain aku protes. Skenarionya asik banget. Gila! Parah!
10.05. Ponselnya berdering,
“Halo, kamu lagi, ada perlu apa nih?”
“Iya nih Dok, aku mau konsultasi nih,” ucapku berbasa-basi
untuk COD nanti siang.
“Iya monggo, Mas. Ada keluhan apa? Biasanya kamu ngajak
aku makan malam, tumben sekarang mau konsultasi.”
“Gini, Dok. Obat darimu sudah habis, boleh minta yang lain?
Kayak semacam Coca-Cola atau Wedang Jahe lah, masa tiap
hari minum pil mulu,” kataku mesra dengannya, ia elegan,
cantik.
“Lah Mas-nya mending kesini aja deh, ngapelin aku di klinik.
Sekalian bawa kopi Tombo, aku pingin ngopi nih,” candanya
memang enggak karuan, ini dokter apa artis dagelan?
Kayaknya dia gak lolos SUCI jadinya stres, akhirnya kuliah
kedokteran biar sembuh.
“Oalah, wedhus, ya sudah aku kesana, dandan yang cantik,
jangan ngecewain pasien dong. Masa dokternya kusut,
pasiennya udah ganteng gini.”
“Iya iya, siap deh. Ojo lali lho, Mas.”
Tutttt...
25
Nada cueknya kembali ia lontarkan, tak ada balasan lagi selain
mereject teleponku, dasar dokter rada-rada gila nih. Untung aku
punya dokter sepertimu, sudah cantik, manis tapi sayangnya
kamu ini bukan dokter yang serius, kamu hanyalah bagian dari
sel-sel aktif di tubuh granat, yang sengaja kusimpan untuk
meledakkan seisi kamarku yang redup. Silahkan kalian
membayangkan bagaimana relasiku dengan dokter cantik,
mungkin kalian akan membayangkan dinner orang gila di kafe,
atau di warung lesehan, selalu memecah dua per tiga malam
kaum pendiam dan pemikir, sementara kita adalah ledakan bom
nuklir empat kali lipatnya tragedi Hiroshima dan Nagasaki.
Sakit kepala waktu itu, kubalut dengan pipa bekas milik Dinas
Pemadam Kebakaran, dan aku menghampirinya di klinik
Sumber Waras. Iya sih namanya benar, tapi dokternya yang
nggak bisa waras jika denganku. Sifat manjanya adalah 0,1%
dari jumlah wanita yang manja di Amerika Latin dan 0,09% di
Asia Timur. Kelainan yang ia dapatkan tidak jauh dari tawaku,
mengusik sebagian kewarasannya.
“Woi, nih kopimu! Cepet bikin, sis.”
“Huu, lama amat kayak siput pincang, duduk dulu. Untung sepi
kliniknya, kalau rame bisa malu aku kedatangan pasien dari
kelompok peduli orang gila,” gerutunya lucu, kesalnya malah
membuatku tertawa. Asyik ya, tidak pernah ada dokter gila
yang mengobati orang gila, kecuali dia.
“Iya, ini aku udah duduk, terus ngapain lagi?”
“Nikah!”
“Kamu tuh ya, enggak mau pacaran dulu, masa mau nikah
langsung,” celetukku sambil memandangi figura yang berisi
tulisannya yang seperti cacing kecacingan cacingnya cacing.
“Hahaha, ogah punya suami gila, nanti aku nambah obat
depresan.”
“Aku juga nggak mau punya istri cantik.”
“Lho? Kenapa?”
“Malah berbahaya, bisa-bisa aku kesaing cantiknya, tubuhku
mulus gini masa mau nikah sama yang lebih elok dan eksotis.”
“Hahaha, aku suntik baru tahu kamu,” katanya sambil mencubit
pinggangku.
“Ampun, Dok, ampun!”
Sejujurnya hanya dia yang melipurku setiap aku terkena titik
padam, iya, seorang dokter memang harus gila, gila agar
26
pasiennya terpengaruh dengan canda tawanya agar pasien tak
merasakan kepanikan dan kesakitan saat diperiksa. Setelah dia
menyuguhkan kopi khas Batang. Kami mulai berbicara serius.
“Begini, sebenarnya aku bukan punya keluhan penyakit atau
luka-luka. Tapi, ini lho pikiranku kayaknya harus direnovasi,
Dok. Udah mulai kempes.”
“Lho? Kenapa? Kamu mikirin apaan emang?”
“Nggak tahu nih, masa depan aja kayak petromak, terang
sebentar padamnya lama.”
“Hmm, keluhan pikiran lagi? Masih trauma? Atau kurang
makan ikan nih?”
“Emang aku kucing? Ya tapi bener juga sih ada baiknya makan
ikan.”
“Ya sudah, besok ke rumahku ya, kebetulan aku libur periksa.”
Akhirnya aku menganggukkan kepala, tanda setuju dengan
dokter cantik ini. Romansa apalagi yang harus aku dustai?
Keharmonisan mana lagi yang harus kuingkari? Nikmat mana
lagi yang harus aku dustakan? Mengulang-ulang kata-kata
sudah 21 kali, karena bentuk syukurku. Percaya atau tidak,
selanjutnya hanyalah tangan kosong yang kuisi dengan
segenggam cinta-Nya.
8 November 2018
Tersisa serpihan kaca di bajuku, bekas jerapah yang
menabrakku semalam, saat aku pulang dari klinik itu. Entah
kejadian apa lagi yang harus kualami, bernyanyi dengan
monyet, bercerita tentang bunglon, berkencan dengan dokter
gila, dan malam itu ditabrak jerapah yang angkuh. Absurd deh
absurd.
Menikmati hidup yang tidak ada habisnya untuk bersyukur,
tatkala rembulan menjadikan mimpi seorang yang selalu meniti
waktunya untuk bersikap facedown. Menundukkan kepala
untuk menghormati adalah kebiasaannya. Menapaki jejak
malaikat adalah kesukaannya, mencari jejak-jejak mesra dari
lamunan pohon pinus yang melambai-lambai. Menampilkan
jerami yang tumbuh tegak di antara rambutku, setelah aku jatuh
hati dengan dokter itu. Ah, kau jatuhkan lagi, kali ini aku tak
boleh jatuh, aku harus tertidur. Ketukan di atas keyboard
membisingi seluruh telinga kota, tikus-tikus yang risih, kucing
yang kelayapan hingga burung hantu yang terbangun dari
tidurnya, disebabkan karena kegilaanku, Kasih. “Oh Tuhan,
ngopi yuk, sekali-kali kencan di Kafe gitu, masa di pantai
27
terus, masuk angin dan meriang ini. Aku jadi enggak fokus
kerja.”
Aku duduk di atas lamunan sang penyair, asal kota Lama,
Cassablanca tepatnya di daerah Maryokarso Notonegoro, atau
biasa yang disebut dengan Maroko. Dia adalah penyair yang
sangat gila akut, dua tingkat dariku stadiumnya. Kalau kalian
pernah melihat orang suku Dani, di lembah Baliem sana,
penyair ini salah satu penikmat budaya mereka sehingga ia
sering ke Indonesia dengan alasan riset dan bertemu dengan
kanibal-kanibal dan gento-gento sepertiku. Di ujung
angkringan, dia dan aku berbincang mengenai senja yang tak
mau pulang, ia tersendat oleh macetnya biaya tiket pulang ke
matahari, jujur saja Anda pasti membayangkan kalau senja di
sore hari tampak lebih lama, rembulan menganggur dan
bintang-bintang menunggu sambil bermain gaple dan domino.
Semenjak itu, senja mengirim pesan SMS kepada matahari,
“Woi, ini mahal banget tiketnya! Penyiksaan banget ini, baru
tahu kalau tarifnya segini, biasanya enggak segini nih,” kesal
sang senja dengan melotot memperlihatkan nota tarif
pembelian tiket kereta api tadi siang.
“Lah wong emang harganya udah segitu, Mas. Kalau mas mau
tiket murah, noh tiket odong-odong, mau? 5 juta satu album?”
“Wuhh malah guyon, serius to, Pak. Ini gimana? Aku mau
pulang, istriku sudah lama enggak dapet jatah makan udah 50
menit lho belum makan dia.”
“Gendheng, wedhus, aku tuh gak guyon, Mas, emang semua
harganya tiket udah mulai naik, dasar enggak pernah liat
berita.”
“Lah wong beritanya gak ada yang lucu, masa beritanya cuma
itu-itu aja, paling yang lagi rame antara dibaca atau ditulis.
Udah itu doang, Pak.”
“Wuhh dapurane pancen, udah udah sebentar lagi berangkat,
kamu mau pulang apa enggak?”
“Ngutang dulu, besok aku bayar! Sumpah, cepet Pak.”
“Bener lho, besok bayar langsung kontan. Titik.”
Akhirnya selesai sudah. Senjanya pulang, bintang-bintang
malah ketiduran, rembulan asyik-asyikan saja di atas langit
hitam dan biru. Syukurin kamu, malah tidur bukannya bangun
terus ngasyikin orang-orang, sebentar lagi ada harimau lewat
langit lho, buruan keburu kalian diterkam.
28
Begitulah cerita kami, aku tak ingat bagaimana kelanjutannya,
penyair prosais terkenal dengan ceritanya yang berjudul
“Berjudi dengan Malaikat dan Iblis", dari cerita itulah aku jadi
makin gila, ternyata kegilaan itulah sebenarnya kebahagiaan.
Kita bebas melangkah kemana pun kita mau, kita bebas
mengarahkan tubuh kita mau menuju kemana, kita seimbang.
Waktunya menghadap Tuhan, ya mandi dulu pake baju yang
bagus, rapi dan wewangian, namanya juga mau ketemu
kekasihnya ya harus stylish. Setelah menghadap Tuhan, ajaklah
Dia menjadi teman setiamu, dengan menyebut nama-Nya terus
menerus sampai kamu tidak hafal namanya karena namanya
sudah terlarut dalam manis jiwamu. Kok manis? Nah orang
putih jiwanya kayak susu sapi yang dikasih jahe dan gula aren.
Mantap tenan, lhim!
Setelah bercerita tentang indahnya kegilaan hidup, maka kami
memutuskan untuk kembali ke jiwa masing-masing. Aku tahu
saat itu adalah pertemuan terakhirku dengannya, aku ingin
sekali dibawa pulang oleh dia, agar aku tak bisa merasakan
kenormalan dalam hidup. Hidup normal hanyalah kenyataan
yang fiktif, kehancuran yang lembut hingga keluhuran yang
singkat. Absurdis dan kaum Crazinisme telah menyeburkan
beberapa kawat-kawat yang terpampang di atas tembok
pembatas bukan penghalang untuk para pencuri, tetapi untuk
variasi rumahnya karena tak ingin menghiasi lampu karena
sudah ada lilin, makanya ia membeli kawat saja. Praktis dan
gampang diisi ulang.
Telegram-ku berdering, eh ternyata kamu, ketagihan kayaknya
setelah kutinggalkan. Aku tak mengangkat telegramku tanda
sedang ditelepon. Aku mengantuk, aku ingin tidur di atas
kolam renang Dufan, sambil minum susu jahe khas
Yogyakarta. Dan kembali menuliskan ayat-ayat kegilaan yang
dideklarasikan menumbuhkan kesucian kopi yang hitam, dan
membersihkan air jernih di pelupuk mata.
Aku ingin meminum darahku sendiri, aku ingin mencabut
otakku dari kepala yang tak pernah bisa menunduk, aku ingin
jiwa ini kembali pada semula, kuingin, Tuhan... Aku ingin
semuanya tak lagi terjadi padaku, haruskah aku mensucikan
diri, haruskah aku mendeklarasikan bahwa aku adalah
kebenaran. Tidak! Kebenaranku dan kesucianku hanyalah
ilusi, hanyalah citra yang tak natural dan angkuh, kuingin
hitamku memelukku setia, kuingin dosa-dosaku kembali
berkobar di setiap waktu. Maaf, Tuhan. Pengampunan-Mu
besar, kasih sayang-Mu halus dan agung, manusia sepertiku
hanya ingin di pelukan-Mu, hanya Engkau yang mau
menerimaku dalam kehitaman jiwa, aku tak ingin putih, aku
29
lebih nyaman hitam tetapi tak pernah berhenti kusebut nama-
Mu, kusebut syukurku pada-Mu, atas nama cinta Tuhan, aku
mencintaimu dalam kehitaman dan kepekatan jiwa yang
seperti cairan aspal dan nikotin. Tetapi, aku mencintaimu
setiap waktu, seperti Engkau mencintaiku setiap waktu aku
hidup dan mati.
Kata-kata terucap otomatis. Entah dapat darimana aku
mendadak bermonolog? Ke-absurd-an yang ke 129 telah
menciptakan sebuah fatwa kehidupan bahwa tidak ada rasa
syukur yang luntur, bagaikan kain batik motif tulis canting
yang sudah dijemur. Begitulah kehidupan, melunturkan artinya
membunuh dirimu sendiri, memudarkan hanyalah menghapus
sebagian otakmu, sebagian jiwamu juga menghilangkan bulu-
bulu yang ada di tubuhmu yang anggun. Kepiting-kepiting
berenang di lumbung padi, menanti serdadu kodok yang sudah
menyusun pertemuan seusai maghrib, melalui WhatsApp-nya
ia menceritakan banyak hal yang harus kita makan, kita kelola
di dalam lambung yang menggoda para bidadari di dalam
jantung yang membara. Sebuah nota terwangi di alam raya,
pasukan kepiting menyalamiku dan memberikan nota padaku,
haruskah aku kembali menginap di kemerdekaan lorong-lorong
candu, haruskah aku kembali mengiris baja-baja yang semakin
mengelabui cantiknya bunga Rafflesia? Aku tidak akan pernah
berhenti, saatnya mengabdi dan goreskan segala lipstik
berwarna, goreskan beberapa saus dan kecap untuk kembali
berdansa di balik prahara.
9 November 2018
Aku kembali dalam normalku. Aku menghubungi wanita itu
setiap saat, dan hampir setiap jam aku melewati hari
bersamanya. Walau terpisah jarak yang jauh, dan kedekatan
yang berbanding 1:3, aku belum memberanikan diri untuk
mengatakan bahwa aku menginginkannya. Bagiku, terlalu
cepat, tetapi aku tak bisa menahan. Akhirnya, aku putuskan
untuk membebaskan ia bersamam lelaki lain. Sungguh apa
yang ada dalam pikiranku. Aku mengkhianati Penciptamu,
Kasih. Namun, itu ssmua agar aku tenang menjalani kegilaanku
padamu, pada-Nya. Maafkan. Mungkin aku lebih
membutuhkan ssjuta pasang mata untuk memakiku,
menghinaku hingga menusuk jiwaku yang pesimis dan
traumatik.
Mengapa aku harus pesimis terhadapnya? Apakah aku tak
pantas mendapatkannya atau takut karena tanggungjawab
mencintai wanita? Membosankan memikirkan itu, darahku
berhenti mengalir waktu itu, dan kembalikan aku dalam lelapku
30
yang lama. Hibernasi selama 13 jam lamanya, aku terbangun
oleh riuh angin yang kencang, aku terkejut oleh nirmala yang
datang menyergapku. Tanyakan hal yang membuatku pilu dan
kelu, ada apa gerangan? Aku terpasung oleh sebuah harapan
yang ingin aku ungkapkan dan sampai saat ini aku hanya
membatalkan rencana, sekiranya aku bisa untuk lebih lama
belajar mencintai, terutama mencintai kegilaanku sendiri. Aku
takut. Sangat menyeramkan berhadapan dengan pucuk-pucuk
cinta yang membuatku terpana. Aku relakan engkau
melukiskan bulan sabit di atas mataharimu. Kasih, mengertilah,
lelaki pengecut bukanlah yang tak memberanikan ungkapkan
perasaannya, melainkan ia hanya tak bisa memegang lembut
tanganmu dengan sentuhan klasik, dengan belaian yang amat
puitis sehingga lelaki ini hanya mampu berdiam diri di dalam
gua yang penuh kebisuan. Akhirnya, aku, kau, dan sebait
kenangan telah kurangkai dengan sajak-sajak,
32
tidak baku, keharmonisan yang palsu, hingga membuat diriku
tak bisa bangkit lagi. Maafkan.
33
Sembari aku membuat kopi, ada rasa ketenangan di batin, entah
ini perhitungan ala Socrates atau publik Tarumanegara yang
berkata tentang kegelapan jiwa hanyalah sebuah bintang, dan
sayup-sayup mawar kembali menghilang di belatimu. Artinya,
kita tak bisa menghilangkan dosa dengan dosa, kita tak bisa
menambah dosa dengan dosa, hanya kita bisa memperkirakan,
bukan menghitung. Kita tak berhak menghakimi diri sendiri,
kita tak berhak mempersempit jiwa dengan pahala dan dosa.
Andaikan pahala dan dosa adalah notasi yang ada rumusnya, itu
akan berakibat fatal, bisa jadi teori matematika hanya untuk
menghitung keduanya, apalagi mempelajari peluang
menyebabkan kepiluan Tuhan karena hak-Nya sudah direbut
oleh manusia.
Air panas sudah siap. Saatnya menyiram bubuk kopi, dan
aromanya sampai penjuru ruang tamu. Harum, nikmat dan
tambahan gula aren semerbak berharmoni. Aku siapkan dengan
roti panggang yanh aku hangatkan, dan aku melihat dia sedang
asyik membaca bukuku. Aku pura-pura diam saja duduk di
depannya.
“Hmm, Noto, ini kopimu harum banget, sampai sini.”
“Ya iyalah, kopinya kaum sudra ya gini.”
“Hoo, kirain masih di dapur, aku udah teriak-teriak terus,”
katanya sambil mengacak-acak rambutku. Kebiasaannya yang
tak bisa hilang sejak aku bertemu dengannya di bilik perawatan
intensif, ketika ia sedang PPL. Ia gemas melihat tingkahku, dan
sebutkan saja apa yang ingin kalian katakan melihat suasana
seperti ini. Aku bukan pasangannya, aku hanya sel aktif yang
melengkapi kehidupannya.
“Ya sudah nih, diminum. Keburu hangat lho, gak enak.”
“Loh? Ada roti juga?”
“Antisipasi kalau kamu belum sarapan. Lagian perawat harus
selalu sehat dan semangat, ‘kan?”
“Soktau kamu!” gerutu sambil tertawa.
Asyik melihatnya, gemuruh angin di padang pasir selalu
mencoba menjatuhkanku. Aku tidak akan mati, meskipun
sudah berganti-ganti raga dan kepala. Aku hanya ingin
semuanya berjalan abnormal. Semuanya berjalan tanpa ada
persepsi lain yang membuatku tak ingin lagi hidup, semua
berjalan semestinya. Tak ada lagi pengekangan atau paksaan
untuk pilihan, aku ingin seperti ini. Aku ingin semuanya
tentang wanita, iblis, setan, hewan, dan Tuhan selalu
34
mengiringi hari-hariku yang sangat tak wajar. Aku ingin,
Tuhan.
“Jadi gini, Dok. Aku jadi mikir tentang bagaimana sih buat
ngelurusin niatku buat hidup, aku tuh kebingungan sampai aku
hampir depresi lho, gara-gara mikirin hidupku ke depan?”
“Ya tinggal kamu punyanya apa, lakukan. Kamu ingin apa
lakukan aja. Jangan mikir yang jauh-jauh dulu, lagian kan
kamu sudah tahu apa masa silammu? Gimana rasanya?
Mestinya kamu perlu refresh dulu, kosongin dulu, sebelum
kamu mau mengisi hal-hal yang berat, jangan ditumpuk
langsung.”
“Nah itu yang aku bingung, gimana cara refreshnya? Apa
dengan jalan-jalan? Kalo sama kamu sih aku mau banget,
malah lebih cepet, hahaha.”
“Tapi terima konsekuensinya.”
“Apa tuh?”
“Memberi makan pada pekerja profesional.”
“Hoalah jangkrik! Kalo itu sih bisa diatur di malam minggu
nanti.”
“Haha! Kalau cuma itu sih boleh-boleh aja, tapi kalau ada yang
mengebom kita, bagaimana?”
“Bom balik pakai kentutmu!”
“Dapurane rek! Hahaha!”
35
asyiknya masa kecil kita dahulu, ketika ia berani berenang di
lautan limbah yang bercahaya dan angkara murka. Ia hanyalah
wanita dari 278 wanita di desa yang memberanikan diri
menjadi seorang autentisi yang mendominasikan dirinya
dengan sebilah bambu.
11 November 2018
36
kembali pada gerbong cahaya yang tiada habisnya. Gerbong-
gerbong impian para penikmat sarapan pagi di bawah pelangi.
Hingga kibarkan bendera kebanggaan di atas tatanan planet
yang semakin menggebu, tetap kita adalah butiran paair yang
tak terpakai. Kita tetap hanyalah jaring-jaring yang harusnya
terbuang, kita adalah kerumunan lalat yang sedang didoakan
supaya moksa kita berjalan dengan baik dan berhasil
menghadap Tuhan Maha Agung. Bisakah kita kembali, Tuhan?
Bisakah kita menuju ke pelukan hingga datang sebuah
senyuman yang begitu indahnya? Aku yakin, bisa.
“Hei, sudah lama tak bertemu, sampai kamu lupa dengan apa
yang aku inginkan?”
“Apa itu? Kayaknya kamu nggak nitip deh.”
“Enak aja, aku nitip pesan sama kamu sebeluk kamu dijemput
burung-burung merpati.”
“Enggak ah! Kamu ngigau ya? Atau jangan-jangan kamu
mabuk laut? Gara-gara kemaren abis rapat coral and plants di
Karimun Jawa? Hayoo.”
“Gundulmu! Coba kamu ingat siapa yang nitip bawang hijau
dan jagung warna oranye?”
“Semprul! Mana ada, bung! Mati muda aku nyariin
ambisimu.”
“Lah kamu salah sendiri mengiyakan, tadinya kan kamu bisa
nolak,” serunya kepadaku.
“Kenapa kamu nggak ngingetin sih?”
“Nah ini ngingetin.”
“Bukan, bung! Yang itu.”
“Yang itu mana?”
“Itu teori penolakan secara halus.”
“Ya nggak aku kasih tahu, nanti kamu gampang bohong sama
aku. Ini hanya khusus buat orang-orang gila.”
37
“Hoalah edan tenan pancen! Ya sudah nanti ikut aku plesir
lagi,” gerutuku sambil menyalakan korek api.
Hari ini dingin sekali, untung stok kopi si Bunglon masih ada,
dan aku masih menikmati aroma segar tubuh ibunya dan
kembali bersua dengan rokok kretek yang masih tersisa di tas.
Syukurlah dia memberikan rokok padaku, dia tahu aku suka,
dan dia tahu bahwa kepuitisan seorang perokok ketika ia
melantunkan kalimat indah di meja makan setelah ia menamam
tembakau di pagar besi milik pemerintah setempat. Memang
seperti bajingan, dan memang bajingan sih, tetapi bukan
pencuri atau perampok, ia hanya menikmati kebebasan, bukan
materi semata yang didapat dengan cara-cara kriminal.
38
Sajak-sajak itu kembali menuai pikiran, dalam benakku inilah
kehidupan? Jauh mata memandang memproduksi kesenyapan?
Di dalam palung janji-janji belaka tak terelakkan. Di kemudian
hari kita harus melawan atau berdiam di pesisiran, jangankan
bergerak satu lengan, lima puluh meter pun enggan. Padahal
hanya berjarak 30 cangkir kopi, tetapi kau memilih berdiam
diri, di kamarmu penuh kreasi, atas tangan-tanganmu yang
penuh karya tanpa bertepi. Aku harap hanya engkau, aku hanya
berharap suara parau, yang membinasakan diriku dalam putih,
menghanyutkanku dan tenggelam dalam kasih. Aku
merindukan, masa-masa dan lamunan, di mana hanyut dan
hujan, kembali pasa diriku bertuan.
39
“Biasa nih, semedi!”
“Ada-ada saja kau ini, ayo pulang.”
“Sebentar lagi, Bung!”
***
“Halo, To, dimana kamu?”
“Biasa nih, di rumah? Ada apa, Nin?”
“Temenin aku ke Jogja yuk! Nyari obat.”
“Aku sih ayok aja, berdua?”
“Masa sama kambing muda? Ya berdua lah!”
“Aku sih terserah, kapan?”
40
“Ini aku di depan rumahmu, keluar aja deh. Jangan lupa tapi,”
katanya belum selesai, aku langsung mencegatnya.
“Hmm kopi kan? Iya aku bikinin, tenang aja.”
“Eh bukan! Itu barang-barangmu, To, jangan lupa bawa.”
“Yaelah, oke deh buboss!”
41
tahu lagi untuk apa kita pergi, untuk apa kita menghabiskan
beberapa jam di atas aspal-aspal tak berantakan ini. Aku yakin
ini adalah sebuah pilihan untuk tetap pada perjalanan atau
justru memindahkan diri ke tempat semula. Andai saja ada
keinginan untuk menelepon iblis, aku sudah lakukan itu.
Namun mengapa aku tak bisa, seakan-akan terpasung, seakan-
akan terbuai lamunan indah sang putri cantik ini. Ah, jalan
pikiran mrmang menyenangkan tapi tak bisa terwujudkan
secara sempurna.
“Nin, mampir warung yaa. Laper nih aku, isi ulang bahan
makanan juga buat supir pribadimu hahaha.”
“Ke mana saja supir berpijak, aku selalu menurut.”
“Aku mampirin ke jual obat nih, mau?”
“Obat apaan emangnya, To?”
“Obat buat orang gila!” teriakku pas perjalanan.
“Huh! Dasar krupuk keanginan! Hafal juga ya kamu hahaha.
Aku gampar lho kalau sampai mampir kesitu, ntar aku disangka
emakmu!” katanya lantang serupa nada marah.
“Ampun mak ampun!”
42
melakukannya. Mudah, cukup tambatkan kata sumpahmu dan
bertekad tidak ada yang boleh kehilangan senyumnya walau
sedetik walau saat tertidur. Terima kasih, Tuhan, saudara gilaku
yang Engkau ciptakan, berkali-kali menghantarkan kesejukan
dalam jiwa, dan semerbak harum cinta semakin mengasyikkan
hari-hari kita.
Beribu toko dan outlet aku cari, tetapi tidak ada yang
diharapkan oleh dokter itu, ke mana lagi harus kucari, aku
hanya hafal segelintir saja dan menanyakan 148 orang di pasar,
di gerai-gerai sampai tukang becak dan ojek pun aku tanyai
tentang obat yang dicari. Nihil. Tidak ketemu, ada raut sedih di
matanya, ada senyum terbalik di bibir mungilnya. Anindya,
bersabarlah, kiranya aku tak bisa mengantarkan dan
menemukannya, masih ada bunglon dan monyet yang siap
membantumu. Maafkan aku.
43
hingga berakhir di pantai Parangtritis, nikmati penat dan
lelahku bersamamu. Nikmatilah, Anindya. Nikmatilah.
“Kalau tidak ketemu, lebih baik kita pulang saja, To. Aku tahu
kau lelah.”
“Tak apa, Nin. Ini juga buat menikmati lelahku, jadinya aku
nggak kerasa capek.”
“Beneran, To? Kamu nggak apa-apa, kan?”
“Santai aja kali, Nin. Yang penting aku bisa menenangkan
batinku dan kamu juga.”
“Terima kasih, To. Kalau aku nggak ajak kamu, aku tambah
gila kayaknya.”
“Kamu kan sudah gila, ngapain pake embel-embel
‘kayaknya'?”
“Mau aku gila beneran?”
“Jangan dong, kalau kamu gila beneran, nanti aku nikah sama
siapa?”
“Apa hubungannya? Dasar semut kerupuk!”
“Daripada kumis kucing, hahaha!”
“Dasar kamu, To!”
“Dasar apa? Lautan?”
“Dasar gila, hahaha!”
44
kunikmati sampai anak-cucu. Di kemudian hari, median dalam
jangka di lapisan otak semakin membentuk lingkaran, tak
berbentuk seperti elips yang bergelombang atau jangan-jangan
ini karena terlalu mengarungi matahari lebih lama, ataukah
terlalu banyak makan gurita yang sedang mandi di aliran sungai
Singkarang? Atau jangan-jangan bekas lumatan serigala salju
saat aku mendaki gunung Jayawijaya, dan diperkosa oleh
beberapa pinus dan cemara? Ataukah karena aku mengalami
penurunan tingkat gilaku? Ah, jangan sampai itu terjadi, jika
hanya terjamah oleh lambaian putri malu, aku masih ikhlas.
45
Chapter 2
Hiburan dan Ekplorasi Ketidakwarasan
14 November 2018
Pemetaan terbengkalai terjadi di antara sayup-sayup kamarku
yang sepi. Di antara tembok terlukis mural dan sajak-sajak
gilaku. Tanpa poster, tanpa figura, semuanya autentik dari
tanganku sendiri. Sebuah keagungan Tuhan yang tersemat
dalam bilah-bilah tanganku. Aku mensyukuri, aku menikmati,
kegilaanku dan ketidakwarasanku. Semoga kelak akan menjadi
saksi bagi anak, istri dan cucu-cucuku yang lucu. Serta para
kawan-kawan sejalan dan sejalang juga bisa menikmati
indahnya gubug yang aku susun selama 187 hari tepat setelah
aku terkena syndrome write addict. Haha mengagumkan, iya
sangat mengesankan. Di balik senyuman purnama, aku
bersujud dan meneriakkan lagu Kurt Cobain,
46
pelarianku bersama mentari yang membandingkan kamus dan
cerita fiktif. Aku gusar, Tuhan.
Siang di mata durjana, belaka tanpa bijaksana kembali menyita
pelukku. Angin pun tak lagi setia padaku yang selama ini
mencari-cari sebuah lentera, ada candu di antara bendera
membebaskan sukmaku yang hampir mati. Kala itu, butir-butir
kebisuan tak pernah ada lagi, membawaku melangkah ke
samudera yang kosong. Hamparan pasir adalah busur aktif
yang menghujam, lautan adalah kehampaan dalam jiwaku yang
tenang. Entah bagaimana harus mengarungi dan menjajaki
palung jiwamu yang penuh kesucian, orang-orang sudra tak
pernah diterima di sisi baiknya, dan lebih dikenal dengan
karung-karung penuh makna.
47