Anda di halaman 1dari 47

Prolog

Nobody listening... Itulah yang terjadi dalam dunia gelapnya,


yang terngiang di pikirannya, hingga mengganggu saraf kerja
otak kiri yang penuh kreasi, dan otak kanan yang dililiti
cahaya-cahaya terang sang bohlam kecil. Betapa hancurnya
gerak-gerik semut putih, remuknya raga biola sang maestro,
dan jerih payah sapi-sapi cantik di sawah yang tidak pernah
diekspos oleh mata-mata kuda. Semuanya hanya ilusi
menurutku, dan semuanya hanyalah tatapan muka para bejana
yang angkuh, diselipi nada sumbang yang membuat mereka
rapuh. Sapi, kerbau, monyet hingga bunglon mendeklarasikan
bahwa tak akan ada lagi persaingan di antara mereka, mereka
adalah merdeka, mereka adalah kumpulan neutron dan proton
yang saling berkaitan dalam lingkup kegelisahan dan
ketidakwarasan.
Wawancara antara katak dan burung merpati di taman semakin
buatku mengacau, hilir mudik silih berganti, siang menjemput
malam, malam menjemput pagi, hingga hari-hariku
menjenuhkan sisa-sisa aspal yang memaki, tatkala surya
kembali menepis bintang yang semakin pudar. Soal dan
jawaban mereka adalah isi dari berbagai macam permasalahan
antara laut dan bumi, langit dan elang, dan deru motor-mobil
dan sekop milik jangkrik. Semua tercantum disini, buku catatan
kecil diubah menjadi catatan panjang selama satu bulan
lamanya. Yang harus kalian ketahui adalah ketika 30 hari
dihabiskan untuk meniti kesejahteraan, menelusuri berbagai
fakta-fakta dan kisah menarik di kala hujan datang dan
kemarau yang menderma derita, kompak dan solid. Strateginya
luar biasa antara terik mentari dan awan mendung, mereka
berkelabu, mereka membisukan waktu, mereka berkomplot
demi tegaknya bendera putih yang tertancap di tubuh cantik
sapi dan kerbau. Tanda-tanda kelabu semakin terngiang, di kala
hujan menderma seruan untuk kembali ke masa silamnya.
Kembali adalah derita, memikirkan jangka panjang bukan
solusi, solusi terbaik hanyalah bersatu. Solusi terbaik hanyalah
menyatu pada Tuhan, negeri, ibu, dan populasi lainnya. Ulasan
demi ulasan terjadi di setiap 10x120 menit. Komentar dan
pertanyaan akan tersaji di dalam otakmu sendiri. Maka dari itu,
awali pembacaan spiritual ini dengan menyebut nama Tuhan
Maha Agung, Maha Menciptakan, Maha Kasih Sayang, Lagi
Maha Mencintai.
Seribu petisi terlancarkan, bahkan perwujudannya sudah
menyebar ke pelosok negeri, bahwa nantinya akan ada
1
perombakan sebuah alunan ritmis menjadi sebuah orkestra baru
sang maestro musikalisasi teater dengan gamelan khas Jawa,
akan ada perompak dari mata elang yang tangguh. Ciri demi
ciri terpecahkan, di mana seekor monyet kembali turun ke kota,
yang notabene rumah agung dari desanya terkontaminasi aliran
darah kotor, juga sang bunglon yang mengadu nasib menjadi
seorang akademisi, hingga dokter-dokter muda yang
menghasilkan satu wanita cantik seperdua dunia yang menjadi
kawan dekat si monyet dan si bunglon. Pembuat teori, kritikus
handal, pecinta alam, penyedia kesehatan yang aktif, semuanya
ada disini, dan itu hanya sebagian spesialisasinya. Spekulasi
dilancarkan untuk menumbangkan mereka, tetapi hasilnya
nihil. Akankah mereka terbebas? Akankah mereka selamat dari
distorsi tanam paksa di ubun-ubunnya? Semoga saja tidak. Kita
doakan saja pejuang perubahan ini. Dan di dalam chapter ini,
saya harap semua ada pada titik utuhnya. Selamat membaca.

2
Chapter 1
God, Family and My Maddy

Entah berapa kali aku harus menyatakan ini semua, entah harus
berulang kali mengucapkan hujan turun di setiap sudut jiwaku,
andaikan semuanya terbilang sempurna, itu absurd sekali,
bahkan ini bukanlah sebuah tulisan yang mendatangkan
kebahagiaan. Ini adalah sebuah tulisan gila yang selalu
mensyukuri ketidakwarasan dan kepercayaan diri terhadap
hidupnya. Monyet kembali berdansa di antara ramainya kota,
lantunkan sebuah lagu dengan ritmis dan bersuara parau,
bersama pelangi dan hijaunya daun-daun yang melingkari
lehernya, semakin bersemangat monyet itu, apakah semuanya
menghargai? Tentu saja. Namun hanya Tuhan yang menepuk
tangannya sebagai apresiasi yang tinggi dan mengagungkan
monyet itu. Monyet pecandu sastra itu kembali memutarkan
piringan yang berisi lagu-lagu klasik khas Eropa di abad 17,
piano dan violin mengalun merdu di telinganya, hingga ia
berjoged di kelambu yang ia susun menutupi halaman
rumahnya.
Rumah adalah sumber cahaya, lampu-lampu adalah partikel
terkecil cahaya itu, dan Tuhan adalah cahaya paling besar yang
menerangi gelap jiwanya. Kecoa ikut berdansa menikmati
alunan piano Mozart, bila ini sebuah film klasik tentu ini
bagian film yang menampilkan masa silam khas Eropa tahun
Pertengahan, di kala Mozart sedang terkenal sekali dan
hidupkan seni musik disana. Lahir pula musisi-musisi yang
dinamis dan menggilai seni musik, hingga puisi dan seni lukis
pun turut mengiringinya. Dari Beerhoven sampai Leonardo Da
Vinci, monyet itu sanggup mengumpulkan karya-karya klasik
dalam kurun waktu 9 bulan, seperti kehamilan yang melahirkan
sebuah gagasan, seperti penelitian yang menghadirkan teori-
teori kehidupan ala Sokrates hingga Che Guevara.
Pemberontakan pada kesucian hidup sudah bukan lagi prinsip
baginya, kini ia semakin menggilai dirinya dan mencintai
Penciptanya. Tuhan, kabulkan monyet ini untuk bersandar di
telaga Kautsar, dan berendam dengan para filsuf terbaik
sepanjang masa, hingga cerita Abu Nawas mewarnai kegilaan
mereka dengan tawa yang khas.

3
Bergelantungan di tiang-tiang yang bersandiwara, diapit
gedung yang menjulang tinggi adanya, hingga tiada lagi yang
bisa melihat kegilaannya. Karena matahari sudah tak
bersahabat, uang-uang kembali meninggalkannya, tak ada lagi
keparat, bahkan sundulan dari getirnya malam tak sanggup ia
cipta. Hanya pasrah dan berdoa, agar kembalikan kebahagiaan
yang telah ia miliki, semakin menjerit dan bersendawa, di balik
kuas dan puasa elegi. Akhirnya, di siang hari, saat kembali
pada ruang gelapnya, ia bersyair dengan nada tinggi,
“Wahai pencakar langit, dimanapun engkau berpijak, peluklah
aku hingga tak lagi terhimpit, oleh goresan yang semakin
mengoyak."
Ia lantangkan suara itu kepada sang pena, sahabatnya yang
sedari dulu mengikutinya sampai tua renta, dan menggila.
Tentunya kebaktian mana lagi yang sanggup menandingi?
Keharmonisan apa lagi yang mampu mengalahkan monyet dan
pena? Hanyalah sepatah kata untuk mereka. Mereka adalah sel-
sel kebisean, adalah senjakala yang memadu warna di balik
pekatnya awan, hanyalah sebutir partikel yang saling mencintai
satu sama lain, hingga saling melengkapi kegilaan dan
ketidakwarasan menjadi sepucuk harumnya keharmonisan dan
kesatuan yang utuh dan erat. Nikmatilah, kawan sejalan. Kalian
adalah jalang-jalang pembantu acara Tuhan.
Di dalam cerita ini, sang pena menyebutkan bahwa sang dia
adalah perwujudan dari orang yang sangat tangguh, patuh dan
berhati memengaruh. Maksudnya, dia mampu memengaruhi
siapa saja yang berbicara dengannya melalui tingkah lakunya
yang dibilang sangat kental dengan kegilaan yang biasa dialami
para pemulung dramatik. Dia juga mampu berbicara lewat hati
ke hati, artinya ia bisa menelusuri isi hati seseorang hanya
dengan kedipan mata. Ia juga bisa tertidur sambil berdiri, hal
yang tidak bisa dilakukan oleh manusia lumrah, biasanya
tertidur dengan badan tertidur dan dalam keadaan yang sunyi di
malam hari, orang ini malah tertidur di siang hari hanya dalam
waktu singkat. Dalam ilmu kesehatan, tidur di siang hari
memang menyehatkan dan menyegarkan otak, tetapi jika tidak
diimbangi dengan tidur malam justru berbahaya bagi tubuh.
Orang ini tidak percaya diberitahu, malah tidak bisa fokus
kalau tidur malam dulu, entah apa yang ada di benaknya,
sebenarnya ia terkena tekanan apa, termakan waktu kelelawar,
atau diganggu tubuh seksi sang bintang atau jangan-jangan
terhipnotis oleh senyuman manisnya rembulan? Entah siapa
tahu.

4
Di gubuknya ia hanya seorang diri, terbalut oleh kertas-kertas
bekas yang ia dapat di outlet fotocopy langganannya, hanya
untuk dia jadikan media menulis. Terkadang ia pergi ke
kampus, hanya untuk mengambil berkas-berkas makalah yang
telah dipelajari oleh mahasiswa, katanya mau ditukar dengan
nasi ayam. Hahaha, ada-ada saja tingkahnya, bolak balik
kampus, mengikuti materi kuliah dan pulang membawa satu
kilo sampai dua kilo kertas dan beberapa alat tulis sebagai
media pendukung ia melantunkan kata-kata kegilaannya. Entah
apa yang ada di dalam pikirannya, jauh mata memandang ia
semakin mengandai-andai siapakah istri yang ia anggap terbaik
dalam hidupnya. Setelah tujuh tahun berkelana dengan kisah
asmara, hanya dua wanita yang melengkapi kegilaannya, ia
semakin yakin bahwa salah satu dari mereka adalah istri terbaik
sepanjang hidupnya, ia semakin mengejar kebahagiaan untuk
masa depannya kelak. Namun, ekspektasi hanyalah ilusi yang
sering menipunya.
Tiga tahun silam, kedua wanita pergi mencari lelaki yang
sanggup membahagiakannya, ternyata hanya ingin kebahagiaan
materi, kebatinan yang telah ia bangun, jatuh berdarah bangun
terpanah terhujam panah-panah bualan sumbang ternyata tak
menjadikan mereka sebagai istri. Ah, hanya lontaran kata-kata
kotor yang ia sampaikan kepada langit dan bumi. Kepesimisan
hingga trauma yang mendalam makin menghunus jiwanya,
hingga membunuh seluruh hatinya. Dan ia memutuskan untuk
kembali mencintai Dzat Sang Penciptanya, Tuhan Maha
Tunggal, Tuhan Maha Esa. Tuhan Yang Maha Mencintai lelaki
pena itu, kata-kata kotor itu berubah menjadi bait-bait puitis
yang selama 4 bulan ia kumpulkan, menjadi sebuah memori
terpendam dan bukti bahwa ia masih hidup jiwanya, ia tak bisa
mati karena cinta bullshit, ia tak bisa mati karena janji-janji
palsu, bak calon pemimpin yang berorasi kesana kemari untuk
kesejahteraan pasangan hidupnya. Sudahlah, bullshit tetap
bullshit.

Ketidakwarasan padaku
Membuat hidupku lebih tenang
Menentramkan malamku
Mendamaikan tidurku

Aku mulai nyaman

5
Berbicara pada dinding kamar
Aku akan tenang
Sebelum sehatku datang

Ketidakwarasan padaku
Selimut tebal hati rapuhku
Berkah atau kutukan
Namamu yang kusebut

Terdengar di sayup-sayup rintikan hujan, monyet melantunkan


lagu milik Duta di dalam kamar mandinya. Ia yakinkan bahwa
ia akan terus tidak waras sepanjang hidup hingga menemui
malaikat untuk bertukar prinsip. Lantunannya semakin keras
hingga seluruh apartemen di belakang rumahnya mendengarkan
ia sedang bernyanyi. Oh Monyet yang setia, pada takdir dan
prinsipnya, aku abadikan kau disini. Selamat dan sampai jumpa
di Taman Agung Kesastraan Indah.
1 November 2018
Ia menemukan suatu gagasan yang menakjubkan, suatu ide
yang berprinsip bahwa ia tetap menumbuhkan jatidirinya,
menumpaskan segala hedonisme yang akut, menyikapi hal-hal
romansa dengan gila, hingga titik finalnya adalah ia
berdeklarasi bahwa ia akan tetap menjadi dirinya utuh, dengan
ketidakwarasan yang sangat fatal hingga menusuk hatinya
dengan panah-panah doa yang terwujud. Mimpi adalah mimpi,
binasa akan terus terwujudkan, ilusi tetaplah harus kuhargai,
semakin meyakini adanya, semakin abadi cinta kita, Kasih.
Tuhan, mari kita awali prolog kegilaan ini dengan menyebut
nama-Mu yang menampilkan kasih sayang-Mu yang merajai
seluruh jiwaku, hingga aku mampu menuliskan berbagai hal
tentang pena, monyet-monyet, kelelawar, serigala, semut,
rumput bergoyang, laut, hingga amoeba yang menggoda, tak
lupa juga mantan-mantan narapidana yang aku penjarakan dan
memenjatakan aku selama masa silamku. Bismillah, kusebut
nama Tuhan yang Agung, dan untuk monyetku yang setia, mari
awali kegilaan ini.
Tanda tanya sang pena, di sudut sempit sebuah gedung ia
bercerita, pada siapa harus kuderma, sebilan gabus berisikan
hitamnya dunia. Akankah puitis, sebelah mataku tergaris,
terbentuk luka baru di pelipis, karena sikapmu yang anarkis.
6
Takdir Tuhan menampilkan cahaya, di balik indahnya
cakrawala, dan menembus dalamnya sukma, hingga hidupkan
butir-butir mahkota, di dalam akal manusia. Mentari kepakkan
api, samudera menampilkan kreasi, ombak memanjakan tubuh
ini, berakhir dengan orkestra awan, hujan dan pelangi. Hingga
aku terbangun oleh ilusi, dekapan demi dekapan menodai,
sejuta kertas memupuki, seluruh jiwa-jiwa yang sepi. Relakan
sukma yang kotor, menyusuri kota yang penuh teror, jauhkan
mimpi dari imaji sang aktor, yang berperan sebagai jalang
muda berpelopor. Oh Kasih, di mana kini kau bersemayam,
akankah kau hadir di siang malam, akankah yang menghantui
semakin kejam, dan yang menerangi terbelenggu lembah
hitam? Bukankah durjana telah aku telan, hingga cendana yang
mewangi tumbuh di badan, kucing-kucing kembali pada
pelukan tuan, dan seakan mati tak memperebutkan
kemerdekaan.
Haruskah aku menderma derita, di balik deretan durjana.
Ampun Tuhan, maafkanlah hamba yang tak punya apa-apa,
hanya jiwaku yang terisi oleh cinta, menelusuri jiwa tanpa
suara dan nada. Aku hanyalah pemabuk, seluruh sukmaku
terpuruk, dibelai serpihan kaca yang menusuk, relung hatiku
yang terkutuk. Hanya Engkau satu-satunya, hanya Dirimu yang
aku cinta, tenangkanku dalam sejuknya kata, "Jangan takut,
wahai Hamba-Ku, aku setia bersamamu dengan segala
kehadiran dan kasih sayang-Ku." Tak perlu takut, Tuhan
bersamamu, Tuhan disisimu, Tuhan ada didalam jiwamu
hingga memeluk jiwamu yang mulai meredup, dan
mendatangkan sejuta lampu yang sangat terang untuk
disambungkan ke semua titik listrik dalam jiwanya, agar
terwujudkan sejatinya hidup manusia itu seperti apa,
bagaimana, dan mengapa?

Kusebut nama-Mu, kugapai cinta-Mu. Tuhan, Tuhan, Tuhan...


Kusebut nama di setiap doaku, adalah nama-Mu Maha
Pemberi Kehidupan
Kusebut nama yang selalu tersemat, Dia-lah Pemberi Nikmat
Kusebut nama-Mu, hingga tiada lagi usia yang tersisa

Hingga tiada lagi yang sanggup aku minta, cukupkan saja,


Tuhan. Aku milikmu semata, aku adalah jiwa yang aku sewa
dengan nyawanya, komplit dengan segalanya, aku ini tidak ada
tapi diadakan oleh yang Maha Ada. Lalu untuk apa aku berbuat
7
buruk sedangkan pemilikku tidak pernah berbuat jahat? Ah
absurd banget jika ada orang yang melalaikan siapa ia
sejatinya, kelewatan sombongnya kalau ada yang suka
mengeluh dan meninggikan diri, dia tak tahu bahwa dia
hanyalah ilusi yang terbungkus rapi. Manusia hanyalah
bayangan, tidak ada wujudnya, semu dan hanya terbungkus
komplit seisinya, lalu apa yang disebut manusia?

Jangankan diriku yang penuh hitam, andaikan kau tahu aku


selalu tenggelam, di ujung pandangan yang tak tahu arah dan
temaram. Hingga kini, kau selalu aku tunggu, kehadiranmu dan
kesungguhan bakti, sampai aku tak tahan untuk meneriakkan
namamu. Aku ingin sekali bercengkerama dengan nada-nada,
hingga aku lupa bahwa aku bukanlah manusia, aku hanyalah
jiwa yang kau gerakkan. Aku hanya wayang yang kau mainkan
semaumu, aku hanyalah abdi yang harus patuh padamu,
berulang kali aku sebut namamu hingga suaraku berserakan di
altar yang kususun dengan bebatuan dan kapur. Aku hanya
dirimu, aku bagian dirimu. Aku adalah aku, jiwaku adalah
wewenangmu.

Pagi itu, kau bangunkan aku, Kasih


Kesetaraan semakin buatku tertatih
Hanya aku yang tak mampu meraih
Apa yang telah kau rancang dan pilih

“Oh Istriku, di mana engkau? Hadirlah di sampingku dan peluk


aku. Aku lemah, aku tak sudi kau siksa dengan kerinduanku
yang semakin mendalam,” teriakku di dalam gudang yang
berisikan debu dan fosil-fosil peninggalanku. Aku berteriak dan
bersumpah, “Jika aku menemukan wanita yang sama seperti
yang menyayangiku sedalam cintanya pada diri sendiri, maka
akan aku dekap dan aku deklarasikan pada dirimu, wahai
Tuhanku.” Sampai itulah, aku terbelenggu rindu, dibumbui
panasnya api cemburu, ketika banyak orang melewatiku,
dengan canda tawa dan cumbu rayu.
Harus berlari ke mana lagi, untuk mengejarmu. Saat aku
hancur, aku hanya berjalan kaki menyusuri Nusantara,
menyeberangi pulau demi pulau, agar sukmaku tenang, agar
pikiranku pulih hingga jiwaku tak lagi rasakan perih. Entah
kegilaan apa lagi yang akan kulakukan jika aku kembali
8
tersakiti oleh asmara. Akankah merangkak menuju Papua?
Atau menyelam di danau Toba? Entahlah, aku tak peduli, aku
hanya mencintai yang benar-benar mencintaiku. Dan aku
mendambakan kehadiran sosok wanita, aku menginginkan
wanita yang sama gilanya denganku. Sudah berapa list nama
wanita yang aku dambakan, tetapi aku tak berani mengatakan
perasaanku, apa aku seekor kucing, atau sebongkah es yang
luntur dan lenyap karena kesetiaan dan pengorbananku tak
ingin terlihat oleh orang lain.
Sudahlah, pikirkan saja masa depan yang diterangi oleh lilin.
Biarkan wanita-wanita itu memelukku dengan puisinya, akan
kubiarkan mereka kembali dikecup oleh lelaki yang pantas
memilikinya. Bukan seperti aku, bukan aku yang gila, bukan
aku yang terlalu mendambakan karya dan Tuhan. Bukan itu
yang wanita inginkan di era sekarang, era sekarang adalah
mendambakan rasa dan harta, bukan kreatifitasnya hingga
kegilaan dalam cinta Tuhan. Terkikis oleh sejuta bayang,
terhanyut dalam buaian lantunan indah, hingga tak mampu aku
menirukan sejuta ustadz dan kyai. Aku hanyalah jalang.
Seekor kambing mengelabuiku, antarkan rembulan kembali ke
runahnya. Biarkan aku saja yang meniti waktu, kau tak usah,
kau duduk disini saja, sembari membaca buku di lorong rumah
tua. Kau disini saja, demam akan ketidakwarasan akan
berkumpul bersama indahnya pelangi di gorong-gorong
samping rumahku, sembilu memakan pagar-pagar di tubuhku,
aku sepi, takut, sunyi.
2 November 2018
Aku menarik sebuah kesimpulan atas kegilaanku yang semakin
menjadi-jadi. Saat itu, memikirkan tentang indah dan asri,
hanya dua dimensi yang ingin kuteliti dan kurangkai sebagai
saksi perjalanan menuju dirimu. Pulang bersamamu, dan
menatap indahnya taman yang kau buat, aku ingin kembali, ke
pelukanmu, Tuhan. Studi banding dengan kaum humaniora,
bercengkerama dengan para pegiat sastra, dan menjalani
observasi di tengah hutan belantara, telah aku lakukan hanya
untuk mencarimu, tapi tak pernah kutemukan. Dimanakah
engkau? Ternyata kau disini, tetap disini. Aku khawatir dengan
keberadaanmu, aku hanyalah sekotak yang dipenuhi tinta-tinta
kering, seperti nikotin yang berjemur di altar dan pesisir pantai,
setelah jadi abu dan menghilang.
Dua belas jam aku kembali memusatkan pikiranku, dua belas
hari aku bertapa di bawah lampu 15 watt, seekor cacing datang
padaku dan menggelitiki pinggangku. Saat aku mengamati
cacing itu, ternyata itulah engkau yang diwakilkan, apakah aku
9
harus menyingkirkan? Tidak. Aku tak setega itu, hari manisku
telah terwujudkan, akhirnya aku bertemu wakilmu yang
menyampaikan salam padaku, katamu kau rindu, aku pun juga.
Lalu aku menyiapkan seluruh jiwaku untuk kembali
memusatkan semuanya, dari ujung rambut sampai bulu-bulu
kakiku yang tebal dan bergelombang, nampak menggoda para
wanita penyuka lelaki eksotis yang bertubuh seksi dan putih
bak kulit orang Cina. Mantap dan ngiler.
Kau tahu, Kasih. Kesetiaanku padamu melebihi apapun, dosa-
dosaku kau hitung saja, nanti aku lunaskan di setiap harinya
karena aku selalu menyebutmu, maafkan hambamu, maafkan,
Kasih. Hidup selalu merasakan hitam dan putih, hidupku adalah
8% keredupan dan 2% penerangan, 90% adalah ampunan-Mu.
Kehidupanku hanyalah antara pena dan kertas, yang tersusun
rapi di antara meja-mejaku ini, menampilkan goresan sajak
indah tentang dirimu, tentang rasa syukutku padamu.
Kehidupan yang semakin mencekam, di kala aku kehilangan
seluruh sukmaku yang tak berujung, mentari menertawai semua
piluku, langit dan hujan seraya berkelakar penuh kesedihan,
sementara samudera hanya tenang dan diam-diam
mendoakanku agar semuanya baik-baik saja. Walaupun banyak
yang tak meratapi kepiluanku, menangis semua yang
menghilang, aku tetap berdiam diri, sejenak menenangkan jiwa
ini yang mulai kalut, karena sejuta sel aktif tiba-tiba mati, aku
tak mampu bergerak sedikit pun, tak mampu berbicara secara
vokal, dan aku mulai sadar ternyata dirimu mengunci semuanya
kecuali ingatanku. Ya, kau memang unik, Kasih. Kenapa tak
matikan semuanya saja, atau mungkin inilah wujud cintamu
agar aku tak pernah lupa akan dirimu, meskipun aku dalam
keadaan yang sangat sedih, yang tak mampu terbendung air
mataku ini. Maafkan aku, Kasih. Aku tak bisa menghilangkan
kesedihan. Hanya engkau yang mampu menenangkan jiwaku
ini. Hanya engkau, Cinta.
---
"Selamat menikmati kegilaan dalam hidup, di mana sastra
merasuki jiwa ini, dan mulai merambat ke nadi dan
meledakkan jantungku. Andaikan kau tahu, Kasih, inilah
bentuk syukurku padamu, ketika aku menuliskan nama-Mu,
sebut dan kuukir nama-Mu dalam lubuk hatiku, tak peduli
sesakit apa rasanya, karena aku terlalu menggila, terlalu
terpesona dan terlalu mencintaimu, Maha Kasih."
Dalam secarik kertas kutuliskan sebuah nada-nada kerinduanku
padamu, Tuhan. Entah dilema atau durjana yang aku rasakan di
pagi ini, sehingga aku mampu menuliskan sebuah surat
10
untukmu. Lebih baik aku menghadapmu, dan kembali
menghabiskan waktuku untuk bermesraan denganmu, aku ingin
kembali dalam kegilaanku, sampai titik kewarasanku habis.
Lelah meniti waktu dengan normal, aku tak mampu menahan
semua pujian orang-orang di luar sana, sehingga aku
kehilangan rasa cintaku yang mulai menyurut karena itu.
Maafkan aku, Kasih, marilah bernegosiasi kembali, aku
mencintaimu, sangat.
Terkadang siulan burung menggodai, tetapi hanya auramu yang
semakin menyemi, bersembunyi di sudut gelap matanya,
terpancar sebuah tabir tanpa warna. Akulah dermaga di balik
gunung, setia menunggu sembari merenung, memikirkan
indahnya jiwa yang sunyi, pekat gelap namun menyembuhkan
kegilaan ini. Pekat, tak nampak, hingga membutakan aku
sendiri. Buta karena ketiadaan manusia, kebisuan karena tak
pernah menyebut namanya, ketulian karena panasnya telinga,
hingga rasanya hilang karena sikap pada Tuhannya hilang tiada
tersisa. Apa yang terjadi jika seseorang dalam titik yang tinggi?
Manusia akan kehilangan jatidiri, kehilangan keasliannya, dan
tidak bisa konsisten dan tidak punya pendirian dalam hidupnya.
Keaslian jiwa adalah ketenangan dan kebanggaan. Ketenangan
dalam arti memiliki sifat yang benar-benar Tuhan berikan pada
kita, kebanggaan ketika kita memenangkan apa yang kita
inginkan atau apresiasi dari orang-orang yang melihat kita.
Ataukah semuanya hanya ilusi sebelah mata? Aku ingin
bersama cahaya Petromaks di taman-taman kota Pekalongan,
aku ingin menjadi rumput liar yang selalu disentuh para
pendaki di lereng bukit Prau, aku ingin menjadi pohon pinus di
hutan pinus Jogjakarta, dan aku ingin menjadi microphone
yang didekati para penyanyi hingga sinden dan dalang, aku
ingin sekali. Aku ingin semuanya mengenaliku tanpa tahu
wujud asli, hanya tahu namaku dan karyaku. Aku ingin, Tuhan,
bersamamu menikmati desiran ombak di Parangtritis atau
pantai Kuta. Aku ingin mendaki gunungmu yang tinggi, tak
perlu aku memakai jubah atau pun gamis, Kau tetap
menerimaku sebagai makhluk-Mu. Terima kasih, Tuhan. Aku
akan tidur di malam yang kau ciptakan sangat indah. Selamat
tidur, Kasih. Atas nama cinta-Mu, aku memimpikan kita akan
bertemu di pantai Bengkulu dan menikmati riuhnya anak-anak
bermain air di pantai.

Kaulah damaiku, juga bahagiaku


Engkaulah teduhku, tempatku bernaung

11
Aku mau hidup denganmu, aku mau mati pun karenamu
Aku mau di sisa waktuku bersamamu

Azan subuh masih setia terdengar, saat itulah Kau yang


memanggilku untuk kembali bermesraan denganku, aku
terbangun dengan tangisan karena tiap-tiap tidurku aku tak
ingat lagi kapan aku hidup, dan aku tak siap untuk hidup. Aku
pesimis sangat drastis, ketika aku memimpikan sebuah lonceng
yang mengiringiku menuju tempat kita bersemi, tempat kita
menuai sajak-sajak indah, lantunkan dengan halus, “Wahai
Tuhan, izinkanlah aku mencintai salah satu makhluk-Mu,
izinkanlah, akan kuserahkan semuanya untuk kembali pada-
Mu, Kasih.”

Sehabis subuh hanya menatap ladang sawah yang hijau


kesunyian, sepi tak ada pengunjung pagi ini, hanya aku dan
kau. Menikmati sejuknya hawa dingin di balkon rumahku, apa
yang asyik dibanding segala kegiatan yang dilakukan oleh para
borjuis maupun juragan, selain menikmati aliran sungai yang
riuhnya memanjakan telinga kita, memanjangkan mata kita
untuk terus mengucapkan syukur. Apa lagi yang bisa kau
lakukan, semuanya atas nama cintamu, Kasih. Aku ingin
semuanya abadi, bersamamu, hingga nafas ini tak bisa kuisi
ulang dengan oksigen buatanmu. Entah apa yang harus aku
lakukan pagi ini, menyibukkan pagi dengan kopi dan koran
harian, atau dengan menulis sebuah catatan yang bersembunyi
di balik layar hitam, ataukah memelukmu sampai mati?
Kegiatanku gila, tak sewaras dan tak realistis, hancurkan semua
gaji demi sebuah materi yang membuatku semakin tak waras,
doakan saja, Kasih. Kau abadi di dalam lembaran bukuku. Dan
benar saja, akalku terlepas dari kepalaku sendiri, berlari menuju
sebuah kotak hitam dan membawa sekotak tinta cair, sembari
membunyikan gesekan biola dan alunan ritmis pianoku. Aku
tersesat, aku menangisi kegilaanku, sukmaku melayang sampai
ke sungai Amazon, menitipkan salam kepada piranha yang
sedang sarapan. Dan mampir ke Belanda untuk menuai bunga
tulip dengan putri kerajaan, dan ia menginginkanku mengecup
bibirnya yang merah merona, duhai Kasih, aku tak ingin
melukaimu, maka aku hanya membalas dengan pelukan hangat.
Sebelum sampai ke pantai utara Pekalongan, aku disambut oleh
anak-anak yang sedang berlarian menikmati aroma hutan bakau
di pesisir pantai, dan meminum air kelapa yang menyegarkan.
Nikmatnya dirimu, indahnya Kasihmu. Andai aku bukan

12
manusia, aku tak akan setia menyebutmu. Aku bersyukur kau
masih disini, Kasih. Mari menuai cinta kembali, dengan
lantunan lagu klasik.

Manunggaling kawulo Gusti


Krenteg ati bakal dumadi
Mukti ingsun, tanpo piranti

Dan kau menyambutku pulang, kau peluk aku erat, katanya


rindu sekali padaku, setelah setengah jam aku pergi,
menemukan titik terberat untuk mengumpulkan rasa rindu yang
menyesakkan dada, hingga aku tak ingin melepaskan
kenyamanan dalam pelukmu, Kasih. Iya, aku disini, aku
bersamamu sekarang. Seduhlah kopi untuk kita berdua, gula
aren yang kubawa minggu lalu, masih kalah manis dengan
senyummu dan aromanya masih kalah wangi dengan sukmamu,
dan pelukanmu membuaiku terbang melayang lagi. Terbang ke
dalam sukmamu dan bersemayam di balik indahnya lekuk
tubuhmu, aku tahu, semuanya ilusi dan gila, tetapi inilah aku.
Mencintai tanpa banding, mencintai tanpa mata, mencintai
hanya dengan rasa, aku dibuat buta oleh cintanya, buta untuk
menerima apa yang dia punya.
Orangnya tak seputih kertasnya, tak sehitam penanya pula.
Namun, dia adalah dia, kehitaman dalam hidup memeluk,
keputihan di hidupnya menenangkan. Putih selalu dibalas
hitam, namun hitam selalu luluh dengan putih. Dan orang itu
tak pernah bisa memutihkan kecuali karena cintamu. Kusebut
namamu, kupanggili namamu, getaran hati semakin
menenggelamkan ragaku, masuk ke dalam sukmamu yang
terang benderang, hingga aku tak ingin kembali ke dunia.
Izinkan aku berselingkuh, izinkan aku mencintai ciptaanmu.
Entah berapa kali kau cemburu, kau tak pernah marah apalagi
cemburu, kau adalah keagungan, ketenangan, penerang dan
penenang hati dan jiwa. Aku ingin tidur di atas pelangi, ingin
meminum ombak di samudera Pasifik yang terkenal ganas, aku
ingin menggigit singa Afrika, aku gemas melihat salju-salju
yang mampu kujadikan es krim untuk menu malam minggu
kita nanti, entahlah, semuanya bukan fiktif, semuanya hanyalah
imajinasi pengantar rasa cintaku padamu. Aku ingin kau,
Kasih, di balik cendana yang terhimpit jarum-jarum penyuntik
imunisasi, kau bersembunyi dan berkamuflase, waktu aku
masih bayi. Namun, kau buatku kebal dengan semua jarum itu,
13
aku tak merasakan perih, hanya merasakan kehilangan dirimu
ketika aku selesai diimunisasi. Ah, apakah kau tak tega
melihatku terluka, Sayang?

Kehidupan yang abadi tak mengenal hitam putih


Kehidupan sejati hanyalah rasa dan jiwa terfokus pada Tuhan
dan makhluk-Nya

Sekian lama aku menunggu, ternyata kau hadirkan sosok yang


mencintai jiwanya, hingga mencintaimu setiap waktu. Iya, aku
tahu wanita itu, hanya wanita jalanan yang sama denganku,
wanita yang menjajakan keindahan lukisannya di kota tua
Semarang, wanita yang selalu hadir di panggung kafe-kafe di
Bandung, hingga wanita puitis yang selalu melantunkan sajak-
sajak ciptaannya di antara kota-kota di Sumatera dan Jawa.
Mengapa kau menghadirkan yang aku sukai, yang selalu
buatku bersyukur padamu. Skenario bermula ketika aku
berpapasan di festival Internasional di Bali, aku sedang
menikmati lukisan abstrak dan mengandung makna klasik,
dalam bayanganku ini indah sekali, ingin segera tahu siapa
pelukisnya. Tiba-tiba datang sosok wanita yang bertubuh
pendek dengan tampilan jankis, dengan jeans yang robek di
bagian paha dan memakai kaos oblong ukuran melebihi
tubuhnya, pantas saja lukisannya bagus dan keren, ternyata
pelukisnya juga abstrak begini. Memukau dan memikat hati,
saat itu aku langsung bertanya-tanya tentang lukisannya,
“Maaf Mbak, yang ini lukisannya tentang apa ya? Ini bagus
lho,” tanyaku sembari basa-basi dengannya. Lukisan abstrak
dengan tampilan garis lengkung dan warna warnu
menampilkan sketsa wajah dan tangan yang ada di dagu.
“Oh ini tentang seseorang yang merenung, meratapi keinginan
yang tertunda,” jawabnya dengan gaya bahasa khas Jawa.
Menarik sih, masih ada wanita yang menggeluti dunia seni
lukis seperti ini, cantik dan molek, ingin kukatakan bahwa aku
mengagumi tetapi aku ingin merubahnya menjadi memiliki.
Aku putuskan untuk saling bertukar nomor kontak dengannya,
agar aku bisa merencanakan pertemuan kita entah kapan itu,
walaupun aku sesibuk ini tetapi aku ingin menikmati satu hari
untuk bercengkerama denganmu, Kasih yang sangat aku
dambakan dan telah Kau berikan padaku. Ternyata seromantis
ini kau memainkan skenario kehidupan. Hingga akhirnya
muncul keberanianku untuk mengirimkan pesan via WhatsApp,
14
“Hai, selamat malam, masih di pameran? Atau sudah
pulang?”
“Malam, ini mas yang tadi ngobrol di stand-ku ya? Masih
disini.”
“Iya mbak, betul. Oh kirain sudah pulang ke rumah Mbak.”
“Hehe belum Mas, jauh kok, paling besok pagi baru pulang ke
Jogja, mampir ke rumah kreasi dulu, buat ngembaliin
propertinya.”
“Iya Mbak, hati-hati. Aku besok mau ke Jogja, ada kunjungan
budaya gitu di Sleman,” tawarku kepadanya, barangkali saja
ia mau kuajak.
“Oh kamu mau ke Pagelaran Seni Budaya? Aku mau kesana
juga lho.”
“Mau bareng?”
“Nanti deh kabar-kabaran aja ya, Mas.”
“Oke Mbak. Sampai jumpa besok, aku mau istirahat dulu.”
“Oke deh, Mas. Bye.”

Kuucapkan selamat tidur saja untukmu, wahai wanita yang


anonim tapi sangat menyita hatiku untuk kembali bercinta,
mengobrol riang gembira denganmu. Semoga esok hari kita
bisa langsung bertemu. Aku meminta padamu, Tuhan, izinkan
aku bertemu dengannya. Mataku langsung terpejam dan
merancang mimpi indah. Selamat malam, duhai wanita eksotis.
Malam itu, aku hanya bisa membayangkan ciptaanmu, ingin
kurengkuh tubuh mungilnya yang sangat membutuhkan
ketenangan batin. Kepuasan diriku menyapanya menambah
gairahku untuk segera bertemu dengannya. Jogjakarta, kota
kedua yang menjadi saksi bisu pertemuanku, tumbuhkan segala
rasa, hingga tiada lagi sendu di hatiku. Akankah berakhir
dramatis, ciptakan suasana romantis, dengan alunan biola yang
ritmis, dan buatku semakin optimis. Frasa demi masa ini
kembali menginap, di dalam tubuh yang menggelap, suasana
dilema yang kian hari semakin gemerlap, atas cahaya cintanya
yang buat raga ini berdiri tegap, menghadapi lambaian tangan
dan langkah kaki yang menderap.
Azan subuh terdengar merdu bak sinden yang melantunkan
kidung dan tembang khas Jawa pewayangan, ah nikmatnya
15
berkali-kali mendengarnya. Bayangkan saja jika aku yang
mengumandangkan azan, pasti akan terdengar parau dan tak
jelas nadanya. Maklum, aku hanya sebuah pena yang terluka
karena pandir, terombang-ambing diagnosa dan hipotesis yang
tak jelas, dan berakhir di ujung pesisir. Syahdunya
mengambang, di lautan azan dan pujian merdu yang menambah
nafsuku untuk kembali menyeruput kopi khas Pekalongan, dan
bergegas berjalan menuju warung makan favoritku. Iya, selesai
makan lalu beribadah dengan semestinya dan mengawali
perjalanan dari warung menuju kota Budaya, Jogjakarta, aku
hadir untukmu dan kembali memadu kasih dengan Penciptamu.
6 jam aku lalui jalanan yang terang dan bergelimang rayuan
hutan yang memanjakan mataku, terbuai indahnya pohon-
pohon yang menyalamiku dan memberi semangat, hingga
keindahan gunung Sindoro dan Sumbing mengingatkanku pada
memori indahku kala itu. Bersama kawan sejalan, aku mendaki
gunung dan hanya aku yang berani memakai celana pendek
pada waktu pendakian, karena aku tak suka memakai serba
panjang dan tebal. Aku tahu di puncak sana dingin, tapi aku tak
peduli. Aku senang kebebasan dan keanehan. Sampai aku harus
menjadi bahan canda tawa kawanku dan gerombolan pendaki
dari daerah mana pun, yang aku ingat dari Padang, lelaki gagah
dan istrinya yang cantik seperti orang Jepang, walaupun wanita
itu adalah orang Bugis. Wah saking cintanya sampai menemani
sampai puncak. Sudahlah, itulah cerita singkatku, aku hanya
ingin bertemu idamanku.
Sampailah aku di Jogja, mengawali makan siangku di alun-alun
Jogja, menyantap hidangan khas Jawa, nasi pecel dan teh anget
manis. Iya, semanis senyumku saat dipeluk ibu. Tiba-tiba aku
dikagetkan dengan wanita yang comprang-campreng
pakaiannya dan bergaya Irlandia,
“Hei, ternyata kamu sudah disini,” katanya sambil menepuk
punggungku. Tentu saja aku langsung tersedak.
“Eh, dateng-dateng ngagetin aja nih. Kok kamu tau aku disini.”
“Ya iyalah, kuncirmu ini lho jadi penunjuk, aku lihat kamu pas
aku lagi nongkrong di depan warung ini.”
“Oh pantesan. Ayok makan sini.”
“Udah makan aku, aku temani kau saja.”
Bayangkan saja, baru bertemu sekali, dia sudah mengenaliku,
padahal belum tahu siapa nama masing-masing. Aku
merahasiakan ini, agar tak saling mengenali sebelum aku
merasakan cintamu. Dan benar saja dari warung makan sampai
16
mau ke pameran, aku hanya menyapanya ‘nduk' atau ‘mbakyu'.
Setelah aku makan, aku langsung menawari dia untuk
berangkat bersamaku, dan dia mau. Namanya juga seniman, ia
bebas tentukan pilihannya. Mau sama siapapun ia tak peduli.
Sesampainya di pameran, langsung kita bergegas kesana
melihat lukisan-lukisan hingga sebuah benda-benda antik yang
terpampang di sudut pojok pameran itu. Aku terpikat, dan aku
ingin memilikinya untuk koleksi kamarku. Namun, aku harus
mendadak jadi akuntan, aku harus menghitung berapa resiko
membeli, keuntungan membeli, hingga persentase minimum
dan maksimum setelah aku membeli barang itu, hasilnya nihil,
aku mengurungkan niatku. Aku tetap fokus menemaninya, dia
menikmati lukisan Affandi dan sebuah seni tulisan karya
pemuda di Jogja. Artistik, dinamis, dan keren, kata-kata itu
selalu ia lontarkan ketika ia takjub dan terpana melihatnya. Dan
waktu pun habis. Aku harus segera pulang, dan dia
menyetujuinya karena dia sudah kukasih tahu bahwa aku hanya
sebentar ke Jogja. Akhirnya kami berpamitan, dan dia pulang
dengan naik taksi, selamat tinggal wanita eksotis, kau sangat
mengesankan hari ini. Aku akan menyusun rencana untuk
menunggu di Semarang, akhirnya aku adakan janji untuk
kembali bercerita dan bercanda tawa di kota metropolitan Jawa
Tengah. Akhirnya ia mengiyakan sebelum taksi melaju ke
rumahnya. Ia titipkan salam padaku, bagaimana tak senang bila
dia merasakan bahagia hingga melayang. Ah, absurd dan
romantis.
“Kau terinspirasi dari siapa dalam lukisanmu itu?”
“Aku hanya menganut pada perasaan dan jiwa, tetapi aku hanya
meniti jalanan yang terlukis oleh cahaya-cahaya lampu atau
matahari, membiaskan siluet hingga meredam suara deru
mesin.”
“Seperti saat aku menuliskan sebuah tanda, Mbak. Aku kira
kau terinspirasi dari pelukis ternama, ternyata cara
pencariannya sangat unik. Jarang pelukis-pelukis yang
menjajaki ekpresinya lewat dirinya sendiri.”
“Ya seperti itulah, seperti pelukis kala Yunani bergelora atau
Eropa sedang maju-majunya, mereka lebih berekspresi dari
jiwa-jiwanya karena meneliti alam dan sekitarnya. Dan
begitulah caraku menginspirasi diri.”
“Wah hebatnya dirimu!”
“Masih hebat kamu banget, hehehe.”
***
17
Bolehkah kita bertemu lagi, sehingga aku dapat menikmati
keindahan mata yang kau sembunyikan ke dalam tubuhmu itu,
aku ingin menjamahmu secara tulus hingga tak melukai hatimu
yang rentan. Akankah dirimu menepati janjiku? Aku tahu dan
percaya, kau pasti menepatinya, kau berikan satu alamat
menuju rumahmu, dan aku ingin menunggumu di tugu Muda
Semarang, untuk menunggumu di halte setelah menikmati
lelahnya perjalanan dari rumahmu menuju titik pertemuan kita.
Sampai akhirnya kau hanya membawa paket komplik khas
dirimu, pakaian serba jeans dan celana robekmu itu, memang
menggoda dirimu itu.
“Akhirnya kau tiba juga, aku tak percaya harum parfummu
sampai menusuk batin,” celetukku memulai basa-basi kita.
“Hehe bisa aja nih, Mas. Oh iya aku ingin tahu nama kamu
siapa? Aku Mira,” katamu dengan mengulurkan tangan
mungilmu yang menggemaskan. Aku tersenyum seraya
mengatut tempo jantungku yang mulai berdetak kencang,
keringat dingin basahi kaos oblongku yang tipis membentuk
badanku yang penuh guratan.
“Iya, namaku Noto, Agung Notonegoro, asal kota lama di
seberang pulau Jawa. Kalau kamu darimana, Mira?”
“Aku dari Banyuwangi, Mas,” ucapmu menggetarkan batinku,
lembut dan renyah.
“Ohh iyaa, mari mampir ke angkringan dulu, kita berbincang-
bincang tentang lukisanmu yang menarik.”
“Mari, Mas. Kamu pasti tahu tentang sudut-sudut keindahan
kota ini.”

Kembali berjalan menapaki indahnya kota Semarang, hingga


kau kelelahan dan mengajakku mampir di emperan jalan
Simpang Lima, menikmati indahnya malam di sana, di
pinggiran foodcourt. Tampaknya kau menyenangkan,
mengasyikkan hingga mampu memikat jiwaku, hatiku
mendesah untuk menginginkan sebuah bunga di atas kepalamu.
Ingin kuajak kau berjalan menapaki hari-hariku penuh
kebisuan, meniti waktu bersamaku hingga malam sanggup aku
telan seisi bintangnya.
“Kamu sering kesini ya, Mas, sampai tahu betul sudut-sudut
keindahan kota ini,” tanyamu sebelum memesan segelas es teh
manis, dan manisnya pasti kalah dengan senyumanmu yang
melengkung dan menonjolkan lesungmu yang menggemaskan.

18
“Iya, aku memang sering kesini, hanya berbelanja buku dan
menikmati senja di pantai, dan bermalam di sini.”
“Aku senang, Mas. Ternyata ini sungguh menakjubkan.”
Yang aku inginkan hanyalah dirimu, Kasih. Iya, hanya dirimu
yang mampu mengobrak-abrik hitamnya jiwa ini, yang pekat
tertutup pesimistis kepada wanita dan traumatik yang akut
stadium akhir. Hanya kau, Kasih. Iya, hanya kamu.
Kemacetan memenuhi jalanan ini, aku pun hanya memandangi
dirimu tanpa berpaling oleh apapun, aku sangat senang bila kau
bahagia denganku walaupun hanya dengan mengatakan kau
gembira di malam ini, aku ingin malam ini abadi tak bertepi.
Pesananmu tersaji,memang khas dirimu, hanya es teh dan
mendoan yang hangat. Wah, sangat minimalis seleramu,
mengandalkan harga murah karena memang tak suka atau
karena kau malu padaku? Tidak, aku percaya kau seorang
minimalis. Terlihat dari gaya hidupmu yang acak-acakan tetapi
penuh seni dan eksotisme kepada tubuh indahmu. Setelah kau
puas menyusuri kota ini, kau pun memintaku untuk
mengantarkan ke stasiun.
“Hati-hati ya, Mira. Boleh aku ketemu kamu lagi?” tanyaku
ketika ia hendak masuk gerbong kereta.
“Nanti aku kabarin ya, Mas. Hati-hati juga buat Mas Noto,”
jawabnya renyah dan lembut, menyesakkan dadaku yang
semakin berdebar. Mira, Mira, sudah cantik dilengkapi suara
yang halus pula, aku ingin tetap bersamamu tapi tidak untuk
saat ini, akan ada waktunya, Kasih. Percayalah kalian tidak
akan percaya jika aku ingin mengecupnya berkali-kali,
mendekapnya dengan pelukanku yang lembut sampai
mengusap kepalanya yang sangat intelektual dan penuh kreasi.
Tuhan, terima kasih, aku sangat mencintaimu dan aku memulai
momen ini dengan judul Langkah Awal menuju Bahtera Cinta
Mira.
Semakin aku terpikat, semakin membawaku pada titik terang.
Ya Tuhan, terima kasih segalanya, apa harus aku
mendeklarasikan bahaa aku berselingkuh dengannya darimu,
tentunya bukan sebuah negativitas, aku hanya mencintainya
sebagaimana kau mencintaiku. Ya Tuhan, mari bermesraan
kembali, di balik hujan dan terpaan angin yang membunyikan
angklung di kolase tembok kamarku. Sebelah mata ini
memandang penuh wujudmu, memandang segenap cintamu
yang agung. Sebelah mata ini kuhadirkan untuk sebuah
pengakuan, bahtera dalam lautan syukurku kembali berlayar,
akan abadi selamanya pada Dzat-Mu, Kasih. Stalaktit di ujung

19
otakku membiru, biarkan aku dalam keteguhan hati, andaikan
semuanua harus kubinasakan di hari Minggu, aku memanen
seluruh oksigen yang telah kita tuai di bulan Juni. Apakah
sebenarnya hari Minggu dan bulan Juni? Hanyalah segenggam
mahkota yang selalu kau bawa di saat kita bersama. Kopiku
semakin hangat, mari kita habiskan malam kita, di antara sepi
dan ramainya kota Semarang.
Noto, begitulah namanya, bercengkerama dengan pena-pena
yang asyik, yang menghadirkan sebuah ideologi yang
membuatnya bebas. Mencintai Tuhan, dan mulai mencintai
ciptaan-Nya, tetapi itu hanyalah sebuah kebodohan. Mengapa
harus mencintai wanita sebelum melengkapi kecintaan pada
Tuhan dan alam semesta? Bodo amat bagi Noto, ia hanya ingin
menghantarkan kasih sayang kepada manusia sebagaimana
takdirnya.
5 November 2018 : 05.25
Pagi di sudut kelam kota, ia terbangun dengan wajah yang
merah. Ia tak tahu apa yang dialami, langsung ia bergegas
menuju kamar mandi, dan segera menelepon dokter
langganannya, maklum ia tak pernah dokter. Ia hanya duduk di
teras rumah, menyeduh kopi dan bermain WhatsApp berbalas
pesan dengan 25 dokter pilihannya. Ia malas ke dokter, entah
apa yang dia alami sampai begitu sungkannya ia pergi kesana.
Aduh, kegilaan lagi yang ke-48 sepertinya, yang nomor satu
adalah mempercayai Tuhan Maha Cinta, dan baru kali ini ia
menemukan argumentasi bahwa dokter hanyalah petugas
Tuhan yang ditakdirkan untuk menyembuhkan manusia,
melalui ilmu-ilmu-Nya dan materi yang Dia antarkan kepada
sang dokter semasa ia sekolah sampai kuliah. Ah, absurd abis,
makanya ia tak mau ke dokter, ia mempercayai Tuhan pasti
menyembuhkan, karena Dia telah memberi penyakit padanya,
walaupun hanya demam karena terlalu memikirkan pekerjaan
dan hobinya. Dalam catatan di pagi hari, ia menemukan sebuah
ide baru yang memungkinkan bahwa jiwa dan hatinya akan
segera hidup, ia tuliskan di dalam buku yang bernoda, bercak-
bercak hitam terpampang rapi di halaman penghujung, yang
tertulis dengan gaya font klasik ala pena bulu milik penulis
masa Renaissance,
Monyet-monyet kembali berlibur, jangkrik pun ikut berpesta di
hari sabtu, adakah sehelai kertas yang akan aku kirimkan pada
penghibur? Adakah sajak-sajak dari burung perkutut untukku?
Kusampaikan pada sebuah air mancur, tinggalah bersamaku,
akan kuceritakan hidup itu serupa bubur, lembek dan dinamis
untuk memurnikan pikiranmu.

20
Ia teringat sebulan yang lalu, kala berjalan-jalan di kota
Semarang. Ia melihat segerombolan monyet yang sedang
berpuisi, memandangi dan mendengarkan pimpinannya
berorasi dengan nada-nada yang sangat eksotis bak penyanyi
solo yang karirnya melebihi Marlyn Monroe. Wah, ia langsung
takjub dan langsung masuk dalam lautan monyet-monyet itu.
Dan benar saja, ia terhipnotis oleh sajak-sajak syahdu tersebut.
Seakan jiwanya melayang, menembus panasnya mentari,
hingga kuucapkan kata sayang, kepada Tuhan yang sudah
menghadiri, obsesiku yang semakin menggila sampai kemudian
hari. Terima kasih, Tuhan Maha Kasih. Kau menumbuhkan
kegilaanku setiap hari. Barangsiapa yang bersyukur, maka akan
ditambah rasa syukurnya, maka tidak akan pernah bisa berhenti
bersyukur sampai mulutnya tak bisa melewatkan kata hamdalah
atau pujian pada-Nya. Abadikan cintaku padamu,Tuhan.
Setelah ia kembali tenang, ia kembali ke rumah. Dan tibalah
saatnya ia memunculkan ssbuah ide gila lagi, kembalikan
cahaya di balik kaca-kaca yang pecah, agar aku mampu untuk
menusukkan kaca itu ke dalam lidahku, agar tak kelu dan
lancar berbicara. Andaikan kau tahu, Kasih, maafkan aku telah
melukai anggotaku, entah mengapa aku sebengis itu. Rasa itu
kembali muncul dalam benakku, sejenak aku memikirkan
semua kelamku dan akhirnya aku merdeka, aku kembali ke
rumah dalam waktu 25 detik. Sungguh kecepatan luar biasa
dari jarak satu bulan yang berkilo-kilo jalannya, sampai
mengitari pulau Jawa dan Bali selama 29 kali. Takjub,
terheran-heran. Pastikan kalian jangan membayangkan,
kesungguhan batin hanya terpusat pada keagungan Sang
Pemberi Kegilaan padaku. Bayangkan saja percikan air kopi
yang menggelapkan siang hari, dan segumpal busa-busa cucian
motor yang menerangi malam hari, kemudian senja dan fajar
bersepakat memakan kopi dan meminum busa. Sudah kubilang
jangan bayangkan, nanti kau menjadi anggota keluargaku yang
gila. Sudahlah, mari kita sambut ketidakwarasan bunglon yang
menenggak kertas 2 rim sekaligus, dan akhirnya ia terkenal
dengan julukan Master of Absolute from Crazinisme dengan
mengemukakan teori kolektivitas absurdis dan geometri, yang
tertulis di dalam tesis kelimanya.
“...sebenarnya kegilaan adalah kemiringan yang bergaris-
lurus pada simpangan posisi semula otak, sementara
persentase kewarasan berada pada IQ = 75-100 pada orang
dewasa, berada di titik koordinat x=0 dan y=1, seimbang
namun miring ke kanan. Jika perhitungan kegilaannya
seseorang tidak melebihi titik koordinat senilai x=-1 dan y=2 ,
maka kemungkinan besar akan terus gila apabila terus-

21
menerus tergerus oleh sikap-sikap absurd dan gejala abnormal
seseorang. Maka dari itu, orang yang sering berperilaku
abnormal tanpa ada faktor-faktor psikologis, bisa dipastikan
bahwa ia gila, entah gila kepada diri sendiri, asmara, materi,
bahkan sampai gila cintanya Tuhan.”
Bunglon memang gila, ia mampu menciptakan sebuah teori
ketidakwarasan, dan menjadi skala perbandingan terhadap
diriku dengan monyet-monyet yang setia kawan. Apakah aku
harus mengikuti teorinya? Antara iya atau tidak semakin tak
menentu, bahkan tak ayal lagi aku akan terhanyut oleh teorinya.
Heran sekali, seekor binatang hutan pun mampu, mengapa aku
yang berkategori manusia paling aktif dengan kegilaan tak
mampu menciptakan? Ah, sampai rumah aku langsung
membuka laptopku, kemudian menuliskan sepucuk surat yang
kususun sudah berbulan lamanya, karena objek pengiriman
sudah dipeluk oleh kawula yang sejati, yang akan diangkat
menjadi Adipati. Aku menyerah. Aku kembali memerah, bak
permen-permen yang berubah warna, berkamuflase layaknya
bunglon jenius ini. Ia termasuk yang paling aktif dalam
kehidupanku, ia adalah motivator kegilaanku, juga penunjuk
arah kemana aku harus pergi dan pulang. Hal yang paling aku
suka darinya hanyalah kesunyian dan kekosongan batinnya dari
sikap-sikap pesimistis. Berwarna-warni jiwanya, hingga
membingungkan banyak orang, tetapi ia lakukan hanya untuk
membahagiakan sukmanya yang relatif, kadang negatif kadang
positif, aku yakin pasti banyak negatifnya, tiap malam pasti
bertapa di atas dinding kaca di depan balkonnya yang masih
kinclong. Wah, andaikan saja aku tinggal serumah dengannya,
entah apa yang akan kulakukan. Mungkin dengan bermain
domino, atau catur, bahkan main congklak di meja makan?
Bunglon tetap bunglon, cerdas berintelektual, hanya butuh
waktu singkat untuk bercengkerama dengannya. Tepat 20
menit, aku kembali ke sukmaku sendiri, dan meneruskan hari-
hariku bersayang-sayangan dengan dokter yang sangat ahli.
Bunglon berjuta warna, teman dekatku selama di hutan
belantara dekat sungai Kapuas. Dia adalah petarung tangguh,
sedangkan kepintarannya hanyalah bayang semu yang ia
sembunyikan meski ia tak pintar menyembunyikan sifat. Ia
hanya bisa bersembunyi di balik sendu dan bahagia. Hanya
sepintas kata-kata takjub ketika ia bermain kata, cerdas dan
cadas. Tak bisa kubayangkan betapa warna-warni bunglon
membuatku tak sadar diri bahwa keyakinan pada diri sendiri
sama saja membunuh persepsi orang lain terhadap dirimu
sendiri. Andaikan sifat percaya diri itu tidak ada, maka yang
ada hanyalah kebisuan dunia. Keyakinan dan kepercayaan

22
hanya beda tipis. Keyakinan adalah berusaha meyakinkan diri
untuk maju, kepercayaan adalah percaya bahwa dirinya mampu
untuk maju. Dan aku berada di titik tengah, tenang dan damai.
Plus minusnya hanyalah terpinggirkan. Semoga lebih baik,
semoga ada keberkahan di balik titik jengahku ini, hanyalah
doa-doa pada ibuku, ayahku dan saudara-saudara seantero
dunia. Dialah bunglon, berkencan dengan warna, bermain
dengan kata-kata.
Selesai berdoa dalam altar yang sunyi, tiba-tiba aku mendengar
suara dari depan,
Tok.. Tok.. Tok.. Bunyi ketukan pintu terdengar sampai
kamarku di lorong belakang sendiri. Ini bukan mengetuk, tapi
menggedor. Siapa sih jam-jam waktunya burung berhubungan
ini malah ada tamu. Aku hampiri pintu itu, dan kubuka pintu...
Aku dikejutkan dengan kotak-kotak yang bervariasi. Siapakah
pengirim kotak ini? Aku jadi heran. Langsung aku masukkan
ke dalam rumah, takut banyak yang curiga kalau kotak tersebut
berisi makanan, nantinya malah repot tetangga pada ngomel
minta makanannya. Kalau pun isi kotak itu adalah beberapa
kode, mungkin aku sangat antusias karena kelebihan dan
kekurangan aku sendiri berada di titik terendah kehidupan
Newton, dimana ia tak kenal menyerah untuk membuat suatu
teori fisika yang akhirnya menghasilkan sebuah teori yang
dikenal dunia. Wah, bahaya pula ini. Ketika kotak aku
masukkan, tiba-tiba suara gesekan biola berbunyi di sayup-
sayup ruang tengah, padahal hanya ada aku sendiri, terdengar
suara biola dan gesekannya lembut sekali, menenangkan telinga
sampai gendang telingaku ingin menabuh mengiringi alunan
musik klasik. Merinding, iya. Tapi aku menikmati kesunyian
yang sedikir menyeramkan, wajar saja rumah ini tadinya
kosong dan penuu canda tawa keluarga iblis. Iblis yang anggun
dan molek bak bintang film Hollywood, sebut saja dari era
film-film action sampai family semuanya kalah anggunnya
dengan iblis yang sangat menggoda. Kerap menggodaku setiap
aku menikmati kopi di malam hari.
Gesekan itu semakin keras semakin nyaring, aku hanya acuh
saja. Aku ingin segera tahu kotak ini, ada 4 kotak berbeda
warna, putih, merah, biru, hijau. Dan aroma kotaknya juga
berbeda-beda, yang paling wangi dari kotak putih yang
lumayan besar, sekitar 30x15 cm, yang lainnya bisa ditebak
dari aromanya pun isinya apa. Benar saja, hanyalah selembar
kertas kosong di dalam kotak warna putih, selanjutnya kubuka
kotak merah, aku bersumpah ini pasti kertas lagi, dan tap!
Benar tebakanku. Kertas kosong dan satu buah bolpoin. Kotak
biru semakin buatku deg-degan, seperti buku tulis tapi setelah
23
kubuka hanyalah sebuah hardcover dan kosong sama sekali tak
goresan tinta sedikitpun, kotak terakhir yang buat aku gemetar
karena muncul alunan piano mengiringi suara biola dengan
tempo nada Allegro, wah sudah seperti backsound-nya film-
film mistis. Taraaa!! Hanya sebuah kertas, tapi di belakangnya
tertulis sebuah kutipan,
“Mau makan kertas dan minum tinta atau mati dimakan kertas
dan tinta?”
Pesan singkat hanyalah puncak kebahagiaan, asumsi kalian
berpatok pada sinyal menyeramkan, bahwasanya mati di
tumpukan kertas adalah sebuah ironi yang sangat dihindari
semua manusia. Semuanya pasti tak mau mati konyol, semua
hanya ingin mati dengan cara baik, tanpa menata kehidupannya
dengan baik. Semua ingin hidup baik, tetapi melupakan
kebaikan yang selama ini diajarkan. Sama juga bohong. Tatkala
sekolah, memiliki cita-cita, memiliki potensi dan kemampuan,
tetapi tak pernah ada potensi yang menumbuhkam bahwa itu
benar-benar dari dirimu sendiri. Yang sering muncul adalah
ketika passion-mu kau ubah dengan cara kapitalis. Meraup
keuntungan yang banyak, sehingga kau lupa dengan butir-butir
kebaikan dari rahim ibu. Sudahilah semuanya, kembali pada
fitrahmu sendiri yang benar-benar dirimu.
Dan ingatlah, bintang-bintang tak bisa memeluk jiwa-jiwa yang
abu-abu, tak bisa mencumbu bagian sayap yang ganjil, hingga
setan-setan enggan menyampaikan godaan, jika bunga mawar
merubah sukmanya sebelah bunga seroja. Dan ingatlah, jadilah
manusia yang utuh, jangan sampai monyet dan bunglon
berubah menjadi manusia atau pelangi, jangan deh, yang timbul
hanya kesengsaraan hidup dan pesimistis dalam menjalani
hidupnya. Habis sudah waktuku untuk menata pikiran dalam
kotak tersebut, akan aku buat apa kertas, pulpen dan hardcover
ini. Anugerah-Mu pasti terbaik,Tuhan. Putuskan saja untuk
menulis kegilaanku. Kamar gelap kuisi dengan catatan
observasiku, apalah daya aku hanya senang menuliskan
kegilaan daripada harus terbuai dalam keilmuan yang hakiki,
yang tidak bisa didiskusikan sama sekali oleh kaum sudra.
Sosial-budaya hanyalah kepastian hidup, kelangsungan hidup
dan tujuan hidup manusia. Mari kita awali dengan menyebut
nama Tuhan.
45 menit melayang, aku kembali pada ingatanku.
***
Sebenarnya hanya bayang semu yang kupinta, hanya belaian
kaktus yang seringkali memelukku. Aku tahu inikah rembulan

24
atau buana? Aku tak tahu. Inikah yang disebut dengan
perfeksionisme pilihan antara memakan darah beku atau
menelan wiski yang kenyal? Aku tak tahu. Malaikat kembali
membelai ubun-ubunku,
“Tenanglah, tenanglah, munculkan, tegakkan, lakukan,” suara
lembut membisiki telingaku sampai membuat gendang
telingaku menari-nari.
Aku tak ingin lama-lama dalam lamunan, pasti aku semakin
gila ini. Dan pastikan saja bahwa aku masih tetap pada garis
stagnan yang berorientasi pada pertumbuhan edanisme
manusia, akhirnya sukses. Seraya memusatkan pikiranku, aku
sambil melambai pada daun-daun yang ceria, dan memastikan
bahwa aku harus menghubunginya. Iya, aku ingin memastikan
dia masih sama seperti pertama aku kenal, dokter yang cantik,
yang renyah senyum dan tertawanya. Semasa itu, ia masih
magang PPL di rumah sakit ternama di Pekalongan, saat itu aku
masih lajang dan fase awal kejalanganku. Entah ilham dari
mana sampai aku dipertemukan, ah terserah Gusti aja deh,
ngapain aku protes. Skenarionya asik banget. Gila! Parah!
10.05. Ponselnya berdering,
“Halo, kamu lagi, ada perlu apa nih?”
“Iya nih Dok, aku mau konsultasi nih,” ucapku berbasa-basi
untuk COD nanti siang.
“Iya monggo, Mas. Ada keluhan apa? Biasanya kamu ngajak
aku makan malam, tumben sekarang mau konsultasi.”
“Gini, Dok. Obat darimu sudah habis, boleh minta yang lain?
Kayak semacam Coca-Cola atau Wedang Jahe lah, masa tiap
hari minum pil mulu,” kataku mesra dengannya, ia elegan,
cantik.
“Lah Mas-nya mending kesini aja deh, ngapelin aku di klinik.
Sekalian bawa kopi Tombo, aku pingin ngopi nih,” candanya
memang enggak karuan, ini dokter apa artis dagelan?
Kayaknya dia gak lolos SUCI jadinya stres, akhirnya kuliah
kedokteran biar sembuh.
“Oalah, wedhus, ya sudah aku kesana, dandan yang cantik,
jangan ngecewain pasien dong. Masa dokternya kusut,
pasiennya udah ganteng gini.”
“Iya iya, siap deh. Ojo lali lho, Mas.”
Tutttt...

25
Nada cueknya kembali ia lontarkan, tak ada balasan lagi selain
mereject teleponku, dasar dokter rada-rada gila nih. Untung aku
punya dokter sepertimu, sudah cantik, manis tapi sayangnya
kamu ini bukan dokter yang serius, kamu hanyalah bagian dari
sel-sel aktif di tubuh granat, yang sengaja kusimpan untuk
meledakkan seisi kamarku yang redup. Silahkan kalian
membayangkan bagaimana relasiku dengan dokter cantik,
mungkin kalian akan membayangkan dinner orang gila di kafe,
atau di warung lesehan, selalu memecah dua per tiga malam
kaum pendiam dan pemikir, sementara kita adalah ledakan bom
nuklir empat kali lipatnya tragedi Hiroshima dan Nagasaki.
Sakit kepala waktu itu, kubalut dengan pipa bekas milik Dinas
Pemadam Kebakaran, dan aku menghampirinya di klinik
Sumber Waras. Iya sih namanya benar, tapi dokternya yang
nggak bisa waras jika denganku. Sifat manjanya adalah 0,1%
dari jumlah wanita yang manja di Amerika Latin dan 0,09% di
Asia Timur. Kelainan yang ia dapatkan tidak jauh dari tawaku,
mengusik sebagian kewarasannya.
“Woi, nih kopimu! Cepet bikin, sis.”
“Huu, lama amat kayak siput pincang, duduk dulu. Untung sepi
kliniknya, kalau rame bisa malu aku kedatangan pasien dari
kelompok peduli orang gila,” gerutunya lucu, kesalnya malah
membuatku tertawa. Asyik ya, tidak pernah ada dokter gila
yang mengobati orang gila, kecuali dia.
“Iya, ini aku udah duduk, terus ngapain lagi?”
“Nikah!”
“Kamu tuh ya, enggak mau pacaran dulu, masa mau nikah
langsung,” celetukku sambil memandangi figura yang berisi
tulisannya yang seperti cacing kecacingan cacingnya cacing.
“Hahaha, ogah punya suami gila, nanti aku nambah obat
depresan.”
“Aku juga nggak mau punya istri cantik.”
“Lho? Kenapa?”
“Malah berbahaya, bisa-bisa aku kesaing cantiknya, tubuhku
mulus gini masa mau nikah sama yang lebih elok dan eksotis.”
“Hahaha, aku suntik baru tahu kamu,” katanya sambil mencubit
pinggangku.
“Ampun, Dok, ampun!”
Sejujurnya hanya dia yang melipurku setiap aku terkena titik
padam, iya, seorang dokter memang harus gila, gila agar
26
pasiennya terpengaruh dengan canda tawanya agar pasien tak
merasakan kepanikan dan kesakitan saat diperiksa. Setelah dia
menyuguhkan kopi khas Batang. Kami mulai berbicara serius.
“Begini, sebenarnya aku bukan punya keluhan penyakit atau
luka-luka. Tapi, ini lho pikiranku kayaknya harus direnovasi,
Dok. Udah mulai kempes.”
“Lho? Kenapa? Kamu mikirin apaan emang?”
“Nggak tahu nih, masa depan aja kayak petromak, terang
sebentar padamnya lama.”
“Hmm, keluhan pikiran lagi? Masih trauma? Atau kurang
makan ikan nih?”
“Emang aku kucing? Ya tapi bener juga sih ada baiknya makan
ikan.”
“Ya sudah, besok ke rumahku ya, kebetulan aku libur periksa.”
Akhirnya aku menganggukkan kepala, tanda setuju dengan
dokter cantik ini. Romansa apalagi yang harus aku dustai?
Keharmonisan mana lagi yang harus kuingkari? Nikmat mana
lagi yang harus aku dustakan? Mengulang-ulang kata-kata
sudah 21 kali, karena bentuk syukurku. Percaya atau tidak,
selanjutnya hanyalah tangan kosong yang kuisi dengan
segenggam cinta-Nya.
8 November 2018
Tersisa serpihan kaca di bajuku, bekas jerapah yang
menabrakku semalam, saat aku pulang dari klinik itu. Entah
kejadian apa lagi yang harus kualami, bernyanyi dengan
monyet, bercerita tentang bunglon, berkencan dengan dokter
gila, dan malam itu ditabrak jerapah yang angkuh. Absurd deh
absurd.
Menikmati hidup yang tidak ada habisnya untuk bersyukur,
tatkala rembulan menjadikan mimpi seorang yang selalu meniti
waktunya untuk bersikap facedown. Menundukkan kepala
untuk menghormati adalah kebiasaannya. Menapaki jejak
malaikat adalah kesukaannya, mencari jejak-jejak mesra dari
lamunan pohon pinus yang melambai-lambai. Menampilkan
jerami yang tumbuh tegak di antara rambutku, setelah aku jatuh
hati dengan dokter itu. Ah, kau jatuhkan lagi, kali ini aku tak
boleh jatuh, aku harus tertidur. Ketukan di atas keyboard
membisingi seluruh telinga kota, tikus-tikus yang risih, kucing
yang kelayapan hingga burung hantu yang terbangun dari
tidurnya, disebabkan karena kegilaanku, Kasih. “Oh Tuhan,
ngopi yuk, sekali-kali kencan di Kafe gitu, masa di pantai
27
terus, masuk angin dan meriang ini. Aku jadi enggak fokus
kerja.”
Aku duduk di atas lamunan sang penyair, asal kota Lama,
Cassablanca tepatnya di daerah Maryokarso Notonegoro, atau
biasa yang disebut dengan Maroko. Dia adalah penyair yang
sangat gila akut, dua tingkat dariku stadiumnya. Kalau kalian
pernah melihat orang suku Dani, di lembah Baliem sana,
penyair ini salah satu penikmat budaya mereka sehingga ia
sering ke Indonesia dengan alasan riset dan bertemu dengan
kanibal-kanibal dan gento-gento sepertiku. Di ujung
angkringan, dia dan aku berbincang mengenai senja yang tak
mau pulang, ia tersendat oleh macetnya biaya tiket pulang ke
matahari, jujur saja Anda pasti membayangkan kalau senja di
sore hari tampak lebih lama, rembulan menganggur dan
bintang-bintang menunggu sambil bermain gaple dan domino.
Semenjak itu, senja mengirim pesan SMS kepada matahari,
“Woi, ini mahal banget tiketnya! Penyiksaan banget ini, baru
tahu kalau tarifnya segini, biasanya enggak segini nih,” kesal
sang senja dengan melotot memperlihatkan nota tarif
pembelian tiket kereta api tadi siang.
“Lah wong emang harganya udah segitu, Mas. Kalau mas mau
tiket murah, noh tiket odong-odong, mau? 5 juta satu album?”
“Wuhh malah guyon, serius to, Pak. Ini gimana? Aku mau
pulang, istriku sudah lama enggak dapet jatah makan udah 50
menit lho belum makan dia.”
“Gendheng, wedhus, aku tuh gak guyon, Mas, emang semua
harganya tiket udah mulai naik, dasar enggak pernah liat
berita.”
“Lah wong beritanya gak ada yang lucu, masa beritanya cuma
itu-itu aja, paling yang lagi rame antara dibaca atau ditulis.
Udah itu doang, Pak.”
“Wuhh dapurane pancen, udah udah sebentar lagi berangkat,
kamu mau pulang apa enggak?”
“Ngutang dulu, besok aku bayar! Sumpah, cepet Pak.”
“Bener lho, besok bayar langsung kontan. Titik.”
Akhirnya selesai sudah. Senjanya pulang, bintang-bintang
malah ketiduran, rembulan asyik-asyikan saja di atas langit
hitam dan biru. Syukurin kamu, malah tidur bukannya bangun
terus ngasyikin orang-orang, sebentar lagi ada harimau lewat
langit lho, buruan keburu kalian diterkam.

28
Begitulah cerita kami, aku tak ingat bagaimana kelanjutannya,
penyair prosais terkenal dengan ceritanya yang berjudul
“Berjudi dengan Malaikat dan Iblis", dari cerita itulah aku jadi
makin gila, ternyata kegilaan itulah sebenarnya kebahagiaan.
Kita bebas melangkah kemana pun kita mau, kita bebas
mengarahkan tubuh kita mau menuju kemana, kita seimbang.
Waktunya menghadap Tuhan, ya mandi dulu pake baju yang
bagus, rapi dan wewangian, namanya juga mau ketemu
kekasihnya ya harus stylish. Setelah menghadap Tuhan, ajaklah
Dia menjadi teman setiamu, dengan menyebut nama-Nya terus
menerus sampai kamu tidak hafal namanya karena namanya
sudah terlarut dalam manis jiwamu. Kok manis? Nah orang
putih jiwanya kayak susu sapi yang dikasih jahe dan gula aren.
Mantap tenan, lhim!
Setelah bercerita tentang indahnya kegilaan hidup, maka kami
memutuskan untuk kembali ke jiwa masing-masing. Aku tahu
saat itu adalah pertemuan terakhirku dengannya, aku ingin
sekali dibawa pulang oleh dia, agar aku tak bisa merasakan
kenormalan dalam hidup. Hidup normal hanyalah kenyataan
yang fiktif, kehancuran yang lembut hingga keluhuran yang
singkat. Absurdis dan kaum Crazinisme telah menyeburkan
beberapa kawat-kawat yang terpampang di atas tembok
pembatas bukan penghalang untuk para pencuri, tetapi untuk
variasi rumahnya karena tak ingin menghiasi lampu karena
sudah ada lilin, makanya ia membeli kawat saja. Praktis dan
gampang diisi ulang.
Telegram-ku berdering, eh ternyata kamu, ketagihan kayaknya
setelah kutinggalkan. Aku tak mengangkat telegramku tanda
sedang ditelepon. Aku mengantuk, aku ingin tidur di atas
kolam renang Dufan, sambil minum susu jahe khas
Yogyakarta. Dan kembali menuliskan ayat-ayat kegilaan yang
dideklarasikan menumbuhkan kesucian kopi yang hitam, dan
membersihkan air jernih di pelupuk mata.
Aku ingin meminum darahku sendiri, aku ingin mencabut
otakku dari kepala yang tak pernah bisa menunduk, aku ingin
jiwa ini kembali pada semula, kuingin, Tuhan... Aku ingin
semuanya tak lagi terjadi padaku, haruskah aku mensucikan
diri, haruskah aku mendeklarasikan bahwa aku adalah
kebenaran. Tidak! Kebenaranku dan kesucianku hanyalah
ilusi, hanyalah citra yang tak natural dan angkuh, kuingin
hitamku memelukku setia, kuingin dosa-dosaku kembali
berkobar di setiap waktu. Maaf, Tuhan. Pengampunan-Mu
besar, kasih sayang-Mu halus dan agung, manusia sepertiku
hanya ingin di pelukan-Mu, hanya Engkau yang mau
menerimaku dalam kehitaman jiwa, aku tak ingin putih, aku
29
lebih nyaman hitam tetapi tak pernah berhenti kusebut nama-
Mu, kusebut syukurku pada-Mu, atas nama cinta Tuhan, aku
mencintaimu dalam kehitaman dan kepekatan jiwa yang
seperti cairan aspal dan nikotin. Tetapi, aku mencintaimu
setiap waktu, seperti Engkau mencintaiku setiap waktu aku
hidup dan mati.
Kata-kata terucap otomatis. Entah dapat darimana aku
mendadak bermonolog? Ke-absurd-an yang ke 129 telah
menciptakan sebuah fatwa kehidupan bahwa tidak ada rasa
syukur yang luntur, bagaikan kain batik motif tulis canting
yang sudah dijemur. Begitulah kehidupan, melunturkan artinya
membunuh dirimu sendiri, memudarkan hanyalah menghapus
sebagian otakmu, sebagian jiwamu juga menghilangkan bulu-
bulu yang ada di tubuhmu yang anggun. Kepiting-kepiting
berenang di lumbung padi, menanti serdadu kodok yang sudah
menyusun pertemuan seusai maghrib, melalui WhatsApp-nya
ia menceritakan banyak hal yang harus kita makan, kita kelola
di dalam lambung yang menggoda para bidadari di dalam
jantung yang membara. Sebuah nota terwangi di alam raya,
pasukan kepiting menyalamiku dan memberikan nota padaku,
haruskah aku kembali menginap di kemerdekaan lorong-lorong
candu, haruskah aku kembali mengiris baja-baja yang semakin
mengelabui cantiknya bunga Rafflesia? Aku tidak akan pernah
berhenti, saatnya mengabdi dan goreskan segala lipstik
berwarna, goreskan beberapa saus dan kecap untuk kembali
berdansa di balik prahara.
9 November 2018
Aku kembali dalam normalku. Aku menghubungi wanita itu
setiap saat, dan hampir setiap jam aku melewati hari
bersamanya. Walau terpisah jarak yang jauh, dan kedekatan
yang berbanding 1:3, aku belum memberanikan diri untuk
mengatakan bahwa aku menginginkannya. Bagiku, terlalu
cepat, tetapi aku tak bisa menahan. Akhirnya, aku putuskan
untuk membebaskan ia bersamam lelaki lain. Sungguh apa
yang ada dalam pikiranku. Aku mengkhianati Penciptamu,
Kasih. Namun, itu ssmua agar aku tenang menjalani kegilaanku
padamu, pada-Nya. Maafkan. Mungkin aku lebih
membutuhkan ssjuta pasang mata untuk memakiku,
menghinaku hingga menusuk jiwaku yang pesimis dan
traumatik.
Mengapa aku harus pesimis terhadapnya? Apakah aku tak
pantas mendapatkannya atau takut karena tanggungjawab
mencintai wanita? Membosankan memikirkan itu, darahku
berhenti mengalir waktu itu, dan kembalikan aku dalam lelapku

30
yang lama. Hibernasi selama 13 jam lamanya, aku terbangun
oleh riuh angin yang kencang, aku terkejut oleh nirmala yang
datang menyergapku. Tanyakan hal yang membuatku pilu dan
kelu, ada apa gerangan? Aku terpasung oleh sebuah harapan
yang ingin aku ungkapkan dan sampai saat ini aku hanya
membatalkan rencana, sekiranya aku bisa untuk lebih lama
belajar mencintai, terutama mencintai kegilaanku sendiri. Aku
takut. Sangat menyeramkan berhadapan dengan pucuk-pucuk
cinta yang membuatku terpana. Aku relakan engkau
melukiskan bulan sabit di atas mataharimu. Kasih, mengertilah,
lelaki pengecut bukanlah yang tak memberanikan ungkapkan
perasaannya, melainkan ia hanya tak bisa memegang lembut
tanganmu dengan sentuhan klasik, dengan belaian yang amat
puitis sehingga lelaki ini hanya mampu berdiam diri di dalam
gua yang penuh kebisuan. Akhirnya, aku, kau, dan sebait
kenangan telah kurangkai dengan sajak-sajak,

Ibarat rantai berpaling pada hujan


Ibarat rembulan menjalar dan kesepian
Kesepian kita adalah nyata
Kesepianku hanyalah dirimu yang tiada.
Maafkanlah, wanitaku
Kuharap kau tak melantunkan elegi
Kuharap kau selalu bersemi
Di hujan yang semakin mengharum.

Setelah pulang dari perantauan masa silamku, setelah sekian


lama berkencan dengan dokter, aku pun mulai merenungkan
sebuah pernyataan bahwa tiada lagi cinta yany sunyi, tiada lagi
cinta yang berisi, tiada kata maaf yang suci, keharmonisan
memeluk seluruh jiwa sepi. Disinilah aku mulai menyakiti diri
sendiri, maafkan Tuhan.
Berulang kali aku menghubungi wanita pelukis itu, tetapi tak
pernah ada jawaban. Biasanya jam 7 pagi sudah menyapaku
untuk mengingatkan pengharapan dan pensyukuran setelah
menuai mimpi indah. Andaikan kau disini, kau akan melihat
kaca-kaca yang menempel di tembok kamarku, yang aku susun
membentuk nama-nama para Malaikat yang sedang
menginterogasi diriku. Aku ambil sebuah piringan hitam,
menyeduh kopi dan menikmati sisa-sisa kehangatan malam di
31
balkon rumahku. Sembari merenungkan, sangkaku kau pasti
masih bercumbu dengan sahabat Venus yang setia di ufuk
barat, melambaikan tangannya untuk kembali pulang. Tetapi,
kau ciptakan sendu di balik gorden batikmu itu, dan kau pagi
ini meredupkan lamunan.
Akhirnya, aku putuskan mengirimkan pesan terakhir untuknya,
semoga kita bisa bertemu kembali,
“Hai, selamat pagi. Selama ini kau mengganggu pikiranku,
selama ini kau menghujam seluruh nadiku untuk mengingat
bahwa kita merasa ada hal yang perlu kita bangun, iya, cinta.
Semoga kau bersinar di pagi hari ini. Semoga bukumu kembali
mencatatkan sebuah lamunanku ini, semoga saja dan semoga
terwujudkan. Tenanglah, Tuhan, malaikat, iblis, setan dan aku,
masih ada di jiwamu.”
Boleh kalian bayangkan, betapa manisnya hidup ketika suara
bisikan Tuhan menenangkan jiwa kalian, dan seandainya Tuhan
bisa kalian peluk, apa yang akan kalian sampaikan? Pastinya
rindu dan kecintaan yang sangat mendalam. Begitulah yang aku
rasakan. Merasa dipeluk Tuhan, dibelai rambutku oleh
malaikat, hingga iblis an setan menghiburku untuk tak bersedih
hati. Apa yang kalian ucapkan ketika kalian mendzalimi iblis
dan setan? Mereka adalah saudara kalian. Itu pun jika kalian
tahu. Begitulah Tuhan, menciptakan saudara yang tiada
habisnya dan tak terhingga. Mari kita syukuri pagi ini hingga
malam nanti kita memimpikan sebuah arena pertarungan antara
ego bertindak kasar kepada saudara dan ego memperbaiki jiwa
karena ditenangkan oleh makhluk Tuhan yang paling setia.
Sejenak aku menyetel nada-nada sumbang, hingga membuat
jantungku melemah dan tak bisa berdetak lagi. Sesal dan sesak.
Karena terlalu pahit untuk menerima wanita yang sangat
mencintainya sendiri. Ah, sudahlah. Lagipula aku masih
nyaman untuk sendiri. Dan pengalaman pertamaku dalam
menghanyutkanku dalam perselingkuhan yang tak bisa diungkit
kebenarannya. Mungkin suatu saat kalian akan tahu, bagaimana
rasanya dihujam pesimis dan trauma akan hadirnya cinta pada
manusia kekinian. Pagi itu, aku masih terbungkam. Melihat
foto kita berdua di Bali dan Yogyakarta, yang di Semarang ada
di ponselnya. Kemarin, hanyalah ilusi, hanyalah bayangan,
yang menyulap mataku menjadi biru, maafkan. Aku tak bisa
menceritakan lama-lama agar tak menyurutkan rasa
keingintahuan pada sesi selanjutnya. Aku terus menuliskan
beberapa kali aku berkecimpung dalam dunia percintaan dini.
Dunia yang penuh sumbang, dunia penuh keharmonisan yang

32
tidak baku, keharmonisan yang palsu, hingga membuat diriku
tak bisa bangkit lagi. Maafkan.

Liburanku hanyalah fokus terhadap apa yang aku miliki dan


aku inginkan, dan aku menginginkan sebuah kebebasan diri
yang sangat absurd. Selamat pagi pegiat aksara, semoga doa-
doamu menjadi puitis, kala berkumpul dengan para historis, di
depan layar kaca yang magis, menyulap semua kata-katamu
menjadi sebuah alasan untuk bersyukur pada Tuhan Maha
Romantis.
Liburan tetap saja liburan, menulis tetap saja menulis, sebuah
ingatan dan memeras lamunan untuk kutulis di sebuah kanvas
kosong. Tatkala laptopku kembali menari, dan melantunkan
kata-kata indah, suara ketukan pintu terdengar.
Tok, tok, tok...
Aku langsung ke depan untuk memastikan siapa yang datang
mengelabui lamunanku untuk kembali beraktivitas, dan aku
terkejut siapa yang datang,
“Hei, kamu kenapa? Tiba-tiba kau kembali dalam pelukan
kelammu?”
“Oh, tidak apa-apa. Aku tidak ingin saja ketentraman hati
diusik oleh rasa cinta yang semakin memperburuk hari-hariku.”
“Oh begitu, bicaralah. Aku siap mendengarmu.”
“Ya sudah kalau kau memaksa, mari duduk dulu di dalam. Gak
enak kalo di luar dikira ngobrol sama saleswoman.”
“Iya, pesen kopi ya!”
“Iya siap, Toraja atau Pekalongan?”
“Apa aja deh, yang penting buatanmu.”
Kenapa dia selalu tahu tentangku, padahal aku tak membuat
story atau postingan di media sosialku. Mengapa dia selalu tahu
bahwa aku gelisah dan murung, mengapa dia selalu tahu kalau
aku dilanda kebahagiaan yang merdeka. Entahlah, ini bukan
manusia biasa, kalau menurutku, menurut kalian?
“Hei, Noto, bukumu yang isinya guratan emas itu mana?”
tanyanya sambil melototi rak bukuku di ruang tamu.
“Cari saja, sampul merah putih.”
“Siap, komandan!”

33
Sembari aku membuat kopi, ada rasa ketenangan di batin, entah
ini perhitungan ala Socrates atau publik Tarumanegara yang
berkata tentang kegelapan jiwa hanyalah sebuah bintang, dan
sayup-sayup mawar kembali menghilang di belatimu. Artinya,
kita tak bisa menghilangkan dosa dengan dosa, kita tak bisa
menambah dosa dengan dosa, hanya kita bisa memperkirakan,
bukan menghitung. Kita tak berhak menghakimi diri sendiri,
kita tak berhak mempersempit jiwa dengan pahala dan dosa.
Andaikan pahala dan dosa adalah notasi yang ada rumusnya, itu
akan berakibat fatal, bisa jadi teori matematika hanya untuk
menghitung keduanya, apalagi mempelajari peluang
menyebabkan kepiluan Tuhan karena hak-Nya sudah direbut
oleh manusia.
Air panas sudah siap. Saatnya menyiram bubuk kopi, dan
aromanya sampai penjuru ruang tamu. Harum, nikmat dan
tambahan gula aren semerbak berharmoni. Aku siapkan dengan
roti panggang yanh aku hangatkan, dan aku melihat dia sedang
asyik membaca bukuku. Aku pura-pura diam saja duduk di
depannya.
“Hmm, Noto, ini kopimu harum banget, sampai sini.”
“Ya iyalah, kopinya kaum sudra ya gini.”
“Hoo, kirain masih di dapur, aku udah teriak-teriak terus,”
katanya sambil mengacak-acak rambutku. Kebiasaannya yang
tak bisa hilang sejak aku bertemu dengannya di bilik perawatan
intensif, ketika ia sedang PPL. Ia gemas melihat tingkahku, dan
sebutkan saja apa yang ingin kalian katakan melihat suasana
seperti ini. Aku bukan pasangannya, aku hanya sel aktif yang
melengkapi kehidupannya.
“Ya sudah nih, diminum. Keburu hangat lho, gak enak.”
“Loh? Ada roti juga?”
“Antisipasi kalau kamu belum sarapan. Lagian perawat harus
selalu sehat dan semangat, ‘kan?”
“Soktau kamu!” gerutu sambil tertawa.
Asyik melihatnya, gemuruh angin di padang pasir selalu
mencoba menjatuhkanku. Aku tidak akan mati, meskipun
sudah berganti-ganti raga dan kepala. Aku hanya ingin
semuanya berjalan abnormal. Semuanya berjalan tanpa ada
persepsi lain yang membuatku tak ingin lagi hidup, semua
berjalan semestinya. Tak ada lagi pengekangan atau paksaan
untuk pilihan, aku ingin seperti ini. Aku ingin semuanya
tentang wanita, iblis, setan, hewan, dan Tuhan selalu

34
mengiringi hari-hariku yang sangat tak wajar. Aku ingin,
Tuhan.

“Jadi gini, Dok. Aku jadi mikir tentang bagaimana sih buat
ngelurusin niatku buat hidup, aku tuh kebingungan sampai aku
hampir depresi lho, gara-gara mikirin hidupku ke depan?”
“Ya tinggal kamu punyanya apa, lakukan. Kamu ingin apa
lakukan aja. Jangan mikir yang jauh-jauh dulu, lagian kan
kamu sudah tahu apa masa silammu? Gimana rasanya?
Mestinya kamu perlu refresh dulu, kosongin dulu, sebelum
kamu mau mengisi hal-hal yang berat, jangan ditumpuk
langsung.”
“Nah itu yang aku bingung, gimana cara refreshnya? Apa
dengan jalan-jalan? Kalo sama kamu sih aku mau banget,
malah lebih cepet, hahaha.”
“Tapi terima konsekuensinya.”
“Apa tuh?”
“Memberi makan pada pekerja profesional.”
“Hoalah jangkrik! Kalo itu sih bisa diatur di malam minggu
nanti.”
“Haha! Kalau cuma itu sih boleh-boleh aja, tapi kalau ada yang
mengebom kita, bagaimana?”
“Bom balik pakai kentutmu!”
“Dapurane rek! Hahaha!”

Pecah seketika di ruang tamu, tak ada lagi sunyi kecuali


kepingan cantik di antara pintu dan jendela. Aku jadi tahu,
hidup bukan hanya pemikiran dan teori semata, tetapi harus ada
tatanan yang harus benar-benar kita susun demi tegaknya diri
kita. Kalau semua itu kau anggap sepele, kau akan terlambat.
Terlambat mandi, makan, nyuci bahkan kerja pun kau akam
terlambat. Menata diri dan menata hidup itu bedanya tipis,
cuma di bagian objeknya saja. Jadi, kapan kita mau menyadari
keduanya? Mulai saat ini, kita mulai sama-sama, ya.

Setelah dua jam kita membicarakan banyak hal, akhirnya waktu


menunjukkan tepat jam 12 siang. Artinya, aku harus
mengantarkan sebuah undangan yang paling wangi di dunia,
mengantarkan sebiji berlian yang sangat berkilau,
bermahkotakan emas bercahaya terang di antara sayup-sayup
keheningan masa lampau. Iya, Aninda Rahayu Galih Pamuji,
wanita lulusan S1 kedokteran di Universitas Indonesia. Dialah
kerabatku dari kecil, yang gemar bermain bersama bunglon dan
monyet, jika aku harus bercerita tentang masa kecil kita dulu,
akan menjadi satu buah novel lagi. Dan saat ini aku hanya
memaparkan identitas masa lampaunya saja, dan betapa

35
asyiknya masa kecil kita dahulu, ketika ia berani berenang di
lautan limbah yang bercahaya dan angkara murka. Ia hanyalah
wanita dari 278 wanita di desa yang memberanikan diri
menjadi seorang autentisi yang mendominasikan dirinya
dengan sebilah bambu.

Pastinya kalian bertanya-tanya, mengapa wanita itu


mendapatkan gelar dokter gila yang seringkali aku sematkan
padanya? Mengapa wanita itu bermultitalenta? Mengapa wanita
mau bergabung dengan gelandangan, penyair hingga musisi
jalanan? Jawabannya hanya ada di dalam dirimu sendiri sebagai
wanita yang berani memerdekakan diri. Percayalah, bahwa
kalian para wanita hanya mampu menampar wajahmu yang
jelek, kalian hanya mampu melukiskan di depan cahaya biru,
kalian hanya mampu berdiskusi tentang bagaimana uang itu
masuk dan keluar? Coba saja kalian pikirkan, bagaimana esensi
wanita seutuhnya? Sebenarnya kalian tahu dan sadar akan hal
itu, tetapi seringkali aku temukan bahwa kalin cantik dan
mempesona karena keinginan kalian sendiri. Cobalah
mengautentikasi diri, cobalah mempercantik diri dengan
caramu sendiri. Cobalah, dan akhirnya kau akan tahu, siapa
dirimu sebenarnya. Iya, wanita adalah wanita, dan wanita
adalah manusia, yang selalu membutuhkan pria dan wanita,
membutuhkan setan dan iblis, membutuhkan Tuhan dan
makhluk-makhluk terindah lainnya. Seperti bunga yang butuh
air, tanah dan pot supaya terlihat indah secara alami.

Di depan rumahku, aku menikmati kembali tatanan pot-pot


bunga di teras, sembari menunggu tukang jajanan melewati
jalan di depan rumahku. Aku ingin sekali mengecil, aku ingin
mengarungi lautan kata-kata dengan meraba tiap hurufnya, aku
ingin menata kembali pasir-pasir di pesiair laut Utara yang
semakin hari semakin membusuk. Aku ingin sekali membesar
karena aku ingin menyentuh beberapa awan di langit, aku ingin
sekali menyapa terumbu karang di lautan hingga memeluk paus
yang amat kusayangi. Aku ingin sekali, sekali saja dan aku
anggap sebagai kado teragung dan terindah dari Tuhan Maha
Agung dan Mengindahkan.

11 November 2018

Saat itu, iblis liburan ke nenek moyangnya. Ia tak bisa hadir


melipur lara masa silamku, terlalu pahit untuk diceritakan,
karena sudah berkali-kali harus berjibaku melawan seluruh
dollar, euro hingga riyal dan dinar, demi tegaknya keadilan dan
cinta yang abadi. Aku ingin kekotoran yang membawaku

36
kembali pada gerbong cahaya yang tiada habisnya. Gerbong-
gerbong impian para penikmat sarapan pagi di bawah pelangi.
Hingga kibarkan bendera kebanggaan di atas tatanan planet
yang semakin menggebu, tetap kita adalah butiran paair yang
tak terpakai. Kita tetap hanyalah jaring-jaring yang harusnya
terbuang, kita adalah kerumunan lalat yang sedang didoakan
supaya moksa kita berjalan dengan baik dan berhasil
menghadap Tuhan Maha Agung. Bisakah kita kembali, Tuhan?
Bisakah kita menuju ke pelukan hingga datang sebuah
senyuman yang begitu indahnya? Aku yakin, bisa.

Seakan mereka hilang satu per satu, entah kemana perginya


ketika aku kembali memadu kasih pada alam semesta hingga
kuarungi lautan sedalam-dalamnya. Ini aneh, mengapa harus
mereka yang pergi ketika aku pulang menjumpai mereka?
Sedangkan mereka berprinsip bahwa mereka akan menungguku
sampai aku pulang dengan kondisi apapun, sekalipun aku mati
mereka tetap menunggu. Tapi ini apa yang aku dapatkan,
hampa penuh kesejukan, sunyi yang mematikan. Aku mulai
menyadari hanya ada satu kawan paling setia, itu pun dari
instansi kependudukan dan pendidikan, seekor bunglon yang
menjadi Great Motivator, seekor hewan berpangkat Strata Dua
kembali menemuiku, ia mengajakku untuk bercengkerama di
pelataran sawah,

“Hei, sudah lama tak bertemu, sampai kamu lupa dengan apa
yang aku inginkan?”
“Apa itu? Kayaknya kamu nggak nitip deh.”
“Enak aja, aku nitip pesan sama kamu sebeluk kamu dijemput
burung-burung merpati.”
“Enggak ah! Kamu ngigau ya? Atau jangan-jangan kamu
mabuk laut? Gara-gara kemaren abis rapat coral and plants di
Karimun Jawa? Hayoo.”
“Gundulmu! Coba kamu ingat siapa yang nitip bawang hijau
dan jagung warna oranye?”
“Semprul! Mana ada, bung! Mati muda aku nyariin
ambisimu.”
“Lah kamu salah sendiri mengiyakan, tadinya kan kamu bisa
nolak,” serunya kepadaku.
“Kenapa kamu nggak ngingetin sih?”
“Nah ini ngingetin.”
“Bukan, bung! Yang itu.”
“Yang itu mana?”
“Itu teori penolakan secara halus.”
“Ya nggak aku kasih tahu, nanti kamu gampang bohong sama
aku. Ini hanya khusus buat orang-orang gila.”

37
“Hoalah edan tenan pancen! Ya sudah nanti ikut aku plesir
lagi,” gerutuku sambil menyalakan korek api.

Hari ini dingin sekali, untung stok kopi si Bunglon masih ada,
dan aku masih menikmati aroma segar tubuh ibunya dan
kembali bersua dengan rokok kretek yang masih tersisa di tas.
Syukurlah dia memberikan rokok padaku, dia tahu aku suka,
dan dia tahu bahwa kepuitisan seorang perokok ketika ia
melantunkan kalimat indah di meja makan setelah ia menamam
tembakau di pagar besi milik pemerintah setempat. Memang
seperti bajingan, dan memang bajingan sih, tetapi bukan
pencuri atau perampok, ia hanya menikmati kebebasan, bukan
materi semata yang didapat dengan cara-cara kriminal.

Ada satu pandangan yang membuatku agak nyaman di depan


rumah bunglon, mengapa setiap kali aku ke rumahnya selalu
aku ingat pohon-pohon yang menari, monyet dan biola yang ia
bawa, dan semut-semut nakal yang meramaikan teras
rumahnya. Pandangan itu saat ini tidak bisa ditemukan lagi?
Ada apa sebenarnya? Yang aku lihat hanyalah taman kecil yang
terdapat bonsai dan akuarium, yang di dalamnya ada ikan-ikan
kecil yang dilukis untuk membuat mata kita terpana padanya.
Aku heran, mengapa mereka tiada? Apa jangan-jangan mereka
sudah tidak ada lagi disini? Artinya bernomaden? Atau
melakukan perantauan ke pulau-pulau indah di tubuh mulus
ibunya? Ah, kalau aku boleh berpendapat, mereka mengasah
otak dan otot, juga keterampilan mereka. Hanya itu yang bisa
kusimpulkan malam ini, ketika setelah aku membaca guratan di
padang pasir hingga goyangan perut samudera biru, aku sudah
tahu, bahwa mereka hanya menata diri untuk masa depan
masing-masing. Keheranan dan kebingungan pun menjadi satu
persepsi. Mengapa aku tak bisa begitu? Entahlah, passion-ku
hanya bertonggak pada pena dan jari-jariku. Dan judgement
day-nya akan terjadi ketika kita bermesra pada diri kita sendiri
di hari tertentu.

Rerumputan sematkan nyawa di tepi


Hilir mudik silih berganti
Nikmati tiada henti
Imaji diri
Sembunyi
Dangkal mentari
Semakin buatku menari
Di atas cahaya-cahaya jeruji
Membiaskan makna terpendam di peci

38
Sajak-sajak itu kembali menuai pikiran, dalam benakku inilah
kehidupan? Jauh mata memandang memproduksi kesenyapan?
Di dalam palung janji-janji belaka tak terelakkan. Di kemudian
hari kita harus melawan atau berdiam di pesisiran, jangankan
bergerak satu lengan, lima puluh meter pun enggan. Padahal
hanya berjarak 30 cangkir kopi, tetapi kau memilih berdiam
diri, di kamarmu penuh kreasi, atas tangan-tanganmu yang
penuh karya tanpa bertepi. Aku harap hanya engkau, aku hanya
berharap suara parau, yang membinasakan diriku dalam putih,
menghanyutkanku dan tenggelam dalam kasih. Aku
merindukan, masa-masa dan lamunan, di mana hanyut dan
hujan, kembali pasa diriku bertuan.

Mata-mata semakin tak membendung keindahan pagar yang


memenuhi rumah. Terlihat dari dalam kamarku yang penuh
kenikmatan batin dan emosi, ingatkanku pada kejadian masa
silamku, ketika mewujudkan suatu kemerdekaan yang abadi
dari sekongkolan butir-butir asmara yang menembakiku
sepanjang waktu, membombardir seluruh ruang kaca di
sukmaku. Mengapa sekejam itu? Mengapa harus
mempertaruhkan nyawa? Ini bukan gerilya. Ini bukan
peperangan besar melawan seperempat dunia. Ini hanya
berkolaborasi dan berekspresi, tetapi mengapa aku menjadi
tawanan dalam dunia romansa? Alasan kuat menjadi sebuah
prinsip, bahwa romansa bukanlah hal terbaik dalam hidupku,
aku hanya ingin kebebasan murni. Setidaknya aku harus berani
keluar dari zona defensive mempertahankan perasaan tanpa
perlawanan, saat itu aku mulai bersiasat counter attack-all out
defence adalah sistem yang harus aku bangun. Berjalan
beberapa hari, berjalan tanpa kaki, berjalan tanpa kemauan hati
semakin kulakukan demi tegaknya sistem ini. Penjiwaan
semakin tercerahkan, perabaan pada kolase-kolase air terjun
semakin membuai pikiranku, ada apa di balik semua ini? Saat
itu, aku belajar dari air terjun.

Mengapa air terjun tak merasakan indahnya? Mengapa jerih


payahnya hanya untuk membutakan mata? Sedikit mengulik
rasa penasaranku, ternyata pengamatan cukup jelas. Ada titik-
titik pusat antara air dan bebatuan, dan mengapa aku harus
intelektual? Apakah ada kaitannya? Ternyata ada. Penjiwaan
itu perlu, memakan singa muda itu juga perlu, hingga
menggendong awan pun diperlukan saat meniti kehidupan.
Suara sirine menyambutku, bunglon dan dokter menyusulku di
depan air terjun.

“Noto! Ngapain kamu?” tanya Bunglon berteriak padaku.

39
“Biasa nih, semedi!”
“Ada-ada saja kau ini, ayo pulang.”
“Sebentar lagi, Bung!”

Giliran Dokter itu merayuku,

“To, ayo pulang udah mulai malam.”


“Iya, Nin, nanti sebentar lagi,” nadaku mulai lirih dan akhirnya
aku menyerah.

Akhirnya aku pulang. Mengapa mereka tahu? Mengapa mereka


sama sekali peduli denganku? Apakah nantinya mereka yang
menggantikan seluruh piluku? Semoga saja iya. Dan disaat
bilik-bilik kabin kembali menyergapku, berlangsunglah nada-
nada teduh itu, kembalikan cahaya yang semula menghilang di
pelataran kelamku, gelap terasa nikmat, alunan saksofon
menyeringai dan menghunus telingaku agar bisa tenang.

Matahari bersembunyi di balik senja yang indah, tapi aku


belum mencumbuimu. Mengapa kau melewatkan hari kita?
Kenapa harus kau yang bersembunyi? Kegelisahan menghujam
sukmaku petang itu, entah aku mau dibawa ke mana oleh dua
orang ini. Mereka hanya diam, dan aku pun ikut-ikutan diam.
Aku hanya mengakui bahwa busur panah terlepas tak terkira,
bahwa nama-nama yang disematkan telah berkeping-keping,
adakah pengampunan? Adakah pengayoman yang kupeluk?
Adakah? Ada.

Malam itu sunyi. Terobsesi dari banyaknya kisah klasik antara


Renaissance dan Julius Caesar, aku hanya berhenti berpihak
pada masa itu, aku tak tahu apa yang harys aku lakukan, aku
hanya menunggu mereka bertanya padaku, awalnya aku ingin
menceritakan ssmuanya tetapi aku tak ingin mereka merasakan
kegigilan dan kebusukan hidup ini. Absurdis hingga
komparatif, telah ditemukan sebuah bercak di pelipisku, sebuah
luka yang dilirik dari kemarin oleh dokter, dan Bunglon baru
mengetahuinya.

***
“Halo, To, dimana kamu?”
“Biasa nih, di rumah? Ada apa, Nin?”
“Temenin aku ke Jogja yuk! Nyari obat.”
“Aku sih ayok aja, berdua?”
“Masa sama kambing muda? Ya berdua lah!”
“Aku sih terserah, kapan?”

40
“Ini aku di depan rumahmu, keluar aja deh. Jangan lupa tapi,”
katanya belum selesai, aku langsung mencegatnya.
“Hmm kopi kan? Iya aku bikinin, tenang aja.”
“Eh bukan! Itu barang-barangmu, To, jangan lupa bawa.”
“Yaelah, oke deh buboss!”

Segera aku turun menemuinya, entah firasat dan nikmat dari


mana aku harus menemaninya setiap saat. Sebuah
keberuntungan kata si monyet, ketika seorang medis
mengajakmu kesana-kemari, berarti dia berada pada titik 2:1, ia
ingin ada seseorang di balik perjuangannya, ia ingin ada
menyemangati dan memotivasi, ia butuh sandaran. Aku
mencoba memakai teori ke-42 sang maestro musik sepertiga
dunia, monyet tampan namanya. Tanpa basa basi aku langsung
menyalami dan tak berhasil, justru aku disuruh menyetir
mogenya. Waduh, sangar! Ada apa ya? Wanita secantik ini,
dokter spesialis yang cantik dan muda, mengajak orang gila
untuk jarak jauh. Ya sudah deh, lakukan saja!
Tas,helm,kopi,coklat dan buku semua sudah siap, tinggal
tancap gas dan tak lupa beri salam hormat pada rumah cerita,
berkisar antara 24x20 m. Sempit tapi penuh cerita di dalamnya,
dan boleh kalian menerka, itu rumahku sendiri, diarsiteki aku
sendiri dan hanya orang tiga yang membangun. Aku, bunglon
dan monyet.

Tak harus basa-basi hai atau pendekatan untuk berbicara


dengannya, cukup lontarkan kalimat yang baru dia bicarakan,
langsung nyambung kemana-mana,

“Kamu nyari obat apaan emang?”


“Obat tidur, buat nidurin buaya.”
“Buaya tuh gampang ditidurinnya.”
“Gimana caranya, To?”
“Dikelonin aja sampe tidur.”
“Gundul! Bisa-bisa aku yang dikelonin!”
“Aku gondrong kali, Nin, gundul tuh si bunglon, banyakan buat
teori yang salah!”
“Hahaha, bisa bisa,” teriaknya sambil mengetuk helm-ku.

Dalam perjalanan kita hanya berbincang tentang keabsolutan


bumi dan indahnya ilusi-ilusi yang diberikan Tuhan, asyiknya
menikmati jalanan macet di tanah yang sangat metropolitan ini.
Di Tugu Muda tepatnya, sangat padat sekali seperti labirin yang
tersusun oleh mobil pribadi dan bis-truk yang berlalu lalang
melewati jembatan mirip yang ada di Prancis. Asyik sekali.
Lalu, di tengah perjalanan memasuki simpang lima, kita tak

41
tahu lagi untuk apa kita pergi, untuk apa kita menghabiskan
beberapa jam di atas aspal-aspal tak berantakan ini. Aku yakin
ini adalah sebuah pilihan untuk tetap pada perjalanan atau
justru memindahkan diri ke tempat semula. Andai saja ada
keinginan untuk menelepon iblis, aku sudah lakukan itu.
Namun mengapa aku tak bisa, seakan-akan terpasung, seakan-
akan terbuai lamunan indah sang putri cantik ini. Ah, jalan
pikiran mrmang menyenangkan tapi tak bisa terwujudkan
secara sempurna.

Setelah menempuh beberapa jam perjalanan, sampai juga di


gardu selamat datang di kota budaya, kota Yogyakarta. Di sana
langsung menuju rumah makan saja, perutku sudah mulai
keroncongan, maklum saja perjalanan Pekalongan-Yogyakarta
memang sangat jauh. Sekitar 6 jam kalau ngebut, kalau kejebak
macet bisa sampai 5 kali pertandingan sepakbola.

“Nin, mampir warung yaa. Laper nih aku, isi ulang bahan
makanan juga buat supir pribadimu hahaha.”
“Ke mana saja supir berpijak, aku selalu menurut.”
“Aku mampirin ke jual obat nih, mau?”
“Obat apaan emangnya, To?”
“Obat buat orang gila!” teriakku pas perjalanan.
“Huh! Dasar krupuk keanginan! Hafal juga ya kamu hahaha.
Aku gampar lho kalau sampai mampir kesitu, ntar aku disangka
emakmu!” katanya lantang serupa nada marah.
“Ampun mak ampun!”

Tanpa ampun ia langsung mencubit pinggangku, otomatis aku


langsung kegelian. Ada-ada dokter satu ini. Suka sih iya,
soalnya ia gila.

Sesampainya di warung, ia tak memesan apa-apa, hanya


minuman dingin yang ia bawa dari rumahnya. Aku bingung, ini
perut kok bisa kuat banget ya. Padahal kecil menggemaskan
tapi aku merasa heran. Mengapa nikmat Tuhan selalu terasa
asyik dan harus selalu disyukuri. Habiskan hari-hari di kota itu
membuatku merasakan kehangatan dalam jiwa, merasakan
indahnya dibuai asmara, tetapi aku masih saja enggan
menyatakan hal itu, aku masih ingin bersamanya tanpa ada
batas waktu. Selamanya mencintai bukan memiliki, tetapi
menjaga agar senyum dan tawanya selalu ada, mencintai wanita
memang bukan hal mudah bagiku, bagi kalian pasti mudah,
tidak ada kendala apa-apa karena semua pasangan kalian adalah
kesempurnaan dalam dirimu. Jika aku berempat dan saling
bergandeng tangan hingga berkomitmen, maka siapapun bisa

42
melakukannya. Mudah, cukup tambatkan kata sumpahmu dan
bertekad tidak ada yang boleh kehilangan senyumnya walau
sedetik walau saat tertidur. Terima kasih, Tuhan, saudara gilaku
yang Engkau ciptakan, berkali-kali menghantarkan kesejukan
dalam jiwa, dan semerbak harum cinta semakin mengasyikkan
hari-hari kita.

Beribu toko dan outlet aku cari, tetapi tidak ada yang
diharapkan oleh dokter itu, ke mana lagi harus kucari, aku
hanya hafal segelintir saja dan menanyakan 148 orang di pasar,
di gerai-gerai sampai tukang becak dan ojek pun aku tanyai
tentang obat yang dicari. Nihil. Tidak ketemu, ada raut sedih di
matanya, ada senyum terbalik di bibir mungilnya. Anindya,
bersabarlah, kiranya aku tak bisa mengantarkan dan
menemukannya, masih ada bunglon dan monyet yang siap
membantumu. Maafkan aku.

“To, gimana ini? Kita nggak nemu obatnya?” nadanya lirih,


pikirannya tak karuan.
“Tenang, Nin, tenang. Pasti ketemu kok. Itu toko sebelah
rumah makan belum kita cek. Ayo kesana, apa aku aja yang
kesana?”
“Bareng lah, gendong ya.”
“Iya, pake geredekan tapi, hahaha.”
“Aih Noto mah gitu.”

Sedihnya sangat manja, sehingga ingin sekali membuat ia


tertawa lagi. Menggemaskan dan lucu, tapi aku tak tega kalau
terlalu lama bersekutu dengan air matanya. Akhirnya, ekspedisi
terakhir dimulai, kalau outlet ini tidak ada yang kita cari, kita
akan pulang. Harus ada, harus. Kasihan dokter manisku ini.

“Pak, permisi. Ada obat kayak gini nggak? Buat ramuan.”


“Lah, Dik. Belum tahu ini, coba aku cek dulu,” kata Bapak
pemilik outlet, separuh baya tapi wajahnya terlihat tua karena
beberapa kumis dan janggutnya yang mempesona. Hitam pekat
tertata rapi khas Wakdoyok. Dan tampilan risau wajahmu
kembali kalutkan batinku, aku harus bagaimana lagi, aku tak
akan menyerah mengembalikan keberadaan bulan sabit itu,
tenanglah dokter muda. Aku mohon tenanglah.

Kupercepat laju langkahku untuk mencari di mana obat itu,


sangat dibutuhkan untuk ketenangan para pasien gila si dokter
yang cantik ini, di mana engkau berada? Semoga aku bisa
menemukannya. Satu langkah satu gang, dua langkah sampai
beribu outlet, mengitari Malioboro, Sleman,Kulon Progo

43
hingga berakhir di pantai Parangtritis, nikmati penat dan
lelahku bersamamu. Nikmatilah, Anindya. Nikmatilah.

“Kalau tidak ketemu, lebih baik kita pulang saja, To. Aku tahu
kau lelah.”
“Tak apa, Nin. Ini juga buat menikmati lelahku, jadinya aku
nggak kerasa capek.”
“Beneran, To? Kamu nggak apa-apa, kan?”
“Santai aja kali, Nin. Yang penting aku bisa menenangkan
batinku dan kamu juga.”
“Terima kasih, To. Kalau aku nggak ajak kamu, aku tambah
gila kayaknya.”
“Kamu kan sudah gila, ngapain pake embel-embel
‘kayaknya'?”
“Mau aku gila beneran?”
“Jangan dong, kalau kamu gila beneran, nanti aku nikah sama
siapa?”
“Apa hubungannya? Dasar semut kerupuk!”
“Daripada kumis kucing, hahaha!”
“Dasar kamu, To!”
“Dasar apa? Lautan?”
“Dasar gila, hahaha!”

Renyah bagai biskuit Regal yang baru kubuka dari plastiknya,


sampai plastiknya aku makan dan sampai di lambung, kualami
betapa hebatnya gelitik sang plastik menggoda darah-darah
yang melewati lambung, begitulah asiknya dirimu. Dokter gila
yang cantik, janganlah berpaling dari teman-teman gilamu.
Kasihan mereka butuh penengah yang asyik sepertimu. Aku
mensyukuri itu, aku menikmati bakteri jahat yang semakin
meradang jantungku.

Anindya, mari kita pulang, tubuh indahmu mulai resah,


menghalau alunan nada-nada merebah. Tidurlah di
punggungku, jangan hiraukan aku di saat menjagamu. Benar
saja selama perjalanan pulang ia hanya tertidur.

Bukankah semuanya adalah kenangan yang indah? Bukankah


ia hanyalah pendampingmu yang sejati? Aku mensyukuri
adanya. Aku mensyukuri bahwa tiada lagi yang harus kucari
karena dia ada disini. Iya, dia setia mempesona, sudah
waktunya aku menyelesaikan penelusuran, jelajah baru akan
dimulai, sudah tak ada lagi.

Intensitas cahaya di balik paraunya waktu, semakin buatku


menggerutu, ingin kuukir semua aspal berbatu, untuk

44
kunikmati sampai anak-cucu. Di kemudian hari, median dalam
jangka di lapisan otak semakin membentuk lingkaran, tak
berbentuk seperti elips yang bergelombang atau jangan-jangan
ini karena terlalu mengarungi matahari lebih lama, ataukah
terlalu banyak makan gurita yang sedang mandi di aliran sungai
Singkarang? Atau jangan-jangan bekas lumatan serigala salju
saat aku mendaki gunung Jayawijaya, dan diperkosa oleh
beberapa pinus dan cemara? Ataukah karena aku mengalami
penurunan tingkat gilaku? Ah, jangan sampai itu terjadi, jika
hanya terjamah oleh lambaian putri malu, aku masih ikhlas.

45
Chapter 2
Hiburan dan Ekplorasi Ketidakwarasan

14 November 2018
Pemetaan terbengkalai terjadi di antara sayup-sayup kamarku
yang sepi. Di antara tembok terlukis mural dan sajak-sajak
gilaku. Tanpa poster, tanpa figura, semuanya autentik dari
tanganku sendiri. Sebuah keagungan Tuhan yang tersemat
dalam bilah-bilah tanganku. Aku mensyukuri, aku menikmati,
kegilaanku dan ketidakwarasanku. Semoga kelak akan menjadi
saksi bagi anak, istri dan cucu-cucuku yang lucu. Serta para
kawan-kawan sejalan dan sejalang juga bisa menikmati
indahnya gubug yang aku susun selama 187 hari tepat setelah
aku terkena syndrome write addict. Haha mengagumkan, iya
sangat mengesankan. Di balik senyuman purnama, aku
bersujud dan meneriakkan lagu Kurt Cobain,

With the lights out, it's less dangerous


Here we are now, entertain us
I feel stupid and contagious
Here we are now, entertain us
A Mulatto
An albino
A mosquito
My libido

Keheningan itu semakin menguatkan emosiku, entah sampai


kapan aku akan ssmbuh total, ku berharap jangan sehat, aku
lebih nyaman dengan kegilaan yang memelukku hingga
menusuk dan merobek-robek paru-paru yang lembut. Tetapi
masih ada saja orang yang mencibir sambil mengacungkan
nama-nama buta aksara. Ah, sudahlah, jangan kalian hiraukan,
demi Tuhan aku hanya ingin bermesraan.

Seribu mahkota kembalikan sehatku dan deritaku, atas nama


kegilaan yang tak kunjung fana, aku hanya ingin kembali pada
masa silamku yang cerah, di mana aku hanya menemukan
bisikan-bisikan lembut di antara sayap dan angin. Antarkan
kecemburuan pada bulan, silau mentari buatku tampil
memukau di atas balkon kaca yang begitu pudar adanya.
Menuliskan sebuah sejarah yang tak boleh dikepal seribu
lengan bidadari, aku takut jika mereka hanya menghina dengan
butir-butir cinta yang membuatku trauma. Oh dokter cantik,
kembalilah padaku untuk berdansa di antara sejuta asteroid
yang habiskan malam yang haru. Haruskah aku menikmati

46
pelarianku bersama mentari yang membandingkan kamus dan
cerita fiktif. Aku gusar, Tuhan.
Siang di mata durjana, belaka tanpa bijaksana kembali menyita
pelukku. Angin pun tak lagi setia padaku yang selama ini
mencari-cari sebuah lentera, ada candu di antara bendera
membebaskan sukmaku yang hampir mati. Kala itu, butir-butir
kebisuan tak pernah ada lagi, membawaku melangkah ke
samudera yang kosong. Hamparan pasir adalah busur aktif
yang menghujam, lautan adalah kehampaan dalam jiwaku yang
tenang. Entah bagaimana harus mengarungi dan menjajaki
palung jiwamu yang penuh kesucian, orang-orang sudra tak
pernah diterima di sisi baiknya, dan lebih dikenal dengan
karung-karung penuh makna.

Sinarilah harapan ini, kepada hujan aku bernyanyi, kepada petir


aku mendambakan aksara tak bertulang, dan 10 malaikat yang
memelukku erat, seakan-akan aku tak boleh berlaku teoritis,
menghabiskan waktumu di alam olah pikir, dan hatimu sudah
terlalu banyak menanggung fana dan renjana. Dan aku belum
siap menanggung semua bencana yang telah kuterima selama
ini, di bulan Desember nanti aku harus mengatur strategi
kehidupan yang matang. Minimal bisa makan dan minum, serta
bersenang-senang, tak ingin aku menjadi semu di balik selimut
atau menjadi kertas usang yang tersedak kepiting. Aku tak
ingin.

47

Anda mungkin juga menyukai