Anda di halaman 1dari 13

Jurnal Education and Economics (JEE) ISSN: 2654-9808 E-ISSN: 2615-448X

PENINGKATAN PEMAHAMAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA


MELALUI METODE PROBLEM SOLVING

Sri Wiji Martani


SMK Negeri 2 Sukoharjo, Jawa Tengah
Email: sriwijimartani@gmail.com

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar bimbingan konseling
materi pemahaman kesehatan reproduksi remaja melalui metode problem solving
pada siswa kelas XII TPMI 1 SMK Negeri 2 Sukoharjo Semester II Tahun
Pelajaran 2016/2017. Metode penelitian menggunakan Penelitian Tindakan Kelas
yang dilaksanakan dalam dua siklus setiap siklus terdiri dua kali pertemuan, dengan
empat tahap penelitian: perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi. Subjek
penelitian ini adalah siswa-siswi kelas XII TPMI 1 SMK Negeri 2 Sukoharjo
semester II tahun ajaran 2016/2017. Dengan jumlah 36 siswa. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, tes, dan
dokumentasi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini adalah meningkatkan hasil belajar
bimbingan konseling materi pemahaman kesehatan reproduksi remaja. Hal ini
dibuktikan dengan peningkatan hasil belajar siswa pada siklus I siswa yang
berhasil mendapat nilai KKM, meningkat dari 21 siswa (58,33%) menjadi 24
siswa atau 66,67% atau terdapat peningkatan sebesar 8,34%. Sedangkan pada
siklus II meningkat menjadi 30 siswa yang mendapat nilai diatas KKM atau
83,33% atau terdapat peningkatan sebesar 16,66% dari sebelumnya. Berdasarkan
hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dengan penerapan metode problem
solving dapat meningkatkan hasil belajar pemahaman kesehatan reproduksi remaja
pada siswa kelas XII TPMI 1 SMK Negeri 2 Sukoharjo Semester II Tahun
Pelajaran 2016/2017.

Kata Kunci: hasil belajar, kesehatan reproduksi remaja, metode problem solving

Abstract : This study aims to improve the learning outcomes of counseling material
understanding of adolescent reproductive health through problem solving methods
in students of class XII TPMI 1 SMK Negeri 2 Sukoharjo Semester II 2016/2017
Academic Year. The research method uses Class Action Research conducted in
two cycles each cycle consisting of two meetings, with four stages of research:
planning, implementation, observation and reflection. The subjects of this study
were students of class XII TPMI 1 of SMK Negeri 2 Sukoharjo in the second
semester of the 2016/2017 school year. With a total of 36 students. Data collection
techniques used were observation, interviews, tests, and documentation. The data
analysis used in this research is qualitative descriptive analysis. The results of this
study were to improve the learning outcomes of counseling material for
understanding reproductive health in adolescents. This is evidenced by the
increase in student learning outcomes in the first cycle of students who managed
to get the KKM score, increased from 21 students (58.33%) to 24 students or
66.67% or there was an increase of 8.34%. While in cycle II it increased to 30
students who scored above KKM or 83.33% or there was an increase of 16.66%
from the previous one. Based on the results of this study it can be concluded that
the application of problem solving methods can improve the results of
understanding of adolescent reproductive health in students of class XII TPMI 1 of
SMK Negeri 2 Sukoharjo Semester II 2016/2017 Academic Year.

Keywords: learning outcomes, adolescent reproductive health, problem solving methods

44 Jurnal Education and Economics – Vol.02, No.01 (Januari-Maret) 2019


Sri Wiji Martani – SMK Negeri 2 Sukoharjo, Jawa Tengah

PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat mendasar bagi pembangunan
bangsa dan negara. Proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah melibatkan guru sebagai
pendidik dan siswa sebagai peserta didik. Hal tersebut diwujudkan dengan adanya interaksi
belajar mengajar atau proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang dilakukan oleh banyak
tenaga pendidik saat ini cenderung pada pencapaian target materi kurikulum atau lebih
mementingkan pada penghafalan konsep bukan pada pemahaman. Hal ini dapat dilihat dari
kegiatan pembelajaran di dalam kelas yang selalu didominasi oleh guru. Dalam penyampaian
materi, biasanya guru menggunakan model ceramah, di mana siswa hanya duduk, mencatat,
dan mendengarkan apa yang disampaikannya dan sedikit peluang bagi siswa untuk bertanya
tentang materi yang disampaikan tersebut. Mata pelajaran yang dilakukan dengan monoton
akan menimbulkan kejenuhan bagi siswa. Oleh karena itu, setiap mata pelajaran yang ada di
sekolah yang disampaikan di kelas-kelas termasuk mata pelajaran bimbingan konseling atau
BK harus disampaikan dengan metode yang sesuai dengan kondisi siswa didiknya agar dapat
tercapai pembelajaran yang optimal.
Konseling adalah hubungan pribadi yang dilakukan secara tatap muka antara dua orang
dalam mana konselor melalui hubungan itu dengan kemampuan-kemampuan khusus yang
dimilikinya, menyediakan situasi belajar. Dalam hal ini konseli dibantu untuk memahami diri
sendiri, keadaannya sekarang, dan kemungkinan keadaannya masa depan yang dapat ia
ciptakan dengan menggunakan potensi yang dimilikinya, demi untuk kesejahteraan pribadi
maupun masyarakat. Lebih lanjut konseli dapat belajar bagaimana memecahkan masalah-
masalah dan menemukan kebutuhan-kebutuhan yang akan datang. (Tolbert, dalam Prayitno
2004: 101).
Bimbingan konseling akan lebih efektif jika dilakukan melalui dunia pendidikan formal,
sehingga sumber daya manusia akan semakin baik dan terarah. Sumber daya manusia akan
jauh lebih mudah ditingkatkan jika melalui proses pendidikan, sebagaimana yang
dikemukakan oleh para ahli, bahwa pendidikan merupakan cara terbaik untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia suatu bangsa (Tho’in, 2017: 162). Pendidikan menjadi motor
penggerak bagi keberlangsungan sumber daya manusia yang handal suatu negara. Sehingga
pendidikan menjadi suatu aspek kehidupan yang sangat mendasar bagi pembangunan bangsa.
Pembelajaran biasanya hanya disampaikan secara konvensional, dimana guru yang
berperan aktif, sementara siswa cenderung pasif. Sikap siswa yang pasif dapat mengurangi
keterlibatannya dalam mengikuti proses pembelajaran yang dapat mengakibatkan turunnya
minat siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Masalah lain yang muncul adalah
rendahnya kemampuan sosial antar siswa. Rendahnya rasa sosial ini akan menimbulkan sifat
individualisme pada diri siswa. Hal ini sangat tidak baik jika terus menerus ada di dalam diri
siswa. Oleh karena itu, guru harus berperan aktif untuk menumbuhkan rasa sosial di antara
siswa. Karena dengan tingginya kemampuan sosial yang dimiliki, para siswa akan lebih
mudah berbaur di dalam lingkungan hidupnya. Dalam hal lain yang dapat dikatakan masalah
adalah kurangnya rasa percaya diri dalam diri siswa untuk mengemukakan pendapat dan
berbicara di depan umum. Banyak siswa yang lebih memilih untuk memendam pendapatnya
selama proses pembelajaran. Sebagai pengajar, guru harus membantu siswa menggali
kepercayaan diri mereka. Karena dengan adanya rasa percaya diri, siswa akan lebih yakin
untuk berbicara di hadapan orang.
Hasil belajar siswa sangat dipengaruhi oleh kualitas pembelajaran yang dilaksanakan
di sekolah. Salah satu yang menentukan kualitas pembelajaran adalah penggunaan model
pembelajaran yang tepat dengan materi yang diajarkan. Pada kenyataannya banyak sekolah
yang kurang memperlihatkan penggunaan model pembelajaran dalam setiap penampilan
mengajar. Dengan demikian, suasana pembelajaran menjadi tidak kondusif sehingga siswa
menjadi pasif. Kenyataan ini berlaku untuk semua mata pelajaran termasuk mata pelajaran
bimbingan konseling.

Jurnal Education and Economics – Vol.02, No.01 (Januari-Maret) 2019 45


Sri Wiji Martani – SMK Negeri 2 Sukoharjo, Jawa Tengah

Upaya peningkatan prestasi belajar siswa tidak terlepas dari berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Dalam hal ini, diperlukan guru kreatif yang dapat membuat pembelajaran
menjadi lebih menarik dan disukai oleh peserta didik. Suasana kelas perlu direncanakan dan
dibangun sedemikian rupa dengan menggunakan model pembelajaran yang tepat agar siswa
dapat memperoleh kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain sehingga pada gilirannya
dapat diperoleh prestasi belajar yang optimal. Untuk itu perlu disadari oleh guru bahwa dalam
melaksanakan pembelajaran perlu pula diupayakan pembelajaran yang bersifat membangun
dan memberikan pengalaman terhadap materi-materi yang diberikan.
Keterbatasan waktu yang tersedia menyebabkan guru mengejar target pencapaian
kurikulum memilih jalan yang termudah untuk menginformasikan fakta dan konsep, yaitu
melalui model ceramah kemudian latihan soal dan siswa memperhatikan penjelasan guru
tanpa melakukan aktivitas sehingga siswa pasif. Guru dalam mengajarkan bimbingan
konseling (BK) khususnya sub pokok bahasan pemahaman kesehatan rekproduksi remaja
kepada siswa kurang melibatkan siswa secara aktif dalam interaksi belajar mengajar sehingga
siswa kurang termotivasi dalam belajar. Guru juga kurang melibatkan lingkungan sebagai
media sehingga siswa kurang mengenal lingkungan dan tidak dapat memperoleh pemahaman
yang berarti. Disaat proses belajar mengajar berlangsung, guru kurang menggunakan model
pembelajaran yang bervariasi sehingga hal tersebut dapat menyebabkan siswa jenuh dan
kurang aktif.
Menurut WHO (2006), kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan kesejahteraan fisik,
emosional, mental dan sosial yang utuh berhubungan dengan reproduksi, bukan hanya bebas
dari penyakit atau kecacatan namun dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem
reproduksi, fungsi serta prosesnya. Individu yang sehat secara reproduksi memiliki cara
pendekatan yang positif dan penuh rasa hormat terhadap seksualitas dan hubungan seksual,
mereka juga berpotensi untuk merasakan kesenangan dan pengalaman seksual yang aman,
bebas dari paksaan, diskriminasi dan kekerasan (Potter & Perry, 2009).
Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi sehat yang menyangkut sistem,
fungsi, komponen, dan proses reproduksi yang dimiliki oleh remaja. Pengertian sehat disini
tidak hanya bebas dari penyakit atau bebas dari kecacatan, namun juga sehat secara mental
dan sosial budaya (BKKBN, 2008)
Penggunaan berbagai macam model pembelajaran dapat memakan waktu yang lebih
lama sementara waktu mengajarnya terbatas. Guru juga jarang sekali menggunakan
pendekatan pembelajaran ketika sedang mengajarkan materi bimbingan konseling. Terkait
belum optimalnya proses pembelajaran bimbingan konseling di kelas XII TPMI 1 SMK
Negeri 2 Sukoharjo, maka peneliti berupaya untuk menerapkan metode problem solving
sebagai salah satu alternatif pembelajaran bermakna yang bermuara pada pembelajaran yang
aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan bagi siswa.
Metode problem solving adalah cara mengajar yang dilakukan dengan cara melatih para
murid menghadapi berbagai masalah untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama
(Alipandie, 1984:105). Menurut Sudirman (1987:146) metode problem solving adalah cara
penyajian bahan pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk
dianalisis dan disintesis dalam usaha untuk mencari pemecahan atau jawabannya oleh siswa.
Menurut Gulo (2002:111) menyatakan bahwa problem solving adalah metode yang
mengajarkan penyelesaian masalah dengan memberikan penekanan pada terselesaikannya
suatu masalah secara menalar. Menurut Djamarah (2006:92) metode pemecahan
masalah (Problem Solving) adalah penggunaan metode dalam kegiatan pembelajaran dengan
jalan melatih peserta didik menghadapi berbagai masalah baik itu masalah pribadi atau
perorangan maupun masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama.

46 Jurnal Education and Economics – Vol.02, No.01 (Januari-Maret) 2019


Sri Wiji Martani – SMK Negeri 2 Sukoharjo, Jawa Tengah

Menurut Hadian (2013), metode problem solving dapat diartikan sebagai: 1) Tujuan
( Goal ). Sebagai tujuan, problem solving adalah target akhir dalam suatu pembelajaran
matematika, dalam arti dengan mempelajari matematika maka kita dapat menyelesaikan
berbagai masalah dengan lebih bijak, sistematis, efektif, dan efisien. 2) Proses (Process).
Sebagai proses, problem solving diartikan sebagai proses yang bisa ditempuh untuk
menyelesaikan masalah atau soal dalam matematika dengan lebih sistematis dan akuarat. 3)
Kemampuan dasar (basic). Sebagai kemampuan problem solving diartikan sebagai
kemampuan dasar karena inilah dasar yang harus dikuasai oleh kita sebagai pemecahan
masalah dalam kehiduapan sehari-hari. Oleh sebab itu, problem solving adalah metode yang
harus dikenal oleh setiap orang untuk dapat menyelesaikan berbagai masalah dengan lebih
sistematis, terukur, dan efisien.
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis. Manfaat tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. Bagi Siswa
Meningkatkan hasil belajar bimbingan konseling materi memahami kesehatan reproduksi
remaja serta meningkatkan motivasi dan prestasi belajar.
2. Bagi guru
Mengembangkan model pembelajaran yang efektif, efisien dan menyenangkan yang dapat
melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran bimbingan konseling materi memahami
kesehatan reproduksi remaja untuk meningkatkan hasil belajar siswa.
3. Bagi Sekolah
Melalui penerapan metode problem solving dapat meningkatkan hasil belajar bimbingan
konseling materi memahami kesehatan reproduksi remaja pada siswa kelas XII TPMI 1
SMK Negeri 2 Sukoharjo Semester II Tahun Pelajaran 2016/2017.

KAJIAN TEORI
Hasil Belajar Siswa
Menurut R. Gagne seperti yang dikutip oleh Slameto (2000:78) memberikan dua
definisi belajar, yaitu belajar adalah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam
pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, dan tingkah laku. Belajar adalah penguasaan
pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari instruksi. Menurut Skinner yang dikutip
oleh Dimyati dan Mudjiono (2006:93) bahwa belajar merupakan hubungan antara stimulus
dan respon yang tercipta melalui proses tingkah laku. M. Sobry Sutikno (2010:35)
mengemukakan belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan yang baru sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat penulis simpulkan bahwa belajar
adalah perubahan serta peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seseorang di berbagai
bidang yang terjadi akibat interaksi terus menerus dengan lingkungannya.
Hasil belajar siswa menurut W. Winkel (2004:82) adalah keberhasilan yang dicapai oleh
siswa, yakni prestasi belajar siswa di sekolah yang mewujudkan dalam bentuk angka. Hasil
belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi
dan keterampilan-keterampilan (Suprijono, 2011:5). Hasil belajar adalah hasil yang dicapai
dalam bentuk angka atau skor setelah tes hasil belajar pada setiap akhir pembelajaran
(Dimyati dan Mujiono, 2006:24).
Hasil belajar yang dicapai oleh siswa di sekolah merupakan salah satu ukuran terhadap
penguasaan materi pelajaran yang disampaikan. Peran guru dalam menyampaikan materi
pelajaran dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
belajar siswa penting sekali untuk diketahui, artinya dalam rangka membantu siswa mencapai
hasil belajar yang seoptimal mungkin. Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua

Jurnal Education and Economics – Vol.02, No.01 (Januari-Maret) 2019 47


Sri Wiji Martani – SMK Negeri 2 Sukoharjo, Jawa Tengah

faktor baik yang bersifat mendorong atau menghambat, demikian pula dalam belajar. Faktor
yang mempengaruhi prestasi atau hasil belajar siswa yakni faktor dari dalam diri siswa
(interen) dan faktor yang datang dari luar (eksteren). Ahmadi (1998:72) mengemukakan
untuk mencapai prestasi belajar siswa sebagaimana yang diharapkan, maka perlu diperhatikan
beberapa faktor yang mempengaruhinya antara lain faktor yang terdapat dalam diri siswa
(faktor intern) dan faktor yang berasal dari luar diri siswa (faktor ekstern).
a. Faktor Intern
Faktor intern adalah faktor yang timbul dari dalam diri individu itu sendiri, adapun
yang tergolong faktor intern adalah kecerdasan, bakat, minat, dan motivasi. Kecerdasan
atau intelegensia adalah kemampuan belajar disertai kecakapan untuk menyesuaikan diri
dengan keadaan yang diadapinya. Kemampuan ini sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya
intelegensia, intelegensia yang normal selalu menunjukkan kecakapan sesuai dengan
tingkat perkembangan sebaya. Slameto (2000:56) mengatakan bahwa “Tingkat
intelegensia yang tinggi akan lebih berhasil daripada yang mempunyai tingkat intelegensia
yang rendah.” Bakat adalah kemampuan tertentu yang telah dimiliki seseorang sebagai
kecakapan pembawaan. Ngalim Purwanto (1986:28) mengemukakan “bakat dalam hal ini
lebih dekat pengertiannya dengan kata aptitude yang berarti kecakapan, yaitu mengenai
kesanggupan- kesanggupan tertentu.”
Menurut Syah Muhibbin (1999:136) “bakat diartikan sebagai kemampuan individu
untuk melakukan tugas tanpa banyak bergantung pada pendidikan dan latihan.” Dari
beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tumbuhnya keahlian tertentu pada
diri seseorang sangatlah ditentukan oleh bakat yang dimilikinya. Minat adalah
kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenali beberapa kegiatan atau
kecenderungan yang mantap dalam subyek untuk merasa tertarik pada bidang tertentu.
Siswa yang kurang berminat dalam pelajaran tertentu akan menghambat dalam hasil
belajarnya. Menurut Winkel (2004:24) “Minat adalah kecenderungan yang menetap dalam
subyek untuk merasa tertarik pada bidang / hal tertentu dan merasa senang berkecimpung
dalam bidang itu.” Motivasi adalah dorongan untuk melakukan sesuatu. Motivasi dalam
belajar adalah faktor penting karena hal tersebut merupakan keadaan yang mendorong
keadaan siswa untuk melakukan kegiatan belajar.Seperti yang dikemukakan oleh Nasution
(1995:73) “motivasi adalah segala daya yang mendorong seseorang untuk melakukan
sesuatu.”
b. Faktor Ekstern
Yaitu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar yang bersifat dari luar
diri siswa, yaitu keadaan keluarga, sekolah dan sekitarnya. Keadaan Keluarga dapat
menentukan keberhasilan anak dalam belajar. Adanya rasa aman dan nyaman dalam
keluarga sangat penting dalam keberhasilan seseorang memperoleh belajar. Keluarga
merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, karena dalam keluarga inilah pertama
kali anak mendapatkan pendidikan dan bimbingan. Faktor Guru, guru sebagai tenaga
berpendidikan memiliki tugas menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar, membimbing,
mengolah, meneliti, dan mengembangkan serta memberikan pelajaran kepada siswa.
Keterampilan guru dalam mengajar, keprofesionalan guru dalam melaksanakan kegiatan
pembelajaran sangat menentukan keberhasilan siswa dalam belajar. Sumber Belajar,
merupakan faktor yang menunjang keberhasilan dalam proses belajar dan mengajar.
Sumber belajar yang lengkap dan memadai adalah perangkat yang dapat digunakan siswa
dalam melakukan kegiatan belajar, sehingga hasil belajar dapat meningkat.

48 Jurnal Education and Economics – Vol.02, No.01 (Januari-Maret) 2019


Sri Wiji Martani – SMK Negeri 2 Sukoharjo, Jawa Tengah

Kesehatan Reproduksi Remaja


Menurut WHO (1992), sehat adalah suatu keadaan yang lengkap meliputi kesejahteraan
fisik, mental, dan sosial bukan semata-mata bebas dari penyakit atau kelemahan. Hal ini
diharapkan agar adanya keseimbangan yang serasi dalam interaksi antara individu dengan
masyarakat dan makhluk hidup lain serta lingkungannya (Mubarak, 2009). Menurut WHO
(1994), kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan kesejahteraan fisik, emosional, mental dan
sosial yang utuh berhubungan dengan reproduksi, bukan hanya bebas dari penyakit atau
kecacatan namun dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi
serta prosesnya. Individu yang sehat secara reproduksi memiliki cara pendekatan yang positif
dan penuh rasa hormat terhadap seksualitas dan hubungan seksual, mereka juga berpotensi
untuk merasakan kesenangan dan pengalaman seksual yang aman, bebas dari paksaan,
diskriminasi dan kekerasan (Potter & Perry, 2009).
Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, kesehatan reproduksi adalah suatu
keadaan sehat secara menyeluruh mencakup fisik, mental dan kehidupan sosial yang berkaitan
dengan alat, fungsi, serta proses reproduksi yang pemikiran kesehatan reproduksi 10 bukan
hanya kondisi yang bebas dari penyakit melainkan bagaimana seseorang dapat memiliki
kehidupan seksual yang aman (Triwibowo & Pusphandani, 2015).
Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi sehat yang menyangkut sistem,
fungsi, komponen, dan proses reproduksi yang dimiliki oleh remaja. Pengertian sehat disini
tidak hanya bebas dari penyakit atau bebas dari kecacatan, namun juga sehat secara mental
dan sosial budaya (BKKBN, 2008). Menurut BKKBN (2008), dasar pengetahuan kesehatan
reproduksi yang perlu diketahui remaja yaitu: 1) Pengetahuan tentang perubahan fisik,
kejiwaan, dan kematangan seksual. Misalnya informasi tentang haid dan mimpi basah,
tentang alat reproduksi remaja laki-laki dan perempuan. 2) Proses reproduksi yang
bertanggung jawab sebagai bekal pemahaman seks bagi kebutuhan manusia secara biologis,
menyalurkan dan mengendalikan naluri seksual yang menjadi kegiatan positif seperti olahraga
atau hobi yang bermanfaat. Sementara penyaluran berupa hubungan seksual hanya untuk
melanjutkan keturunan yaitu dengan cara menikah terlebih dahulu. 3)Pergaulan yang sehat
antara remaja laki-laki dan perempuan, serta kewaspadaan terhadap masalah remaja yang
banyak ditemukan. Remaja juga memerlukan pembekalan tentang kiat untuk
mempertahankan diri secara fisik maupun psikis dan mental dalam menghadapi berbagai
godaan, seperti ajakan untuk melakukan hubungan seksual diluar nikah dan penggunaan
NAPZA. 4) Persiapan pranikah. Informasi ini diperlukan agar calon pengantin lebih siap
secara mental dan emosional dalam memasuki kehidupan berkeluarga. 5) Kehamilan dan
persalinan, serta cara pencegahannya. Remaja perlu mengetahui tentang hal ini, sebagai
persiapan remaja laki-laki dan perempuan dalam memasuki kehidupan berkeluarga masa
depan.

Remaja
Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa, dimulai dengan
memasuki awal pubertas.Remaja terdiri dari individu antara umur 10 sampai 19 tahun (WHO,
2011). Remaja merupakan masa penting, dimana anak menjalani perubahan biologi, yang
ditandai dengan pubertas, terkait dengan penampilan fisik dan pencapaian kemampuan untuk
bereproduksi, perubahan psikologi dan kognitif, dimana mencerminkan cara berpikir individu,
dan perubahan sosial yang berkaitan dengan hak-hak dan tanggung jawab setiap individu
(Omobuwa.O.,et all, 2012).
Menurut teori psikososial Erickson (1968), remaja ada pada tahap identitas dan
kebingungan atau difusi peran dengan perkembangan sebagai berikut terjadi perubahan dalam
diri anak khususnya dalam fisik dan kematangan usia, perubahan hormonal akan
menunjukkan identitas dirinya seperti siapa saya, kemudian apabila kondisi ini tidak sesuai

Jurnal Education and Economics – Vol.02, No.01 (Januari-Maret) 2019 49


Sri Wiji Martani – SMK Negeri 2 Sukoharjo, Jawa Tengah

dengan suasana hati maka dapat kemungkinan menyebabkan terjadi kebingungan dalam
peran. Sedangkanpada perkembangan psikoseksual, remaja ada pada tahap genital dengan
perkembangan sebagai berikut kepuasan anak pada fase ini akan kembali bangkit dan
mengarah pada perasaan cinta yang matang terhadap lawan jenis. Menurut teori psikososial
Erickson (1968) dibagi menjadi tiga tahapan perkembangan remaja yaitu awal (11-14 tahun),
pertengahan (14-16 tahun), dan akhir (17-20). Dengan karakteristik perkembangan, sebagai
berikut:
a. Pada tahap awal (11-14 tahun) remaja ini berfokus pada perubahan tubuh, mengalami
perubahan alam perasaan dengan sering, kepentingan ditempatkan atau berfokus pada
kesesuaian dengan norma teman sebaya dan peneriman dari teman sebaya, berjuang untuk
menguasai keterampilan di dalam kelompok sebaya, mendefinisikan batasan dengan orang
tua dan figure otoritas, tahap awal emansipasi yaitu berjuang untuk memisahkan diri dari
orang tua saat masih ingin bergantung pada mereka, mengidentifikasi teman sebaya
berjenis kelamin sama, lebih bertanggung jawab atas perilaku mereka sendiri.
b. Pada tahap pertengahan (14-16 tahun) remaja ini masih terus menyesuaikan diri dengan
perubahan citra tubuh, mencoba beberapa peran berbeda didalam kelompok sebaya,
memerlukan penerimaan oleh kelompok sebaya di tingkat yang tertinggi, tertarik pada
lawan jenisnya, waktu konflik terbesar dengan orang tua atau figure otoritas.
c. Pada tahap akhir (17-20 tahun) remaja ini mampu memahami dampak perilaku dan
keputusan, peran dikelompok sebaya ditetapkan, merasa aman dengan citra tubuhnya,
memiliki identitas seksual yang telah matang, memiliki tujuan karier yang ideal,
pentingnya pertemanan individual muncul, dan proses emansipasi dari keluarga hampir
komplit (Kyle & Carman, 2014)
Pada remaja terjadi perubahan fisik yang cepat termasuk pertumbuhan organ-organ
reproduksi untuk mencapai kematangan, sehingga mampu melangsungkan fungsi
reproduksinya. Perubahan ini ditandai dengan munculnya tanda-tanda sebagai berikut:
a. Tanda kelamin primer yaitu mulai berfungsinya organ-organ genital yang berhubungan
langsung dengan organ seks. Pada wanita mengalami menstruasi yang diikuti kesiapan
organ-organ reproduksi untuk terjadinya kehamilan, sedangkan pada laki-laki ditandai
dengan terjadinya mimpi basah.
b. Tanda kelamin sekunder yaitu tanda-tanda jasmaniah yang tidak langsung berhubungan
dengan persetubuhan dan proses reproduksi, namun merupakan tanda yang khas pada
wanita dan laki-laki. Tanda tersebut berupa perubahan fisik antara lain: pada wanita terjadi
perubahan suara merdu, kulit bertambah bagus dan halus, panggul melebar, payudara
membesar, tumbuh rambut diketiak dan sekitar kemaluan, serta pertumbuhan rahim dan
vagina. Pada laki-laki terjadi perubahan suara membesar dan dalam, tumbuhnya jakun,
penis dan buah zakar bertambah besar, dada lebih lebar, badan berotot, tumbuh kumis,
jambang, dan rambut diketiak dan sekitar kemaluan, serta terjadinya ereksi dan ejakulasi.
c. Tanda kelamin tertier yaitu keadaan psikis yang berbeda antara laki-laki dan wanita, atau
disebut sifat maskulin pada laki-laki dan feminine pada wanita. Perubahan psikis yang
terjadi pada laki-laki adalah mudah terangsang seksual yang menghendaki kepuasan
seksual, yaitu senggama yang tentu tidak dapat dilaksanakan karena perkawinan
menghendaki persyaratan tertentu, seperti ekonomi dan kematangan diri. Sedangkan
perubahan psikis pada wanita adalah melihat darah keluar saat menstruasi, merasa
ketakutan, sering mengalami sakit perut sampai muntah-muntah, tidak pernah mengalami
orgasme, rasa seks seperti pada remaja laki-laki serta pemalu. Perubahan psikis yang trjadi
pada remaja dapat timbul karena berbagai media baik media cetak, maupun elektronik,
sehingga timbul rangsangan pada dirinya bila tidak diarahkan dengan pendidikan seks,
maka remaja akan menyalurkan nafsu seksnya pada jalan yang bertentangan dengan
norma-norma yang ada.

50 Jurnal Education and Economics – Vol.02, No.01 (Januari-Maret) 2019


Sri Wiji Martani – SMK Negeri 2 Sukoharjo, Jawa Tengah

Metode Problem Solving


Metode problem solving adalah cara mengajar yang dilakukan dengan cara melatih para
murid menghadapi berbagai masalah untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama
(Alipandie, 1984:105). Menurut Sudirman (1987:146) metode problem solving adalah cara
penyajian bahan pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk
dianalisis dan disintesis dalam usaha untuk mencari pemecahan atau jawabannya oleh siswa.
Menurut Gulo (2002:111) menyatakan bahwa problem solving adalah metode yang
mengajarkan penyelesaian masalah dengan memberikan penekanan pada terselesaikannya
suatu masalah secara menalar. Menurut Djamarah (2006:92) metode pemecahan
masalah (problem solving) adalah penggunaan metode dalam kegiatan pembelajaran dengan
jalan melatih peserta didik menghadapi berbagai masalah baik itu masalah pribadi atau
perorangan maupun masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama.
Menurut Hadian (2013), metode problem solving dapat diartikan sebagai: 1) Tujuan
(Goal). Sebagai tujuan, problem solving adalah target akhir dalam suatu pembelajaran
matematika, dalam arti dengan mempelajari matematika maka kita dapat menyelesaikan
berbagai masalah dengan lebih bijak, sistematis, efektif, dan efisien. 2) Proses (Process).
Sebgai proses, problem solving diartikan sebagai proses yang bias ditempuh untuk
menyelesaikan masalah atau soal dalam matematika dengan lebih sistematis dan akuarat. 3)
Kemampuan dasar (Basic). Sebagai kemampuan problem solving diartikan sebagai
kemampuan dasar karena inilah dasar yang harus dikuasai oleh kita sebagai pemecahan
masalah dalam kehiduapan sehari-hari. Oleh sebab itu, problem solving adalah metode yang
harus dikenal oleh setiap orang untuk dapat menyelesaikan berbagai masalah dengan lebih
sistematis, terukur, dan efisien.
Djamarah (2013: 91-92) adalah sebagai berikut: 1) Ada masalah yang jelas untuk
dipecahkan. Masalah ini harus tumbuh dari siswa sesuai dengan taraf kemampuannya. 2)
Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang
muncul. Misalnya dengan jalan membaca buku-buku, meneliti, bertanya, dan berdiskusi. 3)
Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan jawaban tentu saja didasarkan
kepada data yang telah diperoleh, pada langkah kedua di atas. 4) Menguji kebenaran jawaban
sementara tersebut. Dalam langkah ini peserta pelatihan harus berusaha memecahkan masalah
sehingga betul-betul yakin bahwa jawaban tersebut betul-betul cocok. 5) Menarik kesimpulan.
Artinya siswa harus sampai pada kesimpulan terakhir tentang jawaban dari masalah tadi.
Menurut Tabrani (2008: 5) kelebihan metode problem solving dapat diidentifikasikan
sebagai berikut: 1) Metode pemecahan masalah memungkinkan menghubungkan pengajaran
dengan kehidupan sehari-hari, karena masalah-masalah yang diangkat dalam kegiatan belajar
bias diambil dari kehidupan sehari-hari, atau dari apa yang dialaminya. 2) Metode ini dapat
merangsang kemampuan intelektual dan daya pikir peserta didik, karena dalam berfikir
menggunakan problem solving mereka menyoroti permasalahan dari berbagai segi. 3) Metode
ini dapat melatih dan membiasakan peserta didik untuk menghadapi dan memecahkan
masalah secara cermat. 4) Metode ini mampu melatih peserta didik untuk berfikir secara
sistematis dan menghubungkannya dengan masalah-masalah lainnya.

METODE
Metode penelitian menggunakan Penelitian Tindakan Kelas yang dilaksanakan dalam
dua siklus setiap siklus terdiri dua kali pertemuan, dengan empat tahap penelitian: perencanaan,
pelaksanaan, pengamatan dan refleksi. Subjek penelitian ini adalah siswa-siswi kelas XII TPMI
1 SMK Negeri 2 Sukoharjo semester II Tahun Pelajaran 2016/2017 dengan jumlah 36 siswa.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, tes, dan
dokumentasi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif
kualitatif.

Jurnal Education and Economics – Vol.02, No.01 (Januari-Maret) 2019 51


Sri Wiji Martani – SMK Negeri 2 Sukoharjo, Jawa Tengah

Tabel 1. Jadwal Penelitian Tindakan Kelas


Tahun Pelajaran 2016/2017
No Kegiatan
Januari Februari Maret April

1. Pembuatan Proposal
2. Penyusunan Instrumen
3. Pelaksanaan Siklus I
4. Pelaksanaan Siklus II
5. Analisis Data
6. Penyusunan Laporan
Dari tabel jadwal di atas, dapat diketahui bahwa tahapan kegiatan dalam penelitian ini adalah:
a. Pembuatan dan pengajuan proposal pada bulan Januari 2017.
b. Penyusunan instrumen penelitian pada bulan Januari 2017.
c. Pelaksanaan siklus I pada bulan Februari 2017.
d. Pelaksanaan siklus II pada bulan Maret 2017.
e. Analisis data pada bulan April 2017.
f. Penyusunan laporan hasil penelitian pada bulan April 2017.
Subjek penelitian tindakan kelas ini adalah seluruh siswa kelas XII TPMI 1 SMK
Negeri 2 Sukoharjo, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo semester II Tahun
Pelajaran 2016/2017 yang berjumlah 36 siswa. Sedangkan objek penelitian adalah
meningkatkan hasil belajar bimbingan konseling materi memahami kesehatan reproduksi
remaja pada siswa kelas XII TPMI 1 SMK Negeri 2 Sukoharjo melalui penerapan metode
problem solving.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tes
tertulis. Metode tes tertulis digunakan untuk mengetahui data hasil belajar bimbingan
konseling materi memahami kesehatan reproduksi remaja pada siswa kelas XII TPMI 1 SMK
Negeri 2 Sukoharjo pada siklus I dan siklus II. Selain itu, pengumpulan data juga meliputi: (a)
Teknik pengamatan (observasi) yang dilakukan oleh peneliti adalah pengamatan berperan
serta secara pasif. Pengamatan tersebut dilakukan terhadap penggunaan media gambar oleh
guru dan proses kegiatan diskusi oleh siswa di kelas. Peneliti yang sekaligus sebagai guru
mengamati situasi kelas saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. (b) Teknik analisis kritis
dilakukan terhadap hasil belajar bimbingan konseling materi memahami kesehatan reproduksi
remaja pada siswa kelas XII TPMI 1 SMK Negeri 2 Sukoharjo.
Untuk menguji validitas data, digunakan teknik (a) Trianggulasi sumber data, misalnya
data tentang kesulitan-kesulitan guru dan pembelajaran tidak komunikatif disampaikan
kepada siswanya; (b) Trianggulasi metode, misalnya data tentang peningkatan prestasi belajar
siswa, selain diperoleh melalui observasi langsung (pengamatan), terhadap sikapnya selama
pembelajaran juga didapat dari wawancara dan analisis dokumen berupa pekerjaan siswa. (c)
Terakhir, review informan, teknik ini digunakan cek kembali kepada informan, apakah data
yang diperoleh dari hasil wawancara sudah valid atau belum.
Indikator keberhasilan dalam penelitian ini dapat dilihat secara umum dengan
membandingkan peningkatan nilai hasil belajar bimbingan konseling materi memahami
kesehatan reproduksi remaja siswa dari satu siklus ke siklus berikutnya. Keberhasilan
tindakan siklus I diketahui dengan cara membandingkan dengan nilai hasil belajar bimbingan
konseling materi memahami kesehatan reproduksi remaja siswa pada kondisi awal.
Sedangkan keberhasilan tindakan pada siklus II diketahui dengan cara membandingkan nilai
hasil belajar bimbingan konseling materi memahami kesehatan reproduksi remaja dengan
siklus I. Sedangkan indikator kerja tindakan dapat dilihat dari kriteria yang telah ditentukan
peneliti, sebagai berikut:

52 Jurnal Education and Economics – Vol.02, No.01 (Januari-Maret) 2019


Sri Wiji Martani – SMK Negeri 2 Sukoharjo, Jawa Tengah

a. Adanya peningkatan hasil belajar bimbingan konseling materi memahami kesehatan


reproduksi remaja pada siswa kelas XII TPMI 1 SMK Negeri 2 Sukoharjo dari kondisi
awal ke siklus I, dan dari siklus I ke siklus II.
b. Minimal 80% siswa kelas XII TPMI 1 SMK Negeri 2 Sukoharjo mencapai nilai KKM
yang ditentukan dalam pelajaran bimbingan konseling (BK) yaitu 75.
c. Nilai rata-rata hasil belajar bimbingan konseling materi memahami kesehatan reproduksi
remaja siswa kelas XII TPMI 1 SMK Negeri 2 Sukoharjo mencapai nilai KKM 75.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Hasil Penelitian
Prestasi Belajar Siswa Kondisi Awal
Gambar 1. Grafik Prestasi Belajar Siswa Kondisi Awal

Kondisi Awal
80 70
60

Nilai terendah Nilai tertinggi Nilai rata-rata

Dari data nilai hasil belajar bimbingan konseling materi memahami kesehatan
reproduksi remaja pada siswa kelas XII TPMI 1 SMK Negeri 2 Sukoharjo pada kondisi awal
di atas, nilai rata-rata siswa kelas XII TPMI 1 adalah 70, masih di bawah nilai KKM yang
ditetapkan yaitu 75. Nilai tertinggi siswa 80, nilai terendah 60 dan jumlah siswa kelas XII
TPMI 1 yang mencapai nilai KKM hanya 21 siswa (58.33%) dari total 36 siswa kelas XII
TPMI 1 SMK Negeri 2 Sukoharjo.
Melihat kondisi rendahnya hasil belajar bimbingan konseling materi memahami
kesehatan reproduksi remaja pada siswa kelas XII TPMI 1 SMK Negeri 2 Sukoharjo tersebut,
maka peneliti sebagai guru di kelas XII TPMI 1 akan melaksanakan suatu penelitian tindakan
kelas melalui penerapan metode problem solving.

Hasil Pembelajaran Siklus I


Gambar 2. Grafik Prestasi Belajar Siswa Siklus I

Siklus I
90
75
60

Nilai terendah Nilai tertinggi Nilai rata-rata

Pada siklus I guru peneliti sudah menerapkan metode problem solving dalam
pembelajaran bimbingan konseling materi memahami kesehatan reproduksi remaja. Nilai
rata-rata hasil belajar bimbingan konseling materi memahami kesehatan reproduksi remaja
siswa kelas XII TPMI 1 SMK Negeri 2 Sukoharjo adalah 75, nilai tertinggi 90 dan nilai
terendah adalah 60. Sedangkan jumlah siswa yang mencapai nilai KKM sebanyak 24 siswa
(66.67%) dari total 36 siswa kelas XII TPMI 1 SMK Negeri 2 Sukoharjo.

Jurnal Education and Economics – Vol.02, No.01 (Januari-Maret) 2019 53


Sri Wiji Martani – SMK Negeri 2 Sukoharjo, Jawa Tengah

Dengan capaian prestasi belajar pada siklus I yang belum mencapai indikator kinerja
yang ditetapkan dalam penelitian ini, yaitu siswa yang tuntas belum mencapai 80% dari total
seluruh siswa kelas XII TPMI 1, maka peneliti memutuskan untuk melanjutkan pada tindakan
siklus II dengan tetap menerapkan metode problem solving.

Hasil Pembelajaran Siklus II


Gambar 3. Grafik Prestasi Belajar Siswa Siklus II

Siklus II
90 85
70

Nilai terendah Nilai tertinggi Nilai rata-rata

Pada siklus II peneliti menerapkan metode pembelajaran metode problem solving. Nilai
rata-rata prestasi belajar bimbingan konseling materi memahami kesehatan reproduksi remaja
siswa kelas XII TPMI 1 SMK Negeri 2 Sukoharjo adalah 85, nilai tertinggi 90 dan nilai
terendah 70. Jumlah siswa yang mencapai nilai KKM sebanyak 30 siswa (83.33%) dari total
36 siswa kelas XII TPMI 1 SMK Negeri 2 Sukoharjo.
Peningkatan hasil belajar bimbingan konseling materi memahami kesehatan reproduksi
remaja pada siklus II ini sudah mencapai indikator kinerja penelitian. Sehingga peneliti
memutuskan untuk menghentikan penelitian tindakan kelas ini.

Pembahasan
Setelah peneliti melaksanakn tindakan penelitian melalui penerapan metode problem
solving, secara empiris diperoleh data peningkatan hasil belajar bimbingan konseling materi
memahami kesehatan reproduksi remaja siswa kelas XII TPMI 1 SMK Negeri 2 Sukoharjo
Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo semester II Tahun Pelajaran 2016/2017 dari
kondisi awal, siklus I dan siklus II sebagai berikut.
Tabel 2. Peningkatan Prestasi Belajar Siswa
Uraian Kondisi awal Siklus I Siklus II
Tindakan Belum menerapkan Sudah menerapkan Sudah menerapkan
Pembelajaran metode problem metode problem metode problem
solving solving solving
Nilai terendah 60 60 70
Nilai tertinggi 80 90 90
Nilai rata-rata 70 75 85
KKM 75 75 75
Ketuntasan 21 siswa (58.33%) 24 siswa (66.67%) 30 siswa (83.33%)

Melalui penerapan metode problem solving dapat meningkatkan hasil belajar bimbingan
konseling materi memahami kesehatan reproduksi remaja. Pada kondisi awal peneliti belum
menerapkan metode problem solving. Nilai rata-rata siswa kelas XII TPMI 1 adalah 70, masih
di bawah nilai KKM yang ditetapkan yaitu 75. Nilai tertinggi siswa 80, nilai terendah 60 dan
jumlah siswa kelas XII TPMI 1 yang mencapai nilai KKM hanya 21 siswa (58.33%) dari total
36 siswa kelas XII TPMI1 SMK Negeri 2 Sukoharjo.

54 Jurnal Education and Economics – Vol.02, No.01 (Januari-Maret) 2019


Sri Wiji Martani – SMK Negeri 2 Sukoharjo, Jawa Tengah

Pada siklus I guru peneliti sudah menerapkan metode problem solving dalam
pembelajaran bimbingan konseling materi memahami kesehatan reproduksi remaja. Nilai
rata-rata hasil belajar bimbingan konseling materi memahami kesehatan reproduksi remaja
siswa kelas XII TPMI 1 SMK Negeri 2 Sukoharjo adalah 75, nilai tertinggi 90 dan nilai
terendah adalah 60. Sedangkan jumlah siswa yang mencapai nilai KKM sebanyak 24 siswa
(66.67%) dari total 36 siswa kelas XII TPMI 1 SMK Negeri 2 Sukoharjo.
Pada siklus II, nilai rata-rata hasil belajar bimbingan konseling materi memahami
kesehatan reproduksi remaja siswa kelas XII TPMI 1 SMK Negeri 2 Sukoharjo adalah 85,
nilai tertinggi 90 dan nilai terendah 70. Jumlah siswa yang mencapai nilai KKM sebanyak 30
siswa (83.33%) dari total 36 siswa kelas XII TPMI 1 SMK Negeri 2 Sukoharjo.
Jadi, melalui penerapan metode problem solving dapat meningkatkan hasil belajar
bimbingan konseling materi memahami kesehatan reproduksi remaja dari kondisi awal nilai
rata-rata 70 dengan ketuntasan 58.33% ke kondisi akhir pada siklus II nilai rata-rata 85
dengan ketuntasan 83.33% pada siswa kelas XII TPMI 1 SMK Negeri 2 Sukoharjo semester
II Tahun Pelajaran 2016/2017.
Hasil tindakan secara empirik yaitu: melalui penerapan metode problem solving dapat
meningkatkan hasil belajar bimbingan konseling materi memahami kesehatan reproduksi
remaja dari kondisi awal nilai rata-rata 70 dengan ketuntasan 58.33% ke kondisi akhir pada
siklus II nilai rata-rata 85 dengan ketuntasan 83.33% pada siswa kelas XII TPMI 1 SMK
Negeri 2 Sukoharjo semester II Tahun Pelajaran 2016/2017.

SIMPULAN
Hipotesis menyatakan diduga melalui penerapan metode problem solving dapat
meningkatkan hasil belajar bimbingan konseling materi memahami kesehatan reproduksi
remaja pada siswa kelas XII TPMI 1 SMK Negeri 2 Sukoharjo semester II Tahun Pelajaran
2016/2017. Dari data empirik menyatakan melalui penerapan metode problem solving dapat
meningkatkan hasil belajar bimbingan konseling materi memahami kesehatan reproduksi
remaja dari kondisi awal nilai rata-rata 70 dengan ketuntasan 58.33% ke kondisi akhir pada
siklus II nilai rata-rata 85 dengan ketuntasan 83.33% pada siswa kelas XII TPMI 1 SMK
Negeri 2 Sukoharjo semester II Tahun Pelajaran 2016/2017. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa melalui penerapan metode problem solving dapat meningkatkan hasil belajar
bimbingan konseling materi memahami kesehatan reproduksi remaja pada siswa kelas XII
TPMI 1 SMK Negeri 2 Sukoharjo semester II Tahun Pelajaran 2016/2017.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 1998. Psikologo Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Alipandie, Imansyah. 1998. Didaktik Metodik Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
BKKBN. 2008. Remaja dan SPN (Seks Pranikah).
Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Djamarah, Syaiful Bahri. (2006). Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta:
Rineka Cipta.
Djamarah, Syaiful Bahri. (2013). Strategi Belajar Mengajar. Cetakan Kelima. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Erikson, Erick, H.1968. Identity, Youth, and Crisis. International University Press. New York.
Gulo, W. 2002. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Grasindo
Hadian. 2013. Detection Fraud of Financial Statement with Fraud Triangle. Proceedings of
23rd International Business Research Conference. Marriott Hotel: Melbourne,
Australia

Jurnal Education and Economics – Vol.02, No.01 (Januari-Maret) 2019 55


Sri Wiji Martani – SMK Negeri 2 Sukoharjo, Jawa Tengah

Hidayangsih. (2014). Perilaku berisiko dan permasalahan kesehatan reproduksi pada


remaja. Indonesian Journal of Reproductive Health, 5(2), 89-101.
Mahmuda, I. N. N. (2009). Peningkatan Pengetahuan tentang Reproduksi Sehat pada Siswi
SMK Pertiwi Desa Ngabeyan, Mangkuyudan, Kartasura, Sukoharjo.
Mubarak. (2009). Ilmu Keperawatan Komunitas; Konsep dan Aplikasi. Jakarta : Salemba
Medika.
Muhibbin, Syah.1999.Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru.Bandung:PT Remaja
Rosdakarya
M. Sobry Sutikno. 2010. Strategi Belajar Mengajar Melalui Penanaman Konsep Umum &
Konsep Islami. Refika Aditama: Bandung.
Nasution. 1995. Metode Research. Jakarta : PT. Bumi Aksara
Ngalim Purwanto. 1986. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Omobuwa, O., et all. (2012). Knowledge and Perception of Reproductive Health Servicec
Among in-School Adolescents in lle-lfe, Osun State, Nigeria.Journal of Medicine and
Medical Science. Vol 3 (7) pp. 481-488. Available online
Http://www.interestjournals.org/JMMS.
Potter & Perry. 2009. Fundamental Keperawatan. Edisi 7. Jakarta : Salemba Medika
Prayitno. 2004. Layanan Bimbingan Kelompok Dan Konseling Kelompok. Padang:
Universitas Negeri Padang.
Putriani, N. (2010). Faktor-faktor yang memepengaruhi pengetahuan remaja tentang
kesehatan reproduksi di SMA Negeri 1 Mojogedang (Doctoral dissertation, Universitas
Diponegoro).
Slameto. 2000 Belajar dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya. Rineka Cipta,Jakarta
Sudirman, dkk. (1987). Ilmu Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Suprijono, Agus. 2011. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Gramedia Pustaka Jaya.
Tabrani Rusyan, dkk, Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Remaja Karya)
Tho’in, M. (2017). Pembiayaan Pendidikan Melalui Sektor Zakat. Al-Amwal: Jurnal
Ekonomi dan Perbankan Syari'ah, 9(2).
Triwibowo, C dan Pusphandani, ME. 2015. Pengantar Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Yogyakarta : Nuha Medika.
Winkel, W. S. 2004. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
WHO. Promoting and safeguarding the sexual and reproductive health of adolescents.
Implementing the Global Reproductive Health Strategy. Policy brief – 4. Geneva:
World Health Organization; 2006
WHO. (2011). The Sexsual and Reproductive Health of Younger adolescent.Geneva: WHO

56 Jurnal Education and Economics – Vol.02, No.01 (Januari-Maret) 2019

Anda mungkin juga menyukai

  • Soal 3
    Soal 3
    Dokumen23 halaman
    Soal 3
    Ratu Sarisyamsiah Nurhani
    Belum ada peringkat
  • Dvhidsjfoejf
    Dvhidsjfoejf
    Dokumen2 halaman
    Dvhidsjfoejf
    Ratu Sarisyamsiah Nurhani
    Belum ada peringkat
  • Sdihciacish
    Sdihciacish
    Dokumen6 halaman
    Sdihciacish
    Ratu Sarisyamsiah Nurhani
    Belum ada peringkat
  • Pasak
    Pasak
    Dokumen23 halaman
    Pasak
    Ratu Sarisyamsiah Nurhani
    Belum ada peringkat
  • Surat Konsul
    Surat Konsul
    Dokumen26 halaman
    Surat Konsul
    Ratu Sarisyamsiah Nurhani
    Belum ada peringkat
  • Teknik Oklusal
    Teknik Oklusal
    Dokumen7 halaman
    Teknik Oklusal
    Ratu Sarisyamsiah Nurhani
    100% (1)