Oleh :
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
merupakan suatu keadaan menurunnya fungsi ginjal yang telah berlangsung lama
(kronis) yaitu lebih dari 3 bulan. Keadaan ini terkait dengan berbagai faktor risiko
biasanya berakhir dengan gagal ginjal. 1 Definisi CKD berdasarkan The Kidney
Foundation (NKF) adalah kerusakan ginjal secara struktural atau fungsional yang
berlangsung dalam waktu lebih dari 3 bulan, atau penurunan Laju Filtrasi
memiliki risiko tinggi untuk mengalami penyakit komplikasi, salah satunya adalah
prevalensi CKD didapatkan semakin meningkat saat ini dan menjadi masalah
kesehatan global.
dua dekade terakhir. Jumlah penderita CKD di Indonesia sendiri pun makin
meningkat. Data IRR pada tahun 2014 mencatat penderita baru CKD sebanyak
dipertahankan dengan hiperfiltrasi dan hipertropi nefron sehat yang tersisa sebagai
kompensasi. Kandungan toksin dalam plasma seperti urea dan kreatinin mulai
hingga 50%, yaitu ketika ginjal sudah tidak mampu mengkompensasi lagi.
Fungsi ekskresi dan sekresi ginjal pada CKD menurun dan menyebakan
berbagai gejala secara sistemik. Pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik
dengan penyakit yang mendasari, adanya sindrom uremia, maupun gejala dari
jauh lebih baik dan intervensi dapat segera dilakukan untuk memperlambat
penangan yang baik akan dapat mengurangi gejala yang muncul dan memperbaiki
kualitas hidup penderitanya.1 Deteksi CKD pada pasien dengan risiko tinggi
2.1 Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah
suatu proses patofisiologis yang didasari oleh etiologi yang beragam, yang
berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang
ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel yang mencapai pada
derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal tetap, yaitu dapat berupa dialisis
kelainan yang ditemukan selama pemeriksaan, yang bisa saja bersifat non-spesifik
ginjal. Fungsi ekskresi, endokrin, dan metabolik menurun secara bersamaan pada
hampir semua kasus CKD. Kriteria CKD menurut KDIGO 2012 adalah kerusakan
ginjal ≥ 3 bulan, baik berupa kelainan struktural atau fungional yang dapat
Ratio > 30 mg/g; total protein-creatinine-ratio > 200 mg/g), abnormalitas sedimen
urin, gangguan elektrolit atau yang lain oleh karena gangguan pada tubulus,
proses hemodialysis dan kadar zat besi serta asam folat rendah yang
Burrows & Hudson, 2006, dalam Szromba, 2009, Breiterman & White ,
serta kontrol Phospat dan Calcium. Akses vaskuler merupakan jalan untuk
disambungkan
dalam Szromba, 2009, Breiterman & White , 2007 dalam Szromba, 2009),
LAPORAN PENDAHULUAN
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
A. Definisi
Gagal Ginjal Kronik merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal
yang progresif dan irreversible dari berbagai penyebab dimana terjadi ketika
tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau melakukan fungsi
regulernya (Suharyanto dan Majid, 2017). CKD atau gagal ginjal kronis
(GGK) didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal mengalami penurunan
fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan samar (insidius) dimana
kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan metabolisme, cairan, dan
keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi uremia atau azotemia (Smeltzer,
2017). Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal tetap, berupa dialisis atau transplantasi
ginjal (Setiati, 2014).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa CKD adalah
penyakit ginjal yang tidak dapat lagi pulih atau kembali sembuh secara total
seperti sediakala. CKD adalah penyakit ginjal tahap akhir yang dapat
disebabkan oleh berbagai hal.
B. Klasifikasi
Klasifikasi gagal ginjal kronis berdasarkan derajat (stage) LFG (Laju
Filtration Glomerulus) atau glomerulus filtration rate (GFR) dimana nilai
normalnya adalah 125 ml/min/1,73m2 dengan rumus Kockroft – Gault
sebagai berikut :
Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1.73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau ringan 60-89
3a Penurunan sedang fungsi ginjal 45-59
3b Penurunan sedang fungsi ginjal 30-44
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau berat 15-29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
Sumber: (The Renal Association, 2013)
Nilai GFR menunjukkan seberapa besar fungsi ginjal yang dimiliki oleh
pasien sekaligus sebagai dasar penentuan terapi oleh dokter. Semakin parah
CKD yang dialami, maka nilai GFRnya akan semakin kecil (National Kidney
Foundation, 2010). Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan peningkatan
kadar ureum dan kreatinin serum. Penurunan GFR dapat dihitung dengan
mempergunakan rumus Cockcroft-Gault (Suwitra, 2009). Penggunaan rumus
ini dibedakan berdasarkan jenis kelamin (Willems et al., 2013).
( 140−usia ) x berat badan
♀= x 0,85
kreatinin serum
Selain itu fungsi ginjal juga dapat dilihat melalui pengukuran Cystatin C.
Cystatin C merupakan protein berat molekul rendah (13kD) yang disintesis
oleh semua sel berinti dan ditemukan diberbagai cairan tubuh manusia.
Kadarnya dalam darah dapat menggambarkan GFR sehingga Cystatin C
merupakan penanda endogen yang ideal (Yaswir & Maiyesi, 2012).
C. Etiologi
Penyebab tersering terjadinya CKD adalah diabetes dan tekanan darah
tinggi, yaitu sekitar dua pertiga dari seluruh kasus (National Kidney
Foundation, 2015).
Menurut teori, hipertensi pada pasien gagal ginjal dapat terjadi karena
adanya penyempitan pembuluh darah yang disebabkan oleh penumpukan
lemak di dalam pembuluh darah akibat dari tingginya kadar natrium dan
cairan yang tidak seimbang, jika hal tersebut terjadi pada pembuluh darah
ginjal maka ginjal akan mengalami kerusakan yang berakibat pada gagal
ginjal, selain itu ginjal memproduksi enzim renin angiotensin yang diubah
menjadi angiotensin II yang menyebabkan pembuluh darah mengkerut dan
mengeras (Asriani et al, 2012). Diabetes Melitus terjadi dengan adanya
gangguan pada pankreas kemudian meningkatkan kadar glukosa, lalu terjadi
gangguan metabolisme karbohidrat sehingga karbohidrat tidak dapat menjadi
sumber energi secara sempurna, maka lemak dan protein yang menjadi
sumber energinya. Sel-sel tubuh juga tidak dapat menyimpan gula dalam
bentuk glikogen (Senthilkumar et al., 2017). Ureum merupakan produk akhir
dari metabolisme asam amino, dalam katabolisme protein dipecah menjadi
asam amino dan deaminasi amonia, amonia dalam proses ini disintesis
menjadi urea. Reaksi kimia sebagian besar terjadi di hati dan sedikit terjadi di
ginjal. Kadar normal ureum adalah 10-40 mg/dL dan ureum dieksresikan rata-
rata 30 gram sehari (Bhagaskara, Liana, & Santoso, 2015). Pemeriksaan
ureum ini dapat dijadikan sebagai skrining awal Penyakit Ginjal Kronik
(PGK). Namun diperlukan waktu 5-10 tahun untuk menjadi masalah
kerusakan ginjal (Loho, Rambert, & Wowor, 2016).
D. Patofisiologi
Faktor pencetus terjadinya gagal ginjal kronik yaitu dimulai dari zat
toksik, vaskular infeksi dan juga obstruksi saluran kemih yang dapat
menyebabkan arterio sclerosis, kemudian suplay darah dalam ginjal menurun
yang mengakibatkan GFR (Glomerular Filtration Rate) menurun, saat GFR
menurun memicu adanya retensi natrium dalam tubuh, ketika sudah terjadi
retensi natrium dalam tubuh maka cairan juga akan menumpuk dan
berpengaruh pada beban jantung sehingga jantung harus bekerja lebih keras
lagi dan jika cardiac output menurun maka aliran darah dalam ginjal akan
menurun, maka akan terjadi retensi Na dan cairan yang akan menyebabkan ke
lebihan volume cairan (Amin & Hardhi, 2015). Apabila kelebihan volume
cairan pada tubuh tidak segera diatasi maka akan berdampak pada beberapa
masalah lain yaitu, adanya edema perifer karena terjadi perubahan tekanan
hidrostatik atau osmotic kapiler dan juga dapat menyebabkan hipertensi,
hipertensi dapat terjadi akibat dari peningkatan aktifitas renin angiotensin,
peningkatan resistensi vaskular, kelebihan volume cairan dan penurunan
prostaglandin. (Pricilla,2016).
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah, sehingga
terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak
timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala
uremia membaik setelah dialisis (Brunner & Suddarth, 2013).
1. Gangguan Klirens Ginjal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan
jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens
substansi darah yang sebenarnya dibersihkan oleh ginjal. Penurunan laju
filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24-
jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin. Menurut filtrasi glomerulus
(akibat tidak berfungsinya glomeruli) klirens kreatinin akan menurun
dan kadar kreatinin akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah
(BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator yang
paling sensitif dari fungsi karena substansi ini diproduksi secara konstan
oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga
oleh masukan protein dalam diet, katabolisme (jaringan dan luka RBC),
dan medikasi seperti steroid.
2. Retensi Cairan dan Ureum
Ginjal juga tidak mampu untuk mengkonsentrasi atau mengencerkan urin
secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai
terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi.
Pasien sering menahan natrium dan cairan, meningkatkan resiko terjadinya
edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat
terjadi akibat aktivasi aksis renin angiotensin dan kerja sama keduanya
meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan
untuk kehilangan garam, mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia.
Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang
semakin memperburuk status uremik.
3. Asidosis
Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis metabolic
seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam
(H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama akibat
ketidakmampuan tubulus gjnjal untuk menyekresi amonia (NH3‾) dan
mengabsopsi natrium bikarbonat (HCO3) penurunan ekskresi fosfat dan
asam organic lain juga terjadi.
4. Anemia
Sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan
untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari
saluran gastrointestinal. Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin menurun
dan anemia berat terjadi, disertai keletihan, angina dan sesak napas.
5. Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfat
Abnormalitas yang utama pada gagal ginjal kronis adalah gangguan
metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh
memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya meningkat,
maka yang satu menurun. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus
ginjal, terdapat peningkatan kadar serum fosfat dan sebaliknya penurunan
kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan
sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun, pada gagal ginjal
tubuh tak berespon secara normal terhadap peningkatan sekresi
parathormon dan mengakibatkan perubahan pada tulang dan penyakit
tulang. Selain itu juga metabolit aktif vitamin D (1,25-
dehidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat di ginjal menurun.
6. Penyakit Tulang Uremik
Disebut Osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks kalsium,
fosfat dan keseimbangan parathormon.
E. Pathway
F. Manifestasi Klinis
Menurut Brunner & Suddarth (2013) setiap sistem tubuh pada gagal
ginjal kronis dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka pasien akan
menunjukkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala
bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, usia pasien dan kondisi
yang mendasari. Tanda dan gejala pasien gagal ginjal kronis adalah sebagai
berikut :
1. Manifestasi kardiovaskuler
Mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron), pitting edema (kaki,tangan,sakrum), edema
periorbital, Friction rub perikardial, pembesaran vena leher.
2. Manifestasi dermatologi
Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering, bersisik, pruritus, ekimosis,
kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
3. Manifestasi Pulmoner
Krekels, sputum kental dan liat, napas dangkal, pernapasan kusmaul
4. Manifestasi Gastrointestinal
Napas berbau amonia, ulserasi dan pendarahan pada mulut, anoreksia,
mual, muntah, konstipasi dan diare, pendarahan saluran gastrointestinal
5. Manifestasi Neurologi
Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan
tungkai, panas pada telapak kaki, perubahan perilaku
6. Manifestasi Muskuloskeletal
Kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang, foot drop
7. Manifestasi Reproduktif
Amenore dan atrofi testikuler
G. Komplikasi
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan
mengalami beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer
(2017) antara lain adalah :
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme,
dan masukan diit berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan
peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion
anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi
Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi ginjal.
a. Ultrasonografi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan
adanya massa kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagianatas.
b. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histologis.
c. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
d. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit
dan asam basa.
2. Foto Polos Abdomen
Menilai besar dan bentuk ginjal serta adakah batu atau obstruksi lain.
3. Pielografi Intravena
Menilai sistem pelviokalises dan ureter, beresiko terjadi penurunan faal
ginjal pada usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati asam urat.
4. USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkin ginjal , anatomi sistem
pelviokalises, dan ureter proksimal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi
sistem pelviokalises dan ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
5. Renogram
Menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi gangguan (vaskuler,
parenkhim) serta sisa fungsi ginjal
6. Pemeriksaan Radiologi Jantung
Mencari adanya kardiomegali, efusi perikarditis
7. Pemeriksaan radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi (terutama pada falangks /jari) kalsifikasi metatastik
8. Pemeriksaan radiologi Paru
Mencari uremik lung yang disebabkan karena bendungan.
9. Pemeriksaan Pielografi Retrograde
Dilakukan bila dicurigai adanya obstruksi yang reversible
10. EKG
Untuk melihat kemungkinan adanya hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia karena gangguan elektrolit (hiperkalemia)
11. Biopsi Ginjal
dilakukan bila terdapat keraguan dalam diagnostik gagal ginjal kronis atau
perlu untuk mengetahui etiologinya.
12. Pemeriksaan laboratorium menunjang untuk diagnosis gagal ginjal
a. Laju endap darah
b. Urin
Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria atau urine tidak
ada (anuria).
Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh
pus / nanah, bakteri, lemak, partikel koloid,fosfat, sedimen kotor,
warna kecoklatan menunjukkan adanya darah, miglobin, dan porfirin.
Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat).
Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan
tubular, amrasio urine / ureum sering 1:1.
c. Ureum dan Kreatinin
Ureum:
Kreatinin: Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10
mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
d. Hiponatremia
e. Hiperkalemia
f. Hipokalsemia dan hiperfosfatemia
g. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia
h. Gula darah tinggi
i. Hipertrigliserida
j. Asidosis metabolik
I. Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama penatalaksanaan pasien GGK adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal yang tersisa dan homeostasis tubuh selama
mungkin serta mencegah atau mengobati komplikasi (Smeltzer, 2017). Terapi
konservatif tidak dapat mengobati GGK namun dapat memperlambat progres
dari penyakit ini karena yang dibutuhkan adalah terapi penggantian ginjal
baik dengan dialisis atau transplantasi ginjal.
Ketika terapi konservatif yang berupa diet, pembatasan minum, obat-
obatan dan lain-lain tidak bisa memperbaiki keadaan pasien maka terapi
pengganti ginjal dapat dilakukan. Terapi pengganti ginjal tersebut berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal dan transplantasi ginjal (Rahardjo et al,
2009).
1. Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu cara dengan mengalirkan darah ke dalam
dialyzer (tabung ginjal buatan) yang teridiri dari 2 komparten yang
terpisah yaitu komparetemen darah dan komparetemen dialisat yang
dipisahkan membran semipermeabel untuk membuang sisa-sisa
metabolisme (Rahardjo et al, 2009). Sisa-sisa metabolisme atau racun
tertentu dari peredaran darah manusia itu dapat berupa air, natrium,
kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain. Hemodialisis
dilakukan 3 kali dalam seminggu selama 3-4 jam terapi (Brunner dan
Suddarth, 2013).
2. Dialisis peritoneal
Dialisis peritoneal merupakan terapi alternatif dialisis untuk
penderita GGK dengan 3-4 kali pertukaran cairan per hari (Prodjosudjadi
dan Suhardjono, 2014). Pertukaran cairan terakhir dilakukan pada jam
tidur sehingga cairan peritoneal dibiarkan semalaman (Price, Sylvia A &
M. Wilson, 2015). Terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
Dialisis Peritoneal (DP). Indikasi medik yaitu pasien anak-anak dan orang
tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita
penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan
AV shunting, pasien dengan stroke pasien dengan residual urin masih
cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-
mortality.
3. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai
untuk pasien gagal ginjal stadium akhir. Namun kebutuhan transplantasi
ginjal jauh melebihi jumlah ketersediaan ginjal yang ada dan biasanya
ginjal yang cocok dengan pasien adalah yang memiliki kaitan keluarga
dengan pasien. Sehingga hal ini membatasi transplantasi ginjal sebagai
pengobatan yang dipilih oleh pasien (Price, Sylvia A & M. Wilson, 2015).
Penatalaksanaan konservatif dihentikan bila pasien sudah memerlukan
dialisi tetap atau transplantasi. Pada tahap ini biasanya GFR sekitar 5-10
ml/mnt. Dialisis juga diiperlukan bila :
1. Asidosis metabolik yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
2. Hiperkalemia yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
3. Overload cairan (edema paru)
4. Ensefalopati uremic, penurunan kesadaran
5. Efusi perikardial
6. Sindrom uremia ( mual,muntah, anoreksia, neuropati) yang memburuk.
Menurut Sunarya, penatalaksanaan dari CKD berdasarkan derajat LFG nya,
yaitu:
J. Pengkajian Fokus Keperawatan
1. Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang
mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal
seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan sebagainya. CKD
dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan lingkungan juga mempunyai
peranan penting sebagai pemicu kejadian CKD. Karena kebiasaan kerja
dengan duduk / berdiri yang terlalu lama dan lingkungan yang tidak
menyediakan cukup air minum / mengandung banyak senyawa/ zat logam
dan pola makan yang tidak sehat.
2. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM, glomerulo
nefritis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih,
dan traktus urinarius bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan
terjadinya CKD.
3. Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun
waktu 6 bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi
dan air naik atau turun.
4. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input.
Tandanya adalah penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi
peningkatan suhu dan tekanan darah atau tidak singkronnya antara tekanan
darah dan suhu.
5. Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran
pasien dari compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi
meningkat dan reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan
nutrisi, atau terjadi peningkatan berat badan karena kelebihan cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran
telinga, hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum,
bibir kering dan pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat
otot bantu napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara
tambahan pada paru (rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung,
terdapat suara tambahan pada jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut
buncit.
h. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi,
terdapat ulkus
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan
tulang, dan Capillary Refill lebih dari 1 detik.
j. Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan
mengkilat / uremia, dan terjadi perikarditis.
K. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada CKD adalah sebagai
berikut:
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan
retensi cairan dan natrium.
2. Perubahan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi paru.
3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia mual muntah.
4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai O2 dan
nutrisi ke jaringan sekunder.
5. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane
kapiler paru.
6. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury.
(Nanda, 2015)
kalium) 7. Kolaborasi d
terapi
Le Mone, Priscilla. 2016. Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC
Loho, I. K. A., Rambert, G. I., & Wowor, M. F. (2016). Gambaran Kadar Ureum
Serum pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Stadium 5 Non Dialisis. Jurnal
E-Biomedik, 4, 2–7
Moorhead, Sue. 2015. Nursing Outcomes Classification (NOC). Jakarta:
mocomedia
Nahas, Meguid El & Adeera Levin. 2010. Chronic Kidney Disease: A Practical
Guide to Understanding and Management. USA : Oxford University Press
National Kidney Foundation. 2010. Keeping Your Heart Healthy What You
Should Know About Lipids. Diakses dari:
https://www.kidney.org/sites/default/files/docs/11-50
2106_fba_patbro_hearthealthy_3_1_1.pdf pada tanggal 14 Oktober 2019
National Kidney Foundation. 2015. About Chronic Kidney Disease. Diakses dari:
https://www.kidney.org/kidneydisease/aboutckd pada tanggal 14 Oktober
2019
Prodjosudjadi W, Suhardjono, Suwitra K, et al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Interna Publishing
Rahardjo et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI, 2009
Siti Setiati, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta : Internal
Publishing; 2014
Senthilkumar, G. P., Anithalekshmi, M. S., Yasir, M., Parameswaran, S.,
Packirisamy, R. muthu, & Bobby, Z. 2017. Role of omentin 1 and IL-6 in
type 2 diabetes mellitus patients with diabetic nephropathy. Diabetes &
Metabolic Syndrome: Clinical Research & Reviews, 8–11
Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al.,
3rd ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing
2006:1035-1040
Yasir, R., Maiyesi, A. 2012. Pemeriksaan laboratorium cystatin c untuk uji fungsi
ginjal. Jurnal Kesehatan Andalas. 1(1): 10-5