Anda di halaman 1dari 7

UJIAN TAKEHOME FARMASI SOSIAL

“MEMBUAT ARTIKEL INDIVIDU”

OLEH :

NAMA : SITI SAFIRA

NIM : G70116111

KELAS :A

DOSEN : Apt.Nurul Ambianti,S.Farm,M.Sc

UNIVERSITAS TADULAKO

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN FARMASI

PALU

2021
PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN

PENDAHULUAN

Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tugas dari apoteker itu sendiri seperti
apa, karena yang hanya masyarakat ketahui bahwa mendapatkan obat itu dari dokter atau
hanya sembarang membeli obat tanpa berkonsultasi ke apoteker, sehingga di puskesmas atau
pun apoteker hanya sebagian kecil apoteker berperan di dalamnya terutama di wilayah
kabupaten/kota. Apoteker memiliki peran penting dalam pelayanan kefarmasian, dimana
dituntut untuk selalu untuk melakukan pelayanan farmasi klinik yang berorientasi kepada
pasien. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pengetahuan mengenai pengobatan dan
keselamatan pasien. Apoteker dituntut untuk berperan dalam meningkatkan keselamatan
pasien terutama terhadap masalah terkait obat (Drug Related Problems/DRPs). Pasien harus
menjadi focus utama dari seorang apoteker dalam menentukan pilihan dan tindakan medis
yang harus dilakukan untuk meningkatkan outcome terhadap suatu terapi(Strand et al.,1990).
Tidak hanya apoteker, tetapi DRPs ini juga menjadi focus utama dari tenaga kesehatan
lainnya dalam hal meningkatkan terapi yang diinginkan melalui proses identifikasi, resolusi
dan pencegahan terjadinya DRPs(Ruiz-Millo et al.,2017).

Dalam Peraturan Pemerintah No 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian


disebutkan bahwa pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran
obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Tenaga kefarmasian adalah tenaga yang
melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian.

Pendekatan yang fokus pada kebutuhan konsumen tanpa harus mengurangi kualitas
produk merupakan Konsep Pharmaceutical Care yang sesungguhnya. Makin banyaknya
penemuan kasus penyalahgunaan obat dan penggunaannya, juga karena meningkatnya taraf
ekonomi dan daya beli masyarakat, membuat konsep Pharmaceutical Care lahir di industri
farmasi. Oleh karena itu peran apoteker sangat diperlukan. Orientasi pelayanan kefarmasian
saat ini telah bergeser dari drug oriented menjadi patient oriented. Pelayanan yang semula
hanya berfokus pada pengelolaan obat harus bergeser menjadi pelayanan yang menyeluruh,
baik pengelolaan obat maupun pelayanan kepada masyarakat. Hal tersebut bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup masyarakat (Handayani et al., 2009).
1. Definisi

Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah
mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berhak
melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker(Kemenkes RI,2004). DRPs
didefinisikan sebagai kejadian atau keadaan yang melibatkan penggunaan obat dalam terapi
yang secara nyata atau berpotensi mempengaruhi hasil pengobatan yang
diterapkan(Fondation Pharmaceutical Care Network Europe, 2017; Hepler & Strand,1990).
Pharmaceutical care merupakan pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker,
bertanggung jawab kepada pasien, dan telah diatur dalam standar pelayanan kefarmasian di
apotek (Kemenkes RI, 2016).

2. Bidang pengelolaan obat

Pengelolaan obat mencakup perencanaan obat, permintaan obat, penerimaan obat,


penyimpanan, pendistribusian, pelayanan serta pencatatan/pelaporan obat.

a.Perencanaan kebutuhan obat dilaksanakan setiap tahun oleh pengelola obat


berdasarkan data pemakaian obat tahun sebelumnya.

b. Permintaan obat adalah upaya memenuhi kebutuhan obat di masing-masing unit


apotek, puskesmas maupun rumah sakit sesuai dengan pola penyakit yang ada di
wilayah kerjanya.

c. Penerimaan obat adalah suatu kegiatan dalam menerima obat yang diserahkan dari
Instalasi Farmasi

d. Penyimpanan obat adalah suatu kegiatan pengamanan terhadap obat yang diterima
agar aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan
mutunya tetap terjamin.

e. Pendistribusian obat bertujuan untuk memenuhi kebutuhan obat sub unit pelayanan
kesehatan yang ada di wilayah kerja apoteker dengan jenis, mutu, jumlah dan tepat
waktu.

f. Pelayanan obat resep adalah proses kegiatan yang meliputi aspek teknis dan non
teknis yang harus dikerjakan mulai dari penerimaan resep dokter sampai
penyerahan obat kepada pasien.
g. Pencatatan dan pelaporan data obat merupakan kegiatan penatalaksanaan obat
secara tertib terhadap obat yang diterima, disimpan, didistribusikan dan digunakan
di puskesmas yang dilakukan secara periodik setiap awal bulan menggunakan
lembar permintaan-lembar penggunaan obat (LP-LPO).

3. Bidang pelayanan kefarmasian

a. Pelayanan Informasi Obat (PIO) Pelayanan Informasi obat harus benar, jelas,
mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini diperlukan dalam
upaya penggunaan obat yang rasional oleh pasien. Informasi yang perlu diberikan
kepada pasien adalah kapan obat digunakan dan berapa banyak; lama pemakaian
obat yang dianjurkan; cara penggunaan obat; dosis obat; efek samping obat; obat
yang berinteraksi dengan kontrasepsi oral; dan cara menyimpan obat.

b. Pelayanan konseling obat Konseling obat adalah suatu proses komunikasi dua arah
yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan
memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan obat. Apoteker perlu
memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan
kesehatan lainnya, sehingga yang bersangkutan terhindar dari bahaya
penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah, terutama untuk penderita
penyakit kronis seperti kardiovaskular, diabetes, tuberkulosis dan asma.

c. Home care Pelayanan Residensial (home care) adalah pelayanan apoteker sebagai
care giver dalam pelayanan kefarmasian di rumah pasien, khususnya untuk
kelompok lansia, pasien kardiovaskular, diabetes, tuberkulosis, asma, dan penyakit
kronis lainnya. Untuk kegiatan ini apoteker harus membuat catatan pengobatan
pasien (patient medication record).

PEMBAHASAN

Kesadaran masyarakat terhadap peran apoteker perlu diketahui untuk mengukur


pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan peran apoteker dalam memberikan layanan
kefarmasian di apotek.Apoteker memiliki peran dalam melindungi dan memberikan
keselamatan terhadap pasien yang berkaitan dengan masalah obat dimana di tempatkan di
rumah sakit, puskesmas maupun tugas praktek sendiri yaitu di apotek, tetapi seorang apoteker
dalam bertugas mempunyai prosedur yang sudah ditetapkan oleh undang-undang sehingga
tidak sembarang dalam bertugas apalagi mendapatkan masalah yang tidak diinginkan.
Adapun isi pedoman tersebut adalah:

Adapun hak-hak apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian diatur dalam
Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

1. Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak


baik;
2. Melakukan pembelaan diri yang sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
3. Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan;
4. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban-kewajiban apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian diatur dalam


Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

1. dalam Pasal 15. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.


2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/ atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
4. Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/ atau jasa yang berlaku;
5. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan mencoba barang dan/
atau jasa tertentu serta memberikan jaminan atas barang yang dibuat dan/ atau
diperdagangkan;
6. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang
diperdagangkan; Selain itu, sebagai pelayanan kefarmasian kewajiban apoteker juga
diatur

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/SK/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tata


Cara Pemberian Izin Apotek dinyatakan bahwa:
1. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian
profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.
2. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generic yang ditulis dalam resep
dengan obat paten.
3. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam resep, apoteker
wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat.

Komunikasi antara apoteker dengan konsumen apotek dapat dilakukan ketika melakukan
pemberian informasi obat melalui konseling dan pelayanan informasi obat (Abdullah et al.,
2010). Komunikasi dibutuhkan dalam setiap peran apoteker saat memberikan pelayanan
kefarmasian, salah satunya yaitu konseling. Komunikasi dalam konseling dapat
mempermudah dalam menggali informasi dari pasien meliputi kondisi pasien dan informasi
yang dibutuhkan oleh pasien, serta dapat mengetahui pemahaman dan pengetahuan pasien
akan pengobatannya. Ketika pasien kurang paham dengan pengobatannya maka apoteker
dapat memberikan saran dan informasi untuk meningkatkan pengetahuan pasien sehingga
outcome therapy dapat tercapai secara optimal (Lutfiyati et al., 2016).

umumnya masyarakat Indonesia juga mengidentikkan tenaga kesehatan dengan sosok


dokter atau perawat, dua profesi yang dianggap sebagai garda terdepan dalam pelayanan
kesehatan. Padahal, dengan kompetensinya di bidang penyediaan farmasi (obat, bahan obat,
dan obat tradisional), profesi apoteker juga tak kalah penting dalam meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat dan menyelamatkan nyawa pasien.

KESIMPULAN

Peran Apoteker dalam pelayanan kefarmasian adalah apoteker memiliki peran penting
dalam pelayanan kefarmasian, dimana dituntut untuk selalu untuk melakukan pelayanan
farmasi klinik yang berorientasi kepada pasien. Tujuannya adalah untuk meningkatkan
pengetahuan mengenai pengobatan dan keselamatan pasien. Apoteker dituntut untuk berperan
dalam meningkatkan keselamatan pasien terutama terhadap masalah terkait obat (Drug
Related Problems/DRPs). Pasien harus menjadi focus utama dari seorang apoteker dalam
menentukan pilihan dan tindakan medis yang harus dilakukan untuk meningkatkan outcome
terhadap suatu terapi(Strand et al.,1990).
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, N. A., Andrajati, R., dan Supardi, S. (2010). Pengetahuan, sikap dan kebutuhan
pengunjung apotek terhadap informasi obat di kota Depok. Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan, 13(4): 344-352.

Fondation Pharmceutical care Network Europe.(2017). The PCNE Classification V8.02.


Diambil dari http://www.pcne.org/working-groups/2/drug-related-problem-classification.

Handayani, R. S., Raharni, R., dan Gitawati, R. (2009). Persepsi Konsumen Apotek terhadap
Pelayanan Apotek di Tiga Kota di Indonesia. Makara Journal of Health Research, 13(1):
22-26.

Hening,P.,dkk.(2020). Analisis Persepsi Masyarakat Terhadap Peran Apoteker Pada Layanan


Kefarmasian Di Apotek Kecamatan Sokaraja, Baturraden, Sumbang, Dan Kedungbanteng.
Journal of Pharmaceutical Science and Clinical Research: 33-48

Hepler,C.D.,Strand,L.M . (1990). Opportunities and responsibilities in pharmaceutical care,


Am J Hosp Pharm 47(3) : 533-543.

Kemenkes RI. (2016). Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Nomor 73. Kementerian
Kesehatan RI. Jakarta.

Kemenkes RI. (2016). Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit Nomor 72.
Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.

Lutfiyati, H., Yuliastuti, F., dan Dianita, P. S. (2016). Pelaksanaan Konseling Oleh Apoteker
di Apotek Kecamatan Temanggung. Jurnal Farmasi Sains dan Praktis, 2(1): 24-29.

Ratnadewi.R, Putriana.N,.A. (2018). Pengaruh Pelayanan Farmasi Klinis di Rumah Sakit


oleh Apoteker pada Kejadian Permasalahan Terkait Obat. Jurnal Farmasi dan Kesehatan.
8(1): 104-118.

Anda mungkin juga menyukai