Anda di halaman 1dari 2

Masa Kecilku

Ivon Rosyaridha Jatmike, bagus kan namaku? Saat itu aku masih menjadi seorang balita perempuan yang berusia lima tahun.
Pasti kalian mengira bahwa aku adalah anak kecil yang masih menikmati masa kanak-kanak di PAUD atau Playgroup. Salah besar,
sekarang aku sudah duduk di bangku kelas satu SD di sebuah sekolah dasar ternama di kota ini. Sebenarnya belum waktunya, orang
tuaku pun keberatan. Tapi aku bersikeras ingin masuk Sekolah Dasar.

"Habis, teman-teman Ivon pakai seragam merah putih," ucapku lugu sekali.

Saat masih kecil, aku tidak suka dengan mainan boneka. Aku juga tidak suka memakai pakaian yang terkesan perempuan banget.
Aku lebih suka menggunakan kaos, celana pendek dan topi yang hampir tak pernah lepas dari kepalaku. Ditambah mainan laki-laki
seperti mobil-mobilan dan semacamnya.

Aku, si penggemar warna biru ini kerap sekali bertingkah sok dewasa dan suka memberi komentar spontan layaknya orang dewasa.

Ada banyak kejadian yang membuat aku dijuluki "sang jagoan cilik". Tak heran jika di lingkungan anak-anak sebaya, aku selalu jadi
pemimpin.

Sifatku berbeda dengan saudara kandungku, mungkin karena semasa hamil orang tuaku sangat mendamba anak laki-laki. Entahlah.

"Mbak, aku ini ganteng kan?" cetusku suatu kali kepada Mbak sepupuku.

"Bukan ganteng, tapi cantik" sahut Mbak sepupuku.

"Yaaah, Mbak, aku maunya ganteng, tauuk!" kataku sembari ngotot.

“Mengapa harus ganteng? Mengapa tak mau cantik?” tanya Mbak sepupuku.

"Kalau cantik nanti aku enggak bisa jadi jagoan, tauk!" ketus ku.

Seharian itu aku bermain di rumah Mbak sepupuku, karena orang tuaku sedang bekerja. Aku tidak merasa kehilangan sosok panutan,
meski jarang mempunyai waktu bercengkerama dengan orang tuaku, aku dapat mengenal betul perihal orang tuaku. Mulai dari nama
lengkap sampai hal kecil seperti makanan kesukaan, lagu kesayangan orang tuaku pun aku hafal.

Pada suatu hari, tak seperti biasanya aku pulang agak telat. Kemudian aku menelpon Papa ku menggunakan HP Pak Satpam.

"Ya, siapa ini?" Tanya Papa ku saat mengangkat telepon.

"Papa!" kataku sambil berteriak ditelepon.

"Ivon, ya, Nak! Di mana kamu, Nak?" Tanya Papa ku.

Tiba-tiba telepon terputus dan Pak Satpam kembali menelpon Papa ku.

"Halo, bisa bicara dengan Pak Budi?" ucap Pak Satpam.

"Ya betul, tapi Anda siapa?" tanya Papa ku.

“Pak Budi bisa ke sekolah sebentar? Nanti saya jelaskan semuanya, ya Pak” ucap Pak Satpam.

"Baik, kami akan segera ke sana!" jawab Papaku dengan tegas.


Lima belas menit kemudian, Papa telah sampai di sekolah ku.

“Mohon maaf, Pak Budi yang mana?” menyelinap lirih suara Pak Satpam.

"Saya, eh, Pak Satpam?" seru Papa ku.

Mama ku langsung menghampiri Pak Satpam, mengguncang-guncang tubuhnya sambil teriak histeris.

"Mana anakku. Pak, manaaa?!"

Dalam situasi yang mulai kacau itulah sebuah suara lain terdengar lantang dari belakang mereka. Ya, itu adalah suaraku.

"Papa! Mama!" kataku sambil berteriak.

Mereka semua menoleh ke arah ku dan menghampiri ku.

"Pak Truno, bisa ceritakan kejadian sebenarnya seperti apa? Kami benar-benar tak tahu lagi. Kami semua sangat khawatir. Syukurlah
Pak Truno sudah mnyelamatkan anak saya" ujar Papa ku.

"Bukan saya kok, tapi Ivon yang cerdik" jawab Pak Satpam.

“Konon, sepulang sekolah Ivon sendirian di depan gerbang sekolah karena menunggu jemputan langganannya. Dia tidak tahu kalau
mobil jemputan tidak bisa menjemput hari ini. Ketika suasana sudah mulai sepi, ada beberapa pemuda yang mendekatinya dan
menawarkan permen coklat kesukaan Ivon, sambil mengajaknya pergi dengan dalih akan mengantarkannya ke rumah” kata Pak
Satpam yang sedang menceritakan kejadiannya

“Awalnya Ivon mau, namanya juga anak kecil, tapi ketika di tengah jalan mereka sudah mulai kasar, Ivon sedikit ketakutan. Dia
mencoba berlari sekuat tenaga menjauhi para pemuda. Walaupun mereka terus mengejar. Ivon terus saja berlari mencari kerumunan
orang. Cerdiknya lagi, Ivon berbelok ke sebuah wartel.” lanjutnya.

"Ada apa, Dik?" tanya si penjaga wartel.

Dalam kebingungan, aku menangis dan mengeluarkan sebuah kertas dari dalam tasku.

"Ini apa ya, Dik?" tanya si penjaga wartel lagi.

“Semalam aku belajar sama Mama. Terus aku tanya nomer telepon Mama, Papa dan Mbak Nindi. Aku tulis di kertas ini” jelasku.

“Terus aku bawa ke sekolah. Sekarang aku mau menelpon mereka, bisa dari sini kan, Tante?” sambung ku sembari bertanya.

Karena orang tua ku sibuk menghubungi kerabat dan kenalan menanyakan keberadaan ku, jadilah telepon ku tidak bisa
masuk. Kakak ku pun juga tidak bisa dihubungi karena jika sedang bersekolah ponselnya dimatikan. Kemudian aku minta diantarkan
balik ke sekolah. Untungnya si penjaga wartel ini baik hati. Akhirnya, aku berjumpa dengan Pak Truno yang segera mengabari Papa
ku. Setelah semuanya selesai, akupun kembali ke rumah bersama Papa dan Mama ku.

Anda mungkin juga menyukai