Anda di halaman 1dari 16

PERLINDUNGAN HUKUM PEJABAT LELANG KELAS II ATAS SANKSI

AKIBAT RISALAH LELANG YANG TIDAK DIBACAKAN DALAM


PELAKSANAAN LELANG NON-EKSEKUSI
SECARA ELEKTRONIK
I NENGAH GOWINDA WIJAYA
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Jalan MT. Haryono Nomor 169,
Ketawanggede, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65145

Abstrak

Permasalahan dalam penelitian ini terkait dengan keabsahan risalah


lelang yang tidak dibacakan oleh Pejabat Lelang Kelas II dalam pelaksanaan
lelang non-eksekusi secara elektronik serta bentuk perlindungan hukum terhadap
Pejabat Lelang Kelas II atas sanksi yang dapat diterma akibat risalah lelang yang
tidak dibacakan dalam pelaksanaan lelang non-eksekusi secara elektronik.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa risalah lelang melalui media internet
tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1868
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka risalah lelang dalam pelaksanaan
lelang melalui media internet ini dapat dikategorikan sebagai akta otentik
dan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sempurna. Perlindungan
Hukum terhadap Pejabat Lelang Kelas II dapat dilakukan dengan (dua) cara
yaitu perlindungan hukum preventif yaitu dengan membuat aturan baru
atau perbaikan terhadap ketentuan aturan yang lama yang mana aturan tersebut
merubah ataupun menegaskan bahwa dengan berlakunya ketentuan baru ini
maka ketentuan dalam Pasal 37 Vendu Reglement secara khusus dinyatakan
tidak berlaku. Untuk penegasan atau perubahan sendiri dapat dilakukan
dalam ketentuan penutup sehingga dalam ketentuan penutup tersebut tidak
hanya menegaskan bahwa dengan berlakuknya PMK ini maka akan membuat
ketentuan dalam PMK sebelumnya menjadi tidak berlaku, namun juga terhadap
aturan Pasal 37 Vendu Reglement, dan perlindungan hukum represif yaitu
dengan melakukan upaya hukum berupa banding terhadap Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara ataupun upaya kasasi terhadap Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
Kata Kunci : perlindungan hukum, pejabat lelang, lelang non-eksekusi
elektronik.
Abstract

The problems in this study are related to the validity of the auction minutes
which were not read out by the Class II Auction Officer in the implementation of
non-executional auctions electronically and the form of legal protection against
the Class II Auction Officers for sanctions that could be accepted due to the
auction minutes not being read out in the non-execution auction. electronic
execution. The results of this study indicate that the minutes of auction through
the internet media have met the elements contained in Article 1868 of the Civil
Code, so the minutes of auction in the implementation of auctions through
internet media can be categorized as authentic deeds and can be used as
evidence. Perfect. Legal protection for Class II Auction Officials can be carried
out in (two) ways, namely preventive legal protection, namely by making new
rules or improvements to the old rules where the rules change or confirm that
with the enactment of this new provision, the provisions in Article 37 Vendu
Reglement specifically declared invalid. For affirmation or changes themselves
can be made in the closing provisions so that the closing provisions not only
emphasize that the enactment of this PMK will invalidate the provisions in the
previous PMK, but also against the rules of Article 37 VR, and
repressive legal protection, namely by carrying out legal remedies in
the form of an appeal against the State Administrative High Court or
an appeal against the Supreme Court of the Republic of Indonesia.
Keywords : legal protection, auction official, electronic non-execution auction.
A. Pendahuluan
Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan
penawaran harga secara tertulis dan/ atau lisan yang semakin meningkat
atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan
proses Pengumuman Lelang.1 Lelang pada umumnya dilaksanakan oleh
Pejabat Lelang2 baik Pejabat Lelang Kelas I maupun II untuk memimpin
kegiatan lelang tanah atau inventaris perusahaan dalam rangka
penghapusan inventaris perusahaan. Hal ini pada dasarnya dimaksudkan
untuk menghindarkan pelanggaran peraturan lelang yang menyatakan
pelelangan harus dilakukan dihadapan Pejabat Lelang kecuali dengan
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Perundang-Undangan dibebaskan dari
campur tangan Pejabat Lelang apabila tidak akan mengakibatkan
pembatalan penjualan.3 Lelang sendiri memiliki fungsi sebagai salah satu
instrumen untuk menjalankan tugas umum pemerintahan oleh aparatur
negara. Berbeda dengan perjanjian jual beli, melalui lelang penanganan
terhadap aset yang dikuasi negara dapat dijalankan dengan lebih seksama
untuk meningkatkan efisensi dan tertib administrasi serta pengelolaannya,
dengan lelang dapat memberikan pelayanan penjualan barang yang aman,
cepat, tertib dan dengan harga wajar. Selain itu lelang juga dapat
memberikan keuntungan tersendiri bagi Negara berupa pendapatan yang
didapatkan dari bea lelang.
Pejabat Lelang membacakan akta dihadapan para penjual dan
pembeli lelang, ditanda-tangani semua pihak, dan penegasan, pembacaan,
penerjemahan dan penanda-tanganan pada bagian penutup akta.
Sedangkan Syarat materil, Risalah Lelang memuat keterangan kesepakatan
para pihak antara penjual dan pembeli lelang, isi keterangan perbuatan
hukum yang bersegi dua berupa jual beli melalui lelang atau mengenai
hubungan hukum antara penjual dan pembeli lelang dan pembuatan akta
sengaja dimaksudkan sebagai bukti. Risalah Lelang merupakan suatu alat
bukti yang sempurna tentang adanya pelaksanaan lelang. Perilaku yang
sama terhadap risalah lelang yang merupakan sebuah akta otentik, maka

1
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
2
Pasal 1 ayat (44) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang menyatakan bahwa : Pejabat Lelang adalah orang yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan diberi wewenang khusus untuk melaksanakan Lelang.
3
Muhammad Haris, Kewenangan Notaris sebagai Pejabat Lelang Kelas II dalam
Memberikan Penyuluhan Hukum atas Akta Risalah Lelang yang Dibuatnya , Jurnal
Syariah: Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran Kewenangan, Vol. 17, No. 1, Juni 2017, hlm. 55.
otentifikasi sebuah risalah wajib dipertanggungjawabkan oleh pejabat lelang.
Pertanggungjawaban tersebut sesuai pasal 40 Vendu Reglement
menyatakan bahwa “Pejabat Lelang harus bertanggung jawabatas kerugian-
kerugian yang timbul karena tidak ditaatinya ketentuan pasal-pasal 37, 38
dan 39 Vendu Reglement.”
Adapun bunyi pasal-pasal tersebut diantaranya adalah: Pasal 37 V.R
Berita acara berisikan bagian pokok yang terdiri dari : tanggal dengan
huruf, nama kecil, nama dan tempat kedudukan juru lelang, serta nama
kecil, nama dan tempat kediaman kuasanyajika penjualan dilakukan di
hadapan kuasanya itu, nama kecil, nama, pekerjaan dan tempat kediaman
orang yang meminta perliualan dilakukan; jika ia tidak bertindak atas
namanya sendiri, juga uraian tentang kedudukan di mana ia meminta
diadakan penjualan, danjika berdasarkan pasal 20 (dua puluh) juru lelang
harus yakin bahwa pernjual berhak untuk menjual, juga pendapatnya
tentang hal itu, tempat penjualan, keterangan umum tentang sifat barang
yang dijual; tetapi dalam menurliukkan letak dan batasbatas barang-barang
tidak bergerak, harus diterangkan bukti hak milik menurut bunyi
katakatanya, dengan menyebut hak pengabdian pekarangan yang ada di
atasnya dan beban yang diletakkan pada barang-barang tersebut dan
syarat-syarat untuk dilakukan penjualan.
Bagian batang tubuh yang terdiri dari : uraian tentang barang
yang dilelangkan, nama dan pekerjaan tiap-tiap pembeli; juga tempat
kediamannya, jika ia tidak berdiam di tempat penjualan, harga yang
dikabulkan dengan angka, harga yang dihentikan dengan angka, (s.d.t: dg.
S. 1940-56 jo. S. 1941-3.) dalam penjualan yang dilakukan menurut
ketentuan alinea kelima pasal 9, tawaran atau persetujuan harga yang tetap
mengikat, juga dengan angka; nama dan pekerjaan penawaratau orang
yang menyetujui harga yang bersangkutan, serta tempat kediamannyajika
tidak berdiam di tempat penjualan. Dan bagian penutup yang terdiri dari :
jumlah barang lelang yang laku, dengan hurtle dan angka, jumlah yang
dikabulkan dan jumlah yang ditahan untuk itu, semuanya dengan huruf dan
angka. Jika berdasarkan pemberian kuasa pembelian dilakukan untuk orang
lain, maka dalam berita acara harus disebut, baik pemberi kuasa maupun
penerima kuasa. Jika pemberian kuasa itu dilakukan seeara lisan, maka hal
itu harus disebut dalam berita aeara dan, jika pemberi kuasa tidak
membayar pacta waktunya, maka penerima kuasa bertanggung jawab
seolaholah ia membeli untuk diri sendiri. Jika pemberian kuasa dilakukan
seeara tertulis, maka surat kuasa harus dilekatkan pada berita acara, kecuali
mengenai beberapa penjualan, surat-surat harus disimpan di kantor lelang.
Jika surat kuasa dibuat di hadapan notaris dengan minut, maka cukuplah hal
itu disebut dalam berita acara. Jika seseorang dengan lisan menjadi
penjamin pembeli, maka hal itu harus disebut dalam berita acara. Jika
penjaminan dilakukan seeara tertulis, maka akta penjaminan harus
dilekatkan pacta berita aeara, kecuali mengenai beberapa penjualan, yang
akta-aktanya harus disirnpan di kantor lelang. Pelekatan termaksud dalam
dUB alinea yang lalu harus disebut dalam berita acara. Tiap-tiap pembayaran
yang dilakukan pacta waktu perliualan yang tidak berdasarkan perjarnjian
pembayaran tunai, juga harus disebut dalam berita acara. (s.d.t. dg. S.
1912-583.) Dalam penjualan eksekusi termaksud dalam alinea terakhir pasal
20, dalam bagian pokok berita acara harus dicantumkan bahwa bukti-bukti
pengumuman termaksud dalam ketentuan itu telah diberitahukan pada
waktunya kepada juru lelang, atau dengan jalan lain ia telah yakin bahwa
pengumuman itu telah diberikan. (s.d.u. dg. S. 1940-56jo. S. 1941-3.) Pada
permulaan penjualan, juga dalam melanjutkan penjualan yang terhenti di
pertengahan pelelangan, bagian pokok berita acara harus dibacakan
dengan suara keras oleh atau atas nama juru lelang kepada
hadirin. Hal pembaeaan ini harus disebut dalam berita acara.
Pasal 38 V.R menyatakan “(s.d.u. dg. S. 1912-583.) Setiap halaman
berita aceara, kecuali halaman terakhir, harus disahkan dengan tanda
tangan oleh juru lelang atau kuasanya. Berita acara tersebut ditandatangani
oleh juru lelang atau kuasanya, dan oleh orang yang untuknya permohonan
penjualan itu diadakan; jika ia tidak ingin turut-serta menandatanganinya
atau tidak hadir pada waktu penutupan berita acara, maka hal itu harus
dinyatakan dalam berita acara. Pencantuman bahwa penjual tidak mau
melakukan penandatanganan atau tidak hadir, berlaku sebagai
penandatanganan.” Pasal 39 V.R menyatakan “Tidak diperbolehkan
membuat perubahan atau tambahan dalam berita acara, kecuali pada bagian
margin (pinggir) atau, jika di situ tidak terdapat tempat kosong, langsung
sebelum tempat tanda tangan berita acara, dengan menunjuk halaman
dan baris yang bersangkutan. Tidak boleh diadakan peneoretan
atas kata-kata, huruf-huruf atau angka-angka yang tertera dalam berita
acara, kecuali dengan garis tipis sedemikian rupa, sehingga apa
yang tadinya tertulis di situ tetap dapat dibaca. Banyaknya kata, huruf dan
angka yang digaris, harus dicantumkan di bagian margin halaman kertas.
Semua yang menurut pasal ini ditulis pada bagian margin berita acara, harus
ditandatangani oleh para penandatangan berita acara.”
Kerangka atas pasal tersebut dijelaskan bahwa dalam pasal Kerugian-
kerugian yang dimaksud yaitu dalam bentuk pemalsuan data-data ataupun
nominal-nominal yang ada pada risalah lelang selain apa yang telah
disepakati dalam pelaksanaan lelang, adanya klausul yang tidak sesuai
dengan aturan lelang sehingga melanggar undang-undang, menimbulkan
kerugian materil bagi pembeli maupun penjual lelang, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, asumsi awal penulis adalah bahwa resiko suatu risalah
lelang yang dibuat tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan bentuk dari
risalah lelang maka risalah lelang itu tidak menjadi Akta Otentik lagi, seperti
halnya pemenuhan ketentuan dalam Pasal 37 Vendu Reglement yang
menyatakan bahwa kepala risalah lelang wajib dibacakan kepada peserta
lelang oleh pejabat lelang.4
Berkaitan dengan ketentuan tersebut, Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 213/PMK.06/2020 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang khususnya
dalam lampiran Pelaksanaan Penawaran Lelang Melalui Surat Elektronik (e-
mail) angka 6 (enam) menyatakan bahwa : “pada saat pelaksanaan lelang,
Pejabat Lelang menayangkan Kepala Risalah Lelang dan membuka
rekapitulasi penawaran lelang bersama dengan Penjual dan 2 (dua) orang
saksi, masing-masing 1 (satu) orang dari KPKNL atau Balai Lelang dan 1
(satu) orang dari Penjual.”5 Serta dalam lampiran Pelaksanaan Penawaran
4
Ainon Marziah, Pembuktian Risalah Lelang Bagi Pemenang Eksekusi Hak
Tanggungan, Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan, Vol. 7 No. 2, Agustus 2019, hlm. 226.
5
Lampiran Pelaksanaan Penawaran Lelang Melalui Surat Elektronik (e-mail) Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
Lelang Melalui Aplikasi Lelang angka 2 (dua) menyatakan bahwa :
“pelaksanaan lelang melalui Aplikasi Lelang dimulai dengan penayangan
Kepala Risalah Lelang oleh Pejabat Lelang dengan tata cara dan ketentuan
sebagai berikut: (a) untuk lelang melalui Aplikasi Lelang dengan penawaran
tertutup (closed bidding), dilakukan sesuai dengan jadwal pembukaan daftar
penawaran lelang sebagaimana dicantumkan dalam pengumuman lelang. (b)
untuk lelang melalui Aplikasi Lelang dengan penawaran terbuka (open
bidding), dilakukan sesuai dengan jadwal pelaksanaan lelang sebagaimana
dicantumkan dalam pengumuman lelang. Dengan demikian dalam
pelaksanaan lelang tanpa dihadiri peserta lelang (secara elektronik) baik
penawaran melalui surat elektronik maupun aplikasi lelang, Pejabat Lelang
Kelas memiliki kewajiban untuk menayangkan kepala risalah lelang sebelum
penawaran dilakukan. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui
bahwa terdapat pertentangan norma hukum antara Pasal 37 Vendu
Reglement yang menyatakan bahwa kepala risalah lelang wajib dibacakan
kepada peserta lelang oleh pejabat lelang, dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang
yang mewajibkan Pejabat Lelang untuk menayangkan kepala risalah lelang
sebelum dilakukannya penawaran lelang tanpa dihadiri peserta lelang
(secara elektronik). Permasalahan inilah yang mendasari Penulis untuk
melakukan penelitian hukum dengan judul “Perlindungan Hukum
Pejabat Lelang Kelas II Atas Sanksi Akibat Risalah Lelang Yang
Tidak Dibacakan Dalam Pelaksanaan Lelang Non-Eksekusi Secara
Elektronik”. Rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana keabsahan risalah lelang yang tidak dibacakan oleh Pejabat
Lelang Kelas II dalam pelaksanaan lelang non-eksekusi secara
elektronik?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap Pejabat Lelang Kelas
II atas sanksi yang dapat diterma akibat risalah lelang yang tidak
dibacakan dalam pelaksanaan lelang non-eksekusi secara elektronik?
B. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah
penilitian hukum yuridis normatif. Jenis penelitian ini dipilih oleh Penulis
dengan tujuan untuk melakukan penelitian terhadap asas-asas dan
sistematika hukum serta sinkronisasi secara horizontal guna menganalisis
permasalahan hukum berupa keabsahan risalah lelang yang tidak dibacakan
oleh Pejabat Lelang Kelas II dalam pelaksanaan lelang non-eksekusi secara
elektronik serta perlindungan hukum terhadap Pejabat Lelang Kelas II atas
sanksi yang dapat diterma akibat risalah lelang yang tidak dibacakan dalam
pelaksanaan lelang non-eksekusi sukarela secara elektronik. Penelitian ini
menggunakan pendekatan penelitian berupa pendekatan perundang-
undangan dan pendekatan konseptual, serta menggunakan teknik analisis
berupa intepretasi yaitu intepretasi gramatikal dan intepretasi sistematis.
C. Hasil dan Pembahasan
1. Keabsahan Risalah Lelang yang Tidak Dibacakan Pejabat Lelang
Kelas II Dalam Pelaksanaan Lelang Non-Eksekusi Secara Elektronik
Lelang melalui media internet lelang melalui internet atau e-auction
diatur dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 213/PMK.06/2020, lelang melalui internet adalah:
Penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga
secara tertulis tanpa kehadiran peserta lelang untuk mencapai harga
tertinggi yang dilakukan melalui aplikasi lelang berbasis internet. Ketentuan
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 (Lembaran Negara Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4843) tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik memberikan pengertian mengenai Dokumen Elektronik adalah
setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima,
atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau
sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui
Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda,
angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu yaitu untuk membuat Risalah Lelag
sebagaimana tercantum dalam Pasal memahaminya. Berdasarkan ketentuan
tersebut, maka definisi dan mekanisme penawaran lelang telah mendapat
perluasan khususnya dari sudut media yang digunakan untuk
menyelenggarakan lelang. Lelang bukan lagi hanya penjualan barang
yang terbuka untuk umum secara langsung, melainkan juga secara tidak
langsung melalui media elektronik.6
Berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada Pejabat Lelang
sebagaimana telah tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
213/PMK.06/2020 menyatakan bahwa Pejabat Lelang wajib membuat berita
acara lelang atau biasa disebut dengan Risalah Lelang. Risalah lelang
menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 merupakan
berita acara pelaksanaan lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang. Risalah
Lelang ini juga merupakan akta otentik serta mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna. Risalah Lelang yang dihasilkan pada
pelaksanaan lelang melalui media internet tersebut juga dikategorikan
kedalam dokumen elektronik. Hal tersebut dikarenakan adanya penayangan
Kepala Risalah Lelang yang dilakukan sebelum lelang dimulai pada aplikasi
lelang. Risalah lelang yang juga merupakan dokumen elektronik tersebut
juga harus memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata mengenai akta otentik. Bentuk dan tata cara pembuatan
Risalah lelang sama seperti pembuatan Risalah Lelang yang dilakukan
melalui lelang konvensional, akan tetapi perbedaannya terletak dalam hal
menghadap dimana selama pelaksanaan lelang konvensional dilakukan
dengan cara hadir secara fisik sedangkan pada lelang melalui media internet
dilakukan dengan menggunakan alat elektronik. Sedangkan perbedaan yang
lain terletak pada pembacaan Risalah Lelang dan
penandatanganan Risalah Lelang.
Risalah Lelang dalam lelang konvensional dibacakan oleh Pejabat
Lelang kepada peserta lelang, namun berbeda dengan Risalah Lelang dalam
lelang melalui media internet, Kepala Risalah Lelang melalui media intenet
ini hanya ditanyangkan pada aplikasi lelang yang telah disediakan sebelum
6
Begiyama Fahmi Zaki, Kepastian Hukum Dalam Pelelangan Objek Hak Tanggungan
Secara Online, Fiat Justicia Journal of Law, Vol. 2, No. 2 April-June 2016, hlm. 5.
pelaksanaan lelang dimulai tanpa adanya pembacaan. Hal tersebut diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 yang
menyatakan bahwa Pelaksanaan Lelang Melalui Internet dimulai dengan
penayangan Kepala Risalah Lelang oleh Pejabat Lelang”. Adapun tata cara
penayangan Risalah Lelang berdasarkan PMK Nomor 213/PMK.06/2020
adalah sebagai berikut: (a) Untuk lelang melalui media internet dengan
penawaran tertutup (close bidding), dilakukan sesuai dengan jadwal
pembukaan daftar penawaran lelang sebagaimana dicantumkan dalam
pengumuman lelang. (b) Untuk lelang melalui media internet
denganpenawaran terbuka (open bidding), dilakukan sesuai dengan jadwal
pelaksanaan lelang sebagaimana dicantumkan dalam pengumuman lelang.”
Namun dalam ketentuan tersebut diatas, bertentangan dengan ketentuan
dalam Pasal 37 Vendu Reglement yang merupakan dasar dari peraturan
lelang, yaitu Pada permulaan penjualan juga dalam melanjutkan penjualan
yang berhenti dipertengahan pelelangan, bagian pokok berita acara harus
dibacakan dengan suara keras oleh atau atas nama juru lelang kepada
hadirin. Hal pembacaan harus disebut dalam berita acara.
Sehingga pembacaan Risalah Lelang merupakan bagian dari verlidjen
atau peresmian dari pembacaan akta dan penandatanganan terhadap
Risalah Lelang tersebut. Apabila Risalah Lelang tersebut dibuat oleh Pejabat
Lelang maka Risalah Lelang tersebut juga harus dibacakan oleh Pejabat
Lelang. Verlidjen merupakan kata kerja yang diambil dari kata verleden yang
diartikan sebagai telah dibuat. Kata terakhir ini berasal dari bahasa Belanda
kuno dan tidak dipakai lagi dalam bahasa sehari-hari dan hanya digunakan
dalam bidang hukum. Pembacaan akta tersebut bertujuan agar peserta
lelang mempunyai jaminan apabila mereka telah menandatangani apa yang
mereka dengar sebelumnya (pembacaan oleh Pejabat Lelang) agar
memperoleh keyakinan bahwa Risalah Lelang tersebut benar-benar berisikan
apa yang dikehendaki oleh peserta lelang. Apabila pembacaan Risalah
Lelang dihubungkan dengan fungsi akta otentik dalam pembuktian, maka
dapat dilihat bahwa dalam pembuatan Risalah Lelang pembacaan akta
merupakan kewajiban bagi Pejabat Lelang dalam pelaksanaan jabatannya.
Sama halnya dalam lelang melalui media imternet pambacaan Kepala Risalah
Lelang tersebut seharusnya tetap dibacakan tidak hanya ditanyangkan.
Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Tan Thong Kie bahwa
pembacaan akta memiliki manfaat, antara lain:
a. Pada saat peresmian (verlidjen) akta akan berakhir, masih ada
kesempatan bagi pejabat untuk memperbaiki kesalahan dalam
penulisan kata/kalimat yang sebelumnya tidak tampak karena bisa
saja terjadi adanya kesalahan fatal atau yang memalukan;
b. Para penghadap diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan
kurang jelas atau kurang dimengerti dari isi akta yang dibacakan;
c. Pejabat umum dan para penghadap mempunyai kesempatan pada
detik terakhir sebelum akta tersebut selesai ditandatangani oleh
para penghadap, para saksi, Pejabat Umum mengadakan pemiiran
ulang mengenai isi akta, bertanya, maupun mengubah isi akta.
Adapun pelanggaran yang dilakukan jika pembacaan Risalah Lelang
tersebut tidak dilakukan oleh Pejabat Lelang, maka Risalah Lelang tersebut
akan mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana akta dibawah tangan
atau dengan kata lain Risalah Lelang tersebut kehilangan keontentisitasnya.
Namun jika dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: Suаtu аktа yаng dіdаlаm
bеntuk yаng dіtеntukаn оlеh undаng-undаng, dіbuаt оlеh аtаu dіhаdаpаn
pеgаwаі-pеgаwаі umum yаng bеrkuаsа untuk іtu dі tеmpаtkаn dі mаnа аktа
іtu dіbuаtnyа. Adapun unsur-unsur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata adalah: bеntuk aktanya dibuat sesuai dengan yang
dіtеntukаn оlеh Undаng Undаng (wettelijkje vorm). Pembuatan Risalah
Lelang melalui media internet dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
213/PMK.06/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Lelang dengan Penawaran
Secara Tertulis Tanpa Kehadiran Peserta Lelang Melalui Media Internet tidak
diatur secara khusus dan hanya mengatur sebatas penayangan Risalah
Lelang dan penandatanganan Risalah Lelang. Pembuatan Risalah Lelang
melalui media internet tersebut sama seperti pembuatan Risalah Lelang
secara konvensional yang membedakan hanya pada pelaksanaannya saja.
Sehingga dalam pembuatan Risalah Lelang melalui media internet tersebut
harus menganut pada peraturan pembuatan Risalah Lelang Konvensional
seperti Vendu Reglement yang diatur dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal
39 dan Peraturan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 270) tentang
Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
Dalam PMK Nomor 27/PMK.06/2016 (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 270), pada BAB VI mengenai Risalah lelang mengatur
susunan dari Risalah Lelang. Pasal 85 ayat (2) Risalah Lelang terdiri atas (a)
Bagian Kepala; (b) Bagian Badan; dan (c) Bagian Kaki.”25 Risalah Lelang
dibuat dalam bahasa Indonesia, setiap Risalah lelang diberi nomor urut.
Pasal 86 PMK Nomor 27/PMK.06/2016 (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 270), menerangkan bagian Kepala Risalah Lelang paling
sedikit memuat: (a) hari, tanggal, dan jam lelang ditulis dengan huruf dan
angka, (b) nama lengkap dan tempat kedudukan Pejabat Lelang, (c) nomor
dan tanggal surat keputusanpengangkatan Pejabat Lelang, (d) nomor dan
tanggal surat tugas khusus untuk Pejabat Lelang Kelas, (e) nama lengkap,
pekerjaan dan tempat kedudukan atau domisili Penjual, (f ). nomor atau
tanggal surat permohonan lelang, (g) tempat pelaksanaan lelang, (h) sifat
barang yang dilelang dan alasan barang tersebut dilelang, (i) dalam hal
objek lelang berupa barang tidak bergerak berupa tanah atau tanah dan
bangunan harus disebutkan: 1. status hak atau surat-surat lain yang
menjelaskan bukti Kepemilikan, 2. Nomor dan tanggal SKT/SKPT dari Kantor
Pertanahan, dan 3. keterangan lain yang membebani, apabila ada, (j) dalam
hal objek lelang berupa barang bergerak harus disebutkan
jumlah, jenis dan spesifikasi barang; (k) cara Pengumuman Lelang yang
telah dilaksanakan oleh Penjual, (l) cara penawaran lelang, dan (m)
syarat dan ketentuan lelang.
Kemudian pada bagian Badan Risalah Lelang diatur dalam Pasal 87
PMK Nomor 213/PMK.06/2020 sekurangnya harus memuat: (a) banyaknya
penawaran lelang yang masuk dan sah. (b) nama/merek/ jenis/tipe dan
jumlah barang yang dilelang. (c) nama, pekerjaan dan alamat Pembeli atas
nama sendiri atau sebagai kuasa atas nama badan hukum/badan usaha/
orang lain. (d). bank kreditor sebagai Pembeli untuk orang atau badan
hukum atau badan usaha yang akan ditunjuk namanya, dalam hal bank
kreditor sebagai Pembeli Lelang. (e) harga lelang dengan angka dan huruf,
dan (f ) daftar barang yang laku terjual maupun yang ditahan disertai
dengan harga, nama, dan alamat Peserta Lelang yang menawar tertinggi”.
Sedangkan pada bagian Kaki Risalah Lelang tercantum dalam PMK Nomor
213/PMK.06/2020: (a) banyaknya barang yang ditawarkan ·atau dilelang
dengan angka dan huruf, (b) banyaknya barang yang laku atau terjual
dengan angka dan huruf, (c) jumlah harga barang yang telah terjual dengan
angka dan huruf, (d) jumlah harga barang yang ditahan dengan angka dan
huruf, (e) banyaknya dokumen atau surat-surat yang dilampirkan pada
Risalah Lelang dengan angka dan huruf, (f ) jumlah perubahan yang
dilakukan (catatan, tambahan, coretandengan penggantinya) maupun tidak
adanya perubahan ditulis dengan angka dan huruf, (g) tanda tangan
Pejabat Lelang dan Penjual atau kuasa Penjual, dalam hal lelang
barang bergerak atau tanda tangan Pejabat Lelang, Penjual
atau kuasa Penjual dan Pembeli atau kuasa Pembeli, dalam hal lelang
barang tidak bergerak, dan (h) tanda tangan saksi-saksi untuk
lelang dengan penawaran tanpa kehadiran Peserta Lelang melalui surat
elektronik (emai), tromol pos atau internet (closed bidding).
Akta tersebut dіbuаt оlеh (door) аtаu dіhаdаpаn (ten overstain)
pеjаbаt umum (openbaar ambtenaar). Dalam ketentuan pada Pasal 1 angka
35 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 menyatakan
bahwa: Risalah Lelang adalah berita acara pelaksanaan lelang yang dibuat
oleh Pejabat Lelang yang merupakan akta otentik dan mempunyai kekuatan
pembuktian sempurna. Menurut Pasal 1a Vendu reglement menyatakan
bahwa: Tanpa mengurangi ketentuan alinea berikut dalam pasal ini,
penjualan dimuka umum tidak boleh dilakukan selain di hadapan juru
lelang.30 Sedangkan menurut Pasal 35 Vendu Reglement menyatakan
bahwa Dari tiap-tiap penjualan umum yang dilakukan oleh juru lelang atau
kuasanya, selama penjualan, untuk tiap-tiap hari pelelangan atau pejualan
harus dibuat berita acara tersendiri”. Yang artinya bahwa dalam
pembuatan Risalah lelang baik dalam lelang secara konvensional maupun
dengan pelaksanaan lelang melalui media internet atau e-auction
tetap dibuat oleh Pejabat Lelang.
Pejabat umum yang membuat akta tersebut harus pejabat yang
mempunyai wewenang untuk membuat akta itu sesuai dengan wilayah
kerjanya. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 menyatakan bahwa Pejabat Lelang
adalah orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberi
wewenang khusus untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang”.
Artinya “Pejabat Lelang” atau “Juru Lelang” adalah orang yang diberi
“wewenng khusus” oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan “penjualan
barang secara lelang” berdasarkan “peraturan perundang-undangan”.
Pejabat Lelang terbagi menjadi 2 (dua) golongan sebagai berikut (a)
Pejabat Lelang atau Juru Lelang Kelas I yang berwenang untuk
melaksanakan Lelang Eksekusi, Lelang Noneksekusi Wajib, dan Lelang
Noneksekusi Sukarela. (b) Pejabat Lelang atau Juru Lelang Kelas II yang
berwenang melaksanakan Lelang Noneksekusi Sukarela. Dengan demikian,
menurut penulis Risalah Lelang melalui media internet tersebut telah
memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1868, maka Risalah
Lelang dalam pelaksanaan lelang melalui media internet ini dapat
dikategorikan sebagai akta otentik dan dapat digunakan sebagai alat bukti
yang sempurna. Akan tetapi permasalahan dalam hal pembacaan Risalah
Lelang yang tidak dibacakan dan hanya ditayangkan pada aplikasi lelang
sebagaimana tercatum dalam Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 213/PMK.06/2020 yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal
37 Vendu Reglement yang menyatakan bahwa Risalah Lelang harus
dibacakan, maka dalam menyelesaikan permasalahan tersebut harus
menggunakan asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis yang menyatakan
bahwa Peraturan perundang-undangan yang khusus mengesampingkan
peraturan perundang-undangan yang umum. Bahwa dengan menggunakan
asas tersebut maka pembacaan Risalah Lelang boleh tidak dilakukan karena
adanya peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 yang
mengaturnya demikian. Dengan adanya hal tersebut diatas, maka Risalah
Lelang tetap merupakan akta otentik sepanjang tidak ada yang melakukan
gugatan dikemudian hari. Apabila para pihak melakukan gugatan terhadap
Risalah Lelang tersebut dan dapat dibuktikan tentang ketidakbenarannya
maka Risalah Lelang dapat dibatalkan. Apabila terdapat kasus mengenai
penyangkalan terhadap Risalah Lelang maka seharusnya apa yang
disangkalkan harus dibuktikan, apakah terdapat hal-hal yang tidak sesuai
dengan prosedur yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan, termasuk juga harus dapat membuktikan terdapat pelanggaran
terhadap aspek lahiriah, aspek formil, maupun aspek materiil dari Risalah
Lelang tersebut. Beban pembuktian mengenai apa yang disangkalkan
tersebut, dibebankan kepada pihak yang menyangkal. 7 Apabila tidak mampu
membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima
oleh siapapun. Peringkaran atau penyangkalan harus dilakukan dengan
suatu gugatan ke pengadilan. Penggugat harus dapat membuktikan bahwa
ada aspek formal yang dilanggar atau tidak sesuai dalam akta
bersangkutan.8
2. Perlindungan Hukum Terhadap Pejabat Lelang Kelas II atas Sanksi
yang Dapat Diterma Akibat Risalah Lelang Yang Tidak Dibacakan
Dalam Pelaksanaan Lelang Non-Eksekusi Secara Elektronik
Risalah Lelang melalui media internet tersebut telah memenuhi
unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1868, maka Risalah Lelang dalam
pelaksanaan lelang melalui media internet ini dapat dikategorikan sebagai
akta otentik dan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sempurna. Akan
tetapi permasalahan dalam hal pembacaan Risalah Lelang yang tidak
dibacakan dan hanya ditayangkan pada aplikasi lelang sebagaimana
tercatum dalam Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor
90/PMK.06/2016 yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 37 Vendu
Reglement yang menyatakan bahwa Risalah Lelang harus dibacakan, maka
dalam menyelesaikan permasalahan tersebut harus menggunakan asas Lex
Specialis Derogat Legi Generalis. Bahwa dengan menggunakan asas tersebut
maka pembacaan Risalah Lelang boleh tidak dilakukan karena adanya
peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.06/2016 dan Risalah Lelang
7
Made Oka Cahyadi Wiguna, Keautentikan Risalah Lelang Eksekusi Hak Tnggungan Sebagai
Bukti Pemindahan Hak Atas Tanah, Jurnal Hukum Undiknas, Vol. 2, No. 2 Tahun 2015, hlm.
167.
8
Lorika Cahaya Intan, Akibat Pelanggaran Oleh Notaris Terhadap Pembuatan Akta Notaris,
Jurnal Cakrawala Hukum, Vol. 7, No. 2 Desember Tahun 2016, hlm. 209.
tetap merupakan akta otentik sepanjang tidak ada yang melakukan gugatan
dikemudian hari. Dalam kemungkinan terjadinya gugatan dalam hal ini maka
diperlukan adanya perlindungan hukum bagi Pejabat Lelang Kelas II dalam
pelaksanaan lelang.
Perlindungan hukum dibagi menjadi 2 (dua) yaitu perlindungan
hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum
preventif, adalah perlindungan yang sifatnya pencegahan, sebelum
seseorang dan/atau kelompok melakukan suatu kegiatan yang bersifat
negatif atau melakukan suatu kejahatan yang diniatkan, sehingga dapat
menghindarkan atau meniadakan terjadinya tindakan yang kongkrit. 9
Perlindungan ini diberikan oleh pemerintah bertujuan untuk mencegah
sebelum terjadinya pelanggaran dan memberikan batasan dalam
melaksanakan suatu perbuatan hukum. Perlindungan hukum represif,
bertujuan untuk menyelesaikan suatu permasalahan atau sengketa.
Perlindungan hukum ini merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti
denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah
terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran. 10 Penyelesaian
sengketa dalam perlindungan hukum represif ini dilakukan oleh badan
peradilan yang berwenang. Apabila terdapat kewajiban yang dilanggar maka
pelaku dapat diberi sanksi atas perbuatannya.
Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sarana perlindungan Hukum ada
dua macam, yaitu sarana perlindungan hukum preventif dan sarana
perlindungan hukum represif.11 Pada perlindungan hukum preventif ini,
subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau
pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang
definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan
hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang
didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan
hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam
mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Akan tetapi di Negara
indonesia belum ada pengaturan mengenai perlindungan hukum preventif. 12
Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan
sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan
Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum
ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu
dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap
hak- hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-
konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan
kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua yang mendasari
perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara
hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi

9
Made Metu Dahana, Perlindungan Hukum dan Keamanan Terhadap Wisatawan,
Paramita, Surabaya, 2012, hlm 58.
10
Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Magister
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2003, hlm 20.
11
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya,
2007, hlm 25.
12
Ibid, hlm 27.
manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari
negara hukum.13
Perlindungan hukum preventif, adalah perlindungan yang sifatnya
pencegahan, sebelum seseorang dan/atau kelompok melakukan suatu
kegiatan yang bersifat negatif atau melakukan suatu kejahatan yang
diniatkan, sehingga dapat menghindarkan atau meniadakan terjadinya
tindakan yang kongkrit.14 Perlindungan ini diberikan oleh pemerintah
bertujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran dan memberikan
batasan dalam melaksanakan suatu perbuatan hukum. Pada intinya
perlindungan hukum preventif adalah perlindungan yang diberikan dilakukan
oleh pemerintah untuk mencegah sebelum terjadinya suatu pelanggaran.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya tidak terdapat peraturan yang
mengatur tentang perlindungan hukum terhadap pejabat lelang yang tidak
membacakan risalah lelangnya, dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan hanya mengatur mengenai sanksi yang dapat dikenakan terhadap
pejabat lelang apabila tidak membacakan risalah lelang sehingga
mengakibatkan kerugian terhadap salah satu pihak. Hal ini mengakibatkan
pihak yang dirugikan tersebut dapat mengajukan pembatalan terhadap
risalah lelang atas dasar Pasal 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang
merupakan perkecualian untuk tidak diadili di Peradilan Tata Usaha Negara
menyatakan bahwa : “dan apabila ternyata dalam pelaksanaan lelang ada
hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku
dan merugikan si terhutang/ si terlelang, maka pihak yang bersangkutan
dapat mengajukan gugatan pembatalan risalah lelang kepada Badan
Peradilan Umum dengan dasar perbuatan melawan hukum oleh Penguasa.”
Berkaitan dengan pembasan sub-bab sebelumnya bahwa terdapat
pertentangan antara ketentuan vendu reglement dan PMK khususnya
mengenai kewajiban membacakan risalah lelang dalam lelang non-eksekusi
wajib secara elektronik yang dalam hal ini dapat diselesaikan dengan
asas lex specialis derogat legi generalis maka Pejabat Lelang Kelas II
dapat mengesampingkan kewajiban membacakan risalah lelang
sebagaimana diatur dalam Pasal 37 Vendu Reglement, menurut Penulis perlu
dibuat aturan baru atau perbaikan terhadap ketentuan aturan
yang lama yang mana aturan tersebut merubah ataupun
menegaskan bahwa dengan berlakunya ketentuan baru ini maka ketentuan
dalam Pasal 37 Vendu Reglement secara khusus
dinyatakan tidak berlaku. Untuk penegasan atau perubahan sendiri dapat
dilakukan dalam ketentuan penutup sehingga dalam ketentuan
penutup tersebut tidak hanya menegaskan bahwa dengan berlakuknya PMK
ini maka akan membuat ketentuan dalam PMK sebelumnya menjadi tidak
berlaku, namun juga terhadap aturan Pasal 37 VR.
Perlindungan represif, perlindungan hukum ini bertujuan untuk
menyelesaikan suatu permasalahan atau sengketa. Perlindungan hokum ini
merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan
hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau
telah dilakukan suatu pelanggaran.15 Penyelesaian sengketa dalam
perlindungan hukum represif ini dilakukan oleh badan peradilan yang
13
Philipus M. Hadjon, Op.cit, hlm 30.
14
Made Metu Dahana, Perlindungan Hukum dan Keamanan Terhadap Wisatawan,
Paramita, Surabaya, 2012, hlm 58.
berwenang. Apabila ada kewajiban yang dilanggar maka pelaku
diberi sanksi. Indonesia merupakan negara hukum yang mengakui setiap
orang sebagai manusia terhadap undang-undang dengan demikian bahwa
setiap orang diakui sebagai subyek hukum. Pasal 27 UUD 1945 menetapkan
segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.16 Hukum perorangan menurut Subekti ialah peraturan-
peraturan tentang manusia sebagai subyek dalam hukum, peraturan-
peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak dan kecakapan untuk
bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang
mempengaruhi kecakapan itu. Hukum perorangan menurut Van Apeldoorn,
hukum purusa dapat diartikan sebagai seluruh peraturan tentang purusa
atau subyek-subyek hukum. Hukum purusa mempunyai peraturan
kewenangan hukum (Rechtbevoegdheid) dan kewenangan bertindak
(handelingsbevoegheid). Hukum mengatur hubungan antara anggota
masyarakat dan antara subyek hukum. Pengertian Subyek hukum ialah siapa
yang dapat mempunyai hak dan cakap untuk bertindak di dalam hukum atau
dengan kata lain siapa yang cakap menurut hukum untuk mempunyai hak.
Ada beberapa pengertian tentang subyek hukum diantaranya adalah: 17
Subyek hukum menurut Subekti adalah pembawa hak atau subyek di dalam
hukum yaitu orang; Subjek hukum menurut Mertokusumo adalah segala
sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Hanya
manusia yang dapat menjadi subyek hukum naturlijkpersoon atau
rechpersoon; Subyek hukum menurut pendapat dari Chaidir Ali adalah
manusia yang berkepribadian hukum, dan segala sesuatu yang berdasarkan
tuntutan kebutuhan masyarakat demikian itu dan oleh hukum diakui sebagai
pendukung dari suatu hak dan kewajiban tersebut.
Subyek hukum menurut pendapat dari Agra adalah setiap orang yang
mempunyai hak dan kewajiban sehingga mempunyai wewenang hukum.
Subjek hukum tersebut atau disebut dengan Rechtsbevoegdheid.
Berdasarkan pendapat para sarjana di atas dapat disimpulkan bahwasannya
subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan
kewajiban dari hukum sehingga segala sesuatu yang dimaksud dalam
pengertian tersebut adalah manusia dan badan hukum. Jadi, manusia oleh
hukum diakui sebagai penyandang hak dan kewajiban sebagai subyek
hukum atau sebagai orang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa subjek
hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban, oleh karena itu setiap
subjek hukum baik naturlijkpersoon dan rechtpersoon pasti memiliki hak dan
kewajiban yang melekat pada mereka individu masing-masing. Hubungan
antara subjek hukum dan tanggungjawab menurut Penulis adalah
tanggungjawab merupakan bagian dari kewajiban yang harus dilakukan oleh
subjek hukum apabila melakukan perbuatan yang merugikan hak-hak subjek
hukum lain. Hal itu dikarenakan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) tanggung jawab adalah kewajiban menanggung segala sesuatunya
bila terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, dan diperkarakan. Dalam

15
Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Magister
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2003, hlm 20.
16
C.T.S. Kansil, Modul Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1995, hlm. 82.
17
Harumiati Natadimaja, Hukum Perdata Mengenai Hukum Orang dan Hukum Benda,
Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009, hlm. 7.
kamus hukum, tanggung jawab adalah suatu keseharusan bagi seseorang
untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya. Menurut hukum
tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang
tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam
melakukan suatu perbuatan. Selanjutnya menurut Titik Triwulan
pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang
menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seorang untuk menuntut orang lain
sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban orang lain untuk memberi
pertanggung jawaban atas perbuatan-perbuatan hukum yang telah
dilakukannya.18
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanggung jawab
adalah kewajiban menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh
dituntut, dipersalahkan, dan diperkarakan. Dalam kamus hukum, tanggung
jawab adalah suatu keseharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa
yang telah diwajibkan kepadanya.19 Menurut hukum tanggung jawab adalah
suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang perbuatannya
yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu
perbuatan.20 Sementara menurut Titik Triwulan menyatakan bahwa
pertanggungjawaban hukum yang dilakukan harus mempunyai dasar, yaitu
hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seorang untuk menuntut
orang lain sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum
bertanggungjawab.21 Berkaitan dengan permasalahan risalah lelang yang
tidak dibacakan tersebut dianggap merugikan para pihak dalam lelang, maka
Pejabat Lelang dapat melakukan upaya hukum berupa banding terhadap
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara ataupun upaya kasasi
terhadap Mahkamah Agung Republik Indonesia.
D. Kesimpulan
1. Risalah Lelang melalui media internet tersebut telah memenuhi unsur-
unsur yang terdapat dalam Pasal 1868, maka Risalah Lelang dalam
pelaksanaan lelang melalui media internet ini dapat dikategorikan
sebagai akta otentik dan dapat digunakan sebagai alat bukti yang
sempurna. Akan tetapi permasalahan dalam hal pembacaan Risalah
Lelang yang tidak dibacakan dan hanya ditayangkan pada aplikasi lelang
sebagaimana tercatum dalam Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 yang tidak sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 37 Vendu Reglement yang menyatakan bahwa Risalah
Lelang harus dibacakan, maka dalam menyelesaikan permasalahan
tersebut harus menggunakan asas Lex Specialis Derogat
Legi Generalis. Bahwa dengan menggunakan asas tersebut maka
pembacaan Risalah Lelang boleh tidak dilakukan karena adanya
peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.06/2016 dan
Risalah Lelang tetap merupakan akta otentik sepanjang tidak ada
yang melakukan gugatan dikemudian hari.

18
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 2005.
19
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 102.
20
Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 22.
21
Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka,
Jakarta, 2010, hlm 48.
2. Perlindungan Hukum terhadap Pejabat Lelang Kelas II dapat dilakukan
dengan (dua) cara yaitu perlindungan hukum preventif yaitu dengan
membuat aturan baru atau perbaikan terhadap ketentuan aturan yang
lama yang mana aturan tersebut merubah ataupun menegaskan bahwa
dengan berlakunya ketentuan baru ini maka ketentuan dalam Pasal 37
Vendu Reglement secara khusus dinyatakan tidak berlaku.
Untuk penegasan atau perubahan sendiri dapat dilakukan dalam
ketentuan penutup sehingga dalam ketentuan penutup tersebut tidak
hanya menegaskan bahwa dengan berlakuknya PMK ini maka akan
membuat ketentuan dalam PMK sebelumnya menjadi tidak berlaku,
namun juga terhadap aturan Pasal 37 Vendu Reglement,
dan perlindungan hukum represif yaitu dengan melakukan upaya
hukum berupa banding terhadap Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
ataupun upaya kasasi terhadap Mahkamah Agung Republik Indonesia.
E. Saran
1. Kepada Pejabat Lelang Kelas II
Pejabat Lelang Kelas II sebagai pihak yang dirugikan dalam
permasalahan ini diharuskan untuk mengajukan permohonan judicial
review dengan tujuan untuk diberikannya perlindungan hukum terhadap
Pejabat Lelang Kelas II atas sanksi yang dapat diterma akibat risalah
lelang yang tidak dibacakan dalam pelaksanaan lelang non-eksekusi
secara elektronik.
2. Kepada Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan
Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan diharuskan membentuk
peraturan perundang-undangan yang baru atau memperbarui peraturan
perundang-undangan yang sudah ada guna memberikan kepastian
hukum mengenai keabsahan risalah lelang yang tidak dibacakan dalam
pelaksanaan lelang non-eksekusi secara elektronik serta perlindungan
hukum terhadap Pejabat Lelang Kelas II atas sanksi yang dapat diterma.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Made Metu Dahana, Perlindungan Hukum dan Keamanan Terhadap
Wisatawan, Penerbit Paramita Publisher, Surabaya, 2012.
Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di
Indonesia, Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta,
2003.
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Penerbit
Perseroan Terbatas PT. Bina Ilmu, Surabaya, 2007.
C.T.S. Kansil, Modul Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1995.
Harumiati Natadimaja, Hukum Perdata Mengenai Hukum Orang dan
Hukum Benda, Penerbit Graha Ilmu Publisher, Yogyakarta, 2009.
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 2005.
Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010.
Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum bagi Pasien,
Penerbit Perseroan Terbatas PT. Prestasi Pustaka, Jakarta, 2010.
Jurnal
Muhammad Haris, Kewenangan Notaris sebagai Pejabat Lelang Kelas II
dalam Memberikan Penyuluhan Hukum atas Akta Risalah Lelang
yang Dibuatnya, Jurnal Syariah: Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran
Kewenangan, Volume 17, Nomor 1, edisi Juni 2017.
Ainon Marziah, Pembuktian Risalah Lelang Bagi Pemenang Eksekusi
Hak Tanggungan, Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan, Fakultas
Hukum Universitas Mataram, Volume 7 Nomor 2, edisi Agustus 2019.
Begiyama Fahmi Zaki, Kepastian Hukum Dalam Pelelangan Objek
Hak Tanggungan Secara Online, Fiat Justicia Journal of Law,
Volume 2, Nomor 2, edisi April-June 2016.
Made Oka Cahyadi Wiguna, Keautentikan Risalah Lelang Eksekusi Hak
Tnggungan Sebagai Bukti Pemindahan Hak Atas Tanah, Jurnal
Hukum Undiknas, Volume 2, Nomor 2, edisi Tahun 2015.
Lorika Cahaya Intan, Akibat Pelanggaran Oleh Notaris Terhadap
Pembuatan Akta Notaris, Jurnal Cakrawala Hukum, Universitas
Merdeka Malang, Volume 7, Nomor 2 edisi Desember Tahun 2016.

Anda mungkin juga menyukai