Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN KONSEP BELAJAR KONSTRUKTIVISME

DISUSUN OLEH:

Noviawati (MP04200007)

Fiana Ayu Febriani ( PG04200002)

Fajar Sidik(MP04200003)

S1 MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)TUNAS BANGSA

BANJARNEGARA

2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Teori belajar dan mengajar ini tepat
pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas bapak Ageng satria
pamunggkas, M.Pd. pada mata kuliah Manajemen Pendidikan Islam. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terimakasih kepada bapakAgeng, M.Pd. selaku dosen mata kuliah teori
belajar dan pembelajaran yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuanya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Banjarnegara, 23 September 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................... 2

DAFTAR ISI .......................................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4

A. Latar Belakang ............................................................................................................................ 4


B. Rumusan Masalah ....................................................................................................................... 4
C. Tujuan ........................................................................................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 5

A.Pengertian Konstruktivisme .................................................................................................... 5

B.Pandangan Konstruktivisme Tentang Belajar .......................................................................... 5

C.Akar Sejarah Konstruktivisme.................................................................................................. 6

1. Konsep Belajar Konstruktivisme Jean Piaget................................................................... 7


2. Konsep Belajar Konstruktivisme Vygotsky ..................................................................... 9

D.Strategi Belajar Konstruktivisme ............................................................................................. 10

1. Top Down Processing ...................................................................................................... 10


2. Cooperative learning ........................................................................................................ 10
3. Generative learning .......................................................................................................... 11

E.Model-Model Pembelajaran Berdasarkan Prinsip-Prinsip Konstruktivisme ............................ 11

1. Discovery Learning .......................................................................................................... 11

2. Reception Learning .......................................................................................................... 11

3. Assisted Learning ............................................................................................................. 13

4. Active Learning ................................................................................................................ 13


5. The Accelerated Learning ................................................................................................ 14
6. Quantum Learning ........................................................................................................... 14
7. Contextual teaching and learning (CTL) .......................................................................... 15

BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 17

A. Kesimpulan ..................................................................................................................... 17

3
B. DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Teori belajar dimunculkan oleh para psikolog pendidikan setelah mereka mengalami kesulitan
untuk menjelaskan proses belajar secara menyeluruh. Sebagian psikolog menghaluskan
kesulitan ini dengan istilah : memperjelas pengertian dan proses belajar. Belajar merupakan
proses dimana seseorang dari tidak tahu menjadi tahu. Proses belajar ini dimulai sejak manusia
masih bayi sampai sepanjang hayatnya.

Kapasitas manusia untuk belajar merupakan karakteristik penting yang membedakan manusia
dari makhluk hidup lainnya. Kajian tentang kapasitas manusia untuk belajar, terutama tentang
bagaimana proses belajar terjadi pada manusia mempunyai sejarah panjang dan telah
menghasilkan beragam teori. Salah satu teori belajar yang terkernal adalah teori belajar
behavioristik (seiring diterjemahkan secara bebas sebagai teori perilaku atau teori tingkah laku).

Teori belajar merupakan landasan terjadinya suatu proses belajar yang menuntun terbentuknya
kondisi untuk belajar. Teori belajar dapat didefenisikan sebagai integrasi prinsip-prinsip yang
menuntun di dalam merancang kondisi demi tercapainya tujuan pendidikan. Oleh karena itu
dengan adanya teori belajar akan memberikan kemudahan bagi guru dalam menjalankan model-
model pembelajaran yang akan dilaksanakan

B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud konstruktivisme?
2. Apa yang dimaksud pandangan konstruktivisme tentang belajar?
3. Bagaimana sejarah konstruktivisme?
4. Apa saja strategi belajar konstruktivisme?
5. Apa saja model-model pembelajaran berdasarkan prinsip-prinsip konstruktivisme?
C. Tujuan Rumusan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian kostruktivisme
2. Untuk mengetahui maksud pandangan konstruktivisme tentang belajar
3. Untuk mengetahui sejarah konstrukivisme
4. Mengetahui macam-macam strategi belajar konstruktivisme
5. Mengetahui model-model pembelajaran berdasarkan prinsip-prinsip konstruktivisme

4
BAB II

PEMBHASAN

A.Pengertian konstruktivisme

Konstruktivisme adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis bahwa dengan
mereflesikan pengalaman, kita membangun mengkonstruksi pengetahuan pemahaman kita
tentang dunia tempat kita hidup. Setiap kia akan menciptakan hukum dan model mental kita
sendiri yang di pergunakan untuk menafsirkan dan menerjemahkan pengalaman. Belajar dengan
demikian semata-mata sebagai suatu proses pengaturan model mental seseorang untuk
mengakomodasi pengalaman-pengalaman baru.

Istilah konstruktivisme sendiri sebenarnya sudah dapat dilacak dalam karya Bartlett (1932),
kemudian juga Mark Baldwin yang secara lebih rinci diperdalam oleh Jen Piaget, kemudian
konsep ini disebarluaskan di Amerika Utara ( meliputi Amerika Serikat dan Kanada) oleh Rnst
von Glasersfeld. Namun, konsep terkait dengan konstruktivisme(walau saat itu belum
mempergunakan istilah konstruktivisme) bahkan sudah diungkap oleh Giambattisa Vico pada
taahun 1710 yang menyatakan bahwa “mengetahui berarti mengetahui bagaimana membuat
sesuatu”. Ini berari bahwa seseorang itu dapat dikatakan mengetatui sesuatu, jika ia dapat
menjelaskan unsur yang membangun sesuatu itu.lebih jelasnya ia pernah mengalami sesuatu itu .

Konstruktivisme melandasi pemikirannya bahwa pengetahuan bukanlah sesatu yang given dari
alam karena hasil kontrak manusia dengan alam, tetapi pengetahuan hasil konstruksi (bentukan)
aktif manusia itu sendiri. Pengetahuan bukanlah sebuah tiruan dari kenyataan (realias).
Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada, pengetahuan selalu merupakan
akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Ia membentuk
skema, kategori, konsep dan strukur pengetahuan (Bettencourt, 1989 dalam suparno, 1997 : 18).

B.    Pandangan Konstruktivisme tentang Belajar

            Salah satu prinsip psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak begitu saja memberikan
pengetahuan kepada siswa, tetapi siswa yang harus aktif membangun pengetahuan dalam pikiran
mereka sendiri.

            Pendekatan konstruktivistik dalam belajar dan pembelajaran didasarkan pada perpaduan


antara beberapa penelitian dalam psikologi kognitif dan psikologi sosial, sebagaimana teknik-
teknik dalam modifikasi perilaku yang didasarkan pada teori operant conditioning dalam
psikologi behavioral. Premis dasarnya adalah bahwa individu harus secara aktif “membangun”

5
pengetahuan dan ketrampilannya (Brunner, 1990) dan informasi yang ada diperoleh dalam
proses membangun kerangka oleh pelajar dari lingkungan diluar dirinya.

            Aliran konstruktivisme memahami hakikat belajar sebagai kegiatan manusia membangun


atau menciptakan pengetahuan dengan cara mencoba memberi makna pada pengetahuan sesuai
pengalamannya. Pengetahuan itu sendiri rekaan dan bersifat tidak stabil. Oleh karena itu,
pemahaman yang diproleh manusia senantiasa bersifat tentatif dan tidak lengkap. Pemahaman
manusia akan semakin mendalam dan kuat jika teruji dengan pengalaman-pengalaman baru
(Nurhadi,2004).

            Secara filosofis, belajar menurut teori konstruktivisme adalah membangun pengetahuan


sedikit demi sedikit, yang kemudian hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak
sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep-konsep, atau kaidah
yang siap untuk diambil atau diingat. Manusia harus mengonstruksi pengetahuan itu dan
memberi makna melalui pengalaman nyata.

            Dalam proses belajar di kelas, menurut Nurhadi dan kawan kawan (2004), siswa perlu
dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan
bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa.
Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori
konstruktivisme adalah ide. Siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi
kompleks ke situasi lain. Dengan dasar itu, maka belajar dan pembelajaran harus dikemas
menjadi proses “mengonstruksi”, bukan ‘menerima’ pengetahuan.

            Oleh karena itu, Slavin (1994) menyatakan bahwa dalam proses belajar dan pembelajaran
siswa harus terlibat aktif dan siswa menjadi pusat kegiatan belajar dan pembelajaran di kelas.
Guru dapat memfasilitasi proses belajar mengajar menggunakan cara-cara yang membuat sebuah
informasi menjadi bermakna dan relevan bagi siswa. Untuk itu, guru harus memberi kesempatan
kepada siswa untuk menemukan atau mengaplikasikan ide-ide mereka sendiri, disamping
mengajarkan siswa untuk menyadari dan sadar akan strategi belajar mereka sendiri.

C.     Akar Sejarah Konstruktivisme

            Revolusi konstruktivisme mempunyai akar yang kuat dalam sejarah pendidikan.


Perkembangan konstruktivisme dalam belajar tidak terlepas dan usaha keras Jean Piaget dan
Vygotsky. Kedua tokoh ini menekankan bahwa perubahan kognitif ke arah perkembangan terjadi
ketika konsep-konsep yang sebelumnya sudah ada mulai bergeser karena ada sebuah informasi
baru yang diterima melalui proses ketidakseimbangan (dissequilibrium). Selain itu, Jean Piaget
dan Vygotsky juga menekankan pada pentingnya lingkungan sosial dalam belajar dengan
menyatakan bahwa integrasi kemampuan dalam belajar kelompok akan dapat meningkatkan
pengubahan secara konseptual.

6
1.           Konsep Belajar Konstruktivisme Jean Piaget

Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti sebuah kotak-
kotak yang masing-masing mempunyai makna yang berbeda-beda. Pengalaman yang sama bagi
seseorang akan dimaknai berbeda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam kotak yang
berbeda. Setiap pengalaman baru akan dihubungkan dengan kotak-kotak atau struktur
pengetahuan dalam otak manusia (Nurhadi,2004). Oleh karena itu, pada saat manusia belajar,
menurut Piaget, sebenarnya telah terjadi dua proses dalam dirinya, yaitu proses organisasi
informasi dan adaptasi.

            Proses organisasi adalah proses ketika manusia menghubungkan informasi yang


diterimanya dengan struktur-struktur pengetahuan yang sudah disimpan atau sudah ada
sebelumnya dalam otak. Dengan proses organisasi ini, manusia dapat memahami sebuah
informasi baru yang didapatnya dengan menyesuaikan informasi tersebut dengan struktur
pengetahuan yang dimilikinya, sehingga manusia dapat mengasimilasikan atau
mengakomodasikan informasi atau pengetahuan tersebut.

            Proses adaptasi adalah proses yang berisi dua kegiatan. Pertama, menghubungkan atau
mengintegrasikan pengetahuan yang diterima manusia atau disebut asimilasi. Kedua, mengubah
struktur pengetahuan baru, sehingga akan terjadi keseimbangan (equilibrium). Dalam proses
adaptasi ini, Piaget mengemukakan empat konsep dasar (Nurhadi,2004), yaitu skemata,
asimilasi, akomodasi, dan keseimbangan.

Pertama, Skemata

            Manusia selalu berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Manusia cenderung


mengorganisasikan tingkah laku dan pikirannya. Hal itu mengakibatkan adanya sejumlah
struktur psikologis yang berbeda bentuknya pada setiap fase atau tingkatan perkembangan
tingkah laku dan kegiatan berpikir manusia. Struktur ini disebut dengan struktur pikiran
(intellectual scheme). Dengan demikian, pikiran harus memiliki suatu struktur yaitu skema yang
berfungsi melakukan adaptasi dengan lingkungan dan menata lingkungan itu secara intelektual.

            Piaget mengatakan bahwa skemata orang dewasa mulai dari skemata anak melalui proses
adaptasi sampai pada penataan dan organisasi. Makin mampu seseorang membedakan satu
stimulus dengan stimulus lainnya, makin banyak skemata yang dimilikinya. Dengan demikian,
skemata adalah struktur kognitif yang selalu berkembang dan berubah. Proses yang
menyebabkan adanya perubahan tersebut adalah asimilasi dan akomodasi.

Kedua, asimilasi

            Asimilasi merupakan proses kognitif dan penyerapan baru ketika seseorang memadukan
stimulus atau persepsi ke dalam skemata atau perilaku yang sudah ada. Misalnya, seorang anak

7
belum pernah melihat ‘seekor ayam’. Stimulus ayam yang dialaminya akan diolah dalam
pikirannya, dicocok-cocokkan dengan skemata-skemata yang telah ada dalam struktur
mentalnya. Mungkin saja skemata yang paling dekat dengan ayam adalah “burung”, maka ia
akan menyebut ‘ayam’ itu sebagai “burung besar”. Ketika dipahaminya bahwa hewan itu bukan
‘burung besar’ tetapi ‘ayam’, maka terbentuklah skemata ‘ayam’ dalam struktur pikiran anak itu.

            Asimilasi pada dasarnya tidak mengubah skemata, tapi memengaruhi atau


memungkinkan pertumbuhan skemata. Asimilasi merupakan proses kognitif individu dalam
usaha mengadaptasikan diri dengan lingkungannya. Asimilasi terjadi secara kontinu,
berlangsung terus-menerus dalam perkembangan intelektual anak.

Ketiga, akomodasi

            Akomodasi adalah suatu proses struktur kognitif yang berlangsung sesuai dengan
pengalaman baru. Proses tersebut menghasilkan terbentuknya skemata baru dan berubahnya
skemata lama. Dalam akomodasi terjadi perubahan kualitatif, sedangkan asimilasi merupakan
perubahan kuantitatif. Pada hakikatnya akomodasi menyebabkan terjadinya perubahan atau
pengembangan skemata. Sebelum terjadi akomodasi, ketika anak menerima stimulus baru,
struktur mentalnya menjadi goyah atau tidak stabil. Bersamaan terjadinya akomodasi, struktur
mental anak tersebut menjadi stabil kembali. Begitulah proses asimilasi dan akomodasi terjadi
terus-menerus dan menjadikan skemata manusia berkembang bersama dengan waktu dan
bertambahnya pengalaman.

Keempat, Keseimbangan (equilibrium)

            Dalam proses adaptasi terhadap lingkungan, individu berusaha untuk mencapai strukutur
mental atau skemata yang stabil. Stabil dalam artian adanya keseimbangan antara proses
asimilasi dan proses akomodasi. Jean Piaget menyebut dengan keseimbangan (equilibrium).
Dengan adanya keseimbangan ini, efisiensi interaksi antara anak yang sedang berkembang
dengan lingkungannya dapat tercapai dan terjamin. Dengan kata lain, terjadi keseimbangan
antara faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal.

            Proses adaptasi juga dipengaruhi oleh faktor herediter dan lingkungan, sehingga hal ini
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk melakukan proses asimilasi, akomodasi, dan
keseimbangan. Faktor keturunan yang baik berkaitan dengan proses-proses adaptasi akan
mempengaruhi, walaupun faktor lingkungan lebih memiliki pengaruh.

            Adaptasi adalah keseimbangan antara proses asimilasi dan akomodasi.

Jadi, perkembangan intelektual adalah suatu proses yang kontinyu dari keadaan seimbang-tak
seimbang-seimbang dan yang terjadi setiap saat, pada setiap fase perkembangan manusia.

8
            Jean Piaget membagi fase perkembangan manusia  ke dalam empat perkembangan
(Mar’at, 2005), yaitu:  periode sensori (0-18/24 bulan), periode operasional (2-7 tahun), periode
operasional konkret (7-11 tahun), operasional formal (lebih dari 11 tahun).

2.   Konsep Belajar Konstruktivisme Vygotsky

            Menurut Vygotsky (Elliot,2003,52), belajar merupakan proses yang melibatkan dua


elemen penting . pertama, belajar merupakan proses secara biologi sebagai proses dasar. Kedua,
proses secara psikososial sebagai proses yang lebih tinggi dan esensinya berkaitan dengan
lingkungan sosial budaya. Sehingga, munculnya perilaku seseorang karena intervening kedua
elemen tersebut. Keterlibatan alat indera dalam menyerap stimulus dan saraf otak dalam
mengelola informasi yang diperoleh merupakan proses secara fisik psikologi sebagai elemen
dasar dalam belajar.

            Vygotsky sangat menekankan pentingnya peran interaksi sosial  bagi perkembangan


belajar seseorang. Vygotsky percaya bahwa belajar dimulai ketika seorang anak dalam
perkembangan zone proximal, yaitu suatu tingkat yang dicapai oleh seorang anak ketika ia
melakukan perilaku sosial. Dalam belajar, zone proximal ini dapat dipahami pula sebagai selisih
antara apa yang bisa dikerjakan seseorang dengan kelompoknya  atau dengan bantuan orang
dewasa. Maksimalnya perkembangan zone proximal ini tergantung pada intensifnya interaksi
antara seseorang dengan lingkungan sosial.

            Menurut Vygotsky (Slavin,1994), fungsi mental tingkat tinggi biasanya ada dalam
percakapan atau komunikasi kerjasama di antara individu-individu (proses sosialisasi) sebelum
akhirnya itu berada di dalam diri individu (internalisasi). Vygotsky ingin menjelaskan bahwa
adanya kesadaran sebagai akhir dari sosialisasi tersebut.

            Dalam belajar bahasa, ucapan pertama dengan orang lain bertujuan untuk komunikasi,
akan tetapi jika sekali menguasainya, ucapan atau bahasa akan terinternalisasi dalam diri orang
itu dan menjadi “inner speech” atau “private speech”. Private speech dapat diamati ketika
seorang anak berbicara pada dirinya sendiri ketika menghadapi suatu masalah yang sulit.

Perkembangan kognitif manusia berkaitan dengan perkembangan bahasanya. Vygotsky membagi


perkembangan kognitif yang didasarkan pada perkembangan bahasa menjadi empat tahap
(Ellio,2003):

1)  Prientelectual Speech, yaitu tahap awal dalam perkembangan kognitif ketika manusia
baru lahir, yang ditunjukkan dengan adanya proses dasar secara biologis (menangis,
mengoceh, dan gerakan-gerakan tubuh seperti menghentakkan kaki, menggoyang-
goyangkan tangan) yang secara perlahan-lahan berkembang menjadi bentuk yang lebih
sempurna seperti berbicara dan berperilaku. Manusia dilahirkan dengan kemampuan
bahasa untuk digunakan berinteraksi dengan lingkungannya sehingga perkembangan
bahasa menjadi lebih maksimal.

9
2) Naive psycology, yaitu tahap kedua dari perkembangan bahasa ketika seorang anak
‘mengeksplore’ atau menggali objek-objek konkret dalam dunia mereka. Pada tahap ini,
anak mulai memberi nama atau label terhadap objek-objek tersebut dan telah dapat
mengucapkan beberapa kata dalam berbicara. Ia dapat mencapai pemahaman verbal dan
dapat menggunakannya untuk berkomunikasi dengan lingkungannya, sehingga hal ini
dapat lebih mengembangkan kemampuan bahasanya yang akan mempengaruhi cara
berfikir dan lebih meningkatkan hubungannya dengan orang lain.

3) Egocentric spech, tahap ini ketika anak berusia 3 tahun. Pada tahap ini, anak selalu
melakukan percakapan tanpa memedulikan orang lain atau apakah orang lain
mendengarkan mereka atau tidak.

4) Inner speech, tahap ini memberikan fungsi yang penting dalam menggerakkan perilaku
seseorang.

D.      Strategi Belajar Konstruktivisme

1. Top Down Processing

       Dalam pembelajaran konstruktivisme, siswa belajar dimulai dari masalah yang kompleks
untuk dipecahkan, kemudian menghasilkan atau menemukan ketrampilan yang dibutuhkan.
Misalnya, siswa diminta untuk menulis kalimat-kalimat, kemudian dia akan belajar untuk
membaca, belajar tentang tata bahasa kalimat-kalimat tersebut, dan kemudian bagaimana
menulis titik dan komanya. Belajar dengan pendekatan top down processing ini berbeda dengan
pendekatan belajar bottom-up processing yang tradisional dimana ketrampilan dibangun secara
perlahan-lahan melalui ketrampilan yang lebih kompleks.

2. Cooperative learning

       Strategi yang digunakan untuk proses belajar, dimana siswa akan lebih mudah menemukan
secara komprehensif konsep-konsep yang sulit jika mereka mendiskusikannya dengan siswa
yang lain tentang problem yang dihadapi. Dalam strategi cooperative learning siswa belajar
dalam pasangan-pasangan atau kelompok untuk saling membantu memecahkan problem yang
dihadapi. Cooperative learning lebih menekankan pada lingkungan sosial belajar dan menjadikan
kelompok belajar sebagai tempat untuk mendapatkan pengetahuan, mengeksplorasi pengetahuan,
dan menantang pengetahuan yang dimiliki oleh individu. (kunci konsep dasar yang dikemukakan
oleh Piaget dan Vygotsky)

10
3. Generative learning

       Strategi ini menekankan adanya integrasi yang aktif antara materi atau pengetahuan yang
baru diperoleh dengan skemata. Sehingga dengan menggunakan pendekatan generative learning
diharapkan siswa menjadi lebih melakukan proses adaptasi ketika menghadapi stimulus baru.
Selain itu, generative learning ini mengajarkan sebuah metode yang untuk melakukan kegiatan
mental saat belajar, seperti membuat pertanyaan, kesimpulan, atau analogi-analogi terhadap apa
yang dipelajarinya.

E.  Model-Model Pembelajaran Berdasarkan Prinsip-Prinsip Konstruktivisme

            Pandangan dari berbagai macam model pembelajaran bahwa dalam proses belajar siswa
adalah pelaku aktif kegiatan belajar dengan membangun sendiri pengetahuan berdasarkan
pengalaman-pengalaman yang dimilikinya.

Beberapa model pembelajaran yang didasarkan pada konstruktivisme:

-Discovery Learning

            Jerome Bruner (Slavin,1994), yaitu siswa didorong untuk belajar dengan diri mereka
sendiri. Siswa belajar aktif melalui aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru
mendorong siswa untuk mempunyai pengalaman-pengalaman dan menghubungkan pengalaman-
pengalaman tersebut untuk menemukan prinsip-prinsip bagi diri mereka sendiri. Discovery
learning memiliki beberapa keuntungan dalam belajar, antara lain siswa memiliki kontroversi
dari dalam diri sendiri untuk menyelesaikan pekerjaannya sampai mereka menemukan jawaban-
jawaban atas problem yang dihadapi mereka. Siswa juga belajar untuk mandiri dalam
memecahkan problem dan memiliki ketrampilan berpikir kritis, karena mereka harus
menganalisis dan mengelola informasi.

- Reception Learning

David Ausable (Slavin, 1994) memberikan kritik terhadap discovery learning. Dia beragumen
bahwa siswa tidak selalu mengetahui apa yang penting atau relevan, dan beberapa siswa
membutuhkan motivasi eksternal untuk mempelajari apa yang diajarkan disekolah.

Walaupun peran guru dalam discovering learning dan receptioning berbeda, tapi keduanya
memiliki kesamaan:

·           Antara reception learning dan discovery learning, sama-sama membutuhkan keaktifan


siswa dalam belajar.

11
·           Kedua pendekatan tersebut menekankan cara-cara bagaimana pengetahuan siswa yang
sudah ada menjadi bagian dari pengetahuan baru.

·           Kedua pendekatan sama-sama mengasumsikan pengetahuan sebagai suatu yang dapat


berubah terus.

            Teori resepsi ini menyatakan bahwa guru mempunyai tugas untuk menyusun situasi
pembelajaran, memilih materi yang sesuai bagi siswa, kemudian merepresentasikan dengan baik
pelajaran yang dimulai dari umum ke yang spesifik. Inti dari pendekatan reception learning
adalah expository learning, yaitu perencanaan pembelajaran yang sistematis terhadap informasi
yang bermakna.

Pengajaran ekspository (expository teaching) berisi tiga tahapan pembelajaran, yaitu:

1.Tahap pertama, advance organizer. Secara umum belajar secara maksimal terjadi bila ada
potensi kesesuaian antara skema yang dimiliki siswa dengan materi atau informasi yang akan
dipelajarinya. Agar terjadi kesesuaian tersebut, Ausabel (Woolfolk, 1995) menyarankan sebuah
strategi yang disebut dengan advance organizer, yaitu sebuah statemen perkenalan yang
menghubungkan antara skema yang sudah dimiliki oleh siswa dengan informasi baru yang akan
dipelajari. Fungsi dari advance organizer ini adalah memberi bimbingan untuk memahami
informasi yang baru. Dengan kata lain, advance organizer ini dapat menjadi jembatan antara
materi pelajaran atau informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh
siswa.  Tujuan advance organizer ada tiga: yaitu memberi arahan bagi siswa untuk mengetahui
apa yang terpenting dari materi yang akan dipelajarinya; men-highlight di antara hubungan-
hubungan yang akan dipelajari; dan memberikan penguatan terhadap pengetahuan yang
diperoleh/dipelajari.

2. Tahap kedua, menyampaikan tugas-tugas belajar. Setelah pemberian advance organizer,


langkah berikutnya adalah menyampaikan persamaan dan perbedaan dengan contoh yang
sederhana. Untuk belajar sesuatu yang baru, siswa tidak harus melihat hanya persamaan antara
materi yang akan dipelajari dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Lebih dari itu, siswa
juga perlu melihat perbedaannya. Dengan demikian tidak terjadi kebingungan ketika siswa
mempelajari materi yang baru dengan pengetahuan yang sudah ada. Untuk membantu siswa
memahami persamaan dan perbedaan ini dapat digunakan berbagai cara, antara lain cara
ceramah, diskusi, film-film, atau tugas-tugas belajar.

3.Tahap ketiga, penguatan organisasi kognitif. Pada tahap ini, Ausabel menyatakan bahwa guru
mencoba untuk menambahkan informasi baru ke dalam informasi yang sudah dimiliki oleh siswa
pada awal pelajaran dimulai dengan membantu siswa untuk mengamati bagaimana setiap detail
dari informasi berkaitan dengan informasi yang lebih besar atau lebih umum. Dengan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pemahamannya tentang informasi
apa yang baru mereka pelajari.

12
-Assisted Learning

                 Assisted Learning mempunyai peran yang sangat penting bagi perkembangan individu.
Vygotsky menyatakan bahwa perkembangan kognitif terjadi melalui interaksi dan percakapan
seorang anak dengan lingkungan di sekitarnya. Orang lain disebut sebagai pembimbing atau
guru. Pada umumnya bimbingan ini dikomunikasikan melalui bahasa.

            Jerome Bruner menyebut bantuan orang dewasa dalam proses belajar anak dengan
istilah scaffolding, yaitu sebuah dukungan untuk belajar dan memecahkan problem. Dukungan
dapat berupa isyarat-isyarat, peringatan-peringatan, dorongan, memecahkan problem dalam
beberapa tahap, memberikan contoh atau segala sesuatu yang mendorong seorang siswa untuk
tumbuh dan menjadi pelajar yang mandiri dalam memecahkan problem yang dihadapinya.

            Menurut Vygotsky, interaksi sosial dan bantuan belajar lebih dari sekedar metode
mengajar, keduanya merupakan sumber terjadinya proses-proses mental yang lebih tinggi seperti
misalnya memecahkan problem, mengarahkan memori dan perhatian, berpikir dengan simbol-
simbol. Dia mengasumsikan bahwa pandangan tentang fungsi mental sepatutnya dapat
diaplikasikan dalam kelompok seperti bentuk-bentuk aktifitas individual.

            Dalam belajar dengan bantuan ini, guru adalah seseorang agen budaya yang dengan
bimbingan dan pengajarannya siswa dapat menginternalisasi dan menguasai ketrampilan yang
membutuhkan fungsi kognitif yang lebih tinggi. Secara teknis, scaffolding dalam belajar adalah
membantu siswa pada awal belajar untuk mencapai pemahaman dan ketrampilan dan secara
berlahan-lahan bantuan tersebut dikurangi sampai akhirnya siswa dapat belajar mandiri dan
menemukan pemecahan bagi tugas-tugasnya.

-Active Learning

                 Active learning artinya pembelajaran aktif. Menurut Melvin L. Silberman, belajar


bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar
membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar aktif, siswa
melakukan sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan,
memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari. (Silberman, 1996).

            Menurut Silberman, cara belajar dengan cara mendengarkan akan lupa, dengan cara
mendengarkan da melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengarkan melihat dan
mendiskusikan dengan siswa lain siswa akan paham, dengan cara mendengar melihat diskusi dan
melakukan akan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan , dan cara untuk menguasai pelajaran
yang terbagus adalah dengan mengajarkan.

13
-The Accelerated Learning

                 The Accelerated Learning adalah pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari
pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung sangat cepat, menyenangkan, dan
memuaskan. Pemilik konsep ini, Dave Meier, menyarankan kepada guru agar dalam mengelola
kelas menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual,
dan Intellectual (SAVI). Somatic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar
dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalah learning by talking and hearing (belajar dengan
berbicara dan mendengarkan). Visual artinya learning by observing and picturing (belajar
dengan mengamati dan menggambarkan). Intellectual maksudnya adalah learning by problem
solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi).

            Bobbi DePorter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk


belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal dan dibarengi
kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai
persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik, dan
kesehatan emosional. Namun, semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman
belajar yang efektif (DePorter, Hemacki, 2000).

-Quantum Learning

                 Quantum didefinisikan sebagai interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya.


Semua kehidupan adalah energi. Sedang learning artinya belajar. Dengan demikian, Quantum
learning adalah cara penggubahan bermacam-macam interaksi, hubungan, dan inspirasi yang ada
di dalam dan di sekitar momen belajar (Bobby DePorter dan Mike Hernacki, 2000). Dalam
prakteknya, quantum learnig menggunakan suggestologi, teknik pemercepatan belajar, dan
neurolinguistik dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu (Bobby DePorter dan Mike
Hernacki,2000).

                 Quantum Learning  mengasumsikan bahwa siswa, jika mampu menggunakan potensi


nalar dan potensi yang tidak bisa terduga sebelumnya.

Salah satu konsep dasar dari metode ini adalah bahwa belajar itu harus mengasyikkan dan
berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih lebar
dan terekam dengan baik.

Quantum learning memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi menjadi suatu yang integral.

            Dalam praktik, quantum learning bersandang pada asas utama bawalah dunia mereka ke


dunia kita, dan antarkan dunia kita ke dunia mereka. Dengan demikian, pembelajaran merupakan

14
kegiatan full contact yang melibatkan sesuai aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan, dan
bahasa tubuh) disamping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa
depan. Semua ini harus dikelola sampai mencapai harmoni.

Setiap detail mencerminkan suatu lingkungan kelas yang bertaburan isyarat yang disadari atau
tidak, akan diikuti oleh siswa.

-Contextual teaching and learning (CTL)

            Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar


yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata
siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapan dalam kehidupan mereka sehari hari.

            Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses
pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan
transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi lebih dipentingkan  daripada hasil (Nurhadi,
Yasin, Burhan, Senduk, A Gerad, 2004).

            Tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak
berurusan dengan strategi dari pada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai
sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas.

            Pendekatan kontekstual memiliki tujuh komponen utama, yaitu


konstruktivisme (constructivisme), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat
belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang
sebenarnya (authentic assessment). Pendekatan ini dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja,
bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya.

Penerapan CTL:

1.      Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja
sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya;

2.      Langsungkan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik;

3.      Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya;

4.      Ciptakan ‘masyarakat belajar’ (belajar dalam kelompok-kelompok);

5.      Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran;

6.      Lakukan refleksi di akhir pertemuan;

15
7.      Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.

            Sekolah yang baik menurut Dryden dan Vos, adalah sekolah tanpa kegagalan. Semua
siswa teridentifikasi bakat, ketrampilan, dan kecerdasannya, sehingga memungkinkan mereka
menjadi apa saja yang mereka inginkan.

Setiap siswa memiliki gaya belajar yang unik, dan sekolah seharusnya dapat melayaninya.

            Macam-macam gaya belajar: visual (melihat  diagram dan gambar), sebagian


menggunakan indera perasa (haptic), menggerakkan tubuh (kinestetik),  orientasi membaca buku
(teks tercetak), dan kelompok interaktif (berinteraksi dengan siswa yang lain).

                 Humanizing the classroom yang menghargai adanya perbedaan atau keunikan yang
dimiliki oleh siswa, experiental learning (dikembangkan David Kolb) sangat memperhatikan
adanya perbedaan atau keunikan yang dimiliki oleh masing-masing individu.

                 Experiental learning juga didasarkan pada pengalaman. Kedua model belajar tersebut
mempunyai konsep bahwa ilmu pengetahuan diperoleh dari memahami  dan mentransformasi
pengetahuan. 

16
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari kesimpulan diatas dapat kita simpulkan Konstruktivisme adalah sebuah filosofi
pembelajaran yang dilandasi premis bahwa dengan mereflesikan pengalaman, kita membangun
mengkonstruksi pengetahuan pemahaman kita tentang dunia tempat kita hidup. Setiap kia akan
menciptakan hukum dan model mental kita sendiri yang di pergunakan untuk menafsirkan dan
menerjemahkan pengalaman. Belajar dengan demikian semata-mata sebagai suatu proses
pengaturan model mental seseorang untuk mengakomodasi pengalaman-pengalaman baru.

            Salah satu prinsip psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak begitu saja memberikan
pengetahuan kepada siswa, tetapi siswa yang harus aktif membangun pengetahuan dalam pikiran
mereka sendiri.Dalam proses belajar di kelas, menurut Nurhadi dan kawan kawan (2004), siswa
perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan
bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa.
Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori
konstruktivisme adalah ide. Siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi
kompleks ke situasi lain. Dengan dasar itu, maka belajar dan pembelajaran harus dikemas menjadi
proses “mengonstruksi”, bukan ‘menerima’ pengetahuan.

-Konsep Belajar Konstruktivisme Jean Piaget

Pertama, Skemata
            Manusia selalu berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Manusia cenderung
mengorganisasikan tingkah laku dan pikirannya. Hal itu mengakibatkan adanya sejumlah
struktur psikologis yang berbeda bentuknya pada setiap fase atau tingkatan perkembangan
tingkah laku dan kegiatan berpikir manusia.

Kedua, asimilasi
            Asimilasi merupakan proses kognitif dan penyerapan baru ketika seseorang memadukan
stimulus atau persepsi ke dalam skemata atau perilaku yang sudah ada.

Ketiga, akomodasi
            Akomodasi adalah suatu proses struktur kognitif yang berlangsung sesuai dengan
pengalaman baru. Proses tersebut menghasilkan terbentuknya skemata baru dan berubahnya
skemata lama. Dalam akomodasi terjadi perubahan kualitatif, sedangkan asimilasi merupakan
perubahan kuantitatif. Pada hakikatnya akomodasi menyebabkan terjadinya perubahan atau
pengembangan skemata.

17
Keempat, Keseimbangan (equilibrium)
            Dalam proses adaptasi terhadap lingkungan, individu berusaha untuk mencapai strukutur
mental atau skemata yang stabil. Stabil dalam artian adanya keseimbangan antara proses asimilasi
dan proses akomodasi. Jean Piaget menyebut dengan keseimbangan (equilibrium). Dengan adanya
keseimbangan ini, efisiensi interaksi antara anak yang sedang berkembang dengan lingkungannya
dapat tercapai dan terjamin. Dengan kata lain, terjadi keseimbangan antara faktor-faktor internal
dan faktor-faktor eksternal.
- Konsep Belajar Konstruktivisme Vygotsky
Menurut Vygotsky (Elliot,2003,52), belajar merupakan proses yang melibatkan dua
elemen penting. pertama, belajar merupakan proses secara biologi sebagai proses dasar. Kedua,
proses secara psikososial sebagai proses yang lebih tinggi dan esensinya berkaitan dengan
lingkungan sosial budaya. Sehingga, munculnya perilaku seseorang karena intervening kedua
elemen tersebut.

Vygotsky membagi perkembangan kognitif yang didasarkan pada perkembangan bahasa menjadi
empat tahap (Ellio,2003)
1) Prientelectual Speech, yaitu tahap awal dalam perkembangan kognitif ketika manusia baru
lahir, yang ditunjukkan dengan adanya proses dasar secara biologis (menangis, mengoceh,
dan gerakan-gerakan tubuh seperti menghentakkan kaki, menggoyang-goyangkan tangan)
yang secara perlahan-lahan berkembang menjadi bentuk yang lebih sempurna seperti
berbicara dan berperilaku. Manusia dilahirkan dengan kemampuan bahasa untuk digunakan
berinteraksi dengan lingkungannya sehingga perkembangan bahasa menjadi lebih maksimal.
2) Naive psycology, yaitu tahap kedua dari perkembangan bahasa ketika seorang anak
‘mengeksplore’ atau menggali objek-objek konkret dalam dunia mereka. Pada tahap ini,
anak mulai memberi nama atau label terhadap objek-objek tersebut dan telah dapat
mengucapkan beberapa kata dalam berbicara. Ia dapat mencapai pemahaman verbal dan
dapat menggunakannya untuk berkomunikasi dengan lingkungannya, sehingga hal ini dapat
lebih mengembangkan kemampuan bahasanya yang akan mempengaruhi cara berfikir dan
lebih meningkatkan hubungannya dengan orang lain.
3) Egocentric spech, tahap ini ketika anak berusia 3 tahun. Pada tahap ini, anak selalu
melakukan percakapan tanpa memedulikan orang lain atau apakah orang lain mendengarkan
mereka atau tidak.
4) Inner speech, tahap ini memberikan fungsi yang penting dalam menggerakkan perilaku
seseorang.

-Strategi Belajar Konstruktivisme

18
 Top Down Processing
 Cooperative learning
 Generative learning

Model-Model Pembelajaran Berdasarkan Prinsip-Prinsip Konstruktivisme


 -Discovery Learning
 Reception Learning
 -Assisted Learning
 -The Accelerated Learning
 -Quantum Learning
 -Contextual teaching and learning (CTL)

19
Daftar pustaka

Baharudin,Wahyuni Nur .2010. Teori Brlajar Dan Pembelajaran.Jogjakarta: Ar-ruzz Media

Suryono, Hariyanto. 2011.Belajar dan Mengajar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya

20

Anda mungkin juga menyukai