Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH KELOMPOK

KAIDAH-KAIDAH KESHAHIHAN HADITS


MEMENUHI MATA KULIAH ULUMUL HADITS
DOSEN PENGAMPU ATTABIEK HASAN MA’RUF, M.A

OLEH :

AGUS MARGIYANTO : PG04200001

FIANA AYU FEBRIYANI : PG04200002

ROSITA DWI LESTARI : PG04200006

PRODI S1 PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH

TUNAS BANGSA BANJARNEGARA

2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya kepada
kita semua sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini. Alhamdulillah penyusun haturkan
kepada yang Maha Kuasa atas terselesainya makalah ini.
Makalah ini berisikan pengetahuan tentang mata pelajaran ulumul hadis. Penyusun
mengambil data-data dari berbagai referensi guna melengkapi informasi yang disajikan.
Ucapan terima kasih penyusun sampaikan kepada dosen pengajar yang telah memberikan
materi tentang ulumul hadis.
Harapan penyusun makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Penyusun menyadari bahwa
makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, penyusun minta maaf apabila terdapat kesalahan
dalam penyusunan makalah ini. Kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun untuk
memperbaiki penyusunan makalah.

2
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Bagi kaum Muslimin, hadits diyakini sebagai sumber hukum pokok setelah al-Qur‟an. Ia
adalah salah satu sumber tasyri‟ penting dalam Islam. Urgensinya semakin nyata melalui fungsi-
fungsi yang dijalankannya sebagai penjelas dan penafsir al-Qur‟an, bahkan juga sebagai penetap
hukum yang independen sebagaimana al-Qur‟an sendiri. Ini terkait dengan tugas Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang
terkandung di dalamnya.
Berdasar hal ini umat Islam meyakini bahwa al-Qur‟an dan hadits merupakan sumber
hukum Islam yang tidak bisa dipisahkan dalam kepentingan istidlal dan dipandang sebagai
sumber pokok yang satu, yaitu nash. Keduanya saling menopang secara sempurna dalam
menjelaskan syari'ah.
Dalam konteks ini Imam Syatibi berkata: "Di dalam istinbath hukum, tidak seyogyanya
hanya membatasi dengan memakai dalil al-Qur‟an saja, tanpa memperhatikan penjabaran
(syarah) dan penjelasan (bayan), yaitu al-Hadits. Sebab di dalam al-Qur‟an terdapat banyak hal
hal yang masih global seperti keterangan tentang shalat, zakat, haji, puasa dan lain sebagainya,
sehingga tidak ada jalan lain kecuali menengok keterangan hadits.1
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian hadis?
2. Apa macam-macam hadis?
3. Apa kaidah-kaidah keshahihan hadis?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian hadis
2. Untuk mengetahui macam-macam hadis
3. Untuk mengetahui kaidah-kaidah keshahihan hadis

1
Abu Ishak Syatibi, al-Muwafaqot, (Dar al-Fikr al-Arabi, Kairo, Mesir, cet.2 1975 M/1395 H) juz III, hal. 369

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadis
Kata hadis dari kata ha-da-tsa (Arab), menurut bahasa berarti baru atau berita.
Sedangkan menurut istilah, hadis mempunyai beberapa pengertian sebagai berikut:
1. Menurut ahli hadis adalah segala hal yang disandarkan kepada Nabi atau sahabat atau tabiin,
baik perkataan, perbuatan, taqrir (pengakuan) maupun sifat.
2. Menurut ahli usul adalah segala hal yang datang dari Nabi (selain al Qur’an), baik perkataan,
perbuatan maupun taqrir yang pantas menjadi dalil hukum shara
3. Menurut ahli Fiqih adalah segala hal yang datang dari Nabi yang tidak berkaitan dengan
fardu dan wajib.
4. Menurut ahli Tasawwuf adalah lawan bid`ah yaitu segala hal yang diperintah atau dilarang
oleh shara
Hadis secara etimologi adalah segala sesuatu yang diperbincangkan yang disampaikan
baik dengan suara maupun dengan lisan. Sedangkan secara istilah atau terminologi bahwasanya
hadis adalah sinonim dari sunnah yang berarti segala sesuatu yang bersumber dari Nabi baik
berupa perkataan, perbuatan atau pernyataan di dalam masalah-masalah yang berhubungan
dengan syariat.2

B. Macam-Macam Hadis
Untuk mempermudah pengenalan berbagai macam hadis dilihat dari keadaan sanad dan
matn-nya, maka secara garis besar, hadis diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu klasifikasi
hadis ditinjau dari segi kuantitas periwayat dan klasifikasi hadis ditinjau dari segi kualitas
periwayat.

1. Klasifikasi hadis ditinjau dari segi kuantitas periwayat


Ditinjau dari segi banyak sedikitnya (kuantitas) periwayat yang menjadi sumber
berita, hadis dibagi menjadi dua macam yaitu:

a. Hadis mutawatir : Ditinjau dari segi bahasa, mutawatir adalah isim Fa’il yang diambil
dari kata al-tawatur yang berarti al-tatabu (berturut-turut). Sedangkan menurut istilah
Hadis Mutawatir adalah Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang mustahil

2
Muhammad Nâshir al-Dîn al-Albânî, “Hadits Sebagai Landasan Aqidah dan Hukum”, Trj. Mohammad Irfan Zein
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), hlm.19-20.

4
mereka sepakat untuk berbohong, (diriwayatkan) dari periwayat yang banyak pula dari
awal sanad hingga akhir sanad dalam semua tingkat (level).
Hadis yang termasuk kategori ini dikenakan persyaratan yang ketat. Menurut Ahmad
Umar Hashim, bahwa Hadis Mutawatir harus memenuhi lima sharat yaitu dari segi
sanad, periwayat harus berjumlah banyak, bersambung dan mereka mustahil menurut
akal berkolusi untuk berbuat dusta, sedangkan dari segi matn, harus hasil tangkapan
panca indra seperti dilihat, didengar sendiri oleh periwayat, bukan melalui nalar akal.

b. Hadis ahad : Kata Ahad adalah jama dari kata ahad yang berarti satu atau tunggal.
Menurut istilah Hadis Ahad adalah Hadis yang tidak ditemukan sharat-sharat Hadis
Mutawatir, baik periwayatnya satu orang atau lebih
2. Klasifikasi hadis ditinjau dari segi kualitas periwayat
Pada awalnya hadis hanya dibagi dalam dua kategori yaitu Hadis Maqbul, hadis
yang diterima dan dapat dijadikan hujjah yakni Hadis Sahih dan Hadis Mardud, hadis yang
ditolak dan tidak dapat dijadikan hujjah yakni Hadis Da`if . Pembagian hadis ditinjau dari
segi kualitasnya, terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu Hadis Sahih, Hasan dan Da`if , baru
dikenal sejak masa al-Tirmidhi, sekaligus beliaulah sebagai pencetus munculnya Hadis
Hasan.

C. Kaidah-Kaidah Keshahihan Hadis


Hadis (sunnah) bagi umat Islam menempati urutan kedua sesudah al-Qur’an karena di
samping sebagai sumber ajaran Islam yang secara langsung terkait dengan keharusan mentaati
Rasulullah saw, juga karena fungsinya sebagai penjelas (bayn) bagi ungkapan-ungkapan al-
Qur‟an yang mujmal, muthlaq, ‘amm, dan sebagainya. Kebutuhan umat Islam terhadap hadis
(sunnah) sebagai sumber ajaran agama terpusat pada substansi doktrinal yang tersusun secara
verbal dalam komposisi teks (redaksi) matan hadis. Target akhir pengkajian ilmu hadis
sesungguhnya terarah pada matan hadis, sedang yang lain (sanad, lambang perekat riwayat, kitab
yang mengoleksi) berkedudukan sebagai perangkat bagi proses pengutipan, pemeliharaan teks
dan kritiknya.

Secara etimologis, term ṣaḥih merupakan lawan term saqim yang berarti sakit. Term ini
juga telah diserap dalam bahasa Indonesia dengan makna “sah; benar; sempurna; sehat; dan
pasti”. Dengan pengertian kebahasaan ini, maka hadis ṣaḥih secara sederhana dapat didefinisikan
sebagai “hadis yang tidak sakit atau tidak memiliki cacat‟. Artinya, hadis itu sah, benar dan
sempurna.

5
Sedangkan secara terminologis, hadis ṣaḥiḥ dapat didefinisikan sebagai “hadis yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabith sampai akhir sanad, tidak
ada kejanggalan dan tidak ber‟illat”.

Definisi hadis ṣaḥiḥ secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi‟i memberikan
penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujjah, yaitu:

Pertama, apabila diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya pengalaman
agamanya; dikenal sebagai orang yang jujur memahami dengan baik hadis yang diriwayatkan;
mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi perubahan lafadznya; mampu meriwayatkan hadis
secara lafadz; terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadis secara lafaz, bunyi hadis yang dia
riwayatkan sama dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang lain dan terlepas dari tadlis
(penyembunyian cacat).

Kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai pada Nabi Muhammad saw, atau dapat
juga riwayatnya tidak sampai kepada Nabi. Atas dasar ini, maka tidak berlebihan jika Imam
Syafi‟I dianggap sebagai ulama yang pertama kali memiliki inisiatif dalam menetapkan kaidah
ke-ṣaḥiḥ-an suatu hadis. Kaidah ke-ṣaḥiḥ-an hadis rumusan Syafi‟i seperti disebutkan, tidak saja
berkaitan dengan sanad, tetapi juga berkaitan dengan matan.3

1. Kesahihan sanad
Pada perkembangannya, hadis terbagi menjadi beberapa jenis, salah satunya adalah
hadis ṣaḥiḥ. Jenis hadis ini menurut para ulama memiliki kriteria tersendiri, diantaranya:

Pertama, sanadnya tersambung.Yaitu, tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis menerima


riwayat hadis dari perawi terdekat sebelumnya. Hal itu terjadi dari periwayat hadis pertama
hingga akhir sanad dari hadis itu. Ketersambungan sanad hadis ini biasanya terjadi karena
hubungan antara guru dengan murid.

Kedua, periwayatnya bersifat ‘adil. Dalam hal ini para ulama menyatakan bahwa perawi
tersebut bisa dikatakan „adil jika memenuhi kriteria sebagai berikut: beragama Islam, baligh,
berakal, taqwa, muru’ah, teguh dalam beragama, tidak berbuat dosa besar seperti, syirik,
menghindari dosa kecil, tidak berbuat bid’ah, tidak berbuat maksiat, tidak berbuat fasik,
menjauhi hal-hal yang dibolehkan yang dapat merusak muru’ah, baik akhlaknya, dapat
dipercaya dan selalu berlaku benar.

Ketiga, periwayatnya bersifat dhabit, pengertian dhabit dapat dipahami sebagai orang
yang terjaga hafalannya tentang apa yang didengarnya dan ia mampu untuk menyampaikan
3
Mohammad Noor Ichwan, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2013), h. 205-208

6
hafalannya itu kapan saja ia menghendakinya. Dalam hal ini, para ulama memberikan ciri
dan sifat perawi dhabit Antara lain adalah: (1). Perawi itu memahami dengan baik riwayat
yang didengarnya. (2). Perawi itu hafal dengan baik riwayat yang telah didengarnya. (3).
Perawi itu mampu menyampaikan dengan baik riwayat yang telah didengar dan dihafalnya.

Keempat, perawi hadis tersebut terhindar dari ke-syaz-an. Yakni, apabila seseorang
perawi hadis yang ṡiqah meriwayatkan hadis sedangkan perawi lain yang juga ṡiqah tersebut
tidak meriwayatkannya. Hal ini, menurut Syafi‟I, bisa disebabkan karena kesendirian
individu periwayat dalam sanad hadis yang lebih dikenal dengan istilah fard mutlaq
(kesendirian absolut) atau memang karena terdapat perawi yang tidak tsiqqat.

Kelima, hadis itu terhindar dari ‘illat. Istilah ini menurut Ibn Salah dan al-Nawawi
adalah sebab yang tersembunyi yang dapat merusak kualitas hadis. Keberadaannya
mempengaruhi kedudukan hadis yang memiliki kualitas sahih menjadi tidak sahih.4

2. Kaedah kesahihan Matan


Sebagian ulama hadis (muḥadiṡin) percaya bahwa kritikus hadis, dalam melakukan
verifikasi penyadaran hadis kepada Nabi, tidak hanya meneliti sanad tapi juga matan.Ini
berdasarkan kenyataan bahwa sejumlah matan yang tidak dapat disandarkan kepada Nabi,
meskipun sanadnya tampak ṡiqah. Dengan kata lain, sanad yang ṡiqah tidak harus berarti
matan-nya juga terpercaya. Di samping kepercayaan isnad, ke- ṡiqah-an matan juga harus
dibuktikan untuk kesahihan sebuah hadis. Berdasarkan kenyataan bahwa: (1) autentifikasi
dan penelitian “buruk” seorang perawi berdasarkan pada sebuah asumsi; (2) seorang perawi
yang dianggap ṡiqah oleh seorang kritikus hadis, pada saat yang bisa dianggap sebaliknya
oleh kritikus hadis yang lain; dan (3) selalu mungkin bahwa seorang perawi yang dianggap
ṡiqah melakukan sebuah kesalahan, maka kritik matan yang menjadi prasyarat.

Dengan kritik matan, kesalahan yang diperbuat oleh seorang perawi dapat dikontrol
dan penilaian seorang kritikus terhadap sebuah hadis dapat diverifikasi. Disamping itu, para
perawi dapat dinilai ṡiqah atau sebaliknya, hanya setelah menguji riwayat mereka dan
meneliti matannya. Demikian pula, kenyataan bahwa sejumlah hadis yang kontradiktif
dengan sanadnya yang ṡiqah, dapat ditemukan dalam kitab-kitab hadis.

Sekiranya kritik matan dilakukan untuk kualitas sanad yang bagaimanapun juga,
maka kemungkinan hasil penelitian kualitas hadisnya adalah; (1) sanadnya shahih dan
matannya shahih; (2) sanadnya shahih dan matannya dha’if; (3) sanadnya dha’if dan

4
Miftahul Ansor, Imam Busbikin, Membedah Hadits Nabi SAW Kaedah dan Sarana Studi Hadits Serta
Pemahamannya, (Madiun: Jaya Star Nine, 2015), h. 59-60

7
matannya shahih; (4) sanadnya dha’if dan matannya dha’if, kemungkinan tersebut sekedar
contoh dan belum kemungkinan kualitas sanad yang ḥasan yang menghadapi kualitas matan
yang shahih dan yang dha’if.

Dengan adanya beberapa kemungkinan kualitas itu, maka yang disebut sebagai hadis
shahih adalah hadis yang sanadnya shahih dan matannya juga shahih; dan hadis dha’if
adalah hadis yang sanadnya dha’if dan matnnya juga dha’if, atau yang sanadnya dha’if tetapi
matannya sahih, tidak disebut sebagai hadis sahih, ataupun hadis dha’if.

BAB III
KESIMPULAN

8
Dari pemaparan materi di atas dapat disimpulkan bahwa hadis adalah segala hal yang
disandarkan kepada Nabi atau sahabat atau tabiin, baik perkataan, perbuatan, taqrir (pengakuan)
maupun sifat.
Ada 2 macam hadis yaitu :
1. Hadis mutawatir Ditinjau dari segi bahasa, mutawatir adalah isim Fa’il yang diambil dari
kata al-tawatur yang berarti al-tatabu (berturut-turut). Sedangkan menurut istilah Hadis
Mutawatir adalah Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang mustahil mereka
sepakat untuk berbohong, (diriwayatkan) dari periwayat yang banyak pula dari awal
sanad hingga akhir sanad dalam semua tingkat (level).

2. Hadis ahad kata Ahad adalah jama dari kata ahad yang berarti satu atau tunggal.
Menurut istilah Hadis Ahad adalah Hadis yang tidak ditemukan sharat-sharat Hadis
Mutawatir, baik periwayatnya satu orang atau lebih

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ishak Syatibi, al-Muwafaqot, (Dar al-Fikr al-Arabi, Kairo, Mesir, cet.2 1975 M/1395
H) juz III

9
Muhammad Nâshir al-Dîn al-Albânî, 2002. Hadits Sebagai Landasan Aqidah dan Hukum,
Trj. Mohammad Irfan Zein, Jakarta: Pustaka Azzam

Mohammad Noor Ichwan, 2013. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Semarang: RaSAIL Media
Group

Miftahul Ansor, 2015. Imam Busbikin Membedah Hadits Nabi SAW Kaedah dan Sarana
Studi Hadits Serta Pemahamannya, Madiun: Jaya Star Nine

10

Anda mungkin juga menyukai