Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT ATAU ETIKA


DIHUBUNGKAN DENGAN KEADAAN BANGSA INDONESIA

DISUSUN OLEH :

 Di andra dwi sulistya 20103255


 Ila Mafazati Iqlima 20103253
 Nadya Nur Azizah 20103252
 Novita Angriyani 20103251
 Deviana karlulina sari 20103258
 Risma Anik Mahmuddah 20103250

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmannirahim
Puji syukur kami panjatkan kehadirat allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunianya, sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman yang terang benderang
seperti saat ini. Dalam mata kuliah Pendidikan Pancasila ini kami mendapatkan tugas makalah
dari Bapak Winarno dengan judul Pancasila sebagai sistem filsafat atau etika di hubungkan
dengan keadaan bangsa Indonesia. Dan akhirnya alhamdulillah makalah ini dapat terselesaikan.
Tentunya kami mengucapkan terima kasih kepada beliah Bapak Winarno yang telah
membimbing kami dalam mata kuliah Pendidikan Pancasila ini karena tanpa bimbingan beliau
kami akan kesulitan dalam mengerjakan makalah ini dan tak lupa kami juga berterima kasih
kepada pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini.

Didalam penyusunan makalah ini tidak sedikit hambatan yang ditemukan selama
pengerjaan, dengan begitu kiranya masih banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah ini.
Sehingga peran serta semua pihak dalam hal kritik dan saran yang membangun sangatlah
dibutuhkan agar bisa membuat makalah ini lebih baik di waktu yang akan datang. Kami sebagai
penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kami maupun bagi pembaca.

Semarang,23 Desember 2021

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I:PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

B.Rumusan Masalah

C.Tujuan penulisan
BAB II: Pembahasan

1.Pengertiang Pancasila secara etimologis

2.Pengertian Filsafat

3.Obyek filsafat Pancasila

5.Sumber Historis, Sosiologis, Politis Tentang Pancasila

6.Dasar Ontologis (Hakikat Manusia) Sila–sila Pancasila

7.Pancasila Sebagai Sistem etika

8.Argumen tentang Tantangan Pancasila sebagai Sistem Etika

9.Hakekat Pancasila

BAB III: Penutupan

1.Kesimpulan

2.Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Pada umumnya di dunia ini terdapat berbagai macam dasar negara yang menyokong negara itu
sendiri agar tetap berdiri kokoh, teguh, serta agar tidak terombang ambing oleh persoalan yang muncul
pada masa kini. Pada hakikatnya ideologi merupakan hasil refleksi manusia berkat kemampuannya
mengadakan distansi terhadap dunia kehidupannya. Maka terdapat sesuatu yang bersifat dialektis antara
ideologi dengan masyarat negara. Di suatu pihak membuat ideologi semakin realistis dan pihak yang lain
mendorong masyarakat mendekati bentuk yang ideal. Idologi mencerminkan cara berpikir masyarakat,
bangsa maupun negara, namun juga membentuk masyarakat menuju cita-citanya. Indonesia pun tak
terlepas dari hal itu, dimana Indonesia memiliki dasar negara yang sering kita sebut Pancasila.

Pancasila sebagai ideologi menguraikan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara dan
karakteristik Pancasila sebagai ideologi negara. Sejarah indonesia menunjukan bahwa Pancasila adalah
jiwa seluruh rakyat Indonesia, yang memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta
membimbingnya dalam mengejar kehidupan yang layak dan lebih baik, untuk mencapai masyarakat
Indonesia yang adil dan makmur.

Pancasila sebagai sistem etika di samping merupakan way of life bangsa Indonesia, juga
merupakan struktur pemikiran yang disusun untuk memberikan tuntunan atau panduan kepada setiap
warga negara Indonesia dalam bersikap dan bertingkah laku. Pancasila sebagai sistem etika, dimaksudkan
untuk mengembangkan dimensi moralitas dalam diri setiap individu sehingga memiliki kemampuan
menampilkan sikap spiritualitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila
sebagai sistem etika merupakan moral guidance yang dapat diaktualisasikan ke dalam tindakan konkrit,
yang melibatkan berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, sila-sila Pancasila perlu diaktualisasikan
lebih lanjut ke dalam putusan tindakan sehingga mampu mencerminkan pribadi yang saleh, utuh, dan
berwawasan moral-akademis.

Pancasila merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, karena dalam masingmasing sila tidak
bisa di tukar tempat atau dipindah. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa
dan negara Indonesia. Bahwasanya Pancasila yang telah diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara
seperti tercantum dalam pembukaan UndangUndang Dasar 1945 merupakan kepribadian dan pandangan
hidup bangsa, yang telah diuji kebenaran, kemampuan dan kesaktiannya, sehingga tak ada satu kekuatan
manapun juga yang mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia. Mempelajari
Pancasila lebih dalam menjadikan kita sadar sebagai bangsa Indonesia yang memiliki jati diri dan harus
diwijudkan dalam pergaulan hidup sehari-hari untuk menunjukkan identitas bangsa yang lebih bermatabat
dan berbudaya tinggi. Melalui makalah ini diharapkan dapat membantu kita dalam berpikir lebih kritis
mengenai arti Pancasila.

B.Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari Pancasila dan Filsafat ?


2. Apa Pengertian dari Pancasila dan Etika?
3. Bagaimana pengertian Pancasila sebagai suatu filsafat?
4. Bagaimana Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila?
5. Apa saja objek dari filsafat Pancasila?
6. Bagaimana Pancasila melalui pendekatan dasar Ontologis, Epistemologis, serta Aksikologis?
7. Apa Alasan Diperlukanya Pancasila Sebagai Sistem Etika?
8. Apa hakekat dari Pancasila?

C.Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian dari Pancasila dan Filsafat.


2. Untuk mengetahui pengertian Pancasila dan Etika.
3. Untuk mengetahui dan memahami pengertian dari Pancasila sebagai suatu filsafat.
4. Untuk mengetahui sumber Historis, Sosiologis, Politis, tentang Pancasila.
5. 3. Untuk mengetahui objek dari filsafat Pancasila
6. Untuk mengetahui dan memahami Pancasila melalui pendekatan dasar Ontologis, Epistemologis,
serta Aksikologis.
7. 4. Untuk mengetahui Alasan Diperlukannya Pancasila Sebagai Sistem Etika.
8. Untuk mengetahui hakekat dari Pancasila.

BAB II

Pembahasan

1.Pengertian Pancasila secara etimologis

Secara etimologis istilah “pancasila” berasal dari sansekerta dari India (bahasa kata brahmana)
adapun bhasa rakyat biasa adalah bahasa Prakerta. Menurut

Muhammad Yamin, dalam bahasa sansekerta perkataan “pancasila” memiliki dua macam arti secara
leksikal yaitu :

➢ “panca” artinya “lima”

➢ “syila” vokal i pendek artinya “batu sendi”, “alas”, atau “dasar”

➢ “syila” vokal i panjang artinya “peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau senonoh”

Kata-kata tersebut kemudian dalam bahasa Indonesia terutama bahasa Jawa diartikan “susila”
yang memiliki hubungan dengan moralitas. Oleh karena itu secara etimologis kata “pancasila” yang
dimaksudkan adalah istilah “Panca Syiila” dengan vokal i pendek yang memiliki makna leksikal “berbatu
sendi lima” atau secara harfiah “dasar yang memiliki lima unsur”. Adapun istilah “Panca Syiila” dengan
huruf Dewanagari i bermakna 5 aturan tingkah laku yang penting.

Proses perumusan Pancasila diawali ketika dalam sidang BPUPKI pertama dr. Radjiman
Widyodiningrat, mengajukan suatu masalah, khususnya akan dibahas pada sidang tersebut. Masalah
tersebut adalah tentang suatu calo rumusan dasar negara Indonesia yang akan dibentuk. Kemudian
tampilah pada sidang tersebut tiga orang pembicara yaitu Mohammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno.
Pada tanggal 1 Juni 1945 di dalam sidang tersebut Ir. Soekarno berpidato secara lisan mengenai calon
rumusan dasar negara Indonesia. Kemudian untuk memberikan nama “Pancasila” yang artinya lima dasar,
hal ini menurut Soekarno atas saran dari salah seorang temannya yaitu seorang ahli bahasa yang tidak
disebutkan namanya. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya,
kemudian keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945 disahkannya Undang-Undang Dasar 1945 termasuk
pembukaa UUD 1945 dimana didalamnya termuat isi rumusan lima prnsip sebagai satu dasar negara yang
diberi nama Pancasila.

Sejak saat itulah perkataan Pancasila menjadi bahasa Indonesia dan merupakan istilah umum. Walaupun
dalam linea IV Pembukaan UUD 1945 tidak termuat istilah “Pancasila”, namun yang dimaksudkan Dasar
Negara Republik Indonesia adalah disebut dengan istilah “Pancasila”. Hal ini didasarkan atas interpretasi
historis terutama alam rangka pembentukancalon rumusan dasar negara, yang secara spontan diterima
oleh peserta sidang secara bulat.

Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 itu telah melahirkan negara Republik
Indonesia. Untuk melengkai alat-alat perlengkapan negara sebagaimana lazimnya negara-negara yang
merdeka, maka Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) segera megadakan sidang. Dalam
sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 telah berhasil mengesahkan UUD negara Republik Indonesia yang
dikenal dengan UUD 1945. Adapun UUD 1945 yang berisi 37 pasal, 1 Aturan Peralihan yang terdiri atas
4 pasal dan 1 Aturan Tambahan erdiri atas 2 ayat. Dalam bagian pembukaan UUD 1945 yang terdiri atas
empat alinea tersebut tercantum rumusan Pancasilla sebagai berikut :

1) Ketuhanan Yang Maha Esa

2) Kemanusiaan yang adildan beradab

3) Persatuan Indonesia

4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan

5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 inilah yang secara
konstitusional sah dan benar sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang disahkan oleh PPKI yang
mewakili seluruh rakyat Indonesia.

2.Pengertian filsafat

A. Secara Umum

Adalah suatu kebijaksanaan hidup (filosofia) untuk memberikan suatu pandangan hidup yang
menyeluruh berdasarkan refleksi atas pengalaman hidup maupun pengalaman ilmiah. Filsafat merupakan
suatu ilmu pengetahuan karena memiliki logika, metode dan sistem. Namun filsafat berbeda dari ilmu-
ilmu pengetahuan kehidupan lainnya oleh karena memiliki obyek tersendiri yang sangat luas.

Sebagai contoh, dalam ilmu psikologi mempelajari tingkah laku kehidupan manusia, namun
dalam ilmu filsafat tidak terbatas pada salah satu bidang kehidupan saja, melainkan memberikan suatu
pandangan hidup yang menyeluruh yaitu tentang hakiki hidup yang sebenarnya. Pandangan hidup
tersebut merupakan hasil pemikiran yang disusun secara sistematis menurut hukum-hukum logika.

Seorang yang berfilsafat (filsuf) akan mengambil apa yang telah ditangkap dalam pengalaman
hidup maupun pengalaman ilmiah kemudiaan memandangnya di bawah suatu horizon yang lebih luas,
yakni sebagai unsur kehidupan manusia yang menyeluruh.

B. Menurut Para Ahli

Pengertian filsafat menurut menurut para ahli memiliki perbedaan dalam mendefinisikan filsafat
yang disebabkan oleh berbedaan konotasi filsafat dan keyakinan hidup yang dianut mereka. Perbedaan
pendapat muncul juga dikarenakan perkembangan filsafat itu sendiri sehingga akhirnya menyebabkan
beberapa ilmu pengetahuan memisahkan diri dari ilmu filsafat.
Berikut beberapa pengertian filsafat menurut menurut para ahli yang memiliki pengertian jauh
lebih luas dibandingkan dengan pengertian menurut bahasa.

• Cicero ( (106 – 43 SM ) Filsafat adalah seni kehidupan sebagai ibu dari semua seni.

• Aristoteles (384 – 322 SM) Filsafat adalah memiliki kewajiban untuk menyelidiki sebab dan asas
segala benda.

• Plato (427 – 347 SM) Filsafat itu adalah tidaklah lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.

• Al Farabi (wafat 950 M) Filsafat itu ialah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan
menyelidiki hakekatnya yang sebenarnya.

• Thomas Hobbes (1588 – 1679) Filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menerangkan perhubungan hasil
dan sebab atau sebab dari hasilnya, dan oleh karena itu senantiasa adalah suatu perubahan.

• Johann Gotlich Fickte (1762-1814) Filsafat merupakan ilmu dari ilmuilmu, yakni ilmu umum, yang
jadi dasar segala ilmu. Filsafat membicarakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu untuk mencari
kebenaran dari seluruh kenyataan.

• Imanuel Kant ( 1724 – 1804) Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari
segala pengetahuan yang didalamnya tercakup empat persoalan yaitu metafisika, etika agama dan
antropologi.

• Paul Nartorp (1854 – 1924) Filsafat sebagai ilmu dasar hendak menentukan kesatuan pengetahuan
manusia dengan menunjukan dasar akhir yang sama, yang memikul sekaliannya.

• Harold H. Titus (1979) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan
alam yang biasanya diterima secara tidak kritis.

Selain tokoh-tokoh dunia, adapun pendapat dari tokoh bangsa Indonesia mengenai filsafat, yaitu :

• Notonegoro: Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut intinya yang mutlak, yang
tetap tidak berubah, yang disebut hakekat.

• Driyakarya: filsafat sebagai perenungan yang sedalam-dalamnya tentang sebab-sebabnya ada dan
berbuat, perenungan tentang kenyataan yang sedalam-dalamnya sampai “mengapa yang penghabisan.

• Sidi Gazalba: Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran, tentang segala
sesuatu yang dipermasalahkan, dengan berfikir radikal, sistematik dan universal.

• Hasbullah Bakry: Ilmu Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam
mengenai Ke-Tuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang
bagaimana sikap manusia itu sebenarnya setelah mencapai pengetahuan itu.

• Prof. Dr. Ismaun, M.Pd.: Filsafat ialah usaha pemikiran dan renungan manusia dengan akal dan
qalbunya secara sungguh-sungguh , yakni secara kritis sistematis, fundamentalis, universal, integral dan
radikal untuk mencapai dan menemukan kebenaran yang hakiki (pengetahuan, dan kearifan atau
kebenaran yang sejati.
• Prof. Mr.Mumahamd Yamin: Filsafat ialah pemusatan pikiran , sehingga manusia menemui
kepribadiannya seraya didalam kepribadiannya itu dialamiya kesungguhan.

Menurut Ruslan Abdulgani, Pancasila adalah filsafat negara yang lahir sebagai ideologi kolektif
(cita-cita bersama) seluruh bangsa Indonesia. Mengapa pancasila dikatakan sebagai filsafat? Hal itu
dikarenakan pancasila merupakan hasil perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh para
pendahulu kita, yang kemudian dituangkan dalam suatu sistem yang tepat. Menurut Notonagoro, Filsafat
Pancasila ini memberikan pengetahuan dan pengertian ilmiah yaitu tentang hakikat pancasila. Filsafat
pancasila dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis dan rasionl tentang pancasila sebagai dasar negara dan
kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar
dan menyeluruh. Pancasila dikatakan sebagai filsafat karena pancasila merupakan hasil perenungan jiwa
yang mendalam yang dilakukan oleh the founding fathers Indonesia, yang di tuangkan dalam suatu
system (Abdul Gani 1998).

Pengertian filsafat pancasila secara umum adalah hasil berfikir atau pemikiran yang sedalam-
dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai kenyataan, norma-norma
dan nilai-nilai yang benar, adil, bijaksana dan paling sesuai dengan kehidupan dan kepribadian bangsa
Indonesia. Filsafat pancasila kemudian dikembangkan oleh Soekarno sejak 1955 sampai kekuasaannya
berakhir pada 1965. Pada saat itu Soekarno selalu menyatakan bahwa pancasila merupakan filsafat asli
Indonesia yang diambil dari budaya dan tradisi Indonesia, serta merupakan akulturasi budaya India
(hindu-buddha), Barat (Kristen), Arab (Islam).

Filsafat pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat praktis sehingga filsafat pancasila tidak
hanya mengandung pemikiran yang sedalam-dalamnya atau tidak hanya bertujuan mencari, tetapi hasil
pemikiran yang berwujud filsafat pancasila tersebut dipergunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari
(way of life atau weltanschauung) agar hidup bangsa Indonesia dapat mencapai kebahagiaan lahir dan
batin, baik dunia maupun di akhirat (Salam, 1988:23-24).

3.Obyek filsafat Pancasila

Ditinjau dari segi obyektifnya, filsafat meliputi hal-hal yang ada atau dianggap dan diyakini ada,
seperti manusia, dunia, Tuhan dan seterusnya. Ruang lingkup obyek filsafat :

a. Obyek material

b. Obyek formal

Lebih jauh E.C. Ewing dalam bukunya Fundamental Questions of Philosophy (1962) menyatakan
bahwa pertanyaan-pertanyaan pokok filsafat (secara tersirat menunjukan objek filsafat) ialah : Truth
(kebenaran), Matter (materi), Mind (pikiran), The Relation of matter and mind (hubungan antara materi
dan pikiran), Space and Time (ruang dan waktu), Cause (sebab-sebab), Freedom (kebebasan), Monism
versus Pluralism (serba tunggal lawan serba jamak), dan God (Tuhan).

Pendapat-pendapat tersebut diatas menggambarkan betapa luas dan mencakupnya objek filsafat
baik dilihat dari substansi masalah maupun sudut pandangnya terhadap masalah, sehingga dapat
disimpulkan bahwa objek filsafat adalah segala sesuatu yang berwujud dalam sudut pandang dan kajian
yang mendalam (radikal). Secara lebih sistematis para ahli membagi objek filsafat ke dalam objek
material dan obyek formal. Obyek material adalah objek yang secara wujudnya dapat dijadikan bahan
telaahan dalam berfikir, sedangkan obyek formal adalah objek yang menyangkut sudut pandang dalam
melihat obyek material tertentu.

Menurut Endang Saefudin Anshori (1981) objek material filsafat adalah sarwa yang ada (segala
sesuatu yang berwujud), yang pada garis besarnya dapat dibagi atas tiga persoalan pokok yaitu : 1).
Hakekat Tuhan; 2). Hakekat Alam; dan 3). Hakekat manusia, sedangkan objek formal filsafat ialah usaha
mencari keterangan secara radikal terhadap objek material filsafat. Dengan demikian objek material
filsafat mengacu pada substansi yang ada dan mungkin ada yang dapat difikirkan oleh manusia,
sedangkan objek formal filsafat menggambarkan tentang cara dan sifat berfikir terhadap objek material
tersebut, dengan kata lain objek formal filsafat mengacu pada sudut pandang yang digunakan dalam
memikirkan objek material filsafat.

4. Pengertian Pancasila (Etika)

Etika merupakan cabang filsafat Pancasila yang dijabarkan melalui sila-sila Pancasila dalam
mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia. Etika Pancasila
cenderung mendekati pada pengertian etika kebajikan dalam sistem pemerintahan. Hal ini dikarenakan
konsep deontologis dan teologis terkandung di dalam Pancasila.

Deontologi artinya Pancasila mengandung kewajiban yang harus dilaksanakan oleh warga negara.
Teleologi artinya Pancasila menjadi tujuan dari negara Idonesia. Namun, Pancasila tetap bersumber pada
etika kebajikan. Tidak hanya berorientasi pada kewajiban dan tujuan.

Adapun pemaknaan tersebut di dapatkan dari jenis etika yang mana senantiasa terkait erat dengan
bagaimana manusia bertingkah laku yang baik. Etika bersifat universal, berbeda dengan etiket yang
berlaku pada tempat tertentu (misal adat bertamu orang Jawa berbeda dengan adat bertamu orang Batak).
Etika mencakup norma moral yang bersumber dari hati nurani demi kenyamanan bersama.

Etika memiliki arti watak, sikap, adat atau cara berpikir. Secara etimologi, etika mengandung arti
ilmu mengenai segala sesuatu yang biasa dilakukan. Etika sangat erat kaitannya dengan kebiasaan dan
tata cara hidup yang baik pada diri sendiri serta orang lain. Etika bertendensi dengan kata moral, berarti
berasal dari hati nurani setiap orang. Pada intinya, etika adalah struktur pemikiran yang disusun guna
memberi tuntunan kepada manusia dalam bersikap dan bertingkah laku.

Pancasila sebagai sistem etika bersumber dari kehidupan masyarakat berbagai etnik di Indoensia.
Selain itu, Pancasila sebagai sistem etika terdapat dalam norma dasar (grundnorm) yang digunakan
sebagai pedoman penyusunan peraturan.

Secara politis, Pancasila sebagai sistem etika mengatur masalah perilaku politikus yang
berhubungan dengan praktik institusi sosial, hukum, komunitas, struktur sosial, politik dan ekonomi.
Dengan kata lain, para penyelenggara negara harus mencerminkan etika dari Pancasila. Urgensi Pancasila
Sebagai Sistem Etika dalam Kehidupan Pentingnya Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan
permaslahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia diantaranya:

1. Masih terdapat kasus korupsi yang melemahkan sendi kehidupan negara


2. Masih terdapat kasus terorisme yang mengatasnamakan agama sehingga menurunkan sikap toleransi
dan menghambat integrase nasional

3. Masih terjadinya pelanggaran atas arti HAM dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

4. Terdapat kesenjangan antara kelompok miskin dan kaya serta masih terdapatnya kaum marginal di
beberapa wilayah yang merasa terasingkan

5. Masih adanya ketidakadilan hukum dalam sistem peradilan di Indonesia

6. Banyak terjadi pengingkaran dalam pembayaran pajak, dan sebagainya.

Konsep Pancasila sebagai Sistem Etika dalam Kehidupan Pancasila sebagai sistem etika
memerlukan kajian kritis-rasional terhadap nilai moral yang hidup agar tidak terjebak dalam pandangan
yang bersifat mitos. Misalnya korupsi terjadi karena pejabat diberi hadiah oleh seorang yang
membutuhkan sehingga urusannya lancar. Dia menerima hadiah tanpa memikirkan alasan orang tersebut
memberikan bantuan. Sehingga tidak tahu kalua perbuatannya dikategorikan dalam bentuk suap.

Hal yang sangat penting dalam mengembangkan Pancasila sebagai sistem etika meliputi:

1. Menempatkan Pancasila sebagai sumber moral dan penentu sikap, tindakan serta keputusan yang akan
diambil setiap warga negara.

2. Pancasila memberikan pedoman bagi setiap warga negara agar memiliki orientasi yang jelas dalam
pergaulan regional, nasional dan internasional

3. Pancasila menjadi dasar analisis kebijakan yang dibuat penyelenggara negara sehingga mencerminkan
semangat kenegaraan berjiwa Pancasila

4. Pancasila menjadi filter terhadap pluralitas nilai yang berkembang dalam berbagai bidang kehidupan

Esensi Pancasila sebagai Sistem Etika dalam Kehidupan Pancasila sebagai sistem etika terletak
pada hal-hal berikut:

1. Sila Ketuhanan mencerminkan bahwa Tuhan merupakan penjamin prinsip moral. Setiap perilaku warga
negara didasarkan pada prinsip moral yang bersumber pada norma agama. Ketika prinsip moral
berlandaskan pada norma agama, maka akan memberikan kekuatan pada prinsip agar dilaksanakan oleh
pengikutnya.

2. Sila Kemanusiaan memiliki prinsip acta humanus. Tindakan kemanusiaan diimplikasikan melalui sikap
adil dan beradab guna menjamin tata pergaulan antar manusia dan antar makhluk yang berdasar pada nilai
kemanusiaan tertinggi (kebajikan dan kearifan).

3. Sila Persatuan memiliki arti kesediaan hidup bersama di atas kepentingan individu dan kelompok
dalam kehidupan bernegara. Landasannya adalah nilai solidaritas dan semangat kebersamaan yang
melahirkan kekuatan dalam menghadapi ancaman pemecah belah bangsa.

4. Sila Kerakyatan sebagai sistem etika terletak pada konsep musyawarah untuk mufakat.
5. Sila Keadilan sebagai perwujudan dari sistem etika tidak menekankan pada kewajiban saja (deontologi)
atau tujuan saja (teleologi). Akan

5.Sumber Historis, Sosiologis, Politis Tentang Pancasila

Sumber Historis tetapi lebih menonjolkan pada kebijaksanaan (virtue ethics).

Pada zaman Orde Lama, Pancasila sebagai sistem etika masih berbentuk sebagai Philosofische
Grondslag atau Weltanschauung. Artinya, nilai-nilai Pancasila belum ditegaskan ke dalam sistem etika,
tetapi nilai-nilai moral telah terdapat pandangan hidup masyarakat. Masyarakat dalam masa orde lama
telah mengenal nilai-nilai kemandirian bangsa yang oleh Presiden Soekarno disebut dengan istilah
berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).

Pada zaman orde baru, Pancasila sebagai system etika disosialisasikan melalui penataran P-4 dan
diinstusionalkan dalam wadah BP-7, Ada banyak butir Pancasila yang dijabarkan dari kelima sila
Pancasila sebagai hasil temuan dari para peneliti BP-7, sebagai berikut :

1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, cara pengamalannya :

a. Manusia Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan
agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
b. Hormat menghormati dan bekerja sama antar para pemeluk agama dan para penganut
kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
c. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya.
d. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.

2. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, cara pengamalannya :

a. Mengakiu persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban asasi antar
sesame manusia sesuai dengan harkat dan martabatnyasebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa.
b. Saling mencintai sesame manusia.
c. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
d. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
e. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
f. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
g. Berani membela kebenaran dan keadilan.

3. Sila Persatuan Indonesia, cara pengamalnnya :

a. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan, keselamatan bangsa dan bernegara di


atas kepentingan pribadi atau golongan.
b. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
c. Cinta tanah air dan bangsa.
d. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia.
e. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang berbhineka tunggal ika.

4. Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, cara
pengamalannya :

a. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.


b. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
c. Dengan itikad yang baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil
putusan musyawarah.
d. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.

5. Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, cara pengamalannya :

a. Bersikap adil.
b. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
c. Menghormati hak-hak orang lain.
d. Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
e. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.

Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem etika tenggelam dalam hiruk-pikuk perebutan
kekuasaan yang menjurus kepada pelanggaran etika politik. Salah satu bentuk pelanggaran etika politik
adalah abuse of power, baik oleh penyelenggara negara di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan inilah yang menciptakan korupsi di berbagai kalangan
penyelenggara negara.

Sumber Sosiologis

Sumber sosiologis Pancasila sebagai sistem etika dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat
berbagai etnik di Indonesia. Misalnya, orang Minangkabau dalam hal bermusyawarah memakai prinsip
“bulat air oleh pembuluh, bulat kata oleh mufakat”. Masih banyak lagi mutiara kearifan local yang
bertebaran di bumi Indonesia sehingga memerlukan penelitian yang mendalam.

Sumber Politis

Sumber politis Pancasila sebagai sistem etika terdapat dalam norma-norma dasar sebagai sumber
penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hans Kelsen mengatakan bahwa teori
hokum itu suatunorma yang membentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya
dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak sifatnya, dan
sebaliknya, semakin rendah kedudukannya, akan semakin konkrit norma tersebut. Pancasila sebagai
system etika merupakan norma tertinggi yang sifatnya abstrak, sedangkan perundang-undangan
merupakan norma yang ada di bawahnya bersifat konkrit.
Etika politik mengatur masalah perilaku politikus, berhubungan juga dengan praktik institusi
social, hokum, komunitas, struktur-struktur social, politik, ekonomi. Etika politik memiliki tiga dimensi,
yaitu :

1. Dimensi Tujuan, terumuskan dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat dan hidup damai yang
didasarkan pada kebebasan dan keadilan.

2. Dimensi Sarana, memungkinkan pencapaian tujuan yang meliputi system dan prinsipprinsip dasar
pengorganisasian praktik penyelenggaraan negara dan yang mendasari institusi-institusi sosial.

3. Dimensi Aksi Politik, berkaitan dengan pelaku pemegang peran sebagai pihak yang menentukan
rasionalitas politik.Rasionalitas politikterdiri atas rasionalitas tindakan dan keutamaan. Tindakan politik
dinamakan rasional bila pelaku mempunyai orientasi situasi dan paham permasalahan.

Mendeskripsikan Esensi Dan Urgensi Pancasila Sebagai Sistem Etika Esensi Pancasila sebagai
Sistem Etika Hakikat Pancasila sebagai system etika terletak pada hal-hal sebagai berikut :

1. Hakikat sila ketuhanan terletak pada keyakinan bangsa Indonesia bahwa Tuhan sebagai penjamin
prinsip-prinsip moral. Artinya, setiap perilaku warga negara harus didasarkan atas nilai-nilai moral yang
bersumber pada norma agama. Setiap prinsip moral yang berlandaskan pada norma agama, maka prinsip
tersebut memiliki kekuatan untuk dilaksanakan oleh pengikut-pengikutnya.

2. Hakikat sila kemanusiaan terletak pada actus humanus, yaitu tindakan manusai yang mengandung
implikasi dan konsekuensi moral yang dibedakan dengan actus homini, yaitu tindakan manusia yang
biasa. Tindakan kemanusiaan yang mengandung implikasi moral diungkapkan dengan cara dan sikap
yang adil dan beradab sehingga menjamin tata pergaulan antarmanusia dan antarmakhluk yang
bersendikan nilai-nilai kemanusiaan yang tertinggi, yaitu kebajikan dan kearifan.

3. Hakikat sila persatuan terletak pada kesediaan untuk hidup bersama sebagai warga bangsa yang
mementingkan masalah bangsa diatas kepentingan individu atau kelompok. System etika yang
berlandaskan pada semangat kebersamaan, solidaritas social akan melahirkan kekuatan untuk menghadapi
penetrasi nilai yang bersifat memecah belah bangsa.

4. Hakikat sila kerakyatan terletak pada prinsip musyawarah untuk mufakat,. Artinya, menghargai diri
sendiri sama halnya dengan menghargai orang lain.

5. Hakikat sila keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan perwujudan dari sistem etika
yang tidak menekankan pada kewajiban semata atau menekankan pada tujuan belaka, tetapi lebih
menonjolkan keutamaan yang terkandung dalam nilai keadilan itu sendiri.

Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika Hal-hal penting yang sangat urgen bagi pengembangan
Pancasila sebagai system etika meliputi hal-hal sebagai berikut :

1. Meletakkan sila-sila Pancasila sebagai system etika berarti menempatkan Pancasila sebagai sumber
moral dan inspirasi bagi penentu sikap, tindakan, dan keputusan yang diambil setiap warga negara.

2. Pancasila sebagai system etika memberi guidance bagi setiap warga negara sehingga memiliki orientasi
yang jelas dalam tata pergaulan, baik local, nasional, regional, maupun internasional.
3. Pancasila sebagai system etika dapat menjadi dasar analisis bagi berbagai kebijakan yang dibuat oleh
penyelenggara negara sehingga tidak keluar dari semangat negara kebangsaan yang berjiwa Pancasila.

4. Pancasila sebagai system etika dapat menjadi filter untuk menyaring pluralitas nilai yang berkembang
dalam kehidupan masyarakat sebagai dampak globalisasi yang memengaruhi pemikiran warga negara.

6.Dasar Ontologis (Hakikat Manusia) Sila–sila Pancasila

Manusia sebagai pendukung pokok sila–sila pancasil secara ontologis memiliki hal–hal yg
mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa jasmani dan rohani, sifat kodrat manusia adalah
sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, serta keddukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi
berdiri sendiri dan sebagai makhluk tuhan yang maha esa. Oleh karena kedudukan kodrat manusia
sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk tuhan inilah maka secara hierarkis sila
pertama ketuhanan yg maha esa mendasari dan menjiwai keempat sila – sila pancasila yg lainnya
(Notonagoro, 1975:53).

1. Sila pertama : Tuhan adalah sebagai asal mula segala sesuatu, tuhan adalah mutlak, sempurna dan
kuasa, tidak berubah, tidak terbatas pula sebagai pengatur tata tertib alam (Notonagoro, 1975:78)

2. Sila kedua : kemanusiaan yg adil dan beradab, negara adalah lembaga kemanusiaan, yg diadakan oleh
manusia (Notonagoro, 1975:55)

3. Sila ketiga : persatuan indonesia. Persatuan adalah sebagai akibat adanya manusia sebagai makhluk
tuhan yg maha esa,adapun hasil persatuan adalah rakyat sehingga rakyat adalah merupakan unsur pokok
negara

4. Sila keempat : maka pokok sila keempat ialah kerakyatan yaitu kesesuaiannya dengan hakikat rakyat

5. Sila kelima : dengan demikian logikanya keadilan sosial didasari dan dijiwai oleh sila kedua yaitu
kemanusiaan yg adil dan beradab (Notonagoro, 1975:140,141)

Sebagai suatu ideologi maka pancasila memiliki tiga unsur pokok agar dapat menarik loyalitas dan
pendukungnya yaitu

1. Logos yaitu rasionalitas atau penalarannya

2. Pathos yaitu penghayatannya

3. Ethos yaitu kesusilaannya (wibisono, 1996:3)

Dasar epistemologis pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar
ontologisnya. Pancasila sebagai suatu ideologi bersumber pada nilai – nilai dasarnya yaitu filsafat
pancasilaa (Soeryanto, 1991:51). Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi yaitu:
pertama tentang sumber pengethuan manusia, kedua tentang teori kebenaran pengetahuan manusia, ketiga
tentang watak pengetahuan manusia (titus, 1984:20). Adapun potensi atau daya untuk meresapkan
pengetahuan atau dengan lain perkataan transformasi pengetahuan terdapat tingkatan sebagai berikut:
demonstrasi, imajinasi, asosiasi, analogi, refleksi, intuisi, inspirasi dan ilham (Notonagoro, tanpa tahun:3).
Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia
menggunakan ilmunya. Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti
sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Jujun
S.Suriasumantri mengartika aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh. Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada
pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial dan agama. sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu
yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan.

Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi
Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan
sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang siasia kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali
yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu dimanfaatkan di jalan yang tidak benar.

Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai. Artinya
pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu
masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya
meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana.

7.Pancasila Sebagai Sistem etika

Pancasila sebagai sistem etika diperlukan dalam kehidupan politik untuk mengatur sistem
penyelenggaraan negara. Bayangkan apabila dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara tidak ada
sistem etika yang menjadi guidance atau tuntunan bagi para penyelenggara negara, niscaya negara akan
hancur. Beberapa alasan mengapa Pancasila sebagai sistem etika itu diperlukan dalam penyelenggaraan
kehidupan bernegara di Indonesia, meliputi hal-hal sebagai berikut:

Pertama, korupsi akan bersimaharajalela karena para penyelenggara negara tidak memiliki
rambu-rambu normatif dalam menjalankan tugasnya. Para penyelenggara negara tidak dapat membedakan
batasan yang boleh dan tidak, pantas dan tidak, baik dan buruk (good and bad). Pancasila sebagai sistem
etika terkait dengan pemahaman atas kriteria baik (good) dan buruk (bad). Archie Bahm dalam Axiology
of Science, menjelaskan bahwa baik dan buruk merupakan dua hal yang terpisah. Namun, baik dan buruk
itu eksis dalam kehidupan manusia, maksudnya godaan untuk melakukan perbuatan buruk selalu muncul.
Ketika seseorang menjadi pejabat dan mempunyai peluang untuk melakukan tindakan buruk (korupsi),
maka hal tersebut dapat terjadi pada siapa saja. Oleh karena itu, simpulan Archie Bahm, ”Maksimalkan
kebaikan, minimalkan keburukan” (Bahm, 1998: 58).

Kedua, dekadensi moral yang melanda kehidupan masyarakat, terutama generasi muda sehingga
membahayakan kelangsungan hidup bernegara. Generasi muda yang tidak mendapat pendidikan karakter
yang memadai dihadapkan pada pluralitas nilai yang melanda Indonesia sebagai akibat globalisasi
sehingga mereka kehilangan arah. Dekadensi moral itu terjadi ketika pengaruh globalisasi tidak sejalan
dengan nilai-nilai Pancasila, tetapi justru nilai-nilai dari luar berlaku dominan. Contoh-contoh dekadensi
moral, antara lainpenyalahgunaan narkoba, kebebasan tanpa batas, rendahnya rasa hormat kepada orang
tua, menipisnya rasa kejujuran, tawuran di kalangan para pelajar. Kesemuanya itu menunjukkan
lemahnya tatanan nilai moral dalam kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila sebagai
sistem etika diperlukan kehadirannya sejak dini, terutama dalam bentuk pendidikan karakter di sekolah-
sekolah.

Ketiga, pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan bernegara di Indonesia
ditandai dengan melemahnya penghargaan seseorang terhadap hak pihak lain. Kasus-kasus pelanggaran
HAM yang dilaporkan di berbagai media, seperti penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga (PRT),
penelantaran anak-anak yatim oleh pihak-pihak yang seharusnya melindungi, kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT), dan lain-lain. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap nilai-
nilai Pancasila sebagai sistem etika belum berjalan maksimal. Oleh karena itu, di samping diperlukan
sosialisasi sistem etika Pancasila, diperlukan pula penjabaran sistem etika ke dalam peraturan perundang-
undangan tentang HAM.

Keempat, kerusakan lingkungan yang berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan manusia,
seperti kesehatan, kelancaran penerbangan, nasib generasi yang akan datang, global warming, perubahan
cuaca, dan lain sebagainya. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa kesadaran terhadap nilai-nilai
Pancasila sebagai sistem etika belum mendapat tempat yang tepat di hati masyarakat. Masyarakat
Indonesia dewasa ini cenderung memutuskan tindakan berdasarkan sikap emosional, mau menang sendiri,
keuntungan sesaat, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan dari perbuatannya. Contoh yang paling
jelas adalah pembakaran hutan di Riau sehingga menimbulkan kabut asap. Oleh karena itu, Pancasila
sebagai sistem etika perlu diterapkan ke dalam peraturan perundang-undangan yang menindak tegas para
pelaku pembakaran hutan, baik pribadi maupun perusahaan yang terlibat.

Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai Sistem Etika

Argumen tentang Dinamika Pancasila sebagai Sistem Etika. Beberapa argumen tentang dinamika
Pancasila sebagai sistem etika dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dapat diuraikan sebagai
berikut:

Pertama, pada zaman Orde Lama, pemilu diselenggarakan dengan semangat demokrasi yang
diikuti banyak partai politik, tetapi dimenangkan empat partaipolitik, yaitu Partai Nasional Indonesia
(PNI), Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI), Partai Nahdhatul Ulama (PNU), dan Partai Komunis
Indonesia (PKI). Tidak dapat dikatakan bahwa pemerintahan di zaman Orde Lama mengikuti sistem etika
Pancasila, bahkan ada tudingan dari pihak Orde Baru bahwa pemilihan umum pada zaman Orde Lama
dianggap terlalu liberal karena pemerintahan Soekarno menganut sistem demokrasi terpimpin, yang
cenderung otoriter.

Kedua, pada zaman Orde Baru sistem etika Pancasila diletakkan dalam bentuk penataran P-4.
Pada zaman Orde Baru itu pula muncul konsep manusiaIndonesia seutuhnya sebagai cerminan manusia
yang berperilaku dan berakhlak mulia sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Manusia Indonesia seutuhnya
dalam pandangan Orde Baru, artinya manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang
secara kodrati bersifat monodualistik, yaitu makhluk rohani sekaligus makhluk jasmani, dan makhluk
individu sekaligus makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk pribadi memiliki emosi yang memiliki
pengertian, kasih sayang, harga diri, pengakuan, dan tanggapan emosional dari manusia lain dalam
kebersamaan hidup. Manusia sebagai mahluk sosial, memiliki tuntutan kebutuhan yang makin maju dan
sejahtera. Tuntutan tersebut hanya dapat terpenuhi melalui kerjasama dengan orang lain, baik langsung
maupun tidak langsung. Oleh karena itulah, sifat kodrat manusia sebagai mahluk individu dan sosial
harus dikembangkan secara selaras, serasi, dan seimbang (Martodihardjo 1993: 171). Manusia Indonesia
seutuhnya (adalah makhluk mono-pluralis yang terdiri atas susunan kodrat: jiwa dan raga; Kedudukan
kodrat: makhluk Tuhan dan makhluk berdiri sendiri; sifat kodrat: makhluk sosial dan mahluk individual.
Keenam unsur manusia tersebut saling melengkapi satu sama lain dan merupakan satu kesatuan yang
bulat. Manusia Indonesia menjadi pusat persoalan, pokok dan pelaku utama dalam budaya Pancasila.
(Notonagoro dalam Asdi, 2003: 17-18).

Ketiga, sistem etika Pancasila pada era reformasi tenggelam dalam eforia demokrasi. Namun
seiring dengan perjalanan waktu, disadari bahwa demokrasi tanpa dilandasi sistem etika politik akan
menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan, serta machiavelisme (menghalalkan segala cara untuk
mencapi tujuan). Sofian Effendi, Rektor Universitas Gadjah Mada dalam sambutan pembukaan
Simposium Nasional Pengembangan Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan
Nasional (2006: xiv) mengatakan sebagai berikut.

“Bahwa moral bangsa semakin hari semakin merosot dan semakin hanyut dalam arus
konsumerisme, hedonisme, eksklusivisme, dan ketamakan karena bangsa Indonesia tidak
mengembangkan blueprint yang berakar pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa”.

8.Argumen tentang Tantangan Pancasila sebagai Sistem Etika

Hal-hal berikut ini dapat menggambarkan beberapa bentuk tantangan terhadap sistem etika Pancasila.

Pertama, tantangan terhadap sistem etika Pancasila pada zaman Orde Lama berupa sikap otoriter
dalam pemerintahan sebagaimana yang tercermin dalam penyelenggaraan negara yang menerapkan
sistem demokrasi terpimpin. Hal tersebut tidak sesuai dengan sistem etika Pancasila yang lebih
menonjolkan semangat musyawarah untuk mufakat.

Kedua, tantangan terhadap sistem etika Pancasila pada zaman Orde Baru terkait dengan masalah
NKK (Nepotisme, Kolusi, dan Korupsi) yang merugikan penyelenggaraan negara. Hal tersebut tidak
sesuai dengan keadilan sosial karena nepotisme, kolusi, dan korupsi hanya menguntungkan segelintir
orang atau kelompok tertentu.

Ketiga, tantangan terhadap sistem etika Pancasila pada era Reformasi berupa eforia kebebasan
berpolitik sehingga mengabaikan norma-norma moral. Misalnya, munculnya anarkisme yang
memaksakan kehendak dengan mengatasnamakan kebebasan berdemokrasi.

9.Hakekat Pancasila

Kata ‘hakikat’ dapat didefinisikan sebagai suatu inti yang terdalam dari segala sesuatu yang
terdiri dari sejumlah unsur tertentu yang mewujudkan sesuatu tersebut, sehingga terpisah dengan sesuatu
lain dan bersifat mutlak. Contohnya pada hakikat air yang tersusun atas dua unsur mutlak, yaitu hidrogen
dan oksigen. Kebersatuan kedua unsur tersebut bersifat mutlak untuk membentuk air. Artinya kedua
unsur tersebut secara bersamasama menyusun air sehingga terpisah dari benda yang lainnya, misalnya
dengan batu,kayu, dan lain sebagainya.

Terkait dengan hakikat sila-sila pancasila, pengertian kata ‘hakikat’ dapat dipahami dalam tiga kategori
yaitu :
1. Hakikat Abstrak yang disebut sebagai hakikat jenis atau hakikat umum yang mengandungunsur-unsur
yang sama, tetap dan tidak berubah. Hakikat abstrak sila-sila Pancasila menunjuk pada kata: ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang dibubuhi
awalan dan akhiran ke dan an ( sila I,II,IV, dan V) sedangkan yang satunya per dan an (sila ke III).
Awalan dan akhiran ini memiliki kesamaan dalam maksudnya yang pokok, ialah membuat abstrak
daripada kata dasarnya

2. Hakikat Pribadi sebagai hakikat yang memiliki sifat khusus. Hakikat pribadi Pancasila menunjuk pada
ciri-ciri khusus sila-sila Pancasila yang ada pada bangsa Indonesia, yaitu adat istiadat, nilai-nilai agama,
nilai-nilai kebudayaan, sifat dan karakter yang melekat pada bangsa indonesia sehingga membedakan
bangsa indonesia dengan bangsa yang lainnya.

3. Hakikat Kongkrit yang bersifat nyata sebagaimana dalam kenyataannya. Hakikat kongkrit Pancasila
terletak pada fungsi Pancasila sebagai dasar filsafat negara.

Dalam realisasinya, pancasila adalah pedoman praktis, yaitu dalam wujud pelaksanaan praktis dalam
kehidupan negara, bangsa dan negara Indonesia yang sesuai dengan kenyataan sehari hari, tempat,
keadaan dan waktu. Sehingga pelaksanaan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari bersifat dinamis,
antisipatif, dan sesuai dengan perkembangan waktu, keadaan, serta perubahan zaman.

Pancasila yang berisi lima sila, menurut Notonagoro (1967:32) merupakan satu kesatuan utuh. Kesatuan
sila-sila Pancasila tersebut, diuraikan sebagai berikut:

A. Diungkapkan oleh Notonagoro (1984: 61 dan 1975: 52, 57) bahwa hakikat adanya Tuhan ada karena
dirinya sendiri, Tuhan sebagai causa prima. Oleh karena itu segala sesuatu yang ada merupakan akibat
sebagi adanya tuhan (sila pertama). Adapun manusia sebagai subjek ciptaan manusia pendukung pokok
negara, karena negara adalah lambang kemanusiaan, negara adalah sebagai persekutuan hidup bersama
yang anggotanya adalah manusia (sila kedua). Dengan demikian, negara adalah sebagai akibat adanya
manusia yang bersatu (sila ketiga). Selanjutnya terbentuklah persekutuan hidup yang dinamakan rakyat.
Rakyat merupakan totalitas individuindividu dalam negara yang bersatu (sila keempat). Adapun keadilan
yang pada hakikatnya merupakan tujuan bersama atau keadilan sosial (sila kelima) pada hakikatnya
sebagai tujuan dari lembaga hidup bersama yang disebut negara.

B. Hubungan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan mengkualifikasi silasila Pancasila
sebagai kesatuan dapat dirumuskan pula dalam hubungannya saling mengisi atau mengkualifikasi dalam
kerangka hubungan hirarkis piramidal seperti diatas. Dalam rumusan ini, tiap-tiap sila mengandung empat
sila lainnya. Berikut disampaikan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan mengkualifikasi. 1.
Sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab,
yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Sila kedua; Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab adalah kemanusiaan yang berKetuhanan Yang Maha
Esa, yang berpesatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Sila ketiga; Persatuan Indonesia adalah persatuan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
berkemanusiaan yang adil dan beradab, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.

4. Sila keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, adalah
kerakyatan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, Berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berpersatuan Indonesia, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

5. Sila kelima; Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah keadilan yang ber-Ketuhanan Yang
Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan bearadab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat dalam permusyawaratan/ perwakilan (Notonagoro, 1975:43-44)

BAB III

PENUTUP

1.Kesimpulan

apa yang telah dijelaskan di atas, Pancasila merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, karena dalam
masing-masing sila tidak bisa di tukar tempat atau dipindah. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan
pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia. Dan filsafat merupakan suatu ilmu pengetahuan karena
memiliki logika, metode dan sistem. Pancasila dikatakan sebagai filsafat dikarenakan pancasila
merupakan hasil perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh para pendahulu kita, yang
kemudian dituangkan dalam suatu sistem yang tepat, dimana pancasila memiliki hakekatnya tersendiri
yang terbagi menjadi lima sesuai dengan kelima sila-silanya tersebut.

Adapun yang mendasari Pancasila adalah dasar Ontologist (Hakikat Manusia), dasar Epistemologis
(Pengetahuan), dasar Aksiologis (Pengamalan Nilai-Nilainya)..

Pancasila dan etika adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena merupakan suatu sistem yang
membentuk satu kesatuan yang utuh, saling berkaitan satu dengan yang lain yang dijadikan pedoman
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Implementasi Pancasila sebagai sistem etika dapat terwujud apabila pemerintah dan masyarakat dapat
menerapkan nilai-nilai yang ada dalam pancasila dengan mengedepankan prinsip keseimbangan antara
hak dan kewajiban.

Pancasila sebagai sistem etika adalah cabang filsafat yang dijabarkan dari sila-sila Pancasila untuk
mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Oleh karena itu, di
dalam etika Pancasila terkandung nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan
keadilan. Kelima nilai tersebut membentuk perilaku manusia Indonesia dalam semua aspek
kehidupannya.

Pentingnya pancasia sebagai sistem etika bagi bangsa Indonesia ialah menjadi rambu normatif untuk
mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Dengan demikian,
pelanggaran dalam kehidupan bernegara, seperti korupsi (penyalahgunaan kekuasaan) dapat
diminimalkan.

2.Saran

Saran yang dapat dipetik dari materi ini adalah agar seluruh masyarakat mengetahui seberapa penting
Pancasila dan dapat mengamalkan nilai-nilai sila dari pancasila dengan baik & benar, serta tidak
melecehkan arti penting pancasila.

DAFTAR PUSTAKA

Heri Herdiawanto dan Jumanta Hamdayama, 2010. Cerdas, Kritis, Dan Aktif Berwarganegara
(Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi). ERLANGGA : Jakarta.

Kaelan,M.S. 2016. Pendidikan Pancasila (Pendidikan Untuk Mewujudkan Nilai-nilai Pancasila, Rasa
Kebangsaan dan Cita-cita Tanah Air Sesuai Dengan SK. Dirjen DIKTI

NO.43/DIKTI/KEP/2006 Sesuai Dengan KKNI bdg PT 2013). PARADIGMA :

Yogyakarta.

I Wayan Windia, I Gede Sutrisna, Wayan Kesieg, Adi Wisnyana dan Wirya Agung.2014.Modul Pendidikan
Pancasila Dalam Membangun Karakter Bangsa. UDAYANA PRESS : Kampus Sudirman Denpasar xxii

Chandrawinata, Andhyn. ______. Pengertian Pancasila Secara Etimologis, Historis, & Terminologis.
http://pancasila.weebly.com/pengertian-pancasila.html. Diakses pada tanggal 3 Maret 2017.

Maulidi, Achmad. 2016. Pengertian Filsafat (Filosofi).

http://www.kanalinfo.web.id/2016/08/pengertian-filsafat-filosofi.html. Diakses pada tanggal 3 Maret


2017.

Dwi Tama, Rizco.2012. Pengertian Filsafat Pancasila, Objek, Cabang Filsafat dan Kedudukan Dalam Ilmu-
ilmu Lain. http://icounipa.blogspot.co.id/2012/04/pengertian-filsafatpancasila-objek.html. Diakses pada
tanggal 3 Maret 2017.

Anda mungkin juga menyukai