Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MANDIRI BEDAH

20 TOPIK KASUS KLINIS ILMU PENYAKIT BEDAH


TORSIO TESTIS

Disusun oleh:
Ezra Sari Setyaningrum
G4A020003

Pembimbing:
dr. Ahmad Fawzy Mas’ud, Sp. BP-RE

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2021
A. Definisi

Torsio testis adalah suatu keadaan dimana spermatic cord yang terpeluntir yang

mengakibatkan terjadinya strangulasi dari pembuluh darah. Terjadi pada pria

yang jaringan di sekitar testisnya tidak melekat dengan baik ke skrotum. Testis

dapat infark dan mengalami atrofi jika tidak mendapatkan aliran darah lebih

dari enam jam.

Gambar. Torsio Testis (http://herrysetyayudha.wordpress.com)

B. Etiologi

Penyebab dari torsio testis masih belum diketahui dengan pasti. Trauma

terhadap scrotum bisa merupakan factor pencetus, sehingga torsio harus

dipertimbangkan pada pasien dengan keluhan nyeri setelah trauma bahkan pada

trauma yang tampak kurang signifikan sekalipun. Dikatakan pula bahwa

spasme dan kontraksi dari otot kremaster dan tunica dartos bisa pula menjadi

faktor pencetus.
Torsio testis lebih sering terjadi pada musim dingin, terutama pada

temperature di bawah 2C. Faktor predisposisi lain terjadinya torsio meliputi

peningkatan volume testis (sering dihubungkan dengan pubertas), tumor testis,

testis yang terletak horisontal, riwayat kriptorkismus, dan pada keadaan dimana

spermatic cord intrascrotal yang panjang.

Torsio testis terjadi bila testis dapat bergerak dengan sangat bebas.

Pergerakan yang bebas tersebut ditemukan pada keadaan-keadaan sebagai

berikut :

1. Mesorchium yang panjang.

2. Kecenderungan testis untuk berada pada posisi horizontal.

3. Epididimis yang terletak pada salah satu kutub testis.

Selain gerak yang sangat bebas, pergerakan berlebihan pada testis juga

dapat menyebabkan terjadinya torsio testis. Beberapa keadaan yang dapat

menyebabkan pergerakan berlebihan itu antara lain ; perubahan suhu yang

mendadak (seperti saat berenang), ketakutan, latihan yang berlebihan, batuk,

celana yang terlalu ketat, defekasi atau trauma yang mengenai scrotum.

C. Klasifikasi

Pada masa janin dan neonatus, lapisan yang menempel pada muskulus

dartos masih belum banyak jaringan penyangganya sehingga testis, epididimis

dan tunika vaginalis mudah sekali bergerak dan memungkinkan untuk

terpeluntir pada sumbu funikulus spermatikus. Terpeluntirnya testis pada

keadaan ini disebut torsio testis ekstravaginal.


Gambar. Klasifikasi Torsio Testis (http://herrysetyayudha.wordpress.com)

Terjadinya torsio testis pada masa remaja banyak dikaitkan dengan

kelainan sistem penyangga testis. Tunika vaginalis yang seharusnya

mengelilingi sebagian dari testis pada permukaan anterior dan lateral testis,

pada keadaan ini tunika mengelilingi seluruh permukaan testis sehingga

mencegah insersi epididimis ke dinding skrotum. Keadaan ini menyebabkan

testis dan epididimis dengan mudahnya bergerak di kantung tunika vaginalis

dan menggantung pada funikulus spermatikus. Keadaan ini dikenal sebagai

anomali bell clapper. Keadaan ini menyebabkan testis mudah mengalami torsio

intravaginal.

D. Patogenesis

Terdapat 2 jenis torsio testis berdasarkan patofisiologinya yaitu

intravagina dan ekstravagina torsio.

1. Torsio intravagina terjadi di dalam tunika vaginalis dan disebabkan oleh

karena abnormalitas dari tunika pada spermatic cord di dalam scrotum.


Secara normal, fiksasi posterior dari epididymis dan investment yang tidak

komplet dari epididymis dan testis posterior oleh tunika vaginalis

memfiksasi testis pada sisi posterior dari scrotum. Kegagalan fiksasi yang

tepat dari tunika ini menimbulkan gambaran bentuk ‘bell-clapper’

deformitas, dan keadaan ini menyebabkan testis mengalami rotasi pada

cord sehingga potensial terjadi torsio. Torsio ini lebih sering terjadi pada

usia remaja dan dewasa muda.

2. Ekstravagina torsio terjadi bila seluruh testis dan tunika terpuntir pada axis

vertical sebagai akibat dari fiksasi yang tidak komplet atau non fiksasi dari

gubernakulum terhadap dinding scrotum, sehingga menyebabkan rotasi

yang bebas di dalam scrotum. Kelainan ini sering terjadi pada neonatus dan

pada kondisi undesensus testis.

E. Gejala dan tanda klinis

Gejala pertama dari torsio testis adalah hampir selalu nyeri. Gejala ini

bisa timbul mendadak atau berangsur-angsur, tetapi biasanya meningkat

menurut derajat kelainan. Riwayat trauma didapatkan pada 20% pasien, dan

lebih dari sepertiga pasien mengalami episode nyeri testis yang berulang

sebelumnya. Derajat nyeri testis umumnya bervariasi dan tidak berhubungan

dengan luasnya serta lamanya kejadian.

Pembengkakan dan eritema pada scrotum berangsur-angsur muncul.

Dapat pula timbul nausea dan vomiting, kadang-kadang disertai demam ringan.

Gejala yang jarang ditemukan pada torsio testis ialah rasa panas dan terbakar
saat berkermih, dan hal ini yang membedakan dengan orchio-epididymitis.

Gejala lain yang berhubungan dengan keadaan ini, seperti nyeri perut bagian

bawah, dan pembengkakkan testis.

Pada awal proses, belum ditemukan pembengkakan pada scrotum. Testis

yang infark dapat menyebabkan perubahan pada scrotum. Scrotum akan sangat

nyeri kemerahan dan bengkak. Pasien sering mengalami kesulitan untuk

menemukan posisi yang nyaman.

Selain  nyeri pada sisi testis yang mengalami torsio, dapat juga ditemukan

nyeri alih di daerah inguinal atau abdominal. Jika testis yang mengalami torsio

merupakan undesendensus testis, maka gejala yang yang timbul menyerupai

hernia strangulata.

F. Diagnosis

Anamnesis

Pasien datang dengan keluhan hampir selalu nyeri pada perut bagian

bawah, bisa mendadak ataupun bertahap semakin lama, semakin nyeri,

pembengkakkan scrotum, adanya riwayat trauma.

Pemeriksaan Fisik

Testis yang mengalami torsio pada scrotum akan tampak bengkak dan

hiperemis. Eritema dan edema dapat meluas hingga scrotum sisi kontralateral.

Testis yang mengalami torsio juga akan terasa nyeri pada palpasi. Jika pasien

datang pada keadaan dini, dapat dilihat adanya testis yang terletak transversal

atau horizontal, Kadang-kadang pada torsio testis yang baru terjadi, dapat
diraba adanya lilitan atau penebalan funikulus spermatikus. Keadaan ini

biasanya tidak disertai dengan demam. Seluruh testis akan bengkak dan nyeri

serta tampak lebih besar bila dibandingkan dengan testis kontralateral, oleh

karena adanya kongesti vena. Testis juga tampak lebih tinggi di dalam scotum

disebabkan karena pemendekan dari spermatic cord. Hal tersebut merupakan

pemeriksaan yang spesifik dalam menegakkan dianosis. Biasanya nyeri juga

tidak berkurang bila dilakukan elevasi testis (Prehn sign).

Pemeriksaan fisik yang paling sensitif pada torsio testis ialah hilangnya

refleks cremaster. Dalam satu literatur disebutkan bahwa pemeriksaan ini

memiliki sensitivitas 99% pada torsio testis.

Pemeriksaan Penunjang

Pada umumnya pemeriksaan penunjang hanya diperlukan bila diagnosis

torsio testis masih meragukan atau bila pasien tidak menunjukkan bukti klinis

yang nyata. Dalam hal ini diperlukan guna menentukan diagnosa banding pada

keadaan akut scrotum lainnya. Urinalisis biasanya dilakukan untuk

menyingkirkan adanya infeksi pada traktus urinarius. Pemeriksaan darah

lengkap dapat menunjukkan hasil yang normal atau peningkatan leukosit pada

60% pasien. Namun pemeriksaan ini tidak membantu dan sebaiknya tidak rutin

dilakukan. Adanya peningkatan acute-fase protein (dikenal sebagai CRP) dapat

membedakan proses inflamasi sebagai penyebab akut scrotum.

Modalitas diagnostik yang paling sering digunakan ialah Doppler

ultrasonografi (USG Doppler) digunakan untuk menilai aliran darah ke testis.

Ultrasonografi Doppler berwarna merupakan pemeriksaan noninvasif yang


keakuratannya kurang lebih sebanding dengan pemeriksaan nuclear scanning.

Ultrasonografi Doppler berwarna dapat menilai aliran darah, dan dapat

membedakan aliran darah intratestikular dan aliran darah dinding scrotum. Alat

ini juga dapat digunakan untuk memeriksa kondisi patologis lain pada scrotum.

G. Rencana tata kelola sebagai dokter umum

Reduksi manual

Torsio testis memerlukan diagnose yang cepat agar pemulihan aliran

darah dapat segera dilakukan. Keadaan ini memerlukan eksplorasi pembedahan.

Pada waktu yang sama ada kemungkinan untuk melakukan reposisi testis secara

manual (detorsi manual) sehingga dapat dilakukan operasi elektif selanjutnya.

Namun, biasanya tindakan ini sulit dilakukan oleh karena sering menimbulkan

nyeri akut selama manipulasi.

Pada umumnya terapi dari torsio testis tergantung pada interval dari onset

timbulnya nyeri hingga pasien datang. Jika pasien datang dalam 4 jam

timbulnya onset nyeri, maka dapat diupayakan tindakan detorsi manual dengan

anestesi lokal. Prosedur ini merupakan terapi non invasif yang dilakukan

dengan sedasi intravena menggunakan anestesi lokal (5 ml Lidocain atau

Xylocaine 2%). Sebagian besar torsio testis terjadi ke dalam dan ke arah

midline, sehingga detorsi dilakukan keluar dan ke arah lateral. Metode tersebut

dikenal dengan metode “open book” (untuk testis kanan), Karena gerakannya

seperti membuka buku. Bila berhasil, nyeri yang dirasakan dapat menghilang.

Detorsi manual merupakan cara terbaik untuk memperpanjang waktu


menunggu tindakan pembedahan. Selain itu, biasanya torsio terjadi lebih dari

360o, sehingga diperlukan lebih dari satu rotasi untuk melakukan detorsi penuh

terhadap testis yang mengalami torsio.

Tindakan non operatif ini tidak menggantikan explorasi pembedahan. Jika

detorsi manual berhasil, maka selanjutnya tetap dilakukan orchidopexy elektif

dalam waktu 48 jam. Dalam literatur disebutkan bahwa tindakan detorsi manual

hanya memberikan angka keberhasilan 26,5%. Sedangkan penelitian lain

menyebutkan angka keberhasilan pada 30-70% pasien.

Pembedahan

Torsio testis merupakan kasus emergensi, harus dilakukan segala upaya

untuk mempercepat proses pembedahan. Hasil pembedahan tergantung dari

lamanya iskemia, oleh karena itu, waktu sangat penting. Biasanya waktu

terbuang untuk pemeriksaan pencitraan, laboratorium, atau prosedur diagnostik

lain yang mengakibatkan testis tak dapat dipertahankan.

Tujuan dilakukannya eksplorasi yaitu:

1. Untuk memastikan diagnosis torsio testis

2. Melakukan detorsi testis yang torsio

3. Memeriksa apakah testis masih viable

4. Membuang apakah (jika testis sudah nonviable) atau memfiksasi jika testis

masih viable

5. Memfiksasi testis kontralateral

Perbedaan pendapat mengenai tindakan eksplorasi antara lain disebabkan

oleh kecilnya kemungkinan testis masih viable jika torsio sudah berlangsung
lama (>24-48 jam). Sebagian ahli masih mempertahankan pendapatnya untuk

tetap melakukan eksplorasi dengan alasan medikolegal, yaitu eksplorasi

dibutuhkan untuk membuktikan diagnosis, untuk menyelamatkan testis (jika

masih mungkin), dan untuk melakukan orkidopeksi pada testis kontralateral.

Eksplorasi pembedahan dilakukan melalui insisi scrotal midline untuk

melihat testis secara langsung dan guna menghindari trauma yang mungkin

ditimbulkan bila dilakukan insisi inguinal. Tunika vaginalis dibuka hingga

tampak testis yang mengalami torsio. Selanjutnya testis direposisi dan

dievaluasi viabilitasnya. Jika testis masih viabel dilakukan fiksasi orchidopexy,

namun jika testis tidak viabel maka dilakukan orchidectomy guna mencegah

timbulnya komplikasi infeksi serta potensial autoimmune injury pada testis

kontralateral. Oleh karena abnormalitas anatomi biasanya terjadi bilateral, maka

orchidopexy pada testis kontralateral sebaiknya juga dilakukan untuk mencegah

terjadinya torsio di kemudian hari.

H. Edukasi pasien

Edukasi pasien dengan torsio testis meliputi pentingnya pemeriksaan testis

yang akan dilakukan. Informed consent harus dilakukan dengan baik sebelum

pemeriksaan genitalia yang dilakukan. Pasien juga harus mengetahui

pentingnya kecepatan mendapatkan tata laksana dan prognosis pasien.

Kemungkinan adanya deformitas alat kelamin akibat kehilangan testis atau

atrofi testis harus diberitahukan serta efek sampingnya, seperti gangguan psikis,

gangguan hormon, abnormalitas tanda pubertas sekunder, dan infertilitas.


Pasien dengan riwayat torsio testis juga sering kali mengalami rekurensi,

meskipun telah dilakukan operasi untuk fiksasi testis.2

Pencegahan torsio testis dapat dilakukan dengan cara melakukan skrining

pemeriksaan testis pada seluruh neonatus laki-laki. Pasien-pasien dengan

kelainan kongenital, seperti kriptorkismus, deformitas bell clapper, undesensus

testis, dan lainnya memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami torsio testis,

sehingga memerlukan pemeriksaan lebih ketat dan dirujuk ke dokter spesialis

urologi untuk mendapatkan penanganan. Pasien dengan torsio testis intermiten

juga sebaiknya disarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lebih lanjut ke

dokter spesialis urologi.3

Pencegahan sekunder pada pasien-pasien yang mengalami torsio testis juga

dapat dilakukan dengan cara melakukan orkidopeksi pada testis kontralateral

saat dilakukan pembedahan. Pasien-pasien yang mengalami orkidopeksi juga

dapat mengalami rekurensi, sehingga diperlukan penggunaan benang jahit yang

adekuat.3
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran – EGC. 2004. 799.

2. Kaplan G, Minevich E, Kenny S. 2018. Testicular torsion. BMJ Best Pract.

3. Karaguzel E, Kadihasanoglu M, Kutlu O. 2014. Mechanisms of testicular torsion

and potential protective agents. Nat Rev Urol.

Anda mungkin juga menyukai