Anda di halaman 1dari 25

TUTORIAL

MANAGEMENT OF RESPIRATORY FAILURE

PEMBIMBING :
dr. Edwin Haposan Martua, Sp. An, M.Kes, AIFO

DISUSUN OLEH :

Antoro Rekso Samudro 2016730015


Annisa Nur Rahmalia 2016730013
Balqis Al Sakina Zahra 2016730022
M. Rifaldi Nabiu 2016730061
Sherly Astuti 2016730099
Muhammad Subarkah 2016730069

KEPANITERAAN STASE ANESTESI RSUD SEKARWANGI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

6 DESEMBER 2021 – 26 DESEMBER 2021


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayat,
serta kesehatan yang telah diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
tutorial yang berjudul “Management of Respiratory Failure” sesuai pada waktu yang
telah ditentukan. Laporan ini penulis buat sebagai dasar kewajiban dari suatu proses
kegiatan yang penulis lakukan yang kemudian diaplikasikan dalam bentuk praktik
kehidupan sehari-hari.

Terimakasih penulis ucapkan kepada dokter pembimbing stase anestesi di RSUD


Sekarwangi, dr. Edwin Haposan Martua, Sp. An, M.Kes, AIFO, yang telah membantu
dalam kelancaran pembuatan laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat khususnya
bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya. Penulis harapkan kritik dan saran dari para
pembaca untuk menambah kesempurnaan laporan penulis. Akhir kata penulis ucapkan
terima kasih.

Wassalamualaikum wr. wb

Sukabumi, Desember 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................................5
A. Definisi Gagal Nafas...............................................................................................................5
B. Klasifikasi Gagal Nafas............................................................................................................5
C. Etiologi Gagal Napas..............................................................................................................6
D. Manifestasi Klinis...................................................................................................................8
E. Diagnosis Klinis Gagal Nafas...................................................................................................9
..............................................................................................................
a. Kriteria Dianosis2 10
b. Pemeriksaan Fisik.............................................................................................................10
c. Pemeriksaan Penunnjang.................................................................................................11
F. Penatalaksanaan Gagal Nafas..............................................................................................12
..........................................................................................
a. Penatalaksanaan Jalan Nafas6 12
b. Terapi Oksigen.................................................................................................................16
c. Terapi Penyebab..............................................................................................................21
d. Indikasi dan Kontraindikasi Bantuan Ventilasi Mekanik non Invasif.................................22
BAB III KESIMPULAN........................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................25
BAB I
PENDAHULUAN

Respirasi adalah pertukaran gas antara makhluk hidup dengan lingkungannya,


sedangkan peran dan fungsi respirasi adalah menyediakan oksigen (O 2) serta mengeluarkan
gas karbondioksida (CO2) dari tubuh. Fungsi respirasi merupakan fungsi yang vital bagi
kehidupan, dimana O2 merupakan sumber tenaga bagi tubuh yang harus dipasok secara
terus- menerus, sedangkan CO2 merupakan bahan toksik yang harus dikeluarkan dari
tubuh.1

Distress pernapasan adalah suatu keadaan sistem respirasi melakukan kompensasi


untuk memperbaiki pertukaran gas yang menurun dalam paru serta mempertahankan
oksigenasi dan ventilasi.2

Gagal napas adalah suatu sindrom dimana sistem respirasi gagal untuk melakukan
pertukaran gas yaitu oksigenasi dan pengeluaran karbondioksida. Gagal napas dapat terjadi
secara akut atau kronis. Gagal napas akut adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa
dimana analisa gas darah arterial dan status asam basa berada dalam batas yang
2
membahayakan. Gagal napas kronik terjadi secara perlahan dan gejalanya kurang jelas.

Adanya kegagalan pernapasan dinyatakan apabila paru-paru tidak dapat lagi


memenuhi fungsi primernya dalam pertukaran gas, yaitu oksigenasi darah arteri dan
pembuangan karbondioksida. Ada beberapa tingkatan dari gagal pernapasan, dan dapat
terjadi secara akut atau secara kronik. Kegagalan pernapasan kronik menyatakan gangguan
fungsional jangka panjang yang menetap selama beberapa hari atau bulan dan
mencerminkan adanya proses patologis yang mengarah kepada kegagalan dan proses
komplikasi untuk menstabilkan keadaan. Gas-gas dalam darah dapat sedikit abnormal atau
dalam batas normal pada saat istirahat, tetapi dalam keadaan di mana kebutuhan meningkat
seperti pada sewaktu latihan maka gas-gas darah dapat jauh dari batas normal. Peningkatan
kerja pernapasan mengurangi cadangan pernapasan dan pengurangan aktivitas fisik adalah
dua mekanisme utama untuk mengatasi insufisiensi pernapasan kronik.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Gagal Napas


Gagal napas adalah suatu kondisi terjadinya kegagalan sistem pernapasan
pada fungsi pertukaran gas seperti oksigenasi dan atau eliminasi karbondioksida
dari darah vena. Gagal napas juga didefinisikan tekanan oksigen arteri (PaO2)< 60
mmHg (8.0 kPa) dan/atau tekanan karbondioksida arteri (PaCO2) > 45 mmHg (6.0
kPa).3
Gagal napas ditandai dengan hipoksemia dan/atau hiperkapnia. Berdasarkan
durasi gangguan pertukaran gas, dapat menjadi gagal napas akut dan gagal napas
kronik. Gagal napas biasanya disebabkan oleh ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
dan hipoventilasi alveolar.4

B. Klasifikasi Gagal Napas


Gagal napas diklasifikasikan menurut kelainan gas darah menjadi tipe 1 dan
tipe 2. Gagal napas tipe 1 atau gagal oksigenasi (hipoksemik), dikarakterisasi oleh
PaO2 yang rendah memiliki PaO2 <60 mmHg dengan PaCO2 normal atau
subnormal. Pada tipe ini, pertukaran gas terganggu pada tingkat membran aveolo-
kapiler. Hal ini disebabkan oleh kelainan yang memproduksi ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi atau terjadi pirau kanan ke kiri. Sebagai kompensasi terhadap
peningkatan ruang rugi alveolar terjadi peningkatan ventilasi semenit. Gagal napas
tipe 1 ini disebabkan oleh kelainan yang mengenai jalan napas, parenkim atau
vaskularisasi paru seperti ARDS, asma, atelektasis, edema paru, PPOK,
bronkiektasis dan sistik fibrosis. Contoh gagal napas tipe I adalah edema paru
karsinogenik atau non-kardiogenik dan pneumonia berat.4
Gagal napas pernapasan tipe 2 (hiperkapnik) atau gagal ventilasi didapat
penurunan ventilasi semenit sehingga didapat hipoventilasi alveolar, memiliki
PaCO2> 50 mmHg. Hipoksemia sering terjadi, dan ini disebabkan oleh kegagalan
pompa pernapasan. Gagal napas tipe 2 ini biasanya disebabkan oleh gangguan
susunan saraf pusat atau gangguan pengembangan paru.4
Gagal napas tipe 3, biasanya disebabkan oleh gagal napas tipe 1 yang tidak
dapat dikompensasi oleh ventilasi semenit. Pada tipe ini hanya beberapa penyakit
yang dapat menyebabkan retensi CO2. Selain itu, gagal napas diklasifikasikan
menurut onset, perjalanan, dan durasi menjadi akut, kronis, dan akut di atas gagal
napas kronis.4

Gambar 1. Klasifikasi Gagal Nafas3

C. Etiologi Gagal Napas

Penyebab gagal napas dapat digolongkan sesuai kelainan primernya dan


komponen sistem pernapasan. Gagal na dapat diakibatkan kelainan pada paru,
jantung, dinding dada, otot pernapasan, atau mekanisme pengendalian sentral
ventilasi di medula oblongata. Gagal nafas juga dapat diperkirakan penyababnya
berdasarkan onset kejadian.3,4
Tabel 1. Penyebab Gagal Napas berdasarkan Onset Kejadian3

Onset Penyebab Hipoventilasi Alveolar

Akut Penurunan fungsi Obat (sedative), penyakit susunan saraf pusat


saraf pusat (tensefalitis, stroke, trauma)

Gangguan transmisi Trauma saraf spinal, myelitis tranversal, tetanus,


neuromuskular dan amyotrophiclateral sclerosis, poliomyelitis,
neural sindroma Gullain-Barre, keracunan organofosfat,
keracunan bofulinum

Abnormalitas Distrofi muskular, atrofi, prematuritas


otot

Abnormalitas Hiperinflasi akut, trauma dinding dada


dinding dada
dan pleura

Penyakit paru Asma akut, penyakit paru obstruktif kronik,


dan jalan nafas eksaserbasi akut, pneumonia, obstruksi jalan
nafas atas, bronkiektasis

Lain-lain Sepsis, rejatan sirkulasi

Kronik Penyakit Paru dan Jalan Penyakit paru obstruktif kronik


Nafas (bronkitis, emfisema, bronkiektasis)

Abnormalitas Dinding Obesitas, kifoskoliosis, efusi pleura, gangguan


Dada neuromuskular

Penyakit Paru dan Polimiositis, skleroderma, SLE


Dinding Dada

Abnormalitas Susunan Hipoventilasi alveolar primer (Ondine's curse)


Saraf Pusat

Lain-lain Malnutrisi, gangguan elektrolit, kelainan endokrin


Pasien dengan gagal napas tipe hipoksemia sering disebabkan oleh kelainan
yang mempengaruhi parenkim paru meliputi jalan napas, ruang alveolar,
interstitial, dan sirkulasi pulmoner. Perubahan hubungan anatomis dan fisiologis
antara udara di alveolus dan darah di kapiler paru dapat menyebabkan gagal napas
tipe hipoksemia. Contoh: Penumonia bakterial, pneumonia viral, aspirasi isi
lambung, ARDS, emboli paru, asma, dan penyakit paru intersisial.3,4
Sedangkan pada gagal napas tipe hiperkapnia sering disebabkan oleh
kelainan yang mempengaruhi komponen non-paru dari sistem pernafasan yaitu
dinding dada, otot pernapasan, atau batang otak. Penyebabnya antara lain
kelemahan otot pernafasan, penyakit SSP yang menganggu sistem ventilasi, atau
kondisi yang mempengaruhi bentuk atau ukuran dinding dada seperti
kifoskloiosis.3,4

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi dari kegagalan pernapasan akut mencerminkan gabungan dari
gambaran klinis penyakit dasarnya, faktor-faktor pencetus, serta manifestasi
hipoksemia dan hiperkapnea. Dengan demikian gambaran klinisnya cukup
bervariasi karena berbagai faktor dapat menjadi pencetusnya. Ada atau tidaknya
insufisiensi pernapasan kronik yang mendahuluinya, juga merupakan faktor lain
yang dapat memberikan perbedaan dalam gejala klinisnya. Tanda dan gejala
hipoksemia merupakan akibat langsung dari hipoksia jaringan.2

Tanda dan gejala yang sering dicari untuk menentukan adanya hipoksemia
seringkali baru timbul setelah PaO2 mencapai 40 sampai 50 mmHg. Jaringan yang
sangat peka terhadap penurunan oksigen diantaranya adalah otak, jantung, dan
paru- paru. Tanda dan gejala yang paling menonjol adalah gejala neurologis, berupa
sakit kepala, kekacauan mental, gangguan dalam penilaian, bicara kacau, gangguan
fungsi motorik, agitasi dan gelisah yang dapat berlanjut menjadi delirium dan
menjadi tidak sadar. Respons kardiovaskular yang mula-mula tehadap hipoksemia
adalah takikardi dan peningkatan curah jantung serta tekanan darah. Jika hipoksia
menetap, bradikardi, hipotensi, penurunan curah jantung dan aritmia dapat terjadi.
Hipoksemia dapat menyebabkan vasokonstriksi pada pembuluh darah paru-paru.
Efek metabolik
dari hipoksia jaringan metabolisme anaerobik yang mengakibatkan asidosis
metabolik. Meskipun sianosis sering dianggap sebagai salah satu tanda hipoksia,
tetapi tanda ini tidak dapat diandalkan. Gejala klasik dispnea mungkin tidak ada,
terutama bila ada penekanan pusat pernapasan seperti pada kegagalan pernapasan
akibat takar lajak narkotik.2

Gejala gagal napas bervariasi tergantung dari penyebabnya. Pada anak


dengan jalan napas yang tersumbat akibat aspirasi benda asing, terlihat megap-
megap dan berusaha untuk bernapas. Sedangkan pada keadaan intoksikasi, pasien
terlihat lemah. Penilaian klinis dari gagal napas dapat digunakan kriteria sebagai
berikut:2

1. penggunaan otot pernapasan tambahan


2. takipnea
3. takikardia
4. keringat
5. pulsus paradoksus (jarang)
6. tidak dapat berbicara, keengganan untuk berbaring terlentang
7. agitasi, gelisah, penurunan kesadaran
8. gerakan napas yang tidak sinkron*
9. respirasi paradoksal
10. respirasi alternan*
nb : tanda * menunjukkan tanda terjadinya kelelahan otot pernapasan2

E. Diagnosis Klinis Gagal Nafas


Diagnosis gagal napas akut atau kronik dimulai jika ada gejala klinik yang
muncul. Gejala klinis pada gagal napas terdiri dari tanda kompensasi pernapasan
yaitu takipneu, penggunaan otot pernapasan tambahan, restriksi intrakostal,
suprasternal dan supraklavikular. Gejala peningkatan tonus simpatis seperti
takikardi, hipertensi dan berkeringat. Gejala hipoksia yaitu perubahan status mental
misalnya bingung atau koma, bradikardi dan hipotensi. Gejala desaturasi
hemoglobin yaitu sianosis.2
a. Kriteria Dianosis2
1)Anamnesis
Penurunan aktivitas dan perubahan status mental, keluhan napas
pendek, sesak atau sakit kepala. Riwayat menelan benda asing dan
infeksisaluran napas atas sebelumnya.
2)Pemeriksaan Fisis
Peningkatan upaya napas dan perubahan pola serta frekuensi napas,
takikardia, retraksi dinding dada, suara napas melemah, sianosis,
letargi/kesadaran menurun. Pulsus paradoksus > 30 mmHg. Hasil analisa
gas darah PaO2 < 60 mmHg, PaCO2 > 45 mmHg, pH < 7,3.

b. Pemeriksaan Fisis
Tanda dan gejala pada gagal napas akut tidak spesifik, tergantung
dari penyakit yang mendasarinya dan termasuk tipe hipoksemi atau hiperkapni.
Gejala lokal pada paru-paru yang menyebabkan hipoksemi akut seperti
pnemonia, edema pulmoner, asma atau PPOK dapat muncul. Pada pasien
dengan sindrom distress pernapasan akut, gejala dapat muncul dari luar thorak
seperti nyeri abdomen atau patah tulang panjang. Gejala neurologis dapat
muncul seperti gelisah, lelah, bingung, kejang, bahkan koma.2
 Pasien akan bernapas dengan cepat dan nadi yang cepat. Penyalit paru dapat
menimbulkan suara yang berbeda pada saat auskultasi, pada asma terdapat
wheezing dan pada penyakit paru obstruktif akan terdapat crackles. Pada
pasien gagal napas karena ganguan ventilasi terjadi gasping dan penggunaan
otot leher pada saat bernapas untuk membantu pengembangan dada.
 Asterixis, terjadi pada hiperkapni berat. Takikardi dan aritmia terjadi karena
hipoksemi dan asidosis.
 Sianosis, warna kebiruan pada kulit dan membran mukosa, menujukkan
terjadi hipoksemi. Sianosis akan terlihat bila kadar hemoglobin deoksigenasi
di kapiler atau jaringan kurang dari 5 g/dL.
 Dyspneu, rasa sakit bila bernapas, usaha bernapas yang berlebihan, reflek
vagal atau rangsangan kimia (hipoksemi atau hiperkapni)
 Bingung dan somnolen dapat terjadi pada gagal napas. Kejang mioklonik
dapat terjadi pada hipoksemi berat. Polisitemia dapat terjadi sebagai
komplikasi jika terjadi hipoksemi yang lama.2

c. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat membantu diagnosis
gagal napas akut yaitu:4
1. Pulse Oxymetry. untuk menilai oksigenasi jaringan (SpO2)
2. Analisis gas darah arteri (AGD) untuk menilai dua parameter gagal napas
yaitu PaO2 dan PaCO2 serta pH. Perbedaan tekanan parsial oksigen dalam
alveoli (PAO2) dan dalam sirkulasi (PaO2) dinamakan nilai P(A-a)O2 dan
dapat digunakan untuk mengetahui apakah hipoksemia hanya disebabkan
oleh hiperkapnia atau gangguan di parenkim paru. Nilai PaO2 didapatkan dari
pemeriksaan AGD pada pasien yang menghirup udara kamar. Nilai PAO 2
dihitung dengan persamaan berikut ini:
PAO2 = [FiO2 x (TB - 47)] - (1,25 x PaCO2)
Keterangan:
F1O2 = fraksi inspirasi oksigen
TB = tekanan barometer, nilai yang dipakai 760 PaCO2 didapat dari hasil AGD
Nilai P(A-a)O2 normal adalah < 10 mmHg pada usia muda dan pada
semua pasien adalah < 20 mmHg. Bila nilai perbedaannya normal maka
penyebab hipoksemia adalah hiperkapnia. Namun bila ada peningkatan nilai
P(A-a)Or, terjadi gangguan di parenkim paru (terjadi ketidakseimbangan
V/Q) yang menyebabkan hipoksemia. Penggunaan. persamaan ini memiliki
keterbatasan. Bila telah diberikan suplementasi oksigen, interpretasi nilai
P(A- a)O rakan terganggu.4

3. Rasio P:F (P=tekanan O2 oksigen arteri adalah (PaO2); F = Fraksi oksigne


yang diinspirasi (FiO2)); sering digunakan untuk menilai beratnya
hipoksemia. Nilai normal rasio ini adalah 300. Makin rendah rasio P:F makin
rberat derajat hipoksemia.4
4. Foto Thorax. Dapat menjelaskan patofisiologi dan penyebab gagal nafas.
infiltrat alveolar yang meningkat menggambarkan komponen hipoksemia
pada gagal nafas akut dan gambaran paru yang bersih menggambarkan
hiperkapnia, meskipu kedua gambraan itu saling menutupi.4

F. Penatalaksanaan Gagal Nafas


Tujuan utama dari terapi gagal nafas ialah mengembalikan pertukaran gas
yang adekuat dengan komplikasi sekecil mungkin. Penatalaksanaan awal untuk
semua pasien gagal napas adalah sama yaitu oksigenasi yang adekuat. Pada keadaan
hipoksemia pemberian terapi oksigen sangat membantu. Namun pada keadaan
hiperkarpnia, penggunaan ventilasi mekanik lebih diutamakan. Pemberian oksigen
ini tentu saja memperhatikan prinsip airway, breathing, dan circulation sehingga
diperlukan tindakan-tindakan suportif untuk membebaskan jalan napas serta
mengusahakan pernapasan dan sirkulasi yang adekuat.2

Penatalaksanaan standar pasien dengan gagal napas adalah sebagai berikut:


pemberian terapi oksigen, penatalaksanaan obstruksi jalan napas, pengobatan
infeksi pulmonal, pengaturan jumlah sekret, dan membatasi terjadinya edema
pulmonal. Selain itu, beban otot pernapasan harus dikurangi dengan meningkatkan
mekanik dari paru. Koreksi abnormalitas yang dapat menyebabkan kelemahan otot
pernapasan, seperti misalnya hipofosfatemia dan malnutrisi.2

a. Penatalaksanaan Jalan Nafas6


1. Mengenali Adanya Sumbatan Jalan Napas. Penyebab utama sumbatan
jalan napas pada pasien yang tidak sadar adalah hilangnya tonus otot
tenggorokan sehingga pangkal lidah jatuh menyumbat faring dan epiglotis
menutup laring. Bila pasien masih bernapas dengan sumbatan parsial akan
menyebabkan bunyi napas tambahan saat inspirasi (stridor), kemudian
sianosis (tanda lanjut) dan tampak retraksi otot napas tambahan. Tanda
tersebut tidak akan muncul pada pasien yang tidak bernapas.6
2. Tahap Dasar Membuka Jalan Napas Tanpa Alat. Untuk membuka jalan
napas tanpa alat dapat dilakukan dengan cara tengadahkan kepala dan
topang dagu korban (head thin chin lift). Bila ada dugaan cedera pada leher
lakukan pengangkatan rahang bawah (jaw thrust). Pada pasien masih
bernapas spontan, untuk menjaga agar jalan napas tetap terbuka posisikan
pasien dengan nyaman dan tepat.6\

Gambar 2. Tahap Dasar membuka jalan nafas tanpa alat6

3. Membuka Jalan Nafas dengan Alat


Apabila tindakan manipulasi posisi kepala berupa topang dagu tengadah
kepala atau buka rahang bawah tidak dapat membebaskan jalan napas yang
tersumbat maka perlu dilakukan pemasangan alat bantu jalan napas baik
melalui oral maupun nasal.6
 Orofaring (Oropharyngeal Airway)
Orofaring menahan pangkal lidah dari dinding belakang faring. Alat
ini berguna untuk pasien yang masih bernapas spontan atau saat
dilakukan ventilasi dengan menggunakan sungkup dan bagging. Alat ini
juga membantu pada saat dilakukan penghisapan lendir dan mencegah
pasien menggigit pipa endotrakeal.6

Gambar 3. Orofaring dengan berbagai ukuran


Cara pemasangan: Bersihkan mulut dan faring dari segala kotoran,
Masukan alat dengan ujung mengarah ke palatum, Saat didorong masuk
mendekati dinding belakang faring, orofaring diputar 180o
Bahaya: Cara pemasangan yang tidak tepat dapat mendorong lidah ke
belakang atau apabila ukuran terlampau panjang epiglotis akan tertekan
menutup rimaglotis sehingga jalan napas tersumbat, Dapat
menyebabkan muntah dan spasme faring jika dipasang pada pasien
yang masih mempunyai refleks faring

 Nasofaring (Nasopharyngeal Airway)


Alat ini berbentuk pipa polos terbuat dari karet atau plastik. Biasa
digunakan pada pasien yang secara teknis tidak mungkin dipasang
orofaring, misalnya pada pasien trismus, rahang mengatup kuat dan
cedera berat daerah mulut.6

Gambar 4. Nasofaring berbagai ukuran

Cara pemasangan: Pilih alat dengan ukuran yang tepat, lumasi dan
masukan menelusuri bagian tengah dan dasar rongga hidung hingga
mencapai daerah belakang lidah. Apabila ada tahanan dan dorongan
menjadi susah, alat diputar sedikit
Bahaya: Alat yang terlalu panjang dapat masuk ke oesofagus dengan
segala akibatnya, Alat ini dapat merangsang muntah dan spasme laring,
Dapat menyebabkan perdarahan akibat kerusakan mukosa karena
pemasangan
 Pipa Endotrakeal (Endotracheal Airway/ET)
Pemasangan pipa endotrakeal akan menjamin jalan napas tetap
terbuka dan sebaiknya dilakukan oleh ahli yang terlatih. Keuntungan
dari pemasangan alat ini adalah menjamin kepatenan jalan napas,
memudahkan pemberian oksigen konsentrasi tinggi, menjamin
tercapainya volume tidal yang diinginkan, mencegah terjadinya aspirasi,
memudahkan penghisapan lendir pada trakea serta merupakan jalur
masuk beberapa obat resusitasi.6
Indikasi pemasangan:
 Pasien henti jantung
 Pasien sadar yang tidak mampu bernapas dengan baik (edema
paru, GuillanBare syndrom, sumbatan jalan napas)
 Pasien koma dimana kepatenan jalan napas tidak memadai
 Penolong tidak mampu memberikan bantuan napas dengan cara
konvensional.

Gambar 5. Peralatan Intubasi

 Laryngeal Mask Airway (LMA)


LMA merupakan pipa dengan ujung distal yang menyerupai
sungkup dengan tepi yang mempunyai balon disekelilingnya. Beberapa
kelebihan LMA sebagai alat bantu jalan napas adalah dapat dipasang
tanpa laringoskopi, dan karena LMA tidak perlu masuk ke dalam trakea
maka resiko kesalahan intubasi dengan segala akibatnya tidak
ditemukan. Kekurangannya adalah LMA tidak dapat melindungi
kemungkinan aspirasi sebaik pipa endotrakeal.6
Gambar 6. Laryngeal Mas Airway

b. Terapi Oksigen
Terapi oksigen adalah suatu tindakan memberikan aliran gas lebih dari 20%
pada tekanan 1 atmosfir (atm) sehingga konsentrasi oksigen meningkat dalam
darah. Pada dasarnya, terapi gagal nafas ditujukan untuk memperbaiki keadaan
hipoksemia dengan pemberian suplementasi oksigen untuk meningkatkan FiO 2.
Sehingga dapat mempertahankan oksigen yang adekuat, menurunkan kerja otot
pernapasan, dan menurunkan kerja jantung.4,6
Keefektifan alat-alat yang digunakan untuk pemberian suplementasi oksigen
ditentukan oleh kemampuan alat untuk mengalirkan atau memasok oksigen
dengan aliran yang tinggi dan disesuaikan dengan tingginya usaha inspirasi
(inspiratory flow) pasieb bernafas secara spontan. Alat-alat yang digunakan
dalam pemberian terapi oksigen adalah:4

a. Nasal Kanul
Nasal kanul paling sering digunakan untuk pemberian oksigen,
memberikan FiO2: 24 – 44% dengan aliran 1 – 6 liter/menit. Melalui
nasal kanul, oksigen dialirkan terus menerus mengisi jalan nafas atas
(orofaring dan nasofaring). Oksigen akan masuk ke dalam paru pada
saat inspirasi. Nilai FiO2 dipengaruhi oleh nilai semenit pasien. Kadar
oksigen yang dihasilkan tergantung pada besarnya aliran dan volume
tidal napas pasien. pemberian aliran oksigen lebih dari 5 L/menit tidak
akan memberikan FiO2 yang lebih tinggi dan akan mengiritasi mukosa
hidung. Kadar oksigen bertambah 4% untuk setiap tambahan 1
liter/menit, misalnya, aliran 1 liter/menit = 24%, 2 liter/menit = 28%
dan seterusnya, maksimal 6 liter/menit.4,6

Gambar 7. Nasal Kanul


keuntugan alat ini adalah dapat memberi rasa nyaman pada
pasien. Pemberian oksigen stabil dengan volume tidal dan laju napas
teratur, Aman diberikan dalam jangka waktu yang lama, Pasien dapat
bergerak bebas, makan, minum dan bicara, Efisien dan nyaman untuk
pasien. Alat ini termasuk ke dalam alat oksigen-rendah, kekurangan
penggunaan nasal kanul dapat menyebabkan iritasi pada hidung,
bagian belakang telinga tempat tali binasal, dan FiO2 akan berkurang
apabila pasien bernapas dengan mulut Aliran rendah (low oxygen, low
flow).4,6

b. Sungkup Muka (Face Mask)


Sungkup muka berfungsi sebagai reservoir oksigen. Ada beberapa
jenis sungkup muka:
1. Sungkup muka sederhana (disebut juga Hudson’s Mask)
Aliran yang diberikan 6 – 10 liter/menit dengan konsentrasi
oksigen mencapai 60%. Hidung, nasofaring dan orofaring
sebagai penampung anatomik. Sungkup ini mempunyai saluran
tempat masuk oksigen di dasar sungkup dan lubang-lubang
sekeliling sungkup. Sungkup ini dapat memberikan FiO2 0,35
pada kecepatan aliran 6 L/menit sampai F1O2 0,55 pada
kecepatan
aliran 10 L/menit. Nilai F,O, dipengaruhi oleh volume semenit
pasien pada saai bernapas.4,6

Gambar 8. Simple Face Mask

2. Non-Rebreathing
Aliran yang diberikan 8 – 12 liter/menit dengan
konsentrasi oksigen mencapai 100%. Udara inspirasi tidak
bercampur dengan udara ekspirasi dan tidak dipengaruhi oleh
udara luar, Sungkup muka ini terdiri dari sungkup muka
sederhana dengan kantong reservoir pada dasar sungkup dan dua
set katup satu arah.4,6
Pada saat inspirasi, katup pada lubang di sekeliling
sungkup menutup sehingga gas inspirasi hanya berasal dari
kantong reservoir. Katup lainnya berada di antara kantong
reservoir dan sungkup sehingga gas ekspirasi tidak masuk ke
kantong reservoir tetapi dipaksa keluar melalui lubang-lubang di
sekeliling sungkup. Kantong reservoir terisi oksigen 100% yang
berasal dari sumber oksigen. Kecepatan aliran oksigen harus
tinggi (minimal 6 L/menit) untuk menjaga kantong reservoir
tetap mengembang selama siklus pernapasan. Sungkup ini dapat
memberikan 0,40 – 0,60 FiO2 pada kecepatan aliran oksigen > 6
L/menit - 15 L/menit. Alat terapi oksigen ini termasuk alat
oksigen-tinggi, aliran tinggi (high-oxygen, high-flow).4,6

Gambar 9. Non rebreathing mask.


Masker memiliki satu katup inspirasi searah dan dua katup
ekspirasi searah. Karbon dioksida yang dihembuskan oleh
pasien terus-menerus diencerkan dengan aliran oksigen
yang tinggi yang dikirim ke sungkup (10–15 L / menit)7

3. Rebreathing
Aliran yang diberikan 6 – 10 liter/menit dengan
konsentrasi oksigen mencapai 80%. Udara inspirasi sebagian
bercampur dengan udara ekspirasi, sepertiga bagian volume
ekshalasi masuk ke kantong, dua pertiga bagian volume
ekshalasi melewati lubang lubang pada bagian samping.6
Sungkup ini terdiri dari sungkup sederhana dengan
kantong reservoir pada dasar sungkup sehingga oksigen akan
terus-menerus mengalir ke kantong reservoir. Saat ekspirasi
sepertiga gas awal ekspirasi akan masuk ke kantong reservoir
dan bercampur dengan oksigen yang ada di dalam kantong. Saat
inspirasi pasien akan menghirup Kembali sepertiga gas
ekspirasinya sehingga dengan kecepatan aliran oksigen yang
sama dibandingkan sungkup muka non rebreathing, sungkup ini
akan memberikan konsentrasi oksigen yang lebih rendah. Alat
ini
termasuk alat terapi oksigen tinggi, aliran-tinggi (high-
oxygen, high-flow).4

Gambar 10. Rebreathing Mask

4. Sungkup Muka Venturi


Memberikan aliran yang bervariasi dengan konsentrasi
oksigen berkisar 24 – 50%. Dipakai pada pasien dengan napas
yang tidak teratur. Alat ini digunakan pada pasien dengan
hiperkarbi yang disertai dengan hipoksi sedang sampai berat.6
Sungkup muka venturi terdiri dari sungkup dan mixing-
jet. Sungkup mengalirkan oksigen 100% dari sumber oksigen ke
alat jet-mixing yang akan meningkatkan kecepatan oksigen dan
menyebabkan campuran udara dapat dikendalikan. Nilai FiO2
yang akan diperoleh lebih tepat yaitu O,24 sampai 0,50 (24% -
50%) pada kecepatan aliran tinggi dengan mengatur tombol FiO 2
dan menyesuaikan pengaturan kecepatan aliran oksigen. Alat ini
termasuk aliran-tinggi, oksigen terkendali (high-flow,
controlled- oxygen).4
Gambar 11. Sungkup Venturi6

c. Terapi Penyebab
1. Gagal Nafas Hipoksemik
Gagal nafas hipoksemik dapat diterapi dengan pemberian oksigen,
sungkup muka, continuous positive airway pressure (CPAP), atau non
Invasive mechanical ventilation (NIV). Namun, pada kasus berat seperti
pada pneumonia berat dan acute respiratory distress syndrome (ARDS),
Tindakan intubasi trakea dan pemberian bantuan ventilasi mekanik invasif
harus dilakukan. Berdasarkan patofisiologinya terapi hipoksemia yang
diakibatkan ketidakseimbangan V/Q dilakukan dengan pengbatan terhadap
adanya infeksi dan obstruksi jalan nafas, membuka bagian paru yang
atelectasis (recruiting), dan mencegah penutupan (de-recruttement) bagian
paru yang sakit.4
Hipoksemia pada gangguan patologi difusi oksigen melewati
membrane alveolar-kapiler dapat diterapi dengan obat. Gangguan laringan
interstisiar paru seperti edema paru kardiogenik dapat diterapi dengan
diuretik dan gangguan inflamasi dapat diterapi dengan kortikosteroid.
pencegahan terhadap hipoksemia dapat dilakukan dengan menjaga
ventirasi paru tetap adekuat (hiperventirasi akan memperbaiki hipoksemia
yang disebabkan hiperkapnia).4
2. Gagal Nafas Hiperkapnik
Ventilasi mekanik paling sering digunakan untuk penatalaksanaan
gagal nafas hiperkapnik yang tidak terkompensasi. Tujuan terpai pada
gagal nafas hiperkapnik yang dipakibatkan oleh penurunan volume tidal
atau laju nafas adalah menatalaksana penyebab primer, misalkan
penghentian pemberian obat-obatan tertentu, memperbaiki nutrisi dan
memasang alat bantu nafas seperti intubasi trakea dan ventilasi mekanik.4
Tatalaksana pada gagal nafas hiperkapnik yang disebabkan oleh
peningkatan dead space adalah resusitasi cairan, meningkatkan curah
jantung atau terapi penyebab gangguan aliran darah paru dan menurunkan
peak atau mean airway pressure dengan pemasangan ventilasi mekanik.4
Beberapa penyebab gagal nafas akut serig memberikan gangguan
anatomi dan fisiologi yang serupa, seperti inflamasi bronkus, edema
mukosa, kontraksi otot polos, dan peningkatan produksi dan kekentalan
secret. Semua hal ini mengaibatkan sumbatan jalan nafas, peningkatan
tahanan jalan nafas, ketidakseimbangan ventilasi perfusi (V/Q), dan
peningkatan dead space. Sehingga sering diperlukan tambahan obat pada
tatalaksana gagal nafas akut, seperti: Golongan B2 - agonist , Golongan
antikolinergik , Golongan xantin (teofilin/aminofilin), Kortikosteroid,
Antibiotik.4

d. Indikasi dan Kontraindikasi Bantuan Ventilasi Mekanik non Invasif


Terdapat indikasi dan kontraindikasi pada pemberian bantuan ventilasi
mekanik non invasif pada pasien dewasa, yaitu:4
Indikasi
1. Laju nafas > 25 kali/menit
2. Asidosis sedang sampai berat: pH 7 3A - 7'35; PaCO r' 45 mmHg
3. Sesaknapas sedan gsampai beratd dengan menggunakano tot-otot bantu
pernapasan dan pola pernapasan paradoksal
Kontraindikasi4

1. Kontraindikasi Absolut
 Henti nafas
 Henti jantung
 Gagal organ (ensefalopati, perdarahan gastrointestinal berat atau pasca
bedah, hemodinamik tidak stabil dengan atau tanpa angina, jantung
tidak stabil)
 Sumbatan jalan naPas atas
 Tidak mampu menjaga jalan napas atas dan atau risiko terganggu
 aspirasi
 Tidak mampu membersihkan sekret
 Bedah kepala/muka atau trauma
2. Kontraindikasi Relatif
 Kardiovaskular tidak stabil (hipotensi, disritmia, infark miokard akut)
 Pasien tidak kooperatif (gangguan kesadaran)
 Sekret kental dan berlebihan
 Kelainan anatomi daerah nasofaringeal
 Obesitas berat

Pada keadaan tertentu, pemberian bantuan ventilasi mekanik non invasif


harus diubah menjadi bantuan ventilasi mekanik invasif dengan melakukan
tindakan intubasi trakea terlebih dahulu. Keadaan-keadaan tersebut yaitu Henti
napas, Laju napas > 35 kali/menit, Sesak napas hebat ditandai dengan penggunaan
otolotot bantu pernapasan dan pernapasan paradoksal, Hipoksemia yang
mengancam nyawa: PaO2< 40 mmHg atau rasio PaO2/FiO2 < 200, Asidosis berat
(pH 60 mmHg), Penurunan kesadaran, Gangguan hemodinamik (hipotensi, syok,
gagal jantung), Gangguan metabolik, sepsis, emboli paru, barotrauma, efusipleura
massif. Pemberian bantuan ventilasi mekanik hanya dapat dilakukan bila pasien
dirawat di lntensive Care Unit (lCU). 4
BAB III

KESIMPULAN

Gagal napas merupakan ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan


suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan
kebutuhan normal. Gagal napas diklasifikasikan menjadi gagal napas hipoksemia, dan
gagal napas hiperkapnia. Gagal napas hipoksemia ditandai dengan PaO2 < 60 mmHg
dengan PaCO2 normal atau rendah. Gagal napas hiperkapnia, ditandai dengan PaCO2 > 45
mmHg. Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan
neuromuscular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler.
Penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut yang utama adalah membuat oksigenasi
arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying
disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2005, “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, edisi 9,
Jakarta: EGC.
2. N. Margarita Rehatta, Elizeus Hanindito, Aida R. Tantri. 2019. Anestesiologi Dan
Terapi Intensif: Buku Teks Kati-Perdatin. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
2019.
3. Alwi, Idrus. (2015). Gagal Napas. Penatalaksanaan Di Bidang Ilmu PEnyakit
Dalam Panduan Praktis Klinis Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia.Tantani, Sugiman. (2012). Sesak Nafas Modul FK UI. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
4. Bernhard, Arianto. (2011). Fisiologi Respirasi. Jambi: Fakultas Kedokteran
Universitas Jambi
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Buku Ajar Kursus
Bantuan Hidup Jantung Lanjut (ACLS). Jakarta : PERKI ; 2019.

6. Herren, Thomas & Achermann, Eva & Hegi, Thomas & Reber, Adrian & Stäubli,
Max. (2017). Carbon dioxide narcosis due to inappropriate oxygen delivery: A case
report. Journal of Medical Case Reports. 11. 10.1186/s13256-017-1363-7.

Anda mungkin juga menyukai