Gagal Nafas
Gagal Nafas
PEMBIMBING :
dr. Edwin Haposan Martua, Sp. An, M.Kes, AIFO
DISUSUN OLEH :
Assalamualaikum wr. wb
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayat,
serta kesehatan yang telah diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
tutorial yang berjudul “Management of Respiratory Failure” sesuai pada waktu yang
telah ditentukan. Laporan ini penulis buat sebagai dasar kewajiban dari suatu proses
kegiatan yang penulis lakukan yang kemudian diaplikasikan dalam bentuk praktik
kehidupan sehari-hari.
Wassalamualaikum wr. wb
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................................5
A. Definisi Gagal Nafas...............................................................................................................5
B. Klasifikasi Gagal Nafas............................................................................................................5
C. Etiologi Gagal Napas..............................................................................................................6
D. Manifestasi Klinis...................................................................................................................8
E. Diagnosis Klinis Gagal Nafas...................................................................................................9
..............................................................................................................
a. Kriteria Dianosis2 10
b. Pemeriksaan Fisik.............................................................................................................10
c. Pemeriksaan Penunnjang.................................................................................................11
F. Penatalaksanaan Gagal Nafas..............................................................................................12
..........................................................................................
a. Penatalaksanaan Jalan Nafas6 12
b. Terapi Oksigen.................................................................................................................16
c. Terapi Penyebab..............................................................................................................21
d. Indikasi dan Kontraindikasi Bantuan Ventilasi Mekanik non Invasif.................................22
BAB III KESIMPULAN........................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................25
BAB I
PENDAHULUAN
Gagal napas adalah suatu sindrom dimana sistem respirasi gagal untuk melakukan
pertukaran gas yaitu oksigenasi dan pengeluaran karbondioksida. Gagal napas dapat terjadi
secara akut atau kronis. Gagal napas akut adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa
dimana analisa gas darah arterial dan status asam basa berada dalam batas yang
2
membahayakan. Gagal napas kronik terjadi secara perlahan dan gejalanya kurang jelas.
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi dari kegagalan pernapasan akut mencerminkan gabungan dari
gambaran klinis penyakit dasarnya, faktor-faktor pencetus, serta manifestasi
hipoksemia dan hiperkapnea. Dengan demikian gambaran klinisnya cukup
bervariasi karena berbagai faktor dapat menjadi pencetusnya. Ada atau tidaknya
insufisiensi pernapasan kronik yang mendahuluinya, juga merupakan faktor lain
yang dapat memberikan perbedaan dalam gejala klinisnya. Tanda dan gejala
hipoksemia merupakan akibat langsung dari hipoksia jaringan.2
Tanda dan gejala yang sering dicari untuk menentukan adanya hipoksemia
seringkali baru timbul setelah PaO2 mencapai 40 sampai 50 mmHg. Jaringan yang
sangat peka terhadap penurunan oksigen diantaranya adalah otak, jantung, dan
paru- paru. Tanda dan gejala yang paling menonjol adalah gejala neurologis, berupa
sakit kepala, kekacauan mental, gangguan dalam penilaian, bicara kacau, gangguan
fungsi motorik, agitasi dan gelisah yang dapat berlanjut menjadi delirium dan
menjadi tidak sadar. Respons kardiovaskular yang mula-mula tehadap hipoksemia
adalah takikardi dan peningkatan curah jantung serta tekanan darah. Jika hipoksia
menetap, bradikardi, hipotensi, penurunan curah jantung dan aritmia dapat terjadi.
Hipoksemia dapat menyebabkan vasokonstriksi pada pembuluh darah paru-paru.
Efek metabolik
dari hipoksia jaringan metabolisme anaerobik yang mengakibatkan asidosis
metabolik. Meskipun sianosis sering dianggap sebagai salah satu tanda hipoksia,
tetapi tanda ini tidak dapat diandalkan. Gejala klasik dispnea mungkin tidak ada,
terutama bila ada penekanan pusat pernapasan seperti pada kegagalan pernapasan
akibat takar lajak narkotik.2
b. Pemeriksaan Fisis
Tanda dan gejala pada gagal napas akut tidak spesifik, tergantung
dari penyakit yang mendasarinya dan termasuk tipe hipoksemi atau hiperkapni.
Gejala lokal pada paru-paru yang menyebabkan hipoksemi akut seperti
pnemonia, edema pulmoner, asma atau PPOK dapat muncul. Pada pasien
dengan sindrom distress pernapasan akut, gejala dapat muncul dari luar thorak
seperti nyeri abdomen atau patah tulang panjang. Gejala neurologis dapat
muncul seperti gelisah, lelah, bingung, kejang, bahkan koma.2
Pasien akan bernapas dengan cepat dan nadi yang cepat. Penyalit paru dapat
menimbulkan suara yang berbeda pada saat auskultasi, pada asma terdapat
wheezing dan pada penyakit paru obstruktif akan terdapat crackles. Pada
pasien gagal napas karena ganguan ventilasi terjadi gasping dan penggunaan
otot leher pada saat bernapas untuk membantu pengembangan dada.
Asterixis, terjadi pada hiperkapni berat. Takikardi dan aritmia terjadi karena
hipoksemi dan asidosis.
Sianosis, warna kebiruan pada kulit dan membran mukosa, menujukkan
terjadi hipoksemi. Sianosis akan terlihat bila kadar hemoglobin deoksigenasi
di kapiler atau jaringan kurang dari 5 g/dL.
Dyspneu, rasa sakit bila bernapas, usaha bernapas yang berlebihan, reflek
vagal atau rangsangan kimia (hipoksemi atau hiperkapni)
Bingung dan somnolen dapat terjadi pada gagal napas. Kejang mioklonik
dapat terjadi pada hipoksemi berat. Polisitemia dapat terjadi sebagai
komplikasi jika terjadi hipoksemi yang lama.2
c. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat membantu diagnosis
gagal napas akut yaitu:4
1. Pulse Oxymetry. untuk menilai oksigenasi jaringan (SpO2)
2. Analisis gas darah arteri (AGD) untuk menilai dua parameter gagal napas
yaitu PaO2 dan PaCO2 serta pH. Perbedaan tekanan parsial oksigen dalam
alveoli (PAO2) dan dalam sirkulasi (PaO2) dinamakan nilai P(A-a)O2 dan
dapat digunakan untuk mengetahui apakah hipoksemia hanya disebabkan
oleh hiperkapnia atau gangguan di parenkim paru. Nilai PaO2 didapatkan dari
pemeriksaan AGD pada pasien yang menghirup udara kamar. Nilai PAO 2
dihitung dengan persamaan berikut ini:
PAO2 = [FiO2 x (TB - 47)] - (1,25 x PaCO2)
Keterangan:
F1O2 = fraksi inspirasi oksigen
TB = tekanan barometer, nilai yang dipakai 760 PaCO2 didapat dari hasil AGD
Nilai P(A-a)O2 normal adalah < 10 mmHg pada usia muda dan pada
semua pasien adalah < 20 mmHg. Bila nilai perbedaannya normal maka
penyebab hipoksemia adalah hiperkapnia. Namun bila ada peningkatan nilai
P(A-a)Or, terjadi gangguan di parenkim paru (terjadi ketidakseimbangan
V/Q) yang menyebabkan hipoksemia. Penggunaan. persamaan ini memiliki
keterbatasan. Bila telah diberikan suplementasi oksigen, interpretasi nilai
P(A- a)O rakan terganggu.4
Cara pemasangan: Pilih alat dengan ukuran yang tepat, lumasi dan
masukan menelusuri bagian tengah dan dasar rongga hidung hingga
mencapai daerah belakang lidah. Apabila ada tahanan dan dorongan
menjadi susah, alat diputar sedikit
Bahaya: Alat yang terlalu panjang dapat masuk ke oesofagus dengan
segala akibatnya, Alat ini dapat merangsang muntah dan spasme laring,
Dapat menyebabkan perdarahan akibat kerusakan mukosa karena
pemasangan
Pipa Endotrakeal (Endotracheal Airway/ET)
Pemasangan pipa endotrakeal akan menjamin jalan napas tetap
terbuka dan sebaiknya dilakukan oleh ahli yang terlatih. Keuntungan
dari pemasangan alat ini adalah menjamin kepatenan jalan napas,
memudahkan pemberian oksigen konsentrasi tinggi, menjamin
tercapainya volume tidal yang diinginkan, mencegah terjadinya aspirasi,
memudahkan penghisapan lendir pada trakea serta merupakan jalur
masuk beberapa obat resusitasi.6
Indikasi pemasangan:
Pasien henti jantung
Pasien sadar yang tidak mampu bernapas dengan baik (edema
paru, GuillanBare syndrom, sumbatan jalan napas)
Pasien koma dimana kepatenan jalan napas tidak memadai
Penolong tidak mampu memberikan bantuan napas dengan cara
konvensional.
b. Terapi Oksigen
Terapi oksigen adalah suatu tindakan memberikan aliran gas lebih dari 20%
pada tekanan 1 atmosfir (atm) sehingga konsentrasi oksigen meningkat dalam
darah. Pada dasarnya, terapi gagal nafas ditujukan untuk memperbaiki keadaan
hipoksemia dengan pemberian suplementasi oksigen untuk meningkatkan FiO 2.
Sehingga dapat mempertahankan oksigen yang adekuat, menurunkan kerja otot
pernapasan, dan menurunkan kerja jantung.4,6
Keefektifan alat-alat yang digunakan untuk pemberian suplementasi oksigen
ditentukan oleh kemampuan alat untuk mengalirkan atau memasok oksigen
dengan aliran yang tinggi dan disesuaikan dengan tingginya usaha inspirasi
(inspiratory flow) pasieb bernafas secara spontan. Alat-alat yang digunakan
dalam pemberian terapi oksigen adalah:4
a. Nasal Kanul
Nasal kanul paling sering digunakan untuk pemberian oksigen,
memberikan FiO2: 24 – 44% dengan aliran 1 – 6 liter/menit. Melalui
nasal kanul, oksigen dialirkan terus menerus mengisi jalan nafas atas
(orofaring dan nasofaring). Oksigen akan masuk ke dalam paru pada
saat inspirasi. Nilai FiO2 dipengaruhi oleh nilai semenit pasien. Kadar
oksigen yang dihasilkan tergantung pada besarnya aliran dan volume
tidal napas pasien. pemberian aliran oksigen lebih dari 5 L/menit tidak
akan memberikan FiO2 yang lebih tinggi dan akan mengiritasi mukosa
hidung. Kadar oksigen bertambah 4% untuk setiap tambahan 1
liter/menit, misalnya, aliran 1 liter/menit = 24%, 2 liter/menit = 28%
dan seterusnya, maksimal 6 liter/menit.4,6
2. Non-Rebreathing
Aliran yang diberikan 8 – 12 liter/menit dengan
konsentrasi oksigen mencapai 100%. Udara inspirasi tidak
bercampur dengan udara ekspirasi dan tidak dipengaruhi oleh
udara luar, Sungkup muka ini terdiri dari sungkup muka
sederhana dengan kantong reservoir pada dasar sungkup dan dua
set katup satu arah.4,6
Pada saat inspirasi, katup pada lubang di sekeliling
sungkup menutup sehingga gas inspirasi hanya berasal dari
kantong reservoir. Katup lainnya berada di antara kantong
reservoir dan sungkup sehingga gas ekspirasi tidak masuk ke
kantong reservoir tetapi dipaksa keluar melalui lubang-lubang di
sekeliling sungkup. Kantong reservoir terisi oksigen 100% yang
berasal dari sumber oksigen. Kecepatan aliran oksigen harus
tinggi (minimal 6 L/menit) untuk menjaga kantong reservoir
tetap mengembang selama siklus pernapasan. Sungkup ini dapat
memberikan 0,40 – 0,60 FiO2 pada kecepatan aliran oksigen > 6
L/menit - 15 L/menit. Alat terapi oksigen ini termasuk alat
oksigen-tinggi, aliran tinggi (high-oxygen, high-flow).4,6
3. Rebreathing
Aliran yang diberikan 6 – 10 liter/menit dengan
konsentrasi oksigen mencapai 80%. Udara inspirasi sebagian
bercampur dengan udara ekspirasi, sepertiga bagian volume
ekshalasi masuk ke kantong, dua pertiga bagian volume
ekshalasi melewati lubang lubang pada bagian samping.6
Sungkup ini terdiri dari sungkup sederhana dengan
kantong reservoir pada dasar sungkup sehingga oksigen akan
terus-menerus mengalir ke kantong reservoir. Saat ekspirasi
sepertiga gas awal ekspirasi akan masuk ke kantong reservoir
dan bercampur dengan oksigen yang ada di dalam kantong. Saat
inspirasi pasien akan menghirup Kembali sepertiga gas
ekspirasinya sehingga dengan kecepatan aliran oksigen yang
sama dibandingkan sungkup muka non rebreathing, sungkup ini
akan memberikan konsentrasi oksigen yang lebih rendah. Alat
ini
termasuk alat terapi oksigen tinggi, aliran-tinggi (high-
oxygen, high-flow).4
c. Terapi Penyebab
1. Gagal Nafas Hipoksemik
Gagal nafas hipoksemik dapat diterapi dengan pemberian oksigen,
sungkup muka, continuous positive airway pressure (CPAP), atau non
Invasive mechanical ventilation (NIV). Namun, pada kasus berat seperti
pada pneumonia berat dan acute respiratory distress syndrome (ARDS),
Tindakan intubasi trakea dan pemberian bantuan ventilasi mekanik invasif
harus dilakukan. Berdasarkan patofisiologinya terapi hipoksemia yang
diakibatkan ketidakseimbangan V/Q dilakukan dengan pengbatan terhadap
adanya infeksi dan obstruksi jalan nafas, membuka bagian paru yang
atelectasis (recruiting), dan mencegah penutupan (de-recruttement) bagian
paru yang sakit.4
Hipoksemia pada gangguan patologi difusi oksigen melewati
membrane alveolar-kapiler dapat diterapi dengan obat. Gangguan laringan
interstisiar paru seperti edema paru kardiogenik dapat diterapi dengan
diuretik dan gangguan inflamasi dapat diterapi dengan kortikosteroid.
pencegahan terhadap hipoksemia dapat dilakukan dengan menjaga
ventirasi paru tetap adekuat (hiperventirasi akan memperbaiki hipoksemia
yang disebabkan hiperkapnia).4
2. Gagal Nafas Hiperkapnik
Ventilasi mekanik paling sering digunakan untuk penatalaksanaan
gagal nafas hiperkapnik yang tidak terkompensasi. Tujuan terpai pada
gagal nafas hiperkapnik yang dipakibatkan oleh penurunan volume tidal
atau laju nafas adalah menatalaksana penyebab primer, misalkan
penghentian pemberian obat-obatan tertentu, memperbaiki nutrisi dan
memasang alat bantu nafas seperti intubasi trakea dan ventilasi mekanik.4
Tatalaksana pada gagal nafas hiperkapnik yang disebabkan oleh
peningkatan dead space adalah resusitasi cairan, meningkatkan curah
jantung atau terapi penyebab gangguan aliran darah paru dan menurunkan
peak atau mean airway pressure dengan pemasangan ventilasi mekanik.4
Beberapa penyebab gagal nafas akut serig memberikan gangguan
anatomi dan fisiologi yang serupa, seperti inflamasi bronkus, edema
mukosa, kontraksi otot polos, dan peningkatan produksi dan kekentalan
secret. Semua hal ini mengaibatkan sumbatan jalan nafas, peningkatan
tahanan jalan nafas, ketidakseimbangan ventilasi perfusi (V/Q), dan
peningkatan dead space. Sehingga sering diperlukan tambahan obat pada
tatalaksana gagal nafas akut, seperti: Golongan B2 - agonist , Golongan
antikolinergik , Golongan xantin (teofilin/aminofilin), Kortikosteroid,
Antibiotik.4
1. Kontraindikasi Absolut
Henti nafas
Henti jantung
Gagal organ (ensefalopati, perdarahan gastrointestinal berat atau pasca
bedah, hemodinamik tidak stabil dengan atau tanpa angina, jantung
tidak stabil)
Sumbatan jalan naPas atas
Tidak mampu menjaga jalan napas atas dan atau risiko terganggu
aspirasi
Tidak mampu membersihkan sekret
Bedah kepala/muka atau trauma
2. Kontraindikasi Relatif
Kardiovaskular tidak stabil (hipotensi, disritmia, infark miokard akut)
Pasien tidak kooperatif (gangguan kesadaran)
Sekret kental dan berlebihan
Kelainan anatomi daerah nasofaringeal
Obesitas berat
KESIMPULAN
1. Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2005, “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, edisi 9,
Jakarta: EGC.
2. N. Margarita Rehatta, Elizeus Hanindito, Aida R. Tantri. 2019. Anestesiologi Dan
Terapi Intensif: Buku Teks Kati-Perdatin. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
2019.
3. Alwi, Idrus. (2015). Gagal Napas. Penatalaksanaan Di Bidang Ilmu PEnyakit
Dalam Panduan Praktis Klinis Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia.Tantani, Sugiman. (2012). Sesak Nafas Modul FK UI. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
4. Bernhard, Arianto. (2011). Fisiologi Respirasi. Jambi: Fakultas Kedokteran
Universitas Jambi
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Buku Ajar Kursus
Bantuan Hidup Jantung Lanjut (ACLS). Jakarta : PERKI ; 2019.
6. Herren, Thomas & Achermann, Eva & Hegi, Thomas & Reber, Adrian & Stäubli,
Max. (2017). Carbon dioxide narcosis due to inappropriate oxygen delivery: A case
report. Journal of Medical Case Reports. 11. 10.1186/s13256-017-1363-7.