Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)


Dosen Pembmbing : Henny Pongantung,Ns.,MSN.,DN.Sc

OLEH:

LIBERTUS ARDIONO

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN STELLA MARIS MAKASSAR

PROGRAM STUDI NERS

2020/2021
A. Definisi
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah suatu penyakit perbesaran atau
hipertrofi dari prostat. Kata-kata hipertrofi seringkali menimbulkan kontroversi
dikalangan klinik karena sering rancu dengan hyperplasia. Hipertrofi bermakna
bahwa dari segi kualitas terjadi pembesaran sel, namun tidak diikuti oleh jumlah
(kuantitas). BPH seringkali menyebabkan gangguan dalam eliminasi urin karena
pembesaran prostat yang cenderung kearah depan atau menekan vesika urinaria
(Prabowo & Pranata, 2014).
BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah suatu keadaan di mana kelenjar
prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih
dan menyumbat aliran urin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan
kondisi patologis yang paling umum pada pria.
B. Tanda dan Gejala
1. Gejala iritatif meliputi :
a. Peningkatan frekuensi berkemih
b. Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
c. Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda
(urgensi)
d. Nyeri pada saat miksi (disuria)
2. Gejala obstruktif meliputi :
a. Pancaran urin melemah
b. Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan
baik
c. Kalau mau miksi harus menunggu lama
d. Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
e. Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
f. Urin terus menetes setelah berkemih
g. Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan
inkontinensia karena penumpukan berlebih.
h. Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi
produk sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis
dan volume residu yang besar.
3. Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah,
dan rasa tidak nyaman pada epigastrik (Wilkinson & Ahem, 2015).

C. Manifenistasi Klinis BPH (Hiperplasia prostat benigna)


Kemih bagian bawah terdiri atas gejala iritatif (storage symptoms) dan
gejala obstruksi (voiding symptoms). Gejala Obstruktif ditimbulkan Gejala yang
umumnya terjadi pada pasien BPH adalah gejala pada saluran kemih bagian
bawah atau lower urinary track symptoms (LUTS). Gejala pada saluran karena
adanya penyempitan uretra karena didesak oleh prostat yang membesar. Gejala
yang terjadi berupa harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistancy),
pancaran miksi yang lemah (weak stream), miksi terputus (Intermittency), harus
mengejan (straining). Gejala Iritatif disebabkan oleh pengosongan kandung
kemih yang tidak sempurna pada saat miksi atau berkemih, sehingga kandung
kemih sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala yang terjadi adalah
frekuensi miksi meningkat (Frequency), nookturia, dan miksi sulit ditahan
(Urgency). Gejala-gejala yang biasanya dirasakan oleh penderita pembesaran
prostat jinak yaitu nookturia, inkontinensia urin, aliran urin tersendat-sendat,
mengeluarkan urin disertai darah, dan merasa tidak tuntas setelah berkemih
(Dipiro et al, 2015).
Pola keluhan penderita hiperplasia prostat sangat berbeda-beda.
Alasannya belum diketahui, tetapi mungkin berdasarkan atas peningkatan atau
penyusustan ringan dalam volume prostat. Keluhan lain yang berkaitan akibat
hiperplasia prostat jika ada infeksi saluran kemih, maka urin menjadi keruh dan
berbau busuk. Hiperplasia prostat bisa mengakibatkan pembentukan batu dalam
kandung kemih. Bila terjadi gangguan faal ginjal, bisa timbul poliuria yang
kadang-kadang mirip dengan diabetes insipidus, mual, rasa tak enak di lidah,
lesu, haus dan anoreksia.
D. Patofisiologi
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral
sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal
yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma
fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran
prostad terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih
juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran
prostad, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostad meningkat, serta otot
destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel.
Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut, maka
destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu
lagi untuk berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien
tidak bisa mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi
statis urin. Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri.
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat
mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin
yang menetes, kencing terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi
maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala
iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin
yang tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika
urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval
disetiap berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala
iritasi pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan
nyeri saat berkemih /dysuria.
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi,
akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko
ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal
dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan
sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu
terdapat sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam
kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk
akan mengakibatkan pielonefritis.
E. Pemeriksaan
Pemeriksaan klinis dilakukan untuk mengetahui apakah pembeseran
prostat ini bersifat menigna atau maligna dan untuk memastikan tidak adanya
penyakit penyerta lainnya.Berikut pemeriksaannya.
1. Urinnalistis dan Kultur Urine
Pemetiksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBC [RED
BLOOD CELL] dala, urine memanifestasikan adanya perdarahan
/hematuria.
2. DPL [Deep Peritoneal lavage]
Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat ada tidaknya perdarahan
internal dalam abdomen. Sampel yang diambil adalah cairan abdomen
dan diperiksa jumlah sel darah merahnya.

3. Ureum, Elektroit dan Serum Kretinin


Pemeriksaan ini untuk menetukan status fungsi ginjal. Hal ini sabagai data
pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari BPH, karena
obstruksi yang berlangsung kronis seringkali menimbulkan hidronefrosis
yang lambat laun akan memperberat fungsi ginjal dan pada akhirnya
menjadi gagal ginjal.
4. PA [Patologi Anatomi]
Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi. Sampel
jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikrokopis untuk mengetahui
apakah hanya bersifat benigna atau maligna, sehingga akan menjadi
landasan untuk treatment selanjutnya.
5. Catatan harian berkemih
Setiap hari perlu dilakukan evaluasi output urine, sehingga akan terlihat
bagaimana siklus rutinitas miksi dari pasien. Data ini menjadi bekal untuk
membandingkan dengan pola eliminasi urine yang normal.
6. Uroflowmetri
Dengan menggunakan alat pengukur, maka akan terukur pancaran Urine.
Pada obstrusi dini sringkali pancaran melemah bahkan meningkat. Hal ini
disebabkan obstruksi dari kelnjar prostat pada traktus urinarius. Selain itu,
volume residu urine juga harus diukur normalnya residual urine < 100 ml.
Namun, residual yang tinggi membuktikan bahwa vesika urinaria tidak
mampu mengeluarka urine secara baik karena adanya obstruksi.
7. USG Ginjal dan Vesika Urinaria
USG ginjal bertujuan untuk melihat adanya komplikasi penyerta dari BPH,
hironeohrosis sedangkan USG pada vesika urinaria akan memperlihatkan
gambaran pembesaran kelenjar prostat.
DAFTAR PUSTAKA

Bruno, L. (2019). Benign Prostatatic Hypeplasia. Journal of Chemical Information and


Modeling, 53(9), 1689–1699. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam berbagai kasus. Jogjakarta: Percetakan
Mediaction Publishing .
Furqon. (2003). Epidemiologi & faktor risiko BPH. Scribd.
Judith M. Wilkinson dan Nancy R. Ahern.2013. Buku Saku Diagnosis Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.
Ii, B. A. B., & Pengertian, A. (2011). Asuhan Keperawatan Pada..., PRASASTI
PRADNYA DEWANTARA Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2016. 9–39.
Ii, B. A. B., & Pustaka, T. (n.d.). 8 . 2.1.1. 7–34.

Nuratif, A. d. (2016). ASUHAN KEPERAWATAN PRAKTIS Berdasarkan Penerapan


Prabowo, E., & Pranata, E. A. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem
Perkemihan. Yogyakarta: Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai