Anda di halaman 1dari 44

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa
selesai pada waktunya.Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman – teman yang telah
berkontribusi dengan memberikan ide – idenya sehingga makalah ini bisa disusun.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca,namun dari
itu kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna ,sehingga kami
sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah
selanjutnya yang lebih bsik lagi.

Jakarta, 02 Januari 2022

Ns.Sofia Novita,S.Kep
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cedera kepala atau sering disebut trauma kepala adalah trauma yang paling umum ditemui di
unit gawat darurat. Banyak pasien dengan trauma kepala berat meninggal sebelum sampai di
Rumah Sakit, faktanya hampir 90% kematian akibat trauma pra-rumah sakit menyangkut
trauma kepala. Pasien yang pernah mengalami trauma kepala biasanya mengalami gangguan
neuropsikologis yang berakibat kecacatan sehingga berpengaruh pada pekerjaan dan aktivitas
sosial mereka (ATLS, 2018).

Epidemiologi Insidensi kejadian cedera kepala di dunia tidak diketahui. Di Amerika pada
tahun 2002 – 2006 sebesar 579 per 100.000 atau kira-kira 1,7 juta kasus per tahun (Faul et al.,
2010). Berdasarkan data dari Centers for Disease Control and Universitas Sumatera Utara 6
Prevention (CDC), dari 1,7 juta orang di Amerika yang mengalami cedera kepala setiap
tahun, 1,4 juta orang yang ditangani di unit gawat darurat, ada 5,3 juta orang yang hidup
dengan kecacatan akibat cedera kepala, 275.000 orang memerlukan rawat inap, dan 52.000
orang mengalami cedera fatal (Roozenbeek, 2013). Pasien cedera kepala yang dirawat inap di
Eropa pada data meta analisis tahun 1990an sampai 2000an sebesar 235 per 100000 orang
(Tagliaferri et al., 2005). Sementara itu pada tahun 2006 – 2007 di Ontario dan Kanada,
pasien cedera kepala yang dirawat inap telah dihitung sebesar 22 per 100000 orang untuk
wanita dan 52 per 100000 orang untuk laki-laki (Colantonio et al., 2010). 3 tingkat insiden
kira-kira berkisar antara 47,3 hingga 694 per 100.000 penduduk per tahun, dan angka
kematian kasar berkisar 9-28,10 per 100.000 penduduk per tahun dalam penelitian Eropa
(Essentials of Neuroanesthesia, 2017).

Kecelakaan lalu lintas dapat berupa tabrakan antara kendaraan, pejalan kaki ditabrak oleh
kendaraan bermotor, ataupun kecelakaan sepeda. Di Amerika dan di daerah pinggiran kota /
pedesaan, kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab kejadian trauma kepala yang paling
sering. Namun, di kota-kota dengan populasi lebih dari 100.000 orang, tindak kekerasan,
jatuh, dan trauma kepala tembus adalah etiologi yang lebih umum. Rasio kejadian trauma
kepala pada laki-laki dibanding perempuan hampir 2:1 dan trauma kepala lebih sering dialami
orang yang berumur dibawah 35 tahun (Ainsworth, 2015). Penyebab kejadian trauma kepala
di Indonesia akibat jatuh sebesar 40,9%, akibat kecelakaan sepeda motor sebesar 40,6%,
akibat cedera akibat benda tajam dan tumpul sebesar 7,3%, transportasi darat lainnya sebesar
7,1% dan sebesar 2,5 % oleh karena kejatuhan (Badan Penelitan dan Pengembangan
Kesehatan RI, 2013).

Menurut data pasien di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung pada periode 01
Januari 2018-30 September 2020,pasien dengan cedera kepala yang berusia ≥ 18 tahun,
pasien cedera kepala dengan hipotensi sebesar 5,5% (8 orang) dan pasien cedera kepala tanpa
hipotensi sebesar 94,5% (137 orang). Angka kejadian mortalitas pada cedera kepala
didapatkan sebesar 35,9% (52 orang).Universitas Sumatera Utara 2 Di Instalasi Gawat
Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Medan pada tahun
2010 jumlah penderita trauma kepala adalah 1627 penderita, yang terdiri atas 1021 penderita
cedera kepala ringan (CKR),444 penderita cedera kepala sedang (CKS), dan 162 penderita
cedera kepala berat (CKB) (Data Departemen Bedah Saraf FK USU, 2010). Berdasarkan latar
belakang dan data yang didapatkan, penulis tertarik untuk membuat Asuhan Keperawatan
pada pasien dengan Cidera Kepala.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka penulis mengidentifikasi masalah
keperawatan cedera kepaka dimana asuhan keperawatan ditentukkan berdasarkan data focus
yang di dapatkan dari hasil pengkajian untuk menentukan proiritas masalah keperawatan yang
muncul (Diagnosa keperawatan), menentukkan intervensi, implementasi keperawatan dan
mengevaluasi dari asuhan keperawatan yang diberikan.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penulis berharap mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala.
1.3.2 Tujuan Khusus

1. Melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan cedera kepala

2. Melakukan analisa data sesuai dengan hasil pengkajian untuk menentukkan prioritas
masalah keperawatan pada pasien dengan cedera kepala secara benar sesuai analisa
data,serta merumuskan dignosa keperawatan pada pasien dengan cedera kepala dengan
benar sesuai ptioritas masalah.

3. Menyusun perencanaan keperawatan sesuai dengan diagnose yang ditegakkan

4. Melakukan tindakkan keperawatan dengan benar sesuai deengan rencanma yang telah
ditentukkan

5. Melakukan evaluasi pelaksanaan keperawatan, baik evaluasi formatif maupuin evaluasi


sumatif.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Cedera Kepala

2.1.1 Pengertian

Cidera kepala adalah trauma yang mengenai otak disebabkan oleh kekuatan eksternal yang
menimbulkan perubahan tingkat kesadaran dan perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik,
fungsi tingkah laku, dan emosional.( Widagdo Wahyu, 2008)

Cidera Kepala merupakan adanya pukulan atau benturan mendadak pada kepala dengan atau
tanpa kehilangan kesadaran (World Health Organization tahun 2015)

Cedera adalah sesuatu kerusakan pada struktur atau fungsi tubuh yang terjadi ketika tubuh
manumur secara tiba-tiba mengalami penurunan energi dalam jumlah yang melebihi ambang
batas toleransi fisiologis atau akibat dari kurangnya satu atau lebih komponen penting seperti
oksigen (WHO, 2014).

Cedera dapat terjadi disatu atau lebih bagian tubuh manumur termasuk kepala. Cedera kepala
atau sering disebut trauma kepala adalah cedera mekanik yang mengenai kepala secara
langsung atau tidak langsung dan menyebabkan luka pada kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak, serta dapat mengganggu fungsi
neurologis (Manarisip et al., 2014)

Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau tanpa
disertai perdarahan interstitial dalam subtansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.(
Tarwoto&Wartonah, 2007 )
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis
pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi - decelerasi ) yang merupakan
perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan
penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak
sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan. Cidera kepala adalah suatu gangguan
traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam
substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala pada dasarnya
dikenal dua macam mekanisme trauma yang mengenai kepala yakni benturan dan goncangan
(Gernardli & Meany, 1996).

2.1.2 Etiologi

Pada Cedera kepala dapat terjadi karena beberapa mekanisme, namun penyebab paling umum
kejadian trauma kepala adalah sebagian berikut:

1. Kecelakaan lalu lintas Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 1993 ayat 1,
kecelakaan lalu lintas merupakan suatu peristiwa dijalan yang tidak disangka-sangka dan
tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya
mengakibatkan korban manumur atau kerugian harta benda.

2. Jatuh mendefinisikan jatuh sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah dengan cepat
karena gravitasi bumi, baik ketika masih dl gerakan turun maupun sesudah sampai ke
tanah dan sebagainya). Universitas Sumatera Utara 5

3. Tindak kekerasan Menurut kamus sosiologi, kekerasan adalah ekspresi yang dilakukan
seseorang atau sekelompok secara fisik ataupun verbal orang yang mencerminkan
tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang.

4. Cedera olahraga Pada tahun 2006, Fuller mendefinisikan cedera olahraga sebagai
cedera yang timbul akibat berolahraga, baik sebelum selama maupun sesudah
berolahraga.

5. Trauma kepala tembus


Trauma kepala tembus adalah luka dimana proyektil menembus tengkorak tetapi tidak
keluar (Vinas, 2015).

2.1.3 Klasifikasi

Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul setelah
cedera kepala (Alexander PM, 1995). Ada berbagai klasifikasi yang dipakai dalam penentuan
derajat cedera kepala. The Traumatic Coma Data Bank mendifinisikan berdasarkan skor Skala
Koma Glasgow (Glasgow coma scale).

Tabel I. Kategori Penentuan Keparahan cedera Kepala berdasarkan Nilai Glasgow Scale Coma
(GCS)

Penentuan Keparahan Deskripsi


Minor/Ringan GCS 13- 15 Dapat terjadi kehilangan keadaran atau amnesia
tetapi kurang dari 30 menit. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak
ada kontusio cerebral, hematoma
Sedang GCS 9 – 12 Kehilangan kesadaran atsu amnesia lebih dari 30
menit teatspi kurang daei 24 jam. Dapat mengalami fraktur
tengkorak
Berat GCS 3 – 8 Khilangan kesadaran dan terjadi amnesia lebih dari 24
jam , meliputi kuntosio cerebri, laserasi atau hematom
intracranial

Tabel 2. Glasgow Coma Scale

1.Membuka Mata Skor


Spontan 4
Terhadap Suara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
Respon Verbal
Orientasi baik 5
Orientasi terganggu 4
Kata – kata tidak jelas 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada 1
Respon Motorik
Mampu bergerak 6
Melokasi nyeri 5
Fleksi menarik 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
Tidak ada respon 1
Total 3 - 15

2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses sekunder.
Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu trauma
yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak.
Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub
temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi
selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex
adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik
dan pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera
kepala traumatik berat.

Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya fokal
(perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus). Proses ini adalah kerusakan otak tahap
awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan tergantung
pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan
perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera
intrakranial, robekan regangan serabu saraf dan kematian langsung pada daerah yang
terkena.
Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan
primer.Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan
sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi
menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak.
Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan
sawar darah otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak, gangguan hormonal,
pengeluaran bahan-bahan neurotransmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer
atau sekunder akan menimbulkan gejala- gejala neurologis yang tergantung lokasi
kerusakan.

Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus frontalis akan
mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru
akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan
sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya
seperti dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.

Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan adanya
kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan terjadi
hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi sistem
vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya
disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang
berhubungan dengan hipofisis. Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan
dikeluarkan melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi
negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan
pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak. Batang otak
dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder akibat fleksi atau torsi
akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau karena
penekanan oleh herniasi unkus. Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang
terjadi pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada
lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan
kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku terjadi bila hubungan batang otak dengan korteks
serebri terputus.

Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakan- kerusakan saraf-
saraf kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas
dangkal tak teratur yang dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan menimbulkan
timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada gangguan setinggi
diensefalon akan mengakibatkan alkalosisi respiratorik.
Cedera otak sekunder tejadi setiap saat setelah terjadi benturan. Faktor-faktor yang
menyebabkan cedera otak sekunder adalah:
1. Hematoma intracranial
a. Epidural
b. Subdural
c. Intraserebral
d. Subarahnoid
2. Pembengkakan otak
Mungkin terjadi dengan atau tanpa hematoma intrakranial. Hal ini diakibatkan
timbunan cairan intra atau ekstrasekuler atau bendung vaskuler.
3. Herniasi : tentorial dan tonsiler
4. Iskhemi serebral, akibat dari:
a. Hipoksia / hiperkarbi
b. Hipotensi
c. Peninggian tekanan intracranial
5. Infeksi : Meningitis, abses serebri

Tipe trauma kepala


1. Trauma kepala terbuka
a. Trauma ini dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi durameter.
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak, misalnya akibat
benda tajam atau tembakan.
b. Fraktur linier di daerah temporal
Dimana arteri meningeal media berada dalam jalur tulang temporal, sering
menyebabkan perdarahan epidural. Fraktur linier yang melintang garis tengah, sering
menyebabkan perdarahan sinus dan robeknya sinus sagitalis superior.

c. Fraktur di daerah basis


Disebabkan karena trauma dari atas atau kepala bagian atas yang membentur jalan
atau benda diam. Fraktur di fosa anterior, sering terjadi keluarnya liquor melalui
hidung (rhinorhoe) dan adanya brill hematom (raccon eye).
d. Fraktur pada os petrosus
Berbentuk longitudinal dan transversal (lebih jarang). Fraktur longitudinal dibagi
menjadi anterior dan posterior.Fraktur anterior biasanya karena trauma di daerah
temporal, sedang yang posterior disebabkan trauma di daerah oksipital.
e. Fraktur longitudinal
Sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus interna, foramen jugularis
dan tuba eustakhius. Setelah 2 – 3 hari akan nampak battle sign (warna biru di
belakang telinga di atas os mastoid) dan otorrhoe (liquor keluar dari telinga).
perdarahan dari telinga dengan trauma kepala hampir selalu disebabkan oleh retak
tulang dasar tengkorak.Pada dasarnya fraktur tulang tenkorak itu sendiri
menimbulkan masalah adalah fragmen tulang itu menyebabkan robekan pada
durameter, pembuluh darah atsu jaringan otak.Hal ini menyebabkan kerusakan pusat
vital, saraf kranial dan saluran saraf ( nerve pathway).
2. Trauma kepala tertutup
a. Komotio serebri (gegar otak)
Penyebab gejala komotio serebri belum jelas.Akselerasi-akselerasi yang
meregangkan otak dan menekan formotio retikularis merupakan hipotesis yang
banyak dianut.Setelah penurunan kesadaran beberapa saat pasien mulai bergerak,
membuka matanya tetapi tidak terarah, reflek kornea, reflek menelan dan respon
terhadap rasa sakit yang semula hilang mulai timbul kembali.Kehilangan memori
yang berhubungan dengan waktu sebelum trauma disebut amnesia retrograde.
Amnesia post traumatic ialah kehilangan ingatan setelah trauma, sedangkan amnesia
traumatic terdiri dari amnesia retrograde dan post traumatic.
b. Edema serebri traumatic
Otak dapat menjadi sembab tanpa disertai perdarahan pada trauma kapitis terutama
pada anak-anak. Pingsan dapat berlangsung lebih dari 10 menit, tidak dijumpai
tanda-tanda kerusakan jaringan otak.Pasien mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin
muntah. Pemeriksaan cairan otak mungkin hanya dijumpai tekanan yang agak
meningkat
c. Kontusio serebri
Kerusakan jaringan otak disertai perdarahan yang secara makroskopis tidak
mengganggu jaringan. Kontosio sendiri biasanya menimbulkan defisit neurologis
jika mengenai daerah motorik atau sensorik otak. Kontusio serebri murni biasanya
jarang terjadi. Diagnosa kontusio serebri meningkat sejalan dengan meningkatnya
penggunaan CT scan dalam pemeriksaan cedera kepala. Kontusio serebri sangat
sering terjadi difrontal dan labus temporal, walaupun dapat terjadi juga pada setiap
bagian otak, termasuk batang otak dan serebelum.Batas perbedaan antara kontusio
dan perdarahan intra serebral traumatika memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat
saja dalam waktu beberapa jam atau hari mengalami evolusi membentuk pedarahan
intra serebral (ATLS 1997).
d. Perdarahan Intrakranial
a) Perdarahan Epidural
Perdarahan epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi pada
regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya anteri meningea media
(Sudiharto 1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan
dengan bekas gejala a (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh
gangguan kesadaran progesif disertai kelainan neurologis unilateral. Kemudian
gejala neurologis timbul secara progesif berupa pupil anisokor, hemiparese,
papiledema dan gajala herniasi transcentorial. Perdarahan epidural di fossa
posterior dengan perdarahan berasal dari sinus lateral, jika terjadi di oksiput akan
menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah ataksia serebelar dan
paresis nervi kranialis. Ciri perdarahan epidural berbentuk bikonveks atau
menyerupai lensa cembung.
b). Perdarahan Subdural
Terjadi antara duramater dan arachnoid. Perdarahan subdural lebih biasa terjasi
perdarahan epidural (30 % dari cedera kepala berat). Umumnya perdarahan akibat
pecahnya/robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara kortek serebri dan
sinus venosa tempat vena tadi bermuara, namun dapat pula terjadi akibat laserasi
pembuluh arteri pada permukaaan otak. Gejala yang sub akut tidak sejelas yang
gejala akut. Perdarahan subdural menjadi simptomatik dalam 3 hari disebut akut,
jika gejala timbul antarqa 3 sampai 21 hari disebut subakut, sedangkan lebih dari
21 hari disebut kronik.
Gejala yang paling sering pada akut adalah nyeri kepala, mengantuk, agitasi cara
berpikir yang lambat dan bingung. Gejala yang paling sering pada kronik adalah
nyeri kepala yang semakin berat, cara berpikir yang lambat, bingung, mngantuk.
Pupil edema dapat terjadi dan pupilipsilateral dilatasi dan refleka cahaya menurun,
Hemiparese sebagai tanda akhir biasa ipsilateral atau kontralateral tergantung
pada apakah lobus temporal mengalami herniasi melalui celah tentorum dan
menekan pendukulus serebri kontralateral
. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan
kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosinya pun jauh lebih buruk dari
pada perdarahan epidural.
c). Perdarahan subarahnoid
Perdarahan subaranoid sering terjadi pada trauma kapitis. Secara klinis mudah
dikenali yaitu ditemukannya kaku kuduk, nyeri kepala, gelisah, suhu badan
subfebril. Gejalanya menyerupai meningitis. Perdarahan yang besar dapat disertai
koma. Pedarahan terjadi didalam ruang subarahnoid karena robeknya pembuluh
darah yang berjalan didalamnya.darah tercampur dengan cairan otak. Adanya
darah didalam liquor serebri spinal akan merangsang meningia sehingga terjadi
kaku kuduk.
Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang secara deskripsi
dapat dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan beratnya cedera
kepala. (IKABI, 2004)

Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dikelompokkan menjadi dua yaitu


1. Cedera kepala tumpul.
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan
benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi 7 dan decelerasi yang
menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan melakukan kontak pada
protuberas tulang tengkorak.
2. Cedera tembus Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.

Berdasarkan morfologi cedera kepala


Cedera kepala menurut (Tandian, 2011). Dapat terjadi diarea tulang tengkorak yang
meliputi 1 . Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit kepala/scalp
terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin, connective tissue dan
perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar
yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering
terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah dan
jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan
yang cukup banyak.
2. Fraktur tulang kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi
a. Fraktur linier Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau
stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala.
Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala
cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat
fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial.
b. Fraktur diastasis Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura
tulamg tengkorak yang mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang 8 kepala. Jenis
fraktur ini sering terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu
dengan erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid
dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.
c. Fraktur kominutif Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang
meiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
d. Fraktur impresi Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan
tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala dan pada area yang kecal.
Fraktur impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi
pada duremater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi, jika
tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula interna segmen tulang
yang sehat.
e. Fraktur basis kranii Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi
pada dasar tulang tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada
durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis kranii berdasarkan
letak anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur
fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis kranii dan
tulang kalfaria. Durameter daerah basis krani lebih tipis dibandingkan daerah
kalfaria dan durameter daerah basis melekat lebih erat pada tulang dibandingkan
daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan
robekan durameter.Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang
menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis).

Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon eyes sign (fraktur
basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan batle’s sign (fraktur basis kranii fossa
media). Kondisi ini juga 9 dapat menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering
terjadi adalah gangguan saraf penciuman (Nerve olfactorius). Saraf wajah (Nerve
facialis) dan saraf pendengaran ( Nerve . vestibulokokhlearis). Penanganan dari
fraktur basis kranii meliputi pencegahan peningkatan tekanan intrakranial yang
mendadak misalnya dengan mencegah batuk, mengejan, dan makanan yang tidak
menyebabkan sembelit. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan telinga, jika
perlu dilakukan tampon steril (konsultasi ahli THT) pada tanda bloody/ otorrhea
/otoliquorrhea.Pada penderita dengan tanda-tanda bloody/otorrhea/otoliquorrhea
penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring ke posisi yang sehat.

3 . Cedera kepala di area intrakranial


Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan cedera
otak difus Cedera otak fokal yang meliputi.
a. Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH) Epidural hematom (EDH)
adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang potensial antara tabula interna
tulangtengkorak dan durameter. Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan
kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit
neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain
yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.
b. Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut adalah Perdarahan
subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (6-3
hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks
cerebri.Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak. Biasanya
kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan 10 prognosisnya jauh lebih buruk
dibanding pada perdarahan epidural.
c Perdarahan subdural kronik atau SDH (Subdural hematom) kronik adalah
terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma. Subdural
hematom kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di
ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan
darah atau clot yang bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi
fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks)
dan lapisan luar (durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti
dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses
degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan hipertonis
yang dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik
likuor diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan subdural
bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara
lain sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA
(transient ischemic attack).di samping itu dapat terjadi defisit neorologi yang
berfariasi seperti kelem
d Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH) adalah area perdarahan
yang homogen dan konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral
hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang
tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang
menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di
parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang
ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya 11 penurunan kesadaran. Derajat
penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari trauma yang
dialami.
e. Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH) yaitu Perdarahan subarahnoit
diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena dalam
jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoit dan disebut
sebagai perdarahan subarahnoit (PSA). Luasnya PSA menggambarkan luasnya
kerusakan pembuluh darah, juga menggambarkan burukna prognosa. PSA yang
luas akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan
iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.

Klasifikasi cedera kepala berdasarkan beratnya


Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, menurut (Mansjoer, 2000) dapat
diklasifikasikan penilaiannya berdasarkan skor GCS dan dikelompokkan menjadi
1. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 – 15
a. Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi.
b. Tidak ada kehilangan kesadaran
c. Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
d. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
e. Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala
2. Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 13
Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi respon yang sesuai
dengan pernyataan yang di berikan
a. Amnesia paska trauma
b. Muntah
c.Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum,
otorea atau rinorea cairan serebro spinal) ahan otorik dan kejang.
3. Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8.
a.Penurunan kesadaran sacara progresif
b. Tanda neorologis fokal
c. Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium (mansjoer, 2000)

2.1.5 . Manifestasi klinis


1. Kombusio serebri :
a. Muntah tanpa nausea
b. Nyeri pada lokasi cidera
c. Mudah marah
d. Hilang energy
e. Pusing dan mata berkunang-kunang
f. Orientasi terhadap waktu, tempat, dan orang.
g. Tidak ada deficit neurology
h. Tidak ada ketidaknormalan pupil
i. Ingatan sementara hilang
j. Scalp tenderness
2. Kontusio serebri :
a. Perubahan tingkat kesadaran
b. Lemah dan paralisis tungkai
c. Kesulitan berbicara
d. Hilangnya ingatan sebelum dan pada saat trauma,
e. Sakit kepala
f. Leher kaku
g. Perubahan dalam penglihatan
h. Tidak berespon baik rangsang verbal dan nyeri
i. Demam diatas 37°C
j. Peningkatan frekuensi nafas dan denyut nadi,
k. Berkeringat banyak
l. Perubahan pupil ( kontriksi, tidak berespon terhadap rangsangan cahaya)
m. Muntah
n. Otorhea
o. Tanda betle’s ( ekimosis pada daerah frontal ),
p. Flacit paralisis atau paresis bilateral
q. Kelumpuhan saraf cranial
r. GCS dibawah 7
s. Hemiparesis atau paralesis
t. Posisi dekortikasi
u. Rhinorrhea
v. Aktifitas kejang

2.1.5 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada cidera kepala diantaranya :
1. Deficit neurologi fokal
2. Kejang
3. Pneumonia
4. Perdarahan gastrointestinal
5. Disritmia jantung
6. Syndrome of inappropriate secretion of antideuretic hormone ( SIADH )
7. Hidrosefalus
8. Kerusakan control respirasi
9. Inkontinensia bladder dan bowel

2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik


1. CT Scan untuk mengetahui adanya massa/sel perdarahan, hematom, letak dan luasnya
2. Kerusakan/perdarahan. MRI dilakukan bila CT scan belum memberi hasil yang cukup.
3. EEG untuk melihat adanya aktivitas gelombang listrik diotak yang patologis
4. Cerebral Angiography : Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
5. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
6. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
7. Lumbal Punksi : Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
8. ABGs Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakrania.
9. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkra
2.1.7 Penatalaksanaan
1. Umum
a. Airway : Pertahankan kepatenan jalan nafas
b. Atur posisi : posisi kepala flat dan tidak miring ke satu sisi untuk mencegah
c. Penekanan/bendungan pada vena jugularis
d. Cek adanya pengeluaran cairan dari hidung, telinga atau mulu
e.Breathing : Kaji pola nafas, frekuensi, irama nafas, kedalaman
f. Monitoring ventilasi : pemeriksaan analisa gas darah, saturasi Oksigen
h.Circulation : Kaji keadaan perfusi jaringan perifes (akral, nadi capillary rafill,
sianosis pada kuku, bibir)
i. Monitor tingkat kesadaran, GCS, periksa pupil, ukuran, reflek terhadap cahaya
j. Monitoring tanda – tanda vita
k. Pemberian cairan dan elektrolit
l. Monitoring intake dan output
2. Khusus
a. Konservatif : Dengan pemberian manitol/gliserin, furosemid, pemberian steroid
b. Operatif : Tindakan kraniotomi, pemasangan drain, shuting prosedur
c.Monitoring tekanan intrakranial : yang ditandai dengan sakit kepala hebat, muntah
proyektil dan papil edema
d. Pemberian diet/nutrisi
e. Rehabilitasi, fisioterapi
Penatalaksanaan berdasarkan klasifikasi :

1.Penatalaksanaan Cedera Kepala Ringan (GCS 14–15)

a. Observasi atau dirawat di rumah sakit bila CT Scan tidak ada atau hasil CT Scan
abnormal, semua cedera tembus, riwayat hilang kesadaran, sakit kepala sedang–
berat, pasien dengan intoksikasi alkohol/obat- obatan, fraktur tengkorak, rinorea-
otorea, cedera penyerta yang bermakna, tidak ada keluarga yang di rumah, tidak
mungkin kembali ke rumah sakit dengan segera, dan adanya amnesia. Bila tidak
memenuhi kriteria rawat maka pasien dipulangkan dengan diberikan pengertian
kemungkinan kembali ke rumah sakit bila dijumpai tanda-tanda perburukan.
b. Observasi tanda vital serta pemeriksaan neurologis secara periodik setiap ½- 2
jam.
c. Pemeriksaan CT Scan kepala sangat ideal pada penderita CKR kecuali memang
sama sekali asimtomatik dan pemeriksaan neurologis normal.

1. Penatalaksanaan pada Cedera Kepala Sedang/ CKS dengan (GCS 9-13).


a. Dirawat di rumah sakit untuk observasi, pemeriksaan neurologis secara periodik.
b. Bila kondisi membaik, pasien dipulangkan dan kontrol kembali, bila kondisi
memburuk dilakukan CT Scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera
kepala berat.

3. Penatalaksanaan Cedera Kepala Berat (GCS > 8)

a. Pastikan jalan nafas korban clear (pasang ET), berikan oksigenasi 100% dan
jangan banyak memanipulasi gerakan leher sebelum cedera cervical dapat
disingkirkan.

b.Berikan cairan secukupnya (ringer laktat/ringer asetat) untuk resusitasi korban


agar tetap normovolemia, atasi hipotensi yang terjadi dan berikan transfusi darah
jika Hb kurang dari 10 gr/dl.

c. Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh lain, GCS
dan pemeriksaan batang otak secara periodik.
d. Berikan manitol iv dengan dosis 1 gr/kgBB diberikan secepat mungkin pada
penderita dengan ancaman herniasi dan peningkatan TIK yang mencolok.

e.Berikan anti edema cerebri: kortikosteroid deksametason 0,5 mg 3×1, furosemide


diuretik 1 mg/kg BB tiap 6-12 jam bila ada edema cerebri, berikan anti
perdarahan.

f. Berikan obat-obatan neurotonik sebagai obat lini kedua, berikan anti kejang jika
penderita kejang, berikan antibiotik dosis tinggi pada cedera kepala terbuka,
rhinorea, otorea.

g. Berikan antagonis H2 simetidin, ranitidin iv untuk mencegah perdarahan


gastrointestinal.

h. Koreksi asidodis laktat dengan natrium bikarbonat.

i. Operasi cito pada perkembangan ke arah indikasi operasi.

j. Fisioterapi dan rehabilitas diagnostik

2.2 Asuhan Keperawatan Cedera Kepala

2.2.1 . Pengkajian
1. Indentitas kilen
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang Apakah ada penurunan kesadaran, muntah, sakit
kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralysis, perdarahan, fraktur
b. Riwayat Penyakit Dahulu Apakah ada penyakit sistem persyarafan, riwayat
trauma masa lalu, riwayat penyakit darah, riwayat penyakit sistemik / pernafasan
Cardiovaskuler dan metabolic
c. Riwayat Penyakit Keluarga Adanya riwayat Penyakit menular
d. Pemeriksaan Fisik
Tingkat Kesadaran (GCS)
a) Ringan (GCS 13 – 15)
b) Sedang (GCS 9 – 12)
c) Berat (GCS 3 – 8)
Aspek Neurologis
a) Kaji GCS
b) Disorientasi tempat / waktu
c) Refleksi Patologis & Fisiologis
d) Nervus Cranialis XII nervus (sensasi, pola bicara abnormal)
e) Status Motorik Perubahan pupil/penglihatan kabur, diplopia
f) 5 – 6 cm = kerusakan batang otak
g) Mengecil = Metabolis Abnormal & disfungsi encephalo
h) Pin-point = Kerusakan pons, batang otak
i) Perubahan tanda-tanda vital
j) Tanda-tanda peningkatan TIK
k) Penurunan kesadaran
l) Gelisah letargi
m) Sakit kepala
n) Muntah proyektif
o) Pupil edema
p) Pelambatan nadi
q) Pelebaran tekanan nadi
r) Peningkatan tekanan darah sistolik
Aspek Kardiovaskuler
a) Perubahan TD (menurun/meningkat)
b) Denyut nadi : Bradikardi, Tachi kardi, irama tidak teratur
c) TD naik, TIK naik
Sistem Pernafasan
a) Perubahan pola nafas
b) Irama, frekuensi, kedalaman, bunyi nafas
Kebutusan Dasar
a) Eliminasi Perubahan pada BAB/BAK : inkontinensia, obstipasi,hematuria
b) Nutrisi Mual, muntah, gangguan mencerna/menelan makanan
c) Istirahat
d) Kelemahan, mobilisasi, tidur kurang
e. Pengkajian Psikologis Gangguan emosi/apatis, delirium
f. Pengkajian Sosial ; Hubungan dengan orang terdekat, Kemampuan komunikasi
g. Pengkajian Spiritual ; Ketaatan terhadap agama
h. Pemeriksaan Diagnostik
a) Hasil radiologi / CT Scan ; Hematom serebral, edem serebral, perdarahan
intracranial, fraktur tulang tengkorak
b) AGD : PO2, PH, HCO3- Untuk mengkaji keadekuatan ventilasi
(memeprtahankan AGD dalam rentang normal untuk menjamin aliran darah
serebral adekuat.
c) Elektrolit Serum Cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan regulasi
natrium, retensi Na berakhir dapat beberapa hari, diikuti dengan diuresis Na,
peningkatan letargi, konfusi dan kejang akibat ketidakseimbangan elektrolit.
d) Hematologi : leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum
e) CSS : warna, komposisi, tekanan

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


Menurut SDKI diagnosa yang mungkin muncul pada pasien dengan cidera kepala adalah:
1.Penurunan kapasitas adatif intracranial (D0066)
2.Nyeri akut (D0077)
3.Bersihan jalan nafas tidak efektif (D0001)
4.Gangguan sirkulasi Spontan (D0007)
5. Risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (D0037)
6.Risiko Cedera (D0136)

2.2.3 Intervensi Keperawatan


Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang di
dasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran / outcome (TIM
pokja SIKI,2019). Intervensi di bagi menjadi 2 level,yaitu:
1. Level 1 ( intervensi utama), merupakan intervensi prioritas karena bersifat resolutif,
memiliki kesesuaian terbaik dengan diagnosis.
2. Level 2 (intervensi pendukung), merupakan intervensi bukan prioritas, tidak bersifat
resolusi masalah, dan hanya dapat mengatasi etiologi diagnosis tertentu saja.

Berdasarkan diagnose yang mungkin muncul pada pasien dengan cedera kepala intervensi
keperawatan sebagai berikut:

Diagnosa :Penurunan kapasitas adatif intracranial (D0066)

1. Kapasitas adatif Intrakranial (L.06049)

Kriteria hasil:

Tingkat kesadaran 1 (Menurun ) – 5 (Meningkat)


Sakit kepala 1 ( Meningkat )- 5 ( Menurun)
Gelisah 1 ( Meningkat )- 5 ( Menurun)
Muntah 1 ( Meningkat )- 5 ( Menurun)
Papiledema 1 ( Meningkat )- 5 ( Menurun)
Respon neurologis 1 (Memburuk ) – 5 ( Membaik)
Tekanan darah 1 (Memburuk ) – 5 ( Membaik)
Respon pupil 1 (Memburuk ) – 5 ( Membaik)
2. Perfusi Serebral (L.02014)
Kriteria hasil :
Tingkat kesadaran 1 (Menurun ) – 5 (Meningkat)
MAP 1 (Memburuk ) – 5 ( Membaik)
Sakit kepala 1 ( Meningkat )- 5 ( Menurun)
3. Status neurologis (L.06053)
Kriteria hasil:
Tingkat kesadaran 1 (Menurun ) – 5 (Meningkat)
Reaksi pupil 1 (Menurun ) – 5 (Meningkat)
Sakit kepala 1 ( Meningkat )- 5 ( Menurun)
Frekuensi nadi 1 (Memburuk ) – 5 ( Membaik)
4. Keseimbangan Asam basa ( L.02009)
Kriteria hasil:
Tingkat kesadaran 1 (Menurun ) – 5 (Meningkat)
Frekuensi nafas 1 (Memburuk ) – 5 ( Membaik)
pH 1 (Memburuk ) – 5 ( Membaik)

Intervensi Keperawatan
1. Manajemen peningkatan tekanan intracranial
a. Observasi
a) Identifikasi penyebab peningkatan TIK
b) Monitor tanda dan gejala peningkatan TIK
c) Monitor MAP
d) Monitor intake – output
b. Terapetik
a) Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan tenang
b) Berikan posisi semifowler
c) Hindari maneuver valsava
d) Hindari pemberian cairan iv hipotonik
e) Atut PaCo2 optimal
f) Pertahankan suhu tubuh normal
c. Kolaborasi
a) Pemberian sedasi dan anti konvulsan k/p
b) Kolaborasi pemberian diuretic osmosis k/p
c) Pemberian pelunak tinja k/p
2. Pemantauan tekanan intracranial
a. Observasi
a) Identifikasi penyebab peningkatan TIK
b) Monitor penigkatan TD
c) Monitor pelebaran tekanan nadi
d) Monitor penurunan tingkat kesadaran
e) Monitor perlambatan dan ketidaksimetrisan respon pupil
b. Teraupetik
a) Pertahankan posisi kepala dan leher netral
b) Atur interval pemantauan k/p
c) Dokumentasi hasil pemantauan
c. Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
b) Informasikan hasil pemantauan
3. Manajemen asam basa
a. Observasi
a) Identifikasi penyebab ketidakseimbangan asam basa
b) Monitor frekuensi dan kedalaman nafas
c) Monitor perubahan Ph, PaCo2, dan HCO3
b. Teraupetik
a) Periksa AGD
b) Berikan oksigen sesuai indikasi

c. Kolaborasi
Pemberian ventilasi mekanik
d. Kolaborasi
Jelaskan penyebab dan mekanisme terjadi gangguan asam basa
4. Pemantauan neurologis
a. Observasi
a) Monitor bentuk, ukuran,danreaktifitas pupil
b) Monitor tingkat kesadaran
c) Monitor tingkat orientasi
d) Monitor status pernafasan (AGD, oksimetri, kedalaman nafas dan pola nafas)
e) Monitor keluhan nyeri kepala
f) Monitor parestesi ( mati rasa, kesemutan )
g) Monitor respon Babinski
h) Monitor respon cushing
b. Teraupetik
a) Tingkatkan frekuensi pemantauan neuriologis
b) Hindari aktivitas yang meningkatkan tekanan intracranial
c) Atur interval waktu pemantauan sesuai kondisi pasien
c. Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
b) Informasikan hasil pemantauan

Diagnosa :Nyeri akut (D0077)

1. Tingkat nyeri ( L.08066)


Kriteria hasil :
Keluhan nyeri 1 ( Meningkat )- 5 ( Menurun)
Frekuensi nadi 1 (Memburuk ) – 5 ( Membaik)
2. Tingkat cedera ( L.14136)
Kriteria hasil :
Toleransi aktivitas 1 (Menurun ) – 5 (Meningkat)
Kejadian cedera 1 ( Meningkat )- 5 ( Menurun)
Tekanan darah 1 (Memburuk ) – 5 ( Membaik)
3. Mobilitas fisik (L 05042)
Kriteria hasil :
Pergerakan ektremitas 1 (Menurun ) – 5 (Meningkat)
Nyeri 1 ( Meningkat )- 5 ( Menurun)
Intervensi Keperawatan
1. Manajemen nyeri
a.Observasi
a). Identifikasi lokasi, karakteristik, frekuensi, durasi kualitas nyeri
b). Identifikasi skala nyeri
c). Identifikasi factor pemberat dan peringan nyeri
d). Monitor efek samp[ing penggunaan analgetik
b. Teraupetik
a). Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri
b). Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
c). Pertimbangkan jenis dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
c. Edukasi
a). Jelaskan penyebab, periode, pemicu nyeri
b). Jelaskan strategi meredakan nyeri
c). Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
d. Kolaborasi
a). Pemberian analgetik k/p
2. Pemberian analgesic
a. Observasi
a) Identifikasi karakteristik nyeri
b) Identifikasi riwayat alergi obat
c) Identifikasi kesesuaian jenis analgetik dengan tingkat keparahan nyeri
d) Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik
e) Monitor efektivitas analgetik

b. Teraupetik
a) Pertimbangkan penggunaan infus continue,bolusopoid untuk mempertahankan
kadar dalam serum
b) Teytapkan target efektifitas analgetik untuk mengoptimalkan respon pasien
c) Dokumentasikan respon pasien terhadap efek analgetik dan efek yang tidak
diinginkan
c. Edukasi
a) Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
d. Kolaborasi
a) Pemberian dosis dan efek samping obat
3. Pemantauan nyeri
a. Observasi
a) Identifikasi factor pencetus dan Pereda nyeri
b) Monitor kualitas nyeri
c) Monitor lokasi dan penyebaran nyeri
d) Monitor intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri
e) Monitor durasi dan frekuensi nyeri
b. Teraupetik
a) Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
b) Dokumentasikan hasil pemantauan
c. Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
b) Informasikan hasil pemantauan
4. Manajemen medikasi
a. Observasi
a) Identifikasi penggunaan obat sesuai resep
b) Monitor efektifitas dan efek samping pemberian obat
b. Teraupetik
a) Fasilitasi perubahan program pengobatan k/p
b) Sediakan sumber informasi program pengobatan secara visual maupun tertulis

c. Edukasi
a) Ajarkan cara menangani atau mengurangi efek samping k/p
b) Anjurkan menghubungi petugas jika terjadi efek samping obat

Diagnosa :Bersihan jalan nafas tidak efektif (D0001)


1. Bersihan jalan nafas ( L.01001)
Kriteria hasil:
Frekuensi nafas 1 (Memburuk ) – 5 ( Membaik)
Batuk efektif 1 (Menurun ) – 5 (Meningkat)
Produksi sputum 1 ( Meningkat )- 5 ( Menurun)
2. Pertukaran gas
Kriteria hasil:
Tingkat kesadaran 1 (Menurun ) – 5 (Meningkat)
Bunyi nafas tambahan 1 ( Meningkat )- 5 ( Menurun)
pCo2 1 (Memburuk ) – 5 ( Membaik)
3. Respon ventilasi mekanik
Kriteria hasil:
Saturasi oksigen 1 (Menurun ) – 5 (Meningkat)
Sekresi jalan nafas 1 ( Meningkat )- 5 ( Menurun)
Intervensi Keperawatan
1. Manajemen jalan nafas
a. Observasi
a) Monitor pola nafas ( frekuensi, kadalaman, ussha nafas)
b) Monitor bunyi tambahan ( gurgling, mengi, wheezing, ronki)
c) Monitor sputum
b. Teraupetik
a) Pertahankan kepatenan jalan nafas ( dengan head-tilt dan chin-lift atau jaw
thrust jika di curigai trauma cervical)
b) Posisikan semi fowler/ fowler
c) Lakukan fisiotherapi dada k/p
d) Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
e) Lakukan hiperoksigenisasi sebelum penghisapan endotrakeal
f) Berikan oksogen k/p
c. Edukasi
a) Ajarkan teknik batuk efektif
b) Anjurkan asupan cairan 2L jika tidak kontra indikasi
d. Kolaborasi
a) Pemberian bronchodilator, ekpektoran, mukolitk k/p
2. Pemantauan respirasi
a. Observasi
a) Monitor frekuensi irama, kedalaman ,upaya nafas
b) Monitor pola nafas seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi, kussmaul,
cheyne stokes,biot, atau ataksik
c) Monitor kemampuan batuk efektif
d) Monitor adanya produksi sputum
e) Monitor adanya sumbatan jalan nafas
f) Palpasi kesimetrisan ekpansi paru
g) Auskultasu bunyi paru
h) Monitor saturasi oksigen
i) Monitor nila AGD
j) Monitor X-ray thorax
b. Teraupetik
a) Atur interval pemantauan respirasi sesuai kodisi pasien
b) Dokumentasikan hasil pemantauan
c. Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
b) Informasikan pemantauan k/p
3. Manajemen jalan nafas buatan
a. Observasi
a) Monitor posisi selang ETT
b) Monitor tekan balon ETT setiap 4-8 jam
c) Monitor kulit area stoma trakeostomi
b. Teraupetik
a) Pasang opa untuk mencegah ETT tergigit
b) Cegah ETT terlipat /kinking
c) Berikan pre oksigenisasi 100% selama 30 detik (3-6kali ventilasi) sebelum dan
sesudah penghisapan
d) Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik jika diperlukan
e) Ganti fiksasi ETT setiap 24 jam
f) Ubah posisi ETT secara bergantian setiap 24 jam
g) Lakukan perawatan mulut seperti sikat gigi, kasa, pelembab bibir
c. Edukasi
a) Jelaskan pasien / keluarga tujuan pemasangan jalan nafas buatan
d. Kolaborasi
a) Intubasi ulang jika terbentuk mucous plug yang tidak dapat dilakukkan
penghisapan
4. Manajemen ventilasi mekanik
a. Observasi
a) Periksa indikasi ventilator mekaik seperti kelelahan otot nafas, disfungsi
neurologis, asidosis respiratorik)
b) Monitor efek ventilator terhadap status oksigenisasi misalnya bunyi paru, X ray
thorax,AGD
c) Monitor kriteria penyapihan
d) Monitor efek negative ventilator seperti devisiasi trakea, volutrauma,penurunan
curah jantung, distensi gaster, emfisema subkutan
e) Monitor gejala peningkatan pernafasn seperti karena diaphoresis, perubahan
status mental
f) Monitor gangguan mukosa oral, nasal, trakea, dan laring
b. Teraupetik
a) Atur posisi kepala 45- 60 untuk mencegah terjadi aspirasi
b) Reposisi pasien seltiap 2 jam
c) Lakukan perawatan mulut secara rutin
d) Lakukan fisiotherapi dada
e) Lakukan penghisapan lender sesuai kebutuhan
f) Ganti sirkuit ventilator 24 jam ataui sesuai protocol
g) Siapkan bag valve di samping tempat tidur
h) Dokumentasikan respon terhadap ventilator
c. Kolaborasi
a) Pemilihan mode ventilator
b) Pemberian agen pelumpuh otot, sedative, analgesic, sesuai kebutuhan
c) Pengunaan PS atau PEEP untuk meminimalkan hipoventilasi alveolus

Diagnosa Gangguan sirkulasi Spontan (D0007)


1. Sirkulasi spontan
Kriteria hasil:
Tingkat kesadaran 1 (Menurun ) – 5 (Meningkat)
Ftekuensi nadi 1 (Memburuk ) – 5 ( Membaik)
Tekanan darah 1 (Memburuk ) – 5 ( Membaik)
2. Keseimbangan asam basa
Kriteria hasil:
Tingkat kesadaran 1 (Menurun ) – 5 (Meningkat)
Frekuensi nafas 1 (Memburuk ) – 5 ( Membaik)
pH 1 (Memburuk ) – 5 ( Membaik)
3. Perfusi serebral
Kriteria hasil:
Tingkat kesadaran 1 (Menurun ) – 5 (Meningkat)
MAP 1 (Memburuk ) – 5 ( Membaik)
Intervensi Keperawatan
1. Resusitasi cairan
a. Observasi
a) Identifikasi kelas syok
b) Monitor hemodinamik
c) Monitor statua oksigen
d) Monitor intake output cairan tubuh
e) Monitor BUN, Creatinan,albumin k/p
f) Monitor tanda – tanda edem paru
b. Teraupetik
a) Pasang IV berukuran besar
b) Berikan infus kristaloid 1 – 2 L pada dewas
c) Berikan infus kristaloid 20ml/kgbb pada anak
d) Lakukan cross matching produk darah
c. Kolaborasi
a) Penentuan jenis dan jumlah cairan
b) Pemberian produk darah
2. Manajemen asam basa
a. Observasi
a) Identifikasi penyebab ketidakseimbangan asam basa
b) Monitor frekuensi dan kedalaman nafas
c) Monitor status neurologis ( tingkat kesadaran, status mental)
d) Monitor irama dan frekuensi jantung
e) Monitor perubahan pH, PaCo2,HCO3
b. Teraupetik
a) Pemeriksaan AGD
b) Berikan oksigen sesuai indikasi
c. Edukasi
a) Jelaskan mekanisme dan penyebab terjadinya gangguan asam basa
d. Kolaborasi
a) Pemberian ventilasi mekanik
3. Manajemen jalan nafas
a. Observasi
a) Monitor pola nafas ( frekuensi, kadalaman, ussha nafas)
b) Monitor bunyi tambahan ( gurgling, mengi, wheezing, ronki)
c) Monitor sputum
b. Teraupetik
a) Pertahankan kepatenan jalan nafas ( dengan head-tilt dan chin-lift atau jaw
thrust jika di curigai trauma cervical
b) Posisikan semi fowler/ fowler
c) Lakukan fisiotherapi dada k/p
d) Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
e) Lakukan hiperoksigenisasi sebelum penghisapan endotrakeal
f) Berikan oksogen k/p
c. Edukasi
a) Ajarkan teknik batuk efektif
b) Anjurkan asupan cairan 2L jika tidak kontra indikasi
d. Kolaborasi
a) Pemberian bronchodilator, ekpektoran, mukolitk k/p
4. Manajemen jalan nafas buatan
a. Observasi
a) Monitor posisi selang ETT
b) Monitor tekan balon ETT setiap 4-8 jam
c) Monitor kulit area stoma trakeostomi
b. Teraupetik
a) Pasang opa untuk mencegah ETT tergigit
b) Cegah ETT terlipat /kinking
c) Berikan pre oksigenisasi 100% selama 30 detik (3-6kali ventilasi) sebelum dan
sesudah penghisapan
d) Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik jika diperlukan
e) Ganti fiksasi ETT setiap 24 jam
f) Ubah posisi ETT secara bergantian setiap 24 jam
g) Lakukan perawatan mulut seperti sikat gigi, kasa, pelembab bibir
c. Edukasi
a) Jelaskan pasien / keluarga tujuan pemasangan jalan nafas buatan
d. Kolaborasi
a) Intubasi ulang jika terbentuk mucous plug yang tidak dapat dilakukkan
penghisapan

Diagnosa Risiko Cedera (D0136)


1. Tingkat cidera
Kriteria hasil:
Toleransi aktivitas 1 (Menurun ) – 5 (Meningkat)
Kejadian cidera 1 ( Meningkat )- 5 ( Menurun)
Tekanan darah 1 (Memburuk ) – 5 ( Membaik)
2. Orientasi kognitif
Kriteria hasil:
Identifikasi diri sendiri 1 (Menurun ) – 5 (Meningkat)
Identifikasi orang terdekat 1 (Menurun ) – 5 (Meningkat)
Identifikasi tempat 1 (Menurun ) – 5 (Meningkat)

Intervensi Keperawatan
1. Manajemen keselamatan lingkungan
a. Observasi
a) Identifikasi kebutuhan keselamatan seperti karena kondisi fisik, fungsi kognitif
b) Monitor perubahan status keselamatan lingkungan
b. Teraupetik
a) Hilangkan bahaya keselamtan lingkungan k/p
b) Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya dan risiko
c) Gunakan perangkat pelindung seperti pengekangan fisik, rel samping, pintu
terkunci,, pagar
d) Lakukan program skrining bahaya lingkungan
c. Edukasi
a) Ajarkan pasien, keluarga bahaya lingkungan
2. Pencegahan cidera
a. Observasi
a) Identifikasi area lingkungan yang berpotensi cedera
b) Identifikasi obat yang berpotensi menyebabkan cedera

b. Teraupetik
a) Sediakan pencahayaan yang memadai
b) Pertahankan posisi tempat tidur di posisi terendah
c) Pastikan roda tempat tidur terkunci
d) Gunakan pengaman tempat tidur sesuai kebijak faskesdiskusikan bersama
anggota keluarga yang dapat mendampingi pasien
e) Tingkatkan frekuensi observasi dan pengawasan pasien sesuai kebutuhan
c. Edukasi
a) Jelaskan alasan intervensi pencegahan jatuh ke pasien / keluarga

Diagnosa Risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (D0037)


1. Keseimbangan cairan
Kriteria hasil:
Membrane mukosa 1 (Menurun ) – 5 (Meningkat)
Asupan cairan 1 (Menurun ) – 5 (Meningkat)
Output urine 1 (Menurun ) – 5 (Meningkat)
2. Keseimbangan elektrolit
Kriteria hasil:
Serum natrium 1 (Memburuk ) – 5 ( Membaik)
Serum kalium 1 (Memburuk ) – 5 ( Membaik)
Serum clorida 1 (Memburuk ) – 5 ( Membaik)

Intervensi Keperawatan

1. Pemantauan elektrolit
a. Observasi
a) Identifikasi kemungkinan penyebab ketidakseimbangan elektrolit
b) Monitor kadar serum elektrolit
c) Monitor mual, muntah
d) Monitor kehilangan cairan
e) Monitor tanda – tanda hypokalemia seperti kelemahan otot, interval QT
memanjang, gelombang T datar atau terbalik, depresi segmen ST, kelelahan,
paresthesia, motilitas usus,depresi pernafasan
f) Monitor tanda hiperkalemi seperti peka rangsang, gelisah, mual, muntah,
takikardi ventrikel, gelombang T tinggi, komplek QRS tumpul
g) Monitor tanda dan gejala hyponatremia seperti disorientasi, otot berkedut,sakit
kepala, membrane mukosa kering, hipotensi postural, kejang, letargi,,
penurunan kesadaran
h) Monitor hypernatremia seperti haus, demam, mukasa kering,
takikardi,hipotensi,letargi dan kejang
i) Monitor tanda hipokalsemia seperti peka rangsang, spame otot, wajah, kram
otot, interval QT memanjang
j) Monitor hiperkalsemia seperti nyeri tulang, haus, anoreksia, kelemahan otot,
segmen QT memendek, gelombang T lebar,komplk QRS lebar
b. Teraupetik
a) Atur interval waktu pemantauan sesuai kondisi pasien
b) Dokumentasi hasil pemantauan
c. Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
b) Informasikan hasil pemantauan k/p
2. Manajemen elektrolit
a. Observasi
a) Identifikasi tanda gejala ketidakseimbangan kadar elektrolit
b) Identifikasi penyebab ketidakseimbangan elektrolit
c) Identifikasi kehilangan elektrolit
d) Monitor kadar elektrolit
e) Monitor efek samping pemberian suplemen elektrolit
b. Teraupetik
a) Berikan cairan k/p
b) Berikan diet yang tepat
c) Pasang akses intravena k/p
c. Edukasi
a) Jelaskan jenis, penyebab, penanganan ketidakseimbangan elektrolit
d. Kolaborasi
a) Pemberian suplemen elektrolit sesuai indikasi

2.2.4 Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan perawat utuk


membantu pasien dari masalah status kesehatan yang di hadapi menuju status kesehatan
yang baik / optimal. Pelaksanaan tindakkan merupakan realisasi dari rencana atau
intervensi keperawatan yang mencakup perawatan langsung maupun tidak langsung.
Perawatan langsung adalah tindakan yang diberikan secara langsung kepada pasien,
perawat harus interaktisi dengan pasien, ada pelibatan aktif klien dalam pelaksanaan
tindakan,Contoh perawat langsung memasng infus, memberikan obat.Sedangkan
perawatan tidak langsung adalah tindakan yang di berikan tanpa melibatkan pasien secara
aktif misalnya membatasi jam kunjung, menciptakan lingkungan yang kondusif.

Implrmentasi keperawatan terdiri dari 3 jenis yaitu

1. Tindakan keperawatan independen


Tindakan keperawatan independen adalah tindakan keperawatan secara mandiri yang
dilakukan berdasarkan alasan ilmiah mencakup tindkan pendidikan kesehatan, kegiatan
harian dan konseling,.Tindakan perawatan ini tidak membutuhksn pengawasan atau
arahan pihak lain.
2. Tindakan keperawatan dependen
Tindakan dependen adalah tindakan yang tergantung dengan tim medis, perawat
melakukan tindakan di bawah pengawasan oleh dokter, atau dalam artian perawat
melakukan instruksi tertulis atau lisan dokter, misalnya pemberian obat.
3. Tindakan keperawatan kolaboratif
Tindakan kolaboratif adalah tindakan yang membutuhkan gabungan dari tim
pengetahuan, keterampilan, dan keahlian berbagai professional layanan kesehatan.
Rencana keperawatan disusun berdasarkan hasil kesepakatan.
Dalam melakukan implementasi keperawatan, perawat membutuhkan;
1. Keterampilan kognitif
Dalam melakukan tindakan keperawatan perawat perlu mengetahui alasan ilmiah
pasien harus mendfapatkan tindakan keperawatan.sehingga perawat perlu
membekali diri dengan pengetahuan keperawatan menyeluruh.
2. Keterampilan interpersonal
Keterampilan ini digunakan pada saat perawat berkomunikasi dengan pasien,
keluarga, dan anggota tim kesehatan. Perhatian dan rasa saling percaya ditujuksn
ketika perawat berkomunkasi secara terbuka dan jujur.penyuluhan dan konseling
harus dilakukan sehingga tingkat pemahaman yang diinginkan sesuai dengan
pengharapan pasien
3. Keterampilan psikomotor
Keterampilan psikomotor adalah kompetensi perawat dalam melakukan tindakan,
meru[akan kebutuhan langsung terhadap perawatan pasien seperti perawatsn luka,
memberikan injeksi, penghisapan lender.

2.2.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi keperawatan adalah langkah terakhir dari proses keperawatan untuk mengetahui
sejauh mana tujuan dari rencana keperawatsn tercapai.Evaluasi ini dilakukan dengan cara
membandingkan hasil akhir yang teramati dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat
dalam rencana keperawatan.Evaluasi ini akan mengarah asuhan keperawatan, apakah
asuhan keperawatan yang dilakukan ke pasien berhasil mengatasi masalah pasien ataukah
asuhan yang sudah dibuat akan terus berkesinambungan terus mengikuti sirklus proses
keperawatan sampai benar – benar masalah pasien teratasi.Tujuan dari tahap evaluasi
adalah untuk melihat dan menilai kemampuan pasien dalam mencapai tujuan, menentukan
apakah tujuan keperawatan sudah tercapai atau belum dan mengkaji penyebab jika tujuan
keperawatan belum tercapai.
Evaluasi keperawatan terdapat 2 jenis yaitu:
1. Evaluasi formatif
Evaluasu formatif adalah evaluasi yang dilakukan segera setelah melakukan tindakan
keperawatan.Evaluasi formatif berorientasi pada aktivitas proses keperawatan dan hasil
tindakan keperawatan yang disebut sebagai evaluasi proses.
2. Evaluasi sumatif
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah perawat melakukan
serangkaian tindakan keperawatan.Evaluasi ini berfungsi menilai dan memonitor
kualitas asuhan keperawatan yang diberikan.Pada evaluasi ini berorientasi pada
masalah keperawatan yang sudah ditegakkan, menjelaskan keberhasilan /
ketidakberhasilan, rekapitulasi, dan kesimpulan status kesehatan pasien sesuai dengan
kerangka waktu yang telah ditetapkan.Pada evaluasi ini ada 3 kemungkinan hasil
evaluasi, yaitu:
a. Tujuan tercapai, jika pasien menunjukkan perubahan sesuai dengan kriteria yang
telah ditentukan
b. Tujuan tercapai sebagian, pasien menunjukkan perubahan sebagian dari kriteria
hasil yang telah di tetapkan
c. Tujuan tidak tercapai, pasien tidak menunjukkan perubahan kemajuan sama sekali
atau dapat timbul masalah baru.

Pada dasarnya evaluasi keperawatan dilakukan untuk mengetahui apakah tujuan yang di
tetapkan.Untuk lebih mempermudah melakukan pemantauan dalam kegiatan avaluasi
keperawatan maka kita menggunakan komponen SOAP /SOAPIER,yaitu:

S: data subjektif
O: data objektif
A: analisis, interprestasi dari data subjektif dan data objektif.Anallisis merupakan suatu
masalah atau diagnosis yang masih terjadi, masalah atau diagnosis yang baru akibat
adanya status kesehatan pasien.

P: planning, yaitu perencanaan yang akan dilakukan, apakah dilanjutkan,ditambah, atau


dimodifikasi.

I: Implementasi, artinya pelaksanaan tindakkan yang dilakukan sesuai instruksi yang ada
dikomponen P

E: evaluasi, respon pasien setelah dilakukan tindakkan.

R: Reassesment, pengkajian ulang yang dilakukan terhadap perencanaan setelah diketahui


hasil evaluasi. Apakah dari rencana tindakkan perlu dilanjutkan , dimodifikasi atau
dihentikan

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Cedera kepala atau sering disebut trauma kepala adalah trauma yang paling umum ditemui di
unit gawat darurat. Banyak pasien dengan trauma kepala berat meninggal sebelum sampai di
Rumah Sakit, faktanya hampir 90% kematian akibat trauma pra-rumah sakit menyangkut
trauma kepala. Cedera adalah sesuatu kerusakan pada struktur atau fungsi tubuh yang terjadi
ketika tubuh manumur secara tiba-tiba mengalami penurunan energi dalam jumlah yang
melebihi ambang batas toleransi fisiologis atau akibat dari kurangnya satu atau lebih
komponen penting seperti oksigen (WHO, 2014). Ada berbagai klasifikasi yang dipakai
dalam penentuan derajat cedera kepala, salah satunya berdasarkan skor Skala Koma Glasgow
(Glasgow coma scale).Asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala meliputi pengkajian
yang dilakukan secara head toe toe,anamnesa pasien maupun keluarga,dan pemeriksaan
penunjang selanjutnya merumuskan masalah pasien dengan cara menganalisa masalah dan
menentukan diagnose keperawatan, yang dilanjutkan menentukan intervensi yang akan
dilakukan berdasarkan diagnosa keperawatan yang telah ditegakkan.Setelah menentukan
intervensi keperawatan dilanjutkan melakukan tindakan keperawatan sesuai dengan intervensi
keperawatan yang telah di tentukan baik perawatan secara langsug maupunm tidak
langsung.Untuk menilai dari tindakam yang telah dilakukan perawat melakukan evaluasi
keperawatan, baik evaluasi formatif maupun evaluasi sumatif.Diharapkan dengan asuhan
keperawatan yang dilakukan secara komperhensif sehingga dapat menekan angka kematian
maupun kesakitan pasien dengan cedera kepala.

3.2 Saran
1. Kepada Masyarakat
Cedera kepala dapat terjadi pada siapa saja, banyak yan g terkena pada usia produktif
yang disebabkan karena kecelakaan baik kecelakaan lalu lintas maupun kecelakaan
bekerja,sehingga diharapkan sebelum cedera kepala terjadi diharapkan masyarakat untuk
mematuhi aturan berlalu lintas secara benar seperti mengunakan alat pelindung diri saat
berkendara sesuai standart, dan para pekerja konstruksi hendaknya memakai pelindung
kepala sesuai standar.
2. Kepada tenaga kesehatan
Pada pasien – pasien dengan cedera kepala jika tidak tertangani secara cepat dan tepat
dapat mengakibatkan tingkat kecacatan ,perburukan bahkan kematian,sehingga di
harapkan untuk tenaga kesehatan memberikan pelayanan asuhan secara optimal, cepat,
tanggap, dan komperhensif berdasarkan SOP yang ada diharapkan dapat menurunkan
baik kecacatan maupun angka kematian akibat cedera kepala.
3. Kepada akademis
Bagi para akademis perawat untuk selalu mengembangkan ilmu – ilmu yang dimilikinya
guna untuk mengembangkan dan memajukan profesi keperawatan terutama asuhan
keperawatan pada cedera kepala.
4. Kepada pemerintahan
Diharapkan pemerintah mampu membantu dalam penangan promotif dan preventif pada
kasus cedera kepala dengan melakukan sosialisasi mengenai cedera kepala dan
memberikan dukungan dalam system pendukung,seperti jalan yang
memadai,penegakkan peraturan mengenai berlalu lintas maupun aturan dalam K3.
Bausat, N. (2016). Strategi RSUD Tenriawaru Kabupaten Bone menuju implementasi
sistem pembayaran prospektif. Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia, 1(2). Efendi, N. F.
(2015). Pendidikan dalam keperawatan. Surabaya: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai