Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa
selesai pada waktunya.Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman – teman yang telah
berkontribusi dengan memberikan ide – idenya sehingga makalah ini bisa disusun.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca,namun dari
itu kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna ,sehingga kami
sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah
selanjutnya yang lebih bsik lagi.
Ns.Sofia Novita,S.Kep
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala atau sering disebut trauma kepala adalah trauma yang paling umum ditemui di
unit gawat darurat. Banyak pasien dengan trauma kepala berat meninggal sebelum sampai di
Rumah Sakit, faktanya hampir 90% kematian akibat trauma pra-rumah sakit menyangkut
trauma kepala. Pasien yang pernah mengalami trauma kepala biasanya mengalami gangguan
neuropsikologis yang berakibat kecacatan sehingga berpengaruh pada pekerjaan dan aktivitas
sosial mereka (ATLS, 2018).
Epidemiologi Insidensi kejadian cedera kepala di dunia tidak diketahui. Di Amerika pada
tahun 2002 – 2006 sebesar 579 per 100.000 atau kira-kira 1,7 juta kasus per tahun (Faul et al.,
2010). Berdasarkan data dari Centers for Disease Control and Universitas Sumatera Utara 6
Prevention (CDC), dari 1,7 juta orang di Amerika yang mengalami cedera kepala setiap
tahun, 1,4 juta orang yang ditangani di unit gawat darurat, ada 5,3 juta orang yang hidup
dengan kecacatan akibat cedera kepala, 275.000 orang memerlukan rawat inap, dan 52.000
orang mengalami cedera fatal (Roozenbeek, 2013). Pasien cedera kepala yang dirawat inap di
Eropa pada data meta analisis tahun 1990an sampai 2000an sebesar 235 per 100000 orang
(Tagliaferri et al., 2005). Sementara itu pada tahun 2006 – 2007 di Ontario dan Kanada,
pasien cedera kepala yang dirawat inap telah dihitung sebesar 22 per 100000 orang untuk
wanita dan 52 per 100000 orang untuk laki-laki (Colantonio et al., 2010). 3 tingkat insiden
kira-kira berkisar antara 47,3 hingga 694 per 100.000 penduduk per tahun, dan angka
kematian kasar berkisar 9-28,10 per 100.000 penduduk per tahun dalam penelitian Eropa
(Essentials of Neuroanesthesia, 2017).
Kecelakaan lalu lintas dapat berupa tabrakan antara kendaraan, pejalan kaki ditabrak oleh
kendaraan bermotor, ataupun kecelakaan sepeda. Di Amerika dan di daerah pinggiran kota /
pedesaan, kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab kejadian trauma kepala yang paling
sering. Namun, di kota-kota dengan populasi lebih dari 100.000 orang, tindak kekerasan,
jatuh, dan trauma kepala tembus adalah etiologi yang lebih umum. Rasio kejadian trauma
kepala pada laki-laki dibanding perempuan hampir 2:1 dan trauma kepala lebih sering dialami
orang yang berumur dibawah 35 tahun (Ainsworth, 2015). Penyebab kejadian trauma kepala
di Indonesia akibat jatuh sebesar 40,9%, akibat kecelakaan sepeda motor sebesar 40,6%,
akibat cedera akibat benda tajam dan tumpul sebesar 7,3%, transportasi darat lainnya sebesar
7,1% dan sebesar 2,5 % oleh karena kejatuhan (Badan Penelitan dan Pengembangan
Kesehatan RI, 2013).
Menurut data pasien di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung pada periode 01
Januari 2018-30 September 2020,pasien dengan cedera kepala yang berusia ≥ 18 tahun,
pasien cedera kepala dengan hipotensi sebesar 5,5% (8 orang) dan pasien cedera kepala tanpa
hipotensi sebesar 94,5% (137 orang). Angka kejadian mortalitas pada cedera kepala
didapatkan sebesar 35,9% (52 orang).Universitas Sumatera Utara 2 Di Instalasi Gawat
Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Medan pada tahun
2010 jumlah penderita trauma kepala adalah 1627 penderita, yang terdiri atas 1021 penderita
cedera kepala ringan (CKR),444 penderita cedera kepala sedang (CKS), dan 162 penderita
cedera kepala berat (CKB) (Data Departemen Bedah Saraf FK USU, 2010). Berdasarkan latar
belakang dan data yang didapatkan, penulis tertarik untuk membuat Asuhan Keperawatan
pada pasien dengan Cidera Kepala.
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka penulis mengidentifikasi masalah
keperawatan cedera kepaka dimana asuhan keperawatan ditentukkan berdasarkan data focus
yang di dapatkan dari hasil pengkajian untuk menentukan proiritas masalah keperawatan yang
muncul (Diagnosa keperawatan), menentukkan intervensi, implementasi keperawatan dan
mengevaluasi dari asuhan keperawatan yang diberikan.
Penulis berharap mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala.
1.3.2 Tujuan Khusus
2. Melakukan analisa data sesuai dengan hasil pengkajian untuk menentukkan prioritas
masalah keperawatan pada pasien dengan cedera kepala secara benar sesuai analisa
data,serta merumuskan dignosa keperawatan pada pasien dengan cedera kepala dengan
benar sesuai ptioritas masalah.
4. Melakukan tindakkan keperawatan dengan benar sesuai deengan rencanma yang telah
ditentukkan
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Pengertian
Cidera kepala adalah trauma yang mengenai otak disebabkan oleh kekuatan eksternal yang
menimbulkan perubahan tingkat kesadaran dan perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik,
fungsi tingkah laku, dan emosional.( Widagdo Wahyu, 2008)
Cidera Kepala merupakan adanya pukulan atau benturan mendadak pada kepala dengan atau
tanpa kehilangan kesadaran (World Health Organization tahun 2015)
Cedera adalah sesuatu kerusakan pada struktur atau fungsi tubuh yang terjadi ketika tubuh
manumur secara tiba-tiba mengalami penurunan energi dalam jumlah yang melebihi ambang
batas toleransi fisiologis atau akibat dari kurangnya satu atau lebih komponen penting seperti
oksigen (WHO, 2014).
Cedera dapat terjadi disatu atau lebih bagian tubuh manumur termasuk kepala. Cedera kepala
atau sering disebut trauma kepala adalah cedera mekanik yang mengenai kepala secara
langsung atau tidak langsung dan menyebabkan luka pada kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak, serta dapat mengganggu fungsi
neurologis (Manarisip et al., 2014)
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau tanpa
disertai perdarahan interstitial dalam subtansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.(
Tarwoto&Wartonah, 2007 )
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis
pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi - decelerasi ) yang merupakan
perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan
penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak
sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan. Cidera kepala adalah suatu gangguan
traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam
substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala pada dasarnya
dikenal dua macam mekanisme trauma yang mengenai kepala yakni benturan dan goncangan
(Gernardli & Meany, 1996).
2.1.2 Etiologi
Pada Cedera kepala dapat terjadi karena beberapa mekanisme, namun penyebab paling umum
kejadian trauma kepala adalah sebagian berikut:
1. Kecelakaan lalu lintas Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 1993 ayat 1,
kecelakaan lalu lintas merupakan suatu peristiwa dijalan yang tidak disangka-sangka dan
tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya
mengakibatkan korban manumur atau kerugian harta benda.
2. Jatuh mendefinisikan jatuh sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah dengan cepat
karena gravitasi bumi, baik ketika masih dl gerakan turun maupun sesudah sampai ke
tanah dan sebagainya). Universitas Sumatera Utara 5
3. Tindak kekerasan Menurut kamus sosiologi, kekerasan adalah ekspresi yang dilakukan
seseorang atau sekelompok secara fisik ataupun verbal orang yang mencerminkan
tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang.
4. Cedera olahraga Pada tahun 2006, Fuller mendefinisikan cedera olahraga sebagai
cedera yang timbul akibat berolahraga, baik sebelum selama maupun sesudah
berolahraga.
2.1.3 Klasifikasi
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul setelah
cedera kepala (Alexander PM, 1995). Ada berbagai klasifikasi yang dipakai dalam penentuan
derajat cedera kepala. The Traumatic Coma Data Bank mendifinisikan berdasarkan skor Skala
Koma Glasgow (Glasgow coma scale).
Tabel I. Kategori Penentuan Keparahan cedera Kepala berdasarkan Nilai Glasgow Scale Coma
(GCS)
2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses sekunder.
Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu trauma
yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak.
Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub
temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi
selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex
adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik
dan pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera
kepala traumatik berat.
Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya fokal
(perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus). Proses ini adalah kerusakan otak tahap
awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan tergantung
pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan
perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera
intrakranial, robekan regangan serabu saraf dan kematian langsung pada daerah yang
terkena.
Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan
primer.Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan
sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi
menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak.
Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan
sawar darah otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak, gangguan hormonal,
pengeluaran bahan-bahan neurotransmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer
atau sekunder akan menimbulkan gejala- gejala neurologis yang tergantung lokasi
kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus frontalis akan
mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru
akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan
sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya
seperti dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan adanya
kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan terjadi
hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi sistem
vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya
disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang
berhubungan dengan hipofisis. Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan
dikeluarkan melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi
negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan
pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak. Batang otak
dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder akibat fleksi atau torsi
akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau karena
penekanan oleh herniasi unkus. Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang
terjadi pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada
lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan
kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku terjadi bila hubungan batang otak dengan korteks
serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakan- kerusakan saraf-
saraf kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas
dangkal tak teratur yang dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan menimbulkan
timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada gangguan setinggi
diensefalon akan mengakibatkan alkalosisi respiratorik.
Cedera otak sekunder tejadi setiap saat setelah terjadi benturan. Faktor-faktor yang
menyebabkan cedera otak sekunder adalah:
1. Hematoma intracranial
a. Epidural
b. Subdural
c. Intraserebral
d. Subarahnoid
2. Pembengkakan otak
Mungkin terjadi dengan atau tanpa hematoma intrakranial. Hal ini diakibatkan
timbunan cairan intra atau ekstrasekuler atau bendung vaskuler.
3. Herniasi : tentorial dan tonsiler
4. Iskhemi serebral, akibat dari:
a. Hipoksia / hiperkarbi
b. Hipotensi
c. Peninggian tekanan intracranial
5. Infeksi : Meningitis, abses serebri
Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon eyes sign (fraktur
basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan batle’s sign (fraktur basis kranii fossa
media). Kondisi ini juga 9 dapat menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering
terjadi adalah gangguan saraf penciuman (Nerve olfactorius). Saraf wajah (Nerve
facialis) dan saraf pendengaran ( Nerve . vestibulokokhlearis). Penanganan dari
fraktur basis kranii meliputi pencegahan peningkatan tekanan intrakranial yang
mendadak misalnya dengan mencegah batuk, mengejan, dan makanan yang tidak
menyebabkan sembelit. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan telinga, jika
perlu dilakukan tampon steril (konsultasi ahli THT) pada tanda bloody/ otorrhea
/otoliquorrhea.Pada penderita dengan tanda-tanda bloody/otorrhea/otoliquorrhea
penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring ke posisi yang sehat.
2.1.5 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada cidera kepala diantaranya :
1. Deficit neurologi fokal
2. Kejang
3. Pneumonia
4. Perdarahan gastrointestinal
5. Disritmia jantung
6. Syndrome of inappropriate secretion of antideuretic hormone ( SIADH )
7. Hidrosefalus
8. Kerusakan control respirasi
9. Inkontinensia bladder dan bowel
a. Observasi atau dirawat di rumah sakit bila CT Scan tidak ada atau hasil CT Scan
abnormal, semua cedera tembus, riwayat hilang kesadaran, sakit kepala sedang–
berat, pasien dengan intoksikasi alkohol/obat- obatan, fraktur tengkorak, rinorea-
otorea, cedera penyerta yang bermakna, tidak ada keluarga yang di rumah, tidak
mungkin kembali ke rumah sakit dengan segera, dan adanya amnesia. Bila tidak
memenuhi kriteria rawat maka pasien dipulangkan dengan diberikan pengertian
kemungkinan kembali ke rumah sakit bila dijumpai tanda-tanda perburukan.
b. Observasi tanda vital serta pemeriksaan neurologis secara periodik setiap ½- 2
jam.
c. Pemeriksaan CT Scan kepala sangat ideal pada penderita CKR kecuali memang
sama sekali asimtomatik dan pemeriksaan neurologis normal.
a. Pastikan jalan nafas korban clear (pasang ET), berikan oksigenasi 100% dan
jangan banyak memanipulasi gerakan leher sebelum cedera cervical dapat
disingkirkan.
c. Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh lain, GCS
dan pemeriksaan batang otak secara periodik.
d. Berikan manitol iv dengan dosis 1 gr/kgBB diberikan secepat mungkin pada
penderita dengan ancaman herniasi dan peningkatan TIK yang mencolok.
f. Berikan obat-obatan neurotonik sebagai obat lini kedua, berikan anti kejang jika
penderita kejang, berikan antibiotik dosis tinggi pada cedera kepala terbuka,
rhinorea, otorea.
2.2.1 . Pengkajian
1. Indentitas kilen
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang Apakah ada penurunan kesadaran, muntah, sakit
kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralysis, perdarahan, fraktur
b. Riwayat Penyakit Dahulu Apakah ada penyakit sistem persyarafan, riwayat
trauma masa lalu, riwayat penyakit darah, riwayat penyakit sistemik / pernafasan
Cardiovaskuler dan metabolic
c. Riwayat Penyakit Keluarga Adanya riwayat Penyakit menular
d. Pemeriksaan Fisik
Tingkat Kesadaran (GCS)
a) Ringan (GCS 13 – 15)
b) Sedang (GCS 9 – 12)
c) Berat (GCS 3 – 8)
Aspek Neurologis
a) Kaji GCS
b) Disorientasi tempat / waktu
c) Refleksi Patologis & Fisiologis
d) Nervus Cranialis XII nervus (sensasi, pola bicara abnormal)
e) Status Motorik Perubahan pupil/penglihatan kabur, diplopia
f) 5 – 6 cm = kerusakan batang otak
g) Mengecil = Metabolis Abnormal & disfungsi encephalo
h) Pin-point = Kerusakan pons, batang otak
i) Perubahan tanda-tanda vital
j) Tanda-tanda peningkatan TIK
k) Penurunan kesadaran
l) Gelisah letargi
m) Sakit kepala
n) Muntah proyektif
o) Pupil edema
p) Pelambatan nadi
q) Pelebaran tekanan nadi
r) Peningkatan tekanan darah sistolik
Aspek Kardiovaskuler
a) Perubahan TD (menurun/meningkat)
b) Denyut nadi : Bradikardi, Tachi kardi, irama tidak teratur
c) TD naik, TIK naik
Sistem Pernafasan
a) Perubahan pola nafas
b) Irama, frekuensi, kedalaman, bunyi nafas
Kebutusan Dasar
a) Eliminasi Perubahan pada BAB/BAK : inkontinensia, obstipasi,hematuria
b) Nutrisi Mual, muntah, gangguan mencerna/menelan makanan
c) Istirahat
d) Kelemahan, mobilisasi, tidur kurang
e. Pengkajian Psikologis Gangguan emosi/apatis, delirium
f. Pengkajian Sosial ; Hubungan dengan orang terdekat, Kemampuan komunikasi
g. Pengkajian Spiritual ; Ketaatan terhadap agama
h. Pemeriksaan Diagnostik
a) Hasil radiologi / CT Scan ; Hematom serebral, edem serebral, perdarahan
intracranial, fraktur tulang tengkorak
b) AGD : PO2, PH, HCO3- Untuk mengkaji keadekuatan ventilasi
(memeprtahankan AGD dalam rentang normal untuk menjamin aliran darah
serebral adekuat.
c) Elektrolit Serum Cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan regulasi
natrium, retensi Na berakhir dapat beberapa hari, diikuti dengan diuresis Na,
peningkatan letargi, konfusi dan kejang akibat ketidakseimbangan elektrolit.
d) Hematologi : leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum
e) CSS : warna, komposisi, tekanan
Berdasarkan diagnose yang mungkin muncul pada pasien dengan cedera kepala intervensi
keperawatan sebagai berikut:
Kriteria hasil:
Intervensi Keperawatan
1. Manajemen peningkatan tekanan intracranial
a. Observasi
a) Identifikasi penyebab peningkatan TIK
b) Monitor tanda dan gejala peningkatan TIK
c) Monitor MAP
d) Monitor intake – output
b. Terapetik
a) Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan tenang
b) Berikan posisi semifowler
c) Hindari maneuver valsava
d) Hindari pemberian cairan iv hipotonik
e) Atut PaCo2 optimal
f) Pertahankan suhu tubuh normal
c. Kolaborasi
a) Pemberian sedasi dan anti konvulsan k/p
b) Kolaborasi pemberian diuretic osmosis k/p
c) Pemberian pelunak tinja k/p
2. Pemantauan tekanan intracranial
a. Observasi
a) Identifikasi penyebab peningkatan TIK
b) Monitor penigkatan TD
c) Monitor pelebaran tekanan nadi
d) Monitor penurunan tingkat kesadaran
e) Monitor perlambatan dan ketidaksimetrisan respon pupil
b. Teraupetik
a) Pertahankan posisi kepala dan leher netral
b) Atur interval pemantauan k/p
c) Dokumentasi hasil pemantauan
c. Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
b) Informasikan hasil pemantauan
3. Manajemen asam basa
a. Observasi
a) Identifikasi penyebab ketidakseimbangan asam basa
b) Monitor frekuensi dan kedalaman nafas
c) Monitor perubahan Ph, PaCo2, dan HCO3
b. Teraupetik
a) Periksa AGD
b) Berikan oksigen sesuai indikasi
c. Kolaborasi
Pemberian ventilasi mekanik
d. Kolaborasi
Jelaskan penyebab dan mekanisme terjadi gangguan asam basa
4. Pemantauan neurologis
a. Observasi
a) Monitor bentuk, ukuran,danreaktifitas pupil
b) Monitor tingkat kesadaran
c) Monitor tingkat orientasi
d) Monitor status pernafasan (AGD, oksimetri, kedalaman nafas dan pola nafas)
e) Monitor keluhan nyeri kepala
f) Monitor parestesi ( mati rasa, kesemutan )
g) Monitor respon Babinski
h) Monitor respon cushing
b. Teraupetik
a) Tingkatkan frekuensi pemantauan neuriologis
b) Hindari aktivitas yang meningkatkan tekanan intracranial
c) Atur interval waktu pemantauan sesuai kondisi pasien
c. Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
b) Informasikan hasil pemantauan
b. Teraupetik
a) Pertimbangkan penggunaan infus continue,bolusopoid untuk mempertahankan
kadar dalam serum
b) Teytapkan target efektifitas analgetik untuk mengoptimalkan respon pasien
c) Dokumentasikan respon pasien terhadap efek analgetik dan efek yang tidak
diinginkan
c. Edukasi
a) Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
d. Kolaborasi
a) Pemberian dosis dan efek samping obat
3. Pemantauan nyeri
a. Observasi
a) Identifikasi factor pencetus dan Pereda nyeri
b) Monitor kualitas nyeri
c) Monitor lokasi dan penyebaran nyeri
d) Monitor intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri
e) Monitor durasi dan frekuensi nyeri
b. Teraupetik
a) Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
b) Dokumentasikan hasil pemantauan
c. Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
b) Informasikan hasil pemantauan
4. Manajemen medikasi
a. Observasi
a) Identifikasi penggunaan obat sesuai resep
b) Monitor efektifitas dan efek samping pemberian obat
b. Teraupetik
a) Fasilitasi perubahan program pengobatan k/p
b) Sediakan sumber informasi program pengobatan secara visual maupun tertulis
c. Edukasi
a) Ajarkan cara menangani atau mengurangi efek samping k/p
b) Anjurkan menghubungi petugas jika terjadi efek samping obat
Intervensi Keperawatan
1. Manajemen keselamatan lingkungan
a. Observasi
a) Identifikasi kebutuhan keselamatan seperti karena kondisi fisik, fungsi kognitif
b) Monitor perubahan status keselamatan lingkungan
b. Teraupetik
a) Hilangkan bahaya keselamtan lingkungan k/p
b) Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya dan risiko
c) Gunakan perangkat pelindung seperti pengekangan fisik, rel samping, pintu
terkunci,, pagar
d) Lakukan program skrining bahaya lingkungan
c. Edukasi
a) Ajarkan pasien, keluarga bahaya lingkungan
2. Pencegahan cidera
a. Observasi
a) Identifikasi area lingkungan yang berpotensi cedera
b) Identifikasi obat yang berpotensi menyebabkan cedera
b. Teraupetik
a) Sediakan pencahayaan yang memadai
b) Pertahankan posisi tempat tidur di posisi terendah
c) Pastikan roda tempat tidur terkunci
d) Gunakan pengaman tempat tidur sesuai kebijak faskesdiskusikan bersama
anggota keluarga yang dapat mendampingi pasien
e) Tingkatkan frekuensi observasi dan pengawasan pasien sesuai kebutuhan
c. Edukasi
a) Jelaskan alasan intervensi pencegahan jatuh ke pasien / keluarga
Intervensi Keperawatan
1. Pemantauan elektrolit
a. Observasi
a) Identifikasi kemungkinan penyebab ketidakseimbangan elektrolit
b) Monitor kadar serum elektrolit
c) Monitor mual, muntah
d) Monitor kehilangan cairan
e) Monitor tanda – tanda hypokalemia seperti kelemahan otot, interval QT
memanjang, gelombang T datar atau terbalik, depresi segmen ST, kelelahan,
paresthesia, motilitas usus,depresi pernafasan
f) Monitor tanda hiperkalemi seperti peka rangsang, gelisah, mual, muntah,
takikardi ventrikel, gelombang T tinggi, komplek QRS tumpul
g) Monitor tanda dan gejala hyponatremia seperti disorientasi, otot berkedut,sakit
kepala, membrane mukosa kering, hipotensi postural, kejang, letargi,,
penurunan kesadaran
h) Monitor hypernatremia seperti haus, demam, mukasa kering,
takikardi,hipotensi,letargi dan kejang
i) Monitor tanda hipokalsemia seperti peka rangsang, spame otot, wajah, kram
otot, interval QT memanjang
j) Monitor hiperkalsemia seperti nyeri tulang, haus, anoreksia, kelemahan otot,
segmen QT memendek, gelombang T lebar,komplk QRS lebar
b. Teraupetik
a) Atur interval waktu pemantauan sesuai kondisi pasien
b) Dokumentasi hasil pemantauan
c. Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
b) Informasikan hasil pemantauan k/p
2. Manajemen elektrolit
a. Observasi
a) Identifikasi tanda gejala ketidakseimbangan kadar elektrolit
b) Identifikasi penyebab ketidakseimbangan elektrolit
c) Identifikasi kehilangan elektrolit
d) Monitor kadar elektrolit
e) Monitor efek samping pemberian suplemen elektrolit
b. Teraupetik
a) Berikan cairan k/p
b) Berikan diet yang tepat
c) Pasang akses intravena k/p
c. Edukasi
a) Jelaskan jenis, penyebab, penanganan ketidakseimbangan elektrolit
d. Kolaborasi
a) Pemberian suplemen elektrolit sesuai indikasi
Pada dasarnya evaluasi keperawatan dilakukan untuk mengetahui apakah tujuan yang di
tetapkan.Untuk lebih mempermudah melakukan pemantauan dalam kegiatan avaluasi
keperawatan maka kita menggunakan komponen SOAP /SOAPIER,yaitu:
S: data subjektif
O: data objektif
A: analisis, interprestasi dari data subjektif dan data objektif.Anallisis merupakan suatu
masalah atau diagnosis yang masih terjadi, masalah atau diagnosis yang baru akibat
adanya status kesehatan pasien.
I: Implementasi, artinya pelaksanaan tindakkan yang dilakukan sesuai instruksi yang ada
dikomponen P
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Cedera kepala atau sering disebut trauma kepala adalah trauma yang paling umum ditemui di
unit gawat darurat. Banyak pasien dengan trauma kepala berat meninggal sebelum sampai di
Rumah Sakit, faktanya hampir 90% kematian akibat trauma pra-rumah sakit menyangkut
trauma kepala. Cedera adalah sesuatu kerusakan pada struktur atau fungsi tubuh yang terjadi
ketika tubuh manumur secara tiba-tiba mengalami penurunan energi dalam jumlah yang
melebihi ambang batas toleransi fisiologis atau akibat dari kurangnya satu atau lebih
komponen penting seperti oksigen (WHO, 2014). Ada berbagai klasifikasi yang dipakai
dalam penentuan derajat cedera kepala, salah satunya berdasarkan skor Skala Koma Glasgow
(Glasgow coma scale).Asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala meliputi pengkajian
yang dilakukan secara head toe toe,anamnesa pasien maupun keluarga,dan pemeriksaan
penunjang selanjutnya merumuskan masalah pasien dengan cara menganalisa masalah dan
menentukan diagnose keperawatan, yang dilanjutkan menentukan intervensi yang akan
dilakukan berdasarkan diagnosa keperawatan yang telah ditegakkan.Setelah menentukan
intervensi keperawatan dilanjutkan melakukan tindakan keperawatan sesuai dengan intervensi
keperawatan yang telah di tentukan baik perawatan secara langsug maupunm tidak
langsung.Untuk menilai dari tindakam yang telah dilakukan perawat melakukan evaluasi
keperawatan, baik evaluasi formatif maupun evaluasi sumatif.Diharapkan dengan asuhan
keperawatan yang dilakukan secara komperhensif sehingga dapat menekan angka kematian
maupun kesakitan pasien dengan cedera kepala.
3.2 Saran
1. Kepada Masyarakat
Cedera kepala dapat terjadi pada siapa saja, banyak yan g terkena pada usia produktif
yang disebabkan karena kecelakaan baik kecelakaan lalu lintas maupun kecelakaan
bekerja,sehingga diharapkan sebelum cedera kepala terjadi diharapkan masyarakat untuk
mematuhi aturan berlalu lintas secara benar seperti mengunakan alat pelindung diri saat
berkendara sesuai standart, dan para pekerja konstruksi hendaknya memakai pelindung
kepala sesuai standar.
2. Kepada tenaga kesehatan
Pada pasien – pasien dengan cedera kepala jika tidak tertangani secara cepat dan tepat
dapat mengakibatkan tingkat kecacatan ,perburukan bahkan kematian,sehingga di
harapkan untuk tenaga kesehatan memberikan pelayanan asuhan secara optimal, cepat,
tanggap, dan komperhensif berdasarkan SOP yang ada diharapkan dapat menurunkan
baik kecacatan maupun angka kematian akibat cedera kepala.
3. Kepada akademis
Bagi para akademis perawat untuk selalu mengembangkan ilmu – ilmu yang dimilikinya
guna untuk mengembangkan dan memajukan profesi keperawatan terutama asuhan
keperawatan pada cedera kepala.
4. Kepada pemerintahan
Diharapkan pemerintah mampu membantu dalam penangan promotif dan preventif pada
kasus cedera kepala dengan melakukan sosialisasi mengenai cedera kepala dan
memberikan dukungan dalam system pendukung,seperti jalan yang
memadai,penegakkan peraturan mengenai berlalu lintas maupun aturan dalam K3.
Bausat, N. (2016). Strategi RSUD Tenriawaru Kabupaten Bone menuju implementasi
sistem pembayaran prospektif. Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia, 1(2). Efendi, N. F.
(2015). Pendidikan dalam keperawatan. Surabaya: Salemba Medika