PEMBAHASAN
4
Setiap pesantren sebagai institusi pendidikan harus memiliki ketiga sub sistem
tersebut, apabila kehilangan salah satu dari ketiganya belum dapat dikatakan sebagai sistem
pendidikan pesantren.
Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya.
Dari ayat di atas secara umum pesantren memiliki visi untuk trafaqqohu fi al-dini yaitu
untuk memahami ilmu agama secara kaffah yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits yang
keduanya merupakan sumber pokok dalam segala hal lebih-lebih dalam ilmu pengetahuan.
Untuk memahami dua sumber pokok ilmu pengetahuan tersebut kita tidak cukup membaca
dan memahami teks-teks al-Qur’an dan al-Hadits apa adanya, karena di dalam al-Qur’an
terkandung ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, jadi kita harus mempelajari ilmu-ilmu yang
dapat mengantarkan kepada pamahaman ayat-ayat al-Qur’an secara benar yang sesuai dengan
apa yang diinginkan oleh al-Qur’an tersebut.
Sedangkan ilmu-ilmu pengantar kapada pemahaman dua sumber pokok tersebut
adalah ilmu asbabun nuzul, ilmu nasikh mansukh, ilmu munasabah ilmu I’jazi al-Qur’an,
ilmu gharaibu al-Qur’an, ilmu tafsir, dan lain sebagainya, sedangkan untuk memahami al-
Hadits ialah ilmu asbabun wurud, ulum al- hadits, ilmu takhriju al-hadits dan lain sebagainya.
5
Untuk meyujudkan visi tersebut setiap pesantren memiliki manhaji (metodologis) yang
berbeda.
6
dipertimbangkan implikasinya dalam aspek-aspek lain yang berkaitan, seperti yang sering
terjadi di bahtsul masa’il di beberapa pesantren.
Ada delapan macam bidang pengetahuan dalam kitab kuning yang sering diajarkan di
pondok pesantren yaitu: ilmu Nahwu dan Sharaf (morfologi), Fiqh, Usul Fiqh, Hadis, Tafsir,
Tauhid, Tasawwuf dan cabang-cabang lain seperti Tarikh dan Balaghah. Semua jenis kitab ini
dapat digolongkan ke dalam kelompok menurut tingkat pelajarannya, misalnya: tingkat dasar,
menengah dan lanjutan.
Pada zaman Demak Paruh awal abad ke-16, para historikus kehilangan jejak dalam
melacak jenis kitab referansi pesantren karena telah hilang kecuali tinggal beberapa kitab yang
jumlahnya sangat terbatas. Kitab zaman Demak yang masih di kenal di pesantren adalah: Usul
Enam Bis, yaitu sejilid kitab tulisan tangan berisi enam kitab karangan ulama Samarkandi.
Isinya mencakup ilmu agama Islam pada tahap permulaan. Kitab yang lain adalah Tafsir
Jalalain, karangan Syaik Jalal al-Din al-Mahalli dan jalal al-Din al-Suyuti. Disamping itu
juga primbon suluk sunan bonang, suluk sunan kalijaga dan lain-lain. Kemudian pada abad ke-
18, pesantren di Mataram memakai kitab Usul Enam Bis, Matan Taqrib, dan Bidayat
al- Hidayah karangan Imam Ghazali dalam ilmu akhlak.
Mulai abad ke-19, kitab kitab referensi di kalangan pesantren mengalami perubahan
yang sangat drastis. L. W. C Van Den Berg merinci: bidang fiqih meliputi Safinat al-Naah,
Sullam al-Taufiq, Masail al-Sittin, Mukhtashar, Minhaj al-Qawim, Al-Iqna’, Tuhfat al-
Madaniyyah, al-Risalah, Fath al-Thalibin, Fath al-Wahab, Tuhfat al-Muhtaj, dan Fath al-
Mu’in; dalam bidang tata bahasa Arab adalah Muqaddimat al-Jurumiyyah, Mutammimah, al-
Fawaqih al-Janniyyah, al-Dzurrat al-Bahiyyah, al-‘Awamil al-Amiyah, Inna Awla, al-
Alfiyyah, Minhaj al-Masalik, Tamrin al-Thullab, al-Rafiyyah, Qatar al-Nada, Mujib al-Nida,
dan al-Mishbah; dalam bidang ushul al-Dien terdapat Bahjat al-Ulum, Umm al-Barahin; dalam
bidang tasawuf adalah Ihya’ Ulum al-Dien, Bidayat al-Hidayah, Minhaj al-‘Abidin, al-Hikam,
Su’ab al-Iman, dan Hidayat al-Azkiya’ Ila Thariq al-Awliya; sedang dalam bidang tafsir hanya
Tafsir Jalalain Kitab-kitab kuning tersebut hanyalah sebagai contoh semata. Tidak semua
pesantren mesti menggunakan paket kitab tersebut. beberapa pesantren terkadang
sering menggunakan kombinasi kitab, bisa berupa penambahan atau pengurangan.
7
D. Kurikulum pendidikan pesantren
David Pratt mendefinisikan kurikulum sebagai an organized set or formaleducational
and or training intention dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa kurikulum pada
dasarnya merupakan seperangkat perencanaan dan media untuk mengantarkan lembaga
pendidikan dalam mewujudkan tujuan yang didambakan, dengan demikan kurikulum meliputi:
tujuan, materi pelajaran, metode dan evaluasi. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren juga
memuat hal-hal tersebut.
Sedangkan tujuan pendidikan pesantren adalah membentuk kepribadian santri,
memantapkan akhlaq dan melengkapinya dengan ilmu pengetahuan. Materi pendidikan
pesantren kebanyakan bersifat keagamaan yang bersumber pada kitab-kitab klasik yang
meliputi sejumlah bidang studi. Menurut Martin Van Brunessen bahwa kurikulum atau materi
pelajaran di Pondok Peantren ada 14 belas cabang kajian sebagaimana yang telah disilabuskan
oleh imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitab Itmam al-Dirayah yaitu antara lain Tauhid,
Tafsir, Hadits, Fikih, Usul fikih, Tasawwuf, Bahasa Arab, Nahwu, Shorraf, Balaghah dan
Tajwid, Mantek dan Akhlaq dan sebagainya.
Materi pelajaran ini berdasarkan tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau
masalah yang dibahas dalam suatu kitab, sehingga terdapat tingkat awal, tingkat menengah
dan tingkat lanjutan. Materi pelajaran di pesantren pada awalnya hanya mengajarkan baca al-
Qur’an dan praktek ibadah kemudian berkembang pada mata pelajaran yang lain. Menurut
Zamkhsyari Dhafir, kitab-kitab yang diajarkan di pesantren dapat digolongkan ke dalam
delapan kelompok yaitu: Nahwu (syntax) dan Sharraf (morphplogy), Fikih, Usul Fikih, Hadits,
Tafsir, Tauhid, Tasawuf dan Etika, cabang-cabang lain seperti Tarikh dan Balaghah.
Sumber materi yang cukup membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan
lainnya adalah bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab klasik atau sering disebut “kitab
kuning” yang dikarang oleh ulama terdahulu mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan
agama islam dan bahasa Arab. Pelajarang dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana,
kemudian dilanjutkan dengan kitab berbagai ilmu yang mendalam. Tingkatan suatu pesantren
dan pengajarannya, biasanya diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan.
Kitab kuning merupakan referensi yang utama bagi penyelenggaraan pendidikan
pesantren, bahkan kitab kuning dijadikan dasar untuk menentukan jenjang pendidikan di
8
pesantren, dan sebagai tolak ukur dalam mengevaluasi belajar santri dalam memahami ajaran
islam.
Secara metodik, pendidikan dan pengajaran dalam pesantren diberikan dalam
bentuk sorogan, bandongan, halaqah, dan hafalan. Sorogan artinya belajar secara individual
di mana seorang santri berhadapan dengan seorang guru untuk mempelajari materi pelajaran,
sehingga terjadi interaksi langsung dan saling mengenal di antara keduanya.
Metode sorogan merupakan bagian yang paling sulit dari seluruh sistem pendidikan
tradisional, sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari
murid. Namun menurut Zamakhsyari Dhafir sistem sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai
tahap pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim, sistem ini
memungkinkan seoarang guru mengawasi, menilai, dan membimbing secara maksimal
kemanpuan seorang murid menguasai bahasa Arab.
Istilah bandongan adalah model pengajian yang dilakukan seperti kuliah terbuka yang
diikuti oleh kelompok santri sejumlah 100-500 orang atau lebih, sang kyai membaca,
menterjemahkan, menerangkan, dan mengulas kitab-kitab salaf berbahasa Arab yang menjadi
acuannya. Sedangkan para santri mendengarkan dan memperhatikan kitabnya sambil menulis
arti dan keterangan tentang kata-kata atau pemikiran yang sukar. Lain halnya dengan
Zamakhsyari Dhafir yang mengatakan dalam kelompok itu bias juga antara 5-500 murid.
Halaqah adalah model pengajian yang umumnya dilakukan dengan cara mengitari
gurunya. Para santri duduk melingkar untuk mempelajari dan mendiskusikan suatu masalah
tertentu dibawah bimbingan seorang guru. Sependapat dengan hal ini, Zamakhsyari Dhafir
juga mengungkapkan bahwa kelompok kelas dari sistem bandongan di atas
disebut halaqah yang arti bahasanya lingkaran murid, atau sekelompok siswa yang belajar di
bawah bimbingan guru.
Kedua teknik mengajar yaitu sorogan dan bandongan yang menjadi ciri has pesantren,
oleh sebagian pakar pendidikan dianggap statis dan tradisional,
miskipun sorogan dan bandongan dianggap statis, ini bukan berarti tidak menerima inovasi.
Metode sorogan justru mengutamakan kematangan, perhatian dan kecakapan seseorang..
Mastuhu memandang bahwa dari segi ilmu pendidikan, metode sorogan sebenarnya
adalah metode yang modern, karena antara guru atau kyai dan santri saling mengenal secara
erat dan guru menguasai benar materi yang seharusnya diajarkan. Murid juga belajar dam
9
membuat persiapan sebelumnya. Demikian pula, guru telah mengetahui apa yang cocok bagi
murid dan metode apa yang harus digunakan husus untuk menghadapi muridnya. Di samping
itu metode sorogan ini juga dilakukan secara bebas (tidak ada paksaan) dan bebas dari
hambatan formalitas. Dengan demikian, yang dipentingkan bukan upaya untuk mengganti
metode sorogan menjadi model perkuliahan, sebagaimana pendidikan modern, melainkan
melakukan inovasi sorogan menjadi metode sorogan yang mutakhir (gaya baru).
Sejalan dengan itu nampaknya perlu dikembangkan di pesantren model-
model sorogan gaya mutakhir. Ini sebagai upaya pengembangan model pengajaran. Akan
lebih lengkap lagi apabila beberapa usulan atau penawaran metode yang ditawarkan oleh para
ahli dijadiakan sebagai alternative yang perlu dipertimbangkan.
Tingkat tertinggi dalam metode pengajaran di pesantren adalah metode seminar bagi
santri lanjutan dan ustadz-ustadz (guru). Sistem seperti ini terorganisir dan terlaksana dalam
pesantren yang besar sebagai kelas musyawarah. Dari setiap peserta, diharapkan secara
intensif mempersiapkan diri untuk setiap tema dan untuk mempelajari bahan-bahan yang lebih
sukar, kemudian kyai memberikan ceramah dalam tema-tema yang telah disepakati atau
menafsirkan ayat-ayat yang relevan, yang akhirnya dibahas oleh peserta di antara mereka
sendiri. Penjelasan dan keterangan diarahkan oleh seorang peminpin diskusi yang diangkat
untuk itu sebagai moderator. Pinpinan seminar kemudian menyampaikan kepada kyai hasil-
hasil seminar atau meminta kepadanya untuk memberikan pandangan tentang masalah-
masalah yang dipertanyakan itu. Bukan hal yang luar biasa, bahwa beberapa siswa yang paling
berbakat dan paling pandai dalam kelas musyawarah dianggap sebagai kyai muda dan dalam
hiraki pesantren memiliki suatu kedudukan menonjol, terutama apabila pengetahuan bahasa
Arabnya mengizinkannya untuk berkomonikasi dan menulis secara giat tentang masalah-
masalah keagamaan dan filsafat.
Dalam hal evaluasi, keberhasilan belajar di pesantren ditentukan oleh penampilan
kemampuan mengajar kitab kepada orang lain. Artinya jika audiennya puas, berarti santri
tersebut telah lulus, sehingga legitimasi kelulusannya adalah restu kyai. Bentuk sistem lainnya
adalah selesainya pengajian suatu kitab di pesantren dalam waktu tertentu, lalu diberikan
ijazah yang bentuknya adalah santri harus siap membaca kitab sewaktu-waktu kyai
memanggilnya untuk membaca kitab tersebut. Dalam hal ini biasanya santri yang cerdas akan
diminta kyai sebagai penggantinya (badal).
10
Selain dua bentuk evaluasi di atas, sistem evaluasi pesantren lebih ditekankan pada
kemampuan santri dalam mentransformasikan nilai-nilai ajaran agama islam melalui ilmu dari
pesantren di masyarakat. Hal ini akan mungkin adanya evaluasi diri sehingga menungkinkan
penilaian objektif dengan cara santri mengukur sendiri prestasi belajar. Dari gambaran di atas
dapat diketahui bahwa sistem evaluasi di pesantren belum dilakukan secara formal.
11
Mencermati hal di atas, jika bentuk pendidikan pesantren hanya mendasarkan pada
kurikulum tradisional (kurikulum salafi) tanpa mengadopsi pendidikan di Depertemin Agama
dan masih mempunyai ketergantungan yang berlebihan pada Kyai tampaknya merupakan
persoalan tersendiri, jika dikaitkan dengan tuntutan perubahan jaman yang senantiasa melaju
dengan cepat ini.
Bentuk pesantren yang demikian akan mengarah pada pemahaman Islam yang parsial
karena Islam hanya dipahami dengan pendekatan normatif semata. Belum lagi output (santri)
yang tidak dipersiapkan untuk menghadapi problematika modern, mereka cenderung
mengambil jarak dengan proses perkembangan jaman yang serba cepat ini.
Pesantren dalam bentuk ini, hidup dan matinya sangat tergantung pada kebesaran
kiainya, kalau di pesantren tersebut masih ada Kiai yang mumpuni dan dipandang mampu
serta diterima oleh masyarakat, maka pesantren tersebut akan tetap eksis. Tetapi sebaliknya,
jika pesantren tersebut sudah ditinggal oleh kiainya dan tidak ada pengganti yang mampu
melanjutkan, maka berangsur-angsur akan ditinggalkan oleh santrinya. Oleh karena itu,
inovasi dalam penataan kurikulum perlu direalisasikan, yaitu merancang kurikulum yang
mengacu pada tuntutan masyarakat sekarang dengan tidak meninggalkan karakteristik
pesantren yang ada sebab kalau tidak, besar kemungkinan pesantren tersebut akan semakin
ditinggalkan oleh para santrinya.
Dalam penataan dan pengembangan kurikulum pendidikan yang perlu diperhatikan
oleh pesantren yang dalam hal menerima modernisasi harus benar-benar selektif dalam
menerima dan mengadopsi pola-pola kurikulum Depertemen Agama atau kurikulum dari luar,
karena bisa jadi, pesantren yang tidak selektif dalam mengikuti perkembangan modernisasi ini
akan kehilangan ruh dan identitasnya sebagai lembaga pendidikan pesantren. Dalam hal ini,
kita setuju dengan pendapat Nurcholish Madjid yang mengatakan bahwa untuk memainkan
peranan yang besar dalam ruang lingkup nasional, pesantren-pesantren tidak perlu kehilangan
kepribadiannya sendiri sebagai tempat pendidikan keagamaan. Bahkan, tradisi-tradisi positif
yang dimiliki pesantren sebenarnya merupakan ciri khusus yang harus dipertahankan karena di
sinilah letak kelebihannya.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa:
1. Sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren adalah Pertama aktor atau pelaku (Kyai,
ustadz, santri dan pengurus). Kedua Sarana perangkat Keras (masjid, rumah kyai, rumah
dan asrama ustadz, pondok dan asrama santri, gedung sekolah atau madrasah, tanah untuk
pertanian dan lain-lain). Yang Ketiga Sarana perangkat lunak (tujuan, kurikulum, kitab,
penilaian, tata tertib, perpustakaan, pusat penerangan, keterampilan, pusat pengembangn
masyarakat dan lain-lain).
2. Visi dan tujuan pendidikan pesantren adalah untuk mencetak santri yang berakhlakul
karimah dan tafaqquhu fiddin sebagai generasi perjuangan islam. sedangkan sumber
keilmuan pesantren adalah kitab-kitab klasik (kitab kuning).
3. Eksistensi kitab Kuning di pesantren adalah sangat penting, karena kitab kuning
merupakan sumber rujukan dalam lini kehidupan, seperti halnya bahstul masail dalam
unpaya menjawab problematika umat.
4. Kurikulum pendidikan yang digunakan dipesantren adalah ada 14 macam sebagaimana
yang telah disilabuskan oleh imam al-Sututi dalam ktab Itmam al-Dirayah.
5. Kurikulum pendidikan pesantren pada dekade ini sudah banyak mengalami perkembangan
dengan mengadopsi pendidikan modern sebagaimana yang telah ditawarkan oleh
Depertemen Pendidikan Agama.
B. Saran
Bagi pemegang kekuasaan di pesantren harus benar berhati-hati dan slektif dalam
mengadopsi kurikulum Depertemen Agama atau kurikulum dari luar, karena bisa jadi,
pesantren yang tidak selektif dalam mengikuti perkembangan modernisasi ini akan kehilangan
ruh dan identitasnya sebagai lembaga pendidikan pesantren.
13
DAFTAR PUSTAKA
Ainurrafiq, “Pesantren dan Pembaharuan: Arah dan Implikasi”, dalam Abuddin Nata, Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia,
Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001, hal. 155.
Bawani, Imam, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam, Surabaya: al-Ikhlas, 1998.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup
Kyai, LP3ES, Jakarta 1985.
Harits, A. Busyairi, Islam Nu Pengawal Tradisi Sunni Indonisia, Surabaya: Khalista, 2010.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonisia: Lintasan Sejarah Dan
Perkembangan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 1995.
Mahfudz, Sahal, Nuansa Fikih Social, Yogyakarta, LKiS dan Pustaka Pelajar, 1994.
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur
dan Nilai Sisten Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994.
Muthohar AR, Ahmad, Idiologi Pendidikan Pesantren: Pesantren Di Tengah Arus Idiologi-
Idiologi Pendidikan, Depag dan INCIS, 2002.
Nata, Abuddin, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan
Islam di Indonesia, Jakarta, Grasindo 2002.
Patoni, Ahmad, ‘Modernisasi Pendidikan Pesantren’ dalam Akhyak, ed, Meniti Jalan
Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Depag dan INCIS, 2002.
Pratt, David, Curriculum Design and Development, Harcourt Brace Jovanovich, New York,
1980.
Siswanto, Ali Hasan, Dialektika Tradisi UN Di Tengah Arus Modernisasi, Surabaya:
iQ_Media, 2014.
Steenbrink, Karel A., Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern,
Jakarta: LP3ES, 1994.
Suyoto, “Pesantren Dalam Alam Pendidikan Nasional” dalam M. dawan Raharjdo, Pesantren
Dan Pembaharuan, cet. IV. LP3ES, Jakarta, 1989.
Syahid, Ahmad, Pesantren dan Pengembangan Ekonomi Umat, Depag dan INCIS, 2002.
14
Thoha, Chabib, “Reposisi Materi Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Proses Internalisasi,
dalam Majalah Edukasi No 17/Th.XIV. Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang, 1998.
Van Brunessen, Martin, Ktab Kuning Pesantren Dan Tarikat, Mizan, Bandung 1995.
Van Houve, Ictiar Baru, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ictiar Baru Van Houve,1993.
Wahjoetmo, Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan, Jakarta, Gema
Insani Press 1987.
Ziemek, Manfred , Pesantren Dalam Perubahan Sosial, P3m, Jakarta, 1986.
15