Dosen Pembimbing:
Ns. Dwi Retno Wulan, M.Kep.,Sp.Kep.An
Disusun Oleh:
Kelompok 11
Kelas:
2A D3 Keperawatan
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATANSEKOLAH TINGGI
ILMU KESEHATAN SUKABUMI
2020/2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu
dengan pertolongan-Nya.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk makalah ini, agar makalah ini
dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kami mohon maaf apabila ada
terdapat banyak kesalahan dalam pembuatan makalah ini.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. BBLR........................................................................................................
B. Hiperbilirubin...........................................................................................
C. Aspiksia.....................................................................................................
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................
B. Saran .......................................................................................................
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada saat waktu lahir, tubuh bayi baru lahir berpindah dari ketergantungan
total ke kemandirian fisiologis. Proses perubahan yang rumit ini dikenal
sebagai periode transisi-periode yang dimulai ketika bayi keluar dari tubuh ibu
dan berlanjut selama beberapa organ, misalnya paru-paru, mengalami
perubahan yang pesat sehingga selesai dengan sempurna dalam beberapa hari
setelah lahir. Sistem organ yang lain, seperti sistem hepatik, memerlukan
waktu lebih lama untuk berubah ke fungsi ekstrauteri.
Masalah utama penyebab kematian pada bayi dan balita adalah masa
neonatus (bayi baru lahir 0-28 hari). Komplikasi yang menjadi penyebab
kematian terbanyak adalah asfiksia, bayi berat lahir rendah, dan infeksi.Bayi
baru lahir sangat rentan terhadap infeksi mikroorganisme yang terpapar atau
terkontaminasi selama proses persalinan berlangsung maupun beberapa saat
setelah lahir. Untuk tidak menambah resiko infeksi maka sebelum manangani
bayi baru lahir, pastikan penolong persalinan dan pemberi asuhan bayi baru
lahir telah melakukan upaya pencegahan infeksi (Depkes RI, 2008; h. 124).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami konsep asuhan keperawatan pada
bayi resiko tinggi (BBLR, Hiperbilirubin, Aspiksia)
2. Tujuan Khusus
a) Agar mampu mengetaui dan mempelajari tentang BBL beserta
konsep asuhan keperawatannya.
b) Agar mampu mengetaui dan mempelajari tentang Hiperbilirubin
beserta konsep asuhan keperawatannya.
c) Agar mampu mengetaui dan mempelajari tentang Aspiksia beserta
konsep asuhan keperawatannya.
C. Manfaat Makalah
1. Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang konsep asuhan
keperawatan pada bayi resiko tinggi (BBLR, Hiperbilirubin, Aspiksia)
2. Sebagai bahan acuan dalam memberikan asuhan keperawatan pada
bayi resiko tinggi (BBLR, Hiperbilirubin, Aspiksia), sehingga dapat
meningkatkan perkembangan, baik secara teori maupun praktik
keperawatan.
3
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. BBLR
1. Pengertian
Bayi berat badan lahir rendah (BBLR) adalah berat bayi saat lahir
kurang dari 2500 gram yang merupakan hasil dari kelahiran prematur
(sebelum 37 minggu usia kehamilan). Bayi dengan berat badan lahir
rendah sangat erat kaitannya dengan mortalitas dan morbiditas,
sehingga akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan kognitif
serta penyakit kronis di kemudian hari (WHO, 2004). Bayi berat badan
lahir rendah (BBLR) merupakan bayi yang lahir dengan berat badan
kurang dari 2.500 gram saat lahir. Bayi BBLR sebagian besar
dikarenakan retardasi pertumbuhan intrauterin (IUGR) dengan usia
kehamilan kurang dari 37 minggu. Bayi BBLR memiliki risiko empat
kali lipat lebih tinggi dari kematian neonatal dari pada bayi yang berat
badan lahir 2.500-3.499 gram (Muthayya, 2009). Bayi berat badan
lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang berat badannya kurang dari
2500 gram, tanpa memperhatikan usia gestasi. Bayi BBLR dapat
terjadi pada bayi kurang bulan (kurang dari 37 minggu usia kehamilan)
atau pada usia cukup bulan (intrauterine growth retriction) (Wong,
2008).
Beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bayi berat badan lahir
rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir dengan berat badan lahir kurang
dari 2500 gram dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu.
2. Klasifikasi BBLR
a. Ada beberapa pengelompokan dalam BBLR (Mitayani, 2009) :
Prematuritas murni
4
3. Etiologi BBLR
Etiologi atau penyebab dari BBLR (Proverawati dan Ismawati, 2010):
a. Faktor ibu
Penyakit
Mengalami komplikasi kehamilan, seperti anemia,
perdarahan antepartum, preekelamsi berat, eklamsia,
infeksi kandung kemih.
Menderita penyakit seperti malaria, infeksi menular
seksual, hipertensi, HIV/AIDS, penyakit jantung.
Penyalahgunaan obat, merokok, konsumsi alkohol
Ibu
Angka kejadian prematitas tertinggi adalah kehamilan
pada usia < 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.
Jarak kelahiran yang terlalu dekat atau pendek (kurang
dari 1 tahun).
Mempunyai riwayat BBLR sebelumnya
6
b. Faktor janin
Faktor janin meliputi: kelainan kromosom, infeksi janin kronik
(inklusi sitomegali, rubella bawaan), gawat janin, dan kehamilan
kembar.
c. Faktor plasenta Faktor plasenta disebabkan oleh: hidramnion,
plasenta previa, solutio plasenta, sindrom tranfusi bayi kembar
(sindrom parabiotik), ketuban pecah dini.
d. Faktor lingkungan Lingkungan yang berpengaruh antara lain:
tempat tinggal di dataran tinggi, terkena radiasi, serta terpapar zat
beracun.
4. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang dapat ditemukan dengan bayi berat lahir rendah
(Mitayani, 2009):
a. Berat badan kurang dari 2500 gram, panjang badan kurang dari 45
cm, lingkar dada kurang dari 30 cm, dan lingkar kepala kurang dari
33cm
b. Masa gestasi kurang dari 37 minggu.
c. Kulit tipis, transparan, lanugo banyak, dan lemak subkutan amat
sedikit.
d. Osofikasi tengkorak sedikit serta ubun-ubun dan sutura lebar.
e. Genitalia imatur, labia minora belum tertutup dengan labia miyora.
f. Pergerakan kurang dan lemah, tangis lemah, pernafasan belum
teratur dan sering mendapatkan serangan apnea.
7
5. Patofisiologi
Secara umum bayi BBLR ini berhubungan dengan usia kehamilan
yang belum cukup bulan (prematur) disamping itu juga disebabkan
dismaturitas. Artinya bayi lahir cukup bulan (usia kehamilan 38
minggu), tapi berat badan (BB) lahirnya lebih kecil dari masa
kehamilannya, yaitu tidak mencapai 2.500 gram. Masalah ini terjadi
karena adanya gangguan pertumbuhan bayi sewaktu dalam kandungan
yang disebabkan oleh penyakit ibu seperti adanya kelainan plasenta,
infeksi, hipertensi dan keadaan-keadaan lain yang menyebabkan suplai
makanan ke bayi jadi berkurang.
Gizi yang baik diperlukan seorang ibu hamil agar pertumbuhan janin
tidak mengalami hambatan, dan selanjutnya akan melahirkan bayi
dengan berat badan lahir normal. Kondisi kesehatan yang baik, sistem
reproduksi normal, tidak menderita sakit, dan tidak ada gangguan gizi
pada masa pra hamil maupun saat hamil, ibu akan melahirkan bayi
lebih besar dan lebih sehat dari pada ibu dengan kondisi kehamilan
yang sebaliknya. Ibu dengan kondisi kurang gizi kronis pada masa
hamil sering melahirkan bayi BBLR, vitalitas yang rendah dan
kematian yang tinggi, terlebih lagi bila ibu menderita anemia.
Ibu hamil umumnya mengalami deplesi atau penyusutan besi sehingga
hanya memberi sedikit besi kepada janin yang dibutuhkan untuk
metabolisme besi yang normal. Kekurangan zat besi dapat
menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan janin baik
sel tubuh maupun sel otak. Anemia gizi dapat mengakibatkan kematian
janin didalam kandungan, abortus, cacat bawaan, dan BBLR. Hal ini
menyebabkan morbiditas dan mortalitas ibu dan kematian perinatal
8
6. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul pada bayi dengan berat lahir rendah
(Mitayani, 2009) :
a. Sindrom aspirasi mekonium
Sindrom aspirasi mekonium adalah gangguan pernapasan pada bayi
baru lahir yang disebabkan oleh masuknya mekonium (tinja bayi)
ke paru-paru sebelum atau sekitar waktu kelahiran (menyebabkan
kesulitan bernafas pada bayi).
b. Hipoglikemi simptomatik
Hipoglikemi adalah kondisi ketidaknormalan kadar glokosa serum
yang rendah. Keadaan ini dapat didefinisikan sebagai kadar
glukosa dibawah 40 mg/dL. Hipoglikemi sering terjadi pada
BBLR, karena cadangan glukosa rendah ,terutama pada laki-laki.
c. Penyakit membran hialin yang disebabkan karena membran
surfaktan belum sempurna atau cukup, sehingga alveoli kolaps.
Sesudah bayi mengadakan aspirasi, tidak tertinggal udara dalam
alveoli, sehingga dibutuhkan tenaga negative yang tinggi untuk
pernafasan berikutnya.
d. Asfiksia neonatorum Asfiksia neonatorum ialah suatu keadaan bayi
baru lahir yang gagal bernafas secara spontan dan teratur segera
setelah lahir.
e. Hiperbilirubinemia (gangguan pertumbuhan hati)
Hiperbilirubinemia (ikterus bayi baru lahir) adalah meningginya
kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler, sehingga kulit,
konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning.
9
7. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik pada bayi BBLR (Mitayani, 2009) :
a. Jumlah darah lengkap: penurunan pada Hb (normal: 12- 24gr/dL),
Ht (normal: 33 -38% ) mungkin dibutuhkan.
b. Dektrosik: menyatakan hipoglikemi (normal: 40 mg/dL).
c. Analisis Gas Darah (AGD): menentukan derajat keparahan distres
pernafasan bila ada.
Rentang nilai normal: 1)
1. pH : 7,35-7,45
2. TCO2 : 23-27 mmol/L
3. PCO2 : 35-45 mmHg
4. PO2 : 80-100 mmHg
5. Saturasi O2 : 95 % atau lebih
d. Elektrolit serum: mengkaji adanya hipokalsemia.
e. Bilirubin: mungkin meningkat pada polisitemia. Bilirubin normal:
1) bilirubin indirek 0,3 – 1,1 mg/dl.
2) bilirubin direk 0,1 – 0,4 mg/dl.
f. Urinalisis: mengkaji homeostatis.
g. Jumlah trombosit (normal: 200000 - 475000 mikroliter):
Trombositopenia mungkin menyertai sepsis.
h. EKG, EEG, USG, angiografi: defek kongenital atau komplikasi.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada bayi BBLR yaitu dengan
menerapkan beberapa metode Developemntal care yaitu :
a. Pemberian posisi
Pemberian posisi pada bayi BBLR sangat mempengaruhi
pada kesehatan dan perkembangan bayi. Bayi yang tidak perlu
mengeluarkan energi untuk mengatasi usaha bernafas, makan atau
mengatur suhu tubuh dapat menggunakan energi ini untuk
pertumbuhan dan perkembangan. Posisi telungkup merupakan
10
posisi terbaik bagi kebanyakan bayi preterm dan BBLR yang dapat
menghasilkan oksigenasi yang lebih baik, lebih menoleransi
makanan, dan pola tidur istirahatnya lebih teratur. Bayi
memperlihatkan aktifitas fisik dan penggunaan energi lebih sedikit
bila diposisikan telungkup. Akan tetapi ada yang lebih menyukai
postur berbaring miring fleksi. Posisi telentang lama bagi bayi
preterm dan BBLR tidak disukai, karena tampaknya mereka
kehilangan keseimbangan saat telentang dan menggunakan energi
vital sebagai usaha untuk mencapai keseimbangan dengan
mengubah postur.
Posisi telentang jangka lama bayi preterm dan BBLR dapat
mengakibatkan abduksi pelvis lebar (posisi kaki katak), retraksi
dan abduksi bahu, peningkatan ekstensi leher dan peningkatan
ekstensi batang tubuh dengan leher dan punggung melengkung.
Sehingga pada bayi yang sehat posisi tidurnya tidak boleh posisi
telungkup (Wong, 2008).
b. Minimal handling
1. Dukungan Respirasi
Banyak bayi BBLR memerlukan oksigen suplemen dan
bantuan ventilasi, hal ini bertujuan agar bayi BBLR dapat
mencapai dan mempertahankan respirasi. Bayi dengan
penanganan suportif ini diposisikan untuk memaksimalkan
oksigenasi. Terapi oksigen diberikan berdasarkan kebutuhan
dan penyakit bayi.
2. Termoregulasi
Kebutuhan yang paling krusial pada bayi BBLR adalah
pemberian kehangatan eksternal setelah tercapainya respirasi.
Bayi BBLR memiliki masa otot yang lebih kecil dan deposit
lemak cokelat lebih sedikit untuk menghasilkan panas,
kekurangan isolasi jaringan lemak subkutan, dan control reflek
11
yang buruk pada kapiler kulitnya. Pada saat bayi BBLR lahir
mereka harus segera ditempatkan dilingkungan yang
dipanaskan hal ini untuk mencegah atau menunda terjadinya
efek stres dingin.
3. Perlindungan terhadap infeksi
Perlindungan terhadap infeksi merupakan salah satu
penatalaksanaan asuhan keperawatan pada bayi BBLR untuk
mencegah terkena penyakit. Lingkungan perilindungan dalam
inkubator yang secara teratur dibersihkan dan diganti
merupakan isolasi yang efektif terhadap agens infeksi yang
ditularkan melalui udara. Sumber infeksi meningkat secara
langsung berhubungan dengan jumlah personel dan peralatan
yang berkontak langsung dengan bayi.
4. Hidrasi
Bayi resiko tinggi sering mendapat cairan parenteral untuk
asupan tambahan kalori, elektrolit, dan air. Hidrasi yang
adekuat sangat penting pada bayi preterm, karena kandungan
air ekstraselulernya lebih tinggi (70% pada bayi cukup bulan
dan sampai 90% pada bayi preterm). Hal ini dikarenakan
permukaan tubuhnya lebih luas dan kapasitas osmotik diuresis
terbatas pada ginjal bayi preterm yang belum berkembang
sempurna, sehingga bayi tersebut sangat peka terhadap
kehilangan cairan.
5. Nutrisi
Nutrisi yang optimal sangat kritis dalam manajemen bayi
BBLR, tetapi terdapat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan
nutrisi mereka karena berbagai mekanisme ingesti dan digesti
makanan belum sepenuhnya berkembang. Jumlah, jadwal, dan
metode pemberian nutrisi ditentukan oleh ukuran dan kondisi
bayi. Nutrisi dapat diberikan melalui parenteral ataupun enteral
atau dengan kombinasi keduanya. Kebutuhan bayi untuk
12
B. HIPERBILIRUBIN
1. Pengertian
Ikterik
Ikterik berhubungan Penyakit
Ikterik ASI
fisiologis dengan hemolitik
menyusui ASI
Penyeba Fungsi Masukan susu Faktor-faktor Ketidakcocokan
b hepatik yang buruk yang mungkin antigen darah
imatur berhubungan terdapat dalam menyebabkan
ditambah dengan ASI yang hemolisis
peningkatan sedikitnya memecahkan sejumlah besar
beban kalori yang bilirubin SDM
16
pemberian ASI
tanpa
gangguan
2. Anatomi Fisiologi
3. Etiologi
4. Manifestasi Klinik
5. Patofisiologi
beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan
bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang
bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin
tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak
disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf
pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih
dari 20 mg/dl.
6. Klasifikasi
C. ASPIKSIA
1. Pengertian
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak
dapat bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan
ini biasanya disertai dengan keadaan hipoksia dan hiperkapnu serta
sering berakhir dengan asidosis (Marwyah, 2016).
Asfiksia adalah kegagalan untuk memulai dan melanjutkan
pernapasan secara spontan dan teratur pada saat bayi baru lahir atau
beberapa saat sesudah lahir. Bayi mungkin lahir dalam kondisi asfiksia
(asfiksia primer) atau mungkin dapat bernapas tetapi kemudian
mengalami asfiksia beberapa saat setelah lahir (asfiksia sekunder).
(Fauziah dan Sudarti, 2014).
Asfiksia merupakan keadaan dimana bayi tidak dapat bernapas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir keadaan tersebut dapat
disertai dengan adanya hipoksia, hiperkapnea dan sampai ke asidosis.
(Fauziah dan Sudarti , 2014).
Asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak
dilakukan dengan sempurna, sehingga tindakan perawatan
dilaksanakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan
mengatasi gejala lanjut yang mungkin timbul. Untuk mendapatkan
hasil yang memuaskan, beberapa faktor perlu dipertimbangkan dalam
menghadapi bayi dengan asfiksia.
2. Patofisiologi asfiksia
23
Segera setelah lahir bayi akan menarik napas yang pertama kali
(menangis), pada saat ini paru janin mulai berfungsi untuk resoirasi.
Alveoli akan mengembang udara akan masuk dan cairan yang ada
didalam alveoli akan meninggalkan alveli secara bertahap.
Bersamaan dengan ini arteriol paru akan mengembang dan aliran darah
ke dalam paru meningkat secara memadai. Bila janin kekurangan O₂
dan kadar CO₂ bertambah , maka timbullah rangsangan terhadap
nervus vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin) menjadi lambat. Jika
kekurangan O₂ terus berlangsung maka nervus vagus tidak dapat di
pengaruhi lagi. Timbullah kini rangsangan dari nervu simpatikus
sehingga DJJ menjadi lebih cepat dan akhirnya ireguler dan
menghilang. Janin akan mengadakan pernapasan intrauterine dan bila
kita periksa kemudian terdapat banyak air ketuban dan mekonium
dalam paru, bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis. Bila janin lahir,
alveoli tidak berkembang. Jika berlanjut, bayi akan menunjukkan
pernapasan yang dalam, denyut jantung terus menurun, tekanan darah
bayi juga mulai menurun dan bayi akan terlihat lemas. Pernapasan
makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode apneu
sekunder. Selama apneu sekunder, denyut jantung, tekanan darah dan
kadar O₂ dalam darah (PaO₂) terus menurun. Bayi sekarang tidak
dapat bereaksi terhadap rangsangan dan tidak akan menunjukkan
upaya pernapasan secara spontan (Sudarti dan Fauziah 2012)
Sedangkan, tanda dan gejala bayi baru lahir dengan asfiksia (Sudarti
dan Fauziah 2012) antara lain :
4. Klasifikasi asfiksia
Klasifikasi asfiksia menurut Sukarni & Sudarti (2013) adalah :
a. Virgorous baby (Asfiksia ringan)
Apgar skor 7-9, dalam hal ini bayi dianggap sehat, tidak
memerlukan tindakan istimewa.
b. Mild- moderate asphyksia (asfiksia sedang)
APGAR score 4-6
c. Severe asphyksia (asfiksia berat)
APGAR score 0-3
5. Komplikasi asfiksia
Dampak yang akan terjadi jika bayi baru lahir dengan asfiksia tidak di
tangani dengan cepat maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut antara
lain: perdarahan otak, anuragia, dan onoksia, hyperbilirubinemia,
kejang sampai koma. Komplikasi tersebut akan mengakibatkan
gangguan pertumbuhan bahkan kematian pada bayi (Surasmi, 2013)
25
6. Pemeriksaan diagnostik
Beberapa pemeriksaan diagnostik adanya asfiksia pada bayi (Sudarti
dan Fauziah, 2013 ) yaitu :
- Pemeriksaan analisa gas darah
- Pemeriksaan elektrolit darah
- Berat badan bayi
- Penilaiaan APGAR Score
- Pemeriksaan EGC dan CT-Scan
7. Penatalaksanaan asfiksia
Penatalaksanaan asfiksia (Surasmi, 2013) adalah :
- Membersihkan jalan napas dengan pengisapan lendir dan kasa
steril
- Potong tali pusat dengan teknik aseptik dan dengan antiseptik
- Apabila bayi tidak menangis lakukan sebagai berikut :
a. Rangsangan taktil dengan cara menepuk-nepuk kaki,
mengelus-elus dada, perut dan punggung
b. Bila dengan rangsangan taktil belum menangis lakukan
resusitasi mouth to mouth
c. Pertahankan suhu tubuh agar tidak perburuk keadaan
asfiksia dengan cara : membungkus bayi dengan kain
hangat, badan bayi harus dalam keadaan kering, jangan
memandikan bayi dengan air dingin gunakan minyak atau
baby oil untuk membersihkan tubuh bayi, kepala bayi
ditutup dengan baik atau kenakan topi,
d. Apabila nilai APGAR pada menit ke lima sudah baik (7-10)
lakukan perawatan selanjutnya : bersihkan badan bayi,
perawatan tali pusat, pemberian ASI sedini mungkin dan
adekuat, melaksanakan antromentri dan pengkajian
26
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
6. Pengkajian neurologis-muskuloskeletal
Jelaskan gerakan bayi, kejang, kedutan, tingkat aktivitas
terhadap rangsang, dan evaluasi sesuai masa gestasinya.
Jelaskan posisi bayi atau perilakunya (fleksi, ekstensi).
Jelaskan refleks yang ada ( moro, rooting, sucking, plantar,
tonick neck, palmar).
Tentukan tingkat respons dan kenyamanan.
7. Suhu tubuh
Tentukan suhu kulit dan aksilar.
Tentukan hubungan dengan suhu sekitar lingkungan.
8. Pengkajian kulit
Terangkan adanya perubahan warna, daerah yang memerah,
tanda iritasi, melepuh, abrasi, atau daerah terkelupas, terutama
dimana peralatan pemantau infus atau alat lain bersentuhan
dengan kulit. Periksa juga dan catat preparat kulit yang dipakai
(missal plester, povidone-jodine).
Tentukan tekstur dan turgor kulit kering, lembut, bersisik,
terkelupas dan lain-lain.
Terangkan adanya ruam, lesi kulit, atau tanda lahir
b. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang bisa ditegakkan oleh seorang perawat
pada bayi dengan BBLR (NANDA, 2011):
1) Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan imaturitas
fungsi paru dan neuromuscular
2) Tidak efektifnya thermoregulasi (hipertermi) berhubungan
dengan imaturitas kontrol dan pengatur suhu
3) Risiko infeksi berhubungan dengan masih rendahnya sistem
imun
31
c. Intervensi
Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan imaturitas
fungsi paru dan neuromuscular
- Observasi pola nafas, frekuensi , kedalaman, irama pernafasan,
(rasional : mengetahui adanya perubahan pola nafas )
- Tempatkan pada posisi telentang dengan leher sedikit ekstensi
(Rasional : mencegah penyempitan jalan nafas dan
menurunkan episode apnea )
- Observasi tanda-tanda distres pernapasan : stridor, sianosis,
pernapasan cuping hidung, retraksi, takipnea. Apnea
(Rasional : mengetahui adanya tanda tanda distress pernapasan)
- Berikan terapi oksigen
(Rasional : mempertahankan oksigen dalam jaringan)
- Observasi dan kaji respon bayi terhadap terapi oksigenasi
(Rasional : mengetahui respon pasien terhadap oksigenasi)
1. Pengkajian
a. Aktivitas/istirahat
Letargi, malas.
b. Sirkulasi
- Mungkin pucat, menandakan anemia.
- Bertempat tinggal di atas ketinggian 5000 ft.
c. Eliminasi
- Bising usus hipoaktif.
- Pasase mekonium mungkin lambat.
- Feses mungkin lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran
bilirubin.
- Urin gelap pekat; hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze)
d. Makanan/cairan
- Riwayat pelambatan/makan oral buruk, lebih mungkin disusui
daripada menyusu botol.
- Palpasi abdomen dapat menunjukkan pembesaran limpa, hepar.
e. Neurosensori
- Sefalhematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang
parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran/kelahiran
ekstraksi vakum.
- Edema umum, hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis mungkin
ada dengan inkompatibilitas Rh berat.
- Kehilangan refleks Moro mungkin terlihat.
- Opistotonus dengan kekakuan lengkung punggung, fontanel
menonjol, menangis lirih, aktivitas kejang (tahap krisis).
34
f. Pernapasan
- Riwayat asfiksia.
- Krekels, mukus bercak merah muda (edema pleural, hemoragi
pulmonal).
g. Keamanan
- Riwayat positif infeksi/sepsis neonatus.
- Dapat mengalami ekimosis berlebihan, petekie, perdarahan
intrakranial.
- Dapat tampak ikterik pada awalnya pada wajah dan berlanjut pada
bagian distal tubuh; kulit hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze)
sebagai efek samping fototerapi.
h. Seksualitas
- Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA), bayi dengan
retardasi pertumbuhan intrauterus (IUGR), atau bayi besar usia
gestasi (LGA), seperti bayi dengan ibu diabetes.
- Trauma kelahiran dapat terjadi berkenaan dengan stres dingin,
asfiksia, hipoksia, asidosis, hipoglikemia, hipoproteinemia.
- Terjadi lebih sering pada pria daripada bayi wanita.
2. Diagnosis Keperawatan
a) Cedera, risiko tinggi terhadap keterlibatan sistem saraf pusat
berhubungan dengan prematuritas, penyakit hemolitik, asfiksia,
asidosis, hipoproteinemia, dan hipoglikemia.
b) Cedera, risiko tinggi terhadap efek samping tindakan fototerapi
berhubungan dengansifat fisik dari intervensi terapeutik dan efek
mekanisme regulasi tubuh.
c) Cedera, risiko tinggi terhadap komplikasi dari transfusi tukar
berhubungan dengan prosedur invasif, profil darah abnormal,
ketidakseimbangan kimia.
d) Kurang pengetahuan [kebutuhan belajar], mengenai kondisi,
prognosis, dan kebutuhan tindakan berhubungan dengan kurang
35
3. Intervensi
a) Cedera, risiko tinggi terhadap keterlibatan sistem saraf pusat berhubungan
dengan prematuritas, penyakit hemolitik, asfiksia, asidosis,
hipoproteinemia, dan hipoglikemia.
Kriteria hasil :
- Menunjukan kadar bilirubin indirek di bawah 12 mg/dl pada bayi
cukup bulan pada usia 3 hari.
- Resolusi ikterik pada akhir minggu pertama kehidupan
- Bebas dari keterlibatan SSP
TINDAKAN / INTERVENSI
1) Mandiri
- Perhatikan kelompok dan golongan darah ibu / bayi
- Tinjau catatan intrapartum terhadap faktor risiko yang khusus, seperti
berat badan lahir rendah (BBLR) atau IUGR, prematuritas, proses
metabolic abnormal, cedera vascular, sirkulasi abnormal, sepsis, atau
polisitemia.
- Perhatikan penggunaan ekstrator vakum untuk kelahiran. Kaji bayi
terhadap adanya sefalohematoma dan ekimosis atau petekie yang
berlebihan.
- Tinjau ulang kondisi bayi pada kelahiran, perhatikan kebutuhan
terhadap resusitasi atau petunjuk adanya ekimosis atau petekie yang
berlebihan, stress dingin, asfiksia, atau asidosis.
- Pertahankan bayi tetap hangat dan kering; pantau kulit dan suhu inti
dengan sering.
36
TINDAKAN/INTERVENSI
1) Mandiri
- Perhatikan adanya/ perkembangan bilier atau obstruksi usus.
- Ukur kuantitas fotoenergi bola lampu fluoresen (sinar putih atau biru)
dengan menggunakan fotometer.
38
TINDAKAN/INTERVENSI
1) Mandiri
- Perhatikan kondisi tali pusat bayi sebelum transfusi bila vena
umbilikal digunakan. Bila tali pusat kering, berikan pencucian saline
selama 30-60 menit sebelum prosedur.
- Pertahankan puasa selama 4 jam sebelum prosedur, atau aspirat isi
lambung.
- Jamin ketersediaan alat resusitatif.
- Pertahankan suhu tubuh sebelum, selama, dan setelah prosedur.
Tempatkan bayi dibawah penyebar hangat deengan servomekanisme.
Hangatkan darah sebelum pengifusan dengan menepatkan didalam
inkubator, hangatkan baskom birisi air, atau penghangat darah.
- Pastikan golongan darah serta faktor Rh bayi dan ibu. Perhatikan
golongan darah dan faktor Rh darah untuk ditukar. (Darah tukar akan
sama golongannya dengan darah bayi, tetapi darah Rh-negatif atau
golongan O-negatif yang telah dicocokan silang dengan darah ibu
sebelumnya).
40
- Jamin kesegaran darah (tidak lebih dari 2 hari usianya). Darah yang
diberi heparin lebih disukai.
- Pantau tekanan vena, nadi, warna dan frekuensi
pernapasan/kemudahan sebelum, selama transfusi. Lakukan
penghisapan bila diperlukan.
- Dengan hati-hati dokumentasikan kejadian selama transfusi,
pencatatan jumlah daraah yang diambil dan diinjeksikan (biasanya 7-
20 ml sekaligus).
- Pantau tanda-tanda ketidakseimbangan elektrolit (mis; gugup,
aktivitas kejang, dan apnea; hiperrefleksia; bradikardia; atau diare).
- Kaji bayi terhadap perdarahan berlebihan dari lokasi I.V. setelah
transfusi.
2) Kolaborasi
- Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi:
- Kadar Hb atau Ht sebelum dan setelah transfusi.
- Kadar bilirubin serum segera setelah prosedur, kemudian setiap 4
sampai 8 jam.
- Protein serum total.
- Kalsium dan kalium serum.
- Glukosa
- Kadar pH serum
- Berikan albumin sebelum transfusi bila diindikasikan.
- Berikan obat-obatan, sesuai indikasi:
- Kalsium glukonat 5 %.
- Natrium bikarbonat.
- Protamin sulfat.
TINDAKAN/INTERVENSI
1) Mandiri :
- Berikan informasi tentang tipe-tipe ikterik dan faktor-faktor
patofisiologis dan implikasi masa datang dari hiperbilirubinemia.
Anjurkan untuk mengajukan pertanyaan; tegaskan atau perjelas
informasi sesuai kebutuhan.
- Tinjau ulang maksud dari mengkaji bayi terhadap peningkatan kadar
bilirubin (mis, mengobservasi pemucatan kulit di atas tonjolan tulang
atau perubahan perilaku), khususnya bila bayi dipulangkan dini.
Berikan nomor telepon darurat 24 jam dan nama orang yang akan
dihubungi kepada orang tua, dan tekankan pentingnya melaporkan
peningkatan ikterik.
- Diskusikan penatalaksanaan di rumah dari ikterik fisiologis ringan
atau sedang, termasuk peningkatan pemberian makan, pemajanan
langsung pada sinar matahari, dan program tindak lanjut tes serum.
- Berikan informasi tentang mempertahankan suplai ASI melalui
penggunaan pompa payudara dan tentang kembali menyusui ASI bila
ikterik memerlukan pemutusan menyusui.
- Diskusikan kebutuhan terhadap imun globulin Rh (Rh-Ig) dalam 72
jam setelah kelahiran untuk ibu yang Rh-negatif dengan bayi/janin
Rh-positif dan yang belum disensitisasi.
- Kaji situasi keluarga dan sisitem pendukung. Berikan orang tua
penjelasan tertulis yang tepat tentang fototerapi di rumah, daftarkan
teknik dan potensial masalah.
42
5. Evaluasi
a. Cedera terhadap keterlibatan sistem saraf pusat tidak terjadi.
b. Cedera terhadap efek samping tindakan fototerapi dapat dicegah.
c. Cedera terhadap komplikasi dari transfusi tukar tidak terjadi.
d. Pengetahuan klien bertambah.
5. Pemeriksaan fisik :
a. Pengkajian umum : ukur panjang dan lingkar kepala secara
periodik, adanya tanda distres :warna buruk, mulut terbuka,
kepala terangguk angguk, meringis, alis berkerut.
b. Pengkajian pernapasan : bentuk dada (barrel, cembung),
kesimetrisan, adanya insisi, selang dada, penggunaan otot
aksesoris : pernapasan cuping hidung, atau substernal,
interkostal, atau retraksi subklavikular, frekuensi dan
keteraturan pernapasan, auskultasi dan gambarkan bunyi
napas : stridor, krekels, mengi, bunyi menurun basah,
mengorok, keseimbangan bunyi napas
6. Data penunjang
Data penunjang pemeriksaan laboratorium penting artinya dalam
menegakkan diagnosa atau kausal yang tepat sehingga kita dapat
memberikan obat yang tepat pula.
Pemeriksaan yang diperlukan adalah : darah rutin.
Nilai darah lengkap pada bayi asfiksia terdiri dari : Hb (normal 15-
19 gr%) biasanya pada bayi dengan asfiksia Hb cenderung turun
karena O2 dalam darah sedikit. Leukosit lebih dari 10,3 x 10 gr/ct
(normal 4,3-10,3 x 10 gr/ct) karena bayi preterm imunitas masih
rendah sehingga resiko tinggi. Trombosit (normal 350 x 10 gr/ct)
44
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada bayi baru lahir dengan
asfiksia (Wong, 2008) adalah :
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan imaturitas paru dan
neuromuskular, penurunan energi, dan keletihan
2. Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan kontrol suhu yang
imatur dan penurunan lemak tubuh subkutan
3. Risiko tinggi infeksi berhungngan dengan pertahanan imunologi
yang kurang
4. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh (resiko tinggi)
berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna nutrisi karena
imaturitas dan atau penyakit.
5. Resiko tinggi kekurangan atau kelebihan volume berhubungan
dengan karakteristik fisiologis imatur dari bayi preterm dan atau
imaturitas atau penyakit.
c. Perencanaan keperawatan
Intervensi yang ditetapkan pada bayi baru lahir dengan asfiksia (Wong,
2008) adalah :
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan imaturitas paru dan
neuromuskular, penurunan energi, dan keletihan
Tujuan : pasien akan memperlihatkan parameter oksigen yang
adekuat
Hasil yang diharapkan :
a. Jalan napas tetap paten
b. Pernapasan memberikan oksigenasi dan pembuangan CO₂
yang adekuat
c. Frekuensi dan pola napas dalam batas normal
45
Intervensi :
Intervensi :
a. Tempatkan bayi didalam inkubator, atau penghangat radian
atau pakaian hangat dalam keranjang terbuka. R/ untuk
mempertahankan suhu tubuh bayi
46
b. Pantau suhu aksila pada bayi yang tidak stabil dan kontrol suhu
udara. R/untuk mempertahankan suhu kulit dalam rentang
ternal yang dapat diterima
c. Gunakan pelindung panas plastik bila tepat. R/ untuk
menurunkan kehilangan panas
d. Pantau tanda-tanda hipertermia mis, kemerahan, ruam,
diaforesis (jarang)
Intervensi :
a. Pastikan bahwa semua pemberi perawatan mencuci tangan
sebelum dan sesudah mengurus bayi. R/ untuk meminimalkan
pemajanan pada organisme infektif
b. Pastikan semua alat yang kontak dengan bayi sudah bersih dan
steril 3
c. Isolasi bayi lain yang mengalami infeksi sesuai kebijakan
institusional
d. Instruksikan pekerja perawat kesehatan dan orang tua dalam
prosedur kontrol infeksi
e. Beri antibiotik sesuai instruksi
Intervensi :
a. Pertahankan cairan parenteral atau nutrisi parenteral sesuai
instruksi
b. Pantau adaya tanda-tanda intoleransi terhadap terapi parenteral
total, terutama protein dan glukosa
c. Kaji kesiapan bayi untuk menyusu pada payudara ibu
khususnya kemampuan untuk mengkoordinasikan menelan dan
pernapas
d. Susukan bayi pada payudara ibu jika pengisapan kuat
Intervensi :
a. Pantau dengan ketat cairan dan elektrolit dengan terapi yang
meningkatkan kehilangan air tak kasat mata
b. Pastikan masukan cairan oral/parenteral yang adekuat
c. Kaji status hidrasi (mis, turgor kulit, tekanan darah, edema,
berat badan, membran mukosa, berat jenis urine, elektrolit,
fontaneil)
48
d. Pelaksanaan Keperawatan
Tahap ini perawat mencari inisiatif dari rencana tindakan untuk
mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah
rencana tindakan disusun dan ditunjukan pada nursing orders untuk
membantu pasien mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
e. Evaluasi keperawatan
Tahap ini perawat melakukan tindakan intelektual untuk melengkapi
proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa
keperawatan, rencana keperawatan, dan pelaksanaanya sudah berhasil
dicapai.
49
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
Semoga dengan pembuatan makalah ini, makalah ini dapat bermanfaat
bagi yang membacanya dan dapat di gunakan sebagai pedoman
pembelajaran.
50
DAFTAR PUSTAKA