Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUANA
A.Latar Belakang
MasalahSelama kurang lebih 32 tahun, kita baru menyadari bahwa pembangunan bidang
ekonomi lebih diutamankan namun dengan mengabaikan pembangunan hukumnya. Akibatnya,
dalam pembangunan bidang ekonomi tersebut muncullah berbagai isu dan persoalan hukum
berskala nasional. Isu dan persoalan hukum tadi merupakan ekses dari kebijkan politik
(ekonomi) yang tidak mempunyai esensi subtansi karena lebih mengedepankan tata langkah dan
cara kerja hukumnya. Oleh karena itu, sewajarnya kita berbenah diri dalam menghadapi
pertumbuhan dan perkembangan pembangunan ekonomi yang sedemikian pesatnya. Cara dengan
mengadakan penyesuaian dan perubahan seperlunya terhadap berbagai perangkat hukum dan
perundang-undangan nasional yang mengatur bidang ekonomi.1Krisis moneter yang melanda
hampir seluruh belahan dunia di pertengahan tahun 1997 telah memporak-porandakan sendi-
sendi perekonomian. Dunia usaha merupakan dunia yang paling menderita dan merasakan
dampak krisis yang tengah melanda. Negara kita memang tidak sendirian dalam menghadapi
krisis tersebut. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa negara kita adalah salah satu negara yang
paling menderita dan merasakan akibatnya. Selanjutnya tidak sedikit dunia usaha yang gulung
tikar, sedangkan yang masih dapat bertahan pun hidupnya menderita

Untuk mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang bangkrut yang akan
berakibat pula pada tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang sudah jatuh tempo, maka
pemerintah melakukan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam peraturan perundang-
undangan, salah satunya adalah dengan merevisi Undang-Undang kepailitan.yang ada.Inisiatif
pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Kepailitan, sebenarnya timbul karena ada “tekanan”
dari Dana Moneter Internasional / Internasional Monetary Fund (IMF) yang mendesak supaya
Indonesia menyempurnakan sarana hukum yang mengatur permasalahan pemenuhan kewajiban
oleh debitur kepada kreditur. IMF merasa bahwa peraturan kepailitan yang merupakan warisan
pemerintah Kolonial Belanda selama ini kurang memadai dan kurang dapat memenuhi tuntutan
zaman.Kita memang tidak dapat mengelak desakan IMF yang seolah-olah mendikte tersebut.
Setelah negara kita hampir bangkrut karena krisis ekonomi yang berkepanjangan. IMF bagaikan
dewa penolong yang memberikan setetes air di tengah padang kehausan. Namun untuk dapat
menikmati bantuan IMF ini kita mau tidak mau harus mengikuti aturan main yang telah disusun
sedemikian rupa oleh IMF agar bantuan tersebut mengucur ke negara kita guna mempertahankan
nafas ditengah-tengah hampir tenggelamnya sebagaian besar tatanan ekonomi dan politik
kita.Dengan demikian terpuruknya kehidupan perekonomian nasional, pasti dapat dipastikan
akan makin banyak dunia usaha yang ambruk dan rontok sehingga tidak dapat meneruskan
kegiatannya termasuk dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditur. Keambrukan itu akan
menimbulkan masalah besar

B. rumusuan masalah
1.Filosofi tujuan lembaga kepailitan
adalah untuk melakukan pembagian aset milik debitorkepada semua kreditor-kreditornya,
melalui proses kepailitan. Faktanya dalamputusan pengadilan terhadapkasus-kasus tertentu,
proses kepailitan digunakan sebagai sarana untuk menagih utang dan membangkrutkan
debitorperusahaan yang solven, bukan untuk melaksanakan pembagian aset debitorsecara
proporsional.Kasus-kasus tersebut dapat menjadi bukti bahwa di Indonesia telah terjadi
penyimpangan fungsi lembaga kepailitan.Dalambeberapa kasus kepailitan sebagaimana di
sebutkan di atas, kepailitan bukan lagi digunakansebagai jalan ke luar untuk menyelesaikan
permasalahan utang-piutang antara debitordan kreditorkarena utang-utang debitorlebih besar
daripada aset-asetnya, sehingga debitortidak mampu membayar lunas utang-utang tersebut,
melainkan lembaga kepailitan hanya digunakan sebagaialatuntuk menagih utang, bahkan juga
untuk membangkrutkan perusahaan yang solven.19Hal ini merupakan kekeliruan yang sangat
mendasardalam UUK dan PKPU.Ahli hukum kepailitan menyatakan bahwa,pada saat
inilembaga kepailitan dapatdipergunakan oleh para kreditorsebagai alat untuk membangkrutkan
debitor, bukan sebagaijalan ke luaratau solusiuntuk menyelesaikan masalah keadaan
financialdebitor, halini dapat diketahui dari adanya putusan-putusan pengadilan yang
menyatakan pailitterhadap debitoryangsolven.20Dipailitkannya debitorperusahaan-perusahaan
yang dalam keadaan solven tidak hanya merugikan debitoritu sendiri, melainkan juga merugikan
para stakeholder-nya dan dapat berdampak negatif baik terhadap ekonomi makro, maupun gairah
investasi bahkan dapat 19Maksudnya,proses penyelesaian utang telah melalui langkah-langkah
yang berupa perdamaian ataupun restrukturisasi, tetapi tidak membuahkan hasil.20M.Hadi
Subhan, op. cit. hal. 12

2.berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi nasional.Kondisi seperti diuraikan di atastidak


boleh dibiarkan berlarut-larut, oleh karena itu sebaiknyasegera ditanggulangi.Fenomena
penyimpangan fungsi lembaga kepailitan sebagaimana telah diuraikan di atas, dikajidari
perspektif akademisdapat menimbulkan berbagai macam problematik terhadap eksistensi
lembaga kepailitan di Indonesia.Problematik-problematik akademis tersebutakan diuraikan
secara lebih terperincidi bawah ini

3.Problematik Filosofis Dari perspektif filosofis,filsafat ilmu pada dasarnya mencakup tiga
kompone npendekatan,yaitu:
(a). ontologi, (b).epistemologi,dan (c). aksiologi.21Selanjutnya di bawah ini diuraikan masing-
masing istilah tersebut.Ad. a. OntologiOntologi adalah melakukan pemikiran dan tela’ah kritis,
radikal, dan komprehensif terhadap hakikat ilmu.22Dari aspekontologi, alasan adanya lembaga
kepailitan adalahsebagai jalan keluar atau solusi bagi debitordan kreditordari persoalan utang-
piutang yang sudah tidak bisa diselesaikan lagi. Hal tersebut terjadi karena utang-utang
debitorlebih besar daripada aset-asetnya, sehingga debitortidak mampu membayar lunas seluruh
utang-utangnya. Dalam kasus-kasus tertentu sebagaimana telah diuraikan di atas, lembaga
kepailitan bukandigunakan sebagai jalan keluar bagi debitordan kreditoruntuk menyelesaikan
masalah utang-piutang karena utang-utang debitorlebih besar daripada aset-asetnya, sehingga
debitortidak mampu membayar lunas utang-utangnya,melainkandigunakan oleh kreditorsebagai
sarana untuk membangkrutkan debitor(perusahaan) yang solven. Keadaan tersebut ditinjau dari
perspektif ontologi, berarti telah terjadi pergeseran fungsi lembaga kepailitan, yaitu dari
fungsinya semula sebagai jalan keluar atau solusi bagi debitordan kreditor dalam menyelesaikan
kewajiban membayar utang, bergeser sebagai sarana bagi kreditoruntuk membangkrutkan
debitoryang solven.Hal ini tidak sesuai dengan filosofi timbulnya lembaga kepailitan.Ad. b.
Epistemologi21Lasiyo, 2006, Hand Out Filsafat Ilmu Pengetahuan , Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal.1.22Ibid
4.Epistemologiadalahmelakukan pemikiran dan tela’ah kritis, radikal,dan komprehensif
terhadap cara yang benar untuk mendapatkan ilmu.23Dari aspek Epistemologi,proseskepailitan
pada dasarnya merupakan metode/cara untuk melakukan pembagian aset milik debitoryang
sudah tidak mampu lagi membayar utang-utangnya. Dalam kasus-kasus kepailitan sebagaimana
diuraikan di atas, ternyata debitoryang solvenjuga dapat dinyatakan pailitoleh pengadilan.Di sini
terjadi benturan asas kepailitan, karena debitoryangsolvenseyogyanya tidak dapat dinyatakan
pailit oleh pengadilan. Apabila debitor dalam keadaan solven proses penyelesaian utang-
piutangnya seyogyanyabukanmelalui proses kepailitan, melainkan melalui proses gugatan
perdata biasa.23Ibid, hal.2.
1414Ad. c. AksiologiAksiologi pada dasarnya adalah melakukan pemikiran dan telaah kritis,
radikal, dan komprehensif terhadap nilai kegunaan/manfaatsuatuilmu.Dari perspektif
aksiologi,apabila debitoryang dalam keadaan solvendapat dinyatakan pailit oleh pengadilan,
maka proses kepailitantidak akan dapat dirasakan manfaatnya. Di sini pada dasarnya telah terjadi
benturan nilai kemanfaatan terhadap lembaga kepailitan. Penggunaan lembaga kepailitan akan
dapatdirasakannilai kemanfaatnyajustru karena jumlah aset-aset debitortidak mencukupiuntuk
membayarlunasseluruh utangnya. Melalui proseskepailitansemua asetmilik debitorakan dijual
melalui proses lelang.Kemudian hasilnya akan dibagi-bagikan kepada para kreditornya secara
proporsional, sehingga dapat dihindari terjadinya perebutan aset debitor oleh para
kreditornya.2.Problematik yuridisProblematik yuridis timbul dari ketentuanrumusan norma Pasal
2 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (4) UUK dan PKPU . Pasal 2 ayat (1)menentukan: debitoryang
mempunyai dua atau lebih kreditordan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.Berdasarkan
ketentuantersebut, persyaratan agar debitordapatdinyatakan pailit oleh pengadilan
adalah:1.debitormempunyai dua atau lebih kreditor;2.debitortidak membayar lunas sedikitnya
satuutang yag telah jatuh waktu dan dapat ditagih.Selanjutnya, Pasal 8 ayat (4) menentukan :
1515permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan, apabila terdapat fakta atau keadaan yang
terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat(1) telah terpenuhi.Kemudian, penjelasan Pasal 8 ayat (4) menyebutkan:yang
dimaksud dengan “fakta atau keadaan yang terbukti secara sederahana” adalah adanya fakta dua
atau lebih kreditordan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Sedangkan
perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak
menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.Apabila dikajisecara mendalam,
ketentuanPasal 2 ayat (1) mengandung kekaburan/ketidakjelasan norma, yaitu berkenaan dengan
frase “tidak membayar”, dalam pengertian menimbulkan multi interpretasi. Tidak membayar
utangdapat diinterpretasikan karena debitor“tidak mampu membayar”, dan dapat pula
diinterpretasikan karena debitor“tidak mau membayar”.24Interpretasi yang lain bahwa “tidak
membayar”utang dapat diinterpretasikan karena debitortidak mampu dan karena satu dan lain hal
kemudian debitortidak mau membayar, meskipun sebenarnya ia mampu.25Interpretasi yang lain
lagiadalah bahwa,tidak membayar dapat terjadi karena tidak mampu membayar, dan dapat pula
karena tidak mau membayar.26Berdasarkan keterangantersebut, tidak membayar dapat
diinterpretasikan karena debitor“tidak mampu”membayar dan dapat pula diinterpretasikan
debitor“tidak mau” membayar, walaupun sebenarnya mampu. Debitor tidak mau membayar
utangnya karena sesuatu hal, misalnya karena kreditor juga mempunyai utang kepada debitor.
Dalam hal ini debitor tidak maumembayar, meskipun sebenarnya mampu. Ketentuan Pasal 2 ayat
(1) UUK dan PKPU , di samping mengandung norma kabur, juga tidak mengatur tentang
ketidakmampuan debitorsebagai syarat untuk dinyatakan pailit.Berartiada norma
kosong,maksudnyaadalahtidak ada 24Sutan Remy Sjahdeni, op.cit. hal.4125Hikmahanto
Juwana, loc. cit. 26Man S. Sartrawidjaja, op. cit. hal 2
1616norma yang mengatur tentang ketidakmampuan debitorsebagai syarat permohonan
pernyataanpailit.Berdasarkan ketentuanPasal 8 ayat (4), apabila syarat-syarat untuk dinyatakan
pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi, maka permohonan pernyataan
pailit “harus” dikabulkan.Hal ini berarti, kepada hakim tidak diberikan ruang untuk memberikan
kesempatan kepada debitoruntuk melakukan restrukturisasi utang dalam bentuk Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), melainkan harus menyatakan bahwa, “debitorpailit”.
Ketentuan Pasal 8 ayat (4), telah menutup kemungkinan bagi hakim untuk memberikan
keputusan lain selain putusan pailit.Ketentuan Pasal 8 ayat (4) telah memperkuat keberlakuan
Pasal 2 ayat (1) dan menutup kemungkinan penerapan ketentuan-ketentuan mengenai
PKPU.3.Problematik SosiologisProblematiksosiologis yang muncul adalah debitor-debitoryang
solven,danmempunyai sejumlah aset yang nilainya lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah
utang-utangnya, dapat dinyatakan pailit oleh hakim.Hal ini sangat merugikan debitor, dan
bahkan para stakeholders, serta dapat berdampak negatif terhadap ekonomi makro,
ketidakstabilan kondisi ekonomi, perbankan, dan ketidakberlanjutan usaha debitoryang
solven.Keadaan tersebutdapat berpotensi menghambatpertumbuhan ekonomi
nasional.Berdasarkan atas latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan secara terperinci
tersebut di atas dapat diketahui bahwa di Indonesia telah terjadi penyimpangan fungsi lembaga
kepailitan. Apabila keadaan tersebut dibiarkan saja terus-menerus, dapatberdampak negatif
terhadapperkembangan iklim usaha di Indonesia,khususnya di Bali di sektor pariwisata, misalnya
perhotelan.Investor akan menjadi ragu-ragu untuk berinvestasi sebab tidak ada kepastian hukum,
khususnya dalam penyelesaian utang-piutang melalui proses kepailitan.
1717Menyikapi problematik-problematik tersebut, dipandang penting,dan merupakan suatu
kebutuhan untuk segera dilakukan penelitian secara mendasar, mendalam, dan menyeluruh
tentang berbagai faktor yang kemungkinan dapat menjadi penyebab terjadinyapenyimpangan
fungsi lembaga kepailitan di Indonesia. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk memulihkan
fungsi lembaga kepailitan sesuai dengan filosofi timbulnya lembaga kepailitan. Lebih jauh lagi
untuk mengantisipasi perkembangan dunia usaha yang sangat kompleks dan berkembang pesat
dalam menyongsong keberadaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).Tujuan mendasar
dilakukannya penelitianadalah untukdapat
menganalisis,sertamenemukantentangkarakteristiklembaga kepailitan, karakteristik
penyimpangan fungsi lembaga kepailitan, dan formulasi pengaturan kepailitan, yang
merefleksikan filosofi timbulnya lembaga kepailitan. Hal iniuntuk mencegah agartidak terjadi
lagi penyimpangan-penyimpangan fungsi lembaga kepailitan terutama yang menggunakan
proses kepailitan hanya untuk kepentingan oknum-oknum tertentu saja. Penyimpangan fungsi
lembaga kepailitansangat merugikan debitoryang solven, dan stakeholder,misalnyapara
karyawan perusahaan debitordan para pemegang sahamnya. Penyimpangan fungsi lembaga
kepailitan berpotensi menimbulkandampak negatif terhadapekonomi makro, dan stabilitas
ekonomi nasional.
18181.2Rumusan MasalahBerdasarkan pada latar belakang masalah sebagaimana telah diruaikan
di atas,selanjutnya akan dilakukan penelitian secara mendasar, mendalam, dan menyeluruh, yang
masalahnya dirumuskan secara terperinci di bawah ini.1.Mengapakahfungsi lembaga kepailitan
di Indonesia menyimpang dari hakikat lembaga kepailitan?2.Bagaimanakahformulasi kebijakan
hukum pengaturan kepailitan dalam rangka memulihkan fungsi lembaga kepailitan ?1.3Tujuan
Penelitian1.3.1Tujuan UmumSecara umum penelitian ini bertujuan untuk :1.mengeksplorasi
karakteristik lembaga kepailitan;2.mengeksplorasi karakteristikpenyimpangan fungsi lembaga
kepailitan;3.menemukan, solusi terhadap penyimpangan fungsi lembaga kepailitan.1.3.2Tujuan
KhususPenelitian ini secara lebih khusus bertujuan:1.untuk menganalisis,dan menemukan faktor-
faktor yang menyebabkan fungsi lembaga kepailitan di Indonesia menyimpang dari hakikat
lembaga kepailitan;2.untuk menganalisis,menemukan,dan mengembangkan formulasi kebijakan
hukum pengaturan kepailitan dalam rangka memulihkan fungsi kepailitanyang dapat
menrefleksikan filosofi lembaga kepailitan.1.4Manfaat Penelitian
19191.4.1Manfaat TeoritisSecara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
pihak-pihak, antara lain adalah:1.para akademisi, baik mahasiswa, dosen,maupun golongan para
pemburu ilmu lainnya, sebagai bahan referensi dalam rangka untuk memenuhi sebagaian dari
segala bentuk rasa keingintahuannya dalam menjelajahi dunia ilmu yang tidak pernah mandeg
dalam penggaliannya;2.bagi pustakawan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
referensi dan menambah koleksi karya ilmiah di bidang hukum, khususnya bidang hukum
kepailitan;3.pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum kepailitan.1.4.2Manfaat
PraktisSecara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak,antara
lain:1.bagi pemerintah, yaitu sebagai bahan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang
Kepailitan yang akan datang atau peraturan-peraturan yang lainnya yang terkait dengan
kepailitan;2.bagi hakim, dapat dipergunakan sebagai bahan rujukan ketika membuat putusan
tentang perkara kepailitan;3.bagi kepolisian dapat menjadi bahan rujukan dalam memeriksa
perkara pidana penipuan dengan dalih kepailitan.1.5Keaslian Penelitian

Anda mungkin juga menyukai