Anda di halaman 1dari 11

Tugas II

Resume UUPA Yang Terkait Land Tenure

Dosen
Achmad Ruchlihadiana

Dibuat oleh :
Veri Hasangapon
4122.3.18.13.0012

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK GEODESI


FAKULTAS TEKNIK, PERENCANAAN, DAN ARSITEKTUR
UNIVERSITAS WINAYA MUKTI
BANDUNG
2020
LATAR BELAKANG

Tanah merupakan salah satu asset Negara Indonesia yang sangat mendasar, karena
Negara dan bangsa hidup dan berkembang di atas tanah. Masyarakat Indonesia
memposisikan tanah pada kedudukan yang sangat penting, karena merupakan factor
utama dalam peningkatan produktivitas agraria. Dalam terminology asing tanah disebut
dengan land, soil (Inggris), adama (Semit) dan dalam beberapa terminology daerah
disebut dengan siti, bhumi, lemah (Jawa); palemah (Bali); taneuh, eumah (Sunda); petak,
bumi (Dayak); rai (Tetum). Perbedaan istilah tersebut terjadi bukan sekedar karena adanya
perbedaan bahasa, namun lebih dari itu yakni karena perbedaan pemaknaan tanah oleh
manusia yang menguasai atau menggunakannya
Sebutan tanah dalam bahasa Indonesia dapat dipakai dalam berbagai arti. Maka
dalam penggunaannya perlu diberi batasan, agar diketahui dalam arti apa istilah tersebut
digunakan. Dalam pengertian hukum, tanah telah diberi batasan resmi. Tanah adalah
permukaan bumi sebagaimana dalam Pasal 4 UUPA bahwa, atas dasar hak menguasai dari
Negara…ditentukan adanya macammacam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah,
yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang…
Dengan demikian jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah
permukaan bumi, sedang hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan
bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.4 Tanah diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA, adalah
untuk digunakan atau dimanfaatkan. Sehingga diberikannya dan dipunyainya tanah
dengan hak-hak tersebut dalam UUPA tidak akan bermakna jika penggunaannya terbatas
hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk keperluan apapun tidak bisa tidak,
pasti diperlukan juga penggunaan sebagian tubuh yang ada di bawahnya dan air serta
ruang yang ada diatasnya. Oleh karena itu bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya
memberi wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang
bersangkutan, yang disebut tanah, tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air
serta ruang yang ada di atasnya.
Dengan demikian maka yang dipunyai dengan hak atas tanah itu adalah tanahnya
dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi. Tetapi wewenang menggunakan yang
bersumber pada hak tersebut diperlukan hingga meliputi juga penggunaan sebagian tubuh
bumi yang ada di bawah tanah dan air serta ruang yang ada diatasnya.
Dalam National Land Code Malaysia (1965) dan Land Titles Act Singapura (1993)
tanah disebut land dan yang dimaksud adalah juga permukaan bumi, tetapi diperluas
hingga meliputi juga hak atas tubuh bumi di bawah dan ruang udara di atasnya dalam
batas-batas keperluan yang wajar, jadi ada persamaan hakiki dengan pengertian tanah
dalam arti yuridis dalam UUPA. Namun terdapat perbedaan juga mengenai pemilikan
bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah. Malaysia dan Singapura menggunakan asas
accessie (Asas perlekatan yakni bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah dan
merupakan satu kesatuan dengan tanah dan merupakan bagian dari tanah yang
bersangkutan). Berbeda dengan hukum tanah Indonesia yang menggunakan asas hukum
adat yang disebut asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding) yakni bangunan dan
tanaman bukan merupakan bagian dari tanah, sehingga perbuatan hukum mengenai tanah
tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman yang ada diatasnya. Jika
perbuatan hukumnya dimaksudkan meliputi, maka secara tegas hal itu harus dinyatakan
dalam akta.
Dalam hukum adat, tanah mempunyai arti religious magis dengan konsepsi
komunalistik religious, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan
hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsure kebersamaan.
Konsepsi dalam hukum adat tersebut dituangkan dalam UUPA (lihat Pasal 1 dan 2
UUPA), artinya dalam hukum tanah nasional seluruh permukaan bumi adalah tanah
bersama rakyat Indonesia, namun dimungkinkan bagian dari tanah bersama itu dikuasai
secara individual dengan hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung
unsure kebersamaan.
Makna tanah bagi manusia tidak terbantahkan. Ia tidak hanya memberi fungsi
ekonomis, politis, namun juga cultural, kehormatan/identitas/harga diri. Tanah tidak
semata-mata berarti benda dalam arti fisiknya, namun diatasnyalah dibangun ruang social,
berbagai hubungan dijalin, persaingan terjadi, penguasaan dominan dan politik
dikontestasikan.
Di Indonesia masalah sumber daya agraia (dalam arti luas) diatur dalam konstitusi
sebagaimana Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pasal ini secara prinsip memberi landasan
hukum bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya,
kewenangan pengaturan tanah seluruhnya diserahkan kepada Negara sebagai suatu
organisasi kekuasaan dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Lebih lanjut tanah diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok
Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) dan Peraturan Pelaksananya. Diharapkan dari
penguasaan tersebut akan berdampak pada kepastian hukum, perlindungan hukum,
keadilan dan kemakmuran bagi rakyat.
Dalam perspektif hukum, tanah dikaji berdasarkan hak-hak penguasaan tanah
sebagai suatu system hukum. Artinya bagaimana hukum memandang persoalan
pertanahan berkaitan dengan hakhak penguasaan atas tanah dalam suatu system. Sebagai
suatu system maka hak atas tanah harus dilihat sebagai suatu nilai. Karena hukum sebagai
perwujudan nilai-nilai, maka pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah mengandung
arti bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat, maka penguasaan dan pemilikan hak atas tanah harus
dilindungi. Pengkajian hak atas tanah dari perspektif ilmu hukum berarti membahas hak
atas tanah dari aspek penguasaan dan pemilikannya.
Kedudukan tanah dalam tata nilai yang berbeda-beda tersebut apabila ditinjau dari
kajian filsafat ilmu hukum, maka tanah mengandung nilai yang berbeda-beda, tergantung
pada tempat dan waktu dimana tata nilai itu tumbuh dan berkembang. Perbedaan tata nilai
tersebut mengakibatkan perbedaan system hukum tanah. Selain itu, pengaruh factor
ekonomi, politik dan hukum telah mengakibatkan kecenderungan untuk memaksakan tata
nilai tertentu pada tata nilai lain, yang berujung pada dekonstruksi dan rekonstruksi system
hukum tanah tertentu. Dengan pendekatan filsafat Hukum akan dicari hakikat dari tanah
dan hak atas tanah serta apa yang ada dibelakang tanah dan hak atas tanah, serta
menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai.
Dengan demikian secara filsafati, penguasaan dan pemilikan tanah sarat dengan
muatan nilai yang melatarbelakangi lahirnya norma hukum yang mengatur penguasaan
dan pemilikan atas tanah yang didalamnya terdapat kewenangan, hak dan kewajiban serta
kekuasaan. Filsafat ilmu hukum merupakan terminology yang digunakan untuk
memahami hukum tanah sebagai realita utuh dengan pendekatan holistic yang didalamnya
mengandung tiga aspek yaitu (1) aspek keadilan, keadilan adalah kesamaan hak untuk
semua orang dalam penguasaan dan pemilikan tanah; (2) aspek tujuan keadilan atau
finalitas, yaitu menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai atas penguasaan dan pemilikan tanah yakni masyarakat yang adil dan
makmur; (3) aspek kepastian hukum atau legalitas, yaitu menjamin bahwa hukum tanah
dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati dan memberikan kepastian hukum.

PENGERTIAN
Apa yang di maksud UUPA?

Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan induk program landreform di


Indonesia. Landreform diartikan dengan perubahan struktur penguasaan pemilikan tanah,
bukan hanya dalam pengertian politik belaka tapi juga pengertian teknis. Cita-cita
UUPA adalah melaksanakan perubahan secara mendasar terhadap relasi agraria yang ada
agar menjadi lebih adil dan memenuhi kepentingan rakyat petani.

Tujuan dari landreform yang diselenggarakan di Indonesiaadalah untuk


mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap tanah, sebagai landasan
atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang
adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Untuk mencapai tujuan dimaksud dilakukan
dengan mengadakan pembagian yang adil atas sumber kehidupan rakyat tani yang berupa
tanah dan pembagian hasil yang adil pula, melaksanakan prinsip tanah untuk tani,
mengakhiri sistim tuan tanah, dan perlindungan terhadap ekonomi lemah.

Apa tujuan UUPA?

a. Meletakkan dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional, yang akan merupakan alat
untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi Negara dan rakyat,
terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat adil dan makmur.
Dasar kenasionalan Hukum Agraria yang telah dirumuskan dalam UUPA adalah :

• Wilayah Indonesia yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya merupakan satu kesatuan tanah air dari rakyat
Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
• Bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional. Untuk itu kekayaan tersebut harus dipelihara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
• Hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya bersifat abadi, sehingga tidak dapat diputuskan
oleh siapapun.
• Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa dan rakyat Indonesia diberi
wewenang untuk menguasai bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
• Hak ulayat sebagai hak masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, pengakuan
tersebut disertai syarat bahwa hak ulayat tersebut masih ada tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
• Subjek hak yang mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, ruang angkasa
dan kekayaan dalam yang terkandung di dalamnya adalah warga Negara Indonesia
tanpa membedakan yang asli atau tidak asli. Badan Hukum pada prinsipnya tidak
mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan
yang terkandung di dalamnya.

Tujuan ini merupakan kebaikan dari sistem/cirri Hukum Agraria Kolonial yaitu
Hukum Agraria Kolonial disusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari
pemerintahan jajahan (Hindia Belanda) yang ditujukan untuk kepentingan,
keuntungan, kesejahteraan, dan kemakmuran bagi pemerintah (Hindia Belanda),
orang-orang Belanda dan Eropa lainnya.

b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam Hukum


Pertanahan dalam rangka mengadakan kesatuan Hukum tersebut sudah semestinya sistem
hukum yang akan diberlakukannya harus sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat.

Oleh karena itu sebagian besar masyarakat Indonesia tunduk pada Hukum Adat, maka
pembentukan Hukum Agraria Nasional didasarkan pada Hukum Adat. Hukum Adat yang
dijadikan adat adalah asas/konsepsi-konsepsi, lembaga-lembaga, dan sistem hukumnya.
Dengan dijadikannya Hukum adat sebagai dasar pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria Nasional, maka sekaligus tercapai kesederhanaan hukum, artinya Hukum Agraria
Nasional tersebut mudah dipahami oleh masyarakat dan kemudian dilaksanakan.
(doc.ilmu hukum)
Tujuan kedua ini merupakan kebalikan dari sistem Hukum Agraria Kolonial, yaitu Hukum
Agraria Kolonial mempunyai sifat dualisme hukum, artinya pada saat yang sama berlaku
dan hukum agraria yang berbeda, disatu pihak berlaku Hukum Agraria Barat yang diatur
dalam KUH Perdata dan Agrarische Wet Stb 1870 No 55 dan dipihak lain berlaku Hukum
Agraria Adat yang diatur dalam Hukum Adat daerah masing-masing.

c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian Hukum mengenai hak-hak atas


tanah bagi rakyat seluruhnya.

Upaya untuk mewujudkan tujuan ini adalah dengan membuat peraturan Perundang-
Undangan yang diperintahkan oleh UUPA yang sesuai dengan jiwa dan asas UUPA.
Selain itu dengan melaksanakan Pendaftaran Tanah atas bidang-bidang tanah yang ada
diseluruh wilayah Indonesia yang bersifat mencerdaskan yaitu Pendaftaran tanah yang
bertujuan memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah.

Tujuan yang ketiga ini merupakan kebalikan dari ciri hukum Agraria juga, yaitu Hukum
Agraria Koloni tidak memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak rakyat
Indonesia atas tanah dikarenakan pada waktu itu hanya hak-hak atas tanah yang tunduk
pada Hukum Barat yang didaftar oleh pemerintah Hindia Belanda dengan tujuan-tujuan
memberikan kepastian hukum (Rect Cadaster) sedangkan bagi tanah-tanah yang tunduk
pada Hukum Adat tidak dilakukan pendaftaran tanah, kalaupun didaftarkan tujuannya
bukan untuk memperoleh kepastian hukum melainkan untuk menetapkan siapa yang
berkewajiban membayar pajak atas tanah.

Apa itu Land tenure?

Land tenure system merupakan istilah Inggris yang diterjemahkan secara umum
sebagai sistem penguasaan tanah. Menurut Bruce dalam review of tenure terminology
istiral “tenure” berasal dari jaman feodal Inggris, dimana setelah bangsa Normandia
menduduki Inggris sekitar tahun 1066, terjadi penghapusan hak-hak masyarakat atas
tanahnya, dan mengganti hak tersebut sebagai pemberian grant(bantuan) dari
pemerintahan baru

PEMBAHASAN

Kedudukan Land Tenure System Dalam Hukum Agraria Nasional/UUPA

Land tenure system, merupakan istilah Inggris yang diterjemahkan secara umum
sebagai sistem penguasaan tanah. Menurut Bruce dalam review of tenure jaman feodal
Inggris, dimana setelah bangsa Normandia menduduki Inggris sekitar tahun 1066, terjadi
penghapusan hak-hak masyarakat atas tanahnya, dan mengganti hak tersebut sebagai
pemberian grant (bantuan) dari pemerintahan baru.
Beberapa sumber menjelaskan pula bahwa kata tenure berasal dari bahasa
memelihara, memegang, memiliki. Land tenure berarti sesuatu yang dipegang dalam hal
ini termasuk hak dan kewajiban dari pemangku lahan holding or possessing¥ sama
dengan pemangkuan atau penguasaan). Land tenure adalah istilah legal untuk hak
pemangkuan lahan, dan bukan hanya sekedar fakta pemangkuan lahan, karena seseorang
mungkin memangku lahan, tetapi tidak selalu mempunyai hak menguasai.
Oleh karena itu, tenure bukan hanya pengertian pemilikan terhadap sesuatu atau
terhadap tanah, tetapi mencakup:
1. Hak pakai (access), Fasilitas untuk memanfaatkan lahan atau sumberdaya lain.
2. Hak mengawasi (control), dan
3. Hak memiliki (Ownership) baik terhadap, tanaman, hewan ternak, dan air.
4. Struktur agraria (Agrarian structure): Pola distribusi lahan.
5. Perubahan agraria (Agrarian reform): upaya untuk mengubah struktur agraria
yang meliputi antara lain land reform, land tenure reform, dan perubahan lain yang
mendukung.
6. Tenure reform diterjemahkan sebagai perubahan pemangkuan secara legal yang
dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat lokal. Tenure reform berbeda
dengan land reform. Land reform mencakup pendistribusian ulang pemangkuan
lahan dan akan mengubah sistem agraria, sementara tenure reform tidak mengubah
pemangku lahan namun hanya mengubah hakhaknya.
7. Common: lahan atau sumberdaya alam lain yang digunakan secara terus
menerus oleh anggota masyarakat.
8. Common property: sebuah dimana hanya masyarakat anggota yang dapat
memanfaatkannya dan terdapat pengawasan penggunaan.
9. Common property institution: sebuah organisasi yang mengelola HAK itu
sendiri
10. Private property: aset yang dimiliki oleh swasta/non pemerintah (pribadi
maupun kelompok).
11. Public property: aset yang dikuasai oleh pemerintah.
Sebagaimana disebutkan di atas, tenure dikenal pula istilah common property
berarti sebuah area dimana seluruh pemangku lahan dalam suatu wilayah mempunyai hak
untuk melakukan aktivitas seperti mengambil rumput dan mengumpulkan kayu. Menurut
sejarah, ini bukan sebuah bentuk kepemilikan namun sebuah pola jaminan penggunaan
secara sah dimana seluruh anggota secara bebas boleh menggunakan tanah secara
simultan
ini, pada tahun 1968 Garret Hardin memperkenalkan konsep tragedi yang terjadi
terhadap karena ada pemanfaatan sumber daya alam yang melebihi kapasitas, sehingga
menyebabkan kerusakan sumber daya alam yang tidak terkendali
Merespon pendapat Garret Hardin tersebut, beberapa ahli ekonomi sumberdaya
alam dan yang lainnya area pemanfaatannya dibatasi hanya untuk anggota masyarakat
yang mempunyai hak terhadap area tersebut. Selain itu, common pembatasan penggunaan
(seperti pembatasan musim untuk pengambilan rumput, pembatasan tipe pakan ternak
yang dapat diambil, dan lain-lain).
Kemudian, ada perbedaan baru yang dibangun dari istilah di atas yaitu atau akses
terbuka dimana tidak ada pembatasan penggunaan dan common yang diartikan sebagai
suatu situasi dimana terdapat kontrol terhadap penggunaan dan pemanfaatan
sumberGD/Common Property istilah resmi dan tidak cukup jelas pengertiannya.
Selain itu, Tenurial Sistem dikenal sebagai serangkaian hak-hak (Tenure System
Is a Bundle of Rights) yang mana di dalamnya juga terkandung makna kewajiban
(obligation). Hal ini didasarkan pada kenyataan lapangan seringkali ditemukan, bahwa
hak-hak atas tanah dan sumber-sumber alam ini bersifat multidimensi dan berlapis-lapis.
Tidak jarang terjadi, orang atau kelompok orang yang berbeda-beda mempunyai hak pada
sebidang tanah atau sesuatu sumber alam yang sama. Misalnya pada tanah adat, meskipun
dikenal hak individu individu tersebut tidak mempunyai hak untuk mengalihkan tanah
tersebut ke orang lain secara bebas tanpa ikut campurnya keluarga dan/atau komunitas
dimana tanah itu berada. Pohon-pohon tertentu yang berumur panjang misalnya, punya
aturan sistem kepemilikan dan pemanfaatan tertentu yang kadangkadang tidak terkait
dengan kepemilikan tanah dimana pohon itu terdapat. Sistem ini dapat berbeda untuk jenis
tumbuhan lain yang tumbuh semusim, misalnya. Gambaran di atas merupakan contoh
sederhana dimana hak untuk menguasai, memanfaatkan, mengelola, mengalihkan
kepemilikan tidak selalu berada pada orang yang sama. Dengan demikian, bundle of rights
resource tenure system, memunculkan serangkaian hak tertentu dan pembatasan-
pembatasan tertentu atas hak-hak tersebut. Berdasarkan sudut pandang ini, pada setiap
tenure system masing-masing hak termaksud setidaknya mengandung tiga komponen hak,
yakni:
1. Subjek hak, yang berarti pemangku hak atau pada siapa hak tertentu dilekatkan.
Subjek hak bervariasi dapat dari individu, rumah tangga, kelompok, suatu
komunitas, kelembagaan sosial ekonomi, bahkan lembaga politik setingkat
Negara.
2. Objek hak, yang berupa persil tanah, barang-barang atau juga benda-benda yang
tumbuh di atas tanah, barangbarang tambang atau mineral yang berada di dalam
tanah atau perut bumi, perairan, kandungan barangbarang atau makhluk hidup
dalam suatu kawasan perairan, maupun suatu kawasan atau wilayah udara tertentu.
Objek hak termaksud harus dapat dibedakan dengan alat tertentu, dengan objek
lainnya. Untuk objek hak berupa suatu persil tanah atau kawasan perairan, batas-
batasnya dapat diberi suatu simbol. Objek hak bisa bersifat total dapat juga parsial.
Misalnya, seseorang yang mempunyai hak atas pohon tertentu, tidak dengan
sendirinya mempunyai hak atas tanah dimana pohon itu berdiri.
3. Jenis haknya, setiap hak selalu dapat dijelaskan batasan dari hak tersebut, yang
membedakannya dengan hak lainnya. Dalam hal ini jenis-jenis hak merentang dari
hak milik, hak sewa hingga hak pakai, dan lain sebagainya, tergantung bagaimana
masyarakat yang bersangkutan menentukannya. Setiap jenis hak ini memiliki
hubungan khusus dengan kewajiban tertentu yang dilekatkan oleh pihak lain
(mulai dari individu lain hingga Negara) dan keberlakuannya dalam suatu kurun
waktu tertentu.

Merujuk kembali kepada istilah Inggris bahwa Land tenure system merupakan
penguasaan hak atas tanah, maka jika dikaji kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, land tenure system tersebut
diatur dalam Pasal 16 UUPA, yaitu terdiri dari: (1) Hak Milik, (2) Hak Guna Usaha; (3)
Hak Guna Bangunan; (4) Hak Pakai; (5) Hak Sewa; (6) Hak Membuka Tanah; (7) Hak
Memungut Hasil Hutan; dan (8) Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak atas
tanah sebelumnya yang akan ditetapkan dengan undang-undang dan sifatnya sementara
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 UUPA, yaitu: (1) Hak Gadai; (2) Hak Usaha Bagi
Hasil; (3) Hak Menumpang; dan (4) Hak Sewa Tanah Pertanian.
Diantara hak-hak atas tanah sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 16 UUPA,
salah satu diantaranya adalah Hak Milik. Perkataan hak milik berasal dari bahasa Arab al
haqq dan al milk. Secara etimologis al haqq artinya milik, ketetapan dan kepastian.
Adapun Al milk diartikan sebagai penguasaan terhadap sesuatu yang dimiliki (harta).
Hubungan seseorang dengan hartanya, menjadikan orang tersebut memiliki kekuasaan
khusus terhadap harta tersebut, yaitu melakukan tindakan hukum terhadap harta itu.
Mengingat yang dapat mempunyai hak milik itu bukan hanya subjek hukum
orang, tetapi juga badan hukum, maka batasan hak milik yang dianggap tepat adalah
hubungan antara subjek hukum dan benda, yang memberikan wewenang kepada subjek
hukum untuk mendayagunakan dan/atau mempertahankan benda tersebut dari tuntutan
pihak lain.
Adapun pengertian Hak Milik menurut Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 Tentang UUPA adalah: terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan
mengingat fungsi sosial sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPA
Sesuai dengan memori penjelasan UUPA bahwa pemberian sifat terkuat dan
terpenuh, tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak tidak terbatas, dan tidak
dapat diganggu gugat, sebagaimana hak eigendom dalam pengertian aslinya, karena sifat
tersebut bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial. Arti terkuat dan terpenuh
dari hak milik adalah untuk membedakan dengan Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna
Bangunan (HGB), Hak Pakai (Hak Pakai), dan hak-hak lainnya. Kemudian yang
dimaksud dengan Hak Milik yang bersifat turun temurun, artinya hak itu dapat diwariskan
terus menerus, dialihkan kepada orang lain tanpa perlu diturunkan derajat haknya. Hak
Milik pun memiliki kekhasan karena tidak dibatasi oleh waktu dan diberikan untuk waktu
yang tidak terbatas lamanya, yaitu selama hak milik masih diakui.
Adapun makna fungsi sosial dalam UUPA, menurut A.P. Parlindungan Di atas
tanah seseorang terkandung hak orang lain, sehingga sekaligus dalam rumusan Pasal 20
UUPA disebutkan dengan mengingat ketentuan Pasal 6 UUPA tentang fungsi Sosialnya
dalam satu nafas Selain itu, secara eksplisit point II angka 4 Penjelasan UUPA,
menyebutkan bahwa fungsi sosial, artinya apapun yang ada pada seseorang tidak dapat
dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan semata-mata
untuk kepentingan pribadinya, apalagi menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Bahkan berbeda dengan konsep hukum barat mengenai hak eigendom tersebut,
amanat UUPA sehubungan dengan makna fungsi sosial itu membebankan kewajiban
kepada pemiliknya untuk memelihara tanahnya dengan sebaik-baiknya, agar bertambah
kesuburannya dan dapat dicegah kerusakannya. Kewajiban untuk memelihara tidak saja
dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang hak, melainkan menjadi beban setiap
orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu,
dengan memperhatikan kepentingan ekonomi lemah, sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 15 UUPA.

Tanah dan Akses Keadilan

Dasar filosofis dari dibentuknya suatu aturan hukum, selain untuk mengatur dan
menertibkan masyarakat, juga yang paling penting adalah memberikan rasa keadilan bagi
masyarakat. Hukum merupakan instrument agar keadilan bisa dicapai sesuai dengan
harapan public. Namun, proses penegakan keadilan melalui instrument hukum selalu
diterpa dilemma yang tak berkesudahan .
Masalah keadilan telah ditelaah sejak zaman Yunani kuno, berasal dari pemikiran
tentang sikap atau perilaku manusia terhadap sesamanya dan terhadap lingkungannya.14
Keadilan terhadap penguasaan dan pemilikan hak atas tanah adalah kondisi kebenaran
ideal secara moral mengenai sesuatu tanah.
Menurut John Rawls guru besar Universitas Harvard bahwa keadilan adalah
kebajikan utama dalam institusi social, sebagaimana halnya kebenaran pada system
pemikiran. Oleh karena itu untuk memenuhi rasa keadilan maka pemerintah melalui UUD
1945 dan UUPA telah menentukan Pasal 7 UUPA; larangan penguasaan tanah yang
melampaui batas, Pasal 10 …setiap pemegang hak atas tanah wajib mengusahakan
tanahnya secara aktif. Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang
sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling
lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin
maksimum minimum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat
harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untuk yang paling tinggi yang mungkin
dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-
jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya, supaya kepada semua orang
diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua
perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat
primordial, harus ditolak.
Lebih lanjut John Rawls menegakkan bahwa program penegakan keadilan yang
berdimensi kerakyatan harusla memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama,
memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas
kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan
social ekonomi yang terjadi sehingga dapat member keuntungan yang bersifat timbal balik
bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak
beruntung.
Oleh karena itu sudah saatnya Indonesia dalam hal terjadi sengketa pertanahan
menggunakan hukum progresif yaitu ketentuan pertanahan yang memberikan
kesejahteraan dan kebahagiaan atas tanah, keadilan substansif dan strategi pembangunan
hukum yang rensponsif, sehingga dapat membuat trobosan baru terhadap masalah-
masalah konkrit sengketa pertanahan. Yakni memberlakukan UU sepanjang itu diyakini
member rasa keadilan dan menggali keadilan sendiri dari denyut kehidupan masyarakat
jika UU yang ada tidak member rasa keadilan.

PENUTUP
Tanah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidup dan kehidupan manusia.
Sehingga hak atas tanah merupakan hak asasi manusia yang secara hukum berisikan
penguasaan dan pemilikan. Tujuan tulisan ini adalah meninjau konsepsi penguasaan dan
pemilikan hak atas tanah di Indonesia dan penerapan konsep keadilan atas tanah pada
kenyataannya. Karena masyarakat Indonesia hidup dengan hukum adat, maka tata nilai
yang melandasi hukum tanah Indonesia adalah komunalistik yang religious yang
kemudian berubah seiring zaman penjajahan dan orde baru menjadi individualistic dan
kapitalisme sehingga dalam penguasaan dan pemilikan menimbulkan ketidakadilan.

Anda mungkin juga menyukai