Disusun Oleh :
Trismarini 04.19.4803
2019-2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqh munakahat terdiri dari dua kata, yaitu Fiqh dan Munakahat.Fiqh Al-fiqh
secara bahasa adalah al-fahmu (faham yang mendalam). Alfiqh diartikan juga
sebagai pengetahuan terhadap sesuatu dan memahaminya secara mendalam, Al-fiqh
pada umumnya pengetahuan tentang ilmu agama karena keagungannya,
kemulyaannya, dan keutamaannya diatas segala macam pengetahuan, menurut Ibn Al-
Astir bahwa kebiasaan dijadikannya khusus untuk ilmu syari'ah karena Allah swt
memulyakannya dan dikhususkan dari padanya bagi ilmu furu'. Menurut pendapat
lain bahwa asal arti Al-fiqh adalah Al-fahm (faham yang mendalam). Dikatakan bahwa
fulan diberikan femahaman terhadap ilmu agama artinya faham secara mendalam.
Allah Azza Wajalla berfirman supaya mereka memahami dalam masalah agama,
artinya supaya mereka menjadi ulama pada bidang agama dan maka Allah
memahamkan, dan Nabi mendoakan bagi Ibn Abas, maka beliau bersabda: Berilah dia
ilmu agama dan berilah dia fiqh dalam masalah takwil artinya fahamkan dia pada
takwilnyadan maknanya, kemudian Allah mengabulkan doanya dan keberadaannya
(Ibnu Abas) orang yang paling alim kitabullah pada zamannya. Dan fiqh diartinya
seorang mengetahui:
1. Sedangkan Istilah nikah diambil dari bahasa Arab, nikah
2. Dikalangan ulama madzab Hanafi, seperti yang disampaikan oleh Muhamad Ibn
Ahmad Abi Sahl dalam kitabnya Al-mabsuth lisarakhsi mengatakan bahwa Nikah
secara bahasa adalah ibarotul anil wath (ibarat hubungan sexual),
3. hal senada juga disampaikan oleh Zainuddin Ibn Ibrahim Ibn Muhammad dalam
kitabnya Bahrura’iq bahwa nikah secara bahasa makna hakikinya adalah al-wath
sedang makna majazinya adalah al-dhamu (berkumpul)
4. sedang menurut Abdullah Ibn Mah mud Ibn Maudud al-Hanafi dalam kitabnya
Al-ikhtiyar li ta’lil Mukhtar mengartikan nikah secara bahasa aldhamu dan al-
Jam’u (penggabungan dan pengumpulan)
5. Sedangkan sikalangan madzab maliki, seperti yang disampaikan oleh Shaleh Ibn
Al-Sami dalam kitabnya Syarah Risalah Al-Qirwani mengatakan :
1. Muhammad Ibn Abi Bakr Ibn Abdulqodir Al-Razi ,Mukhtar Al-shiyakh,
Bairut : Maktabah Libanon Nasyirun, 1995, juz. 1. h. 213, Ibn Mandzur
Muhammad Ibn Makrum Al-Afriki Al-Misri, Lisan Al-Arab, Darushodir,
t.t, juz. 13, h. 522
2. Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya
Agung, 1990), h. 467. Luwis Ma’luf , Al-Munjid fi al-Lughoti wa al-
a’lam, Bairut: Darulmasyruq, 1998, h. 837
3. Muhamad ibn Ahmad Abi Sahl, Al-mabsuth lisarakhsi, Bairut: Darrul
Ma’rifah, 1414 H/ 1993 M, juz 4, h. 192
4. Zainuddin Ibn Ibrahim Ibn Muhammad dalam kitabnya Bahrura’iq, Bairut:
Darrul Kutub al- Islami, t.t, juz 3, h 82
5. Abdullah Ibn Mah mud Ibn Maudud al-Hanafi , Al-ikhtiyar li ta’lil
Mukhtar, Kairoh: Kutubul ilmiyah, 1356 H / 1937, juz 3, h. 81 bahwa
Nikah secara bahwa adalah ( أما النكاح لغة فهو حقيقة في ال وطءadapun Nikah
secara bahasa adalah hakikat untuk untuk hubungan suami istri)
6. Demikian juga Syihabuddin Ahmad Ibn Idris al-Qaraafi dalam kitabnya
Al-Dzakhirah mengartikan nikah secara bahasa dengan الت داخل
(memasukan)
7. Para ulama madzab syafi,i mengartikan nikah secara bahasa diantara
disampaikan oleh Taqiyuddin Ibn Abi Bakr dalam kitabnya Kifayatul
akhyar fi hili ghaayatul al-ikhtishar mengartikan nikah secara bahasa الن
َّ ( َك اح فِّي اللُّ َغ ةNikah secara bahasa penggabungan dan
الض م َوا ْلجمع
pengumpulan)
8. hal senada juga disampaikan oleh Muhammad Syata ad-Dimyati Di dalam
kitab I’anah atthalibin, menjelaskan bahwa nikah menurut bahasa ialah :
الضم والجمع: النكاح لغة
9. Hal senada juga disampaikan oleh Muhammad Khathib al-Syarbini dalam
kitabnya Mughni Mughtaj mengartikan nikah secara bahasa الن َكاح فِّي اللُّ َغة
ضم َوا ْلجمع
َّ ( الNikah secara bahasa penggabungan dan pengumpulan)
10. Sedangkan Zakariyah al-Anshori mengartikan nikah secara bahasa dalam
kitab Fathulwahab bisyarhil minhajutulab dengan الض ُّم َوا ْل َو ْط ء
َّ
(penggabungan dan hubungan suami istri).
11. Para ulama Madzab Hambali mengartikan nikah secara bahasa, seperti
yang disampaikan oleh Abu Ishaq dalam kitabnya Al-Mubda’ fi Syarhi al-
ْ وY
Munqona’ mengartikan nikah secara bahawa adalah ط ء َ Y( َو ْالhubungan
suami istri)
12. Hal senada disampail oleh Ibn Qoshim al-Hanbali dalam kitabnya
ْ َو ْال َو
Hasyiyah Raudhilmuraba’ mengartikan nikah secara bahawa adalah ط ء
(hubungan suami istri)
13. Sedangkan Ibn Shalohuddin al-Hanbali dalam kitabnya Kasyafulqona’
mengartikan nikah secara bahasa ( الن َكا ح ل َغةً الضَّ مnikah secara bahasa
penggabungan)
14. Sementara itu, Abdurrahman al-Jaziri di dalam kitabnya, Al-Fiqh ‘ala
Mazahibil Arba’ah mengemukakan bahwa nikah secara bahasa ialah : النكاح
الوطء و الضم: لغة
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang yang telah dipaparkan dapat dirumuskan inti pokok
masalah ini yaitu:
a) Dalam kondisi bagaimanakah seseorang dibolehkan meminang pinangan
orang lain menurut pendapat Imam Malik ?
b) Bagaimana metode istinbath hukum yang digunakan Imam Malik dalam
menentukan hukum pinangan atas pinangan orang lain ?
C. Tujuan
Makalah dengan penyusun mengangkat tema “Kriteria Calon Suami Atau Istri
Dan Khitbah” tujuannya adalah :
1. Untuk mengetahui Kriteria yang bagaimanakah yang diperbolehkan dijadikan
sebagai calon suami ataupun calon istri
2. Untuk mengetahui makna khitbah dan pernikahan yang sesuai dengan syari’at.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Munakahat Kata munakahat yang tedapat dalam bahsa Arab yang berasal dari akat
kata na-ka-ha, yang terdapat dalam bahasa Indonesia berarti pernikahan.
1. Munakahat atau pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Pernikahan adalah suatu cara yang Allah tetapkan sebagai jalan bagi manusia
untuk beranak, berkembang biak, dan menjaga kelestarian hidupnya, setelah
masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam
mewujudkan tujuan pernikahan
3. Selain itu, perkawinan adalah sunatullah yang dengan sengaja diciptakan oleh
Allah yang tujuannya untuk melanjutkan keturunan dan tujuan-tujuan lainnya.
4. Allah SWT berfirman: “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (Al Qur’an surat Adh-Dhariyat :
49)
5. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia disebutkan bahwa
perkawinan menurut hukum Islam adah ‘akad yang sangat kuat atau miitsaqon
gholiidhon untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.
Konsep Pernikahan Dalam Islam Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan
kepada pemeluknya yang akan memasuki jenjang pernikahan, lengkap dengan konsep
atau aturan-aturan Allah SWT. Berikut adalah hal-hal yang perlu dilakukan sebelum
menikah :
1. Minta pertimbangan. Bagi seorang lelaki, sebelum ia memutuskan untuk
menikahi seorang wanita untuk menjadi istrinya, hendaklah ia juga meminta
pertimbangan dari kerabat dekat wanita tersebut yang baik agamanya. Mereka
hendaknya orang yang tahu benar tentang 1Amir Syarifuddiin, Hukum
Perkawinan Islamdi Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006),
2. Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta:
Pustaka Yustisia, 2005),
3. M. Thalib, Lika Liku Pernikahan (Yogyakarta: PD Hidayat, 1986), 1.
4. M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam (Jakarta:
Prenada Media, 2003),
5. Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Tajwid (Jakarta: PT Sygma Examedia
Arkanleema, 2010), 522.
6. Miitsaqon gholiidon adalah ikatan lahir batin.
7. Departemen Agama RI, Kompilasi HukumIslam di Indonesia (Jakarta:
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997),
Hal ihwal wanita yang akan dilamar oleh lelaki tersebut, agar ia dapat
memberikan pertimbangan dengan jujur dan adil. Begitu pula bagi wanita yang akan
dilamar seorang lelaki, sebaiknya ia minta pertimbangan dari kerabat dekatnya yang
baik agamanya, Shalat istikharah, Setelah mendapatkan pertimbangan tentang
bagaimana calon isterinya, hendaknya ia melakukan shalat istikharah sampai hatinya
diberi kemantapan oleh Allah SWT dalam mengambil keputusan. Khitbah
(peminangan), Setelah seseorang mendapat kemantapan dalam menentukan wanita
pilihannya, maka hendaklah segera meminangnya, Laki-laki tersebut harus
menghadap orang tua/wali dari wanita pilihannya itu untuk menyampaikan kehendak
hatinya, yaitu untuk memintanya agar ia direstui untuk menikahi anaknya. Adapun
wanita yang boleh dipinang bilamana memenuhi dua syarat, sebagai berikut :
a. Pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan yang menyebabkan
laki-laki dilarang memperistrinya saat itu, seperti karena suatu hal
sehingga wanita tersebut haram dinikahinya selamanya (masih mahram)
atau sementara (masa iddah / ditinggal suami atau ipar dan lain-lain.)
b. Belum dipinang oleh orang lain secara sah, sebab Islam mengharamkan
seseirang meminang pinangan saudaranya.
c. Wanita pezina. Wanita pezina hanya boleh menikah dengan laki-laki
pezina, kecuali kalau wanita itu benar-benar bertaubat.10 4. Melihat
wanita yang dipinang. Islam adalah agama yang mensyaroatkan pelamar
untuk melihat wanita yang dilamar dan mensyariatkan wanita yang
dilamar untuk melihat laki-laki yang meminangnya, agar masing-masing
pihak ebnar-benar endapatkan kejelasan tatkala menjatuhkan pilihan
pasangan hidupnya.11 5. Aqad nikah Dalam aqad nikah ada beberapa
syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi :
1. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
2. Adanya ijab qabul.
3. Adanya mahar.
4. Adanya wali.
5. Adanya saksi-saksi.
6. Khabib Mustofa, “Proses Tata Cara pernikahan yang islami dalam
http://www.khabib.staff.ugm.ac.id/index. (15 Mei 2016)
Orang yang tidak dapat memenuhi nafkah lahir batin, tetapi tidak
sampai menyusahkan wanita itu. Kalau dia orang berada dan kebutuhan
biologisnya tidak begitu menjadi tuntutan, maka terhadap orang itu
dimakruhkan menikah. Sebab, nafkah lahir batin menjadi kewajiban
suami, entah itu diminta atau tidak oleh istri.. Mubah nikah Pada dasarnya
hukum nikah adalah mubah, karena tidak ada dorongan atau larangan
untuk menikah, sebagaimana telah disebutkan di atas.
Syarat dan Rukun Pernikahan Setiap perbuatan hukum -hukum negara
dan hukum Islam- harus memenuhi dua unsur, yaitu rukun dan syarat.
Rukun ialah pokok (tiang) dalam setiap perbuatan hukum. Sedangkan
syarat ialah unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. Jika kedua
unsur ini tidak terpenuhi, maka perbuatan itu dianggap tisak sah menurut
hukum.19 Rukun juga bisa diartikan dengan sesuatu yang mesti ada
sebagai penentu sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu
termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut.20 Secara rinci, rukun nikah
adalah :
1. Calon mempelai pria
2. Calon mempelai wanita
3. Wali nikah
4. Dua orang saksi
5. Ijab dan qabul.
Kelima rukun nikah ini, masing-masing harus memenuhi syarat :
a. Calon mempelai pria :
a) Beragama Islam
b) Laki-laki
c) Baligh
d) Berakal
e) Jelas orangnya
f) Dapat memberikan persetujuan
g) Tidak terdapat halangan perkawinan, seperti tidak dalam
keadaan ihram dan umrah.
b. Calon mempalai wanita :
a) Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani (pendapat
sebagian ulama).
b) Perempuan.
c) Jelas orangnya.
d) Dapat memberikan persetujuan.
e) Tidak terdapat halangan perkawinan, seperti tidak dalam
keadaan ihram dan umrah.
c. Syarat wali nikah :
a) Laki-laki.
b) Dewasa.
c) Mempunyai hak perwalian.
d) Tidak terdapat halangan perwaliannya.
d. Syarat saksi nikah :
a) Minimal dua orang laki-laki.
b) Hadir dalam ijab dan qabul.
c) Dapat memahami maksud akad.
d) Beragama Islam.
e) Dewasa.
e. Syarat ijab qabul :
a) Ada ijab (pernyataan) mengawinkan dari pihak wali.
b) Ada qabul (pernyataan) penerimaan dari calon suami.
c) Memakai kata “nikah”, “tazwij”, atau terjemahannya seperti
“kawin”.
d) Antara ijab dan qabul bersambungan, tidak boleh terputus.
e) Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang
dalam keadaan haji dan umrah.
f) Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri paling kurang empat
orang, yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali dan
calon mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi.
Dalam KHI, tentang rukun nikah ini disebutkan dalam Pasal 14 yaitu
untuk melaksanakan perkawinan harus ada : calon suami, calon istri, wali
nikah, dua orang saksi dan ijab serta qabul. Mengenai syarat-syarat melakukan
perkawinan dijelaskan dalam pasal 15 sampai dengan pasal 38.24 Berkaitan
dengan kedua calon mempelai yang akan melangsungkan pernikahan
disyaratkan juga ketentuan-ketentuan sebagaimana yang tercantum dalam UU
No. 1/1974 tentang Perkawinan Pasal 6 dan Pasal 7.
Kata munakahat yang tedapat dalam bahsa Arab yang berasal dari akat kata na-ka-ha, yang
terdapat dalam bahasa Indonesia berarti pernikahan. Munakahat atau pernikahan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam munakahat antara lain :
1.) Minta pertimbangan.
2.) Shalat istikharah.
3.) Khitbah (peminangan).
4.) Melihat wanita yang dipinang.
5.) Aqad nikah