Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH FIQIH MUNAKAHAT

“Kriteria Calon Suami Atau Istri Dan Khitbah”

Dosen Pengampu: Ust. Tahanil Fawaid, S.Hum, M.Hum.

Disusun Oleh :

Nur Aini 04.14.3867

Susi Handayani 04.19.4811

Syifa Fauziah 04.19.4812

Trismarini 04.19.4803

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

STIKES SURYA GLOBAL YOGYAKRTA

2019-2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fiqh munakahat terdiri dari dua kata, yaitu Fiqh dan Munakahat.Fiqh Al-fiqh
secara bahasa adalah al-fahmu (faham yang mendalam). Alfiqh diartikan juga
sebagai pengetahuan terhadap sesuatu dan memahaminya secara mendalam, Al-fiqh
pada umumnya pengetahuan tentang ilmu agama karena keagungannya,
kemulyaannya, dan keutamaannya diatas segala macam pengetahuan, menurut Ibn Al-
Astir bahwa kebiasaan dijadikannya khusus untuk ilmu syari'ah karena Allah swt
memulyakannya dan dikhususkan dari padanya bagi ilmu furu'. Menurut pendapat
lain bahwa asal arti Al-fiqh adalah Al-fahm (faham yang mendalam). Dikatakan bahwa
fulan diberikan femahaman terhadap ilmu agama artinya faham secara mendalam.
Allah Azza Wajalla berfirman supaya mereka memahami dalam masalah agama,
artinya supaya mereka menjadi ulama pada bidang agama dan maka Allah
memahamkan, dan Nabi mendoakan bagi Ibn Abas, maka beliau bersabda: Berilah dia
ilmu agama dan berilah dia fiqh dalam masalah takwil artinya fahamkan dia pada
takwilnyadan maknanya, kemudian Allah mengabulkan doanya dan keberadaannya
(Ibnu Abas) orang yang paling alim kitabullah pada zamannya. Dan fiqh diartinya
seorang mengetahui:
1. Sedangkan Istilah nikah diambil dari bahasa Arab, nikah
2. Dikalangan ulama madzab Hanafi, seperti yang disampaikan oleh Muhamad Ibn
Ahmad Abi Sahl dalam kitabnya Al-mabsuth lisarakhsi mengatakan bahwa Nikah
secara bahasa adalah ibarotul anil wath (ibarat hubungan sexual),
3. hal senada juga disampaikan oleh Zainuddin Ibn Ibrahim Ibn Muhammad dalam
kitabnya Bahrura’iq bahwa nikah secara bahasa makna hakikinya adalah al-wath
sedang makna majazinya adalah al-dhamu (berkumpul)
4. sedang menurut Abdullah Ibn Mah mud Ibn Maudud al-Hanafi dalam kitabnya
Al-ikhtiyar li ta’lil Mukhtar mengartikan nikah secara bahasa aldhamu dan al-
Jam’u (penggabungan dan pengumpulan)

5. Sedangkan sikalangan madzab maliki, seperti yang disampaikan oleh Shaleh Ibn
Al-Sami dalam kitabnya Syarah Risalah Al-Qirwani mengatakan :
1. Muhammad Ibn Abi Bakr Ibn Abdulqodir Al-Razi ,Mukhtar Al-shiyakh,
Bairut : Maktabah Libanon Nasyirun, 1995, juz. 1. h. 213, Ibn Mandzur
Muhammad Ibn Makrum Al-Afriki Al-Misri, Lisan Al-Arab, Darushodir,
t.t, juz. 13, h. 522
2. Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya
Agung, 1990), h. 467. Luwis Ma’luf , Al-Munjid fi al-Lughoti wa al-
a’lam, Bairut: Darulmasyruq, 1998, h. 837
3. Muhamad ibn Ahmad Abi Sahl, Al-mabsuth lisarakhsi, Bairut: Darrul
Ma’rifah, 1414 H/ 1993 M, juz 4, h. 192
4. Zainuddin Ibn Ibrahim Ibn Muhammad dalam kitabnya Bahrura’iq, Bairut:
Darrul Kutub al- Islami, t.t, juz 3, h 82
5. Abdullah Ibn Mah mud Ibn Maudud al-Hanafi , Al-ikhtiyar li ta’lil
Mukhtar, Kairoh: Kutubul ilmiyah, 1356 H / 1937, juz 3, h. 81 bahwa
Nikah secara bahwa adalah ‫ ( أما النكاح لغة فهو حقيقة في ال وطء‬adapun Nikah
secara bahasa adalah hakikat untuk untuk hubungan suami istri)
6. Demikian juga Syihabuddin Ahmad Ibn Idris al-Qaraafi dalam kitabnya
Al-Dzakhirah mengartikan nikah secara bahasa dengan ‫الت داخل‬
(memasukan)
7. Para ulama madzab syafi,i mengartikan nikah secara bahasa diantara
disampaikan oleh Taqiyuddin Ibn Abi Bakr dalam kitabnya Kifayatul
akhyar fi hili ghaayatul al-ikhtishar mengartikan nikah secara bahasa ‫الن‬
َّ ‫( َك اح فِّي اللُّ َغ ة‬Nikah secara bahasa penggabungan dan
‫الض م َوا ْلجمع‬
pengumpulan)
8. hal senada juga disampaikan oleh Muhammad Syata ad-Dimyati Di dalam
kitab I’anah atthalibin, menjelaskan bahwa nikah menurut bahasa ialah :
‫ الضم والجمع‬: ‫النكاح لغة‬
9. Hal senada juga disampaikan oleh Muhammad Khathib al-Syarbini dalam
kitabnya Mughni Mughtaj mengartikan nikah secara bahasa ‫الن َكاح فِّي اللُّ َغة‬
‫ضم َوا ْلجمع‬
َّ ‫( ال‬Nikah secara bahasa penggabungan dan pengumpulan)
10. Sedangkan Zakariyah al-Anshori mengartikan nikah secara bahasa dalam
kitab Fathulwahab bisyarhil minhajutulab dengan ‫الض ُّم َوا ْل َو ْط ء‬
َّ
(penggabungan dan hubungan suami istri).
11. Para ulama Madzab Hambali mengartikan nikah secara bahasa, seperti
yang disampaikan oleh Abu Ishaq dalam kitabnya Al-Mubda’ fi Syarhi al-
ْ ‫و‬Y
Munqona’ mengartikan nikah secara bahawa adalah ‫ط ء‬ َ Y‫( َو ْال‬hubungan
suami istri)
12. Hal senada disampail oleh Ibn Qoshim al-Hanbali dalam kitabnya
ْ ‫َو ْال َو‬
Hasyiyah Raudhilmuraba’ mengartikan nikah secara bahawa adalah ‫ط ء‬
(hubungan suami istri)
13. Sedangkan Ibn Shalohuddin al-Hanbali dalam kitabnya Kasyafulqona’
mengartikan nikah secara bahasa ‫ ( الن َكا ح ل َغةً الضَّ م‬nikah secara bahasa
penggabungan)
14. Sementara itu, Abdurrahman al-Jaziri di dalam kitabnya, Al-Fiqh ‘ala
Mazahibil Arba’ah mengemukakan bahwa nikah secara bahasa ialah : ‫النكاح‬
‫ الوطء و الضم‬: ‫لغة‬

Dasar hukum Fiqh Munakahat


Yang menjadi dasar untuk istinbath hukum fiqh munakahat adalah :
1. Al-Qur’an, banyak ayat yang menjadi dasar untuk istinbat hukum Fiqh Munakahat,
menurut penelitian Muhammad Fuad al-Baaqii dalam kitabnya al- Mu’jam al-
Mufahras li al-faadz al-Qur’an al-kariim32 bahwa kata nakaha berikut tashrifnya
terdapat di dua pulu tiga tempat dalam lima surat yaitu :
a) al-Baqarah ayat 221, 230, 232, 235 dan 237.
b) al-Nisaa’ ayat 3, 6, 22, 25, dan 127 , surat al-Nur ayat 3, 23,32 dan 60
c) al-Qoshosh ayat 27,
d) al- Ahzab ayat 50 dan 53
e) al-Mumtahanah ayat 10
Sedangkan kata zawaja berikut tashrifnya terdapat di delapan pulu satu tempat
dalam empat puluh satu surat.
2. Al-Hadits, banyak hadits yang menjadikan dasar istinbat hukum fiqh munakahat,
diantaranya :
ْ‫ ْع َم ش قَا َل َح َّدثَنِّي ع َما َرة عَن‬Vَ‫اث َح َّدثَنَا أَبِّي َحدَّثنَا ا َِِْْل‬
ٍّ َ‫ص بْنِّ ِّغي‬
ِّ ‫َح َّدثَنَا ع َم ر ْب ن َح ْف‬
ْ ‫س َو ِّد َعلَى َع ْب ِّد هَّللا ِّ فَقَا َل ع‬
‫َب د هَّللا ِّ كنَّا َم َع‬ َْ V‫َع ْب ِّد ال َّر ْح َمنِّ بْنِّ يَ ِّزي َد قَا َل د ََخ ْل ت َم َع َع ْلق َمةَ َوا ِْْل‬
‫سلَّ َم‬ َ ِّ ‫ش ْيئًا َفقَا َل لَنَا َر سو ل هَّللا‬
َ ‫صلَّى هَّللا َعلَ ْيهِّ َو‬ َ ‫سلَّ َم‬
َ ‫شبَابًا ِ َل نَ ِّج د‬ َ ‫صلَّى هَّللا َعلَ ْيهِّ َو‬
َ ‫النَّ ِّب ي‬
َ ‫ص ِّر َوأَ ْح‬
‫ص ن لِّ ْلفَ ْر ِّج َو َمنْ لَ ْم‬ َ َ‫ض لِّ ْلب‬ ُّ ‫ستَطَا َع ا ْلب ا َءةَ فَ ْليَتَ َز َّو ْج فَإِّنَّه أَ َغ‬
ْ ‫اب َمنْ ا‬
ِّ َ‫شب‬
َّ ‫ش َر ال‬
َ ‫يَا َم ْع‬
34 ‫ص ْو ِّم فَإِّنَّه لَه ِّو َجا ٌء‬
َّ ‫ستَطِّ ْع فَ َعلَ ْيهِّ بِّال‬
ْ َ‫ي‬.
Artinya :
Telah diberitakan kepada kami Ibn Hafash hiyast Ibn Ghiyas telah diberitakaN
kepada kami Bapaku telah diberitakan kepada kami al-A’masy dia berkata telah
diberitakan kepada kami Umarah dari Abdurahman Ibn Yazid ia berkata masuk
kepadaku beserta Alqomah dan Aswad pada Abdullah, Maka Abdullah berkata Kami
berserta Nabi SAW juga pemuda yang tidak menemukan sesuatu maka Rsulullah
SAW bersabda kepada kami: “hai para pemuda barang siapa di antara kamu telah
sanggup untuk kawin maka hendaklah ia kawin. Maka kawin itu menghalangi
pandangan (kepada yang di larang oleh agama ) dan lebih menjaga kemaluan, dan
barang siapa tidak sanggup, hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu
merupakan perisai baginya.”

B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang yang telah dipaparkan dapat dirumuskan inti pokok
masalah ini yaitu:
a) Dalam kondisi bagaimanakah seseorang dibolehkan meminang pinangan
orang lain menurut pendapat Imam Malik ?
b) Bagaimana metode istinbath hukum yang digunakan Imam Malik dalam
menentukan hukum pinangan atas pinangan orang lain ?
C. Tujuan
Makalah dengan penyusun mengangkat tema “Kriteria Calon Suami Atau Istri
Dan Khitbah” tujuannya adalah :
1. Untuk mengetahui Kriteria yang bagaimanakah yang diperbolehkan dijadikan
sebagai calon suami ataupun calon istri
2. Untuk mengetahui makna khitbah dan pernikahan yang sesuai dengan syari’at.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi  
Munakahat Kata munakahat yang tedapat dalam bahsa Arab yang berasal dari akat
kata na-ka-ha, yang terdapat dalam bahasa Indonesia berarti pernikahan.
1. Munakahat atau pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Pernikahan adalah suatu cara yang Allah tetapkan sebagai jalan bagi manusia
untuk beranak, berkembang biak, dan menjaga kelestarian hidupnya, setelah
masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam
mewujudkan tujuan pernikahan
3. Selain itu, perkawinan adalah sunatullah yang dengan sengaja diciptakan oleh
Allah yang tujuannya untuk melanjutkan keturunan dan tujuan-tujuan lainnya.
4. Allah SWT berfirman: “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (Al Qur’an surat Adh-Dhariyat :
49)
5. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia disebutkan bahwa
perkawinan menurut hukum Islam adah ‘akad yang sangat kuat atau miitsaqon
gholiidhon untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.
Konsep Pernikahan Dalam Islam Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan
kepada pemeluknya yang akan memasuki jenjang pernikahan, lengkap dengan konsep
atau aturan-aturan Allah SWT. Berikut adalah hal-hal yang perlu dilakukan sebelum
menikah :
1. Minta pertimbangan. Bagi seorang lelaki, sebelum ia memutuskan untuk
menikahi seorang wanita untuk menjadi istrinya, hendaklah ia juga meminta
pertimbangan dari kerabat dekat wanita tersebut yang baik agamanya. Mereka
hendaknya orang yang tahu benar tentang 1Amir Syarifuddiin, Hukum
Perkawinan Islamdi Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006),
2. Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta:
Pustaka Yustisia, 2005),
3. M. Thalib, Lika Liku Pernikahan (Yogyakarta: PD Hidayat, 1986), 1.
4. M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam (Jakarta:
Prenada Media, 2003),
5. Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Tajwid (Jakarta: PT Sygma Examedia
Arkanleema, 2010), 522.
6. Miitsaqon gholiidon adalah ikatan lahir batin.
7. Departemen Agama RI, Kompilasi HukumIslam di Indonesia (Jakarta:
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997),

Hal ihwal wanita yang akan dilamar oleh lelaki tersebut, agar ia dapat
memberikan pertimbangan dengan jujur dan adil. Begitu pula bagi wanita yang akan
dilamar seorang lelaki, sebaiknya ia minta pertimbangan dari kerabat dekatnya yang
baik agamanya, Shalat istikharah, Setelah mendapatkan pertimbangan tentang
bagaimana calon isterinya, hendaknya ia melakukan shalat istikharah sampai hatinya
diberi kemantapan oleh Allah SWT dalam mengambil keputusan. Khitbah
(peminangan), Setelah seseorang mendapat kemantapan dalam menentukan wanita
pilihannya, maka hendaklah segera meminangnya, Laki-laki tersebut harus
menghadap orang tua/wali dari wanita pilihannya itu untuk menyampaikan kehendak
hatinya, yaitu untuk memintanya agar ia direstui untuk menikahi anaknya. Adapun
wanita yang boleh dipinang bilamana memenuhi dua syarat, sebagai berikut :
a. Pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan yang menyebabkan
laki-laki dilarang memperistrinya saat itu, seperti karena suatu hal
sehingga wanita tersebut haram dinikahinya selamanya (masih mahram)
atau sementara (masa iddah / ditinggal suami atau ipar dan lain-lain.)
b. Belum dipinang oleh orang lain secara sah, sebab Islam mengharamkan
seseirang meminang pinangan saudaranya.
c. Wanita pezina. Wanita pezina hanya boleh menikah dengan laki-laki
pezina, kecuali kalau wanita itu benar-benar bertaubat.10 4. Melihat
wanita yang dipinang. Islam adalah agama yang mensyaroatkan pelamar
untuk melihat wanita yang dilamar dan mensyariatkan wanita yang
dilamar untuk melihat laki-laki yang meminangnya, agar masing-masing
pihak ebnar-benar endapatkan kejelasan tatkala menjatuhkan pilihan
pasangan hidupnya.11 5. Aqad nikah Dalam aqad nikah ada beberapa
syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi :
1. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
2. Adanya ijab qabul.
3. Adanya mahar.
4. Adanya wali.
5. Adanya saksi-saksi.
6. Khabib Mustofa, “Proses Tata Cara pernikahan yang islami dalam
http://www.khabib.staff.ugm.ac.id/index. (15 Mei 2016)

Walimah. Walihatul urusy hukumnya wajib. Dasarnya adalah sabda


Rasulullah SAW kepada Abdurrahman bin Auf : “…Adakanlah walimah
sekalipun hanya dengan seekor kambing.” (Hadits Rimawat Abu Dawud
disahihkan oleh Al-Alabni dalam Shahih Abu Dawud no. 1854.) Adapun
sunah yang harus diperhatikan ketika mengadakan walimah adalah sebagai
berikut :
a. Dilakukan selama tiga hari setelah hari dukhul (masuknya).
b. Hemdaklah mengundang orang-orang shahih, baik miskin atau kaya.
c. Sedapat mungkin memotong seekor kambing atau lebih sesuai dengan
taraf ekonominya.

Hukum Dilakukannya Pernikahan Para ulama berbeda pendapat dalam


menentukan hukum nikah, ada yang mengatakan wajib, sunah, hara, makruh,
dan mubah.
1. Wajib nikah Banyak dari ulama mengatakan bahwa seseorang yang
mampu (secara fisik dan ekonomi) untuk menikah, maka wajib
baginya untuk menikah, karena pada dasarnya perintah itu
menunjukkan kewajiban, dan di dalam pernikahan tersebut terdapat
maslahat yang agung.
2. Sunah nikah Nikah hukumnya sunah bagi orang yang mempunyai
syahwat, dan mempunyai harta, tetapi tidak khawatir terjerumus
dalam maksit dan perzinaan. Imam Nawawi di dalam Syareh
Shahih Muslim menyebutkan judul dalam Kitab Nikah sebagai
berikut : “Bab Dianjurkannya Menikah Bagi Orang yang Kepingin
Sedangkan Dia Mempunyai Harta.
3. Haram nikah Orang yang belum mampu membiayai rumah tangga,
atau diperkirakan tidak dapat memenuhi nafkah lahir batin, maka
haram baginya menikah, sebab akan menyakiti perasaan wanita
yang akan dinikahinya. Demikian juga diharamkan menikah,
apabila ada tersirat niat menipu wanita itu atau menyakitinya.
4. Makruh nikah 13Ibid. 14An Nawawi, Syark Shahih
Muslim(Jakarta : Darus Sunah, 2010).

Orang yang tidak dapat memenuhi nafkah lahir batin, tetapi tidak
sampai menyusahkan wanita itu. Kalau dia orang berada dan kebutuhan
biologisnya tidak begitu menjadi tuntutan, maka terhadap orang itu
dimakruhkan menikah. Sebab, nafkah lahir batin menjadi kewajiban
suami, entah itu diminta atau tidak oleh istri.. Mubah nikah Pada dasarnya
hukum nikah adalah mubah, karena tidak ada dorongan atau larangan
untuk menikah, sebagaimana telah disebutkan di atas.
Syarat dan Rukun Pernikahan Setiap perbuatan hukum -hukum negara
dan hukum Islam- harus memenuhi dua unsur, yaitu rukun dan syarat.
Rukun ialah pokok (tiang) dalam setiap perbuatan hukum. Sedangkan
syarat ialah unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. Jika kedua
unsur ini tidak terpenuhi, maka perbuatan itu dianggap tisak sah menurut
hukum.19 Rukun juga bisa diartikan dengan sesuatu yang mesti ada
sebagai penentu sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu
termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut.20 Secara rinci, rukun nikah
adalah :
1. Calon mempelai pria
2. Calon mempelai wanita
3. Wali nikah
4. Dua orang saksi
5. Ijab dan qabul.
Kelima rukun nikah ini, masing-masing harus memenuhi syarat :
a. Calon mempelai pria :
a) Beragama Islam
b) Laki-laki
c) Baligh
d) Berakal
e) Jelas orangnya
f) Dapat memberikan persetujuan
g) Tidak terdapat halangan perkawinan, seperti tidak dalam
keadaan ihram dan umrah.
b. Calon mempalai wanita :
a) Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani (pendapat
sebagian ulama).
b) Perempuan.
c) Jelas orangnya.
d) Dapat memberikan persetujuan.
e) Tidak terdapat halangan perkawinan, seperti tidak dalam
keadaan ihram dan umrah.
c. Syarat wali nikah :
a) Laki-laki.
b) Dewasa.
c) Mempunyai hak perwalian.
d) Tidak terdapat halangan perwaliannya.
d. Syarat saksi nikah :
a) Minimal dua orang laki-laki.
b) Hadir dalam ijab dan qabul.
c) Dapat memahami maksud akad.
d) Beragama Islam.
e) Dewasa.
e. Syarat ijab qabul :
a) Ada ijab (pernyataan) mengawinkan dari pihak wali.
b) Ada qabul (pernyataan) penerimaan dari calon suami.
c) Memakai kata “nikah”, “tazwij”, atau terjemahannya seperti
“kawin”.
d) Antara ijab dan qabul bersambungan, tidak boleh terputus.
e) Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang
dalam keadaan haji dan umrah.
f) Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri paling kurang empat
orang, yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali dan
calon mempelai wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi.
Dalam KHI, tentang rukun nikah ini disebutkan dalam Pasal 14 yaitu
untuk melaksanakan perkawinan harus ada : calon suami, calon istri, wali
nikah, dua orang saksi dan ijab serta qabul. Mengenai syarat-syarat melakukan
perkawinan dijelaskan dalam pasal 15 sampai dengan pasal 38.24 Berkaitan
dengan kedua calon mempelai yang akan melangsungkan pernikahan
disyaratkan juga ketentuan-ketentuan sebagaimana yang tercantum dalam UU
No. 1/1974 tentang Perkawinan Pasal 6 dan Pasal 7.

Larangan Pernikahan Dalam Islam


1. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah ialah suatu perkawinan yang dalam jangka waktunya ditetapkan,
baik dalam akad nikah maupun dalam perjanjian sebelum atau sesudahnya. Nikah
mut’ah atau nikah yang sifatnya sementara ini merupakan suatu bentuk perkawinan
terlarang yang dijalin dalam tempo yag singkat untuk mendapakan perolehan yang
ditetapkan. Maksud dan tujuan dari nikah mut’ah hanya untuk memperoleh
kesenangan seksual, dan tidak ada tujuan untuk membentuk rumah tangga yang abadi,
kekal, sakinah, mawaddah wa rahmah, dan itu bertentangan dengan tujuan pernikahan
yang disyariatkan dalam Islam.
2. Nikah Muhallil
Nikah muhallil adalah nikah yang dimaksudkan untuk menghalalkan mantan istri
yang telah ditalak tiga kali. Nikah yang semacam ini termasuk dosa besar dan
mungkar yang diharamkan oleh Allah dan pelakunya mendapat laknat.
3. Nikah Syighar
Nikah syighar adalah pernikahan yang didasarkan pada janji atau kesepakatan
penukaran, yaitu menjadikan dua orang perempuan sebagai mahar atau jaminan
masing- masing. Ucapan aqad adalah “saya nikahkan Anda dengan anak saya atau
saudara perempuan saya, dengan syarat Anda menikahkan anak atau saudara
perempuan Anda.” Jika pernikahan ini terjadi, maka pernikahannya batal. Rasulullah
melarang kawin semacam ini dalam Hadits Riwayat Muslim juz 2, sebagaiman
sabdanya : “Tidak akan ada syighar di dalam islam.” (H.R. Muslim)31 F. Hikmah
Pernikahan Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai
suami istri. Ia merupakan pintu gerbang kehidupan berkeluarga yang mempunyai
pengaruh terhadap keturunan dan kehidupan masyarakat. Keluarga yang kokoh dan
baik menjadi syarat penting bagi kesejarteraan masyarakat dan kebahagiaan umat
manusia pada umumnya. Islam mengajarkan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang
suci, baik, dan mulia. Pernikahan menjadi dinding kuat yang memelihara manusia dari
kemungkinan jatuh ke lembah dosa yang disebabkan oleh nafsu birahi yang tak
terkendalikan. Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam pernikahan, yaitu:
a) Menentramkan jiwa. Allah menciptakan hambaNya hidup berpasangan dan
tidak hanya manusia saja, tetapi juga hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hal itu
adalah sesuatu yang alami, yaitu pria tertarik kepada wanita dan begitu juga
sebaliknya. Bila sudah terjadi aqad nikah, si wanita merasa jiwanya tenteram,
karena merasa ada yang melindungi dan ada yang bertanggung jawab dalam
rumah tangga. Suami pun merasa tentekan karena ada pendampingnya untuk
mengurus rumah tangga, tempat menumpahkan perasaan suka dan duka, dan
bermusyawarah dalam menghadapi berbagai persoalan. Allah berfirman :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri - istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya
yang demikian itu benar- benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
(Al-Qur’an surat Ar-Ruum : 21)
b) Mewujudkan (melestarikan) keturunan.33 Allah SWT berfirman : “Allah
menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan
bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu
rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakan mereka beriman kepada yang
bathil dan mengingkari nikmat Allah?” (Al Qur’an surat An Nahn : 72)
Berdasarkan ayat tersebut di atas jelas, bahwa Allah menciptakan manusia ini
berpasang-pasangan supaya berkembang biak mengisi bumi ini dan
memakmurkannya. Atas kehendak Allah, naluri manusia pun menginginkan
demikian.
c) Memenuhi kebutuhan biologis. Hampir semua orang yang sehat jasmani dan
rohaninya menginginkan hubungan seks. Pemenuhan kebutuhan ini harus
diatur melalui lembaga perkawinan, supaya tidak terjadi penyimpangan, tidak
lepas begitu saja sehingga norma-norma adat-istiadat dan agama dilanggar.
Kecenderungan cinta lawan jenis dan hubungan seksual sudah ada tertanam
dalam diri manusa atas kehendak Allah. Allah menghendaki demikian
sebagaimana firman-Nya : “Bagaimana kamu akan mengambilkanya kembali,
padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai
suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian
yang kuat.” (Al Qur’an surat An-Nisa : 21)
d) Latihan memikul tanggung-jawab Pada dasarnya, Allah menciptakan manusia
di dalam kehidupan ini, tidak hanya untuk sekedar makan, minum, hidup
kemudian mati seperti yang dialami oleh makhluk hidup lainnya. Lebih jauh
lagi, manusia diciptakan supaya berpikir, menentukan, mengatur, mengurus
segala persoalan, mencari dan memberi manfaat untuk umat. Sesuai dengan
maksud penciptaan manusia dengan segala keistimewaan berkarya, maka
manusia itu tidak pantas bebas dari tanggung jawab. Manusia bertanggung
jawab dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Latihan itu dimulai dari ruang
lingkup yang terkecil terlebih dahulu (keluarga), kemudian baru mengingkat
kepada yang lebih luas lagi. Biasanya orang yang sudah terlatih dan terbiasa
melaksanakan tanggung jawab dalam suatu rumah tangga akan sukses pula
dalam masyarakat.
e) Untuk membentengi akhlak yang luhur. Sasaran utama dari disyari’atkannya
perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat
manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan
meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan
dan pembentukan keluarga sebagau sarana efektif untuk memelihara pemuda
pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.
Rasulullah SAW bersabda : “Wahai pemuda! Barangsiapa di antara kalian
berkemampuan untuk menikah, menikahlah, karena menikah itu lebih
menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan
barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena
shaum itu dapat membentengi dirinya.” [Hadits Shahih Riwayat Ahmad,
Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi]
f) Kafaah Dalam Munakahat Kafaah dalam terminologi hukum Islam ialah
menyaratkan agar suami muslim mesti sederajat, sepadan, atau lebih unggul
dibandingkan sitrinya, meskipun seorang perempuan boleh memilih
pasangannya dalam perkawinan. Ini bertujuan agar ia tidak kawin dengan laki-
laki yang derajatnya berada di bawahnya. Hasbullah Bakry menjelaskan
bahwa pengertian kafaah ialah kesepakatan di antara calon suami dan istri
setidak-tidaknya dalam tiga perkara, yaitu :
1) Agama (sama-sama Islam)
2) Harta (sama-sama berharta)
1. Kedudukan dalam masyarakat (sama-sama merdeka.) Dalam hal kafaah, baik
Imam Abu Hanafi, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, maupun Imam Hambali
memandang penting faktir agama sebagai unsur yang harus diperhitungkan.
Bahkan Imam Asy-Syafi’i dan Imam Malik lebih menekankan pentingnya
unsur ketaatan dalam beragama. Sedangkan Nabi Muhammad SAW
memberikan ajaran mengenai ukuran-ukuran kafaah dalam perkawinan agar
mendapatkan kebahagiaan dalam rumah tangga berdasarkan hadits nabi :
“Dari Said bin Abu Su’bah dari ayahnya dari Abu Hurairah dari Nabi SAW :
Sesungguhnya beliau bersabda : “Nikahilah perempuan karena empat perkaa :
pertama karena hartanya, kedua karena derajatnya, (nasabnya), ketiga
kecantikannya, ke empat agamanya, maka pilihlah karena agamanya, maka
terpenuhi semua kebutuhanmu.
Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa jika seorang laki-laki akan menikahi
seorang perempuan, maka ia harus memperhatikan empat perkara yaitu
hartanya, derajatnya (nasabnya), kecantikannya, dan agamanya. Namun
Rasulullah SAW sangat menekankan faktor agama untuk dijadikan
pertimbangan dalam memilih pasangan. Meskipun masalah kafaah itu tidak
diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, akan tetapi masalah tersebut sangat
penting untuk mewujudkan suatu rumah tangga yang harmonis dan tenteram,
sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri, yakni ingin mewujudkan suatu
keluarga yang bahagia berdasarkan cinta dan kasih saying sehingga masakah
keseimbangan dalam perkawinan itu perlu diperhatikan demi mewujudkan
tujuan perkawinan. Sesungguhnya kesepadanan atau sederajat dalam
perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara
kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah
tangga yang Islami akan terwujud. Tetapi kafaah dalam Islam diukur hanya
dengan kualitas iman dan takwa seseorang. Allah memandang sama derajat
seseorang, tidak ada perbedaan melainkan derajat takwanya. Hal ini selaras
dengan firman Allah : “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (Al Qur’an
surat Al Hujarat : 13).
KHITBAH
Khithbah secara bahasa adalah melamar seorang wanita untuk dinikahi,sedangkan
secara istilah syarah adalah pelamar berusaha untuk nikah dengan cara melamar seorang
wanita Khithbah kurang lebih artinya Meminang adalah menyatakan permintaan untuk
menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantara
seseorang yang dipercayainya.Dalam merencanakan kehidupanberumah tangga, diantara
langkah yang harus ditempuh oleh seorang laki-laki adalah menetapkan seorang perempuan
yang diinginkan untuk menjadi calon istrinya. Secara syar’i laki-laki tersebut menjalaninya
dengan melakukan khithbah (peminangan) kepada perempuan yang dikehendakinya.

Hukum khithbah (melamar) menurut al-Qulyubi7 dalam Hasyiyah al-Mahali bahwa


hukumnya adalah sama seperti hukum nikah, jika wajib maka khithbahnya waji, jika sunah
maka khithbahnya sunah, jika mubah maka khithbahnya mubah,jika makruh maka
khithbahnya makruh dan haram maka khithbahnya haram.Sedangkan hukum melihat yang
dilamar adalah bahwa fuqaha sepakat bahwa orang yang melamar melihat terhadap yang
dilamar di syari’atkan oleh Islam, banyak nash-nash yang menjelaskan terhadap masalah ini,
diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bubkhari dalam bab melihat wanita
sebelum dikawin:
"Dari Aisyah R A berkata: Rasulullah SAW bersabda: Saya telah menunjukkan kepada kamu
dalam mimpi yang datang raja kepada kamu dalam pencurian sutra, maka ia berkata kepada
ku ini perempuan kamu kemudian dibukalah kain yang menutupi wajahnya maka bagaimana
kamu dengan dia, ini dari allah tak tunggu waktu"
Jumhur ulama berpendapat bahwa yang boleh dilihat adalah muka dan tapak tangan. Karena
dengan melihat mukanya dapat diketahui cantik jeleknya dan dengan melihat dapat diketahui
badanya subur atau tidak, namun menurut Imam Daud seluruh badan perempuan boleh
dilihat, tetapi menurut Imam Auza,iy hanya tempat-tempat yang berdaging saja yang boleh
dilihat.

Cara dan Syarat Mengkhithbah dan Batasan Pergaulan dalam Khithbah


1) beberapa cara dalam mengkhithbah, diantaranya sebagai berikut:
Secara langsung, yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang sehingga
tidak mungkin dipahami dari ucapan itu, kecuali untuk peminangan,seperti ucapan, “
saya berkeinginan untuk menikahimu oleh karena itu sebelumnya sekarang saya
melamar kamu”.
2) Secara tidak langsung, yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang
atau kinayah. Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami dengan maksud lain,
seperti ucapan.” Tidak ada orang yang tidak sepertimu",adapun sindiran selain ini
yang dapat dipahami oleh wanita bahwa laki-laki tersebut berkeinginan menikah
dengannya, maka semua diperbolehkan.
Diperbolehkan juga bagi wanita untuk menjawab sindiran itu dengan kata-kata yang
berisi sindiran juga. Perempuan yang belum kawin atau yang sudah kawin dan telah
habis pula masa iddahnya boleh dipinang dengan ucapan sindiran atau secara tidak
langsung.

Syarat Melakukan Khitbah


1) Syarat Mustahsinah (lebih baik)
Syarat mustahsinah adalah syarat yang berupa anjuran kepada seorang laki-
laki yang akan melamar seorang perempuan agar ia meneliti lebih dahulu perempuan
yang akan dilamarnya itu. Sehingga, dapat menjamin kelangsungan hidup berumah
tangga kelak.
2) Syarat Lazimah
Syarat lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum proses melamar atau
khitbah dilakukan. Sahnya lamaran bergantung kepada adanya syarat-syarat lazimah.
Untuk perempuan yang boleh untuk dikhitbah yakni:
1) Bisa dilakukan hanya pada perempuan yang masih perawan atau janda yang sudah
habis masa iddahnya,
2) Perempuan sedang tidak dalam masa iddah. Dalam Alquran Allah SWT berfirman:
“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para
suami) menghendaki ishlah.” (QS Al-Baqarah: 228).
3) Perempuan bukanlah mahrom dari laki-laki lain,
Perempuan sedang tidak dilamar oleh orang lain. Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah
seseorang dari kamu meminang (perempuan) yang dipinang saudaranya, sehingga peminang
sebelumnya meninggalkannya atau telah mengizinkannya.” (HR Abu Hurairah).
khitbah merupakan salah satu tahapan sebelum pernikahan namun tidak termasuk
dalam pernikahan. Sehingga, meskipun sudah khitbah, tetap ada batasan-batasan yang harus
diketahui oleh calon pengantin tersebut.
BAB III
PENUTUP

Kata munakahat yang tedapat dalam bahsa Arab yang berasal dari akat kata na-ka-ha, yang
terdapat dalam bahasa Indonesia berarti pernikahan. Munakahat atau pernikahan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam munakahat antara lain :
1.) Minta pertimbangan.
2.) Shalat istikharah.
3.) Khitbah (peminangan).
4.) Melihat wanita yang dipinang.
5.) Aqad nikah

Walimah. Hukum dilakukannya munakahat adalah :


1) Wajib nikah, untuk yang mampu (secara fisik dan ekonomi).
2) Sunah nikah, jika orang tersebut mempunyai syahwat, dan mempunyai harta, tetapi
tidak khawatir terjerumus dalam maksit dan perzinaan.
3) Haram nikah, untuk orang yang belum mampu membiayai rumah tangga, atau
diperkirakan tidak dapat memenuhi nafkah lahir batin.
4) Makruh nikah, untuk orang yang tidak dapat memenuhi nafkah lahir batin, tetapi tidak
sampai menyusahkan wanita itu.
5) Mubah nikah. Pada dasarnya hukum nikah adalah mubah, karena tidak ada dorongan
atau larangan untuk menikah, sebagaimana telah disebutkan di atas. Rukun
munakahat adalah:
1. Calon mempelai pria
2. Calon mempelai wanita
3. Wali nikah
4. Dua orang saksi
5. Ijab dan qabul.
DAFTAR PUSTAKA

Kosim.Fiqh Munahakat 1.depok:raja graindo perseda.2019


Muhammad Ali.Fiqih munahakat.lampung:Laduni arifatama
Ghozali, Abdul.Fiqh Munakahat. Kencana Prenada Media Group, 2003
Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah al Muqtasid,Beirut: Dar Al-Jiil, 1409 H/1989.
https://www.orami.co.id/magazine/khitbah/

Anda mungkin juga menyukai