Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

RESIKO PERILAKU KEKERASAN

A. Konsep Dasar Perilaku Kekerasan

1. Pengertian

Kekerasan (violence) merupakan suatu bentuk perilaku agresi (aggressive


behavior) yang menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, termasuk
terhadap hewan atau benda-benda. Ada perbedaan antara agresi sebagai bentuk
pikiran maupun perasaan dengan agresi sebagai bentuk perilaku. Agresi adalah suatu
respon terhadap kemarahan, kekecewaan, perasaan dendam atau ancaman yang
memancing amarah (Muhith, 2015).

Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Muhith, 2015).

Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk ekspresi kemarahan yang tidak


sesuai dimana seseorang melakukan tindakan-tindakan yang dapat membahayakan
atau mencederai diri sendiri, orang lain bahkan merusak lingkungan (Prabowo, 2014).

Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai
atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku
tersebut. Perilaku kekerasan ini dapat berupa muka masam, bicara kasar, menuntut
dan perilaku yang kasar disertai kekerasan (Saragih,dkk, 2014).

2. Faktor terjadinya Perilaku Kekerasan

Proses terjadinya perilaku kekerasan itu dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor
predisposisi dan faktor presipitasi.

a. Faktor Predisposisi
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang merupakan faktor predisposisi,
artinya mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor
berikut dialami oleh individu adalah:
1) Faktor Biologis
Dalam otak sistem limbik berfungsi sebagai regulator atau pengatur
perilaku. Adanya lesi pada hipotalamus dan amigdala dapat mengurangi dan
meningkatkan perilaku agresif. Perangsangan pada sistem neurofisiologis
dapat menimbulkan respon-respon emosional dan ledakan agresif. Penurunan
norepinefrin dapat menstimulasi perilaku agresif misalnya pada peningkatan
kadar hormon testosteron atau progesteron. Pengaturan perilaku agresif adalah
dengan mengatur jumlah metabolisme biogenik amino- norepinefrin (Dalami,
dkk, 2014).
Berdasarkan faktor biologis, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi
seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai berikut (Direja, 2011):
a) Pengaruh neurofisiologik,
Beragam komponen sistem neurologis mempunyai implikasi dalam
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik sangat
terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respon
agresif.
b) Pengaruh biokimia,
Menurut Goldstein dalam townsend (1996) menyatakan bahwa berbagai
neurotransmitter (epineprin, norepineprin, dopamine, asetilkolin dan
serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Peningkatan hormone androgen dan norepineprin serta penurunan
serotonin dan GABA (6 dan 7) pada ciran serebrospinal merupakan
penyebab timbulnya perilaku agresif pada seseorang.
c) Pengaruh genetik,
Menurut penelitian perilaku agresif sangat erat kaitanya dengan penghuni
penjara tindak criminal (narapidana).
d) Gangguan otak,
Sindrom otak organic berhubungan dengan gangguan serebral, tumor otak
(khususnya pada limbic dan lobus temporal), trauma otak, penyakit
ensefalitis, epilepsy (lobus temporal) terbukti berpengaruh terhadap
perilaku agresif atau kekerasan.
2) Faktor Psikologis
Psychoanalitytical Theory; Teori ini mendukung bahwa perilaku agresif
merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku
manusia dipengaruhi oleh dua insting. Pertama, insting hidup yang
diekspresikan dengan seksualitas dan kedua, insting kematian yang
diekspresikan dengan agresivitas.
Frustation-agression theory; teori yang dikembangkan oleh pengikut
freud ini berawal dari asumsi bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai
suatu tujuan mengalami hambatan, maka akan timbul dorongan agresif yang
pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai
orang atau objek yang menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang yang
melakukan tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku agresif.
Pandangan psikologi lainnya mengenai perilaku agresif, mendukung
pentingnya peran dari perkembangan predisposisi atau pengalaman hidup. Ini
menggunakan pendekatan bahwa manusia mampu memilih mekanisme koping
yang sifatnya tidak merusak. Beberapa contoh pengalaman tersebut :
a) Kerusakan otak organik, retardasi mental, sehingga tidak mampu untuk
menyelesaikan secara efektif.
b) Severe emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada masa
kanak-kanak.
c) Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk child abuse atau
mengobservasi kekerasan dalam keluarga.
Kemudian perilaku juga termasuk dalam faktor psikologi Perilaku
Reinforcment yang diterima pada saat melakukan kekerasan dan sering
mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar rumah, semua aspek ini
menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan (Keliat, 1996 dalam
Muhith, 2015).
3) Faktor Sosial Budaya
Seseorang akan berespon terhadap peningkatan emosionalnya secara
agresif sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Sesuai dengan teori menurut
Bandura bahwa agresif tidak berbeda dengan respons-respons yang lain.
Faktor ini dapat dipelajari melalui observasi dan semakin sering mendapatkan
penguatan maka semakin besar kemungkinan terjadi. Budaya juga dapat
mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat membantu
mendefinisikan ekspresi marah yang dapat diterima dan yang tidak dapat
diterima. Kontrol masyarakat yang rendah dan kecendrungan menerima
perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat.
b. Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan akan mengeluarkan respon marah apabila
dirinya merasa terancam. Ancaman tersebut dapat berupa luka secara psikis.
Ancaman dapat berupa internal dan eksternal. Contoh stressor eksternal yaitu
serangan secara psikis, kehilangan hubungan yang dianggap bermakna, dan
adanya kritikan dari orang lain. Sedangkan contoh dari stressor internal yaitu
merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan orang yang dicintai, dan
ketakutan terhadap penyakit yang diderita (Muhith, 2015).
Faktor presipitasi dapat bersumber dari pasien, lingkungan atau interaksi
dengan orang lain. Kondisi pasien seperti ini kelemahan fisik (penyakit fisik),
keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi
penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang
ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang
dicintainya atau pekerjaan dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain.
Interaksi yang proaktif dan konflik dapat pula memicu perilaku kekerasan
(Prabowo, 2014).
Menurut Dalami,dkk tahun 2014 stressor presipitasi yang muncul pada
pasien perilaku kekerasan yaitu :
a. Ancaman terhadap fisik : pemukulan, penyakit fisik
b. Ancaman terhadap konsep diri : frustasi, harga diri rendah
c. Ancaman eksternal : serangan fisik, kehilangan orang atau benda berarti
d. Ancaman internal : Kegagalan,kehilangan perhatian
3. Rentang Respon

Respons Adaptif Respon Maladaptif

Asertif frustas Pasif Agresif Kekerasan


Gambar : rentang respons perilaku kekerasan
Sumber : Keliat 2012

Keterangan :
1. Asertif
Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan
memberikan ketenagan
2. Frustasi
Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat menemukan
alternatif
3. Pasif
Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya
4. Agresif
Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut tetapi masih
terkontrol
5. Kekerasan
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya control

4. Mekanisme Koping Perilaku Kekerasan


Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan
steress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan
yang digunakan untuk melindungi diri. Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa
cemas yang timbul karena adanya ancaman.Beberapa mekanisme koping yang dipakai
pada klien marah untuk melindungi diri antara lain (Afnuhazi, 2015):
a. Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat untuk
suatu dorongan yang mengalami hambatan penyaluran secara normal.
b. Proyeksi
Menyalahkan orang lain mengenai kesukaran atau keinginan yang tidak baik.
c. Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam sadar.
d. Reaksi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan melebih-lebihkan
sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan.
e. Displacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada obyek yang tidak
begitu berbahaya.
5. Tanda dan Gejala Perilaku Kekerasan
Data perilaku kekerasan dapat diperoleh melalui observasi atau wawancara
tentang perilaku berikut (Dermawan & Rusdi, 2013) :
a. Muka merah dan tegang
b. Pandangan tajam
c. Mengatupkan rahang dengan kuat
d. Menggepalkan tangan
e. Bicara kasar
f. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
g. Mengancam secara verbal dan fisik
h. Melempar atau memukul benda atau orang lain
i. Merusak barang atau benda
j. Tidak mempunyai kemampuan mencegah atau mengontrol perilaku kekerasan.
Menurut Direja, 2013 tanda gejala pada perilaku kekerasan yaitu :
a. Fisik Mata melotot, pandangan tajam,tangan menggepal, rahang mengatup, wajah
memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
b. Verbal Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada
keras, kasar dan ketus.
c. Perilaku Menyerang orang lain, melukai diri sendiri atau orang lain, merusak
lingkungan, amuk atau agresif.
d. Emosi Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel,
tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, menyalahkan dan menuntut.
e. Intelektual Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, dan meremehkan.
f. Spiritual Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral
dan kreativitas terhambat.
g. Sosial Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran.
h. Perhatian Bolos, melarikan diri dan melakukan penyimpangan seksual
6. Patofisiologi
Stress, cemas, harga diri rendah, dan bermasalah dapat menimbulkan marah.
Respon terhadap marah dapat di ekspresikan secara eksternal maupun internal. Secara
eksternal ekspresi marah dapat berupa perilaku konstruktif maupun destruktif.
Mengekspresikan rasa marah dengan kata-kata yang dapat di mengerti dan diterima
tanpa menyakiti hati orang lain. Selain memberikan rasa lega, ketegangan akan
menurun dan akhirnya perasaan marah dapat teratasi. Rasa marah diekspresikan
secara destrukrtif, misalnya dengan perilaku agresif, menantang biasanya cara
tersebut justru menjadikan masalah berkepanjangan dan dapat menimbulkan amuk
yang di tunjukan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Yosep, 2011).
Perilaku yang submisif seperti menekan perasaan marah karena merasa tidak
kuat, individu akan berpura-pura tidak marah atau melarikan diri dari rasa marahnya,
sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan rasa
bermusuhan yang lama, pada suatu saat dapat menimbulkan rasa bermusuhan yang
lama, dan pada suatu saat dapat menimbulkan kemarahan yang destruktif yang
ditujukan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Dermawan & Rusdi, 2013).

7. Penatalaksanaan Perilaku Kekerasan


Penatalaksanaan pada pasien perilaku kekerasan bukan hanya meliputi
pengobatan dengan farmakoterapi, tetapi juga pemberian psikoterapi, serta terapi
modalitas yang sesuai dengan gejala pada perilaku kekerasan. Pada terapi ini juga
perlu dukungan keluarga dan sosial akan memberikan peningkatan kesembuhan klien.
Penatalaksanaan pada pasien perilaku kekerasan terbagi dua yaitu :
a. Penatalaksanaan medik
1) Farmakoterapi
Salah satu farmakoterapi yang digunakan pada klien dengan perilaku
kekerasan biasanya diberikan antipsikotik. Obat antipsikotik pertama yaitu
klorpromazin, diperkenalkan tahun 1951 sebagai pramedikasi anestesi.
Kemudian setelah itu, obat itu diuji coba sebagai obat skizofrenia dan terbukti
dapat mengurangi skizofrenia. Antipsikotik terbagi atas dua yaitu antipsikotik
tipikal dan antipsikotik atipikal dengan perbedaan pada efek sampingnya.
Antipsikotik tipikal terdiri dari (butirofenon, Haloperidol/haldol,
Fenotiazine,Chlorpromazine, perphenazine (Trilafon), trifluoperazin (stelazine),
sedangkan untuk antipsikotik atipikal terdiri dari (clozapine (clozaril),
risperidone (Risperidal). Efek samping yang ditimbulkan berupa rigiditas otot
kaku, lidah kaku atau tebal disertai kesulitan menelan. Biasanya sering
digunakan klien untuk mengatasi gejala-gejala psikotik (Perilaku kekersan,
Halusinasi, Waham), Skizofrenia, psikosis organik, psikotik akut dan
memblokade dopamine pada pascasinaptik neuron di otak (Katona, dkk, 2012).
2) Terapi Somatis
Terapi somatis adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan gangguan
jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku
adaptif dengan melakukan tindakan yang ditujukan pada kondisi fisik klien.
Walaupun yang diberi perlakuan adalah fisik klien, tetapi target terapi adalah
perilaku klien.
Jenis terapi somatis adalah meliputi pengikatan, ECT, isolasi dan fototerapi
(Kusumawati & Yudi, 2010).
a) Pengikatan
Merupakan terapi menggunakan alat mekanik atau manual untuk membatasi
mobilitas fisik klien yang bertujuan untuk melindungi cedera fisik pada
klien sendiri dan orang lain.
b) Terapi Kejang listrik Terapi kejang listrik atau Electro Convulsif Therapi
(ECT) adalah bentuk terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang
grand mall dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang
ditempatkan dipelipis pasien. Terapi ini ada awalnya untuk menangani
skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan setiap 2-3
hari sekali (seminggu 2 kali) dengan kekuatan arus listrik (2-3 joule).
c) Isolasi Merupakan bentuk terapi dengan menempatkan klien sendiri
diruang tersendiri untuk mengendalikan perilakunya dan melindungi klien,
orang lain dan lingkungan. Akan tetapi tidak dianjurkan pada klien dengan
risiko bunuh diri.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Strategi pelaksanaan pasien perilaku kekerasan
Startegi pelaksanaan dapat dilakukan berupa komunikasi terapeutik kepada
pasien perilaku kekerasan maupun pada keluarga. Tindakan keperawatan
terhadap pasien dapat dilakukan minimal empat kali pertemuan dan dilanjutkan
sampai pasien dan keluarga dapat mengontrol dan mengendalikan perilaku
kekerasan. Pada masingmasing pertemuan dilakukan tindakan keperawatan
berdasarkan strategi pelaksanaan (SP) sebagai berikut (Pusdiklatnakes, 2012) :
a) Latihan strategi pelaksanaan 1 untuk pasien : latihan nafas dalam dan
memukul kasur atau bantal.
b) Latihan strategi pelaksanaan 2 untuk pasien : latihan minum obat
c) Latihan strategi pelaksanaam 3 untuk pasien : Latihan cara sosial atau verbal
d) Latihan strategi pelaksanaan 4 untuk pasien : Latihan cara spiritual Tindakan
keperawatan berdasarkan strategi pelaksanaan (SP) sebagai berikut :
a) Latihan strategi pelaksanaan 1 untuk keluarga : Cara merawat pasien dan
melatih latihan fisik
b) Latihan strategi pelaksanaan 2 untuk keluarga : Cara memberi minum obat
c) Latihan strategi pelaksanaan 3 untuk keluarga : Melatih keluarga cara
mengontrol marah dengan cara sosial atau verbal.
d) Latihan strategi pelaksanaan 4 untuk keluarga : cara mengontrol rasa
marah dengan cara spiritual, latih cara spiritual, jelaskan follow up ke
puskesmas, tanda kambuh.
2) Terapi modalitas
Terapi modalitas keperawatan jiwa dilakukan untuk memperbaiki dan
mempertahankan sikap klien agar mampu bertahan dan bersosialisasi dengan
lingkungan masyarakat sekitar dengan harapan klien dapat terus bekerja dan
tetap berhubungan dengan keluarga, teman, dan sistem pendukung yang ada
ketika menjalani terapi (Nasir & Muhits dalam Direja, 2011).
Jenis-jenis terapi modalitas adalah :
a) Psikoterapi
Merupakan suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional terhadap
pasien yang dilakukan oleh seseorang yang terlatih dan sukarela. Psikoterapi
dilakukan agar klien mengalami tingkah lakunya dan mengganti tingkah
laku yang lebih konstruktif melalui pamhaman- pemahaman selama ini
kurang baik dan cenderung merugikan baik diri sendiri , orang lain maupun
lingkungan sekitar.
b) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
Terapi Aktivitas Kelompok sering digunakan dalam praktik kesehatan jiwa,
bahkan merupakan hal yang terpenting dari keterampilan terapeutik dalam
ilmu keperawatan. Pemimpin atau leader kelompok dapat menggunakan
keunikan individu untuk mendorong anggota kelompok untuk
mengungkapkan masalah dan mendapatkan bantuan penyelesaian
masalahnya dari kelompok, perawat juga adapatif menilai respon klien
selamaberada dalam kelompok. Jenis Terapi Aktivitas Kelompok yang
digunakan pada klien dengan perilaku kekerasan adalah Terapi Aktivitas
Kelompok Stimulasi Persepsi atau Kognitif. Terapi yang bertujuan untuk
membantu klien yang mengalami kemunduran orientasi, menstimuli
persepsi dalam upaya memotivasi proses berfikir dan afektif serta
mengurangi perilaku maladaptif. Karakteristiknya yaitu pada penderita
gangguan persepsi yang berhubungan dengan nilainilai, menarik diri dari
realitas dan inisiasi atau ide-ide negatif.
3) Terapi Keluarga
Berfokus pada keluarga dimana keluarga membantu mengatasi
masalah klien dengan memberikan perhatian :
a) Bina hubungan saling percaya (BHSP)
b) Jangan memancing emosi klien
c) Libatkan klien dalam kegiatan yang berhubungan dengan keluarga
d) Memberikan kesempatanpada klien dalam mengemukakan pendapat
e) Anjurkan pada klien untuk mengemukakan maslah yang dialami
f) Mendengarkan keluhan klien
g) Membantu memecahkan masalah yang dialami oleh klien
h) Hindari penggunaan kata-kata yang menyinggung perasaan klien
i) Jika klien melakukan kesalahan jangan langsung memvonis
j) Jika terjadi perilaku kekerasan yang dilakukan adalah : bawa klien ketempat
yang tenang dan aman, hindari benda tajam, lakukan fiksasi sementara, rujuk
ke pelayanan kesehatan (Afnuhazi, 2015).
B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Perilaku Kekerasan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan dan
merupakan proses yang sistematis dala pengumpulan data dari berbagai sumber untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien (Iyer et.al dalam Muhith
2015).
Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau
masalah pasien.
a. Identitas pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan status mental,
suku bangsa, tanggal masuk, tanggal pengkajian, ruang rawat dan alamat.
b. Alasan Masuk
Alasan yang menyebabkan pasien atau keluarga datang atau dirawat di rumah sakit.
Faktor pencetus perilaku kekerasan meliputi ancaman terhadap fisik, ancaman
internal dan ancaman eksternal.
c. Riwayat Penyakit sekarang
Keluhan saat ini pada pasien perilaku kekerasan, faktor yang memperberat kejadian
seperti putus pengobatan, melukai orang lain, diri sendiri maupun lingkungan.
d. Faktor Predisposisi
Faktor-faktor yang mendukung terjadinya masalah perilaku kekerasan adalah faktor
biologi (biasanya klien mempunyai keluarga yang mempunyai riwayat perilaku
kekerasan, klien pernah mengalami gangguan jiwa) , psikologis ( harapan yang
tidak sesuai, sering melihat perilaku kekerasan atau mengalami perilaku kekerasan
dan sosiokultural (Dermawan, 2013).
Faktor Presipitasi
Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu yang bersifat
unik. Stressor tersebut dapat disebabkan dari luar (serangan fisik, kehilangan,
kematian dan lain-lain) maupun dalam (putus hubungan dengan orang berarti,
kehilangan rasa cinta, takut terhadap penyakit fisik dan lain-lain). Selain itu
lingkungan yang terlalu ribut, padat, kritikan yang mencegah pada penghinaan,
tindakan kekerasan dapat memicu perilaku kekerasan.
e. Pemeriksaan Fisik
Memeriksa tanda-tanda vital, tinggi badan, berat badan dan tanyakan apakah ada
keluhan fisik yang dirasakan pasien.
f. Pengkajian Psikososial
1) Genogram Genogram menggambarkan pasien dengan tiga generasi keluarga
dilihat dari pola komunikasi, pengambilan keputusan dan pola asuh.
2) Konsep diri
a) Gambaran diri
Menggambarkan persepsi pasien terhadap tubuhnya, bagian tubuh yang tidak
disukai, reaksi pasien terhadap bagian tubuh yang tidak disukai dan bagian
yang disukai.
b)Identitas diri
Status dan posisi pasien sebelum pasien dirawat, kepuasan pasien terhadap
status dan posisinya, kepuasan pasien sebagai laki-laki atau perempuan,
keunikan yang dimiliki sesuai dengan jenis kelaminnya dan posisinya.
c) Fungsi peran
Tugas atau peran pasien dalam keluarga atau kelompok masyarakat,
kemampuan pasien dalam melaksanakan fungsi atau perannya, perubahan
yang terjadi saat pasien sakit dan dirawat, bagaimana perasaan pasien akibat
perubahan tersebut.
d) Ideal diri
Harapan pasien terhadap keadaan tubuh ideal, posisi, tugas, peran dalam
keluarga, pekerjaan atau sekolah, harapan pasien terhadap penyakitnya,
bagaimana jika kenyataan tidak sesuai dengan harapannya.
e) Harga diri
Hubungan pasien dengan orang lain sesuai dengan kondisi, dampak pada
pasien dalam berhubungan dengan orang lain, harapan, identitas diri tidak
sesuai harapan, fungsi peran tidak sesuai harapan, ideal diri tidak sesuai
harapan, penilaian pasien terhadap pandangan atau penghargaan orang lain.
3)Hubungan Sosial
Menggambarkan orang yang paling berarti dalam hidup pasien, dan upaya
yang biasa dilakukan bila ada masalah, kelompok apa saja yang diikuti dalam
masyarakat, peran dalam kelompok, hambatan dalam berhubungan dengan
orang lain.
4) Spiritual Nilai keyakinan
kegiatan ibadah atau menjalankan keyakinan, kepuasan dalam menjalankan
keyakinan.
g. Status Mental
1) Penampilan Melihat
Penampilan pasien dari ujung rambut sampai ujung kaki apakah ada yang tidak
rapi, penggunaan pakaian sesuai, cara berpakaian.
2) Pembicaraan
Biasanya pada klien perilaku kekerasan ketika bicara nada suara keras, tinggi,
menjerit atau berteriak.
3) Aktivitas motorik
Agitasi (gerakan motorik yang menunjukan kegelisahan), kompulsif (kegiatan
berulang-ulang), grimasem (otot-otot wajah yang berubah-ubah dan tidak
terkontrol). Seperti menggepalkan tangan, merusak barang atau benda, rahang
mengatup.
4) Afek dan Emosi
a) Afek
Biasanya klien labil, emosi cepat berubah-rubah dan tidak sesuai, emosi
bertentangan dan berlawanan dengan stimulus
b) Emosi
Biasanya klien memiliki emosi yang tidak adekuat, tidak aman dan nyaman,
merasa terganggu, dendam, jengkel, bermusuhan, mengamuk serta menuntut.
5) Interaksi selama wawancara
a) Kooperatif, berespon dengan baik terhadap pewawancara
b) Tidak kooperatif, tidak dapat menjawab pertanyaan dengan spontan
c) Mudah tersinggung
d) Bermusuhan
e) Kontak kurang, tidak menantap lawan bicara
f) Curiga
6) Persepsi sensori
Persepsi ini meliputi persepsi mengenai pendengaran, penglihatan, pengecapan,
penghidu.
7) Proses pikir
a) Sirkumtansial, pembicaraan yang berbelit tapi sampai pada tujuan.
b) Tangensial, pembicaraan yang berbelit-belit tapi tidak sampai pada tujuan.
c) Kehilangan asosiasi, pembicaraan tidak ada hubungan antara satu kalimat
dengan kalimat yang lain.
8) Isi pikir
Biasanya klien memiliki ambang isi fikir yang wajar, dimana ia selalu
menanyakan kapan ia akan pulang dan mengharapkan pertemuan dengan
keluarga dekatnya.
9) Tingkat kesadaran
Biasanya klien tampak bingung dan kacau (perilaku yang tidak mengarah pada
tujuan).
10) Memori
a) Gangguan mengingat jangka panjang, tidak dapat mengingat kejadian. b)
Gangguan mengingat jangka pendek, tidak dapat mengingat dalam minggu
terakhir.
11) Tingkat konsentrasi dan berhitung
Menilai tingkat konsentrasi klien apakah mudah beralih atau tidak mampu
berkonsentrasi.
12) Kemampuan penilaian
Menggambarkan kemampuan pasien dalam melakukan penilaian terhadap
situasi, kemudian dibandingkan dengan yang seharusnya.
13) Daya litik diri
a) Mengingkari penyakit yang diderita : pasien tidak menyadari gejala penyakit
(perubahan fisik dan emosi) pada dirinya dan pasien menyangkal keadaan
penyakitnya.
b) Menyalahkan hal-hal diluar dirinya: menyalahkan orang lain atau lingkungan
yang menyebabkan timbulnya penyakit atau masalah sekarang.
14) Kebutuhan persiapan pulang
a) Makan Biasanya frekuensi makan, jumlah, variasi, macam dan cara makan,
observasi kemampuan pasien menyiapkan dan membersihkan alat makan.
b) Buang Air Besar dan Buang Air Kecil Observasi kemampuan pasien untuk
Buang Air Besar (BAB) dan BAK, pergi menggunakan WC.
c) Mandi Observasi dan tanyakan tentang frekuensi, cara mandi, menyikat
gigi, cuci rambut, gunting kuku, observasi kebersihan tubuh.
d) Berpakaian Observasi kemampuan pasien dalam mengambil, memilih dan
mengenakan pakaian, observasi penampilan dadanan pasien.
e) Istirahat dan tidur Observasi dan tanyakan lama dan waktu tidur
siang,malam, persiapan sebelum tidur dan aktivitas sesudah tidur.
f) Penggunaan obat Observasi penggunaan obat, frekuensi, jenis, dosis, waktu,
dan cara pemberian.
g) Pemeliharaan kesehatan Biasanya tentang perawatan lanjut yang dilakukan
klien.
h) Aktivitas di dalam rumah Observasi kemampuan pasien dalam mengolah
dan menyajikan makanan, merapikan rumah, mengatur kebutuhan biaya
sehari-hari.
i) Aktivitas di luar rumah Biasanya menggambarkan kemampuan pasien dalam
belanja untuk keperluan sehari-hari.
h. Mekanisme Koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien sehingga dapat
membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif dalam
mengekspresikan marahnya. Mekanisme koping yang umum digunakan adalah
mekanisme pertahanan ego seperti displacement, sublimasi, proyeksi, represi, dan
resaksi formasi. i. Masalah psikososial dan lingkungan Perlu dikaji tentang masalah
dengan dukungan kelompok, maslah berhubungan dengan lingkungan dan masalah
pendidikan, pekerjaan, perumahan ekonomi, pelayanan kesehatan.
j. Pengetahuan
Biasanya pasien mempunyai masalah yang berkaitan dengan pengetahuan
yang kurang tentang penyakit atau gangguan jiwa. k. Aspek medis Pada klien
perilaku kekerasan biasanya mendapatkan obat untuk klien skizofrenia seperti
haloperidol, clorpromazine dan anti kolinergik.

2. Pohon Masalah
Pohon masalah perilaku kekerasan (Yosep, 2011)

Resiko mencederai diri sendiri, Effect


orang lain dan lingkungan.

Resiko Perilaku Kekerasan Core problem

Harga Diri Rendah Causa

3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan diterapkan sesuai dengan data yang didapat, walaupun saat
ini tidak melakukan perilaku kekerasan tetapi pernah melakukan atau mempunyai
riwayat perilaku kekerasan dan belum mempunyai kemampuan mencegah atau
mengontrol perilaku kekerasan tersebut. Masalah keperawatan yang mungkin muncul
untuk masalah perilaku kekerasan adalah :
a. Resiko perilaku kekerasan
b. Perilaku kekerasan
c. Harga diri rendah
4. Intervensi
Menurut (Direja, 2011)
Resiko perilaku kekerasan berhubungan dengan mencederai diri sendiri.
Tujuan : Pasien tidak mencederai diri sendiri.
1. Tujuan Khusus I : Klien dapat membina saling percaya.
Kriteria hasil : klien dapat menunjukan tanda-tanda percaya kepada perawat :
a. Wajah cerah.
b. Tersenyum.
c. Mau berkenalan.
d. Ada kontak mata.
e. Mau menceritakan perasaan yang dirasakan.
f. Mau mengungapkan masalahnya.
Intervensi :
a. Beri salam setiap interaksi.
b. Perkenalkan nama, nama panggilan perawat, dan tujuan perawat berkenalan.
c. Tanyakan dan panggil nama kesukaan klien.
d. Tunjukan tunjukan sikap jujur dan menepati janji setiap kali berinteraksi.
e. Tanyakan perasaan klien dan masalah yang dihadapi klien.
f. Buat kontrak interaksi yang jelas.
g. Dengarkan dengan penuh perhatian ekspresi perasaan klien.
2. Tujuan Khusus II : Klien dapat mengidentifikasikan penyebab perilaku kekerasan.
Kriteria Hasil :
a. Klien dapat mengungkapkan perasaannya.
b. Klien dapat menceritakan penyebab perasaan marah baik dari diri sendiri maupun
orang lain.
Intervensi :
a. Bantu klien mengungkapkan perasaan marahnya.
b. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan marahnya.
c. Bantu klien untuk mengungkapkan penyebab perasaan jengkel atau kesal.
d. Motivasi klien untuk menceritakan penyebab rasa marahnya.
e. Dengarkan tanpa menyela atau menberikan penilaian setiap ungkapan perasaan.
3. Tujuan Khusus III : Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
Kriteria Hasil : Klien mampu menceritakan tanda-tanda perilaku kekerasan:
a. Tanda fisik : mata merah.
b. Tanda emosional : perasaan marah, jengkel, bicara kasar.
c. Tanda sosial : bermusuhan yang dialami saat terjadi perilaku kekerasan.
Intervensi :
a. Bantu klien mengungkapkan tanda-tanda perilaku kekerasan yang dialaminya.
b. Motivasi klien menceritakan kondisi fisik (tanda-tanda fisik) saat perilaku
kekerasan terjadi.
c. Motivasi klien menceritakan kondisi emosionalnya (tanda-tanda emosional) saat
terjadi perilaku kekerasan.
d. Motivasi klien menceritakan kondisi hubungan dengan orang lain saat terjadi
perilaku kekerasan.
4. Tujuan Khusus IV : Klien dapat mengidentifikasi jenis perilaku kekerasan.
Kriteria Hasil : Klien mampu menjelaskan :
a. Jelas ekspresi kemarahan yang selama ini telah dilakukan.
b. Perasaannya saat melakukan perilaku kekerasan.
c. Efektifitas cara yang di pakai dalam menyelesaikan masalah.
Intervensi :
a. Diskusikan dengan klien perilaku kekerasan yang dilakukannya selama ini.
b. Motivasi klien menceritakan jenis-jenis tindakan kekerasan tersebut terjadi.
c. Diskusikan apakah dengan tindakan kekerasan masalah yang di alami teratasi.
5. Tujuan Khusus V : Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Kriteria Hasil : Klien dapat menjelaskan akibat tindakan kekerasan yang
dilakukannya :
a. Diri sendiri : luka, dijahui teman, dan lain-lain.
b. Orang lain atau keluarga : luka, tersinggung, ketakutan, dan lainlain.
c. Lingkungan : batang atau benda rusak.
Intervensi :
a. Bicarakan akibat atau kerugian dari cara yang dilakukan klien.
b. Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang dilakukan klien.
c. Tanyakan pada klien apakah ia ingin mempelajari cara yang sehat.
6. Tujuan Khusus VI : klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah
perilaku kekerasan.
Kriteria Hasil :
a. Klien menyebutkan contoh mencegah perilaku kekerasan secara fisik.
b. Tarik napas dalam.
c. Pukul bantal dan kasur.
d. Kegiatan fisik yang lain
e. Klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku kekerasan.
Intervensi :
a. Diskusikan kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien.
b. Beri pujian atas kegiatan fisik yang biasa di lakukan.
c. Diskusikan dua cara fisik yang paling mudah di lakukan untuk mencegah perilaku
kekerasan : tarik nafas dalam, pukul bantal dan kasur.
d. Diskusikan cara melakukan tarik nafas dalam dengan klien.
e. Beri contoh kepada klien tentang cara menarik nafas dalam.
f. Minta klien mengikuti contoh yang diberikan sebanyak 5 kali.
g. Beri pujian positif atas kemampuan klien mendemonstrasikan cara menarik nafas
dalam.
7. Tujuan Khusus VII : Klien dapat mendemonstrasikan cara sosial untuk mencegah
perilaku kekerasan.
Kriteria Hasil :
a. Klien mampu memperagakan cara mengontrol perilaku kekerasan.
b. Fisik : tarik nafas, pukul bantal dan kasur.
c. Verbal : mengungkapkan perasaan kesal dan jengkel pada orang lain tanpa
menyakiti.
d. Spiritual : zikir, medikasi dan lain-lain.
Intervensi :
a. Diskusikan cara yang mungkin dipilih dan di anjurkan klien memilih cara yang
mungkin untuk mengungkapkan kemarahan :
a. Peragakan cara yang mungkin dipilih dan di anjurkan klien memilih cara yang
mungkin untuk mengungkapkan kemarahan.
b. Peragakan cara melaksanakan cara yang di pilih.
c. Anjurkan klien menirukan perasaan yang sudah dilakukan.
d. Beri penguatan pada klien, perbaik cara yang masih belum sempurna.
e. Anjurkan klien mengungkapkan cara yang sudah dilatih saat marah.
8. Tujuan Khusus VIII : klien dapat mendemonstrasikan cara spiritual untuk mencegah
perilaku kekerasan.
Kriteria Hasil :
a. Klien dapat menyebutkan nama ibadah yang biasa dilakukan.
b. Klien dapat mendemostrasikan cara ibadah yang di pilih.
c. Klien mempunyai jadwal untuk melatih kegiatan ibadah.
d. Klien dapat mengevaluasi terhadap kemampuan melakukan kegiatan.
Intervensi :
a. Diskusikan dengan klien kegiatan ibadah yang pernah di lakukan.
b. Bantu klien menilai kegiatan ibadah yang dapat di lakukan.
c. Bantu klien memilih kegiatan yang akan dilakukan.
d. Minta klien mendemomstrasikan kegiatan ibadah yang di pilih.
e. Beri pujian atas keberasilan klien.
9. Tujuan Khusus IX : Klien menggunakan obat sesuai program yang telah di tetapkan.
Kriteria Hasil : Klien mampu menjelaskan :
a. Manfaat minum obat.
b. Kerugian tidak minum obat.
c. Nama obat.
d. Bentuk dan warna obat.
e. Dosis yang diberikan kepadanya, waktu, cara, dan efek.
f. Klien mampu menggunakan obat sesuai program.
Intervensi :
a. Jelaskan manfaat menggunakan obat secara teratur dan kerugian jika tidak
mengguanakan obat.
b. Jelaskan kepada klien : 1. Jenis obat (nama, warna dan bentuk). 2. Dosis, waktu,
cara dan efek.
c. Anjurkan klien :
1. Minta mengunakan obat tepat waktu.
2. Laporan jika mengalami efek yang tidak biasa.
3. Beri pujian kedisiplinan klien menggunakan obat
5. Implementasi
Implementasi adalah fase ketika perawat mengimplementasikan intervensi
keperawatan. Implementasi terdiri atas melakukan dan mendokumentasikan tindakan
yang merupakan tindakan keperawatan khusus yang diperlukan untuk melaksanakan
intervensi. Perawat melaksanakan tindakan keperawatan untuk intervensi yang disusun
dengan mencacat tindakan keperawatan dan respon klien terhadap tindakan tersebut
(Kozier, et al. 2010).
Berikut ini adalah Strategi Pelaksanaan Resiko Perilaku Kekerasan :
1. Strategi Pelaksanaan Pertemuan Pertama Membina hubungan saling percaya,
identifikasi penyebab perasaan yang dilakukan, akibatnya serta cara mengontrol
secara fisik.
2. Strategi Pelaksanaan Kelima Latihan mengontrol perlaku kekerasandengan obat
a. Evaluasi jadwal kegiatan harian pasien untuk cara mencegah marah yang sudah
dilatih.
b. Latih pasien minum obat secara teratur dengan prinsip lima benar (benar nama
pasien, benar nama obat, dan benar dosis obat) disertai penjelasan guna obat dan
akibat berhenti minum obat.
c. Sususn jadwal minum obat secara teratur.
3. Strategi Pelaksanaan Pertemuan Ketiga.
Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik ke-2
a. Evaluasi latihan nafas dalam.
b. Latihan cara fisik ke 2 pukul bantal dan kasur.
c. Susun jadwal kegiatan harian cara kedua
4. Srategi Pelaksanaan Keempat.
Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara sosial atau verbal.
a. Evaluasi jadwal harian untuk kedua cara fisik.
b. Latihan mengucapkan rasa marah secara verbal : menolak dengan baik, meminta
dengan baik, mengunggapkan perasaan dengan baik.
c. Susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal.
5. Strategi Pelaksanaan Kelima. Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual.
a. Diskusikan hasil latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik san sosial atau
verbal.
b. Latihan sholat dan berdoa.
c. Membuat jadwal latihan sholat dan berdoa.
6. Evaluasi
Evaluasi adalah pengukuran keefektifan pengkajian, diagnosis, perencanaan,
dan implementasi. Langkah-langkah dalam mengevaluasi asuhan keperawatan adalah
menganalisis respons klien, mengidentifikasi faktor yang berkontribusi terhadap
keberhasilan atau kegagalan dan perencanaan untuk asuhan keperawatan di masa depan
(Rosdahl dan Kowalski, 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Afnuhazi, Ridhyalla. 2015. Komunikasi Terapeutik dalam Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:


Goysen Publishing.
Dalami, dkk. 2014. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Jiwa. Jakarta: TIM.
Damaiyanti, Mukhripah. 2010. Komunikasi Terapeutik Dalam Praktik Keperawatan. Penerbit
Buku: PT Refika Aditama. Bandung
Dermawan, Deden dan Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja asuhan
Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: GosyenPublishing.
Direja, Ade Herman Surya.2011. Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Katona, C, dkk. 2012. At a Glance Psikiatri edisi keempat. Erlangga.
Keliat, et al. 2016. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN (Basic Course). Jakarta:
EGC.
Muhith A. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa (Teori dan Aplikasi). Yogyakarta: Penerbit
ANDI.
Pusdiklatnakes. 2012. Modul Pelatihan Keperawatan Kesehatan Jiwa Masyarakat. Jakarta:
Badan PPSDM Kesehatan.
Prabowo, E. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta: Nuha
Saragih, dkk. 2014. Gambaran Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Keluarga Tentang Perawatan
Pasien Resiko Perilaku Kekerasan Di Rumah. Diakses tanggal 11 Januari 2017, pukul
08.15
Yosep, Iyus. 2013. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT. Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai