Anda di halaman 1dari 4

Antisipasi Anak Durhaka Era Modern

Oleh: M.Anzaikhan, S.Fil.I., M.Ag

Akhir-akhir ini, marak kasus-kasus nyeleneh terkait prilaku anak terhadap orangtuanya.
Bila dulu, durhaka dipahami sebagai prilaku anak yang tidak mengakui ibunya. Kini, durhaka
bertransformasi menjadi gaya baru seolah itu sebuah kewajaran. Seperti kasus anak yang
menggugat harta orangtua, anak yang mencoba mempolisikan ibunya, bahkan yang paling
ekstrim anak yang mencoba merudapaksa ibunya karena kesal dimarahi (serambinews,
11/11/2021). Ini adalah bagian dari praktek durhaka, meskipun dikemas dalam situasi yang
berbeda.

Kejadian 3 orang anak yang menyerahkan ibunya ke panti jompo juga tak kalah menyita
perhatian (Serambi 01/11/2021), sebuah fenomena yang tidak patut dijadikan contoh khususnya
bagi generasi penerus. Terlepas apapun alasannya, apakah karena kesulitan ekonomi, atau karena
tidak didukung oleh istri untuk tinggal bersama. Semua itu berbanding terbalik dengan apa yang
diperjuangkan seorang ibu untuk menghidupkan anak-anaknya.

Mirisnya, ada keterangan bahwa pihak anak menyerahkan pengurusan pemakaman pada
yayasan jika ibu mereka meninggal dunia. Itu berarti, secara tidak langsung ada sebuah
penegasan bahwa mereka seolah tidak peduli lagi dengan kondisi ibunya (di penitipan), bahkan
saat menghebuskan nama terakhirnya. Nauzubillah, summa nauzubillah.

Muncul pertanyaan, fenomena seperti ini terjadi akibat karakter anak yang melampaui
batas, atau pola didikan yang tak berjalan dengan baik? Tentu ini menjadi bahan renungan bagi
kita semua khusunya yang masih memiliki orangtua semasa hidupnya. Padahal, orangtua yang
tua renta, terlebih dalam keadaan sakit (lemah) adalah ladang amal bagi anak yang bersedia
merawatnya.

Dalam hadis disebutkan; “Sungguh terhina, sungguh terhina, sungguh terhina.” Ada
yang bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, ”(Sungguh hina) seorang yang
mendapati kedua orang tuanya yang masih hidup atau salah satu dari keduanya ketika mereka
telah tua, namun justru ia tidak masuk surga.” (HR. Muslim)
Hadis ini dengan jelas mengintruksikan, bahwa orangtua adalah mediator yang membawa
anak dengan mudah memasuki pintu syurga. Anak-anak yang melupakan orangtua,
menelantarkannya, menggugat hartanya, bahkan dzalim terhadap orangtua adalah mereka yang
membuang kunci syurga. Entah apa yang mempengaruhi pemikiran anak zaman sekarang,
seandainya mereka tahu seperti apa ganjaran dalam memuliakannya (orangtua), tentu kejadian
seperti di atas tidak akan pernah terjadi.

Bagaimanapun sibuknya seorang anak, seperti apapun lemahnya ekonomi seorang anak,
tidak seharusnya menyerahkan hak asuh orangtua pada pihak lain. Begitu juga sebaliknya,
seperti apapun kondisi orangtua, semiskin apapun mereka karena tidak ada warisan yang
menyertainya. Seorang anak wajib mengurus dan merawatnya. Meskipun hidup susah, orangtua
akan lebih rela tinggal bersama anaknya dari pada di panti jompo yang beralaskan permata.

Coba bayangkan, ketika orangtua kita di panti jompo. Ia akan merasa risih, jika yang
membuka dan memasang popok adalah orang lain. Apalagi jika sudah sakit-sakitan, ketika buang
air di kasur misalnya, orangtua akan sangat sedih dan malu jika yang membersihkan itu adalah
orang asing. Padahal, semasa hidupnya. Entah berapa kali ia menggantikan popok anaknya.
Entah berapa kali pula ia harus mandi dan mengganti baju karena terkena air seni anaknya.
Namun tidak pernah terbesitkan difikiran orangtua, untuk menitip anaknya.

Begitu juga dengan kondisi orangtua yang sering meminta uang dari anaknya. Terkadang,
kondisi anak yang sudah berumah tangga membuatnya tidak bisa memberikan uang dengan
bebas. Ada kontrol istri atau suami yang tak jarang membatasi untuk memberikan yang terbaik.
Lebih buruknya, sering kali pemberian itu dikait-kaitkan dengan ketakutan bahwa orangtua
memporoti harta pasangannya. Dalam hadis dijelaskan;

“Ya Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki harta dan anak, namun ayahku ingin
mengambil habis hartaku.” Rasulullah Saw bersabda: “Engkau dan semua hartamu adalah
milik ayahmu.” (HR. Ibnu Majah).

Hadis di atas menunjukkan bahwa seorang anak mesti berupaya memberikan yang
terbaik sesuai kemampuannya. Minimal ia berupaya untuk memenuhinya. Tidak boleh seorang
anak tutup mata (cuek) dengan permintaan orangtua apalagi ia memiliki kemampuan untuk
membantunya. Dalam Islam, bahkan juga dibenarkan jika orangtua meminta atau memakan harta
dari anaknya. Nabi bersabda; “Anak seseorang itu termasuk jerih payah orang tersebut, bahkan
termasuk jerih payahnya yang paling bernilai. Maka makanlah sebagian harta anak.” (HR. Abu
Daud)

Membesarkan Anak dengan Ilmu

Meskipun berstatus sebagai daerah syariat Islam, fenomena ‘durhaka era modern’ juga
terjadi di Aceh. Sebagaimana diketahui, seorang anak tega menggugat ibu kandungnya gara-gara
harta warisan di Kota Takengon, Kabupaten Aceh Tengah (serambinews, 20/11/2021). Ini adalah
satu dari sekian banyak kejadian yang mungkin terekam dan tertangkap kamera. Berapa banyak
kasus lain yang mungkin ditutupi atau dibiarkan begitu saja.

Kasus anak yang tidak memperdulikan ibunya saat sakit misalnya, anak yang saling
menolak untuk merawat ibunya yang sudah tua, anak yang malas mengabari ibunya karena sibuk
tugas, dan masih banyak lagi. Tanpa disadari, fenomena semacam itu ada di sekitar dan
sekeliling kita. Ini menunjukkan, bahwa ‘durhaka era modern’ seringkali tidak disadari oleh
pelakunya. Mereka menganggap itu adalah hal yang lumrah dengan alasan sibuk atau masalah
ekonomi. Kejadian-kejadian seperti ini tentu harus disikapi dan diantisipasi sejak dini. Jangan
sampai, kejadian serupa terjadi pada keluarga, atau lebih buruknya kitalah pelakunya.

Salah satu upaya untuk mencegahnya, adalah membesarkan anak dengan ilmu.
Memberikannya ilmu yang cukup serta mengajarkannya tentang praktek berkasih sayang.
Sebagai contoh, bawakan anak menjumpai anak-anak yatim yang fakir. Ajak anak untuk makan
bersama dan berbagi cerita dengannya. Dengan begitu, anak akan merasakan betapa sulitnya
hidup sebagai yatim. Secara tidak langsung, ia akan bersyukur memiliki orangtua. Ia akan
memahami, betapa berjasanya orangtua bagi dirinya.

Masalah selanjutnya adalah ‘harta’. Orangtua dengan bamyak harta terkadang malah jadi
sumber masalah saat sudah meninggal dunia. Harta yang seharusnya menjadi kebaikan untuk
ahli waris, justeru sering kali menjadi sumber azab orangtua di alam kubur. Sebagai contoh,
tidak mungkin terjadi gugatan terhadap orangtua bila tidak ada harta yang diperebutkan. Maka
dari itu, cerdas-cerdaslah orangtua dalam meninggalkan hartanya. Bila ada sebuah pilihan, mana
yang lebih baik meninggalkan harta untuk anak, atau menghabiskan harta itu untuk
menyekolahkannya? Tentu saja ‘menyekolahkan anak’ jauh lebih utama. Menyekolahkan disini
adalah bentuk dari ikhtiar orangtua dalam memberikan ilmu buat anaknya.

Harta yang ditinggalkan, dengan sangat mudah akan digugat. Sementara pendidikan yang
diperoleh, tidak ada anak lain yang meminta itu untuk dipindahkan. Tergantung anak itu sendiri,
sejauh mana ia mau belajar dan sejauh mana ia mau disekolahkan. Seperti kata Syaidina Ali,
harta harus dijaga, sedangkan ilmu justeru menjaga pemiliknya.

M. Anzaikhan, S.Fil.I., M.Ag, Dosen Fakultas Syariah IAIN Langsa dan Founder Pematik
Aceh. Email: m.anzaikhan@iainlangsa.ac.id

Anda mungkin juga menyukai