Kel 2 Anak Thalasemia (Keperawatan Anak II)
Kel 2 Anak Thalasemia (Keperawatan Anak II)
Kelompok 2
Aprilia Sartika Suratman 302018064
Salsa Yustikarani 302018067
Dhoni Moch Insan Maulana 302018068
Majid Nugraha 302018069
Fikri Nurul Padhli 302018071
Chikal Senjadea 302018072
Indah Fitriyani Sahroni 302018073
Aini Novitasari 302018111
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita nikmat yang tiada terhitung
jumlahnya. Tidak lupa shalawat serta salam semoga tercurahkan ke pada Nabi
Muhammad SAW. Khususnya kepada penyusun serta selalu memberikan hidayah
dan inayahnya sehingga penyusun dapat membuat makalah ini dengan penuh rasa
syukur dan dapat mengumpulkan makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah yang penyusun buat ini untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Keperawatan Anak II. Dalam penyusunanya pun penyusun mendapat dukungan
dari staf dosen, teman-teman, referensi buku, dan yang bersangkutan.
Adapun makalah yang penyusun buat belum sepenuhnya sempurna, sehingga
penyusun dengan lapang dada menerima kritik dan saran dari pembaca yang
bersifat membangun sehingga dikemudian hari penyusun dapat membuat makalah
jauh lebih baik dari makalah ini.
Penyusun berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca serta
menjadi inspirasi bagi pembaca. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam
pembuatan makalah ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Talasemia merupakan salah satu penyakit kelainan darah genetik yang cukup
banyak diderita oleh masyarakat di dunia. Indonesia termasuk salah satu negara
dalam sabuk talasemia dunia, artinya negara dengan frekuensi gen (angka pembawa
sifat) talasemia yang tinggi. Saat ini, terdapat lebih dari 10.531 pasien talasemia di
Indonesia, dan diperkirakan 2.500 bayi baru lahir dengan talasemia setiap tahunnya
di Indonesia. Tahun 2016, prevalensi talasemia mayor di Indonesia berdasarkan
data UKK Hematologi Ikatan Dokter Anak Indonesia mencapai jumlah 9.121
orang. Berdasarkan data Yayasan Talasemia Indonesia/Perhimpunan Orang Tua
Penderita (YTI/POPTI) diketahui bahwa penyandang talasemia di Indonesia
mengalami peningkatan dari 4.896 penyandang di tahun 2012 menjadi 9.028
penyandang pada tahun 2018. Angka kejadian pembawa sifat talasemia banyak
terdapat di daerah-daerah seperti Mediterania, Timur Tengah, Asia Tenggara
termasuk Indonesia, dan Cina Selatan. Migrasi penduduk dari daerah-daerah
pembawa sifat tersebut ke daerah lainnya akan menyebabkan peningkatan jumlah
penyandang talasemia dengan pesat. (KEMENKES, 2019)
B. Rumusan Masalah
1
2
C. Tujuan
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Thalasemia berasal dari bahasa Yunani yaitu thalasso yang berarti laut. Pertama
kali ditemukan oleh seorang dokter Thomas B. Cooley tahun 1925 di daerah Laut
Tengah, dijumpai pada anak-anak yang menderita anemia dengan pembesaran
limfa setelah berusia satu tahun. Anemia dinamakan splenic atau eritroblastosis atau
anemia mediteranean atau anemia Cooley sesuai dengan nama penemunya (Ganie,
2005).
Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan
pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk
hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh tidak dapat
membentuk sel darah merah yang normal, sehingga sel darah merah mudah rusak
atau berumur pendek kurang dari 120 hari dan terjadilah anemia (Herdata.N.H.
2008 dan Tamam.M. 2009). Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah merah
yang berfungsi mengangkut zat asam dari paru-paru ke seluruh tubuh, juga
memberi warna merah pada eritrosit. Hemoglobin manusia terdiri dari
persenyawaan hem dan globin. Hem terdiri dari zat besi (Fe) dan globin adalah
suatu protein yang terdiri dari rantai polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal
terdiri dari 2 rantai alfa (α) dan 2 rantai beta (β) yang meliputi HbA (α2β2 = 97%),
sebagian lagi HbA2 (α2δ2 = 2,5%) sisanya HbF (α2ƴ2 = 0,5%).
Talasemia adalah penyakit bawaan dimana sistem tubuh penderitanya tidak
mampu memproduksi hemoglobin yang normal (Pudjilestari, 2003). Sindrom
talasemia merupakan kelompok heterogen kelainan mendelian yang ditandai oleh
defek yang menyebabkan berkurangnya sintesis rantai α- atau β-globin (Mitcheel,
2009).
B. Etiologi
3
4
gen dari kedua orang tuanya menderita thalasemia sedang sampai berat. (Muncie &
Campbell, 2009)
Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta, yang diperlukan
dalam pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat yang
diturunkan. Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari
kedua orang tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya
menjadi pembawa tetapi tidakmenunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini.
Thalasemia digolongkan bedasarkan rantai asam amino yang terkena 2jenis yang
utama adalah:
1. Alfa – Thalasemia (melibatkan rantai alfa)
Alfa – Thalasemia paling sering ditemukan pada orang kulit hitam
(25%minimal membawa 1 gen).
2. Beta – Thalasemia (melibatkan rantai beta)
Beta – Thalasemia pada orang di daerah Mediterania dan Asia Tenggara.
C. Klasifikasi
1. Talasemia minor
Pada talasemia β minor, terdapat sebuah gen globin β yang normal dan sebuah
gen abnormal. Elektroforesis hemoglobin (Hb) normal, tetapi hemoglobin A2
(hemoglobin radimeter yang tidak diketahui fungsinya) meningkat dari 2%
menjadi 4-6%.
Pada talasemia α minor, elektroforesis Hb dan kadar HbA2 normal. Dianosis
ditegakkan dengan menyingkirkan talasemia β minor dan defisiensi besi.
Kedua keadaan minor ini mengalami anemia ringan (Hb 10.0-12.0 g/dL dan
MCV = 65-70 fL). Pasangan dari orang-orang dengan talasemia minor harus
diperiksa. Karena kerier minor pada kedua pasangan dapat menghasilkan
keturunan dengan talasemia mayor.
2. Talasemia mayor
Talasemia mayor adalah penyakit yang mengancam jiwa. Talasemia mayor β
disebabkan oleh mutasi titik (kadang-kadang delesi) pada kedua gen globin β,
menyebabkan terjadinya anemia simtomatik pada usia 6-12 bulan, seiring
dengan turunnya kadar hemoglobin fetal. Anak-anak yang tidak diterapi
memiliki postur tubuh yang kurus, mengalami penebalan tulang tengkorak,
5
splenomegali, ulkus pada kaki, dan gambaran patognomonik „hair on end‟ pada
foto tengkorak. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan anemia mikrositik
berat, terdapat sel terget dan sel darah merah berinti pada darah perifer, dan titik
terdapat HbA. Transfusi darah, untuk mempertahankan kadar hemoglobin
normal dan menekan produksi sel darah merah Kadar hemoglobin normal dan
menekan produksi sel darah merah abnormal, akan menghasilkan perkembangan
fisik yang normal. Kelebihan besi karena seringnya transfusi menyebabkan
kecacatan serius dan kematian pada usia 25 tahun, kecuali bila dicegah dengan
menggunakan desferioksamin. Kebanyakan pasien talasemia yang diterapi
dengan baik bertahan sampai usia 30 dan 40 tahun. Tranplantasi sumsum tulang
depat dipertimbangkan jika ditemukan donor saudara kandung yang cocok.
Talasemia α mayor hydrops fetalis) sering kali berakhir dengan kematian
intauterin dan disebabkan oleh delesi keempat gen globin α. Kadang-kadang,
diagnosis ditegakkan lebih awal, jika transfusi darah intrauterin dapat
menyelamatkan hidup. Transfusi seumur hidup penting seperti pada talasemia β.
3. Talasemia intermedia
Tingkat keparahan dari talasemia berada diantara talasemia minor dan
talasemia mayor. Beberapa kelainan genetik yang berada mendasari keadaan ini.
Yang paling sering adalah talasemia β homozigot di mana satu atau kedua gen
masih memproduksi sejumlah kecil HbA. Delesi pada tiga dari empat gen globin
α (penyakit HbH) menyebabkan gambaran serupa, dengan anemia yang agak
berat sekitar 7-9 s/dL dan splenomegali. Secara definisi, penderita talasemia
intermedia tidak tergantung kepada transfusi. Splenektomi dapat dilakukan
untuk mengurangi anemia (Patrick, 2005).
Anak-anak yang menderita thalasemia akan tumbuh lebih lambat dan mencapai
masa pubertas lebih lambat dibandingkan anak lainnya yang normal.
Gejala Klinis Thalasemia mayor, gejala klinik telah terlihat sejak anak baru
berumur kurang dari 1 tahun, yaitu:
1. Jaundice
2. Splenomegali
3. Tulang frontal menonjol
4. Berat badan kurang
5. Tidak dapat hidup tanpa transfuse
1. Gizi buruk
a. Perut buncit karena pembesaran limpa dan hati yang mudah diraba
b. Aktivitas tidak aktif karena pembesaran limpa dan hati
(Hepatomegali ), Limpa yang besar ini mudah ruptur karena trauma ringan
saja.
2. Gejala khas adalah:
a. Bentuk muka mongoloid yaitu hidung pesek, tanpa pangkal hidung, jarak
antara kedua mata lebar dan tulang dahi juga lebar.
b. Keadaan kuning pucat pada kulit, jika sering ditransfusi, kulitnya menjadi
kelabu.
E. Patofisiologi
Konsekuensi berkurangnya sintesis salah satu rantai globin berasal dari kadar
hemoglobin intrasel yang rendah (hipokromia) maupun kelebihan relatif rantai
lainnya.
1. Talasemia-β:
Dengan berkurangnya sintesis β-globin, rantai tak terikat yang berlebihan
akan membentuk agregat yang sangat tidak stabil dan terjadi karena kerusakan
membran sel; selanjutnya, prekursor sel darah merah dihancurkan dalam
sumsum tulang (eritropoiesis yang tidak efektif) dan sel-sel darah merah yang
7
abnormal dihilangkan oleh fagosit dalam limpa (hemolisis). Anemia yang berat
menyebabkan ekspansi kompensatorik sumsum eritropoietik yang akhirnya akan
mengenai tulang kortikal dan menyebabkan kelainan skeletal pada anak-anak
yang sedang tumbuh. Eritropoiesis yang tidak efektif juga disertai dengan
absorpsi besi yang berlebihan dari makanan; bersama dengan transfusi darah
yang dilakukan berkali-kali, absorpsi besi yang berlebihan ini akan
menimbulkan kelebihan muatan besi yang berat.
2. Talasemia-alfa
Disebabkan oleh ketidakseimbangan pada sintesis rantai alfa dan non-alfa
(rantai alfa pada bayi; rantai alfa setelah bayi berusia 6 bulan). Rantai alfa yang
bebas akan membentuk tetramer ini akan merusak sel-sel darah merah serta
prekursornya. Rantai alfa yang bebas akan membentuk tetramer yang stabil
(HbBars) dan tetramer ini mengikat oksigen dengan kekuatan (aviditas) yang
berlebihan sehingga terjadi hipoksia jaringan (Mitcheel, 2009).
F. Komplikasi
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Tranfusi darah
yang berulang ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah
sangat tinggi, sehingga di timbun dalam berbagai jarigan tubuh seperti hepar, limpa,
kulit, jantung dan lain lain. Hal ini menyebabkan gangguan fungsi alat tersebut
(hemokromatosis). Limpa yang besar mudah ruptur akibat trauma ringan. Kadang
kadang thalasemia disertai tanda hiperspleenisme seperti leukopenia dan
trompositopenia. Kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung.
Hepatitis pasca transfusi biasa dijumpai, apalagi bila darah transfusi telah
diperiksa terlebih dahulu terhadap HBsAg. Hemosiderosis mengakibatkan sirosis
hepatis, diabetesmelitus dan jantung. Pigmentasi kulit meningkat apabila ada
hemosiderosis, karena peningkatan deposisi melanin.
G. Penatalaksanaan
Obat pengkhelasi besi per oral yang efektif, deferipron, telah dibuktikan
efektif serupa dengan deferoksamin. Terapi hipertransfusi mencegah
splenomegali masif yang di sebabkan oleh eritropoesis ekstra medular. Namun
splenektomi akhirnya di perlukan karena ukuran organ tersebut atau karena
hipersplenisme sekunder. Splenektomi meningkatkan resiko sepsis yang parah
sekali, oleh karena itu operasi harus dilakukan hanya untuk indikasi yang jelas
dan harus di tunda selama mungkin. Indikasi terpenting untuk splenektomi
adalah meningkatkan kebutuhan transfusi yang menunjukkan unsur
hipersplenisme. Kebutuhan transfusi melebihi 240 ml/kg PRC/tahun biasanya
merupakan bukti hipersplenisme dan merupakan indikasi untuk
mempertimbangkan splenektomi. Imunisasi pada penderita ini dengan vaksin
hepatitis B, vaksin Hinfluensa tipe B, dan vaksin polisakarida pneumokokus
diharapakan, dan terapi profilaksis penisilin juga dianjurkan. Cangkok sumsum
tulang (CST) adalah kuratif pada penderita ini dan telah terbukti keberhasilan
yang meningkat, meskipun pada penderita yang telah menerima transfusi sangat
banyak. Prosedur ini membawa resiko morbiditas dan mortalitas dan biasanya
hanya di gunakan untuk penderita yang mempunyai saudara kandung yang sehat
(yang tidak terkena) yang histokompatibel.
H. Pemeriksaan penunjang
ASUSAHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Asal keturunan/kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa disekitar laut tengah (mediterania).
Seperti turki, yunani, Cyprus, dll. Di Indonesia sendiri, thalassemia cukup
banyak dijumpai pada anak, bahkan merupakan penyakit darah yang paling
banyak diderita.
2. Umur
Pada thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala tersebut telah
terlihat sejak anak berumur kurang dari 1 tahun. Sedangkan pada thalasemia
minor yang gejalanya lebih ringan, biasanya anak baru datang berobat pada umur
sekitar 4 – 6 tahun.
3. Riwayat kesehatan anak
Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran napas bagian atas infeksi
lainnya. Hal ini mudah dimengerti karena rendahnya Hb yang berfungsi sebagai
alat transport.
4. Pertumbuhan dan perkembangan
Sering didapatkan data mengenai adanya kecenderungan gangguan terhadap
tumbuh kembang sejak anak masih bayi, karena adanya pengaruh hipoksia
jaringan yang bersifat kronik. Hal ini terjadi terutama untuk thalassemia mayor.
Pertumbuhan fisik anak adalah kecil untuk umurnya dan ada keterlambatan
dalam kematangan seksual, seperti tidak ada pertumbuhan rambut pubis dan
ketiak. Kecerdasan anak juga dapat mengalami penurunan. Namun pada jenis
thalasemia minor sering terlihat pertumbuhan dan perkembangan anak normal.
5. Pola makan
Karena adanya anoreksia, anak sering mengalami susah makan, sehingga
berat badan anak sangat rendah dan tidak sesuai dengan usianya.
6. Pola aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak usianya. Anak banyak tidur /
istirahat, karena bila beraktivitas seperti anak normal mudah merasa lelah.
12
13
7. Riwayat kesehatan
Keluarga Karena merupakan penyakit keturunan, maka perlu dikaji apakah
orang tua yang menderita thalassemia. Apabila kedua orang tua menderita
thalassemia, maka anaknya berisiko menderita thalassemia mayor. Oleh karena
itu, konseling pranikah sebenarnya perlu dilakukan karena berfungsi untuk
mengetahui adanya penyakit yang mungkin disebabkan karena keturunan.
8. Riwayat ibu saat hamil (Ante Natal Core – ANC)
Selama Masa Kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam adanya
faktor risiko thalassemia. Sering orang tua merasa bahwa dirinya sehat. Apabila
diduga faktor resiko, maka ibu perlu diberitahukan mengenai risiko yang
mungkin dialami oleh anaknya nanti setelah lahir. Untuk memestikan diagnosis,
maka ibu segera dirujuk ke dokter.
9. Data keadaan fisik
Anak thalassemia yang sering didapatkan diantaranya adalah:
a. Keadaan umum Anak biasanya terlihat lemah dan kurang bergairah serta
tidak selincah aanak seusianya yang normal.
b. Kepala dan bentuk muka Anak yang belum/tidak mendapatkan
pengobatan mempunyai bentuk khas, yaitu kepala membesar dan bentuk
mukanya adalah mongoloid, yaitu hidung pesek tanpa pangkal hidung,
jarak kedua mata lebar, dan tulang dahi terlihat lebar.
c. Mata dan konjungtiva terlihat pucat kekuningan
d. Mulut dan bibir terlihat pucat kehitaman
e. Dada Pada inspeksi terlihat bahwa dada sebelah kiri menonjol akibat
adanya pembesaran jantung yang disebabkan oleh anemia kronik
f. Perut Kelihatan membuncit dan pada perabaan terdapat pembesaran limpa
dan hati (hepatosplemagali). Pertumbuhan fisiknya terlalu kecil untuk
umurnya dan BB nya kurang dari normal. Ukuran fisik anak terlihat lebih
kecil bila dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya.
g. Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas Ada
keterlambatan kematangan seksual, misalnya, tidak adanya pertumbuhan
rambut pada ketiak, pubis, atau kumis. Bahkan mungkin anak tidak dapat
mencapai tahap adolesense karena adanya anemia kronik.
14
h. Kulit Warna kulit pucat kekuning- kuningan. Jika anak telah sering
mendapat transfusi darah, maka warna kulit menjadi kelabu seperti besi
akibat adanya penimbunan zat besi dalam jaringan kulit (hemosiderosis)
B. Diagnosa Keperawatan
C. Intervensi
Intervensi:
a. Awasi tanda-tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit/ membran
mukosa, dasar kuku.
b. Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi (kontra indikasi pada pasien
dengan hipotensi).
c. Selidiki keluhan nyeri dada, palpitasi.
d. Kaji respon verbal melambat, mudah terangsang, agitasi, gangguan
memori, bingung.
e. Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan, dan tubuh hangat
sesuai indikasi.
f. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium, Hb, Hmt, AGD, dll.
g. Kolaborasi dalam pemberian transfusi.
h. Awasi ketat untuk terjadinya komplikasi transfusi.
2. Dx: Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai O2 dan kebutuhan.
Kriteria hasil:
Menunjukkan penurunan tanda fisiologis intoleransi, misalnya nadi,
pernapasan dan Tb masih dalam rentang normal pasien.
Intervensi:
a. Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas, catat kelelahan dan
kesulitan dalam beraktivitas.
b. Awasi tanda-tanda vital selama dan sesudah aktivitas.
c. Catat respin terhadap tingkat aktivitas.
d. Berikan lingkungan yang tenang.
e. Pertahankan tirah baring jika diindikasikan.
f. Ubah posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing.
g. Prioritaskan jadwal asuhan keperawatan untuk meningkatkan istirahat.
h. Pilih periode istirahat dengan periode aktivitas.
i. Beri bantuan dalam beraktivitas bila diperlukan.
j. Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien, tingkatkan aktivitas sesuai
toleransi.
k. Gerakan teknik penghematan energi, misalnya mandi dengan duduk.
16
PENUTUP
A. Kesimpulan
Thalasemia berasal dari bahasa Yunani yaitu thalasso yang berarti laut.
Pertama kali ditemukan oleh seorang dokter Thomas B. Cooley tahun 1925 di
daerah Laut Tengah, dijumpai pada anak-anak yang menderita anemia dengan
pembesaran limfa setelah berusia satu tahun. Thalasemia adalah suatu penyakit
keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan pembentukan salah satu dari empat
rantai asam amino yang membentuk hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak
terbentuk sempurna. Semua thalasemia memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya
bervariasi. Sebagian besar penderita mengalami anemia yang ringan. Pada bentuk
yang lebih berat, misalnya beta-thalasemia mayor, bisa terjadi sakit kuning
(jaundice), luka terbuka di kulit (ulkus, borok), batu empedu dan pembesaran limpa.
Sumsum tulang yang terlalu aktif bisa menyebabkan penebalandan pembesaran
tulang, terutama tulang kepala dan wajah. Tulang-tulang panjang menjadi lemah
dan mudah patah. Anak-anak yang menderita thalasemia akan tumbuh lebih lambat
dan mencapai masa pubertas lebih lambat dibandingkan anak lainnya yang normal.
18
DAFTAR PUSTAKA
19