Prosiding STPK 2015
Prosiding STPK 2015
PROSIDING
SEMINAR TEKNOLOGI PULP DAN KERTAS 2015
Golden Flower Hotel, Bandung, 10 November 2015
Pengarah : Ir. Andoyo Sugiharto, M.Sc.
Penanggungjawab : Ir. Lies Indriati
DEWAN PENYUNTING
Ketua : Dr. Hendro Risdianto, S.T., M.T.
(Balai Besar Pulp dan Kertas – Bandung)
KATA PENGANTAR
Seminar Teknologi Pulp dan Kertas (STPK) adalah seminar tahunan Balai Besar Pulp dan Kertas
(BBPK), yang selain sebagai wahana diseminasi hasil penelitian BBPK, juga merupakan sarana
pertemuan berbagai pemangku kepentingan industri pulp dan kertas Indonesia seperti industri, pemasok,
konsultan, peneliti, akademisi, praktisi, dan sebagainya. Seminar Teknologi Pulp dan Kertas 2015 kali ini
mengusung tema “Peran Litbang dalam mewujudkan Industri Hijau di IPK” yang merupakan tema
penting berkaitan dengan perkembangan teknologi di bidang pulp dan kertas. Oleh karena itu, makalah
yang disajikan baik oral maupun poster berkaitan erat dengan perkembangan teknologi tersebut.
Makalah yang disajikan dalam Prosiding ini telah melalui penyuntingan oleh Dewan Penyunting dan
disempurnakan sehingga sesuai dengan kaidah karya tulis ilmiah yang sudah baku. Dalam prosiding
ini dilampirkan daftar peserta seminar yang meliputi seluruh pemangku kepentingan industri pulp dan
kertas Indonesia, serta catatan dinamika pembahasan makalah selama seminar, berupa tanya jawab antar
pemakalah dan peserta.
Semoga bermanfaat.
DEWAN PENYUNTING
DAFTAR ISI
1. Pemanfaatan Plastik Limbah Rejek Industri Kertas Untuk Bahan Bakar .........................................1
Yusup Setiawan, Sri Purwati, Aep Surachman, Reza Bastari I.W., Kristaufan Joko Pramono
4. Pemanfatan Tandan Kosong Kelapa Sawit, Batang Pisang, dan Sludge Industri Pulp/Kertas
Sebagai Serat Alternatif untuk Pembuatan Karton ..........................................................................29
Dian Anggraini Indrawan, Rossi Margareth Tampubolon, Han Roliadi, Gustan Pari
5. Pengaruh Lama Inkubasi Phanerochaete Cchrysosporium Terhadap Kualitas Kayu Terentang ....39
Yeni Aprianis, Denny Irawati, Sri Nugroho Marsoem
6. Perlakuan Awal Lumpur Biologi dengan Proses Termo-Alkali Dan Sonikasi ................................47
Saepulloh, Rina S. Soetopo, Krisna Septiningrum
8. Pelet Pupuk Organik dari Lumpur Anaerobik Hasil Digestasi Anaerobik Limbah Lumpur
Biologi Industri Kertas ....................................................................................................................65
Rina.S.Soetopo, Sri Purwati, Yusup Setiawan, Mukharomah Nur Aini, Aep Surachman,
PrimaBesthyAsthary, Saepulloh
9. Komposit dari Serat dan Pulp Bambu Tali (G. apus) untuk Papan Serat .......................................71
Theresia Mutia, Susi Sugesty, Hendro Risdianto,Teddy Kardiansyah
10. Pengolahan Bahan Filler Menggunakan Polimer untuk Meningkatkan Mutu Produk Kertas ........81
Ike Rostika, Sonny Kurnia Wirawan, Nina Elyani
LAMPIRAN
Yusup Setiawan, Sri Purwati, Aep Surachman, Reza Bastari I.W., Kristaufan Joko Pramono
Balai Besar Pulp dan Kertas
Jalan Raya Dayeuh Kolot No. 132 Bandung
Telp. 022-5202980, Fax. 022-5202871
ABSTRACT
Reject waste from pulping process of waste paper is mostly consisted of pieces of plastic and fiber
bundles. Reject waste has a calorific value of around 5,000 calories / gram which can be used as fuel.
In order to increase calorific value, reject waste plastics must be separated from the fiber. Separation
process of reject waste plastics the fiber content was done through the shredding process of wet reject
waste using shredding machine. Wet shredded reject resulted was inserted into the bag filter to separate
the plastics and fibers. Retained reject waste plastic in filter bags was dried with centrifuge machines.
Dried chopped was hereafter made plastic pellets using pellet machine. Reject waste plastic pellets
produced has diameter of 10 mm and a length of about 10 - 15 mm. Reject waste plastic pellets and
coal were analyzed for proximate analysis (moisture, ash, volatile matter content and fixed carbon). In
addition, it was also tested for calorific value, sulfur, ash mineral contents and ash fusion temperature
(AFT). Results showed that reject waste plastic pellets have a high calorific value (7,500 - 8,700 calories
/ gram) and low sulfur content (0.14 to 0.17%). Reject waste plastic pellets can potentially be used as
fuel for boilers operated at a temperature of 900oC without causing slagging and fouling problems in
the boiler. Advantages utilization of reject waste plastic pellets as a fuel is that it can reduce the use of
coal as boilers fuel and it can reduce the cost of reject waste handling.
ABSTRAK
Limbah rejek dari proses pembuburan kertas bekas sebagian besar terdiri dari potongan plastik
dan bundel serat. Limbah rejek tersebut memiliki nilai kalor sekitar 5.000 kalori/gram yang dapat
digunakan sebagai bahan bakar. Agar nilai kalornya meningkat, plastik limbah rejek harus dipisahkan
dari kandungan serat. Percobaan pemisahan plastik limbah rejek dari kandungan seratnya dilakukan
melalui proses pencacahan limbah rejek secara basah dengan mesin pencacah. Hasil cacahan rejek basah
dimasukan ke dalam kantong penyaring untuk memisahkan plastik dan serat. Plastik limbah rejek yang
tertahan dalam kantong saring dikeringkan dengan mesin sentrifuge. Cacahan plastik kering selanjutnya
dibuat pelet menggunakan mesin pelet. Pelet plastik limbah rejek yang dihasilkan berdiameter 10 mm
dengan panjang sekitar 10 – 15 mm. Pelet plastik limbah rejek dan batubara dianalisa proksimat (kadar
air, kadar abu, kadar zat terbang (Volatile Matter) dan karbon padat (Fixed Carbon)). Selain itu diuji
juga nilai kalor, kadar sulfur, kadar mineral abu dan ash fusion temperature (AFT). Hasil menunjukkan
bahwa pelet plastik limbah rejek memiliki nilai kalor tinggi (7.500 – 8.700 kalori/gram) dan kadar sulfur
rendah (0,14 – 0,17%). Pelet plastik limbah rejek berpotensi dapat digunakan sebagai bahan bakar boiler
yang dioperasikan pada suhu 900oC tanpa menyebabkan terjadinya slagging dan fouling dalam boiler.
Keuntungan pemanfaatan pelet plastik limbah rejek sebagai bahan bakar adalah dapat mengurangi
pemakaian batubara sebagai bahan bakar boiler dan dapat mengurangi biaya penanganan limbah rejek.
b). Pembuatan pelet plastik limbah rejek massa pemisahan komponen plastik dan serat
limbah rejek ditunjukkan pada Tabel 1.
Cacahan plastik limbah rejek kering (H2O
< 10 %) selanjutnya dibuat pelet menggunakan Tabel 1. Persentase Serat Limbah Rejek yang
mesin pelet yang mempunyai ukuran lubang Dihasilkan
cetakan pelet berdiameter 10 mm. Pelet plastik
yang dihasilkan berdiameter 10 mm dengan Rendemen
panjang 10 – 15 mm. No Bahan
(%w/w)
1 Serat limbah Rejek 14,92
Analisa/Pengujian Bahan dan Produk
2 Plastik limbah Rejek 85,08
Analisa bahan dan produk mengacu kepada
analisa batubara menggunakan metoda uji ASTM, Tabel 1 menunjukkan bahwa banyaknya
gravimetri dan AAS untuk analisa proksimat yang komponen serat dan plastik limbah rejek yang
terdiri atas kadar air lembab, kadar abu, kadar zat dapat dipisahkan dari limbah rejek masing-
terbang (Volatile Matter) dan karbon padat (Fixed masing adalah sebesar 14,92% dan 85,08%. Dari
Carbon). Selain itu, nilai kalor, kadar sulfur, hasil pengamatan, nampaknya komponen plastik
kadar mineral abu, dan suhu fusi abu (Ash Fusion yang dihasilkan tidak 100% plastik tetapi masih
Temperature/AFT) diuji juga. Pengujian semua mengandung serat halus yang masih menempel
parameter tersebut dilakukan di laboratorium PT. terikat pada permukaan plastik. Dari hasil
Tekmira Bandung. perhitungan neraca massa ini, bila plastik limbah
rejek ini dibuat pelet dan pelet plastik limbah
HASIL DAN PEMBAHASAN rejek digunakan sebagai substitusi batubara bahan
bakar boiler, industri kertas bisa menghemat
a). Proses pemisahan plastik dan serat limbah biaya pemakaian batubara sebesar 85,08% x (5 –
rejek 10%) = 4,25 – 8,50 % per hari.
Tahap awal pemisahan serat dan plastik b). Pembuatan pelet plastik limbah rejek industri
limbah rejek adalah proses pencacahan kertas
limbah rejek dengan mesin pencacah secara
basah menggunakan air sebagai media untuk Tahap awal pembuatan pelet adalah
memudahkan pemisahannya. Slurry cacahan memasukan cacahan plastik limbah rejek ke
rejek selanjutnya dipisahkan antara komponen dalam umpan mesin pelet. Didalam mesin pelet
serat dan plastiknya menggunakan saringan kain bahan ditekan oleh roller logam berputar supaya
dan logam. Komponen plastik tertahan didalam masuk ke dalam plat cetakan yang berlubang
saring dan komponen serat lolos saringan masih banyak dimana masing-masing lubang memiliki
dalam bentuk slurry. Hasil perhitungan neraca diameter lubang sekitar 10 mm. Bahan ditekan
masuk ke dalam lubang cetakan sehingga abu pelet plastik limbah rejek dari 3 industri
membentuk pelet. Dibagian bawah mesin pelet kertas yaitu sekitar 6,70 – 9,14% lebih rendah
dilengkapi dengan pisau pemotong pelet untuk dari kadar abu batubara yang digunakan sebagai
memotong pelet dengan panjang sekitar 15 mm. pembanding (12,94%). Kadar zat terbang dari
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa selama batubara sekitar 37,89% jauh lebih rendah dari
pembuatan pelet dalam mesin pelet timbul panas pelet plastik limbah rejek. Pelet plastik limbah
dan suhu di dalam mesin pelet sampai 80 - 90oC. rejek memiliki kadar zat terbang pada kisaran
Hal ini dapat menyebabkan pelunakan plastik yaitu 84,32 – 86,32%. Kadar karbon padat dari
yang dapat membentuk rekatan antar cacahan pelet plastik limbah rejek dari 3 industri kertas
plastik sehingga dihasilkan pelet plastik limbah tersebut semuanya dibawah kadar karbon padat
rejek yang kompak dan tidak mudah pecah. batubara yang besarnya 38,48%. Kadar parameter
Percobaan pembuatan pelet plastik limbah rejek karbon padat dan kadar zat terbang bahan
telah dilakukan pada skala prototipe menunjukkan bakar sangat berpengaruh sekali terhadap sifat
bahwa pembuatan pelet dengan kadar air pengapian pada saat pembakaran bahan bakar
bahan < 15% dapat menghasilkan pelet plastik dan terhadap banyaknya jumlah karbon yang
limbah rejek yang kompak tidak mudah pecah terbakar (Tekmira, 2006; Budiraharjo, 2009).
kembali. Keuntungan pembuatan pelet plastik Perbandingan kadar karbon padat terhadap kadar
limbah rejek sebagai bahan bakar antara lain zat terbang disebut dengan rasio bahan bakar
memudahkan penyimpanan dan pengangkutan, (kadar karbon padat/kadar zat terbang). Bila rasio
ukurannya seragam, kandungan debunya rendah, bahan bakar nilainya < 1,2 akan menghasilkan
kepadatannya lebih tinggi dari bahan mentahnya, pengapian pembakaran bahan bakar yang bagus
dan memudahkan pengumpanan ke dalam boiler. dengan kecepatan pembakaran yang meningkat.
Sebaliknya bila rasio bahan bakar > 1,2 akan
c). Karakterisasi potensi pelet plastik limbah menyebabkan banyak karbon yang tidak terbakar.
rejek industri kertas sebagai bahan bakar Rasio bahan bakar semua pelet yang terbuat
boiler dari pelet plastik limbah rejek dan batubara
nilainya < 1,2. Hal ini menunjukkan pada proses
• Analisa proksimat, nilai kalor dan kadar pembakaran bahan bakar pengapiannya akan
sulfur bagus. Bila dibandingkan rasio bahan bakar dari
pelet plastik limbah rejek nilainya lebih kecil
Hasil analisa proksimat, nilai kalor dan daripada batubara. Hal ini akan menyebabkan
kadar sulfur dari pelet plastik limbah rejek dan bahwa sifat pengapian dan kecepatan proses
batubara ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 pembakarannya akan lebih bagus dan lebih cepat
memperlihatkan bahwa kadar air batubara jauh daripada batubara. Penambahan pelet plastik
lebih besar dari kadar air pelet dari pelet plastik limbah rejek ke dalam batubara akan sangat
limbah rejek. Batubara memiliki kadar abu yang berguna sekali terutama pada saat pembakaran
paling tinggi yaitu 10,69%. Sedangkan kadar awal dari batubara untuk menghidupkan boiler
yaitu penyalaan batubara akan lebih cepat dan mengevaluasi bahan bakar terhadap potensi
singkat (Tekmira, 2006; Budiraharjo, 2009). terjadinya proses slagging dan fouling di dalam
Hasil analisa nilai kalor menunjukkan bahwa boiler pada saat proses pembakaran. Seperti
nilai kalor pelet plastik limbah rejek dari 3 diketahui bahwa slagging dan fouling adalah
industri kertas berkisar antara 7.502 - 8.730 fenomena menempel dan menumpuknya abu
cal/gr jauh lebih tinggi dari nilai kalor batubara bahan bakar yang melebur pada pipa penghantar
(5.240 cal/gr) yang digunakan sebagai bahan panas (heat exchanger tube) ataupun dinding
bakar boiler di industri kertas. Sedangkan hasil boiler (Hare et al., 2010). Kedua fenomena ini
analisa kadar sulfur menunjukkan bahwa kadar sangat serius yang dapat memberikan dampak
sulfur pelet plastik limbah rejek dari 3 industri besar pada operasional boiler, seperti masalah
kertas berkisar antara 0,14 – 0,17% jauh lebih penghantaran panas, penurunan efisiensi boiler,
rendah dari kadar sulfur batubara (0,80%) yang dan tersumbatnya pipa. Fenomena menempelnya
digunakan sebagai bahan bakar boiler di industri abu ini terutama dipengaruhi oleh kandungan
kertas. Penggunaan pelet plastik limbah rejek mineral abu diantaranya Na2O, K2O, Fe2O3 dan
sebagai substitusi batubara bahan bakar boiler CaO dan suhu fusi abu (ash fusion temperature,
berpotensi menurunkan kadar SO2 emisi boiler. AFT). Adanya senyawa Na2O dan K2O dalam
abu akan membentuk senyawa dengan titik lebur
• Kadar mineral abu dan suhu pelelehan abu rendah bila berikatan dengan unsur yang lain.
(AFT) Meningkatnya kecenderungan slagging juga
akan diikuti oleh meningkatnya kecenderungan
Hasil analisa kadar mineral abu pelet plastik fouling, sesuai dengan kadar alkali dalam abu.
limbah rejek dan batubara ditunjukkan pada Standar kualitas batubara yang digunakan di
Tabel 3. Dari Table 3 terlihat bahwa batubara Jepang dan pembuat boiler baik di Eropa dan
yang digunakan pada boiler di industri kertas Amerika mempersyaratkan kadar Na2O <
sebagai pembanding mengandung kadar Na2O 3%, kadar total alkali (Na2O dan K2O) < 3%,
= 0,97%, kadar total alkali (Na2O dan K2O) = kadar CaO < 20%, dan kadar Fe2O3 kadarnya
2,59%, kadar CaO = 2,25%, dan kadar Fe2O3 = harus < 15% (Roderick, 1990; Tshifhiwa, 2008;
8,01% dan pelet yang terbuat dari plastik limbah Parthiban, 2011; Hiltunen et al., 2010).
rejek dari 3 industri kertas memiliki kadar Na2O Secara keseluruhan, kadar mineral dari pelet
= 0,070 – 0,95%, total alkali (Na2O dan K2O) = plastik limbah rejek industri kertas semuanya
0,11 – 1,50%, CaO = 0,70 – 7,95%, dan Fe2O3 = berada dibawah kadar mineral abu standar
0 – 6,98%. Bila dibandingkan kadar mineral abu batubara. Hal ini menunjukkan bahwa pelet
batubara dan pelet plastik limbah rejek dari ke plastik limbah rejek berpotensi bisa digunakan
3 industri kertas, pada umumnya kadar mineral sebagai substitusi batubara bahan bakar boiler
pelet plastiknya lebih rendah daripada batubara, tanpa menyebabkan terjadinya fenomena
kecuali untuk kadar mineral abu untuk mineral slagging dan fouling di boiler pada saat proses
CaO dan Al2O3 pelet plastik NI. Kadar mineral pembakaran (Roderick, 1990; Parthiban, 2011;
abu dari bahan bakar sangat berguna sekali untuk Hiltunen et al., 2010; Hare et al., 2010).
Tabel 3. Kadar Mineral Abu Pelet Plastik Limbah Rejek dan Batubara
1 Pelet plastik CP 0,36 2,80 0,30 0,25 0,06 1,65 1,40 0,13
2 P elet plastik NI 6,98 7,95 1,08 0,95 0,55 43,28 30,60 -
Selain dari data mineral abu, potensi terjadinya deformasi awal (DT) dan suhu pelunakan (ST)
slagging dan fouling, diprediksi dari hasil pelet plastik limbah rejek dari 3 industri kertas
pengujian AFT. Pada pengujian AFT dilakukan masih diatas suhu operasi boiler di industri kertas.
pengujian suhu deformasi awal (DT) yaitu Hal ini berarti bahwa bila pelet plastik limbah
temperatur di mana ujung kerucut abu pertama rejek digunakan sebagai bahan bakar boiler yang
kali melunak. Selanjutnya diamati suhu pelunakan dioperasikan pada suhu 900 – 1.100oC, mineral
(ST) yang dianggap ketika tinggi kerucut sama abu pelet plastik limbah rejek belum sampai
dengan lebar kerucut, suhu hemisphere (HT) terjadi pelunakan sehingga fenomena slagging
yaitu suhu ketika ketinggian kerucut adalah dan fouling belum terjadi dalam boiler (Hare et
setengahnya lebar kerucut, dan suhu aliran al., 2010; Miles et al., 1995; Lu & Do, 1991).
(FT) yaitu suhu ketika ketinggian sampel adalah
sekitar 1,5 mm. Hasil pengujia AFT dari pelet KESIMPULAN
plastik limbah rejek dan batubara ditunjukkan
pada Tabel 4.Tabel 4 memperlihatkan bahwa Komponen utama limbah rejek industri kertas
pada kondisi reduksi suhu deformasi awal (DT) berbahan baku kertas yaitu plastik dan serat
batubara adalah 1.415oC dan suhu pelunakannya dapat dipisahkan melalui proses pencacahan
(ST) pada 1.460oC. Sedangkan untuk pelet plastik dan penyaring. Dengan proses pencacahan dan
limbah rejek dari 3 industri kertas memiliki suhu penyaringan, komponen plastik limbah rejek
deformasi awal (DT) 1.193 – 1.228oC dan suhu yang masih mengandung serat halus sebanyak
pelunakannya (ST) 1.195 – 1.283oC. Dari data 85 % dipisahkan. Pelet plastik limbah rejek
tersebut terlihat bahwa pelet plastik limbah rejek memiliki nilai kalor tinggi, kadar abu, sulfur
dari 3 industri kertas memiliki suhu pelunakan rendah dan kadar mineral abu yang rendah,
(ST) yang cukup tinggi (>1.150oC). Dari hasil serta memiliki suhu pelunakan (ST) yang cukup
survey lapangan dan studi literatur (Miles et al., tinggi (>1.150oC) sehingga berpotensi digunakan
1995; Nichol and Flander, 1994, Samson et al., sebagai substitusi batubara bahan bakar boiler
2000), suhu tungku circulating fluidized bed tanpa menyebabkan slagging dan fouling di dalam
(CFB) boiler dan chain grate boiler pada saat boiler. Pemanfaatan pelet plastik limbah rejek
proses pembakaran di industri kertas umumnya sebagai substitusi batubara bahan bakar boiler
adalah sekitar 900 – 1.100oC. Bila dibandingkan berpotensi bisa menghemat biaya pemakaian
dengan suhu operasi boiler di industri kertas, suhu batubara industri kertas sebesar 4,25 % per hari.
Tabel 4. Suhu Pelelehan Abu dari Pelet Plastik Limbah Rejek dan Batubara
Keterangan :
DT = Deformation Temperature/Suhu Deformasi
• ST = Softening Temperature/Suhu pelunakan
HT = Hemisphere Temperature/Suhu Hemispher
• FT = Flow Temperature/Suhu Alir
b
Graduate School of Life and Environmental Sciences, University of Tsukuba, 1-1-1 Tennodai, Tsukuba, Ibaraki
305-8572, Japan
c
Biological Resources and Post-harvest Division, Japan International Research Center for Agricultural Sciences
(JIRCAS), 1-1 Ohwashi, Tsukuba, Ibaraki 305-8686, Japan
1
krisnabio@gmail.com
ABSTRAK
Selama proses kraft pulping berlangsung, gugus 4-O-methylglucuronic acid yang tersisa pada xilan
berubah menjadi Hexenuronic acid (HexA), yang akan mempengaruhi efisiensi pada proses pemutihan
pulp dan sifat kertas yang diperoleh. Sistem enzim pendegradasi HexA dari Paenibacillus sp. digunakan
untuk menghidrolisis HexA. Untuk mengetahui kemampuan sistem enzim dari dua jenis Paenibacillus
dalam menghidrolisis HexA, enzim intraselular dari P. curdlanolyticus B-6, enzim ekstraselular dan
intraselular dari Paenibacillus sp. strain 07 digunakan untuk menghidrolisis hexenuronosil xilotriosa
(ΔX3), senyawa model untuk HexA. Hasil penelitian menunjukkan HexA dapat dihilangkan dengan
menggunakan dua sistem enzim. Pertama, HexA dapat dihidrolisis oleh α-glucuronidase dan β-xylosidase
intraselular P. curdlanolyticus B-6 yang bekerja secara sinergis. Kedua, ΔX3 dapat dimetabolisme oleh
enzim ekstraseluler yaitu enzim pendegradasi HexA dan β-xylosidase yang dimiliki oleh Paenibacillus
sp. strain 07. α-glucuronidase dan enzim pendegradasi HexA pada enzim intraselular dan ekstraselular
dari jenis Paenibacillus ini diharapkan dapat berkontribusi untuk mengurangi penggunaan bahan kimia
aktif yang digunakan pada proses pemutihan pulp.
ABSTRACT
During kraft pulping, residual 4-O-methylglucuronic acid group of xylan are converted to
Hexenuronic acid (HexA), which have effect on the efficiency in bleaching process and influence on
final pulp properties. HexA degrading enzyme systems from Paenibacillus sp. were used to hydrolyze
HexA. To determine whether enzyme system from two Paenibacillus sp. were able to hydrolyze HexA,
intracellular fraction of P. curdlanolyticus B-6, extracellular and intracellular fraction from Paenibacillus
sp. strain 07 were used to hydrolyzed hexenuronosyl xylotriose (ΔX3), model compound of HexA. Result
showed HexA removal can be achieved using two different enzyme systems. First, HexA could hydrolyze
by synergistic action between intracellular α-glucuronidase and β-xylosidase in P. curdlanolyticus
B-6. Second, metabolism of ΔX3 using extracellular fraction of Paenibacillus sp. strain 07 could be
accomplished using a HexA-liberating enzyme and β-xylosidase. The finding of α-glucuronidase and
HexA degrading enzyme in the intracellular and extracellular fraction of Paenibacillus species hopefully
may contribute to the reduced consumption of active bleaching chemicals during bleaching process.
such as uronic acid also modified. Uronic acid conducted. These chemical treatments have some
(4-O-methylglucuronic acid, MeGlcA) side limitations related with environmental issue such
group on the xylan is partly removed from the as formation of chloro-organic compounds that
backbone. Then residual MeGlcA side groups have harmful environmental effects (Tavast et
that attached to xylan backbone trough α-1,2 al., 2011) and loss of pulp viscosity related with
linkages is converted to 4-deoxy-β-l-threo-hex- ozone treatment (Pouyet et al., 2013). Thus, a
4-enopyranosyluronicacid (hexenuronic acid, HexA-removal method that is highly specific and
HexA) by the β-elimination of the 4-O-methoxyl uses milder treatment conditions is required.
group, after the loss of the hydrogen atom The use of enzymes, called bio-bleaching, has
attached to the fifth position of the glucuronic emerged as a promising choice for implementing
acid residue (Teleman et al., 1996). Occurrences clean technology processes. Use of xylanases
of HexA groups have an effect on the efficiency (EC 3.2.1.8) from different families (GH 5, 10,
in the bleaching process and their influence on 11 and 30), and laccases (EC 1.10.3.2) with
the final pulp properties is significant. laccase mediator system in pulp-bleaching
The HexA groups increase the measurement sequences separately or in sequence to remove
of pulp kappa number (KN) (Gellerstedt and Li, HexA in pulp has been proposed as an efficient
1996; Li and Gellerstedt, 1998). Li and Gellersted method for removing HexA (Valenzuela et al.,
(1997) reported that typically 3-6 KN unit of 2014; Aracri and Vidal, 2011; Cadena et al.,
unbleached hardwood pulp and 1-3 KN unit of an 2011; Valls et al., 2010; Valls et al., 2010b,
unbleached softwood pulp are due to HexA and not Gallardo et al., 2010). Limitations of using these
lignin. HexA shows some harmful effects on the enzymes are due to decreasing pulp quality
bleaching process because of its carboxylic acid depending on low specificity of the enzyme,
group, which can react and consume electrophilic and requirement of additional chemical such
bleaching agents such as chlorine dioxide, as laccase mediator system for HexA removal.
ozone, peroxide and peracetic acid in subsequent However, information about enzyme that enable
bleaching agents (Vuorinen et al., 1999), which for direct removal of HexA from kraft pulp is
lead to higher bleaching chemical consumptions, still limited. Previous research showed that a
increased production costs, and increased effluent xylanolytic Paenibacillus strain could degrade
emissions (Petit-Breuilh et al., 2004). HexA also hexenuronosylxylotriose (ΔX3, model compound
increases the difficulty of reaching a high degree of HexA) using a combination of intracellular
of brightness, but also increases brightness and extracellular enzymes such as xylanases
reversion (yellowing) (Granstrom et al., 2001). and β-xylosidase (Winyasuk et al., 2012), but
HexA groups, even in a small amount (<1% on the mechanism was still unclear. Other research
pulp), reduce the brightness stability because showed that intracellular GH67 α-glucuronidase
of their high affinity for transition metal ions was one of the key enzymes to removed
(Vuorinen et al., 1999). Other effects were, HexA HexA directly from HexA model compound
contributes to the formation of oxalic acid and (hexenuronosylxylotriose, ΔX3) (Septiningrum
the scaling of process circuits by calcium oxalate et al., 2015)
(Elsander et al., 2000; Jiang et al., 2000). The objectives of this study were to
Because of the above problem encountered determine removal mechanism of HexA
in bleaching operation due to presence of HexA, from hexenuronosylxylotriose (ΔX3) using
some efforts to minimize the amount of HexA the intracellular fraction from Paenibacillus
chemically and biologically in the pulp both in the curdlanolyticus B-6, and intracellular and
kraft cook and in the subsequent bleaching have extracellular enzyme fraction from Paenibacillus
been made to produce a fully bleached pulp with sp. strain 07.
high brightness stability with a low HexA content.
Some chemical treatments such as inserting acid MATERIAL AND METHODS
stages or peracids treatment between cooking
and bleaching (Vuorinen et al., 1999), instead of Materials
using an electrophilic oxidant such as elemental
chlorine, chlorine dioxide, ozone (Roncero Two bacterial strains were used to produce
et al., 2003) and peracetic acid (Tavast et al., HexA degrading enzymes. First, Paenibacillus
2011) to reduce HexA content in pulp have been curdlanolyticus B-6 (hereafter referred to as
B6) was obtained from the BIOTEC Culture phosphate buffer saline (pH 7), resuspended in 30
Collection of the National Center for Genetic mL of the same buffer then sonicated for 30 min.
Engineering and Biotechnology, Thailand (BCC The sonicated cells were separated into cell debris
No. 11175). Second, Paenibacillus sp. strain 07- and lysate by centrifugation. The lysate was used
G-dH (hereafter referred to as 07) was provided as the intracellular fraction. Intracellular enzymes
by Dr. Shigeki Yoshida (University of Tsukuba, from B6 were used for hydrolysis experiment
Ibaraki, Japan). B6 was grown on Berg’s mineral against ΔX3 as substrate.
salt medium, pH 7.0, meanwhile 07 was grown
using medium described by Winyasuk et al 2. Extracellular and intracellular enzymes
(2012). Both of medium supplemented with 5 g of Paenibacillus sp. strain 07
birchwood xylan (Sigma-Aldrich, St. Louis, MO,
USA) per liter of distilled water. Chemicals were Paenibacillus strain 07 were grown for 24 h at
purchased from Wako Pure Chemical Industries 37°C on 300 mL production medium supplemented
(Osaka, Japan), Nihon Seiyaku and Difco BD with 0.5% (w/v) birch-wood xylan (Sigma-
Laboratories. Aldrich) as the sole carbon source. Then culture
supernatant was separated from the bacterial cells
Methods and precipitated using 80% ammonium sulfate
for 24 h at 4°C. The obtained pellet from this
Preparation of HexA Model Compounds step was harvested by centrifugation, suspended
(Hexenuronosylxylotriose (ΔX3)) in MilliQ water, and dialyzed using Econo-Pac®
10 DG Desalting column (Bio-Rad) against the
First of all, a model compound of HexA: same solution at 4°C. This suspension was used
hexenuronosylxylotriose (ΔX3) was prepared as the extracellular fraction. Meanwhile, the
from Eucalyptus kraft pulp obtained from separated cell pellets were frozen at −80°C for 24
Hokuetsu Kishu Paper Co., Ltd., Niigata, Japan. h. Frozen pellets were thawed, washed using 50
ΔX3 was prepared by alkaline extraction followed mM phosphate buffer saline (pH 7), resuspended
by enzymatic hydrolysis using three commercial in 30 mL of the same buffer then sonicated for
enzymes: xylanase ‘Shearzyme’, Cellulase 30 min. The sonicated cells were separated into
R10 ‘Onozuka’ and β-xylosidase ‘Megazyme’ cell debris and lysate by centrifugation. The
as described in Septiningrum et al (2015). The lysate was used as the intracellular fraction.
concentration of ΔX3 was measured using high- Extracellular and intracellular enzymes from 07
performance anion-exchange chromatography were used for hydrolysis experiment against ΔX3
with pulsed amperometric detection (HPAEC- as substrate.
PAD) as previously described (Winyasuk et
al., 2012). Eventually, 5.1 g of purified ΔX3 Protein Concentration
without xylooligosaccharides was obtained from
2 kg of LOKP. This model compound was used Protein concentrations were determined
as substrate to determine ability of the target using the Coomassie (Bradford) protein assay kit
enzymes for HexA removal. (Thermo Fisher Scientific, Waltham, MA, USA)
with bovine serum albumin as the standard.
HexA Degrading Enzyme Production using
Paenibacillus sp. Determination of Activities and Substrate
Specificities of Enzyme Fractions
1. Intracellular enzymes from P.
curdlanolyticus B-6 α-Glucuronidase activity in the enzyme
fraction was measured by determining the amount
Intracellular enzymes from B-6 were obtained of glucuronic acid liberated from aldouronic acid
by cultivating the strain for 48 h at 37°C in 300 (Megazyme) using a colorimetric assay (Milner
mL of Berg’s mineral salt medium supplemented and Avigad, 1967). Reducing sugar was measured
by 0.5% (w/v) birch-wood xylan (Sigma- using Somogyi Nelson methods (Nelson, 1944).
Aldrich). Then bacterial cells were harvested Controls were prepared by boiling a complete
by centrifugation and frozen at −80°C for 24 h. assay mixture at time zero, before incubation at
Frozen pellets were thawed, washed using 50 mM 40°C. A substrate control was made by adding
water instead of enzyme solution. A standard 2010). This strain already known could produce
curve was prepared using d-glucuronic acid intracellular α-Glucuronidase (Septiningrum et
(Sigma-Aldrich). One α-glucuronidase unit is the al., 2015). Second strain was Paenibacillus sp. 07,
amount of enzyme liberating 1 μmol of glucuronic a soil bacterium that already proved has ability to
acid per minute under standard assay conditions. utilize ΔX3 as a carbon source (Winyasuk et al.,
Preferences and specificities of enzyme 2012).
fractions towards birchwood xylan, MeGlcA,
carboxymethyl cellulose (CMC) and avicel Enzyme Characterization
(Sigma-Aldrich) were measured using the
colorimetric assay after incubation at 40°C Intracellular enzyme of P. curdlanolyticus
for 15 h (Wood, 1988). The activity toward B-6 characterization showed that this fraction
4-nitrophenyl β-D-xylopyranoside (PNPX), contain several enzyme that able to hydrolyze
4-nitrophenyl β-D-glucopyranoside (PNPG), aldouronic acid (α-Glucuronidase 0.038 U/
p-nitrophenyl arabinofuranoside (Sigma-Aldrich) mg), PNPX (β-Xylosidase 0.040 U/mg), PNPG
was determined by measuring the absorbance of (β-Glucosidase 0.007 U/mg), p-nitrophenyl
4-nitrophenol at 410 nm. arabinofuranoside (arabinofuranosidase 0.0003
U/mg), CMC (0.021 U/mg), and oat spelt xylan
Hydrolytic Activity of The Enzyme Fraction (xylanase 0.73 U/mg) (Septiningrum et al., 2015).
Against ΔX3 and Enzymatic Product Analysis Based on characterization result, extracellular
and intracellular fractions of Paenibacillus sp.
Hydrolytic activity of enzyme fraction against strain 07 having several enzymes that almost
ΔX3 was measured by directly determining similar with P. curdlanolyticus B-6, except
the amount of xylotriose liberated from ΔX3 that both fractions did not hydrolyzed PNPG,
by HPAEC-PAD using a DX-500 series meanwhile extracellular fraction did not have
chromatograph equipped with a PAD II pulsed α-Glucuronidase activity. Intracellular enzyme
amperometric detector (Dionex, Sunnyvale, CA, contains several enzymes such as α-Glucuronidase
USA). Enzyme fractions (30 - 90 µg/mL) were (0.023 U/mg), β-Xylosidase (0.034 U/mg),
incubated with the prepared ΔX3 (3.5 – 6.0 mM endoglucanase (0.01 U/mg), arabinofuranosidase
or 2 – 3.3 g) in 50 mM sodium acetate buffer (pH (0.024 U/mg), and xylanase (0.30 U/mg) and
6.0) at 50°C for 6 h, and then the reaction mixture avicelase (0.03 U/mg) Meanwhile, extracellular
was stopped by boiled for 10 min and cooled on enzyme contain β-Xylosidase (0.005 U/mg),
ice. The hydrolysis products were analyzed by β-Xylosidase (0.005 U/mg), arabinofuranosidase
HPAEC-PAD with a CarboPac PA-100 column (0.0084 U/mg) and xylanase (1.79 U/mg)
(250 mm × 4 mm) and a PA-100 guard column (Septiningrum et al., 2016).
(25 mm × 3 mm) at 30°C. Gradient elution was
performed with 100 mM NaOH and 100 mM Products Generated by The Action of Enzyme
NaOH/1 M sodium acetate at a flow rate of 1 mL/ Fraction from Paenibacillus sp.
min. Authentic ΔX3, provided by Dr. Shigeki
Yoshida (University of Tsukuba, Ibaraki, Japan), With HPAEC-PAD analysis, the activity of
was used as a standard. crude intracellular fraction of P. curdlanolyticus
B-6 with ΔX3 showed that hydrolysis product
RESULTS AND DISCUSSION contain small amount of xylotriose, an increasing
in the amount of xylose and decreasing in the
In this study HexA degrading enzymes were amount of ΔX3 (Fig. 1). Different result was
prepared from two Paenibacillus species. First, found when ΔX3 was hydrolyzed intracellular
P. curdlanolyticus B-6 was selected for this fraction from Paenibacillus sp. strain 07.
experiment because this organism has been well HPAEC-PAD result showed that after 30
characterized for xylanolytic enzymes and can min of hydrolysis, two major products were
efficiently degrade xylan polymers substituted found, xylose and new compound (ΔX2). The
to varying degrees with GlcA, MeGlcA, acetyl, degradation rate ΔX3 by intracellular fraction
feruloyl, or p-coumaroyl side-chain groups was higher when compared with extracellular
through a multienzyme complex of cellulases and fraction (Fig. 2). When extracellular fraction
hemicellulases (Pason et al., 2006; Pason et al., was used to hydrolyzed ΔX3, similar product
4.00
6.0 16.0
ΔX3 and xylotriose concentration (mM)
3.50
5.0
3.0 8.0
2.00
1.50
2.0
4.0 1.00
1.0 0.50
12.00
0.40
Xylotriose concentration (mM)
0.35 10.00
Xylose concentration (mM)
0.30
8.00
0.25
0.20 6.00
0.15 4.00
0.10
2.00
0.05
0.00 0.00
0 1 2 3 4 5 6 0 1 2 3 4 5 6
A Hydrolysis time (H) B Hydrolysis time (H)
Fig. 3 Concentration of Xylotriose (A) and Xylose (B) in The Product After Hydrolyzed by
Extracellular and Intracellular Fraction of Paenibacillus sp. Strain 07 Extracellular Fraction
(Squares), Intracellular Fraction (Diamonds)
was found such as in the intracellular enzyme them using some pathway such as pentose
of P. curdlanolyticus B-6. There were one major phosphate pathway. For P. curdlanolyticus
product (xylose) and the other two products B-6, intracellular β-xylosidases and GH67
(xylotriose and ΔX2) (Fig. 3). α-glucuronidases are two critical enzymes for
ΔX3 hydrolysis (Fig. 4). The metabolism of
Proposed Mechanism of ΔX3 Hydrolysis by ΔX3 by bacteria was achieved by synergistic
Paenibacillus species action of GH67 α-glucuronidase that hydrolyzed
the α-1, 2 glycosidic bonds between HexA in
Based on the experiment results, Paenibacillus the reducing end of ΔX3 and xylose residues of
species developed the enzymatic activity to xylooligosaccharides, as a result xylotriose (X3)
hydrolyzed ΔX3, after these oligosaccharides and HexA were released. Then the released of
was transported to the cell, enzyme system xylotriose may then be processed to fermentable
cleaved it into monosaccharide and metabolize xylose by the action of GH43 β-xylosidase.
Balai Besar Pulp dan Kertas 13
Bandung
Prosiding Seminar Teknologi Pulp dan Kertas
ISBN : 978-602-17761-3-1 Golden Flower Hotel, Bandung, 10 November 2015
Fig. 5 Diagram of Proposed Intracellular Processing of ΔX3 by Intracellular Fraction and Extracellular
Fraction of Paenibacillus sp. Strain 07 using Glycoside Hydrolases Family 8 and Family 5/30, HexA-
Liberating Enzyme (New Enz), and β-Xylosidase (β-xyl)
When these new proposed enzymes were used and may contribute to the reduced consumption
for HexA removal, there are some benefits which of active bleaching chemicals during bleaching
can be offer such as: process.
a. When HexA is selectively removed from the
pulp using hexenuronic acid groups liberation ACKNOWLEDGEMENTS
enzymes, a better quality of pulp will be
obtained, such as improvement of brightness We would like to thank Dr. Shigeki Yoshida
stability and pulp viscosity, (University of Tsukuba, Ibaraki, Japan) for
b. By enzymatically removing the carboxylic providing authentic ΔX3, Japan Educational
groups of the hemicelluloses from the Exchanges and Services Sponsored Scholarship
cellulose pulps, both the surface charge and (JEES) (MITUS1306) from Mitsubishi
the metal-ion content of the pulp can be Cooperation for financial support during Krisna
changed, Septiningrum conducted doctoral program.
c. When specific enzyme is used for HexA Part of the manuscript was presented in part of
removal, the metal binding uronic acid conference, May 21-23, 2014, Taipei, Taiwan,
groups can be removed which will decrease the 81st Japan TAPPI Pulp and Paper Research
the amount of the metal-ions in the pulp. Conference, June 2-3, 2014, Tokyo, Japan, and
Hence the use of complexing agents (for International Symposium on Wood Science and
instance ethylene diamine tetraacetic acid, Technology 2015, March 15-17, 2015, Tokyo,
EDTA or diethylene triamine penta acetic Japan.
acid, DTPA) prior to Totally Chlorine Free
(TCF) bleaching can be reduced or totally REFERENCES
omitted,
d. The enzymatic removal of glucuronic acid Aracri, E., Vidal, T. 2011. Xylanase- and laccase-
groups can be used to improve the production aided hexenuronic acids and lignin removal
of certain pulps, such as metal-free pulps or from specialty sisal fibres. Carbohydrate
pulps with very low amounts of carboxyl Polymer. 83 (3), 1355–1362. doi:10.1016/j.
groups (Bailey, 1997). carbpol.2010.09.058
Bailey, M. 1997. Methods and enzymatic
CONCLUSION preparation for treatment of cellulose pulps.
Patent No. EP 0764226 A1
To determine ability of enzymes from Cadena, E.M., Du, X., Gellerstedt, G., Li, J.,
two Paenibacillus sp. were able to hydrolyze Fillat, A., Garcia-Ubasart, J., Vidal, T., Colom,
hexenuronic acid, intracellular fraction of J.F. 2011. On hexenuronic acid (HexA)
P. curdlanolyticus B-6, extracellular and removal and mediator coupling to pulp fiber in
intracellular fraction from 07 were used to the laccase/mediator treatment. Bioresource
hydrolyzed ΔX3 as a model compound of HexA. Technology. 102: 3911-3917.
There were two different mechanisms to degrade Elsander, A., Ek, M., and Gellerstedt, G. 2000.
HexA in Paenibacillus sp. HexA removal can Oxalic acid formation during ECF and TCF
be achieved by synergistic action between bleaching of kraft pulp. Tappi Journal. 83(2):
intracellular α-glucuronidase and β-xylosidase in 73-77.
P. curdlanolyticus B-6. Meanwhile, intracellular Gallardo, O., Fernandez, M.F., Valls, C.,
enzyme fraction obtained from Paenibacillus Valenzuela, S.V., Roncero, M.B., Vidal, T.,
sp. strain 07 contained an enzyme that released Diaz, P., Pastor, F.I.J. 2010. Characterization
xylose residues from the reducing ends of of a family GH5 xylanase with activity on
∆X3. On the other hand, metabolism of ΔX3 neutral oligosaccharides and evaluation as
using extracellular fraction of Paenibacillus sp. pulp bleaching aid. Applied Environmental
strain 07 could be accomplished using a HexA- Microbiology. 76:6290-6294.
liberating enzyme and β-xylosidase. The finding Gellerstedt G, Li J. 1996. An HPLC method for
of α-glucuronidase and HexA degrading enzyme the quantitative determination of hexeneuronic
in the intracellular and extracellular fraction of acid groups in chemical pulps. Carbohydrate
Paenibacillus species hopefully will provide Research. 294:41–51. doi: 10.1016/S0008-
new insight into HexA removal from kraft pulp 6215(96)90615-1
Granstrom, A., Eriksson, T., Gellerstedt, G., Roncero, M.B.,Torres,A.L., Colom, J.F.,
Roost, C., Larsson, P. 2001. Variables affecting and Vidal, T. 2003. Effect of xylanase on
the thermal yellowing of TCF-bleached birch ozone bleaching kinetics and properties of
kraft pulps. Nordic Pulp & Paper Research Eucalyptus kraft pulp. Journal of Chemical
Journal. 16:18-23. Technology and Biotechnology.78:1023–1031
Honda, Y., Kitaoka, M. 2004. Enzyme catalysis Septiningrum, K., Ohi, H., Waeonukul, R., Pason,
and regulation: A family 8 glycoside P., Tachaapaikoon, C., Ratanakhanokchai,
hydrolase from Bacillus halodurans C-125 K., Sermsathanaswadi, J., Deng, L.,
(BH2105) is a reducing end xylose-releasing Prawitwong, P., Kosugi, A. 2015. The
exo-oligoxylanase. Journal of Biological GH67 a-glucuronidase of Paenibacillus
Chemistry. 279:55097–55-103. curdlanolyticus B-6 removes hexenuronic
Jiang Z.-H, Van Lierob B, Berry R. 2000. acid groups and facilitates biodegradation of
Hexenuronic acid groups in pulping and the model xylooligosaccharide hexenuronosyl
bleaching chemistry. Tappi Journal. 83:167– xylotriose. Enzyme and Microbial Technology.
175. 71: 28–35
Li, J. and Gellerstedt, G. 1997. The contribution Septiningrum, K., Ohi, H., Nakagawa-izumi,
to kappa number from hexenuronic acid A., and Kosugi, A. 2016. Characterization
groups in pulp xylan. Carbohydrate Research. of hexenuronosyl xylan-degrading
302: p. 213-218. enzymes produced by Paenibacillus sp. 07.
Li, J., and Gellerstedt, G. 1998. On the Bioresources. 11(1): 2756-2767.
structural significance of the kappa number Sevastyanova O, Li J, Gellerstedt G. 2006.
measurement. Nordic Pulp & Paper Research Influence of various oxidizable structures
Journal. 13(2): 153-158. on the brightness stability of fully bleached
Milner, Y., Avigad, G. A. 1967. Copper reagent chemical pulps. Nordic Pulp & Paper Research
for the determination of hexuronic acids and Journal. 21:49–53.
certain ketohexoses. Carbohydrate Research. Sjöstrom, E. 1993. Wood chemistry: Fundamentals
4:359–61. and application. 2nd ed. Academic Press, Inc.,
Nelson, N. A. 1944. Photometric adaptation New York, pp. 140-161
of the Somogyi method for determination Tavast, D., Brännvall, E., Lindström, M.E.,
of glucose. Journal of Biological Chemistry. Henriksson,G. 2011. Selectiveness and
153:375–80. efficiency of combined peracetic acid and
Pason, P., Kosugi, A., Waeonukul, R., chlorine dioxide bleaching stage for kraft
Tachaapaikoon, C., Ratanakhanokchai, pulp in removing hexeuronic acid. Cellulose
K., Arai, T., et al. 2010. Purification and Chemistry and Technology. 45 (1-2), 89-95
characterization of a multienzyme complex Teleman A, Hausalo T, Tenkanen M, Vuorinen
produced by Paenibacillus curdlanolyticus T. 1996. Identification of the acidic
B-6. Applied Microbiology Biotechnology. degradation products of hexenuronic acid
85: 573-80. and characterization of hexenuronic acid-
Pason, P., Kyu, K.L., and Ratanakhanokchai, K. substituted xylooligosaccharides by NMR
2006. Paenibacillus curdlanolyticus strain B-6 spectroscopy. Carbohydrate Research.
xylanolytic-cellulolytic enzyme system that 280:197–208.
degrades insoluble polysaccharides. Applied Teleman, A., Hausalo, T., Tenkanen, M.,
Environmental Microbiology. 72: 2483-90. Vuorinen, T. 1996. Identification of the acidic
Petit-Breuilh, X., Zaror, C., Melo, R. 2004. degradation products of hexenuronic acid and
Hexenuronic acid removal from unbleached characterization of hexenuronic acid-substituted
kraft eucalyptus pulp by peroxymonosulfuric xylooligosaccharides by NMR spectroscopy.
acid. Journal of the Chilean Chemical Society. Carbohydrate Research. 280: 197–208.
49: 355-360. Tenkanen M, Vršanská M, Siika-aho M, Wong
Pouyet, F., Chirat, C., Lachenal, D. 2013. On the DW, Puchart V, Pentillä M, Saloheimo M,
origin of cellulose depolymerization during Biely P (2013) Xylanase XYN IV from
ozone treatment of hardwood kraft pulp. Trichoderma reeseishowing exo- and endo-
BioResources. 8(4): 5289-5298. xylanase activity. FEBS J. 280:285–301.
Valenzuela, V.S., Valls, C., Roncero, M.B., Vidal, Vuorinen, T., Fagerström, P., Räsänen, E.,
T., Diaz, P., Pastor, F.I.J. 2014. Effectiveness Vikkula, A., Henricson, K., Teleman, A. 1999.
of novel xylanases belonging to different Selective hydrolysis of hexenuronic acid
GH families on lignin and hexenuronic acids groups and its application in ECF and TCF
removal from specialty sisal fibres. Journal of bleaching of kraft pulp. Journal of Pulp &
Chemical Technology and Biotechnology. 89, Paper Science. 25(5).
Issue 3: 401-406. Winyasuk, W., Gomi, S., Shimokawa, T.,
Valls, C., Vidal, T., Gallardo, O., Diaz, P., Javier Hishiyama, S., Satake, T., Yoshida, S. 2012.
Pastor, F.I., Roncero, M.B. 2010. Obtaining Screening of enzyme system for specific
low-HexA-content cellulose from eucalypt degradation of hexenuronosyl-xylotriose.
fibres: which glycosil hydrolase family is Journal of Agricultural Technology. 8:103–
more efficient?. Carbohydrate Polymer. 116.
80:154–160. Wood, T. M., Bhat, K. M. 1988. Methods for
Valls, C., Vidal, T., Roncero, M.B. 2010b. The role measuring cellulase activities. In: Willis, A.,
of xylanases and laccases on hexenuronic acid Wood, S.T.K. (editors). Methods Enzymol.
and lignin removal. Process Biochemistry. 45: Academic Press; 1988. p. 87–112.
425-430
ABSTRACT
Measurement of waste paper’s recycleability is useful to determine whether a waste paper can be recycled
or not. Up till now, there are no national or international standards for this method. The development of this method
included the usage of proper equipment for waste paper disintegration, sample treatment prior to disintegration,
evaluation of data the function of formation versus disintegration time of. The verification results showed that
this method has residual standard deviation (RSD) of 6.0. Based on this method, paper and paperboard can
be charactized into three categories: recyclable paper with good quality; recyclable paper with poor quality;
non-recyclable paper. This method is superior to available methods because it is almost equal to the process in
commercial pulper; the evaluation steps is more accurate, more clear and quantifiable; disintegration temperature
is in accordance with the conditions at the paper mill; and it can be applied both in the laboratory and on
an industrial scale. The patent of invention of this method has been assigned with the application number of
P00201200534 and has been Granted. Application of this method in one of papermill in Java Island was useful to
overcome down grade problems in paper production and thus avoiding profit loss of IDR 154,530,000 up to IDR
250,470,000 per month. Nationally, the usage of waste paper as raw materials in Indonesia is currently about 60%
of the total raw material; this business involves a large number of scavengers as the spearhead, socially then this
represents an increase of employment, income, and welfare of the community.
ABSTRAK
Pengukuran kemampuan daur ulang kertas bekas berguna untuk menentukan apakah suatu kertas
bekas dapat didaur ulang kembali atau tidak. Sampai saat ini, belum ada standar nasional maupun
internasional untuk metode ini. Pengembangan metode ini meliputi penggunaan alat yang sesuai untuk
proses penguraian kertas bekas, perlakuan contoh sebelum penguraian, evaluasi data grafik fungsi
formasi terhadap waktu penguraian, dan kriteria pengelompokkan kategori kertas. Hasil verifikasi metode
menunjukkan bahwa metode ini memiliki residual standard deviation (rsd) sebesar 6,0. Berdasarkan
metode ini, kertas dan karton dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu kertas yang dapat didaur
ulang dengan kualitas baik, kertas yang dapat didaur ulang dengan kualitas kurang baik dan kertas
yang tidak dapat didaur ulang. Metode ini lebih unggul dibandingkan metode-metode yang telah ada
karena lebih mendekati proses pada pulper komersial; tahap evaluasi lebih akurat, lebih jelas dan lebih
kuantitatif; temperatur penguraian sesuai dengan kondisi di pabrik kertas; dan dapat diterapkan baik
di laboratorium maupun pada skala industri. Penemuan pada metode ini telah diajukan permohonan
patennya dengan nomor P00201200534 dan telah mendapat status Granted. Aplikasi metode ini di salah
satu pabrik kertas di Pulau Jawa dapat mengatasi masalah penurunan grade produk sehingga pabrik
kertas tersebut dapat terhindar dari kerugian yang berkisar antara Rp 154.530.000 – Rp 250.470.000 per
bulan. Secara nasional penggunaan bahan baku kertas bekas di industri kertas Indonesia saat ini sekitar
60 % dari bahan baku total; bisnis ini melibatkan sejumlah besar pemulung sebagai ujung tombak,
maka secara sosial hal ini merupakan peningkatan kesempatan kerja, pendapatan, dan kesejahteraan
masyarakat.
Kata kunci: kemampuan daur ulang kertas, kertas daur ulang, kertas, kertas bekas
Definisi Kategori Kertas Bekas Norim Canada. Empat belas jenis sampel yang
diberi kode sampel nomor 1 sampai dengan 14.
Fibre Box Association (2007) mendefinisikan
recyclable waste paper sebagai kertas bekas Pengumpulan Data dan Informasi
yang dapat diproses menjadi kertas atau karton
baru menggunakan proses tertentu. Sedangkan Pengujian formasi dilakukan dua kali (duplo)
repulpable waste paper adalah bahan uji yang untuk setiap contoh. Pengujian formasi dilakukan
dapat digunakan dalam operasi re-wetting menggunakan metode SNI-14-4741-1998 Cara
dan fiberizing menggunakan proses tertentu uji formasi kertas dan karton (NUI-meter).
untuk menghasilkan formasi yang sesuai untuk Evaluasi data grafik fungsi formasi terhadap
pembuatan kertas waktu penguraian dilakukan sesuai dengan
metode pada Paten nomor P00201200534.
Prinsip Persiapan Stock Aplikasi metode di industri kertas dilakukan di
bagian QC incoming material dan laboratorium
Prinsip dasar persiapan stock ditinjau dari QC di salah satu pabrik kertas di Pulau Jawa.
kesiapan seratnya adalah menguraikan kembali
serat dari bahan baku sampai didapatkan target Prosedur Kerja
derajat giling 300 mLCSF. Proses penguraian
terjadi di hydropulper sedangkan proses Perumusan Kriteria
penggilingan di beater dan refiner. Pada proses
penggilingan, 60% serat virgin akan terpotong Kriteria kemampuan daur ulang kertas
dan 40% terfibrilasi (Smook, 2002). Serat ditetapkan sebagai kemampuan kertas bekas
untuk stock kertas yang baik adalah serat yang untuk didispersikan kembali dalam air. Evaluasi
halus (tidak tebal) dan bercabang-cabang. utamanya adalah seberapa banyak bagian
Parameter yang sesuai untuk mengamati kertas bekas yang belum terurai setelah proses
keadaan serat pada kondisi ini adalah formasi pendispersian.
(ukuran ketidakseragaman distribusi serat yang Rancangan pengembangan metode ini meliputi:
dinyatakan dalam satuan NUI atau nonuniformity pengembangan prosedur pengukuran kemampuan
index). Nilai NUI merupakan ukuran relatif daur ulang kertas; pengembangan cara evaluasi
terhadap standar. Nilai maksimal NUI dibatasi data; pengembangan metode perlakuan awal;
oleh kemampuan alat uji. Semakin kecil nilai pengembangan proses pendispersian kembali
NUI, ukuran ketidakseragaman distribusi serat kertas bekas dengan metode disintegrator dan
makin kecil, formasi serat makin baik (SNI-14- beater tanpa beban; evaluasi kriteria dan metode
4741-1998). pengukuran kemampuan daur ulang kertas serta
Penelitian ini dimaksudkan untuk verifikasi dan validasi metode; penyempurnaan
mengembangkan metode pengukuran kemampuan kriteria dan metode pengukuran kemampuan
daur ulang kertas. Tujuan penelitian ini adalah daur ulang kertas; aplikasi metode di industri
untuk mengatasi kelemahan-kelemahan metode- kertas. Metode lebih rinci dapat dilihat pada
metode pengukuran kemampuan daur ulang Paten nomor P00201200534.
kertas terdahulu seperti temperatur penguraian
yang tinggi, evaluasi yang kurang akurat, dan HASIL DAN PEMBAHASAN
kurang dapat diterapkan baik di laboratorium
maupun pada skala industri. Kriteria Kemampuan Daur Ulang Kertas
buruk diukur kemampuan daur ulang kertasnya. Hasil Pengembangan Proses Pendispersian
Tujuannya adalah untuk mengamati seberapa Kembali Kertas Bekas dengan Disintegrator
besar kemampuan daur ulang kedua KKG bekas dan Beater Tanpa Beban
ini, dan seberapa besar perbedaannya?
Setelah didapatkan profil pada Gambar Perbandingan metode penguraian dengan
1, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana disintegrator dan beater pada contoh kode 1 dan
menentukannya? Untuk menjawab pertanyaan 8. Penguraian dengan disintegrator menghasilkan
ini, ditetapkan pembatasan bahwa penguraian kurva curam yang lebih signifikan dibandingkan
serat dan fibrilasi serat dianggap selesai jika sudah dengan penguraian menggunakan beater .
tidak ada lagi perubahan formasi yang nyata Penguraian metode beater menghasilkan data
seiring dengan bertambahnya waktu penguraian. yang keluar dari garis datar hanya sampai menit
Mulai menit ke berapa grafik menunjukkan garis ke-2. Dengan demikian, kemampuan daur
datar, ditetapkan dengan menyeleksi data nilai ulang kertas lebih sulit diamati jika penguraian
formasi awal yang biasanya tinggi sebagai data menggunakan beater.
yang tidak seragam dengan grafik yang datar dan Untuk contoh kode 8, penguraian metode
diuji secara statistika menggunakan uji Dixon. disintegrator menghasilkan satu titik yang keluar
Untuk contoh kode 1, (Gambar 1) kedataran dari garis datar sedangkan penguraian metode
nilai formasi dimulai pada menit ke-4, dengan beater tidak ada titik yang keluar dari garis
demikian nilai formasi menit ke-1 sampai ke-3 datar setelah diuji secara statistika dengan uji
termasuk kategori dibuang, jika digabungkan Dixon. Jadi pada metode beater tidak teramati
menghasilkan suatu kurva curam dengan adanya kemampuan daur ulang contoh kode 8,
kemiringan (slope) sebesar -24,8. Penggabungan atau jika menggunakan metode beater, contoh
ini memerlukan minimal 4 data, jadi diambil kode 8 dinyatakan tidak dapat didaur ulang
sampai menit ke-4. Hasilnya adalah kami (unrecyclable), padahal pada kenyataannya
tetapkan bahwa contoh kode 1 masih memiliki kertas tersebut masih memiliki recycleability
recyclability dengan slope sebesar -24,8. karena nilai derajat giling awalnya sebesar 360
Untuk contoh kode 8, hanya ada satu data yaitu mLCSF (masih diatas target penguraian 300
nilai formasi menit ke-1 yang dibuang pada saat mLCSF).
dilakukan uji Dixon, jadi kedataran garis sudah
dimulai pada menit ke-2. Satu titik saja diluar garis Hasil Verifikasi dan Validasi Metode
datar menunjukkan bahwa KKG bekas ini masih
memiliki recyclability. Ke-4 data pada menit awal Verifikasi metode pengukuran daur ulang
menghasilkan kurva memiliki kecuraman rendah, kertas dilakukan pada contoh kode 1 yang
yaitu dengan slope hanya -7,77. memiliki lebih dari 4 titik pada daerah curam
Gambar 1. Profil Perubahan Formasi sebagai Gambar 2. Profil Perubahan Formasi sebagai
Fungsi dari Waktu Penguraian untuk KKG Bekas Fungsi dari Waktu Penguraian untuk KKG Bekas
dengan Performance yang Baik (Contoh Kode 1) dengan Performance yang Buruk (contoh kode 8)
Menit ke-
Kode Contoh 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
X1 101,9 77,8 50,0 37,2 32,0 33,4 42,8 32,6 26,9 30,7
X2 91,4 82,0 71,2 59,3 52,4 46,3 32,9 46,8 39,7 45,6
X3 95,6 87,9 70,2 49,33 54,9 53,9 28,2 55,5 37,4 27,9
X4 95,4 74,1 52,3 45,4 44,6 45,3 31,2 32,0 35,9 35,7
X5 89,9 85,3 70,8 52,5 43,0 52,7 55,6 42,3 30,0 30,7
X6 89,2 78,1 53,7 49,4 31,5 19,9 20,6 17,5 22,1 20,8
X7 82,7 74,1 53,2 35,4 36,0 23,8 41,0 27,8 26,3 24,3
rata-rata 92,3 79,9 60,2 46,9 42,1 39,3 36,0 36,4 31,2 30,8
sehingga dapat dibuat persamaan garis liniernya. ulang kertas KKG bekas A terlihat adanya variasi
Dari data pada Tabel 1, dibuat grafik berikut ini: slope yang cukup besar, hal ini menunjukkan
bahwa faktor penentu formasi bukan hanya
waktu penguraian. Walaupun demikian, faktor
penentu yang lain tersebut bisa diabaikan jika
memperhatikan nilai koefisien korelasi yang
seluruhnya signifikan (pada Tabel 2 terlihat nilai
r berkisar antara 0,88 sampai 0,99) jika diuji
dengan uji koefisien korelasi Pearson (untuk
DF n-2 = 3, r Tabel dengan tingkat kepercayaan
95% adalah 0,878).
Besar kesalahan nilai y pengamatan dengan
y persamaan atau residual standard deviation
(rsd) rata-rata adalah 6,0, artinya besar kesalahan
pengamatan nilai formasi di daerah kurva curam
Gambar 5. Verifikasi Metode Pengukuran adalah sebesar ± 6,0 satuan NUI. Nilai formasi
Kemampuan Daur Ulang Kertas Contoh Kode 1 pada waktu penguraian menit ke-6 sampai ke-10
untuk setiap ulangan telah diuji menggunakan
Dari Gambar 5 terlihat bahwa daerah curam uji Dixon dan tidak ada satupun data yang harus
terjadi dari menit ke-1 sampai menit ke-5, hasil dibuang, artinya data pada daerah datar tersebut
plot persamaan garis liniernya ditampilkan masih memenuhi syarat untuk dinyatakan
pada Gambar 6 dan Tabel 2. Dari hasil tujuh sebagai tidak ada lagi perubahan ekstrim pada
kali pengulangan pengukuran kemampuan daur tingkat kepercayaan 95%.
Tabel 2. Hasil Plot Daerah Curam, Ditampilkan dengan Nilai Slope, Koefisien Korelasi (R), dan
Residual Standard Deviation (RSD) untuk Contoh Kode 1
Gambar 6. Plot Daerah Curam Kurva Ulangan 1 Gambar 7. Plot Daerah Datar Kurva Ulangan 1
(X1) Sampai Ulangan 7 (X7) (X1) Sampai Ulangan 7 (X7)
Tabel 3. Data Nilai Formasi pada Waktu Penguraian Menit ke-6 sampai ke-10 Contoh Kode 1
Menit ke-
Kode Contoh rata- rata
6 7 8 9 10
X1 33,4 42,8 32,6 26,9 30,7 33,3
X2 46,3 32,9 46,8 39,7 45,6 42,3
X3 53,9 28,2 55,5 37,4 27,9 40,6
X4 45,3 31,2 32,0 35,9 35,7 36,0
X5 52,7 55,6 42,3 30,0 30,7 42,3
X6 19,9 20,6 17,5 22,1 20,8 20,2
X7 23,8 41,0 27,8 26,3 24,3 28,6
rata-rata 34,7
standar deviasi 8,17
Hasil Aplikasi Metode Di Industri Kertas apakah kertas dapat didaur ulang dan tidak dapat
didaur ulang. Metode ini juga telah diaplikasikan
Uji coba metode telah dilakukan di pada pengujian kemampuan daur ulang kertas
laboratorium QC di salah satu pabrik kertas di (recyclability) pada kegiatan verifikasi ekolabel
Pulau Jawa. Dari hasil mengevaluasi hubungan di PT. Fajar Surya Wisesa.
antara formasi lembaran dengan waktu Keunggulan metode ini: (1) penggunaan
penguraian, kertas dan karton dapat diseleksi disintegrator yang sesuai sehingga
menjadi tiga kategori, yaitu: (1) Kertas dapat meminimalisasi terpotongnya serat oleh pisau
didaur ulang dengan kualitas baik sesuai kriteria pemotong dan kehilangan serat pada proses
pada paten nomor P00201200534; (2) Kertas repulping serta lebih mendekati proses pada
dapat didaur ulang dengan kualitas kurang baik pulper komersial; (2) tahap evaluasi lebih akurat,
sesuai kriteria pada paten nomor P00201200534; lebih jelas dan lebih kuantitatif; (3) temperatur
(3) Kertas tidak dapat didaur ulang sesuai kriteria penguraian sesuai dengan kondisi di pabrik
pada paten nomor P00201200534. kertas; (4) dapat diterapkan baik di laboratorium
Dari hasil mengevaluasi hubungan antara maupun pada skala industri. Penemuan metode
formasi lembaran dengan waktu penguraian ini telah diajukan permohonan patennya, dengan
sesuai kriteria pada paten nomor P00201200534, nomor permohonan P00201200534 dan telah
pada empat belas jenis contoh dengan kode 1 - diberikan status Granted.
kode 14, contoh kode 1- kode 8 termasuk kertas
yang dapat didaur ulang dengan kualitas baik. Aspek Kelayakan Ekonomis
Contoh kode 9 - kode 13 termasuk kertas yang
dapat didaur ulang dengan kualitas kurang baik. Aspek Bahan Baku
Contoh kode 14 tidak dapat didaur ulang.
Metode pengukuran yang diusulkan ini
Aspek Kelayakan Teknologi akan merupakan bagian dari kegiatan proses
produksi kertas yang berbahan baku kertas bekas,
Hasil aplikasi metode ini di laboratorium khususnya akan menjadi bagian dari pemeriksaan
QC di salah satu pabrik kertas di Pulau Jawa bahan baku. Data dari sejumlah survai ke pabrik
menunjukkan bahwa industri kertas dapat kertas menunjukkan bahwa hampir semua
menggunakan metode ini untuk menentukan industri kertas hanya melakukan pengujian kadar
air dan jumlah pengotor secara visual terhadap adalah sebanyak 80 kontainer, yang terdiri dari 3
kertas bekas yang diterima dan akan digunakan atau 4 invoice berdasarkan jenis bahan bakunya,
sebagai bahan baku kertas. Sementara kualitas contohnya 15 kontainer bahan baku A5; 10
kemampuan daur-ulang kertas bekas sebagai kontainer bahan baku A7 dan 55 kontainer bahan
bahan baku tidak pernah diperiksa sehingga baku ONP (old news paper). Satu kontainer
seringkali penggunaan bahan baku tidak tepat memuat 25 ton bahan baku. Aplikasi metode
sasaran bila dilihat dari target produksinya. ini dilakukan dengan cara sampling bahan baku
Penggunaan kertas bekas nasional cenderung per invoice. Metode ini diaplikasikan di Paper
meningkat; pada tahun 2009 total penggunaan Machine A (PM A). Produk PM A adalah kertas
adalah 6 juta ton/tahun, dengan pasokan dari lainer, kertas medium dan white liner. PM A
bahan baku lokal 3 juta ton/tahun (50 %). Pada terdiri dari 4 PM, yaitu PM 1 dan PM 2 yang
tahun 2011 total penggunaan meningkat menjadi memiliki lebar mesin 6 meter; PM 4 dan PM 5
6,7 juta ton/tahun, dengan pasokan dari bahan dengan lebar mesin 4 meter. Sebelum metode
baku lokal 4,3 juta ton/tahun (64 %). Dengan ini diterapkan, seringkali terjadi down grade
diaplikasikannya metode ini oleh industri kertas production, yaitu penurunan grade produk yang
di Indonesia diharapkan dapat mengoptimalkan dihasilkan dari grade target. Kategori grade
penggunaan bahan baku lokal. produksi dan harga produk per kg diperlihatkan
berikut ini:
Aspek Pasar
Tabel 4. Kategori Grade Produksi Kertas Lainer
Posisi industri kertas Indonesia adalah diurutkan berdasarkan Grade Tertinggi ke
peringkat 9 dunia dalam hal produksinya. Total Terendah
kapasitas produksi kertas adalah 12,9 juta ton
kertas per tahun dan 40% diekspor dengan No. Kode grade Harga produk/kg
nilai USD 8 milyar. Menurut data pada PPI in produksi (Rp)
Skogsindustrierna, The Swedish Forest Industry 1 LH 6075
Facts & Figures 2009 (April 2010), 40% produksi
kertas dunia berasal dari Asia. Kebutuhan akan 2 LE 5775
kertas kemas dunia cenderung meningkat. Ada 80 3 LF 5575
perusahaan dengan 84 pabrik kertas di Indonesia. 4 LD 5475
Pabrik kertas yang menggunakan bahan baku
kertas bekas akan memerlukan metode ini. Penurunan grade produksi dapat terjadi akibat
masuknya bahan baku kertas yang tidak dapat
Aspek Profitabilitas dan Nilai Tambah Lokal didaur ulang, sehingga timbul spot pada produk.
Kejadian seperti ini menyebabkan penurunan
Jumlah bahan baku yang dibeli per hari di grade produk dari LH ke LD. Kerugian akibat
salah satu pabrik kertas di Pulau Jawa rata-rata masalah ini dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Perhitungan Tekno-Ekonomi Kerugian Penurunan Grade Produk dari LH ke LD Akibat Tidak
dilakukan Pengukuran Kemampuan Daur Ulang Kertas pada Bahan Baku
Parameter Satuan Nilai di PM1 dan PM2 Nilai di PM4 dan PM5
Asumsi
Periode produksi per 3-shift jam 24 24
Jumlah produksi per 3-shift jumbo roll 33 33
Berat tiap jumbo roll ton 30 20
Penurunan harga produk dari LH ke LD Rp/kg 600 600
Kerugian per PM/hari Rp (juta) 594 396
Tabel 6. Perhitungan Tekno-Ekonomi Kerugian Penurunan Grade Produk dari LE ke LD Akibat Tidak
dilakukan Pengukuran Kemampuan Daur Ulang Kertas pada Bahan Baku
Parameter Satuan Nilai di PM1 dan PM2 Nilai di PM4 dan PM5
Asumsi
Periode produksi per 3-shift jam 24 24
Jumlah produksi per 3-shift jumbo roll 33 33
Berat tiap jumbo roll ton 30 20
Penurunan harga produk dari LH ke LD Rp/kg 300 300
Kerugian per PM/hari Rp (juta) 297 198
diajukan permohonan patennya, dengan nomor Hess et al., 2001. “Recyclability of mixed office
permohonan P00201200534 dan telah diberikan waste papers containing pressure sensitive
status Granted. Aplikasi metode ini paper adhesives and silicone release liners.”TAPPI
machine A (PM A) dengan kapasitas produksi 2001 Pulping Conference.
1650 ton per hari, di salah satu pabrik kertas di Houtman, C., K. Scallon and R. Oldack, 2008.
Pulau Jawa dapat mengatasi masalah penurunan Validation of Economics, Laboratory-Scale
grade produk sehingga pabrik kertas tersebut Recycling Test Method of Paper PSA Label
dapat terhindar dari kerugian yang berkisar antara Products. Progress in Paper Recycling 17(2),
Rp 154.530.000 – Rp 250.470.000 per bulan. 26-31.
Hube et al., 2007. ”How fibers change in use,
SARAN recycling,”BioResources 2(4), 739-788.
Kubota, M. and K. Takae, 1998. Method for
Pemantauan lanjutan aplikasi di pabrik kertas determining recyclability of waste paper.
di Indonesia sehingga akan diperoleh data base Proceedings of the Pulp and Paper Research
yang lebih banyak. Conference. Jpn Tech Assoc Pulp Paper Ind,
Tokyo, Japan.
DAFTAR PUSTAKA Masriani, R. dan T. Hidayat, 2009. Pengembangan
Metode Pengukuran Kemampuan Daur Ulang
Dienes, D, 2006. Effect of cellulase enzymes Kertas. Berita Selulosa. Vol. 44, No. 2, Hal.
on secondary fiber properties. Ph. D. Thesis, 66-75
Budapest University of Technology. RCChem Learning Centre, 2007. Pengolahan
Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Data Hasil Validasi Metode Analisis Kimia.
(Dirjen IAK), 2011. Roadmap Industri Kertas, LIPI. Bandung.
Kementerian Perindustrian, Jakarta. Smook, G. A. 2002. Handbook for Pulp and Paper
FEFCO, 2006. European Database for Technologist. Angus Wilde Publications Inc.,
Corrugated Board Life Cycle Studies. Canada.
Groupment Ondulé. European Containerboard http://www.expandingpaper.com/miami_repulp_
Organisation. Belgia. study.htm (diunduh Januari 2009)
Fibre Box Association (FBA), 2007. Voluntary
Standard For Repulping and Recycling
Corrugated Fiberboard Treated to Improve
Its Performance in the Presence of Water and
Water Vapor (Revisi). Rolling Meadows.
ABSTRACT
The increase in paperboard consumption in Indonesia might continue with the growing-population,
while the availability of conventional ligno-cellulosic fiber stuffs are depleted.Alternative fibers ( i.e.
empty oil-palm bunches (EOPB), pseudo banana-stems (PBS), pulp-mill sludge, and paper-mill sludge)
to manufacture paperboard has been done. EOPB and PBS were separately pulped using hot soda semi-
chemical process, with milder condition for the latter. The yielded EOPB pulp was mixed with pulp-mill
sludge, at proportions (w/w): 100%+0% and 50%+50%. Separately, the EOPB pulp was also mixed with
paper-mill sludge and PBS pulp, at proportions: 100%+0%+0%, 50%+50%+0%, 42.5%+42.5%+15%,
and 35%+35%+30%. Each fiber mixture added with additives, i.e. clay (5%), alum (2%), tapioca glue
(4%), and rosin size (2%); and afterwards ready for paperboard-sheet forming and testing. It turned out
incorporating pulp/paper-mill sludges and PBS pulp lowered physical/strength properties of paperboard.
Paperboard properties from consecutively: EOPB pulp (100%); EOPB pulp (50%) + pulp/paper-mill
sludge (50%); and involving PBS pulp (≤15%), could favor the commercial paperboard criteria. The visual
impression attractively appeared on paperboard surface, which incorporated pulp-mill sludge (50%) and
PBS pulp (15-30%) suggests its additional uses for art/fancy paperboard. Utilization of alternative fibers
might enhance green-industry development, with their value-added products.
Keywords: paperboard, natural-forest woods, renewable alternative fiber stuffs, commercial paperboard
criteria, green industries
ABSTRAK
Konsumsi karton di Indonesia meningkat terus seiring dengan bertambahnya penduduk. Sementara
itu, potensi serat berligno-selulosa konvensional semakin terbatas. Telah dilakukan percobaan pembuatan
karton dari serat alternatif yaitu tandan kosong kelapa sawit (TKKS), batang pisang, dan sludge dari
industri pulp dan kertas. TKKS dan batang pisang secara terpisah diolah menjadi pulp dengan proses semi-
kimia soda panas, dengan kondisi untuk TKKS lebih keras. Pulp TKKS yang terbentuk dicampur dengan
sludge industri pulp, pada proporsi (b/b) yaitu (100%+0%) dan (50%+50%). Secara terpisah, pulp TKKS
juga dicampur dengan sludge industri kertas dan pulp batang pisang, pada proporsi: (100%+0%+0%),
(50%+50%+0%), (42,5%+42,5%+15%), dan (35%+35%+30%). Tiap campuran serat ditambahkan aditif
berupa kaolin (5%), tawas/alum (2%), perekat tapioka (4%), dan rosin size (2%); dilanjutkan dengan
pembentukan lembaran karton berikut pengujiannya. Ternyata penggunaan sludge industri pulp/kertas
dan pulp batang pisang menurunkan sifat fisik/kekuatan karton. Sifat fisik/kekuatan karton dari berturut-
turut: pulp TKKS 100%; pulp TKKS (50%) + sludge industri pulp/kertas (50%); dan melibatkan pulp
batang pisang hingga 15%, memenuhi kriteria karton komersial. Kesan visual menarik pada permukaan
karton dari campuran serat yang melibatkan sludge industri pulp (50%) dan pulp batang pisang (15-
30%) mengisyaratkan tambahan manfaatnya untuk karton seni. Pemanfaatan serat alternatif diharapkan
mendorong pertumbuhan industri hijau, dengan produk bernilai tambah.
Kata kunci: karton, kayu hutan alam, bahan serat alternatif terbarukan, kriteria karton komersial, industri hijau
pada konsistensi 2-5% hingga menjadi serat-serat Hollander beater, lalu ditambahkan sludge
terpisah (pulp), dan waktu giling tidak dicatat. Pulp industri kertas (juga sudah dibersihkan) dan pulp
batang pisang dari hasil defiberasi dikeluarkan batang pisang (BP), dengan 4 macam proporsi
airnya pada alat sentrifus, dan selanjutnya juga yaitu: (100%+0%+0%), 50%+50%+0%),
diambil contoh pulp untuk ditetapkan rendemen (35%+35%+30%) dan (42,5%+42,5%+15%).
dan bilangan kappa pulp. Selanjutnya masing-masing juga diencerkan
dengan air hingga konsistensi 4-5%, lalu diaduk,
C. Pembentukan Lembaran Karton disirkulasi, hingga homogen. Selanjutnya,
campuran diberi pula bahan aditif (pengisi kaolin
Pembentukan lembaran karton dilakukan 5%, retensi alum/tawas 2%, perekat tapioka 4%,
di industri karton rakyat beskala usaha kecil/ dan rosin-sizing 2%), sambil terus disirkulasi agar
menengah), PT. DS, di Kebumen (Provinsi. Jawa tetap homogen. Tahapan pengerjaan berikutnya
Tengah). Ada 2 macam lembaran karton yang selanjutnya tetap serupa dengan pembentukan
dibentuk, berdasarkan macam bahan campuran karton dari campuran pulp TKKS+sludge industri
serat. pulp, juga dengan target gramatur karton 350-
400 gram/m2 dan ukuran 96 cm x 71 cm. Sebagai
1. Karton dari campuran pulp TKKS dan pembanding digunalan pula kertas karton produksi
sludge industri pulp industri rakyat tersebut dari campuran kertas bekas
(50%) + sludge (50%), juga tanpa bahan aditif.
Pulp TKKS (dengan derajat kehalusan 300-350
ml CSF) dimasukkan ke dalam Hollander beater, D. Pengujian Lembaran Karton
lalu ditambahkan sludge industri pulp (yang sudah
dibersihkan), dengan 2 macam proporsi campuran Keseluruhan karton yang terbentuk tersebut
yaitu: (100%+0%) dan (50%+50%). Selanjutnya diperiksa rendemen dan sifat fisik/kekuatannya.
masing-masing diencerkan dengan air hingga Sifat tersebut mencakup gramatur riil, kadar
konsistensi 4-5%. Masing-masing campuran air, ring crush, kekuatan pecah, daya serap air,
diaduk, disirkulasi, sehingga tercerai berai dan indeks retak/pecah, dan index ring crush, juga
menjadi homogen. Selanjutnya, campuran diberi dilakukan menurut prosedur dan standar TAPPI
bahan aditif (pengisi kaolin 5%, retensi alum/tawas (2011). Pemeriksaan/pengujian sifat tersebut
2%, perekat tapioka 4%, dan rosin-soap sizing sebagian dilakukan di Laboratorium Teknologi
(2%), sambil terus disirkulasi agar tetap homogen. Serat (P3HH, Bogor); dan sisanya di PT Kertas
Campuran bahan serat (pulp TKKS dan sludge) Dayasempurna Cellulosatama, Bekasi (Jawa
dan aditif, selanjutnya siap dibentuk menjadi Barat)
lembaran karton pada mesin kertas Fourdrinier.
Lembaran basah yang terbentuk dipotong tegak HASIL DAN PEMBAHASAN
lurus terhadap arah pergerakan lembaran (machine
direction/MD) setiap mencapai panjang sekitar A. Sifat Pengolahan Pulp Pulp TKKS
100 cm (menjadi ukuran 96 cm x 71 cm), lalu
dijemur dengan sinar matahari hingga kadar air Data sifat pengolahan pulp TKKS disajikan
turun menjadi ±10%. Setelah kering, lembaran pada Tabel 1.
karton dicalendering, dipress, dan dikemas.
Target gramatur karton adalah 350-400 gram/m2. Tabel 1. Sifat Pengolahan Pulp Tandan Kosong
Sebagai pembanding hasil pembuatan karton ini, Kelapa Sawit (TKKS)
digunalan kertas karton hasil produksi industri
rakyat tersebut, yang menggunakan campuran No. Sifat pengolahan *) Nilai Sb
kertas bekas (50%) + sludge (50%), tanpa bahan 1. Rendemen pulp, % 60,17 2,819
aditif. 2. Bilangan Kappa 38,17 2,044
3. Konsumsi alkali, % 9,81 0,187
2. Karton dari campuran pulp TKKS, sludge 4. Waktu giling, menit**) 125,49 0,2944
industri kertas, dan pulp batang pisang
*) Rata-rata dari 3 ulangan; Sb = simpangan baku (standard
deviation); **) Rataan total waktu menggiling pulp pada Hollander
Pulp TKKS (dengan derajat kehalusan beater, kemudian dilanjutkan di stone refiner untuk mencapai
derajat kehalusan 300-350 ml CSF. Sumber: Indrawan dan Roliadi
300-350 ml CSF) juga dimasukkan ke dalam (2011)
Rata-rata rendemen pulp TKKS (60,17%) kappa lebih tinggi dibandingkan pada konsentrasi
masih terletak dalam selang rendemen pulp 6%. Atas dasar itu, pulp batang pisang pada
semikimia yaitu 60-75%. Rata-rata bilangan konsentrasi 4% berindikasi lebih layak, sehingga
kappa sebesar 38.17 juga merupakan nilai yang digunakan sebagai bahan campuran dengan
umum dari pengolahan pulp semikimia (Smook, pulp TKKS dan sludge industri kertas untuk
2002). Bilangan kappa pulp TKKS yang relatif pembuatan industri karton.
besar (> 35) menunjukkan sisa kadar lignin masih
tinggi didalamnya (kadar lignin tinggi perlu untuk B. Hasil Pembentukan Lembaran Karton,
mempertinggi kekakuan karton). Konsumsi alkali Rendemen, dan Pengujian Sifatnya
selama pemasakan TKKS sebesar 9,81% di mana
relatif besar dibandingkan dengan konsentrasi 1. Sifat dan rendemen karton dari campuran
alkali untuk awal pemasakan TKKS (10%). Pulp TKKS dan sludge industri pulp
Kemungkinannya adalah alkali selain dikonsumsi
untuk melunakkan lignin, juga ikut dalam reaksi Data sifat fisik dan kekuatan karton tersebut
penyabunan dengan sisa-sisa lemak/minyak disajikan pada Tabel 3. Keseluruhan bobot dasar
dalam TKKS. Besarnya konsumsi alkali dapat (gramatur) riil karton dari pulp TKKS 100% dan
sebagai pertimbangan dilakukan atau tidaknya campurannya (pulp TKKS 50%+sludge 50%)
daur ulang cairan bekas pemasak (lindi hitam), berada pada selang target gramatur (350-400
pada kemungkinan penerapan percobaan secara gram/m2) (Tabel 2). Gramatur dan tebal karton
komersial. Selanjutnya, rata-rata waktu giling baik dari pulp TKKS 100% dan campuran tersebut,
pulp TKKS sebesar 125.49 menit dapat sebagai berturut-turut lebih tinggi dan lebih rendah dari
indikasi pertimbangan konsumsi energi khususnya pada nilai untuk karton produksi industri rakyat
pemakaian listrik atau bahan bakar dalam (campuran sludge 50%+kertas bekas 50%, tanpa
menggerakkan Hollander beater dan stone refiner. aditif). Indikasi penggunaan bahan aditif (retensi
alum/tawas, pengisi kaolin, perekat tapioka, dan
Pulp Batang Pisang sizing darih rosin) memberi efektifitas nyata
pada kekompakan ikatan, anyaman, dan gaya
Data sifat pengolahan pulp batang pisang tarik-menarik antar serat sewaktu pembentukan
disajikan pada Tabel 2. Rendemen pulp lembaran karton (Smook, 2012; TAPPI, 2011).
semikimia batang pisang tersebut (42-43%) jauh Kadar air karton asal 100% pulp TKKS lebih
di bawah rendemen pulp semikimia TKKS yaitu rendah dibandingkan asal campuran pulp TKKS
60,17% (Tabel 1), meskipun kondisi pemasakan 50%+sludge 50%, tetapi keduanya lebih tinggi dari
pulp TKKS lebih keras (konsentrasi alkali lebih pada kadar air karton industri rakyat. Ini karena
tinggo 10% vs. 4-6%; tekanan udara tertutup vs. sifat sludge industri pulp yang lebih higroskopis
terbuka; dan suhu > 100oC vs. 100oC). Indikasi dan lebih terfragmentasi (Smook, 2002; Indrawan
bahwa pada batang pisang terdapat banyak bahan dan Roliadi, 2011) sehingga gugusan OH dan polar
bukan serat (jaringan parenkim) dibandingkan lain pada sludge memiliki akses lebih terbuka,
pada TKKS. sehingga karton yang melibatkan sludge tersebut
Rendemen pulp batang pisang pada konsentrasi lebih banyak menarik/mengikat air dari udara
alkali 4% dan 6% nampaknya tak saling berbeda sekitarnya. Penyerapan air karton dari pulp TKKS
(Tabel 4). Akan tetapi pada konsentrasi alkali 100% dan dari campuran pulp TKKS (50%) dan
4%, konsumsi alkali lebih rendah dan bilangan sludge industri pulp (50%), lebih rendah dari pada
Tabel 3. Sifat Fisik dan Kekuatan Karton Hasil Percobaan dari Campuran Pulp TKKS
dan Sludge Industri Pulp, Berikut Pembanding
(1) Menggunakan pulp TKKS 100%, dengan bahan aditif (kaolin 5%, alum/tawas 2%, perekat tapioka 4%, rosin-size 2%)
(2) Dari campuran pulp TKKS (50%) + sludge industri pulp (50%), juga dengan bahan aditif (rincian sda)
(3) Karton produksi innustri rakyat (skala kecil) dari campuran kertas bekas (50%) + sludge (50%), tanpa aditif
(1), (2), dan (3) rata-rata dari 5 ulangan; angka dalam kurung = simpangan baku
*) Standar PT Kertas Dayasempurna Cellulosatama, Bekasi (Jawa Barat) (2009); Sumber: Roliadi (2009)
karton industri rakyat. Diduga ini terjadi karena (keduanya menggunakan aditif) lebih tinggi dari
penggunaan bahan aditif rosin-size yang bersifat pada karton produksi industri rakyat yang terdiri
water-repellent (Smook, 2002), sedangkan pada campuran kertas bekas (50%)+ sludge (50%)
karton rakyat tidak menggunakan rosin-size tanpa aditif. Juga ini merupakan indikasi lagi
tersebut. bahwa penambahan bahan aditif berperan pada
Indeks retak, indeks sobek, dan ketahanan kekompakan anyaman dan ikatan antar serat.
lingkar karton dari pulp TKKS 100% lebih tinggi Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa
dari pada karton asal campuran pulp TKKS sifat karton dari pulp TKKS 100% ataupun dari
50%+sludge 50%, sedangkan dalam hal indeks campurannya (pulp TKKS 50% dengan sludge
tarik nampaknya tidak berbeda nyata. Indikasi 50%) lebih baik dari pada karton produksi
lagi bahwa dalam sludge banyak mengandung industri rakyat (Tabel 3); dan banyak memenuhi
serat-serat pendek atau terfragmentasi dan persyaratan kualitas karton komersial dan karton
partikel-partikel bukan serat (antara lain sisa jenis chipboard, kecuali daalm hal indeks
bahan aditif) sehingga berpengaruh buruk pada tarik, indeks retak, dan indeks sobek (Tabel 3).
kekompakan anyaman dan ikatan antar serat Diharapkan kekurangan tersebut dapat diperbaiki
pada waktu waktu pembentukan lembaran dengan lebih banyak penambahan rosin size dan/
karton (Smook, 2002). Sifat kekuatan (indeks atau perekat tapioka.
retak, indeks sobek, indeks tarik, dan ketahanan Rendemen lembaran karton asal pulp TKKS
lingkar) lembaran karton dari pulp TKKS 100% 100% yang dibentuk di industri rakyat (ukuran
dan campuran pulp TKKS 50%+sludge 50% 96 cm x 71 cm) berdasarkan berat bahan serat
Balai Besar Pulp dan Kertas 33
Bandung
Prosiding Seminar Teknologi Pulp dan Kertas
ISBN : 978-602-17761-3-1 Golden Flower Hotel, Bandung, 10 November 2015
yang masuk ke penggilingan (Hollander beater) Hasil scanning permukaan karton yang
dan setelah penggilingan dilanjutkan dengan dibentuk dari campuran pulp TKKS 50% dan
pengeringan calendering adalah 79,34%, sludge industri pulp 50% menunjukkan adanya
sedangkan nilainya untuk karton dari campuran kesan visual menarik pada permukaan karton
pulp TKKS 50%+sludge 50% adalah 74,83% berupa guratan, alur-alur, dan bintik-bintik
(Tabel 4). Indikasi lagi bahwa dalam sludge dengan arah tidak beraturan, tersebar merata, dan
terdapat serat pendek, fines, dan partikel-partikel berwarna agak gelap (Gambar 1a). Sementara
kecil bukan serat (Smook, 2002). Rendemen itu, hasil scaning permukaan karton dari pulp
lembaran karton baik asal pulp TKKS murni TKKS murni (100%) tidak menunjukkan seperti
(100%) ataupun asal campurannya dengan pada karton dari campuran pulp TKKS (50%) +
sludge (50%:50%) ternyata masih dalam selang sludge industri pulp(50%) (Gambar 1b).
rendemen karton yang lazim diperoleh oleh
industri rakyat (75-85%). 2. Sifat dan rendemen karton dari campuran
Penyusutan ukuran (5,83-8,17%) pada karton pulp TKKS, sludge industri kertas dan
dari campuran pulp TKKS (50%) + sludge (50%) pulp BP
sesudah pengeringan sinar matahari (Tabel 4)
beindikasi lagi pada sludge industri pulp terdapat Data sifat fisik dan kekuatan karton disajikan
komponen bukan serat yang rapuh (mudah hancur) pada Tabel 5
akibat perlakuan tertentu (termasuk panas sinar
matahari). Komarayati dkk. (2008) menyatakan Hampir serupa dengan sifat karton yang
bahwa sludge industri pulp mengandung unsur melibatkan sludge industri pulp 50% (Tabel 3),
kimia bukan penyusun serat seperti nitrogen di sini sifat kekuatan karton dari pulp TKKS
(N), fosfor (P), kalium (K), kalsium (Ca), dan (50%)+sludge industri kertas (50%) juga
magnesium (Mg). cenderung lebih rendah dibandingkan sifat
Tabel 4. Rendemen Lembaran Karton yang Dibentuk dari Pulp TKKS 100%, dan dari Campuran Pulp
TKKS dengan Sludge Industri Pulp yang dibentuk di Pabrik Karton Rakyat
A B
Gambar 1. Pola Khas Permukaan Karton Khususnya yang Dibentuk dari Campuran Pulp TKKS 50%
+ Sludge Industri Pulp 50% (a); dibandingkan dengan Permukaan Karton dari hanya Campuran Pulp
TKKS 100% (b); Sumber: Roliadi (2009).
Tabel 5. Sifat Fisik dan Kekuatan Karton Seni Hasil Percobaan dari Campuran Pulp TKKS, Sludge
Industri Kertas, dan Pulp BP (Batang Pisang) berikut Karton Pembanding
(1) Dari campuran: pulp TKKS 100%, dengan bahan aditif (kaolin 5%, alum/tawas 2%, perekat tapioka 4%, rosin-size 2%)
(2) Dari campuran: pulp TKKS 50% + sludge 50%, dengan bahan aditif (sda)
(3) Dari campuran: pulp TKKS 42.5% + sludge 42.5% + pulp batang pisang (BP) 15%, dengan bahan aditif (sda)
(4) Dari campuran: pulp TKKS 35% + sludge 35% + pulp BP 30%, dengan bahan aditif (sda)
(5) Karton produksi innustri rakyat (skala kecil) dari campuran kertas bekas 50%) + sludge 50%, tanpa aditif
1), 2), 3), 4), dan 5) rata-rata dari 5 ulangan; angka dalam kurung = simpangan baku
*) Standar PT Kertas Daya Sempurna Cellulosatama, Bekasi (Jawa Barat) (2009); Sumber: Indrawan dkk. (2011)
karton dari pulp TKKS (50%) (Tabel 5). Juga bobot dasar dan tebal lembaran karton diduga
kadar air dan penyerapan air lebih tinggi pada berhubungan dengan masih banyaknya serat-
karton yang melibatkan sludge industri kertas. serat tidak terpisah (fiber bundles) pada pulp
Ini mengindikasikan pula sludge industri kertas batang pisang yang terbawa saat pembentukan
bersifat higroskopis dan mengandung banyak lembaran tersebut.
bahan bukan serat. Dalam hal bobot dasar dan Dalam hal sifat kekuatan (khususnya indeks
tebal, seluruh karton hasil percobaan memenuhi ring crush dan indeks pecah), semakin tinggi
persyaratan karton pembanding. Terindikasi proporsi campuran pulp batang pisang, maka
bahwa semakin tinggi proporsi pulp batang pisang kekuatan tersebut cenderung menurun (Tabel
atau semakin rendah proporsi campuran pulp 5). Ini juga lebih memperkuat indikasi bahwa
TKKS dan sludge, maka kadar air dan penyerapan pada pulp batang pisang terdapat bahan bukan
air cenderung menurun, sedangkan tebal dan serat (jaringan parenkhim). Sifat fisik/kekuatan
bobot dasar meningkat (Tabel 5). Penurunan karton dari campuran pulp TKKS + sludge
tersebut diduga ada kaitannya dengan masih industri kertas + pulp batang pisang (BP) pada
tingginya bahan bukan serat berupa ekstraktif proporsi 100%+0%+0%, 50%+50%+0%, dan
semacam lilin dalam pulp batang pisang tersebut 42.5%+42.5%+15% (semuanya menggunakan
(Rachmawati, 2002). Selanjutnya meningkatnya aditif) lebih baik dari sifat karton industri rakyat
(tanpa aditif); dan juga banyak memenuhi diambil dari industri PT TEL Pulp & Paper,
persyaratan karton pembanding (karton komersial menggunakan bahan baku kayu Acacia mangium.
dan standard chipboard) (Tabel 5). Gejala ini Kegiatan industri tersebut menerapkan proses
ada kaitannya pula dengan penggunaan aditif pengolahan sulfat (kraft), dan hanya sampai pada
(alum, kaolin, tapioka, dan rosin soap) pada pembentukan lembaran pulp diputihkan (tanpa
pembentukan lembaran karton seni tersebut, aditif). Dengan demikian dalam sludge tersebut
yang berakibat ikatan/anyaman antar serat lebih diindikasikan terdapat limbah padat yang
intensif dalam karton. Penggunaan campuran dihasilkan antara lain dari kegiatan pencucian/
pulp batang pisang sekitar15-30% cenderung pembersihan dolok kayu, pengkulitan, pencucian/
menurunkan sifat karton dan banyak tidak pembersihan serpih, pemasakan/pengolahan pulp
memenuhi persyaratan pembanding. sulfat, proses kondensasi digester dan evaporator,
Rendemen lembaran karton (ukuran 96 cm filtrat dari limbah proses pemutihan pulp, dan
x 71 cm) cenderung menurun dengan semakin white water dari pembentukan lembaran pulp
tinggi proporsi campuran sludge dan pulp batang (Smook, 2002).
pisang (Tabel 6). Indikasi lagi bahwa bahwa Sementara itu, sludge industri kertas (SIK)
sludge dan batang pisang mengandung banyak diambil dari industri PT Indah Kiat, dimana
bahan sehingga mudah hancur/terlarut pada industri tersebut menggunakan bahan baku serat
media air selama pembentukan lembaran karton. berupa pulp (bahan setengah jadi) dari industri
Rendemen lembaran karton dari campuran pulp pulp, kertas bekas, dan pulp impor. Selanjutnya
TKKS + sludge tanpa atau melibatkan pulp dibentuk menjadi lembaran kertas dengan
batang pisang (≤15%) masih terletak dalam menggunakan bahan aditif (sizing, zat warna,
selang rendemen yang umum diperoleh pada filler, dan perekat). Produk jadi industri tersebut
industri rakyat tersebut (75-85%). Sesudah berupa kertas tulis/cetak diputihkan, karton,
penyinaran matahari dan calendering tidak terjadi corrugating medium, dan kraft liner. Dengan
penyusutan ukuran yang berarti pada karton demikian dalam sludge ini kemungkinan besar
dari campuran pulp TKKS + sludge industri terdapat limbah padat dari antara lain kegiatan
kertas + pulp batang pisang (BP) pada proporsi pengolahan kembali kertas bekas (deinking),
tertentu (50%+50%+0%, 42.5%+42.5%+15%, white water dari mesin pembentukan kertas
dan 35%+35%+30%) (Tabel 5). Sebaliknya, (berikut sisa bahan aditif yang terlarut/tersuspensi
penyusutan tersebut terjadi pada karton dari di dalamnya, filtrat dari limbah proses pemutihan,
campuran pulp TKKS + sludge industri pulp, dan segala tumpahan-tumpahan dari berbagai
pada proporsi 50%+50% (Tabel 6). Demikian tahapan terkait (TAPPI, 2011).
pula, sifat fisik/kekuatan lembaran karton yang Selanjutnya, berdasarkan telaahan rendemen/
melibatkan sludge industri kertas (Tabel 5) penyusutan ukuran/sifat kekuatan karton
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan tersebut, baik yang melibatkan SIP ataupun SIK,
yang melibatkan sludge industri pulp (Tabel 3). terdapat indikasi kuat bahwa SIP lebih sedikit
Kemungkinan penjelasannya adalah sludge mengandung fraksi serat, lebih banyak komponen
industri pulp (SIP) untuk percobaan karton ini organik (dari proses pengkulitan, digester, dan
Tabel 6. Rendemen Lembaran Karton Seni dari Campuran Pulp TKKS, Sludge Industri Kertas (SIK), dan
Pulp Batang Pisang (BP) yang dibentuk pada Industri Rakyat Skala Kecil di Kebumen (Jawa Tengah)
Tidak terjadi perubahan berarti pada ukuran karton antara sebelum dan sesudah dilakukan pengeringan dan calendering, yaitu tetap sekitar
2)
(a) (b)
Gambar 2. Pola Khas Permukaan Karton yang dibentuk dari Campuran Pulp TKKS 35-42,5%,
Sludge Industri Kertas 35-42,5%, dan Pulp Batang Pisang 15-30% (a); dibandingkan dengan yang dari
Campuran Pulp TKKS 50% dan Sludge 50% (b); Sumber: Roliadi dan Indrawan (2009)
bleaching), dan lebih sedikit pula komponen pembuangannya, kesediaan lahan (landfill)
anorganik. Sebaliknya, pada SIK terindikasi yang semakin terbatas, tidak dengan cara
lebih banyak terdapat fraksi serat (terutama dari membakarnya; dan sebaliknya meningkatkan
limbah mesin kertas, headbox), lebih sedikit nilai tambah/kegunaannya (menjadi karton).
komponen organik, dan lebih banyak komponen Proses pembuatan karton juga menghasilkan
anorganik (dari sisa aditif, coating, dan deinking). limbah, dan yang sangat mengkhawatirkan
Selanjutnya, hasil scanning permukaan karton adalah limbah sludge (sudah diuraikan
yang dibentuk dari campuran pulp TKKS (35- sebelumnya, berikut saran mengatasinya) dan
42,5%) + sludge (35-42,5%) + pulp batang pisang lindi hitam (black liquor). Lindi hitam di sini
(15-30%) menampakan kesan visual menarik adalah cairan bekas pemasak dari pengolahan
berupa guratan, alur-alur, dan bintik-bintik pulp dengan proses semi-kimia soda panas.
dengan arah tidak beraturan, tersebar merata; serta Guna penghematan operasi pembuatan pulp
berwarna agak gelap (Gambar 2a), sedangkan untuk karton dan kemungkinan kekhawatiran
pada lembaran karton dari campuran pulp TKKS lingkungan, lindi hitam tersebut perlu didaur
50%+sludge 50% (tanpa pulp batang pisang) tidak ulang untuk memeroleh kembali bahan kimia
ada penampakan tersebut (Gambar 2b). (alkali/soda).
Proses daur ulang memerlukan bahan
C. Keterkaitan Hasil Percobaan dengan kimia dan peralatan dengan biaya tidak sedikit
Kemungkinan Pengembangan Industri Hijau sehingga perlu dipertimbangkan penerapannya.
Diindikasikan, bahwa lindi hitam proses soda
Percobaan karton ini menggunakan bahan sekiranya tidak diadur ulang tidak terlalu
serat berligno-selulosa alternatif berupa limbah, berdampak negatif terhadap lingkungan,
yaitu TKKS, sludge industri pulp/kertas, dan bahkan positif. Ini karena proses soda disini
batang pisang. Meski berupa limbah, bahan tidak menggunakan sulfur (bersifat racun dan
tersebut juga secara langsung atau tidak korosif). Hasil pencermatan dan eksperimen
langsung merupakan turunan produk proses mengindikasikan bahwa lignin dan bahan
fotosintesis tanaman melalui aktifitas zar hijau organik lain terlarut dalam lindi hitam tersebut
daun (chlorophyll), berikut proses metabolisme ikut menyuburkan tanah bagi pertumbuhan
lainnya, sehingga bersifat terbarukan. Diharapkan tanaman, sebagai soil conditioner/ amandment
ini dapat mengurangi ketergantungannya pada (Thompsen, 2012). Di samping itu lindi hitam
bahan baku serat konvensional (terutama hasil pengolahan pulp serat alternatif tersebut
kayu hutan alam), yang potensinya semakin (bersifat monokotil, seperti TKKS dan batang
terbatas dan langka. Hal tersebut sekaligus bisa pisang) banyak mengandung unsur mineral
berdampak mengurangi kerusakan hutan. Hutan seperti Ca, K, P, Na, Mg, Mn, Si, dan Al;
berperan positif sebagai antara lain penyerap dan beberapa diantaranya dibutuhkan untuk
CO2 (rosot karbon), menjaga keseimbangan pertumbuhan tanaman (Hassan dan El-Sayed,
ekosistem, keanekaragaman hayati, mengatur 2005). Berdasarkan hasil telaahan yang positif
persediaan air tanah, dan mitigasi bencana alam. tersebut, hasil prospektif percobaan karton ini
Pemanfaatan limbah bahan serat tersebut diharapkan ikut mendorong pengembangan
diharapkan ikut pula mengatasi masalah seperti: industri hijau, karena memanfaatkan bahan
Balai Besar Pulp dan Kertas 37
Bandung
Prosiding Seminar Teknologi Pulp dan Kertas
ISBN : 978-602-17761-3-1 Golden Flower Hotel, Bandung, 10 November 2015
alternatif terbarukan, dengan produk bernilai Indrawan, D.A. dan H. Roliadi. 2011. Pembuatan
tambah (karton) dan tidak membahayakan pulp dari tandan kosong kelapa sawit untuk
lingkungan. karton pada skala usaha kecil. Jurnal Penelitian
Hasil Hutan, Vol. 29, No. 3, 211-225.
KESIMPULAN Indrawan, D.A., H. Roliadi, dan R.M. Tampubolon.
2011. Pemanfaatan bahan alternatif berserat
Percobaan pembuatan karton menggunakan ligno-selulosa untuk pembuatan pulp dan kertas
campuran bahan baku serat berligno-selulosa guna menjaga kelestarian sumber daya alam.
alternatif terbarukan, yang terdiri dari tandan Prosiding Seminar Teknologi Pulp dan Kertas
kosong kelapa sawit (TKKS), batang pisang, sludge 2011: Mewujudkan Industri Hijau pada Produksi
industri pulp dan sludge industri kertas. Sebelum Pulp dan Kertas Indonesia. Bandung, 12 Juli
pencampuran tersebut, TKKS dan batang pisang 2011. Balai Besar Pulp dan Kertas, Bandung.
lebih diolah menjadi pulp. Sifat fisik/kekuatan Indrawan, D.A., L. Efiyanti, R.M. Tampubolon,
karton yang dibentuk dari campuran pulp TKKS dan H. Roliadi. 2014. Pembuatan pulp untuk
+ sludge industri pulp, pada proporsi 100%+0% kertas bungkus dari bahan serat alternatif Jurnal
dan 50%+50% banyak memenuhi persyaratan Penelitian Hasil Hutan, Vol. 33, No. 4, 283-302.
karton komersial. Sifat fisik/kekuatan karton dari Komarayati, S., H. Roliadi, dan R.A. Pasaribu. 2008.
campuran pulp TKKS + sludge industri kertas + Teknologi dan kelayakan finansial pemanfaatan
pulp batang pisang pada proporsi 100%+0%+0%, limbah industri pulp dan kertas. Makalah
50%+50%+0%, dan 42.5%+42.5%+15% juga Utama disajikan pada Seminar Teknologi
banyak memenuhi persyaratan karton komersial. Pemanfaatan Limbah Industri Pulp dan Kertas
Sifat karton dari campuran pulp TKKS (35%) + untuk Mengurangi Beban Lingkungan di Bogor,
sludge industri kertas (35%) + pulp batang pisang tanggal 24 Nopember 2008. Pusat Litbang Hasil
(30%) tidak memenuhi persyaratan tersebut. Hutan. Bogor.
Peningkatan porsi sludge (baik dari industri pulp KOMPAS. 2012 Data hutan: Laju deforestasi hutan
atau industri kertas) dan porsi pulp batang pisang 0,5 juta hektar. Lingkungan. Harian Kompas,
cenderung menurunkan sifat fisik/kekuatan tanggal 9 Mei 2012. Jakarta.
karton. Sifat fisik/kekuatan dan kestabilan dimensi Rachmawati, Y. 2002. “Karakteristik sifat
karton dari campuran pulp TKKS + sludge industri fisik mekanis pelepah pisang sebagai bahan
pulp (pada proporsi 50%+50%) cenderung lebih kemasan”, Skripsi, Institut Pertanian Bogor,
rendah dari pada sifat karton dari campuran pulp Fakultas Teknologi Pertanian, Bogor.
TKKS + sludge industri kertas, pada proporsi Roliadi, H. 2009. Pembuatan dan kualitas karton
serupa (50%+50%). Terdapat kesan menarik pada dari campuran pulp tandan kosong kelapa sawit
permukaan karton yang melibatkan campuran dan limbah padat organik industri pulp. Jurnal
sludge industri pulp (50%) atau pulp batang pisang Penelitian Hasil Hutan, Vol. 28, No. 3, 209-221.
(15-30%), sehingga memungkinkan tambahan Roliadi, H. dan D. Indrawan, 2009. Pembuatan dan
manfaatnya untuk karton seni. Hasil prospektif kualitas karton seni dari campuran pulp tandan
percobaan ini diharapkan ikut mendorong kosong kelapa sawit, sludge industri kertas, dan
pertumbuhan industri hijau di bidang pulp/kertas pulp batang pisang. Jurnal Penelitian Hasil
(termasuk karton). Hutan, Vol. 28, No. 4, 305-321.
Smook, G.A. 2002. Handbook for Pulp and Paper
DAFTAR PUSTAKA Technologists. Joint Textbook Committee of the
Paper Industry. Atllanta, Georgia. USA
BPS. 2013. Statistik Indonesia. Badan Pusat Sumarjono, H.H. 2008. Berkebun 21 Jenis
Statistik. Jakarta Tanaman Buah. Seri Agribisnis. Penebar
Hassan, E.E. and A.A. El-Sayed. 2005. Swadaya. Jakarta.
Treatment of spent pulping liquor with TAPPI. 2011. Technical Association of the Pulp
lignin separation to recover alkali pulping and Paper Industries (TAPPI)’s Test Methods.
chemicals in the manufacture of paper pulp. TAPPI Press. Atlanta, Georgia, USA.
Patent WO2005054572A1. Univ. of Florida, Thompsen, A.M. 2012. Method of making a lignin-
USA. http://www.google.com/patents/ base fertilizer. Patent US2663628. Univ. of
WO2005054572A1?cl=en. Diakses pada: 5 California. http://www.google.com/patents/
September 2014. US2663628. Diakses pada: 7 September 2014.
b
Jurusan Teknologi Hasil Hutan, FAHUTAN, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
1
yennie_dy@yahoo.co.id
ABSTRACT
Terentang (camnosperma auriculata) is one of local wood in Riau. It has potency as raw material
for pulp. This Research aims was to study the effect of Phanerocahaete chrysosporium incubation periode
for chemical components and fiber dimension of wood Terentang. The incubation periode were use 3, 4
and 5 weeks. The research result showed that the treatment of P.chrysosporium was significant to lignin
and alfa cellulose. P.chrysosporium could decrease of lignin around 19,41-22,97% and increase of alfa
celluloce around 3,18-6,77%. The periode incubation was not significant to fiber dimension.
ABSTRAK
Terentang (Camnosperma auriculata) merupakan salah satu kayu lokal di Riau, yang berpotensi
sebagai bahan baku pulp. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh lama inkubasi Phanerochaete
chrysosporium terhadap kandungan kimia dan dimensi serat kayu terentang. Lama inkubasi yang
digunakan adalah 3, 4 dan 5 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan P.chrysosporium
berpengaruh terhadap kadar lignin, alfa selulosa. P.chrysosporium dapat menurunkan kadar lignin
berkisar 19,41-22,97% dan meningkatkan kadar alfa selulosa berkisar 3,18-6,77%. Lama inkubasi
P.chrysosporium tidak berpengaruh terhadap dimensi serat.
membutuhkan waktu dalam mendegradasai sel siap untuk dianalisa komponen kimia dan analisa
kayu. Menurut Ferraz dkk. (2000) bahwa proses dimensi serat. Serpih yang tidak diberi jamur
biodegradasi kayu merupakan fungsi dari lama merupakan serpih kontrol.
inkubasi. Analisa kandungan kadar lignin Klason
Berdasarkan penjelasan di atas, maka menggunakan SNI 0492-2008, kadar holoselulosa
diperlukan suatu penelitian tentang pengaruh mengacu Browning (1967), kadar alfa selulosa
lama inkubasi P.chrysosporium terhadap kimia sesuai SNI 01-1309-1989 dan hemiselulosa
kayu terentang. Hal ini tentu saja berkaitan dengan merupakan selisih holoselulosa dengan alfa
waktu yang terbaik selama proses biopulping. selulosa.
Untuk mengetahui pengaruh lama inkubasi
BAHAN DAN METODE terhadap komponen kimia dan dimensi serat
dilakukan analisis varian satu arah. Apabila
Bahan Penelitian hasil analisis keragaman berpengaruh, maka
dilakukan analisis lanjutan HSD (Honestly
Bahan baku yang digunakan kayu terentang significant difference) untuk melihat seberapa
sebanyak 3 (tiga) pohon sebagai ulangan. Bahan jauh perbedaan nilai rata-rata. Formula uji HSD
untuk proses biopulping dan analisa kimia adalah didefinisikan sebagai berikut:
isolat jamur P.chrysosporium American Type
Culture Collection (ATCC) 34541, Potato Dextro w = qα [p, dbe] [Se]
Agar (PDA), dextrose 1%, aquadest, spritus,
alkohol, etanol-toluena, NaOH 1%, H2SO4, KTE
CH3COOH. Peralatan yang digunakan adalah Se = ( )
mesin chipper, autoclave, laminar, inkubator, alat
r
ekstraksi dan peralatan gelas. Keterangan:
w = nilai tunggal untuk menyatakan beda
Prosedur Kerja nyata masing-masing perlakuan
qα = nilai baku yang diperoleh dari tabel
Persiapan bahan baku diawali dengan untuk tingkat nyata 5%
pembuatan serpih berukuran 2x2x0,2 cm, p = aras dari faktor
kemudian diukur kadar air serpih. Sebanyak dbe = derajat bebas error
200g BKT serpih terentang dimasukkan kedalam Se = standar error
plastik dan direndam selama 16 jam, kemudian KTE = kuadrat tengah error
ditiriskan. Serpih yang telah direndam disterilisasi r = banyaknya data untuk menghasilkan
menggunakan autoclave pada suhu 121°C selama satu nilai rata – rata
30 menit.
Persiapan suspensi jamur diawali dengan HASIL DAN PEMBAHASAN
perbanyakan jamur P.chrysosporium
menggunakan media PDA sebanyak 30 tabung Kehilangan Berat
reaksi, kemudian ditempatkan pada inkubator
bersuhu 270C selama 7 hari. Waktu panen Rerata persentase kehilangan berat serpih
dilakukan pengambilan miselia dari media dan terentang selama inkubasi 3, 4, dan 5 minggu
diusahakan agar media tidak ikut, kemudian ke dapat dilihat pada Tabel 1. Rerata kehilangan berat
dalam setiap tabung reaksi dimasukkan 15 ml serpih terentang pada lama inkubasi 3 minggu
aquadest steril yang mengandung dextrose 1% menunjukkan nilai yang berbeda dengan lama
(Shalleh, 2001; Sing dan Chen, 2008). inkubasi 4 dan 5 minggu, namun lama inkubasi
Suspensi miselia 5% dari BKT bahan baku 4 minggu mempunyai nilai yang sama dengan 5
dimasukkan dalam plastik, diujung plastik minggu. Lama inkubasi mempunyai hubungan
dipasang kapas steril dan ditutup dengan kertas positif dengan kehilangan berat. Semakin lama
steril. Serpih yang sudah diinokulasi jamur inkubasi maka semakin banyak kehilangan berat
disimpan pada inkubator selama 3, 4, dan 5 serpih terentang. Hal ini menandakan semakin
minggu. Pada akhir masa inkubasi, serpih kayu banyak sel kayu yang terdegradasi. Sel kayu
disterilkan kembali untuk pemutusan siklus yang terdegradasi diduga senyawa lignin dan
jamur dan dicuci, setelah itu keringkan. Serpih hemiselulosa.
Tabel 1. Rerata Kehilangan Berat Serpih Terentang setelah Inokulasi P. chrysosporium (n=3)
3 168,11 15,95±0,00a
4 200 159,41 20,29±1,16b
5 159,37 21,31±0,22b
Keterangan : Angka-angka dalam kolom yang sama yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata pada
uji Tukey p ≤ 0,05
Kehilangan berat pada lama inkubasi 3, 4, dan memiliki persentase kehilangan berat 18,56%
5 minggu berturut-turut adalah 15,95; 20,29, dan (Kasmani dkk., 2012). Selain hornbeam, kayu
21,31% (Tabel 1). Lama inkubasi 4 dan 5 minggu jati bagian gubal yang telah diinokulasi jamur
mempunyai kehilangan berat yang lebih besar P. chrysosporium selama 60 hari mengalami
dibandingkan dengan lama inkubasi 3 minggu. Hal kehilangan berat 10,61% (Rina dan Rajput, 2014).
ini diduga disebabkan oleh pertumbuhan miselia Nilai kehilangan berat kedua jenis kayu tersebut
jamur yang semakin luas dan banyak setelah 4 dan lebih kecil dibandingkan dengan kehilangan
5 minggu, sehingga aktifitas degradasinya juga berat serpih terentang. Hal ini diduga disebabkan
semakin tinggi. Menurut Kirk dkk. (1992) enzim oleh perbedaan berat jenis kayu tersebut. Kayu
peroksidase (MnP/Mangan peroksidase dan LiP/ dengan berat jenis rendah memiliki pori yang
Lignin Peroksidase) yang berperan dalam proses lebih besar atau lebih banyak dibandingkan kayu
degradasi lignin disekresikan sebanding dengan dengan berat jenis tinggi. Berat jenis kayu gubal
pertumbuhan miselia. Perbedaan kondisi miselia jati dan hornbeam berturut-turut adalah 0,64-0,70
jamur pada lama inkubasi 3, 4, dan 5 minggu (Pertiwi, 2014) dan 0,45-0,71 (Samariha, 2011),
terlihat pada Gambar 1. sedangkan berat jenis terentang pada penelitian
Jenis kayu yang berbeda bila diinokulasikan ini adalah 0,30.
dengan jamur dapat menghasilkan kehilangan
berat yang berbeda meskipun jenis jamur Kandungan Kimia Kayu Terentang
yang diinokulasikan adalah sama. Serpih
hornbeam (Carpinus betulus) yang diinokulasi Rerata komponen kimia kayu sebelum dan
jamur P. chrysosporium selama 4 minggu setelah perlakuan inokulasi dengan jamur P.
chrysosporium selama 3, 4, dan 5 minggu serta kadar lignin yang signifikan setelah inkubasi
perubahan yang terjadi ditunjukkan pada Tabel 3 minggu. Hal ini juga terjadi pada kayu
2 dan Tabel 3. Tabel 2 menunjukkan bahwa Fagus orientalis, dimana kadar lignin tidak
perlakuan lama inkubasi berpengaruh nyata lagi mengalami penurunan setelah diinkubasi
terhadap kandungan lignin, holoselulosa, alfa dengan P. chrysosporium selama lebih dari 20
selulosa, dan berpengaruh tidak nyata terhadap hari hingga 60 hari (Istek dkk., 2005). Beberapa
hemiselulosa. penelitian terdahulu pada kayu sengon, randu,
Perbandingan kadar alfa selulosa dengan kadar dan hornbeam yang diinkubasi selama 30 hari
lignin merupakan perbandingan kadar aktual dengan jamur P. chrysosporium menunjukkan
untuk kedua komponen ini. Serpih yang diberi pengurangan kadar lignin yang berbeda. Sengon
perlakuan jamur memiliki perbandingan alfa mengalami pengurangan kadar lignin sebesar
selulosa terhadap lignin lebih tinggi dibandingkan 8,20% (Pujirahayu dan Marsoem, 2006),
dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa sedangkan randu mengalami pengurangan kadar
jamur menggunakan lignin yang lebih banyak lignin sebesar 9,60% (Istikowati dan Marsoem,
dibandingkan alfa selulosa untuk pertumbuhan 2009), dan hornbeam mengalami pengurangan
miselia (Irawati dkk., 2012). kadar lignin sebesar 18,56% (Talaeipoure dkk.,
Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan 2010; Kasmani dkk., 2012). Nilai degradasi
dengan P. chrysosporium mengakibatkan lignin kayu sengon, randu, dan hornbeam lebih
penurunan kadar lignin bila dibandingkan kecil bila dibandingkan dengan hasil penelitian
kontrol. Secara statistik kadar lignin serpih ini (Tabel 2 dan Tabel 3).
terentang setelah perlakuan lama inkubasi 3, Kadar holoselulosa kayu terentang setelah
4, dan 5 minggu memiliki nilai yang tidak diberi perlakuan jamur P. chrysosporium selama
berbeda nyata. Artinya tidak ada lagi penurunan 3 minggu berbeda dengan lama inkubasi 4
Tabel 2. Kandungan Kimia (%) dan Perbandingan C/L Kayu Terentang (n=3)
Tabel 3. Perubahan Komponen Kimia setelah Inokulasi P. chrysosporium dibanding Kontrol (%)
Lama inkubasi
Lignin Holoselulosa Alfa selulosa Hemiselulosa
(minggu)
+10,72
3 -19,41 +6,77 +15,72
+0,04
4 -22,56 +4,67 -4,89
-5,03
5 -22,97 +3,18 -14,07
Keteranga : tanda (-/negatif) = pengurangan persentase kandungan kimia
tanda (+/positif) = peningkatan persentase kandungan kimia
minggu, sedangkan kadar holoselulosa kayu disebabkan oleh berkurangnya kadar lignin.
terentang setelah diberi perlakuan jamur P. Persentase kadar alfa selulosa kontrol (43,26%)
chrysosporium selama 4 minggu mempunyai lebih rendah dibandingkan dengan kadar alfa
nilai sama dengan 5 minggu dan control (Tabel selulosa setelah diberi perlakuan inkubasi 3,
2). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh jamur 4, dan 5 minggu yaitu berturut-turut 46,19%;
terlebih dahulu mendegradasi lignin sehingga 45,28%; dan 44, 64%. Perlakuan lama inkubasi
persentase holoselulosa pada kayu meningkat. 3 minggu telah meningkatkan persentase alfa
Pada penelitian ini diduga jamur P. selulosa sebesar 6,77%, sedangkan pada lama
chrysosporium ATCC 34541 yang digunakan inkubasi 4 dan 5 minggu kenaikan alfa selulosa
memiliki sifat simultan dalam mendegradasi berturut-turut adalah 4,67% dan 3,18%. Tingginya
dinding sel kayu, yang menyebabkan adanya persentase kadar alfa selulosa merupakan hal
penurunan kadar holoselulosa. Jamur busuk yang diinginkan dalam pengerjaan pulp.
putih dapat mempunyai pola simultan (non Bila dibandingkan dengan penelitian
selektif) terhadap degradasi sel, artinya jamur sebelumnya, kayu randu dan sengon yang
busuk putih selain mendegradasi lignin, juga diberi perlakuan P. chrysosporium mengalami
dapat mendegradasi selulosa dan hemiselulosa penurunan persentase kadar alfa selulosa
(Gamauf dkk., 2007). Selain pola simultan, (Istikowati dan Marsoem, 2006; Pujirahayu dan
jamur busuk putih juga memiliki pola yang hanya Marsoem, 2009). Hal ini diduga disebabkan
selektif mendegradasi lignin. Pola pembusukan inokulasi P. chrysosporium pada kayu randu dan
jamur busuk putih adalah tergantung pada strain sengon tanpa adanya penambahan nutrisi glukosa,
jamur dan substrat yang digunakan (Gamauf sehingga pada proses inkubasi selulosa juga ikut
dkk., 2007) terdegradasi. Hasil penelitian Singh dan Chen
Waktu inkubasi yang semakin lama (2008) menyatakan bahwa dengan penambahan
menyebabkan penurunan kadar holoselulosa glukosa 1% (b/v) dapat meningkatkan kinerja
yang besar, sehingga kadar holoselulosa menjadi enzim lignolitik.
semakin rendah (Tabel 2 dan Tabel 3). Setelah Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan
inkubasi 3 dan 4 minggu persentase kadar P. chrysosporium berpengaruh tidak nyata
holoselulosa lebih tinggi 0,04-10,72% dibanding terhadap kadar hemiselulosa, walaupun kadar
kontrol, namun setelah diinkubasi selama 5 hemiselulosa terentang cenderung menurun
minggu terjadi penurunan kadar holoselulosa sebesar 14,07% setelah inkubasi selama 5
sebesar 5,03%. minggu (Tabel 3). Penurunan kadar hemiselulosa
Nilai kadar holoselulosa serpih terentang yang berpengaruh tidak nyata setelah perlakuan
setelah diinkubasi selama 3, 4, dan 5 minggu P. chrysosporium merupakan sesuatu yang
dengan jamur P. chrysosporium berkisar antara diinginkan dalam pengolahan pulp. Hemiselulosa
76,94-89,70%. Hasil penelitian Istikowati dan berperan pada kekuatan tarik kertas (Fengel dan
Marsoem (2009) pada kayu randu yang diinkubasi Wegener, 1995). Penurunan kadar hemiselulosa
selama 20, 30, dan 40 hari dengan jamur yang serpih terentang lebih kecil dibandingkan dengan
sama mempunyai kadar holoselulosa sebesar sengon. Menurut Widjaya dkk. (2003) sengon
75,00-76,7%. Nilai kadar holoselulosa serpih yang diinkubasi P. chrysosporium selama 30
terentang lebih besar dibandingkan dengan kayu hari memiliki pengurangan kadar hemiselulosa
randu. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sebesar 25%.
perbedaan jenis kayu/substrat yang digunakan Aplikasi P. chrysosporium pada terentang
dan tingkat keselektifan jamur terhadap lignin. untuk keperluan bahan baku pulp lebih baik bila
Perlakuan P. chrysosporium terhadap serpih dibandingkan dengan hasil penelitian Istikowati
terentang yang diinkubasi selama 3 minggu dapat dan Marsoem (2006), Pujirahayu dan Marsoem
meningkatkan persentase kadar alfa selulosa, (2009), dan Widjaya dkk. (2003) pada kayu
namun setelah dinkubasi selama 4 dan 5 minggu sengon maupun randu. Hal ini dikarenakan
nilai peningkatan kadar alfa selulosa semakin persentase kehilangan lignin dan peningkatan
berkurang (Tabel 2). Kadar alfa selulosa pada kadar alfa selulosa lebih besar bila dibandingkan
lama inkubasi 4 dan 5 minggu memiliki nilai kayu sengon dan randu. Selain disebabkan
sama dengan kadar alfa selulosa pada kondisi oleh perbedaan jenis kayu juga disebabkan
kontrol dan lama inkubasi 3 minggu. Persentase adanya penambahan nutrisi glukosa pada serpih
alfa selulosa yang meningkat dibanding kontrol Terentang.
Istek, A., H. Sivrikaya, H. Eroglu, & S.K. Gulsoy., Samariha, A., 2011. Effect of altitude on growth
2005. Biodegradation of Abies bornmulleriana rate and physical properties of hornbeam
and Fagus orientalis by the white rot fungus wood (case study in Mashelak forest of Iran).
Phanerochaete chrysosporium. International World Applied Sciences Journal Vol. 13, No.
Biodeterioratian and Biodegradation Vol. 55, 9, 2057-2059
63-67 Saito, H., M. Shibuya, S.J. Tuah, M. Turjaman,
Istikowati, W.T., S.N. Marsoem., 2009. Pengaruh K. Takashi, Y. Jamal, H. Segah, P.E. Putir &
inokulasi jamur Phanerochaete chrysosporium S.H. Limin., 2005. Initial screening of fast-
Burds terhadap kimia kayu randu (Ceiba growing tree species being tolerant of dry
pentandra Gaertn). Sains dan Terapan Kimia tropical peatlands in central Kalimantan,
Vol. 3, No.2, 144-153 Indonesia. Journal of Forestry Research
Kasmani, J. E., M. Talaeipour, A.H Hemmasi, Vol.2, No. 2, 1-10
S. Mahdavi & A. Samariha., 2012. Shalleh, M., 2001. Biodegradasi lignin oleh
Biomechanical pulping of hornbeam chip with jamur Phanerochate chrysosporium pada
Phanerochaete chrysosporium. Bio Resources kayu sengon sebagai bahan baku pulp. Skripsi
Vol. 7, No.1, 1016-1028 Fakultas Kehutanan. Universitas Gajah Mada,
Kirk, T.K., R.B Richard & W.K John., 1992. Yogyakarta
Use of fungi in pulping wood: An overview Singh, D dan S. Chen., 2008. The white-rot fungus
of biopulping research, dalam Leatham, G. Phanerochaete chrysosporium condotion for
F (Ed.). Frontiers in Industrial Mycology the production of lignin-degrading enzymes.
Symposium, Madison, WI, New York: Applied Microbiology and Biotechnology.
Routledge, Chapman dan Hall, hal 99-111 Springer-Verlag, hal 1-47
Marsoem, S.N., 2004. Pemanfaatan hasil hutan Standar Nasional Indonesia., 1989. Standar
tanaman acacia mangium, dalam Hardiyanto, Nasional Indonesia (SNI 14-0444-1989) Cara
E. B. dan Arisman, H. (Ed.) Pembangunan uji kadar selulosa alfa, beta dan gamma dalam
Hutan Tanaman Acacia mangium: pulp kayu. Badan Standardisasi Nasional,
Pengalaman di PT. Musi Hutan Persada, Jakarta
Palembang PT. Musi Hutan Persada, Sumatera ., 2008. Standar Nasional Indonesia (SNI
Selatan, hal 301-360 0492-2008) Pulp dan kayu-Cara uji kadar
Novriyanti, E., Y. Aprianis, R. Rinanda, E. lignin (Metode Klason). Badan Standardisasi
Nurrohman & A. Winarsih., 2013. Sifat dasar Nasional, Jakarta
kayu Sumatera. Laporan Hasil Penelitian, Suhartati, S. Rahmayanti, A. Junaedi,
Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman E.Nurrohman., 2012. Sebaran dan Persyaratan
Hutan Tumbuh Jenis Alternatif Penghasil Pulp di
Norhaslida, R., R. Halis, L. Lakarim, M.I.Danial Wilayah Riau. Kementerian Kehutanan.
& J.C. Low., 2014. Chemical alteration of Badan Penelitian dan Pengembangan
banana pseudostems by white rot fungi. Kehutanan, Jakarta
Biomass and Bioenergy Vol.61, 206-210 Talaeipour, M., A.H. Hemmasi, J.E. Kasmani,
Pertiwi, Y.A.B., 2014. Sifat keawetan alami, S.A. Mirshokraie, dan H. Khademieslam.,
pencuacaan, dan efektifitas bahan pengawet 2010. Effects of fungal treatment on structural
boron pada kayu jati hutan rakyat, tesis, and chemical features of hornbeam chips.
Pasca Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Bioresources. Vol 5, No. 1, 477-487
Mada, Yogyakarta Widjaya, A., S. Adriyani dan A.A. Pratami., 2000.
Pujirahayu N. & S.N Marsoem., 2006. Efisiensi Study of biodelignification on sengon and
pemasakan bio-kraft pulp kayu sengon dengan pine using white rot fungus Phanerochaete
jamur Phanerochaete chrysosporium. Agro chrysosporium for develoment of pulp and
Sains Vol.19, No.2, 201-209 paper industries in Indonesia. http://www.
Rina, D.K & K.S. Rajput., 2014. Light digilib.its.ac.id. [12 November 2003].
microscopic analysis of Tectona garandis
L.f. wood inoculated with Irpex lacteus and
Phanerochaete chrysosporium. European
Journal Wood and Wood Products Vol. 72,
157-164
ABSTRACT
Waste Water Treatment Plant (WWTP) of paper mills generates large amounts of biological sludge
with organic compounds such as microbial biomass as major component in the range of 60-90%. This
sludge is voluminous and it is difficult to be dewatered -causing problems in the handling and the utilization.
Pre-treatment of biological sludge by using thermo-alkaline and sonication process disrupt microbial cell
walls that can ease in the handling and the utilization. The study of biological sludge pre-treatment using
thermo-alkaline, sonication and combination of both treatments has been conducted. Thermo-alkaline
treatment was carried out for 24 hours in varying temperature (20oC, 37oC, 50oC) and pH (9, 10, 11);
sonication treatment was performed at high frequency (30 ± 10 kHz) with variations of time (15, 30, and
45 minutes), meanwhile the combination of both treatments was performed at each optimum conditions.
The effectiveness of pretreatment was evaluated based on the increasing of soluble COD (CODf) and the
reduction of Volatile Solid (VS). The results showed that the thermo-alkaline treatment was more effective
than that of the sonication and the combination treatment. The best condition was obtained when sludge
treated with thermo-alkaline treatments at pH of 10 and temperature of 30°C with the increasing CODf
concentration of 439.91% and VS reduction of 59.23%. Meanwhile the sonication treatment was able to
increase CODf concentration of 114.3% and VS reduction of 46.86%. The combined of thermo-alkaline
and sonication treatment process did not give a significant results compared to thermo-alkaline treatment.
ABSTRAK
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) industri kertas menghasilkan lumpur biologi dalam jumlah
yang cukup besar dengan komponen utama senyawa organik berupa biomassa mikroba yang berkisar 60-
90%. Lumpur tersebut bersifat voluminous dan sulit dihilangkan airnya sehingga menimbulkan masalah
pada penanganan dan pemanfaatannya. Proses termo-alkali dan sonikasi merupakan perlakuan awal
terhadap lumpur biologi untuk memecah dinding sel mikroba untuk memudahkan dalam penanganan
dan pemanfaatan selanjutnya. Penelitian perlakuan awal lumpur biologi dengan proses termo-alkali,
sonikasi, dan gabungannya telah dilakukan. Perlakuan proses termo-alkali dilakukan selama 24 jam
dengan variasi suhu (20oC, 37oC, 50oC) dan pH (9, 10, 11); perlakuan sonikasi dilakukan pada frekuensi
tinggi (30 ± 10 kHz) dengan variasi waktu (15, 30, dan 45 menit), dan perlakuan gabungan termo-alkali
dan sonikasi dilakukan pada kondisi optimum masing-masing. Efektivitas perlakuan awal dievalusi
berdasarkan peningkatan konsentrasi COD terlarut (CODf) dan reduksi Volatile Solid (VS). Hasil
percobaan menunjukkan bahwa perlakuan lumpur biologi dengan proses termo-alkali lebih efektif
dibandingkan dengan perlakuan lumpur biologi dengan proses sonikasi dan gabungannya. Kondisi
terbaik perlakuan lumpur biologi dengan proses termo-alkali adalah pada pH 10 dan suhu 37oC dengan
peningkatan kadar CODf sebesar 439,91% dan reduksi VS sebesar 59,23%. Sedangkan pada perlakuan
lumpur biologidengan proses sonikasi hanya mampu meningkatkan kadar CODf sebesar 114,3% dan
reduksi VS sebesar 46,86%. Perlakuan lumpur biologi dengan proses gabungan termo-alkali dan
sonikasi tidak memberikan hasil yang signifikan dibandingkan dengan perlakuan termo-alkali.
Kata kunci : Lumpur biologi, perlakuan awal, termo-alkali, sonikasi, CODf, volatile solid
Balai Besar Pulp dan Kertas 47
Bandung
Prosiding Seminar Teknologi Pulp dan Kertas
ISBN : 978-602-17761-3-1 Golden Flower Hotel, Bandung, 10 November 2015
rancangan acak blok. Tahapan percobaan didominasi dengan komponen utama berupa
diawali dengan karakterisasi lumpur biologi senyawa organik. Hal tersebut tampak dari
yang kemudian dilanjutkan dengan percobaan kadar VS yang tinggi yaitu 87,87% dan COD
perlakuan terhadap lumpur biologi yang terdiri total 18,64 g/L. Senyawa organik dalam lumpur
dari perlakuan termo-alkali, sonikasi dan biologi ini, kemungkinan didominasi oleh
gabungan perlakuan termo-alkali dan sonikasi. senyawa organik yang berasal dari biomassa
Karakterisasi dilakukan terhadap lumpur mikroba yang sulit untuk didegradasi karena
biologi hasil pemekatan yang telah dihomogenkan. adanya ikatan antara glikan dengan rantai peptida
Karakterisasi meliputi beberapa parameter yaitu pada dinding sel mikroba (Appels et al., 2008),
pH, COD total, dan COD terlarut (CODf), Total produk pelapukan sel, lignin terendapkan yang
Solid (TS) dan Volatile Solid (VS). Pengujian tidak bisa dibiodegradasi (Bayr dan Rintala,
parameter - parameter tersebut dilakukan di Balai 2012). Kandungan senyawa organik pada lumpur
Besar Pulp dan Kertas (BBPK) Bandung, dengan biologi sebagian besar bersifat tersuspensi dan
mengacu pada SNI tahun 2009, kecuali parameter hanya sekitar 2 % yang bersifat terlarut. Hal
TS dan VS mengacu pada AWWA APHA 2012. tersebut tampak dari rasio COD terlarut terhadap
Percobaan perlakuan terhadap lumpur biologi COD total yang sangat kecil yaitu 0,02.
yang terdiri dari perlakuan termo-alkali, sonikasi
dan gabungan perlakuan termo-alkali dan Tabel 1.Karakteristik Lumpur Biologi
sonikasi dilakukan dalam botol serum volume Sekunder yang Digunakan
500 mL dengan tiga ulangan. Variabel pada
perlakuan termo-alkali adalah suhu, pH dan pada No. Parameter Satuan Nilai
perlakuan sonikasi adalah frekuensi dan waktu, 1 pH - 7,08
sedangkan perlakuan gabungan termokimia –
2 TS % 2,45
sonikasi adalah kondisi optimum dari masing-
masing dua percobaan di atas. Pengaturan pH 3 VS % 87,87
dilakukan dengan menambahkan larutan NaOH 4 Abu % 12,13
5% (w/v). Parameter pengamatan pada semua 5 CODf g/L 3,611
variasi perlakuan adalah pH, CODf, TS, VS yang 6 CODtotal g/L 18,64
dianalisis pada awal dan akhir percobaan. Rincian
variasi percobaan dari masing-masing perlakuan Pengaruh Perlakuan Termokimia dan Sonikasi
adalah sebagai berikut :
1. Perlakuan termo-alkali Perlakuan proses termo-alkali dan sonikasi
pH : 9; 10; 11 terhadap lumpur biologi, umumnya dilakukan
Suhu : 20; 37; 50 °C untuk meningkatkan kinerja pengolahan lumpur
Waktu : 24 jam biologi dengan proses digestasi anaerob. Hal
2. Perlakuan sonikasi tersebut seperti yang dilakukan oleh Appels
Frekuensi : 30 ± 10 kHz et al. (2008); Bougrier et al. (2006); Bayr
Waktu : 15 ; 30 ; 45 menit et al. (2013); Cardell (2010); Carrere et al.
3. Perlakuan gabungan termo-alkali dan sonikasi (2010). Hasil penelitian menunjukkan pra-
Percobaan diawali dengan perlakuan termo- perlakuan menggunakan termal (suhu), alkali
alkali pada kondisi pH, suhu optimum dengan dan sonikasi dapat meningkatkan solubilitas
waktu 24 jam, kemudian dilanjut dengan materi organik, menghancurkan struktur sel
perlakuan sonikasi pada frekuensi dan waktu dan matriks flok pada lumpur sehingga dapat
optimum. meningkatkan produksi biogas. Pada penelitian
ini digunakan dua metode pra-perlakuan yaitu
HASIL DAN PEMBAHASAN proses termokimia dan sonikasi. Pra-perlakuan
tersebut dilakukan untuk memecah dinding
Karakteristik Lumpur Biologi sel mikroba sehingga sel lisis dan materi
organik yang berada di dalam sel dilepaskan ke
Data karakteristik lumpur biologi dapat dilihat lingkungan. Efektivitas pra-perlakuan tersebut
pada Tabel 1. Lumpur biologi yang digunakan dapat diketahui dari dua parameter utama yaitu
pada percobaan ini cenderung bersifat netral peningkatan CODf dan reduksi VS pada sampel
(pH 7,08) dengan kadar padatan 2,45% yang yang digunakan.
Balai Besar Pulp dan Kertas 49
Bandung
Prosiding Seminar Teknologi Pulp dan Kertas
ISBN : 978-602-17761-3-1 Golden Flower Hotel, Bandung, 10 November 2015
Perubahan pH
perlakuan panas terhadap materi organik yang CODf tertinggi hasil perlakuan sonikasi adalah
terdapat pada lumpur (Borges and Chernocharo, 114,31% yang diperoleh pada kondisi sonikasi
2008; Dhar et al., 2012). Pada penelitian ini selama 45 menit. Kenaikan kadar CODf hasil
peningkatan materi organik terlarut ditentukan perlakuan sonikasi tersebut masih lebih rendah
berdasarkan peningkatan kandungan COD dibandingkan kenaikan kadar n CODf terendah
pada fraksi terlarut (CODf). Peningkatan kadar yang diperoleh dari hasil perlakuan termo-alkali
CODf hasil perlakuan termo-alkali dan sonikasi pada suhu 20oC dan pH 9 yaitu sebesar 121,23%.
ditunjukkan pada Gambar 3. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui
kinerja proses sonikasi masih dibawah proses
termo-alkali. Hasil serupa juga diperoleh oleh
Wood et al. (2009) yang menggunakan lumpur
yang berasal dari proses kraft yang disonikasi
pada frekuensi 20 kHz. Selain itu, hasil serupa
juga diperoleh pada penelitian yang telah
dilakukan oleh Wood (2008) dimana perlakuan
termal-kimia pada lumpur biologi industri kertas
menghasilkan peningkatan COD terlarut yang
jauh lebih tinggi yaitu dari 3% menjadi 63%
dibandingkan dengan peningkatan COD terlarut
hasil perlakuan sonikasi yaitu dari 8% menjadi
17,6%. Pada perlakuan termo-alkali, peningkatan
kadar zat organik terlarut terjadi karena perlakuan
suhu dan kimia yang digunakan menyebabkan
rusaknya ikatan kimia antara dinding sel dan
membran plasma sehingga komponen sel dan
materi organik menjadi lebih mudah larut
(Appels et al., 2008; Appels et al., 2010)
sehingga kadar CODf meningkat. Selain itu,
perlakuan menggunakan NaOH menyebabkan
materi organik kompleks dapat dipecah-pecah
menjadizat organik sederhana sehingga lebih
mudah digunakan oleh mikroba.(b) Peningkatan
kadar CODf juga terjadi karena terjadinya
degradasi dan pelepasan senyawa polimerik
ekstraselular (EPS) seperti polisakarida, protein,
asam nukleat dan asam humat (Appels et al.,
2010) serta pelepasan air yang terikat pada bagian
Gambar 3. Pengaruh Perlakuan Termo-Alkali dalam sel (Weemaes and Verstraete, 1998). Hasil
(a) dan Sonikasi (b) terhadap Peningkatan penelitian ini sesuai dengan beberapa penelitian
Kandungan CODf pada Lumpur Biologi yang dilakukan oleh Alvarez et al. (2000)
yang menyatakan penambahan NaOH dapat
Berdasarkan hasil penelitian seperti yang meningkatkan solubilisasi COD.
ditunjukkan pada Gambar 3, baik perlakuan Pada perlakuan sonikasi, kenaikan kadar zat
termo-alkali maupun perlakuan sonikasi yang organik terlarut terjadi karena proses disintegrasi
digunakan dapat meningkatkan kadar CODf flok, dinding sel menjadi lebih tipis sehingga
bahkan pada suhu rendah (20°C). membran sel lebih mudah rusak akibatnya
(a) Secara umum materi sel terlepas dari sel dan dapat langsung
peningkatan kadar CODf hasil perlakuan termo-
alkali lebih tinggi dibandingkan kenaikan kadar digunakan untuk proses hidrolisis, menurunkan
CODf hasil perlakuan sonikasi. Peningkatan ukuran partikel lumpur, dan inaktivasi mikroba
kadar CODf tertinggi pada lumpur biologi pada lumpur (Li et al., 2010; Bayr et al., 2013).
diperoleh pada perlakuan termo-alkali pH 10 dan Mekanisme proses sonikasi dengan menggunakan
suhu 37°C sebesar 439,9% diikuti perlakuan pH frekuensi tinggi adalah menghancurkan sel yang
10, suhu 50°C sebesar 379%. Kenaikan kadar diawali dengan kavitasi sel diikuti dengan reaksi
(a)
Perlakuan gabungan termo-alkali dan sonikasi masing-masing perlakuan, namun tidak berbeda
dapat mereduksi kadar padatan volatile (VS) pada nyata dengan peningkatan kadar CODf dan
lumpur biologi berkisar antara 50,61 - 67,61% reduksi VS tertinggi dari perlakuan termo-alkali.
(Gambar 6). Reduksi VS tertinggi diperoleh pada
perlakuan suhu 37°C dengan waktu sonikasi 45 UCAPAN TERIMA KASIH
menit, meningkat sampai 1,44 kali jika dibandingkan
dengan perlakuan tanpa kombinasi. Tingginya Ucapan terima kasih disampaikan kepada
reduksi VS lumpur biologi hasil perlakuan Alfi Rodiansyah yang telah membantu dalam
gabungan terjadi karena penambahan bahan kimia pelaksanaan penelitian ini. Ucapan terima
pada tahapan termo-alkali menyebabkan dinding kasih juga penulis sampaikan kepada Srihartini,
sel mikroba lebih rentan sehingga sel menjadi Setiananingsih, Dedi Sofyan, dan Juliana Sibarani
lebih mudah lisis saat proses sonikasi (Elliot and yang telah membantu dalam pengujian sampel
Mahmood, 2007). Namun, apabila dibandingkan hasil penelitian.
dengan nilai reduksi VS tertinggi hasil perlakuan
termo-alkali, reduksi VS hasil perlakuan gabungan DAFTAR PUSTAKA
termo-alkali dan sonikasi tidak terlalu berbeda
jauh nilainya. Peningkatan reduksi VS tertinggi Alvarez, J.M., Mac, S., dan Llabrès, P. 2000.
perlakuan gabungan hanya 1,14 kali reduksi VS Anaerobic Digestion of Organik Solid Wastes
tertinggi hasil perlakuan termo-alkali. : An Overview of Research Achievements and
Perspectives. Bioresource Technology. 74 : 3-16
Appels, L., Baeyens, J., Degrève, J., dan Dewil, R.
2008. Principles and Potential of The Anaerobic
Digestion of Waste-Activated Sludge. Progress
in Energy and Combustion Science. 34 : 755–781
Appels, L., Degrève J., der Bruggen, B.V., Impe,
J.V., dan Dewil, R. 2010. Influence of Low
Temperature Thermal Pre-treatment on Sludge
Solubilisation, Heavy Metal Release and
Anaerobic Digestion. Bioresource Technology.
101: 5743–5748
Bayr, S., dan Rintala, J. 2012. Termophilic
Anaerobic Digestion of Pulp And Paper Mill
Primary Sludge and Co-digestion of Primary
Gambar 6. Pengaruh Perlakuan Gabungan and Secondary Sludge. Water Research. 46:
Termo-Alkali dan Sonikasi terhadap Reduksi VS 4713-4720
pada Lumpur Biologi Bayr, S., Kaparaju, P., dan Rintala, J. 2013.
Screening Pretreatment Methods to Enhance
KESIMPULAN Termophilic Anaerobic Digestion of Pulp and
Paper Mill Wastewater Treatment Secondary
Perlakuan termo-alkali dan sonikasi dapat Sludge. Chemical Engineering Journal. 223:
meningkatkan kandungan CODf lumpur biologi 479–486
dengan peningkatan CODf tertinggi diperoleh Borges, E.S.M dan Chernocharo, C.A.M.
pada perlakuan termo-alkali sebesar 439,91% 2008. Effect of Thermal Treatment of
pada pH 10 dan suhu 30oC, sedangkan pada Anaerobic Sludge on The Bioavailability and
perlakuan sonikasi hanya 114,3% pada 45 Biodegradability Characteristics of The Organic
menit. Selain itu, perlakuan termo-alkali dan Fraction. Brazilian Journal of Chemical
sonikasi juga dapat menurunkan kadar volatile Engineering. 26 (03): 469 – 480
solid (VS) dengan reduksi VS tertinggi diperoleh Bougrier, C., Delgenès, J.P. dan Carrère, H.
pada perlakuan termo-alkali sebesar 59,23%, 2006. Combination of Thermal Treatments
sedangkan pada perlakuan sonikasi hanya and Anaerobic Digestion to Reduce Sewage
46,86% pada 45 menit. Peningkatan kadar CODf Sludge Quantity and Improve Biogas Yield.
dan reduksi VS dari perlakuan gabungan termo- Process Safety and Environmental Protection.
alkali dan sonikasi lebih tinggi dibandingkan dari 84 (B4): 280–284
Bougrier, C., Delgenès, J.P. dan Carrère, H. Grübel, K., dan Suschka, J. 2014. Hybrid Alkali-
2007. Impacts of Thermal Pre-treatments on Hydrodynamic Disintegration of Waste-
The Semi Continuous Anaerobic Digestion Activated Sludge before Two-Stage Anaerobic
of Waste Activated Sludge. Biochemical Digestion Process. Environmental Science
Engineering Journal. 34: 20–27 and Pollution Research. 22 (10) : 7258-7270
Cardell, L. 2010. “Anaerobic Digestion of Pre- Harris D.C. 2007. Quantitative Chemical
treated Biological Sludge from Pulp and Analysis, 7th ed, W.H. Freeman and Company,
Paper Industry Using Heat, Alkali, and New York
Electroporation”, Thesis, Department of Li, L., Liu, G., Jin, R., Zhou, J., dan Wang, J.
Thematic Studies – Water and Environmental 2010. Kinetics Model for Combined (Alkaline
Studies, Linköping University, Linköping, + Ultrasonic) Sludge Disintegration.
Swedia Bioresource Technology, 101: 8555–8557
Carrere, H., Dumas, C., Battimelli, A., Batstone, Park, N.D., Helle, S.S., dan Thring, R.W. 2012.
D.J., Delgenès, J.P., Steyer, J.P., dan Ferrer, Combined Alkaline and Ultrasound Pre-
I. 2010. Pretreatment Methods to Improve treatment of Thickened Pulp Mill Waste
Sludge Anaerobic Degradability: A Review. Activated Sludge for Improved Anaerobic
Journal of Hazardous Materials. 183 : 1–15 Digestion. Biomass and Bioenergy, 46: 750
Chiu, Y., Chang, C., Lin, J., dan Huang, S. 1997. -756
Alkaline and Ultrasonic Pretreatment of Pilli, S., Bhunia, P., Yan, S., LeBlanc, R.J., Tyagi,
Sludge before Anaerobic Digestion. Water R.D., dan Surampalli, R.Y. 2011. Ultrasonic
Science Technology. 36 (11) : 155–162 Pretreatment of Sludge: A Review. Ultrasonics
Davidson, A. dan Jansen, J.L.C. 2006. Pre- Sonochemistry. 18 : 1–18
treatment of Wastewater Sludge before Weemaes, M. dan Verstraete, W.H. 1998.
Anaerobic Digestion - Hygienisation, Evaluation of Current Wet Sludge
Ultrasonic Treatment, and Enzyme Dosing. Disintegration Techniques. Journal of
Vatten. 62 : 335–340 Chemical Technology and Biotechnology. 73
Dhar, B.R., Nakhla, G., dan Ray, M.B. 2012. : 83–92
Techno-Economic Evaluation of Ultrasound Wood, N. 2008. “Pretreatment of Pulp Mill
and Thermal Pretreatments for Enhanced Wastewater Treatment Residues to Improve
Anaerobic Digestion of Municipal Waste Their Anaerobic Digestion”, Thesis, Masters
Activated Sludge. Waste Management. 32: of Applied Science Department of Chemical
542–549 Engineering and Applied Chemistry,
Elbeshbishy, E., Aldin, A., Hafez, H., Nakhla, G., University of Toronto, Toronto, Canada
dan Ray, M. 2011. Impact of Ultrasonication Wood, N., Tran, H., dan Master, E. 2009.
of Hog Manure on Anaerobic Digestability. Pretreatment of Pulp Mill Secondary Sludge
Ultrasonics Sonochemistry. 18: 164–171 for High-Rate Anaerobic Conversion to
Elliot, A., dan Mahmood, T. 2007. Pretreatment Biogas. Bioresource Technology. 100 : 5729–
Technologies for Advancing Anaerobic 5735
Digestion of Pulp and Paper Biotreatment Yiying, J., Huan, L., Bux, M.R., Zhiyu, W., dan
Residues. Water Research. 41: 4273 – 4286 Yongfeng, N. 2009. Combined Alkaline and
Ferrer, I.,Ponsá, S., Vázquez, F., dan Font, Ultrasonic Pretreatment of Sludge before
X. 2008. Increasing Biogas Production Aerobic Digestion. Journal of Environmental
by Thermal (70° C) Sludge Pre-treatment Sciences. 21: 279–284
Prior to Termophilic Anaerobic Digestion.
Biochemical Engineering Journal. 42: 186–
192
ABSTRACT
The government has set regulations regarding guidelines for the use of archival paper or permanent
document; the paper must meet the specifications of SNI ISO 11108. The problems of archival paper
production in Indonesia is difficulty in meeting the quality requirements of permanence and durability.
Paper producers in Indonesia have tried to make an archival paper using cotton linter as raw material,
but it still has not meet the quality requirements of permanence (pH and alkaline reserve parameters).
So, the archival papermaking using high doses of CaCO3 and the effectiveness of the use of guar gum
were investigated. Stages of this research included were: determination of cotton linter optimum refining
condition; determination of optimum addition levels of CaCO3; and determination of optimum addition
levels of guar gum. Carbohydrate content of cotton linter pulp and guar gum were analyzed in order to
evaluate the effectiveness of guar gum used. The results showed that guar gum is effective in improving
the folding endurance of paper containing high levels of CaCO3.
ABSTRAK
Pemerintah telah menetapkan peraturan mengenai pedoman penggunaan kertas untuk arsip atau
dokumen permanen, yaitu kertas arsip harus memenuhi spesifikasi SNI ISO 11108. Permasalahan
produksi kertas arsip di Indonesia adalah kesulitan dalam memenuhi persyaratan mutu permanensi dan
durabilitas. Produsen kertas di Indonesia sudah ada yang mencoba membuat kertas arsip dari bahan baku
cotton linter, namun belum memenuhi persyaratan mutu permanensi (parameter pH dan cadangan alkali),
karena itu dilakukan penelitian pembuatan kertas arsip menggunakan CaCO3 dosis tinggi dan efektivitas
penggunaan guar gum. Tahapan penelitian ini melliputi penentuan kondisi penggilingan optimum cotton
linter; penentuan penambahan kadar CaCO3 optimum; dan penentuan penambahan kadar guar gum
optimum. Untuk meneliti efektivitas penggunaan guar gum dilakukan analisis kandungan karbohidrat
dari pulp cotton linter, dan guar gum. Hasil penelitian menunjukkan guar gum terbukti efektif untuk
meningkatkan parameter ketahanan lipat kertas yang mengandung kadar CaCO3 tinggi.
Kata kunci: kertas arsip, CaCO3, guar gum, , pulp cotton linter
pedoman penggunaan kertas untuk arsip/ mengandung sekitar 20 g CaCO3 per kg kertas;
dokumen permanen telah ditetapkan, namun (6) kertas harus memiliki bilangan Kappa kurang
Indonesia masih mengimpor kertas arsip karena dari 5,0 (berdasarkan SNI ISO 302:2014). Untuk
belum ada industri yang mampu memproduksi memperoleh sifat permanensi yang tinggi, kertas
kertas tersebut di Indonesia. yang dipersyaratkan dalam SNI ISO 11108 harus
Pemerintah telah menetapkan peraturan memiliki nilai pH dan cadangan alkali yang tinggi,
tersebut mengingat pentingnya kandungan selain itu juga harus memiliki nilai ketahanan
informasi yang terdapat dalam kertas arsip. sobek dan ketahanan lipat yang tinggi serta nilai
Dalam SNI ISO 11108 dinyatakan bahwa kertas bilangan Kappa yang rendah untuk mendapatkan
arsip terutama digunakan untuk dokumen dan sifat durabilitas yang tinggi. Parameter ketahanan
publikasi, yang akan digunakan untuk disimpan lipat merupakan kinerja minimum selama waktu
secara permanen karena nilai sejarahnya yang penggunaan terhadap perubahan fisik dan
tinggi, nilai legal dan nilai penting lainnya. mekanis, parameter ini sesuai untuk buku dan
Menurut Harvey dalam Lukman (2009), kertas uang (Waterhouse dalam Kocurek, 1992).
kebanyakan buku yang dicetak pada awal abad Permasalahan produksi kertas arsip
ke-20 tidak dapat digunakan lagi pada masa di Indonesia adalah kesulitan memenuhi
berikutnya. Kerusakan ini disebabkan oleh persyaratan mutu permanensi dan durabilitas
ketidakstabilan yang melekat di dalam bahan serta ketersediaan bahan baku. Produsen kertas
dan kerusakan yang disebabkan oleh kegiatan di Indonesia sudah ada yang mencoba membuat
di luar bahan. Selain itu kejadian bencana juga kertas arsip dari bahan baku cotton linter, namun
merupakan faktor penyebab rusaknya bahan belum memenuhi bias persyaratan mutu cadangan
pustaka dan arsip. Sebagai contoh pada bencana alkali dan pH (cadangan alkali 0,1 mol asam
banjir bulan Pebruari 2006 yang melanda Jakarta, per kg dan pH 6,8 karena hanya menggunakan
Perpustakaan LIPI, Lembaga Ilmu Pengetahuan 5 g CaCO3 per kg kertas). Untuk mencapai nilai
Indonesia yang disebut Pusat Dokumentasi mutu yang dipersyaratkan, penggunaan CaCO3
Ilmiah Indonesia (PDII) juga terkena musibah minimal yang diperlukan adalah 20 g CaCO3 per
ini, buku-buku yang yang terletak di lantai dasar kg kertas, yang akan mengakibatkan turunnya
terendam air karena genangan air mencapai 2 sifat ketahanan lipat. Untuk mengatasi masalah
meter (Kompas, 6 Februari 2007). Berdasarkan ini, dapat digunakan turunan gum yang bersifat
informasi dari hasil wawancara dengan hidrofilik dan berbentuk gel, sehingga dapat
koordinator pustakawan PDII LIPI, arsip yang berfungsi sebagai binder atau pengikat antar serat
dapat diselamatkan pasca bencana banjir adalah (Dharmendra, dkk., 2012) dan dapat berfungsi
arsip yang dicetak pada kertas yang memenuhi dengan baik untuk meningkatkan ketahanan
spesifikasi kertas arsip. lipat. Menurut Laffend (1967), hemiselulosa
Kertas arsip adalah kertas dengan permanensi berkontribusi pada sifat pengikatan dan sifat
dan durabilitas tinggi, yaitu kertas yang mampu kekuatan pulp. Hemiselulosa berfungsi sebagai
bertahan secara kimia dan fisika dalam waktu adesif antar serat, memperbaiki ikatan antar serat.
lama dan mampu bertahan terhadap pengaruh Komponen utama hemiselulosa pada softwood
pemakaian dan sobek selama penggunaan. adalah mannan dan pada hardwood adalah xylan.
Persyaratan mutu kertas arsip menurut SNI ISO Karena itu perlu diteliti efektivitas penggunaan
11108 meliputi : (1) pada dasarnya, kertas arsip aditif guar gum untuk mengatasi masalah tersebut.
dibuat terutama dari serat kapas, cotton linters,
hemp, flax, atau campuran dari bahan-bahan ini; BAHAN DAN METODE
jika sebagian kecil pulp kimia putih digunakan
untuk mencapai kinerja yang diinginkan, jumlah Bahan yang digunakan dalam percobaan
tersebut harus ditentukan; (2) ketahanan sobek ini meliputi pulp cotton linter impor dari
minimal 350 mN; (3) ketahanan lipat minimal Uzbekistan, CaCO3, guar gum, buffer pH 4, 7,
2,42 Schopper atau sekurang-kurangnya 2,18 dan 10, hidrogen peroksida (H2O2) teknis, tissue
Lhomargy, Köhler-Molin atau MIT; (4) nilai gulung, asam sulfat p.a., alkohol-benzene, HCl
pH dari ekstrak air (berdasarkan SNI ISO p.a., aquadest. Peralatan yang digunakan selama
6588) dalam kisaran 7,5-10,0; (5) kandungan penelitian ini adalah peralatan gelas dan plastik
cadangan alkali kertas sekurang-kurangnya 0,4 untuk penyiapan stok, neraca dengan ketelitian
mol asam per kg (berdasarkan ISO 10716) atau 0,01 g, alat penggiling tanpa beban (Niagara
beater), alat pengurai (disintegrator), alat uji kadar pentosan dalam pulp kayu); dan kadar
derajat giling metode CSF (Canadian Standard alfa selulosa (SNI 0444:2009 Pulp – Cara uji
Freeness), alat pembuat lembaran kertas, alat kadar selulosa alfa, beta dan gamma). Pengujian
pemotong sampel kertas, alat uji ketahanan kandungan komponen karbohidrat dilakukan
sobek, alat uji ketahanan lipat, pH meter, alat secara kualitatif dan kuantitatif menggunakan
uji cadangan alkali, alat uji penentuan bilangan metode high performance liquid chromatography
kappa, HPLC WATERS 2690E. (HPLC) atau Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Tahap pertama penelitian ini adalah menguji (KCKT). Metode yang digunakan mengacu
mutu pulp cotton linter yang meliputi pengujian pada http://www.nrel.gov. Kondisi pengujian
panjang serat rata-rata (SNI ISO 16065-2:2010 menggunakan instrumen HPLC WATERS
Pulp – Cara uji panjang serat dengan analisis 2690E; pada flow rate: 0,6 ml/min; temperatur
optik otomatis – Bagian 2: Metode cahaya tidak kolom: 40°C; fasa gerak : H2SO4 0,005M; fasa
terpolarisasi), freeness awal (SNI ISO 5267- diam: Aminex.
2:2010, Pulp – Cara uji kemampuan drainase– Tahap akhir penelitian ini adalah membuat
Bagian 2: metode Canadian Standard Freeness kertas arsip skala laboratorium dari bahan baku
(CSF)), kadar air (SNI 08-7070-2005, Cara cotton linter pada kondisi optimum yang telah
uji kadar air kayu dan pulp dengan metoda diperoleh pada tahap penelitian sebelumnya.
pemanasan dalam oven), ketahanan sobek (SNI Parameter uji mutu kertas yang dihasilkan
0436:2009 Kertas – Cara uji ketahanan sobek – meliputi: gramatur (SNI ISO 536:2010 Kertas
Metode Elmendorf) dan ketahanan retak (SNI dan karton – Cara uji gramatur); ketahanan sobek;
ISO 2758:2011 Kertas – Cara uji ketahanan ketahanan lipat; pH dari ekstrak air (SNI ISO
retak). Hasil pengujian dibandingkan dengan 6588-1:2010 Kertas, karton dan pulp – Cara uji
persyaratan mutu SNI 0698: 2010 Pulp kraft putih pH dalam ekstrak air – Bagian 1: Ekstrak dingin);
kayujarum (NBKP). Pulp yang belum memenuhi cadangan alkali; dan ketahanan oksidasi (SNI ISO
persyaratan mutu selanjutnya memasuki tahap 302:2014 Pulp – Cara uji bilangan Kappa). Hasil
kedua yaitu menentukan kondisi penggilingan pengujian yang diperoleh dibandingkan dengan
optimum (freeness optimum). Parameter yang persyaratan mutu SNI ISO 11108, Informasi
diamati adalah ketahanan sobek (SNI 0436:2009 dan dokumentasi - Kertas arsip - Persyaratan
Kertas – Cara uji ketahanan sobek – Metode permanensi dan durabilitas.
Elmendorf) dan ketahanan lipat (SNI 0491:2009
Kertas dan karton – Cara uji ketahanan lipat HASIL DAN PEMBAHASAN
– Metode MIT). Setelah didapatkan kondisi
freeness optimum, tahap ketiga adalah penentuan Hasil Pengujian Mutu Pulp Cotton Linter
kadar CaCO3 optimum yang memenuhi dibandingkan dengan Persyaratan Mutu SNI
persyaratan mutu cadangan alkali dalam SNI
ISO 11108 dilakukan pada kondisi tersebut. Untuk menentukan mutu pulp cotton linter
Pengujian cadangan alkali mengacu pada (SNI yang digunakan, telah dilakukan pengujian
ISO 10716:2014 Kertas dan karton – Cara uji sesuai dengan beberapa persyaratan mutu SNI
cadangan alkali). Tahap keempat penelitian ini 0698: 2010 Pulp kraft putih kayujarum (NBKP).
yaitu mempelajari efektivitas penambahan guar Standar ini yang digunakan karena serat cotton
gum terhadap mutu kertas arsip yang dihasilkan, linter termasuk golongan serat panjang. Menurut
pada kondisi penggilingan dan penambahan J. S. Han (1998), cotton lint (Gossypium spp.)
CaCO3 optimum. Parameter yang diamati adalah memiliki panjang serat rata-rata 18 mm dengan
ketahanan sobek dan lipat. kisaran panjang serat antara 10-40 mm.
Untuk mempelajari interaksi antara guar gum Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa tidak semua
dan pulp dilakukan pengujian komponen kimia persyaratan mutu pada SNI 0698 NBKP diacu
dan kandungan kadar karbohidrat. Komponen pada pengujian mutu pulp cotton linter yang
kimia yang diuji yaitu: kadar air (SNI 08-7070- digunakan. Parameter yang diuji disesuaikan
2005, Cara uji kadar air kayu dan pulp dengan dengan tujuan penggunaan pulp ini yaitu untuk
metoda pemanasan dalam oven); kadar abu (SNI pembuatan kertas arsip. Pulp yang digunakan
ISO 2144:2010 Kertas, karton dan pulp – Cara pada penelitian ini telah memenuhi persyaratan
uji kadar abu pada 900 °C); kadar hemiselulosa panjang serat rata-rata, freeness awal, kadar air
sebagai pentosan (SNI 14-1304–1989 Cara uji dan indeks sobek. Persyaratan mutu indeks retak
(pada freeness 300 ml CSF) belum memenuhi, hal tersebut nilai ketahanan sobeknya 687 mN, masih
ini menunjukkan bahwa freeness optimum pulp ini jauh lebih tinggi dari persyaratan mutu yang
bukan pada freeness tersebut. Untuk mendukung dipersyaratkan. Berdasarkan hasil pertimbangan
prediksi ini, pada lembaran pulp tersebut telah tersebut maka freeness optimum pulp cotton linter
dilakukan pengujian ketahanan lipat dengan hasil untuk pembuatan kertas arsip adalah 100 ml CSF.
pengujian 1,44 Schopper; masih jauh dibawah
persyaratan mutu ketahanan lipat menurut SNI
ISO 11108, yaitu 2,42 Schopper, sehingga perlu
dilakukan penentuan freeness optimum dari pulp
cotton linter ini.
memenuhi persyaratan minimal SNI ISO 11108 memenuhi persyaratan ketahanan lipat yaitu pada
adalah pada penggunaan kadar CaCO3 7,5%; kadar guar gum 7,5%.
10,0%, 20,0% dan 30,0%. Penggunaan bahan
pengisi (CaCO3) dapat menurunkan sifat kekuatan
kertas (Shen et al. , 2009). Pada penggunaan
CaCO3 30,0% nilai ketahanan lipat turun menjadi
1,41 dibandingkan tanpa bahan pengisi (1,44).
Pada tahap ini, kondisi penambahan CaCO3 yang
dipilih adalah pada kadar CaCO3 7,5%.
Gambar 2. Pengaruh Variasi Kadar CaCO3 Pada gambar 3 juga tampak bahwa penambahan
terhadap Kandungan Cadangan Alkali Kertas guar gum meningkatkan nilai ketahanan lipat
Arsip dari Cotton Linter. Tanda Garis Merah secara signifikan. Menurut Laffend (1967),
Menunjukkan Nilai Mutu Minimal yang hemiselulosa berkontribusi pada sifat pengikatan
Dipersyaratkan. dan sifat kekuatan pulp. Hemiselulosa berfungsi
sebagai adesif antar serat, memperbaiki ikatan
Pengaruh Variasi Kadar Guar Gum Terhadap antar serat. Komponen utama hemiselulosa pada
Ketahanan Sobek Dan Lipat Kertas dari Cotton softwood adalah mannan dan pada hardwood
Linter adalah xylan. Untuk meningkatkan ikatan serat
dengan serat, hemiselulosa harus terserap pada
Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa belum ada permukaan selulosa. Hemiselulosa meningkatkan
kondisi pembuatan kertas arsip dari pulp cotton sifat hidrofilik alami dari serat dan membentuk
linter yang memenuhi persyaratan minimal SNI ISO jembatan antar serat sehingga jarak serat yang
11108. Penambahan CaCO3 untuk meningkatkan satu dan yang lainnya menjadi lebih dekat.
kandungan cadangan alkali malah menurunkan Untuk mempelajari interaksi ini telah dilakukan
nilai ketahanan lipat. Untuk meningkatkan nilai pengujian komponen kimia dan kandungan
ketahanan lipat dilakukan evaluasi pengaruh komponen karbohidrat. Hasil pengujian
penambahan guar gum dengan variasi kadar komponen kimia dapat dilihat pada Tabel 2.
0; 2,5%; 5,0%; 7,5% dan 10,0% terhadap nilai
ketahanan lipat dan ketahanan sobek kertas arsip Tabel 2. Hasil Pengujian Komponen Kimia Pulp
yang mengandung CaCO3 7,5%. Hasilnya dapat Cotton Linter
dilihat pada Gambar 3. Pada gambar 3 dapat dilihat
bahwa nilai ketahanan sobek kertas arsip yang Cotton
No Parameter Satuan
dibuat dari pulp cotton linter dengan penambahan linter
CaCO3 7,5% pada berbagai variasi kadar guar gum 1 Kadar air % 5,46
yang diteliti telah memenuhi persyaratan minimal 2 Kadar abu % 0,51
SNI ISO 11108 (350 mN). Nilai ketahanan lipat Kadar hemise- % 0,10
yang telah memenuhi persyaratan minimal SNI ISO 3
lulosa
11108 adalah pada penggunaan kadar guar gum
Kadar alfa se- % 98,85
7,5% dan 10,0%. Dengan demikian penambahan 4
lulosa
kadar guar gum minimal yang diperlukan untuk
Balai Besar Pulp dan Kertas 59
Bandung
Prosiding Seminar Teknologi Pulp dan Kertas
ISBN : 978-602-17761-3-1 Golden Flower Hotel, Bandung, 10 November 2015
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa pulp cotton linter Kadar glukosa pada hasil hidrolisis pulp
mengandung kadar alfa selulosa yang sangat cotton linter yang terdeteksi adalah 87,75%
tinggi (98,85%) dan hanya mengandung 0,10% (Tabel 3, metode KCKT, http://www.nrel.gov )
hemiselulosa (sebagai pentosan). Menurut J. S. dari kadar alfa selulosa 98,85% (Tabel 2, metode
Han (1998), serat kulit biji cotton lint (Gossypium titrimetri SNI 0444:2009 Pulp – Cara uji kadar
spp.) memiliki kadar selulosa (85-90%) dan kadar selulosa alfa, beta dan gamma). Hal ini dapat
pentosan 3%. Proses pembuatan pulp cotton menunjukkan alfa selulosa pada cotton linter
linter telah meningkatkan kadar selulosa dan tidak seluruhnya terhidrolisis (http://www.nrel.
menurunkan kadar pentosan. Monomer selulosa gov). Faktor lain yang dapat menyebabkan
D-glukosa, sedangkan monomer hemiselulosa terjadinya perbedaan ini adalah perbedaan
terdiri dari L-arabinosa (Ara), L-rhamnosa (Rha), metode yang digunakan, yang memiliki akurasi
L-galaktosa (Gal), D-mannosa (Man), D-glukosa berbeda.
(Glu), dan D-xylosa (Xyl). Pentosan merupakan Pada Gambar 4 (b) nampak bahwa puncak
bagian hemiselulosa dengan jumlah atom karbon yang terdeteksi adalah puncak pada rt = 14,6
5 (C5). Untuk mempelajari lebih lanjut hasil menit dan puncak sebelum lembah pelarut pada rt
hidrolisis selulosa dan hemiselulosa (kandungan sekitar 5,5 menit. Kedua puncak tersebut belum
komponen karbohidrat) pada pulp cotton linter diketahui jenis komponennya karena waktu
dan guar gum telah dilakukan pengujian secara retensinya tidak sesuai dengan standar-standar
kualitatif dan kuantitatif menggunakan metode yang digunakan. Fasa gerak yang digunakan
KCKTdan hasilnya dapat dilihat Gambar 4 dan merupakan fasa yang lebih polar (H2SO4
Tabel 3. 0,005M) dibandingkan fasa diamnya (Aminex).
Hasil pengujian kandungan komponen Dengan demikian puncak dengan rt 14,6 menit
karbohidrat cotton linter dan gguar gum dapat diprediksi merupakan senyawa yang lebih
menggunakan metode KCKT dapat dilihat pada polar daripada arabinosa, sedangkan puncak
Gambar 4 (a) dan (b). Jika kromatogram tersebut dengan rt sekitar 5,5 menit merupakan senyawa
dibandingkan dengan kromatogram standar pada yang kurang polar dibandingkan maltosa
Gambar 4 (c) dan (d), nampak bahwa komponen (disakarida). Senyawa tersebut kemungkinan
karbohidrat pulp cotton linter yang terdeteksi adalah hasil degradasi guar gum. Menurut
hanya glukosa (retention time atau rt = 8,8 menit). Goldstein, A.M. dalam http://staff.uny.ac.id
Hal ini disebabkan oleh sangat tingginya kadar degradasi guar gum menghasilkan berbagai
selulosa pada cotton linter (98,85%) dan hanya macam oligomer galaktosa atau mannosa. Guar
mengandung 0,10% hemiselulosa (sebagai gum tesusun dari rantai utama yang terdiri dari
pentosan), sehingga hasil hidrolisis pulp cotton β-1,4-mannosa dan rantai cabang yang berupa
linter dominan glukosa dari selulosa, hasil α-1,6-galaktosa. Rasio unit mannosa-galaktosa
hidrolisis pentosan tidak terdeteksi. Dengan (M/G) berkisar antara 1,8:1 dan 2:1 tergantung
menggunakan kurva kalibrasi pada Gambar 5, variasi geografisnya (Iqbal dan Hussain , 2013).
kandungan komponen karbohidrat pulp cotton Struktur kimia guar gum dapat dilihat pada
linter dapat dilihat pada Tabel 3. Gambar 6.
Tabel 3. Hasil Pengujian Kandungan Komponen Karbohidrat Pulp Cotton Linter, Metode KCKT
Gambar 4. Kromatogram (a) Komponen Karbohidrat Pulp Cotton Linter (a) Guar Gum, (b) Campuran
Standar 150 ppm Maltosa, Glukosa, Fruktosa dan Arabinosa, (c) Standar 150 ppm Xylosa
Tabel 4. Hasil Pengujian Kertas Arsip dari Pulp Cotton Linter dengan Aditif CaCO3 7,5% dan Gum 7,5%.
Persyaratan Kertas
Kertas
mutu dalam arsip
Parameter mutu Satuan arsip hasil Ket.* Ket.*
SNI ISO percobaan
penelitian
11108 pabrik
Gramatur g/m² min. 70 85 √ 83 √
Ketahanan sobek (AM) min. 350 507
(SM) mN 903 √ √
min. 350 510
Ketahanan lipat (AM) min. 2,42 3,32
(SM) Schopper 2,51 √ √
min. 2,42 2,66
pH ekstrak dalam air
7,5-10 8,3 √ 6,8 ×
dingin
Cadangan alkali mol/kg min. 0,4 1,1 √ 0,1 ×
Kappa
Ketahanan oksidasi maks. 5,0 1,4 √ 1,4 √
number
*Tanda √ = memenuhi syarat, × = tidak memenuhi syarat.
kertas jenis asam menunjukkan kehancuran pada Havlinova, B., Brezova, V., Hornakova,
saat aging sehingga tidak dianjurkan digunakan L., Minarikova J., Ceppan, M., 2002.
sebagai kertas arsip. Menurut Lukman (2009), Investigations of paper aging—a search for
kebutuhan arsip bernilai guna tinggi sebanyak archive paper. Journal of Materials Science,
tiga sampai tujuh persen dari setiap instansi 37, 303–308
pemerintah. Jika kebutuhan kertas arsip tersebut Iqbal, D. N. and Hussain, E. A., 2013. Green
dikalikan seluruh instansi pemerintah dari mulai Biopolymer Guar Gum and Its Derivatives.
tingkat kelurahan sampai pusat maka akan Int J Pharm Bio Sci. Vol. 4(3), (P) 423 - 435
menjadi peluang pasar yang baik bagi produsen Laffend, K. , 1967,” The Effect of Acetyl
kertas arsip. Content of Glucomannan on its Sorption
onto Cellulose and on its Beater Additive
KESIMPULAN Properties”, disertasi, The Institute of Paper
Chemistry ,Wisconsin, USA
Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk Lee, J., Lee H., Youn, H. J., 2005. Adsorption
memenuhi persyaratan mutu SNI ISO 11108 Analysis of Cationic Guar Gum on Fibers in
parameter cadangan alkali minimal 0,4 mol/kg Closed Papermaking System. Tappi Journal.
dan pH 7,5-10, pembuatan kertas arsip dari bahan Vol.4, No. 7, 15-19
baku pulp cotton linter memerlukan penambahan Lukman, 2009. Penggunaan Kertas Permanen
kalsium karbonat minimal 7,5%. Penambahan sebagai Pencegahan Kerusakan Kertas. Baca.
kalsium karbonat tersebut ternyata menurunkan Vol. 30, No. 1, 53-72
sifat ketahanan lipat kertas (durabilitas). Hasil Masriani, R., Hidayat, T., Sugesty, S., 2014.
penelitian ini menunjukkan aditif guar gum Kajian Pembuatan Kertas Arsip dari Bahan
terbukti efektif untuk meningkatkan nilai Baku Daluwang, Pulp Abaka dan Bambu.
ketahanan lipat kertas arsip sehingga dapat Prosiding PPI Standardisasi, Surabaya, 19
memenuhi persyaratan mutu SNI ISO 11108. Juni 2014, Hal. 113-121
McLean, D., Agarwal, V., Stack, K., Richardson,
SARAN D., 2011. Use of a new novel grafted Guar
Gum-copolymer as a pitch fixative. Appita
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk Peer Reviewed, 65-69
membuat kertas arsip dari bahan baku yang Peraturan Kepala Arsip Nasional Republik
terdapat di Indonesia. Indonesia Nomor 30 Tahun 2011 tentang
Pedoman Penggunaan Kertas untuk Arsip/
UCAPAN TERIMA KASIH Dokumen Permanen
Shen, J., Song, Z., Qian, X., Liu, W., 2009. Acid-
Penelitian ini didanai oleh DIPA BBPK tolerant PCC in papermaking, BioResources 4(3),
tahun anggaran 2015. Terima kasih disampaikan 1178-1189
kepada tim DIPA 2015 yang telah membantu Waterhouse, J. F., 1992, The Mechanical Properties
of Paper, in M. J. Kocurek (Ed.) Pulp and
terlaksananya penelitian ini.
Paper Manufacture, 3rd Ed., The Joint Texbook
Commitee of the Paper Industry, United States and
DAFTAR PUSTAKA Canada, hal. 99-131
http://www.nrel.gov/biomass/
Dharmendra, S., Surendra, J.K., Sujata, M., analyticalprocedures.html , Determination
Shweta, S., 2012. Natural Excipients- of Structural Carbohydrates and Lignin in
A Review. International Journal of Biomass (diakses tanggal 10 Agustus 2015)
Pharmaceutical & Biological Archives. Vol. http://staff.uny.ac.id,Efek Penambahan
3, No. 5, 1028-1034 α-Galaktosidase Famili 27 Glikosida
Han, J. S, 1998. Properties of Nonwood Fibers. Hidrolase dari Bacillus Halodurans terhadap
Proceeding of TAPPI North American Kekentalan Guar Gum (diakses tanggal 16
Nonwood Symposium.Atanata, GA, February Februari 2016)
17~18, 1998
ABSTRACT
Research pellet organic fertilizer as a by-product of anaerobic digestion process based on WWTP
biological sludge paper industry has been done. Research was divided into: the procurement of sludge
digestion process residues and organic fertilizer pellets production. Sludge residue were resulting from
the anaerobic digestion process of the biology slurry feed at solids content of 0.6 - 1%, pH of 5.5
- 6.0, alkalinity of 2,000 – 2,500 mg/L and residence time of 4 days. Stages of organic fertilizer
pellets production included the removal of water (dewatering); drying, pelletizing and effectiveness test
of the fertilizer to sengon plants. The results showed that the effectiveness of the anaerobic digestion
process can reduce biological sludge by 88% v/v and produce residual sludge which had a solid content
(TS) from 2.0 to 4.5%. Dewatering process generates sludge cake with TS of 26-29% and the filtrate
containing concentration of TSS and COD that had met effluent quality standards for the coarse paper
industry according to Kep-MENLH No. 5/2014. Pellet forming was carried out to sludge cake having
TS of 80%. The composition of the organic fertilizer pellets have qualified as organic fertilizer or soil
conditioner according to PERMENTAN No. 70/2011.
Keywords: biology sludge, anaerobic digestion process residue, organic fertilizer, WWTP paper industry.
ABSTRAK
Penelitian pembuatan pelet pupuk organik sebagai produk samping proses digestasi anaerobik
berbasis lumpur biologi industri kertas telah dilakukan. Penelitian terbagi atas: pengadaan residu
lumpur sisa proses digestasi dan pembuatan pelet pupuk organik. Residu lumpur dihasilkan dari
proses digestasi anaerobik terhadap umpan lumpur biologi pada kadar padatan 0,6 – 1 % yang
dilakukan pada kondisi pH 5,5 – 6,0 ; alkalinitas 2000 - 2500 mg/L dan waktu tinggal 4 hari
Tahapan pembuatan pelet pupuk organik meliputi proses penghilangan air (dewatering); pengeringan,
pembentukan pelet dan uji efektifitas pupuk terhadap tanaman sengon. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa efektifitas proses digestasi anaerobik dapat mereduksi lumpur biologi sebesar 88% v/v dengan
menghasilkan residu lumpur yang memiliki kadar padatan (TS) 2,0 – 4,5%. Hasil proses dewatering
menghasilkan sludge cake dengan kadar TS lumpur 26 – 29 %; dan filtratnya mengandung kadar TSS
dan COD yang telah memenuhi baku mutu limbah cair untuk industri kertas kasar menurut Kep-
MENLHNo. 5/2014. Pembentukan pelet dilakukan terhadap sludge cake yang memiliki kadar TS
80%. Komposisi pelet pupuk organik telah memenuhi syarat sebagai pupuk organik atau pembenah
tanah menurut PERMENTAN No 70/2011.
Kata kunci : lumpur biologi, residu proses digestasi anaerobik, pupuk organik, IPAL industri kertas.
dan mesin pembuat pelet skala laboratorium di sudah dilengkapi dengan kain saring terbuat dari
Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK). polyester yang memiliki permeabilita sudara >
15 m3/m2.menit. Pengamatan dilakukan terhadap
Metode hasil pengepresan berupa lumpur padat (sludge
cake) melalui parameter uji padatan total (TS) dan
Kegiatan penelitian pembuatan pelet pupuk filtrat (TSS, COD, pH). Pengepresan selanjutnya
dilakukan di BBPK dengan tahapan penelitian dilakukan pada tekanan optimum.Terhadap hasil
terdiri dari beberapa tahap, yaitu karakterisasi pengepresan kemudian dilakukan percobaan
lumpur biologi dan residu lumpur hasil digestasi; pengeringan dalam lemari pengering suhu 700C
penghilangan air residu lumpur dengan alat filter dengan pengamatan waktu pengeringan yang
press; pengeringan residu lumpur dengan dryer diperlukan sampai kadar TS sekitar 80%.
suhu 70oC dan pembuatan pelet dengan mesin
pelet. Uraian dari masing-masing tahapan adalah d. Pencetakan Pelet Pupuk Organik
sebagai berikut :
Pencetakan pelet pupuk organic dari lumpur
a. Karakterisasi Lumpur padat yang telah dikeringkan sampai kadar TS 80%
dilakukan menggunakan mesin pelet kapasitas
Karakterisasi dilakukan terhadap umpan 250 – 300 kg/hari dengan diameter lubang
lumpur biologi IPAL dari secondary clarifier, cetakan pelet 2 mm. Variasi percobaan adalah
residu lumpur sisa hasil digestasi anaerobik, dan tanpa dan penambahan bahan aditif abu sekam
lumpur padat (sludge cake) meliputi beberapa dengan dosis sekitar 5-10 % yang ditambahkan
parameter kimia yang terdiri dari pH, kandungan dalam bentuk serbuk kering, dicampurkan pada
nutrien makro dan mikro serta kandungan logam tanki mixing, kemudian dicetak menjadi pelet.
(Cu, Cr, Ni, Pb, Zn dan Cd). Pengujian dilakukan Pelet yang dihasilkan dianalisa sesuai dengan
di Balai Penelitian Tanah, Balitbang, Kementerian parameter yang dipersyaratkan dalam Permentan
Pertanian Bogor. No 70/tahun 2011 tentang “Pupuk Organik,
Pupuk Hayati Dan Pembenah Tanah”
b. Pengadaan Residu lumpur dari
Operasional Proses asidifikasi Digestasi HASIL DAN PEMBAHASAN
Anaerobik
Karakteristik Lumpur Biologi dan Residu
Operasional proses digestasi anaerobik lumpur Lumpur Hasil Digestasi
biologi skala lapangan dilakukan melalui tahap
kegiatan pengisian reaktor, proses aklimatisasi Karakteristik lumpur biologi yang digunakan
, proses pengolahan kontinyu pada kondisi dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel
optimum, dan wasting sludge. Residu lumpur 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa lumpur biologi
yang digunakan untuk bahan penelitian adalah memiliki pH netral dengan kadar padatan (TS)
sejumlah volume lumpur yang dibuang (wasting sangat rendah yaitu rata-rata 6.484 mg/L atau
sludge) sebanyak 30% v/v. Pengambilan residu sekitar 0,64 %. Lumpur ini mengandung zat
lumpur untuk percobaan dan analisa dilakukan padat tervolatile rata-rata 3.107 mg/L atau
setiap satu minggu sekali. Parameter yang sebagai senyawa organik sekitar 48 % dari zat
dianalisa terdiri dari TS dan VS. padat total. Kadar TS dan VS tersebut lebih
rendah dibanding lumpur biologi yang diteliti
c. Penghilangan Air Residu Lumpur dan oleh Elliott 2007 yaitu TS 1 – 2% dengan VS 65
Pengeringan – 97% TS. Rendahnya kandungan organik dalam
lumpur biologi ini, dapat disebabkan oleh sistem
Percobaan penghilangan air dalam residu daur ulang serat dan air serta adanya senyawa-
lumpur digestasi anaerobic dilakukan melalui senyawa aditif anorganik yang berasal dari proses
pengepresan dengan alat press hidraulik produksi (Rina dkk, 2012).
kapasitas ± 282 ml. Pengepresan residu Lumpur biologi mengandung logam Cr, Cu,
lumpur dilakukan dengan variasi tekanan dari 3 Ni, Zn yang cukup rendah dan dapat berfungsi
sampai 15 atm. Pada saat pengepresan, lumpur sebagai mikronutrien. Selain itu mengandung
dimasukan kedalam ruang pengepresan yang juga Ca dan Mg yang dapat berfungsi sebagai
makro nutrisi dalam proses digestasi anaerobik. wasting residu lumpur yang besarnya bervariasi
Sedangkan kandungan Pb dan Cd yang bersifat antara 10 – 30 %v/v dari endapan lumpur yang
racun konsentrasinya sangat rendah jauh di bawah terbentuk. Data-data pengamatan terhadap
baku mutu KEPDAL 03/1995. Kandungan logam karakteristik hasil wasting residu lumpur yang
tersebut jauh di bawah baku mutu KEPDAL meliputi parameter kadar TS dan VS, rasio VS/
03/1995. TS dan pH ditampilkan pada Gambar 1, Gambar
2 dan Gambar 3.
Potensi Residu Lumpur Hasil Digestasi Pada umumnya residu lumpur hasil
Anaerobik digestasi akan bersifat lebih mudah mengendap
dibandingkan lumpur biologi sebelumnya yang
Karakteristik lumpur biologi mengandung bersifat ruah (bulky). Semakin baik kinerja
bahan organik dan unsur-unsur hara yang proses digestasi maka akan semakin tinggi
berpotensi dimanfaatkan sebagai pupuk, namun pula kemampuan mengendap residu lumpur.
belum dapat digunakan secara langsung. Proses Perlakuan pembuangan (wasting) residu lumpur
digestasi anaerobik dapat mengkonversi sifat dilaksanakan setelah selesai tahapan aklimatisasi
lumpur tersebut melalui proses biodegradasi dan tahapan running sudah stabil. Gambar 1
bahan organik dan mineralisasi anorganik menunjukkan bahwa kadar TS residu lumpur
sehingga unsur-unsur hara dalam residu lumpur pada saat aklimatisasi masih rendah atau relative
menjadi bersifat tersedia sebagai sumber hara sama dengan media lumpur biologi sebelumnya.
tanaman (Appels dkk, 2008). Hal ini dikarenakan belum terbentuk kemampuan
mengendap lumpur secara baik sehingga residu
Tabel 1.Karakteristik Lumpur Biologi IPAL lumpur masih encer dengan kadar TS antara 5 –
Industri Kertas 10 g/L (0,5 – 1,0 %).
Sejalan dengan telah teraklimatisasinya
Parameter Satuan Nilai rata-rata *) mikroba dan kestabilan kinerja digestasi, maka
pH - 7,4 terlihat bahwa kadar TS residu lumpur makin
Zat padat total (TS) mg/L 6.484 tinggi menjadi berkisar antara 20 - 45 g/L atau
Zat padat volatile mg/L 3.107 (2,0 – 4,5 %). Hal tersebut memberikan arti
CODtotal mg/L 4.027 adanya kemampuan mengendap residu lumpur
CODfiltrat mg/L 428 yang makin baik, dan tingginya kadar TS yang
VFA mg/L 63,8
diperoleh tergantung pada fluktuasi kadar TS
Alkali aktif mg/L 3.955
lumpur biologi sebelumnya. Data hasil penelitian
Karbohidrat mg/L 14,3
Cr mg/L < 0,05 ini menunjukkan bahwa digestasi anaerobik
Cu mg/L 0,09 lumpur biologi yang kadar TS nya berkisar antara
Ni mg/L < 0,02 0,4 –1,5 % dengan melakukan laju pembuangan
Zn mg/L 0,31 (wasting) residu lumpur antara 10 – 30 % dapat
Cd mg/L < 0,02 menghasilkan residu lumpur dengan kadar TS
Pb mg/L < 0,50 meningkat menjadi 2 – 4,5 %.
Ca mg/L 431 Hasil analisa residu lumpur menunjukkan
Mg mg/L 125 bahwa besaran rasio VS/TS tidak memperlihatkan
)
rata- rata dari 10 data uji
perubahan yang berarti baik pada saat tahap
aklimatisasi hingga running berkisa antara nilai
Untuk mendapatkan residu lumpur yang
0,4 – 0,6 (Gambar 2). Rendahnya nilai rasio VS/
memenuhi syarat sebagai pupuk perlu dilakukan
TS ini disebabkan dar karakteristik media lumpur
pengaturan kondisidi dalam pengoperasian
biologi yang kandungan organiknya hanya
instalasi digestasi anaerobik, diantaranya perlu
48%, sehingga dapat berakibat menurunnya
keseimbangan antara ketersediaan substrat
kualitas pupuk yang dihasilkan karena bahan
media lumpur biologi (F) dengan jumlah
organik yang terkandung didalamnya menjadi
populasi mikroba (M) didalam reactor asidifikasi
rendah pula. Hasil analisa pH residu lumpur
(Kangle dkk, 2012). Untuk mempertahankan
secara umum berada disekitar pH netral (pH 7),
keseimbangan beban organic dan mikroba (F/M)
dan khususnya mencapai stabil setelah tahap
tersebut perlu dilakukan sirkulasi kembali atau
running (Gambar 3). Berarti pengaturan kondisi
pengembalian lumpur (return sludge) dari tanki
pH asam melalui penambahan asam phospat
pengendap ke reactor melalui pengendalian laju
68 Balai Besar Pulp dan Kertas
Bandung
Seminar Teknologi Pulp dan Kertas Prosiding
Golden Flower Hotel, Bandung, 10 November 2015 ISBN : 978-602-17761-3-1
yang bertujuan untuk mengoptimalkan proses Pengeringan dan Pencampuran dengan Bahan
asidifikasi dan penambahan larutan penyangga Aditif
pH (pH buffer) berupa Natrium Karbonat
cukup efektif digunakan. Keadaan ini cukup Sludge cake basah hasil pengepresan dengan
menguntungkan karena tidak memerlukan lagi kadar TS berkisar antara 26,99 – 28,51% atau
proses penetralan untuk cairan hasil asidifikasi kadar air rata-rata 71,49 – 73,01% dilakukan
yang diolahlanjut menjadi biogas maupun untuk pengeringan hingga mencapai kadar TS sekitar
residu lumpur yang diolah lanjut menjadi produk 80%. Proses pengeringan dilakukan menggunakan
pupuk organik. lemari pengering oven dengan kondisi operasi
suhu diatur pada 70oC berlangsung selama 20 –
100 24 jam. Sludge cake kering yang dihasilkan baik
80
tanpa maupun dicampur dengan aditif berupa abu
sekam padi dengan dosis (5-10%) yang bertujuan
60
untuk meningkatkan kadar kering dan unsure
TS, g/L
40
TS hara (N,P), selanjutnya dicetak pada mesin pelet
20 VS
yang mampu beroperasi menghasilkan rendemen
0 > 90%.
7 13 35 47 53 59 72 76 78
0.60
0.40
antara 11,64-18,35 % dan kadar nitrogen 0,94 –
1.35% . Rasio C/N dari masing-masing perlakuan
0.20
adalah 11-14 untuk pelet tanpa aditif dan 11 pada
0.00
7 13 35 47 53 59 72 76 78
pelet dengan penambahan aditif. Ditinjau dari
kedua parameter tersebut menunjukkan bahwa
LB 50 % LB 75% LB 100%
Hari ke / komposisi umpan kadar organik karbon dalam pelet pupuk organik
cenderung rendah, demikian juga ratio C/N
nya, sehingga tidak masuk dalam standar pupuk
Gambar 2. Ratio VS/TS Residu Lumpur Sisa organik menurut Permentan N0. 70/2011, namun
Proses Digestasi Anaerobik masuk dalam spesifikasi pembenah tanah Menurut
SNI 7847:2012 yang diperuntukan hanya untuk
8 tanaman HTI. Ditinjau dari kandungan logam
pH lumpur sisa digestasi
KOMPOSIT DARI SERAT DAN PULP BAMBU TALI (G. apus) UNTUK
PAPAN SERAT
Theresia Mutia 1, Susi Sugesty, Hendro Risdianto,Teddy Kardiansyah
Balai Besar Pulp dan Kertas, Jl. Raya Dayeuh Kolot 132 Bandung
1
theresia.mutia@yahoo.com
COMPOSITE OF FIBER AND TALI BAMBOO PULP (G. apus) FOR FIBER BOARD
ABSTRACT
Bamboo cropping period is quite short compared to wood, but fiber and bamboo pulp have not
been used optimally for the substitution of wood in composite industry, such as fiber board. Therefore,
study has been done by using the fiber and tali bamboo pulp (G. apus) for fiber board. From the test
results known that the bamboo contains lignin, alpha cellulose and hemi cellulose of about 25 %, 50
% and 14 %. Lignin content of bamboo fiber from soda cooking process is about 14 %, while cooking
bamboo chips with Kraft and soda processes will produce fibers with lignin content of about 4 % and
12 %. Bamboo fiber from soda cooking process has a long of about 4.5 mm, while from soda and
Kraft cooking processes of about 2.3 mm and 2.77 mm. The optimal condition for fiber board making
was obtained by using fibers by soda cooking process, which will produce a medium and high density
composite. As for the water content, water absorption, changes in the length and thickness, tensile
strength and bending strength are in accordance with the Indonesian National Standard 01-4449 – 2006.
Keywords: composite, fiber, bamboo, pulp, fiber board, soda process cooking
ABSTRAK
Bambu masa tanamnya cukup singkat dibandingkan dengan kayu, namun sampai saat ini serat dan
pulp bambu belum dimanfaatkan secara optimal sebagai bahan baku pengganti kayu pada pembuatan
berbagai komposit oleh industri manufactured wood, misalnya papan serat . Oleh karenanya dilakukan
penelitian pembuatan papan serat dengan menggunakan serat dan pulp bambu tali (G.apus). Dari hasil
uji diketahui bahwa bambu tali yang digunakan mengandung lignin, alfa selulosa dan hemiselulosa
sekitar 25%, 50% dan 14%. Pemasakan bilah bambu dengan proses soda akan menghasilkan serat
dengan kadar lignin sekitar 14%, sedangkan pemasakan serpih bambu dengan proses kraft dan soda akan
menghasilkan pulp dengan kadar lignin sekitar 4% dan 12%. Serat bambu hasil proses soda memiliki
panjang sekitar 4,5 mm, sedangkan panjang serat dari pulp bambu hasil proses kraft dan soda adalah
sekitar 2,3 mm dan 2,77 mm. Kondisi optimal untuk pembuatan papan serat diperoleh pada pemakaian
serat bambu hasil pemasakan dengan proses soda, yang akan menghasilkan komposit dengan kerapatan
sedang dan tinggi. Adapun kandungan air, penyerapan, perubahan panjang dan tebal, kekuatan tarik dan
lenturnya sesuai dengan SNI 01 – 4449 – 2006.
Kata kunci: komposit, papan serat, pemasakan proses soda, serat, pulp, bambu
ketersediaan kayu yang semakin terbatas. lem resin sintesis kemudian ditekan membentuk
Diketahui bahwa, hingga tahun 2009 sesuai lembaran papan yang keras. Ketiga adalah papan
dengan ijin usaha yang diberikan, produksi hutan serat , yang terbuat dari serat kayu yang dimaserasi
tanaman mencapai 18,95 juta m3 (HTI) dan di air untuk kemudian dipres pada temperatur
0,09 juta m3 (Perhutani), sedangkan produksi tinggi, seringkali dengan hanya sedikit resin,
hutan alam dari HPH hanya mencapai 4,86 juta hingga membentuk lembaran dan papan dengan
m3 dan dari IPK sejumlah 6,62 juta m3. Padahal kepadatan yang berbeda-beda, tergantung tingkat
kebutuhan kayu nasional yang disampaikan panas dan tekanan yang diberikan.
dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Dalam upaya mendapatkan bahan yang tepat
Kehutanan Tahun 2006 – 2025, mencapai 64 juta guna, berbagai macam bahan telah digunakan
m3 per tahun (Anonim, 2006). Kondisi tersebut sebagai bahan baku komposit, antara lain untuk
mengakibatkan adanya ketimpangan yang manufactured wood. Adapun serat dan pulp
tinggi antara ketersediaan produksi kayu dengan bambu sampai saat ini belum dimanfaatkan
kebutuhan kayu nasional, sehingga diperlukan secara optimal sebagai bahan baku pengganti
adanya bahan alternatif pengganti kayu. kayu untuk berbagai produk tersebut, misalnya
Bahan baku alternatif dari nonkayu banyak papan fiber. Dari penelitian terdahulu, diketahui
pilihannya dan tersedia dalam jumlah yang bahwa beberapa jenis bambu yang endemik Jawa
besar, misalnya bambu. Serat bambu termasuk Barat, yaitu bambu tali, bambu temen dan bambu
ke dalam serat panjang dengan masa tanam haur berpotensi untuk menghasilkan pulp yang
yang cukup singkat dibandingkan dengan kayu. baik. Selain itu, pada proses pemasakan untuk
Pada komposit, fungsi penggunaan serat secara mengurangi kandungan ligninnya, diketahui
umum adalah sebagai penguat, sehingga produk bahwa bambu tali memerlukan zat kimia yang
akhirnya akan menjadi lebih kuat dan kokoh, paling rendah. Selanjutnya dari hasil uji coba
terutama komposit yang menggunakan penguat pembuatan komposit diketahui bahwa komposit
dari serat panjang. Selain itu, pemakaian serat epoksi/bambu tali, terutama seratnya dapat
alami untuk produk komposit akan menghasilkan digunakan sebagai bahan peredam suara dan
produk yang lebih ramah lingkungan, karena produk akhirnyapun ringan (Theresia dkk., 2013).
dapat mengurangi pemakaian serat sintetis dan Oleh karenanya, dalam upaya memanfaatkan
resin. penggunaan bahan baku nonkayu sebagai bahan
Di dunia terdapat sekitar 1300 jenis bambu baku komposit, maka dilakukan penelitian
dan di Indonesia diketahui terdiri atas 143 jenis. lanjutan yaitu pembuatan manufactured wood
Adapun di Pulau Jawa diperkirakan ada 60 jenis, berupa papan serat dengan menggunakan serat
dan 9 jenis merupakan endemik daerah Jawa dan pulp dari bambu yang terpilih, yaitu bambu
Barat, terutama jenis bambu tali (bambu apus), tali (G. apus). Adapun tujuan penelitian ini adalah
bambu temen dan bambu haur. Bambu merupakan untuk mengetahui kondisi optimal pembuatan
bahan mutiguna, karena dapat digunakan untuk komposit, sehingga diperoleh produk berupa
bahan bangunan, pagar, jembatan, alat angkutan papan serat dengan hasil yang dapat memenuhi
(rakit), pipa saluran air, alat peraga, mebel dan standar yang berlaku.
berbagai peralatan rumah tangga serta sebagai
bahan baku untuk pulp kertas dan serat tekstil. BAHAN DAN METODE
Manufactured wood (papan pabrikan) adalah
semua produk turunan kayu yang dibuat di Bahan
pabrik dengan cara mengikat serat, partikel
dengan bahan perekat untuk membentuk material Bahan baku yang digunakan adalah bambu
komposit. Produk ini dibuat dengan spesifikasi yang umum ditanam di Jawa Barat, yaitu bambu
desain tertentu dan untuk memenuhi standar tali yang berumur sekitar tiga tahun. Adapun
yang berlaku. Secara umum, papan pabrikan bahan kimia yang digunakan yaitu soda kostik
dapat dibagi menjadi tiga klasifikasi luas. yang dan natrium sulfida.
pertama adalah plywood, yaitu papan yang terdiri
dari lapisan kayu solid yang direkatkan bersama- Peralatan
sama. Kedua adalah papan partikel, atau dikenal
pula dengan sebutan chipboard, yang dibuat Alat penyerpih kayu, Digester, Mechanical
dengan cara merekatkan serpihan kayu dengan Softening & Brushing dan peralatan gelas.
Pemasakan* Pemasakan**
(Proses soda dan Kraft) (Proses Soda)
Komposit
Catatan :
* Rasio = 1: 5 * *Rasio =1:5
Alkali Aktif dan sulfiditas = divariasi Soda kostik = 12%
Suhu maksimum = 165°C Suhu max. = 165°C
Waktu pada = 120 menit Waktu pada = 120 menit
Refiner = 2 kali
45
30 Komponen Kimia
15
0 Dari hasil analisa komponen kimia serat
1 2 3 bambu (sebelum dimasak), diketahui bahwa
Diameter bambu (mm) Tebal bambu (mm) kandungan lignin, alfa selulosa dan hemiselulosa
adalah sekitar 25,28%; 50,63% dan 14,15%,
sedangkan kadar abu dan ekstraktifnya adalah
Gambar 2. Hasil Uji Diameter dan Tebal Bambu sekitar 2,08 % dan 2,39% (Tabel 3.).
Tabel 3. Komponen Kimia Serat Bambu kimia yang digunakan akan mendegradasi lignin
di dalam serat tersebut.
No. Parameter Hasil Analisa Pada pembuatan komposit, lignin dalam serat
1 Air.% 5,44 alam yang berfungsi sebagai penguat masih
diperlukan, sehubungan dengan sifatnya sebagai
2 Abu , % 2,08
perekat, sehingga serat tidak mudah putus atau
3 Ekstraktif , % 2,39 kekuatan tariknya sangat rendah, begitu halnya
4 Lignin, % 25,28 untuk pulp bambu. Oleh karena itu pada penelitian
5 Air, % 5,44 selanjutnya, yaitu pembuatan komposit, maka
6 Holoselulosa, % 76,67 dipilih serat yang masih memiliki kandungan
lignin sekitar 5%, yaitu dengan memasak serat
7 Alpha Selulosa, % 50,63
tersebut dengan menggunakan alkali aktif dan
8 Hemiselulosa, % 14,15 sulfiditas pada konsentrasi 16% dan 25%, dan
9 Kelarutan Air Dingin,% 5,76 karakteristik pulp tersebut dapat dilihat pada
10 Kelarutan Air Panas, % 7,08 Tabel 4.
Untuk mendapatkan serat bambu yang terurai
11 KelarutanNaOH 1% , % 22,66
dari potongan bilah bambu, maka dilakukan
pemasakan dengan proses soda. Dari penelitian
Serat dan Pulp Bambu terdahulu (Theresia, 2014) diketahui bahwa agar
kadar lignin dalam serat bambu masih cukup
Komponen Kimia besar, maka proses pemasakan terhadap bilah
bambu maupun serpih bambu dilakukan dengan
Untuk mendapatkan pulp bambu, maka menggunakan larutan soda yang relatif rendah,
dilakukan proses pemasakan. Pemasakan dengan yaitu 12%. Adapun hasilnya disajikan pada
proses Kraft terhadap serpih bambu dilakukan Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa kadar
dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh lignin, abu dan ekstraktif pulp bambu hasil
variasi proses tersebut terhadap kandungan lignin pemasakan dengan proses Kraft adalah lebih
pulp yang dihasilkan (Gambar 3.). kecil dibandingkan serat dan pulp bambu yang
Dari hasil uji, diketahui bahwa variasi dimasak dengan proses soda, sedangkan kadar
kondisi proses pemasakan terhadap bambu akan selulosanya lebih tinggi. Dari hasil uji diketahui
menghasilkan kandungan lignin yang berbeda- bahwa serat dan pulp hasil pemasakan dengan
beda, dan semakin tinggi konsentrasi zat kimia proses soda masih mengandung lignin yang
yang digunakan, maka kandungan ligninnya akan cukup besar, yaitu sekitar 13,96% dan 12,37%,
semakin rendah. Hal ini disebabkan karena bahan sedangkan pulp bambu hasil pemasakan dengan
1. AA 14%, S 25%
2. AA 16%, S 25%
3. AA 18%, S 25%
4. AA 20%, S 25%
5. AA 22%, S 32%
6. AA 24%, S 32%
Keterangan :
AA : Alkali Aktif
S : Sulfiditas
Gambar 3. Pengaruh Proses Pemasakan (Proses Kraft) Terhadap Kandungan Lignin dalam
Pulp
proses Kraft mengandung lignin sekitar 4,32%. Tabel 5. Morfologi Serat dan Pulp Bambu
Hal tersebut disebabkan karena pemasakan
proses soda hanya menggunakan soda saja dan Proses
konsentrasinyapun lebih rendah dibanding proses Proses Soda
No. Parameter Kraft
Kraft, sehingga lignin, abu dan ekstraktif yang Serat Pulp Pulp
terkandung di dalamnya tidak semuanya dapat
1 Panjang 4,5 2,77 2,3
didegradasi/dilarutkan. Adapun kadar air pulp
serat, mm
dan serat tersebut masih dibawah 6%, sehingga
diharapkan tidak berpengaruh pada pembuatan 2 Diameter, 17,35 29,42 20,8
komposit. Adapun setelah dimasak dengan proses µm
soda, serat bambu masih mengandung lignin, alfa 3 Tebal 5,39 7,48 5,2
selulosa dan hemiselulosa sekitar 14%, 68% dan dinding,
14,9%, sedangkan kadar abu dan ekstraktifnya µm
adalah sekitar 3,63% dan 3,29%. Selain itu dari 4 Kekakuan 0,31 0,25 -
hasil evaluasi diketahui bahwa proses pulping 5 Kelenturan 0,38 0,49 -
dengan metoda Kraft (alkali aktif 16% dan
6 Fines - - 6,95
sulfiditas 25%) akan menghasilkan serat dengan
kadar lignin terendah (4,32%), dan alfa selulosa
Komposit
tertinggi (88,1%), serta dengan kadar abu dan
ekstraktif yang terendah pula, yaitu 0,554% dan
Serat bambu merupakan serat selulosa dan
0,16%.
apabila ditinjau dari segi komposisi kimianya,
mengandung selulosa alfa sekitar 67,71% -
Morfologi Serat
88,10% (Tabel 4). Rantai selulosa ini merupakan
struktur kristalin yang ditunjang dengan ikatan-
Serat panjang umumnya memiliki panjang
ikatan kovalen antar unsur-unsurnya. Adanya
rata-rata sekitar 4,43 mm. Terkait morfologi serat
gugus-gugus hidrogen pada polimer resin epoksi
dan pulp bambu (Tabel 5), dari hasil uji diketahui
akan berikatan dengan gugus - gugus aktif pada
bahwa serat bambu tali merupakan serat panjang
selulosa, yaitu gugus -OH dan CH2OH membentuk
yang berpotensi untuk menghasilkan pulp yang
ikatan hidrogen. Semakin panjang rantai molekul
baik. Panjang rata-rata serat setelah dimasak
selulosa maka semakin banyak ikatan kimia yang
dengan proses soda adalah sekitar 4,5 mm,
terjadi dengan polimer resin, sehingga komposit
sedangkan pulp hasil pemasakan dengan proses
akan lebih padat dan memungkinkan pada area
soda dan proses Kraft, memiliki panjang serat
macroporous maupun microporous terisi penuh
rata-rata sekitar 2,77 mm dan 2,3 mm. Selain itu,
oleh ikatan-ikatan kimia.
proses pemasakan menyebabkan serat menjadi
Dalam upaya mensubstitusi bahan penguat
lebih lentur.
komposit yang berasal dari kayu yang umum
digunakan pada pembuatan berbagai komposit dengan pengujian, yaitu uji kekuatan tarik dan
oleh industri manufactured wood, misalnya papan kuat lentur. Dari hasil uji (Gambar 6), diketahui
fiber, maka pada penelitian ini dilakukan uji bahwa semakin banyak penggunaan epoksi
coba pembuatan komposit dengan matriks resin sampai batas tertentu akan menaikkan kekuatan
epoksi dengan menggunakan bambu tali, yaitu tarik dan lenturnya, kemudian menurun. Adapun
dalam bentuk serat dan pulp (Gambar 4) dengan dari pengamatan secara visual diketahui bahwa
karakteristik seperti yang tercantum pada Tabel penggunaan epoksi yang rendah {0,5 sampai
4 dan Tabel 5. Adapun Contoh komposit serat dengan 0,75 bagian terhadap serat (contoh uji
bambu/epoksi dan pulp bambu/epoksi disajikan nomor 1 dan 2), maka akan menghasilkan produk
pada Gambar 5. dengan kualitas yang kurang baik, dengan
permukaan yang tidak rata (resin tidak dapat
menutupi sebagian besar permukaan produk),
sehingga untuk uji selanjutnya digunakan sampel
dengan nomor 3, 4 dan 5.
Dari hasil uji (Gambar 7), diketahui bahwa
komposit dari serat bambu akan menghasilkan
komposit dengan kerapatan sedang dan tinggi
(Tabel 1.). Diketahui pula bahwa semakin banyak
penggunaan epoksi, maka kerapatan komposit
Gambar 4. Serat (kiri) dan Pulp (kanan) Bambu akan semakin tinggi. Selain itu, semakin banyak
penggunaan epoksi, maka kadar air (Gambar 8),
penyerapan air (Gambar 9), perubahan panjang
(Gambar 10) dan tebalnya (Gambar 11) akan
semakin kecil. Hal tersebut kemungkinan
disebabkan karena semakin tinggi kerapatan
komposit, maka ikatan antar partikel akan
semakin kompak, sehingga rongga udara dalam
Serat Bambu/Epoksi Pulp Bambu/Epoksi komposit semakin kecil. Akibatnya air/uap air
semakin sulit untuk mengisi rongga tersebut atau
Gambar 5. Komposit Serat Bambu/Epoksi dan semakin besar kerapatannya, maka daya serap
Pulp Bambu/Epoksi airnya akan semakin kecil (Hilda Trisna, 2012).
Selain itu dari hasil uji diketahui bahwa kerapatan
Dari Tabel 4 . diketahui bahwa kadar lignin, tinggi berpengaruh pula terhadap penyerapan,
abu dan ekstraktif serat bambu adalah lebih perubahan panjang dan perubahan tebal komposit
besar dibandingkan pulp bambu, sedangkan setelah direndam dengan air selama 24 jam, yaitu
kadar selulosanya lebih kecil. Hal tersebut nilainya akan semakin kecil.
mungkin disebabkan karena proses pemasakan Dari uraian di atas, diketahui bahwa komposit
serat bambu hanya menggunakan soda saja serat bambu/epoksi pada dengan komposisi fraksi
dan konsentrasinyapun lebih rendah dibanding serat terhadap fraksi resin sekitar 1 : 1,5, akan
pemasakan pulp, sehingga lignin, abu dan menghasilkan papan serat dengan karakteristik
ekstraktif yang terkandung di dalamnya tidak yaitu, mempunyai kerapatan yang tinggi. Selain
semuanya dapat didegradasi/dilarutkan. Adapun itu, kekuatan tarik, lentur, kadar air, penyerapan,
kadar air pulp dan serat tersebut masih di bawah perubahan panjang dan tebalnya sesuai dengan
10%, sehingga diharapkan tidak berpengaruh standar (SNI 01 – 4449 – 2006). Oleh karenanya,
pada pembuatan komposit. diharapkan dimasa yang akan datang serat bambu
Uji coba pembuatan komposit dilakukan dapat dimanfaatkan sebagai substitusi kayu pada
dengan cara memvariasi matriks epoksinya, industri manufactured wood, yaitu papan fiber.
yaitu dengan perbandingan 1 : 0,5; 1 : 0,75; 1 Dengan demikian nilai tambah produk yang
: 1; 1 : 1,5 dan 1 : 2,25 (kode contoh dari No. berasal dari bambu dapat ditingkatkan dan dapat
1 sampai No. 5), selanjutnya untuk mengetahui mengurangi pemakaian serat berbahan baku kayu
karakteristik produknya, maka dilanjutkan yang ketersediaannya semakin terbatas.
3000
1.2
kg/cm2
2000
1
%
1000
0.8
0
1 2 3 4 5
Variasi serat bambu/epoksi 0.6
Kuat lentur (arah memanjang), kg/cm2 1 2 3 4 5
Kuat lentur (arah melintang), kg/cm2
Kekuatan tarik, kg/cm2 Variasi serat bambu/epoksi
Gambar 6. Pengaruh Komposisi Serat Bambu/ Gambar 7. Pengaruh Komposisi Serat Bambu/
Epoksi Terhadap Kekuatan Tarik Epoksi Terhadap Kerapatan
dan Kuat Lentur
Gambar 8. Pengaruh Komposisi Serat Bambu/ Gambar 9. Pengaruh Komposisi Serat Bambu/
Epoksi Terhadap Kadar air komposit Epoksi Terhadap Penyerapan Air
Gambar 10. Pengaruh Komposisi Serat Bambu/ Gambar 11. Pengaruh Komposisi Serat Bambu/
Epoksi Terhadap Perubahan Panjang Epoksi Terhadap Perubahan Tebal
ABSTRACT
Increasing the number of filler in the paper will reduce fiber materials, so reduce the cost of
production. Treatment of Ground calcium carbonate (GCC) with the polymer to obtain the filler
material that easy in the process production of paper, has a high retention with the increasing quality of
the paper. Filler treatment results of GCC uses natural polymers guargum (GG), and Polyakrilamida (C
- PAM), to obtain a paste that is easily stirred to form an emulsion, and the formation of the sheet there
are no barriers. GCC filler retention results in the treatment of the sheet is higher than the retention of
filler material commonly used in the industry.GCC treatment with a composition of 0.375% GG, C-PAM
0.015%, and the dispersants 0.5% gain the retention value of 12.43%, value retention increased to 37%
in the formation of the sheet with the addition of retention. The nature of the paper sheet obtained from
the application of filler better treatment results when compared to the sheet with the filling material
commonly used in the industry , but the tear resistance value is lower. Optical properties, tensile
resistance, tensile strength, and roughness sheet experimental results have met the specifications printed
paper.
ABSTRAK
Peningkatan jumlah bahan pengisi (filler) dalam kertas akan mereduksi bahan serat, sehingga
mengurangi biaya produksi. Perlakuan terhadap ground calcium carbonate (GCC) dengan polimer
bertujuan untuk mempermudah aplikasi bahan pengisi dalam proses pembuatan kertas, serta meningkatkan
retensi dan mutu kertas. Bahan pengisi hasil perlakuan ground calcium carbonate (GCC) menggunakan
polimer alam guar gum (GG), dan polyakrilamida (C-PAM), diperoleh dalam bentuk pasta yang bersifat
mudah diaduk membentuk emulsi, dan pada pembentukan lembaran tidak ada hambatan. Retensi bahan
pengisi GCC hasil perlakuan pada lembaran lebih tinggi dibandingkan dengan retensi bahan pengisi
yang biasa dipergunakan di industri. Perlakuan GCC dengan komposisi GG 0,375 % , C-PAM 0,015
%, dan dispersan 0,5 % memperoleh nilai retensi 12,43%, nilai retensi meningkat menjadi 37 % pada
pembentukan lembaran dengan penambahan bahan peretensi. Sifat lembaran kertas yang diperoleh dari
aplikasi bahan pengisi hasil perlakuan nilai bulk dan kekasaran lebih baik jika dibandingkan terhadap
lembaran dengan bahan pengisi yang biasa dipergunakan di industri, tetapi nilai ketahanan tariknya
lebih rendah. Sifat optis, ketahanan tarik, daya regang, dan kekasaran lembaran hasil percobaan telah
memenuhi spesifikasi kertas cetak.
Drainage Jar), pengujian retensi, dan pengujian dilakukan pengujian laju drainase menggunakan
karakteristik kertas berupa mikrometer, alat uji alat DDJ dengan volume stock pulp 500 mL yang
ketahanan tarik, daya regang, sifat optik, dan telah ditambah bahan pengisi hasil pengolahan
kekasaran lembaran. GCC dengan polimer, kemudian ditentukan
volume dan waktu lolos cairan.
Metoda
3. Pengujian retensi bahan pengisi
Metoda pengolahan GCC dengan komposisi Stok pulp bahan lembaran ditambah emulsi
bahan sesuai variasi perlakuan, tepung GCC 10% bahan pengisi hasil pengolahan GCC dengan
sebagai bahan baku disaring dengan ayakan 100 polimer. Variasi kadar filler yang ditambahkan
mesh, kemudian dilakukan pencampuran dengan pada stock 20 %, 30 %, dan 40 %, kemudian
polimer GG dan C-PAM, ditambah dispersan, dan dilakukan juga pembuatan lembaran dengan
air dengan volume dihitung untuk memperoleh penambahan bahan peretensi C-PAM 0,1 %.
kadar padatan 64 % - 67 %, dan diaduk selama Penentuan nilai retensi berdasar pada nilai kadar
15 menit. Setiap bahan yang ditambahkan abu contoh lembaran dihitung sebagai kalsium
jumlahnya telah diperhitungkan sesuai dengan karbonat (CaCO3).
variasi perlakuan yang akan dibuat.
Perlakuan berdasar kepada jumlah guar gum, 4. Pengujian karakteristik lembaran pada
jumlah polimer sintetik, penambahan dispersan, aplikasi bahan pengisi hasil pengolahan
dan jumlah air. Variasi perlakuan GCC tercantum Lembaran dengan aplikasi bahan pengisi
pada Tabel 1 komposisi bahan perlakuan GCC. GCC hasil pengolahan dikondisikan, kemudian
dilakukan pengujian sifat fisik, sifat permukaan,
Tabel 1. Komposisi Bahan Pengolahan GCC serta sifat optik. Lembaran contoh uji dikondisikan
penyimpanan contoh pada temperatur 23±1°C
Jenis bahan Berat dalam filler dan kelembaban udara (rh) 50±2%. Pengujian
(gram) lembaran diantaranya gramatur, tebal, bulk,
CaCO3 (GCC) 100 indeks tarik, daya regang, derajat putih, opasitas,
kekasaran, dan sifat formasi.
Guar Gum (GG) 0,125, 0,250, 0,375
C-PAM 0,015 5. Pengumpulan dan pengolahan data
Dispersan 0,8 Pengujian kadar abu dilakukan secara duplo,
pengujian sifat lembaran dengan ulangan 10 kali
Pengujian Hasil Pengolahan Filler dan dihitung parameter statistik yaitu nilai rata-
rata, simpangan baku dan kovariansi
1. Pengamatan sifat filler dan emulsi filler Hasil pengumpulan data dibuat dalam
hasil pengolahan bentuk tabel, dan dilanjutkan dengan pembuatan
Filler GCC hasil pengolahan disimpan grafik untuk data yang perlu dievaluasi
dalam wadah bertutup, diambil untuk ditimbang atau dibandingkan. Sebagai pembanding
dan dibuat emulsi 10 % GCC, disimpan di dipergunakan lembaran dengan aplikasi filler
ruang laboratorium dan dilakukan pengamatan yang dipergunakan di industri dan lembaran pulp
kestabilan dengan mengamati perubahan secara tanpa filler.
visual terjadinya pemisahan fasa padat dan
cair, percobaan pengadukan setelah disimpan, HASIL DAN PEMBAHASAN
pembentukan kembali emulsi filler setelah
disimpan dalam waktu 24 jam, 3 x 24 jam, 15 x Polimer guar gum memiliki struktur molekul
24 jam yang mirip dengan selulosa, sehingga mudah
membentuk ikatan hydrogen dengan selulosa.
2. Pembuatan lembaran Filler hasil pengolahan dengan guar gum akan
Pulp LBKP dan Pulp NBKP 90 : 10 dengan teretensi lebih banyak dan terikat lebih kuat
derajat giling 300 CSF, pada konsistensi 0,5 %. pada lapisan selulosa. Pada penelitian terdahulu
Pembuatan lembaran gramatur 80 gsm untuk menunjukkan bahwa penambahan polimer guar
filler hasil pengolahan dan filler dari industri. gum pada lembaran memberikan nilai kekuatan
Terhadap stock bahan pembuatan lembaran paling tinggi dibandingkan dengan polimer
lainnya (K Salminen et.al.,2012). Pada penelitian bahan baku memiliki nilai derajat putih dan
ini digunakan polimer guar gum sebagai bahan whiteness yang sangat berbeda, sedangkan sifat
aditif pada pengolahan GCC menjadi bahan hilang pijar, kadar kalsium oksida, dan kadar
pengisi (filler) untuk kertas. air tidak terlalu berbeda. Sifat derajat putih dan
whiteness yang cukup berbeda akan nampak pada
Filler GCC Hasil Pengolahan pengamatan secara visual, GCC dengan kode IK
dan withon berwarna putih, sedangkan kode KM
Dalam penelitian ini dilakukan pengolahan berwarna krem. Tahap awal perlakuan dibuat
(treatment) GCC dengan menggunakan variasi perlakuan GCC dengan setiap bahan
polimer alam dan polimer sintetik. Polimer yang akan dipergunakan atau sebagai campuran,
alam yang dipergunakan adalah guar gum dan komposisi perlakuan sesuai Tabel 1. Kegiatan
polimer sintetik adalah kationik poliakrilamida dilanjutkan sesuai dengan variasi pengolahan
(C-PAM). Pengolahan GCC menjadi bahan menggunakan GCC kode IK.
pengisi (filler) dilaksakan pada variasi jumlah Filler hasil pengolahan diuji kadar padatan
guar gum dengan polimer sintetik C-PAM. dan diperiksa sifat terhadap pengadukan
Bahan lain yang dipergunakan adalah dispersan dan pembentukan emulsi kembali setelah
sehingga diharapkan filler yang diperoleh lebih penyimpanan. Sifat filler hasil pengolahan
homogen dan mudah diemulsikan. Percobaan terhadap pengadukan dan pembentukan emulsi
pengadukan serta cara pencampuran dan teknik kembali setelah penyimpanan, beberapa variasi
pembuatan pada pengolahan GCC diharapkan pengolahan menunjukkan sifat sangat mudah
dapat mendapatkan kondisi proses yang optimum diaduk dan terbentuk emulsi kembali, tetapi
dalam pengolahan GCC dengan polimer. ada yang agak sulit diaduk sehingga sulit untuk
GCC sebagai bahan baku memiliki menjadi emulsi kembali. Contoh yang diperoleh
karakteristik awal sebelum diolah yang perlu dari industri menunjukkan sifat yang berbeda
diketahui, hasil pengujian terhadap bahan baku dalam hal sifat pembentukan emulsi setelah
GCC dan nilai spesifikasinya tercantum pada penyimpanan, hasil pengamatan dapat dilihat
Tabel 2. Hasil pengujian GCC, menunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Sifat Filler Hasil Pengolahan GCC dan Contoh dari Industri
Komposisi bahan
Filler dari Industri
Karakteristik Guar gum GG, C-PAM, GG, C-PAM,
dispersan 1 dispersan 2 (3 contoh)
(GG)
Padatan, % 65 – 74 65 – 69 65 64
Sifat Slurry Mudah Dapat diaduk Mudah Mudah diaduk,
diaduk diaduk dapat diaduk & Sulit
diaduk
Pengamatan terhadap sifat GCC hasil Pengamatan Aplikasi Filler pada Lembaran
pengolahan dari berbagai variasi campuran
bahan dan jumlah pereaksi menunjukkan bahwa Pada pembuatan lembaran diamati sifat retensi
perlakuan dengan guar gum atau C-PAM dengan dan DDJ bahan untuk pembuatan lembaran. Pada
bahan dispersan 2 memperoleh pasta yang pengamatan uji DDJ, hasil volum uji DDJ untuk
mudah diaduk, sedangkan filler dengan bahan stok aplikasi filler hasil pengolahan menunjukkan
dispersan 1 pengadukan agak sulit. Dari hasil nilai yang hampir sama dengan volum pada
survai ke industri kertas diperoleh tiga contoh aplikasi filler contoh dari industri dan lembaran
bahan filler yang biasa dipergunakan, hasil blanko. Hal ini membuktikan bahwa perlakuan
pengamatan menunjukkan bahwa 3 contoh filler GCC dengan guar gum tidak menimbulkan
yang diperoleh dari industri memiliki sifat mudah hambatan pada pembentukan lembaran. Nilai
diaduk, dapat diaduk, dan ada yang sulit diaduk. pengamatan uji DDJ tercantum pada Tabel 5.
Sifat sulit diaduk menunjukkan bahwa filler
akan mengalami kesulitan pada saat penanganan Tabel 5. Proses Pembentukan Lembaran
dalam proses pembuatan kertas, karena sulit (Uji DDJ)
membentuk campuran homogen bahan filler yang
berupa emulsi. Guar gum Filtrat
Filler
(%) (mL)
Sifat Emulsi Filler Hasil Perlakuan Hasil 0,125 450
pengolahan 0,250 420
Guargum, C- 0,375 430
PAM
Contoh dari - 430
industri
Blanko - 425
Volume - 500
percobaan
35.0
30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
Dari grafik kadar filler dalam lembaran Pengaruh kadar Guar Gum
pada perlakuan awal terlihat retensi filler dalam (Indeks tarik gf/15mm)
lembaran (CaCO3), untuk filler hasil pengolahan 37
31
25
G GUM IND
PULP
Parameter Bulk
spesifikasi kertas cetak, dan perlakuan IRG33 pengisi : tepung GCC, larutan guar gum 1 %,
menghasilkan lembaran dengan nilai regang dan larutan C-PAM 0,2 %. Cara pencampuran
yang paling kecil. yang dilakukan : tepung GCC ditambah semua
larutan pereaksi secara bertahap dan bergantian
sambil diaduk perlahan sampai jumlah larutan
yang sesuai, kemudian pengadukan dilanjutkan
selama 15 menit. Bahan pengisi hasil perlakuan
GCC dengan guar gum dan C-PAM ternyata
mudah dalam penanganan dan dapat dibuat
emulsi kembali setelah mengalami penyimpanan
lebih dari 15 hari, dan pada proses pembentukan
lembaran (dewatering) tidak mengalami
hambatan.
Retensi filler GCC hasil perlakuan
dengan guar gum pada lembaran, lebih tinggi
Gambar 9. Hasil Uji Daya Regang dibandingkan dengan retensi bahan pengisi
yang biasa dipergunakan di industri. Perlakuan
Kakasaran GCC dengan komposisi GG 0,375 %, C-PAM
0,015 %, dan dispersan 0,5 % memberikan
Kekasaran merupakan salah satu faktor kritis lembaran dengan kadar filler 12,43%, dan kadar
untuk kertas cetak. Sesuai SNI kertas cetak ini meningkat menjadi 37 % pada pembentukan
nilai kekasaran maksimal adalah 300mL/menit. lembaran dengan penambahan bahan peretensi
Kekasaran yang terlalu tinggi mengakibatkan Hasil uji sifat lembaran kertas yang diperoleh
kualitas hasil cetak kurang sempurna. Gambar 10 dari aplikasi 30 % filler hasil perlakuan yang
menunjukkan perlakuan IR3 memiliki kakasaran dibandingkan terhadap lembaran tanpa bahan
yang baik, sedangkan kode IR33 dan IR7 belum pengisi menunjukkan nilai ketahanan tarik, daya
memenuhi syarat .filler pembanding. Perlakuan regang, bulk, dan kekasaran hampir sama.
IR1 dan IR3 memiliki nilai kekasaran yang
hampir sama dan dapat memenuhi SNI kertas UCAPAN TERIMA KASIH
cetak.
Kami mengucapkan terima kasih kepada
BBPK yang telah memfasilitasi terlaksananya
kegiatan penelitian ini, serta semua anggota
Tim Pelaksana serta pihak lainnya yang telah
membantu selama proses berlangsungnya
kegiatan ini.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN 1
Panitia Pengarah
Materi & Prosiding : Hendro Risdianto, Prima Besty Asthari, Rina Masriani, Taufan
Hidayat, Sri Purwati
Perlengkapan & Akomodasi : Adil Suprayitno, Sutedja, Agus Sutaro, Yayan Sofyan, Ian Drajat,
Dian Novianto, Takdir Aziz, Yani K, Widya Astianti, Giyanto, Iwan
Herdiwan
LAMPIRAN 2
DAFTAR PESERTA
SEMINAR TEKNOLOGI PULP DAN KERTAS 2015
LAMPIRAN 3
TANYA JAWAB
SESI I
Daftar Tanya-jawab:
1. Suprapto (ATPK)
Pertanyaan:
ATPK masih belum memiliki kampus, selama ini menyewa untuk itu mohon bantuan dari
pemerintah.
Jawaban:
Pemerintah akan mengundang/membicarakan dengan APKI dan stakeholder terkait. Alternatif
terakhir, ATPK dititipkan ke sekolah di bawah Kementerian Perindustrian.
2. Liana Bratasida (APKI)
Pertanyaan:
a. Ketentuan impor sudah ditandatangani Menteri Perdagangan namun isinya belum jelas.
b. Paket diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 39 tahun 2009, apakah verifikasi
masih dilakukan apabila sertifikat dari negara asal telah sesuai kriteria dan standar ?
c. Ada MoU antara KLHK dan PU tentang fly ash (SNI) sehingga bisa jadi non B3, tetapi
sludge IPAL masih B3 ?
Jawaban :
a. Beberapa regulasi Peraturan Menteria Perdagangan terkesan terburu-buru.
b. Kementerian Perindustrian sudah diminta kriteria/standar untuk waste paper sehingga
bahan baku menjadi murah, yang sulit adalah merubah status “waste” menjadi bahan baku.
c. Limbah B3 prinsipnya bisa dimanfaatkan selama masih sesuai ketentuan. Sludge
IPAL dianggap B3 karena jumlahnya banyak. Apabila tidak ada perlakuan khusus bisa
membahayakan.
3. Gustanpari
Pertanyaan:
a. Untuk SNI sebaiknya direvisi sesuai keunggulan nasional
b. Apakah limbah B3 bisa dibicarakan bersama ?
Jawaban :
a. SNI telah dihilangkan hanya yang masih relevan yang dipelihara (ditingkatkan).
b. Indonesia di dunia sudah cukup kuat. Lebih berperan di ISO sehingga bisa mewarnai
spesifikasi di ISO.
Jawaban :
a. IHHP akan mengakomodir untuk penyelesaian sludge IPAL termasuk limbah batubara.
b. Terkait juga masalah boikot produk di beberapa Negara tetangga lebih baik dari asosiasi
karena disana juga merupakan statement dari asosiasi. Bila sudah masuk ranah government
to government maka Kementerian Luar Negeri lebih relevan.
TANYA JAWAB
SESI II
Daftar tanya-jawab
Jawaban :
Kalau pemerintah mewajibkan IPK yang punya HTI punya sertifikasi PHVL, SVLK dan ekolabel
untuk produknya dan semuanya sudah dipenuhi sesuai yang diamanatkan pemerintah tetapi
masih kena sanksi berarti sertifikatnya tidak diakui jadi kalau pemerintah yang mengeluarkan
sertifikat melalui lembaga independen tidak mengakui apalagi pihak atau negara lain. Jadi
kredibilitas harus dipertanggungjawabkan. Perlu dicari akar permasalahnnya apakah industri
tidak mengelola dengan baik atau adanya oknum yang membakar, penegakan hukumnya harus
jelas.
2. Rusvirman (Unjani)
Pertanyaan:
Sertifikasi ekspor ke luar negeri memerlukan SNI, apakah SNI yang sudah direvesi, termasuk
terkait pengujiannya atau quality control ? SNI yang sudah direvisi memerlukan alat yang lebih
canggih yang mahal apakah mampu dengan SNI yang telah direvisi kita melakukan ekspor ?
Terkait ekspor ke luar negri, yang diketahui barang yang akan diekspor harus memenuhi standar
yang ditetapkan negara tujuan. SNI hanya berlaku untuk dalam negeri.
Jawaban :
Kita mempunya SNI dan standar yang lain diwajibkan untuk produk dalam negeri atau kegiatan
usaha yang dilakukan dalam negeri jadi apabila ada produk dari luar atau investor datang ke
Indonesia, produk atau investor tersebut harus memenuhi standar tersebut sehingga menjadi
barrier sehingga produk luar tidak mudah masuk dan sebaliknya kalau ada produk Indonesia
yang mau masuk ke negara lain harus memenuhi standar negara tersebut sehinga menjadi barrier
bagi negara tersebut supaya produk indonesai atau negara lain tidak mudah masuk ke negara
tersebut. Itulah fungsi standar dan sertifikat, karena itu diusulkan adanya saling pengakuan
supaya SNI bisa diakui di negara lain dan pemerintah perlu berunding dengan negara lain untuk
harmonisasi standar dengan negara lain sehingga ASEAN hanya memiliki satu standar yang
menjadi blue print AEC.
Daftar tanya-jawab
1. Priyadi
Pertanyaan:
a. Kenyataan di lapangan bahwa sludge atau limbah dari industri kertas atau rayon dibeli dan
bisa dimanfaatkan oleh industri karton yang lebih kecil dan harganya tidak murah. Apakah
itu termasuk kriteria industri hijau atau karena limbahnya B3 menjadi masalah?
b. Pabrik rayon mengimpor pulp dari Eropa dan bungkusnya terbuat dari serat panjang yang
dapat dimanfaatkan oleh industri lain, apakah itu termasuk kategori industri hijau?
Jawaban :
a. Kriteria industri hijau banyak tidak hanya memanfaatkan limbah B3 atau limbah non-B3
saja, suatu industri dikatan tersertifikasi industri hijau mulai dari hulu sampai hilir, mulai
dari bahan baku, bahan kimia, energi, penggunaan air dan semuanya persyaratan terpenuhi
baru dikatakan industri hijau apabila hanya sebagian saja belum dikatakan industri hijau.
Industri tersebut hanya dikatakan dapat memanfaatkan limbahnya.
b. Kalau industri sudah bisa memanfaatkan serat panjang menjadi roduk dan akan disertifikasi
mejadi industri hiaju harus dilihat teknologinya dan diverifikasi oleh lembaga sertifikasi
industri hijau baru apabila memenuhi kriteria industri hijau ,industri tersebut baru dikatakan
tersertifikasi industri hijau.
2. Rusvirman (Unjani)
Pertanyaan:
Kami sudah mengirim banyak mahasiswa ke industri tapi belum mendengar istilah industri
hijau. Beberapa industri yang sudah memenuhi kriteria industri hijau mulai bahan baku dan
sebagainya sudah sesuai standar sehingga sudah mengarah pada industri hijau. Berdasarkan itu
sepertinya industri hijau hanya istilah teoritis yang sulit untuk dicapai karena sudah tercapai.
Industri sudah melakukannya industri hijau mungkin hanya perlu ada peningkatan
Jawaban :
Industri hijau sudah dimulai dari dulu yang disampaikan adalah standar industri hijau untuk
industri kertas untuk industri lain mungkin persyaratan ada berbeda. Suatu industri apabila
ingin tersertifikasi industri hijau perlu dilihat dan diverifikasi oleh lembaga sertifikasi apakah
persyaratan industri hijau sudah terpenuhi. Industri hijau sudah dimulai lima tahun yang lalu
namun akan lebih ditekankan karena adanya isu-isu lingkungan dan peningkatan daya saing,
diharapkan semua industri bisa menjadi industri hijau.
Daftar tanya-jawab
Pertanyaan :
1. Priyadi
Pertanyaan:
Menguji kertas tisse karea disaratkan oleh Australia. Apakah pengujian nutrikdown seperti
pengujian pada kertas tissue yang pernah dilakukan bisa dijadikan patokan dalam menghitung
kandungan serat dalam kertas bekas karena dengan menggunakan mikroskop dapat dilihat
jumlah dan persentase serat sekundernya?
Jawaban :
Sebenarnya sudah banyak penelitian untuk mencari indikasi yang signifikan untuk kandungan
secondary fiber dalam suatu produk dan belum ditemukan secara literatur juga tidak mungkin
untuk menguji banyaknya serat daur ulang. Metoda mikroskop berdasarkan perbedaan warna,
apabila ada zat warna yang bisa membedakan warna virgin dan waste fiber maka metode tersebut
bisa digunakan. Sampai saat ini belum ada yang ada zat warna seperti itu yang ada hanya bisa
membedakan serat mekanik atau kimia, softwood atau hardwood.
Jawaban :
Kertas dari virgin pulp didaur ulang untuk pertama kali dan diuji karakteristiknya, bahannya
dari pulp kimia kekuatannya akan turun drastik sedangkan pulp mekanis mengalami penurunan
kekuatan yang sedikit. Pada daur ulang yang kedua dan selanjutnya penurunan kekuatan
kedua pulp tersebut tidak sesignifikan pada proses daur ulang yang pertama. Oleh karena itu
potensi daur ulang pulp mekanis lebih besar dibandingkan pulp kimia lebih. Serat kimia dibuat
dengan cara menghilangkan sebagian besar komponen kayu sedangkan serat mekanik hanya
menghilangkan sebagian kecil komponen kayu sehingga pada serat kimia tidak ada lagi ruang
untuk didaur ulang sedangkan pada serat mekanik masih ada banyak lignin dan hemiselulosa
yang memungkinkan mengalami proses daur ulang.
SESI III
PRESENTASI POSTER
TANYA JAWAB
SESI IV
Daftar tanya-jawab
Pertanyaan :
1. Rahmawati (ITSB)
Pertanyaan :
a. Apakah dalam penelitian diteliti komposisi dan ukuran diamer dari jerami padi?
b. Selain lignin dan hemi selulosa, silikat apakah ada yg bisa diteliti untuk penelitian
selanjutnya?
Jawaban :
a. Penelitian hanya melihat fiber lenght tidak fiber width atau cell wall thickness. Setiap proses
pulping menghasilkan fiber property yang berbeda-beda, untuk penelitian ini hanya melihat
fiber length dari jerami padi
b. Untuk ekstraktif juga sama hanya melihat silikat, lignin, selulose, dan hemiselulosa tidak
melihat komposisi kimia pulp (ekstraktif) yang lain seperti pelarutan dalam alkali. Proses
pulping juga akan mempengaruhi komposisi kimia pulp
Nama Penyaji : Krisna Septiningrum (BBPK)
Uraian/judul : Hexenuronic Acid Degradine Enzymes From Paenibacillus Sp.
Daftar tanya-jawab
1. Priyadi
Pertanyaan :
a. Apakah enzim tersebut dapat digunakan untuk memutihkan kertas bekas ?
b. Apakah percobaan sudah diterapkan di industri? Terkait waktu dan pH, apakah di industri
bisa diselingi waktu prosesnya dan pH operasional pembuatan pulp dan kertas di atas pH
8?
Jawaban :
a. Tujuan penelitian adalah untuk menghilangkan Hexenuronic Acid yang dihasilkan dalam
proses pulping pada proses pulping. Belum ada penelitian untuk memutihkan kertas bekas
dengan menggunkan enzim ini. Apabila akan digunakan untuk memutihkan kertas bekas
perlu dilihat komposisi dari kertas bekas tersebut, apabila mengandung Hexenoronic Acid
enzim tersebut mungkin untuk digunakan.
b. Penelitian ini masih penelitian dasar yang berawal dari penelitian mengenai enzim-enzim yang
bisa digunakan untuk menghilangkan Hexenuronic Acid namun belum spesifik. Penelitian
ini mencoba mencari enzim yang lebih sesuai dan lebih spesifik dalam menghilangkan
Hexenuronic Acid tapi belum sampai tahan karakteristik pH dan suhu. Penelitian lebih
lanjut dapat dilakukan untuk mencari enzim yang sesuai untuk diaplikasikan di industri.
Daftar tanya-jawab
Jawaban :
Untuk disolving pulp diharapkan kandungan alfa yang tinggi. Penelitian ini hanya menggunakan
batang pokok dengan kandungan alfa selulosa 53%. Menurut penelitian yang dilakukan Pratiwi,
bahwa antara batang dengan cabang berpengaruh tidak nyata terhadap pengolahan pulp. Pada
penelitian ini tidak digunakan cabang diduga juga berpengaruh tidak nyata. Pada penelitian ini
digunakan batang dengan diameter 5 – 7 cm.
TANYA JAWAB
SESI V
Nama Penyaji : Sonny Kurnia Wirawan (Balai Besar Pulp dan Kertas)
Uraian/judul : Modifikasi Serat Kertas Bekas Menggunakan Lakase
Daftar tanya-jawab
Jawaban :
Sangat bisa tetapi percuma karena serat panjang sudah kuat.
2. Priyadi
Pertanyaan :
Kenapa digunakan pada pH 5 sementara di lapangan menggunakan pH 7 ?
Jawaban :
Karena karakteristik enzim tersebut efektif bekerja pada pH 5
Daftar tanya-jawab
1. Priyadi
Pertanyaan :
a. PT. Indah Kiat sudah memproduksi kertas arsip.
b. Apakah tidak ada acelerate aging?
Jawaban :
a. PT. Indah Kiat memproduksi dokumen bukan kertas arsip (dokumen permanen).
b. Masih menguji apakah memenuhi persyaratan SNI dan tes tersebut akan dilaksanakan.
Nama Penyaji : -
Uraian/judul : Pengolahan Bahan Filter Menggunakan Polimer Untuk Meningkatkan
Mutu Produk Kertas
Daftar tanya-jawab
1. Priyadi
Pertanyaan :
Kenapa lebih menggunakan guar gum daripada tamarine gum ? sementara harga guar gum
mahal.
Jawaban :
Penggunaan tamarine akan dilaksanakan tahun depan. Mengacu pada literature, tamarine susah
didapat dalam bentuk murni.
Jawaban :
Menggunakan PCC tidak bisa sendiri, harus digabung dengan polimer sedangkan GGC bisa
ditambahkan hanya dengan ikatan kimia dengan serat.
TANYA JAWAB
SESI VI
Daftar tanya-jawab
1. Kesya (ATPK)
Pertanyaan :
a. Berapa suhu saat pemanasan ?
b. Panas dari luar, panas yang berasal dari mana ?
Jawaban :
a. T steam yang digunakan umumnya pada P = 1 atm, T > 100o C dan bisa memanfaatkan
steam dari pabrik.
b. Panas dari luar yaitu pembakaran terhadap biomassa mentah, volatilemeter.
2. Farida (BPPT)
Pertanyaan :
a. Mekanisme gas volatile saat pirolisis bagaimana ?
b. Apakah menggunakan direct/indirect steam ?
Jawaban :
a. Pulp reject ----- pirolisis : - arang
- gas volatile ---- dibakar ---- supply gasifikasi
Pirolisis ---- menggunakan gas volatile
b. Steam yang digunakan ---- direct
Nama Penyaji : Prima Besty Asthary (Balai Besar Pulp dan Kertas)
Uraian/judul : Efektivitas Pupuk Organik Berbasis Residu Proses Digestasi
Anaerobik Lumpur Ipal Industri Kertas Terhadap Tanaman Sengon
Daftar tanya-jawab
1. Kesya (ATPK)
Pertanyaan :
Apakah pupuk bisa untuk tanaman lain selain sengon ?
Jawaban :
Belum meneliti sejauh itu.
2. Yeni (KUOK)
Koreksi nama ilmiah dari sengon.
1. Priyadi
Pertanyaan :
Menguji kertas tisse karea disaratkan oleh Australia. Apakah pengujian nutrikdown seperti
pengujian pada kertas tissue yang pernah dilakukan bisa dijadikan patokan dalam menghitung
kandungan serat dalam kertas bekas karena dengan menggunakan mikroskop dapat dilihat
jumlah dan persentase serat sekundernya?
Jawaban :
Sebenarnya sudah banyak penelitian untuk mencari indikasi yang signifikan untuk kandungan
secondary fiber dalam suatu produk dan belum ditemukan secara literatur juga tidak mungkin
untuk menguji banyaknya serat daur ulang. Metoda mikroskop berdasarkan perbedaan warna,
apabila ada zat warna yang bisa membedakan warna virgin dan waste fiber maka metode tersebut
bisa digunakan. Sampai saat ini belum ada yang ada zat warna seperti itu yang ada hanya bisa
membedakan serat mekanik atau kimia, softwood atau hardwood.
Jawaban :
Kertas dari virgin pulp didaur ulang untuk pertama kali dan diuji karakteristiknya, bahannya
dari pulp kimia kekuatannya akan turun drastik sedangkan pulp mekanis mengalami penurunan
kekuatan yang sedikit. Pada daur ulang yang kedua dan selanjutnya penurunan kekuatan
kedua pulp tersebut tidak sesignifikan pada proses daur ulang yang pertama. Oleh karena itu
potensi daur ulang pulp mekanis lebih besar dibandingkan pulp kimia lebih. Serat kimia dibuat
dengan cara menghilangkan sebagian besar komponen kayu sedangkan serat mekanik hanya
menghilangkan sebagian kecil komponen kayu sehingga pada serat kimia tidak ada lagi ruang
untuk didaur ulang sedangkan pada serat mekanik masih ada banyak lignin dan hemiselulosa
yang memungkinkan mengalami proses daur ulang.