Di Susun Oleh :
kelompok D
1. Andre Anditiawan
3. Fandi Gunawan
4. Iis Suherni
5. Maruwandi
6. Nabilla Syafira
7. Rahmatiah
9. Triyanto
10. Zainal Bahrin
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Masalah Cedera kepala merupakan penyebab kematian tertinggi pada
kelompok umur dibawah 45 tahun (usia produktif), dan dari kasus-kasus trauma
yang berakhir dengankematian, cedera kepala menjadi penyebab kematian pada
lebih dari 70% kasus.
Demikian pula keadaan cacat menetap setelah trauma, sebagian besar
disebabkanoleh kerusakan susunan saraf pusat. Hal ini merupakan tantangan
umum bagikalangan medis untuk menghadapinya, dimana tampaknya
keberlangsungan prosespatofisiologi yang diungkapkan dengan segala terobosan
investigasi diagnosis medismutakhir cenderung bukanlah suatu hal yang
sederhana. Pada kasus-kasus cederakepala yang datang ke rumah sakit sebagian
berlanjut menjadi hematom. Frekwensihematom ini terdapat pada 75% kasus
yang datang sadar dan berakhir dengankematian.
Beberapa artikel menunjukkan bahwa peningkatan outcome yang baik
terjadipada penderita hematom subdural akut yang berusia muda. Pada penderita
yangberusia < 40 tahun rata-rata angka kematiannya 20%, usia 40-80 tahun rata-
rata angkakematian 65%, dan usia > 80 tahun rata-rata angka kematian 88%.
Waktu dari mulai cedera sampai dilakukan operasi mempengaruhi
prognosis.Telah dilaporkan bahwa SDH akut yang dilakukan operasi < 4 jam
setelah cedera,memiliki rata-rata angka kematian 30 %, dan > 4 jam memiliki
rata-rata angkakematian 90 %. 2,3Gambaran CT scan memberikan indikator
prognosis yang penting termasukvolume hematom, lebarnya midline shift akibat
hematom, sebagian berhubungandengan lesi intra dural akibat trauma, dan
kompresi basal cisterna.
Hematom traumatika disebabkan oleh robekan atau trauma oleh
penghentianmendadak. Terjadinya ekstravasase darah ke parenkim otak. Yang
paling seringterjadi adalah daerah temporal atau frontal, jarang terjadi di daerah
parietal danoccipital.
Dengan gambaran CT scan dapat memberikan indikator prognosis
yangpenting termasuk volume hematom, lebarnya midline shift (pergeseran otak
tengah)akibat hematom, sebagian berhubungan dengan lesi intradural akibat
trauma dankompresi basal cisterna. Ada korelasi erat antara pergeseran otak
dengan peningkatantekanan intrakranial, dimana semakin lebar deviasi midline
shift akan relatif semakintinggi tekanan intrakranialnya sehingga akan
memperburuk prognosisnya.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Anatomi Kepala
a. Kulit kepala
Kulit kepala terdiri atas lima lapisan yaitu Skin, Connective tissue,
Aponeurosis, Loose areolar tissue, Pericranium (SCALP)
1. Skin adalah kulit tebal yang berambut, mengandung banyak kelenjar
sebasea.
2. Connective tissue adalah jaringan ikat dibawah kulit, yang merupakan
jaringan lemak fibrosa.
3. Aponeurosis (epicranial) merupakan tendon yang tipis yang
menghubungkan venter occipitale dan venter frontalle.
4. Loose areoral tissue adalah jaringan ikat longgar subaponeuroticum.
5. Pericranium merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar tulang
tengkorak.
b. Tengkorak kepala
Tengkorak kepala disusun dari beberapa tulang yang saling berikatan pada
sendi yang tidak bergerak disebut sutura. Tulang-tulang tengkorak terdiri dari
kranium dan wajah. Kalvaria adalah bagian atas kranium dan basis kranii
adalah bagian paling bawah. Tulang tengkorak terdiri atas tabula eksterna dan
interna, dari substansia kompakta tulang dan dipisahkan oleh selapis
substansia kompakta tulang dan dipisahkan oleh selapis substansia spongiosa
yang disebut dipole. Tabula interna lebih tipis dan lebih rapuh dari pada tabula
eksterna.
c. Meninges
Lapisan otak dan medulla spinalis yaitu:
1. Durameter Duramater secara konvensional terdiri dari; lapisan endosteal
dan lapisan meningeal. Lapisan endosteal merupakan lapisan pembungkus
periosteum yang meliputi tulang-tulang tengkorak. Lapisan meningeal
merupakan membrana fibrosa padat dan kuat yang membungkus otak dan
berlanjut setelah melalui foramen magnum sebagai durameter medula
spinalis.
2. Subdural adalah space antara duramater dengan arachnoid.
B. Subdural Hematom
Subdural Hematoma (SDH) merupakan perdarahan yang mengumpul
diantara duramater (outer layer) dan arakhnoid (midle layer) yang disebabkan
regangan dan robekan vena-vena drainage yang berjalan melintang
menggantung dirongga subdural antara permukaan kortikal otak dengan sinus
duramatris.
C. Klasifikasi
Klasifikasi hematom subdural dapat dibagi berdasarkan kronologisnya :
1. Hematom subdural akut terjadi < 72 jam pasca trauma, dengan gambaran
hyperdense pada ct scan.
2. hematom subdural subakut terjadi 4-20 hari pasca trauma,
dengangambaran isodense atau hypodense pada ct scan.
3. Hematom kronis terjadi > 20 hari pasca trauma, dengan gambaran
hypodense pada ct scan.
Gambar subdural hematom
D. Etiologi
Trauma dan non trauma
Penemuan saat operasi : Hematom berupa jendalan darah pada SDH
akut.Hematom berupa campuran jendalan dan cairan darah pada SDH
subakut.Hematom berupa cairan darah pada SDH kronis.
E. Patofisiologi
Trauma pada otak terjadi akibat pergerakan pada kepala melampaui batas
elastisitas dari struktur intrakravial, akibat trauma tersebut tergantung dari
macampergerakannya:
1. Kepala yang bergerak mengenai obyek yang diam, biasanya terjadi trauma
minor,contre coup.
2. Kepala bergerak terhenti tiba-tiba oleh pukulan (whiplash injury), terjadi
whitematter injury disebut diffuse axonal injury
3. Kepala diam dikenai objek bergerak, lesi coup (langsung)
4. Kepala bergerak mengenai objek yang bergerak, terjadi trauma coup dengan
atau tanpa diffuse axonal atau contre coup.
Mekanisme dari kerusakan otak pada trauma terdiri dari :Mechanical injury
dari neuron/axon,Perdarahan intrakranial,Edema,Iskemiayang disebabkan oleh
pembengkakan otak atau penekanan massa.
Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scule atau GCS) Respon membuka mata
(Eye atau E)Skor
bawah).
Respon Verbal Terbaik (Verbal atau V)Skor 5: Bicara terarah (orientasi baik).
G. Insiden
SDH akut terjadi 5-25% pada penderita-penderita dengan cedera
kepalaberat(CKB).Kejadian SDH kronis telah dilaporkan 1-5,3 kasus per 100.000
orangpertahun. Pada penelitian belakangan ini tingginya insiden dimungkinkan
karenateknik imaging yang lebih baik. Pada SDH lebih sering terjadi pada laki-
laki dibandingkan dengan wanita dengan ratio 3 : 1, sedangkan pada SDH kronis
ratio pada laki-laki dengan wanita 2 : 1.13SDH akut yang dihubungkan dengan
tingginya angka mortalitas danmorbiditas; pada SDH simpel dilaporkan dari
seluruh kasus dan dinyatakansecara tak langsung bahwa tidak adanya cedera
parenkim, dengan angka mortalitas20%. Pada SDH terkomplikasi dilaporkan
untuk kasus-kasus yang tersisa denganadanya cedera parenkim (seperti: Kontusio
atau Laserasi pada hemisferserebral), angka mortalitasnya + 50%.
SDH yang dihubungkan dengan faktor usia resiko trauma tumpul
kepala)umumnya terjadi pada usia > 60 tahun, sebagai predisposisi atropi serebral
akibatkurang elastisitas bridging vein, sehingga vena tersebut mudah mengalami
cedera.SDH bilateral lebih sering terjadi pada infans(bayi), dan SDH
interhemisfer seringdihubungkan dengan child abuse. Terdapat hubungan yang
signifikan antarapenambahan usia dan peningkatan angka kematian terutama pada
penderita diatas 65tahun. Penderita dengan usia<35 tahun mempunyai angka
mortalitas rata-rata 54 %dengan functional survival 38%. Dibandingkan penderita
dengan usia diatas 65 tahunangka mortalitasnya 82% dan 5% functional survival.
Menurut National TraumaticComa Data Bank 1979, pada penderita dengan cedera
kepala berat menunjukkanperbedaan usia dengan outcome signifikan secara
statistik, dimana penderita yang usianya diatas 60 tahun menunjukkan 80%
dengan outcome yang buruk dan hanya 5% dengan outcome yang baik. Pada usia
dibawah 20 tahun menujukkan outcomeyang baik sebesar 56% dan usia 20-60
tahun menujukkan outcome yang baik 39%.Dengan demikian bertambahnya usia
akan makin buruk prognosisnya.
H. Pencegahan
Kecelakaan-kecelakaan yang meliputi cedera kepala merupakan
penyebabutama kematian pada anak muda, beberapa kecelakaan berhubungan
dengan obat-obatan dan alkohol. Hal ini dapat dihindari dengan tindakan
pencegahan yangsederhana atau mengggunakan perlengkapan keamanan.
I. Diagnosis
Semua cedera kepala harus dievaluasi secara tepat oleh dokter khususnya
bila ada kehilangan kesadaran dan harus mengetahui :
a. Bagaimana terjadinya cedera
b. Gejala apa yang timbul
c. Apakah telah mengalami cedera kepala sebelumnya
d. Bila cedera berulang merupakan gangguan yang serius
e. Apakah mempunyai masalah medis lain
f. Menggunakan obat apa saja
g. Apakah orang tersebut peminum alkohol atau pengguna obat
h. Apakah ada gejala cedera yang lain (sakit leher, sesak nafas, dan lain-lain).
SDH didaerah fossa posterior (lokasi yang tak lazim) lebih sering terjadi
padaneonatus oleh karena trauma bagian belakang kepala akibat laserasi
tentorium padakelahiran. Hematom ini biasanya dihubungkan fraktur linier
vertikal, dari CT scanterlihat hematom didaerah fossa posterior yang menekan
ventrikel IV ke anterior.
SDH sub akut (dalam deoksi Hb intra seluler telah dioksidasi menjadi met
Hb) akanmemberi sinyal hiperintens TI dan hipointens T2. Pada SDH kronik telah
terjadi lisissel darah merah dan menghasilkan met Hb bebas) akan memberi sinyal
hiperintens.
J. Penatalaksanaan
SDH akut atau subakut adalah merupakan suatu keadaan gawat darurat,
tujuandari pengobatan termasuk penilaian life saving, kontrol pada gejala-
gejala,memperkecil atau pencegahan gangguan otak permanen / lebih lanjut.
Penilaian lifesaving termasuk usaha-usaha pada Breathing dan circulation
(primary survey sesuai dengan ATLS).
a. Konservatif
Pada penderita SDH dengan volume yang kecil dapat dikelola
secarakonservatif. Sebagian penderita ini mengalami pemulihan yang baik dan
sebagian lagiilakukan operasi evakuasi hematom beberapa hari kemudian.
Mathew dkk.Menganjurkan beberapa petunjuk untuk menyeleksi penderita SDH
akut dengan terapi konservatif :
- Glasgow coma scale (GCS) 13 ketika cedera
- Pada CTscan tidak ditemukan adanya intrakranial hematom lain atau
edema otak
- Millineshifi < 10 mm, dan 4) Tidak ada basal cisternal effacement. SDH
akut yang minimal (<5mm) ketebalan hematomnya pada ct scan,
tanpaefek massa yang mempengaruhi midline shift atau tanda-tanda
neurologis, dapat diikuti secara klinis. Resolusi hematom dapat
didokumentasikan dengan gambaranserial, sebab pada SDH akut yang
diobati secara konservatif dapat berkembang menjadi hematom yang
kronis. Pengobatan medis yang darurat disebabkan oleh herniasi
transtentorial dengan pemberian manitol (penderita yang mendapat
resusitasicairan yang adekuat dan tekanan darah yang normal), pemberian
diuretik inidigunakan untuk mengurangi pembengkakan. Pemberian
phenytoin (dilantin) untukmengurangi resiko kejang yang terjadi akibat
serangan pasca trauma, karena penderita yang mempunyai resiko epilepsi
pasca trauma 20% setelah SDH akut.
b.Pembedahan
K. Komplikasi
- Gangguan otak permanen
- Kejang
- Herniasi otak
- Hydrocephalus dengan tekanan yang normal
- Gejala-gejala yang persisten kehilangan memori, sakit kepala, pusing,
gelisah, dan
- Kesulitan konsentrasi)
- Post operasi (peningkatan TIK, edema otak, hematom recuren,
infeksi,kejang)
L. Prognosis
Terdapat hubungan yang signifikan antara penambahan usia dan
peningkatanangka kematian terutama pada penderita diatas 65 tahun. Penderita
dengan usia < 35 tahun mempunyai angka mortalitas rata-rata 54 % dengan
functional survival 38%.Dibandingkan penderita dengan usia diatas 65 tahun
angka mortalitasnya 82% dan5% functional survival. Menurut National Traumatic
Coma Data Bank 1979, padapenderita dengan cedera kepala berat menunjukkan
perbedaan usia dengan outcomesignifikan secara statistik, dimana penderita yang
usianya diatas 60 tahunmenunjukkan 80% dengan outcome yang buruk dan hanya
5% dengan outcome yangbaik. Pada usia dibawah 20 tahun menujukkan outcome
yang baik schesar 56% danusia 20-60 tahun menujukkan outcome yang baik 39%.
Dengan demikianbertambahnya usia akan makin buruk prognosisnya.
M. Tinjauan Anestesi
Anestesia adalah suatu keadaan narcosis, analgesia, relaksasi dan hilangnya reflek
(Smeltzer, S C, 2002). Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut
jenis kegunaannya dibagi menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya
kesadaran, sedangkan anestesi regional dan anestesi local menghilangya rasa nyeri
disatu bagian tubuh saja tanpa menghilangnya kesadaran (Sjamsuhidajat & De
Jong, 2012). Menurut Mangku (2010) general anestesi merupakan tindakan
meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih
kembali (reversible). General anestesi menyebabkan mati rasa karena obat ini
masuk ke jaringan otak dengan tekanan setempat yang tinggi. Selama masa
induksi pemberian obat bius harus cukup untuk beredar di dalam darah dan tinggal
di dalam jaringan tubuh. Beberapa teknik general anestesi yaitu anestesi inhalasi
adalah Endotrakea Tube (ETT) dan Laringeal Mask Airway (LMA),Endrotrakea
Tube (ETT)
b. Definisi
c. Jenis-jenis ETT
d. Indikasi ETT
e. Kontraindikasi ETT
A. PENGKAJIAN
1. Pengumpulan Data
a. Identitas
1) Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Umur : 37 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
No RM : 115073
Diagnosis : SDH frontotemporoparietal Dextra
Tindakan operasi : Craniotomy Evakuasi Hematom
Tindakan Operasi : 15 Januari 2022
Tanggal MRS : 14 Januari 2022
Tanggal pengkajian : 15 Januari 2022 jam pengkajian: 08.00
:
Jaminan : BPJS
2) Identitas Penanggungjawab
Nama : Ny. N
Umur : 40 th
Alamat : Cilacap
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Hubungan dengan pasien : Istri
b. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
a. Saat Masuk Rumah Sakit
Tn. M mengalami penurunan kesadaran sejak setengah jam
sebelum masuk ke Rumah Sakit akibat jatuh dari kamar mandi
b. Saat Pengkajian
Pasien tidak sadar, terlihat hanya berbaring selama masuk RS
Saat sakit
a. Frekuensi : 2 kali/hari
b. Jenis : Bubur
c. Porsi : 1/2 porsi
d. Diet khusus : Diet tinngi serat
e. Makanan yang disukai : Makanan pedas
f. Nafsu makan : Menurun
g. Puasa terakhir : Tidak ada
h. Keluhan :
i. Lainnya : Tidak ada
4. Eliminasi
a. BAB
Sebelum sakit
Frekuensi : 1-2 kali/hari
Konsistansi : padat
Warna : kuning kecoklatan
Bau : khas feses
Cara : spontan
Keluhan : tidak ada
Lainnya : tidak ada
Saat sakit
Frekuensi : 1 kali/hari
Konsistansi : keras
Warna : kuning kecoklatan
Bau : khas feses
Cara : menggunakan alat
Keluhan :
Lainnya : tidak ada
b. BAK
Sebelum sakit
Frekuensi : 6-9 kali/hari
Konsistansi : Cair
Warna : Kuning Jernih
Bau : Khas urine
Cara : Spontan
Keluhan : Tidak ada
Lainnya : Tidak ada
Saat sakit
Berpakaian √
Berpindah √
0 : mandiri
1 : alat bantu
2 : di bantu orang lain
3 : di bantu orang lain dan alat
4 : tergantung total
6. Interaksi Sosial
Hubungan dengan lingkungan masyarakat, keluarga, kelompok danteman-
teman : (baik)
7. Pemeliharaan Kesehatan
Rasa Aman : Pasien tidak sadar
Rasa Nyaman : Pasien tidak sadar
Pemanfaatan pelayanan kesehatan : jika merasa ada keluhan keluarga
langsung memeriksakan ke dokter keluarga.
8. Peningkatan fungsi tubuh dan pengimbangan manusia dalam kelompok
sosial sesuai dengan potensinya
Konsumsi Vitamin : Jarang
Imunisasi : Lengkap
Olah raga : 1kali/hari
Upaya keharmonisan keluarga : baik
Stress dan adaptasi : baik
2. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada 05 desember 2021
a. Kesadaran : Apatis
Keadaan Umum : Sakit berat
GCS : E1 V3 M3
Penampilan : Pasien berbaring
Tanda-tanda Vital : TD : 128/82 N : 204x/menit RR : 28x/menit S:
36,8C BB : 60kg
b. Pemeriksaan 6B
1. B1 (BREATH)
Wajah : Normal
Gigi palsu : Tidak ada
Cuping hidung : Tidak ada
Tonsil : T0
Obstruksi jalan nafas : Tidak di temukan
Bentuk leher
Inspeksi : leher panjang, pembesaran KGB (-), gerak vertebrae
servikal baik.
Palpasi : trakea teraba di tengah, terdapat nyeri tekan di leher
Thorax
a. Jantung
Inspeksi : Tampak ictus cordis 2cm di bawah papila mamae sinistra
Palpasi : Ictus cordis teraba kuat
Perkusi:
i. Batas atas kiri : ICS II garis parasternal sinsitra
ii. Batas atas kanan : ICS II garis parasternal dextra
iii. Batas bawah kiri : ICS V garis midclavikula sinistra
iv. Batas bawah kanan : ICS IV garis parasterna dextra
Auskultasi : BJ I & II regular , tidakditemukan gallop dan murmur.
b. Paru
Inspeksi : Gerak Dinding dada simetris.
Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiridan tidak
terdapat ketertinggalan gerak.
Perkusi : Sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
2. B2 (BOOD)
Konjungtiva : Konjungtiva anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-)
Vena jugularis : Tidak
BJ I : Tunggal
BJ II : Tunggal
Bunyi jantung : Murmur (-)
3. B3 (BRAIN)
Kesadaran : Apatis
GCS : E1 V3 M3
Reflek fisiologis
a. Reflek bisep :-
b. Reflek trisep :-
c. Reflek brachiradialis :-
d. Reflek pattela :-
e. Reflek achiles :-
Reflek Phatologis
a. Reflek babinski : -
b. Reflek chaddok :-
c. Reflek schaeffer :-
d. Reflek oppenheim : -
e. Reflek gordon :-
4. B4 (BOWEL)
- Frekuensi Peristaltic Usus:
- Titik Mc. Burney :-
- Borborygmi :-
- Pembesaran hepar : Tidak
- Distensi : Tidak
- Asites : Undulasi
5. B5 (BLADER)
- Buang air kecil : Tidak
- Terpasang kateter : □Ya □Tidak
- Gagal ginjal : □Ya □Tidak
- Infeksi saluran kemih : □Ya □Tidak
- Produksi urine : cc
- Retensi urine : □Ya □Tidak
6. B6 (BONE)
a. Pemeriksaan tulang belakang
Kelainan tulang belakang: Kyposis (-), Scoliosis (-), Lordosis (-),
Perlukaan (-), infeksi (-), mobilitas (Terbatas), Fibrosis (-), HNP
(-)
b. PemeriksaanEkstremitas
- Ekstremitas Atas
Inspeksi
Otot antar sisi kanan dan kiri (simetris), deformitas ( -),
Fraktur(-), terpasang gips (-), Traksi ( - ), atropi otot ( -),
IV line: terpasang di tangan kiri, ukuran abocatch No. 18,
tetesan: 20 tetes.menit
Palpasi
Perfusi :
CRT :
Edema : 1-4
Lakukan uji kekuatan otot : Ada kelemahan ekstremitas
kiri
- Ekstremitas Bawah
Inspeksi
Otot antar sisi kanan dan kiri (simetris / asimetris),
deformitas (-) Fraktur (-), terpasang gips (-), Traksi
( - ), atropi otot ( -) , ada kelemahan ekstremitas kiri
3. Data Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematokrit 32,0 40 – 52 %
Hemoglobin 10,5 13,2 – 17,3 g / dL
Leukosit 7,97 3,8-10,6 10^/3uL
Eritrosit 3,66 4,40– 5,90 10^ 6/uL
Trombosit 270 150-450 10^3/uL
Monosit 5,5 2-8 %
Netrofil 85,5 50-70 %
Eosinofil 0,3 2-4 %
Basofil 0,0 0-1 %
Glukosa 111 <140 mg/dL
SGOT 152 0 – 50 U / L
SGPT 20 0 – 50 U / L
Ureum 15,77 19 – 44 mg / dL
Creatinin 1,02 0 – 1,2
Na 139 135 – 148 mEq/L
K 4,1 3,5 – 5,3 mEq/L
Cl 97 98 – 108 mEq/L
Hbs Ag Non reaktif Non reaktif
CT 4,45 1 – 6 menit
BT 1,45 1 – 3 menit
PT 10,8 9,9 – 11,8 detik
APTT 33,2 26,4 – 37,5 detik
SARS-COV-2 nucleid negatif
acid test
b. Pemeriksaan radiologi
Persiapan pasien
a. Persiapan fisik
b. Persiapan fisiologis
Jam pemeriksaan pukul 11.45 WIB Makan minum terakhir pukul 08.00
WIB ,Tekanan darah = 128/82 mmHg, HR = 204 x/menit S= 36,9 ° C , SpO2
93% infus perifer tangan kanan ukuran 20G, infus perifer tangan kiri ukuran
20G. infus lancar.
a. Persiapan alat
- Mesin anestesi
- sumber gas ( O2,AIR) ,
- Stetoskop
- laringoskope dengan blade no 3
- Facemask dewasa ukuran Large
- Plester
- OPA ukuran 3,
- ETT Nonkin-kin ukuran 7/7,5
- Stylet
- Magil forcep
- Konektor
- Spuit balon
- Suction, jelly
- Handscoon
- Persiapan bed side monitor yaitu tekanan darah, nadi, pulse
oxymetri.
b. Tehnik anestesi
d. Persiapan obat
2. Jenis Anestesi : GA
7. Obat-Obatan
e. Inhalasi : Isoflurane 1 %
b. Balance Cairan :
a) Input
b) Output
Perdarahan : 200cc
c) Insesible Water Loss (IWL)
15 cc x 60 kg = 900 cc/hari, maka per jam = 37,5 cc ; durasi
operasi 2 jam 30 menit → 93,75= 94 cc Urine : 200cc
d) Balans Cairan (BC)
Input : 2222cc
Output : 494cc+1680 = 2174 BC : +48
c. Pengganti Perdarahan
Perdarahan < 20% dari EBV maka dapat diberikan kristaloid : koloid
= 3 : 1.
F. PENATALAKSANAAN ANESTESI
1. Memantau
hemodinamik
99% Isoflurane
2. Pemberian loading
0,6 %
cairan koloid
O2: AIR gelafusal 500ml
3. Loading RL 500ml
4. Dobutamin dgn
11.05 60/40 204 12
syringe pump
5mg/jam
5. Maintenace
syringe pump
lidocain 2 % = 3,75
mg/jam
Memantau
100% Isoflurane
11.30 95/60 118 12 hemodinamik
1%
O2: Air
1. Memantau
hemodinamik
100% 02 : air
11.45 92/62 114 12 2. Memberikan
Muscorelaksan 10
mg tiap 30 menit
Isoflurane 3.Memberikan
1% Fentanyl 50 mcg
1. Memantau
hemodinamik
O2 : Air
11.00 90/62 115 12 2. Memberikan infus
99% Isoflurane RL 500 cc
1%
100 O2 : Air Memantau
hemodinamik
Isoflurane
11.15 92/60 114 12 1%
99 O2 : Air 1. Memantau
hemodinamik
Isoflurane
2. Memberikan
11.30 90/60 115 12 1%
Fentanyl 50 mcg
WIB
-perdarahan selama operasi ± 200 cc
- Pasien diberikan
RL 1700 ml
Gelafusal = 500ml
I. DIAGNOSIS DAN PERENCANAAN INTRA ANESTESI
kendali
A : Resiko disfungsi
respirasi teratasi sebagian P
: lanjutkan intervensi di
ruang ICU yaitu Monitor
hemodinamik dan cairan di
ruang ICU
(%) (x/menit)
14.35 110/60 114 99% Seting venti 1. Kesadaran :
12 x/mnt terintubasi
2. Oksigenasi 100%
dengan nafas kendali
6. Inspeksi kondisi
luka operasi
7. Ajarkan keluarga
tentang tanda-tanda
infeksi dan
melaporkannya
pada petugas
kesehatan
8. Ajarkan keluarga
tentang cara
untukmenghindari
infeksi
N. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI POST OPERASI
BAB IV
KESIMPULAN
1. Pre Anestesi
2. Intra Anestesi
a. Resiko Cedera berhubungan dengan Trauma Pembedahan
b. Resiko Disfungsi Respirasi berhubungan dengan Pemasangan alat bantu
nafas mekanik
c. Risiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b.d prosedur
pembedahan mayor (craniotomy)
3. Post Anestesi
DAFTAR PUSTAKA
1. Jennet B. The future role of neurosurgery in the care of head injury. Neurosurg
http://www.emedicine.com/med/topic2825,htm#section-outcome_and_prognosi
s. 2003
and management of severe close injury. Chapman & Hall Medical, London :
http://www.mercksource.com/pp/us/cns/cns_hl_adam.jspzQzpgzEzzSzppdocszs
zuszSzcnszSzadamzSzencyzSzindexzSzdiseidxszPzh. 2002.
6. Graham DI, Adams JH, Gennarelli TA. Pathology of brain damage in head
injury. In: Head injury. Second edition. William & Wilkins 1987; 72 - 88.
micromed/00066810.html. 2004
intelihealth.com
URL:http://wwww.intelihealth.com/IH/ihtlh/WSIHW000/9339/10820.html,
2004.
EMERG//topic560.htm. 2004
med/topic2885.htm. 2004
311-5.
15. Giannota SL, Weiner JM, Karnaze D. Prognosis & out come in severe head
injury. In : Head injury. Second edition. Williams & Wilkins 1987; 464 - 7.
16. Jennet B. Out come after severe head injury. In : Head injury. Pathophysiology
and management of severe close injury. Chapman & Hall Medical, London :
URL:http://www.healthcentral.com/mhc/top/000713.cfm. 2004.
18. Wong CW. Criteria for conservatif treatment of supratentorium acute subdura!
URL:http://www.nlm.com/med/topic2825,htm#section-outcome_and_prognosis
2003.
20. Simpson A. Clinical Examination and grading. In: Head injury. Chapman & Hall
22. Williams RH, Setti S, Rengachary. Cranial and spinal trauma. In: Neurosurgery.
URL:http://www.umanitoba.ca/faculties/medicine/units/emergency medicine/ar
chive/rounds/trauma_tr.../ts1d015.ht. 2003
25. Cooper PR. Post traumatic intracranial mass lession. In : Head injury. Second
finding and out come. Acta Neurochirurgica. Springer verlag 1996; 138 - 91.
27. Mendelow AD, Crawford PJ. Primary and secondary brain injury. In : Head
Apriawan T. Cedera Otak : Seri perdarahan Intra Kranial dan Manajemen Pembedahan.
Surabaya : Universitas Airlangga ; 2017.
Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf. V edition. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama ;2014.
Winn HR, Md. Youmans Neurosurgical Surgery, Volume 4. 6th Edition. Philadeplhia :
ElsevierSaunders ; 2011.