Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA

GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI PENDENGARAN

OLEH :
PANDE AYU MONICA SARI
( 2114901128)

FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
2021
LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN PERSEPSI SENSORI: HALUSINASI

I. Kasus (Masalah Utama)


Gangguan Sensori Perseptual : Halusinasi
II. Proses Terjadinya Masalah
a. Definisi
Halusinasi merupakan salah satu gangguan persepsi, dimana terjadi
pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan sensorik atau persepsi panca
indera yang salah Darmawan & Rusdi (2013).
Halusinasi adalah penerapan tanpa adanya suatu rangsangan (objek) yang jelas
dari luar diri klien terhadap panca indra pada saat klien dalam keadaan sadar atau
bangun (kesan/pengalaman sensori yang salah). (Azizah, 2016).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang
sebetulnya tidak ada ( Damaiyanti, 2008 ).
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca
indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu
persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu (Maramis,
2015).
Dari beberapa pengertian yang dikemukan oleh para ahli mengenai halusinasi
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa halusinasi adalah persepsi klien melalui
panca indera terhadap lingkungan tanpa ada stimulus atau rangsangan yang nyata.
b. Etiologi
Faktor-faktor penyebab halusinasi dibagi dua (Yosep, 2010) yaitu :
1. Faktor predisposisi
a. Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol
dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak
kecil, mudah frustasi, hilangnya kepercayaan diri dan lebih rentan terhadap
stress.
b. Faktor sosiokultural
Seseorang yang tidak diterima oleh lingkungannya sejak bayi akan
merasa disingkirkan, kesepian dan tidak percaya pada lingkungannya.
c. Faktor biokimia
Stress yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti
Buffofenon dan Dimetytranferse (DMP). Akibat stress berkepanjangan
menyebabkan terakitvasinya neurotrasmitter otak. Misalnya tejadi
ketidakseimbangan acetylcholin dan dopamin.
d. Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus
pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi
masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam
nyata menuju alam hayal.
e. Faktor genetik dan pola asuh
Anak sehat yang di asuh oleh orang tua yang mengalami gangguan jiwa
cenderung mangalami gangguan jiwa dan faktor keluarga menunjukan
hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
2. Faktor presipitasi

a) Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan
yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium,
intoksikasi alkohol dan kesulitan dalam waktu lama.
b) Dimensi emosionaL
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi terjadi. Isi dari halusinai dapat
berupa perintah memaksa dan menakutkan.
c) Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan
halusinasi akan memperlihatkan penurunan fungsi ego seseorang yang
pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego itu sendiri untuk
melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang
menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien
dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien
d) Dimensi social
Dalam dimensi sosial ini klien mengalami gangguan interaksi sosial dan
menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat
membahayakan.
e) Dimensi spiritual
Secara spiritual klien dengan halusinasi dimulai dengan kehampaan hidup,
rutinitas tidak bermakna, hilangnya keinginan untuk beribadah dan jarang
berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri. Klien sering memaki
takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan
lingkungan dan orang lain yang menyebabkan memburuk.
f) Rentang respon halusinasi

Respon Maladaptive :
1. Waham
2. Sulit berespon emosi
3. Prilaku disorganisasi
4. Isolasi sosial
5. Halusinasi

c. Jenis dan Tanda Gejala Halusinasi


Tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil observasi terhadap pasien serta ungkapan pasien.
Adapun tanda dan gejala pasien halusinasi adalah sebagai berikut:
Halusinasi 1. Bicara atau tertawa 1. Mendengar suara-
Pendengaran sendiri suara atau
2. Marah-marah tanpa kegaduhan.
sebab 2. Mendengar suara
3. Menyedengkan yang mengajak
telinga ke arah bercakap-cakap
tertentu 3. Mendengar suara
4. Menutup telinga menyuruh melakukan
sesuatu yang
berbahaya

Halusinasi 1. Menunjuk-nunjuk ke 1. Melihat bayangan,


Penglihatan arah tertentu sinar, bentuk
2. Ketakutan pada geometris, bentuk
sesuatu yang tidak kartoon, melihat
jelas. hantu atau monster.
Halusinasi Penghidu 1. Mengisap-isap seperti 1. Membaui bau
sedang membaui bau- bauan seperti bau
bauan tertentu. darah, urin, feses,
2. Menutup hidung. kadang-kadang bau
itu menyenangkan.
Halusinasi 1. Sering meludah 1. Merasakan rasa
Pengecapan 2. Muntah seperti darah,urin
atau feses
Halusinasi Perabaan 1. Menggaruk-garuk 1. Mengatakan ada
permukaan kulit serangga
dipermukaan kulit
2. Merasa seperti
tersengat listrik

d. Patofisiologi
Halusinasi pendengaran paling sering terdapat pada klien Skizoprenia. Halusinasi terjadi
pada klien skizoprenia dan gangguan manik. Halusinasi dapat timbul pada skizofrenia dan
pada psikosa fungsional yang lain, pada sindroma otak organik, epilepsi (sebagai aura),
nerosa histerik, intoksikasi atropin atau kecubung, zat halusinogenik dan pada deprivasi
sensorik. klien yang mendengar suara – suara misalnya suara tuhan, iblis atau yang lain.
Halusinasi yang dialami berupa dua suara atau lebih yang mengomentari tingkah laku atau
pikiran klien. Suara– suara yang terdengar dapat berupa perintah untuk bunuh diri atau
membunuh orang lain.

e. Fase Halusinasi
Fase halusinasi ada 4 yaitu (Herman, 2016):
1) Comforting
Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas sedang, kesepian, rasa bersalah
dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk
meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai,
menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik.
2) Condemning
Pada ansietas berat pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai
lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber
yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat
ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan dan tekanan
darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk
membedakan halusinasi dengan realita.
3) Controling
Pada ansietas berat, klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan
menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang lain,
berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam
kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan orang lain.
4) Consquering
Terjadi pada panik Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti
perintah halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak
mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih
dari 1 orang. Kondisi klien sangat membahayakan.
f. Manifestasi Klinis
Pasien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering didapatkan duduk terpaku
dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau berbicara sendiri, secara
tiba-tiba marah atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan gerakan seperti sedang
menikmati sesuatu. Juga keterangan dari pasien sendiri tentang halusinasi yang dialaminya
(apa yang dilihat, didengar atau dirasakan). Berikut ini merupakan gejala klinis berdasarkan
halusinasi (Budi Anna Keliat, 2012) :
Tahap 1: halusinasi bersifat tidak menyenangkan
Gejala klinis:
1)      Menyeriangai/tertawa tidak sesuai
2)      Menggerakkan bibir tanpa bicara
3)      Gerakan mata cepat
4)      Bicara lambat
5)      Diam dan pikiran dipenuhi sesuatu yang mengasikkan
Tahap 2: halusinasi bersifat menjijikkan
Gejala klinis:
1)      Cemas
2)      Konsentrasi menurun
3)      Ketidakmampuan membedakan nyata dan tidak nyata
Tahap 3: halusinasi bersifat mengendalikan
Gejala klinis:
1)      Cenderung mengikuti halusinasi
2)      Kesulitan berhubungan dengan orang lain
3)      Perhatian atau konsentrasi menurun dan cepat berubah
4)     Kecemasan berat (berkeringat, gemetar, tidak bisa mengikuti petunjuk).
Tahap 4: halusinasi bersifat menaklukkan
Gejala klinis:
1)      Pasien mengikuti halusinasi
2)      Tidak mampu mengendalikan diri
3)      Tidak mamapu mengikuti perintah nyata
4)      Beresiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
g. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :
a) Menciptakan lingkungan yang terapeutik
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien akibat
halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara individual dan
usahakan agar terjadi knntak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di pegang. Pasien
jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau
mendekati pasien, bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila akan meninggalkannya
hendaknya pasien di beritahu. Pasien di beritahu tindakan yang akan di lakukan. Di
ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan
mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar
atau hiasan dinding, majalah dan permainan
b) Melaksanakan program terapi dokter
Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan rangsangan
halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi instruktif.
Perawat harus mengamati agar obat yang di berikan betul di telannya, serta reaksi obat
yang di berikan.
c) Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang ada
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah
pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi
masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga
pasien atau orang lain yang dekat dengan pasien.
d) Memberi aktivitas pada pasien
Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah
raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan
pasien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak
menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.
e) Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien agar ada
kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalny dari
percakapan dengan pasien di ketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar laki-
laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak
terdengar jelas. Perawat menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan
menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya
di beritahukan pada keluarga pasien dan petugaslain agar tidak membiarkan pasien
sendirian dan saran yang di berikan tidak bertentangan.

III. a. Pohon Masalah


Resiko Perilaku Kekerasan
Effect

Core Problem
Pendengaran

Causa
Isolasi sosial : Menarik diri

b. Data Yang Perlu Dikaji


a) Resiko Perilaku Kekerasan
1) Data Subjektif
a. Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
b. Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika
sedang kesal atau marah.
c. Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
2) Data Objektif

a. Mata merah, wajah agak merah.


b. Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak, menjerit,
memukul diri sendiri/orang lain.
c. Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
d. Merusak dan melempar barang-barang.

b) Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran


1) Data Subjektif
a. Mendengar suara suara atau kegaduhan
b. Mendengar suara yang mengajak bercakap – cakap
c. Mendengar suara yang menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya

2) Data Objektif
a. Bicara atau tertawa sendiri
b. Marah – marah tanpa sebab
c. Menyedengkan telinga kearah tertentu
d. Menutup telinga
c) Isolasi Sosial: Menarik Diri
1) Data Subjektif
Pasien mengatakan malas bergaul dengan orang lain, tidak mau berbicara
dengan orang lain, tidak ingin ditemani siapapun.
2) Data Objektif
Pasien kurang spontan, apatis, ekspresi wajah kurang berseri, tidak atau
kurang dalam komunikasi verbal, mengisolasi diri, kurang sadar terhadap
lingkungan sekitarnya, aktivitas menurun.

IV. Diagnosa Keperawatan


a. Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran
b. Resiko Perilaku Kekerasan
c. Isolasi Sosial: Menarik Diri

V. Rencana Tindakan Keperawatan


Diagnosa : Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran
Tujuan Umum:
Tujuan Kusus :
1. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi
terapeutik :
a. Sapa klien dengan ramah baik verval maupun non verbal
b. Perkenalkan diri dengan sopan
c. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
d. Jelaskan tujuan pertemuan
e. Jujur dan menepati janji
f. Tunjukan sikap empati dan menerima klien apa adanya
g. Berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar klien
2. Klien dapat mengenal halusinasinya
a. Ada kontak sering dan singkat secara bertahap
b. Observasi tingkah laku klien yang terkait dengan halusinasinya: berbicara dan
tertawa tanpa stimulus dan memandang ke kiri/kanan/ke depan seolah-olah
ada teman bicara.
c. Bantu klien mengenal halusinasinya
1) Jika menemukan klien sedang berhalusinasi: tanyakan apakah ada suara
yang didengarnya
2) Jiwa pasien menjawab ada tanyakan apa yang dikatakan suara itu
3) Katakan bahwa klien percaya bahwa klien mendengar suara itu, namun
perawat sendiri tidak mendengarnya ( katakan dengan nada bersahabat
tanpa menuduh/menghakimi)
d. Diskusikan dengan klien situasi yang menimbulkan atau tidak menimbulkan
halusinasi (jika sendiri, jengkel atau sedih), waktu dan frekuensi terjadinya
halusinasi (pagi, siang, sore dan malam terus menerus atau sewaktu-waktu)
e. Diskusikan dengan klien tentang apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi
(marah, takut sedih atau senang) beri kesempatan klien untuk
mengungkapkannya
3. Klien dapat mengontrol halusinasinya
a. Identifikasi bersama klien tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi
(tidur, marah, menyibukan diri, dll)
b. Diskusikan dengan klien manfaat dan cara yang digunakan klien jika
bermanfaat beri pujian kepada klien
c. Diskusikan dengan klien cara baru mengontrol halusinasinya
1) Menghardik/ mengusir / tidak mempedulikan halusinasinya muncul
2) Bercakap-cakap dengan orang lain jika halusinasinya muncul
3) Melakukan kegiatan sehari-hari
d. Bantu klien memilih dan melatih cara memutuskan halusinasinya secara
bertahap
4. Klien mendapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasinya
a. Anjurkan klien untuk memberi tahu keluarga jika mengalami halusinasi
b. Diskusikan dengan keluarga (pada saat berkunjung/ saat kunjungan rumah):
1) Gejala halusinasi yang dialami klien
2) Cara yang dapat dilakukan klien dan kluarga untuk memutuskan
halusinasi
3) Cara merawat anggota keluarga untuk memutuskan halusinasi
5. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik
a. Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang dosis, frekuensi dan manfaat
obat
b. Anjurkan klien untuk meminta sendiri obat pada perawat dan merasakan
manfaatnya
c. Anjurkan klien untuk berbicara dengan dokter tentang manfaat dan efek
samping obat yang dirasakan
d. Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi
e. Bantu klien menggunakan obat dengan prinsip benar

VI. Diagnosa Medis


a. Pengertian
Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu “ Skizo “ yang artinya retak atau pecah
(split), dan “ frenia “ yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita
skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan
kepribadian ( Nita Fitria, 2009).
Schizofrenia merupakan gangguan  psikotik yang merusak yang dapat melibatkan
gangguan yang khas dalam berpikir (delusi), persepsi (halusinasi), pembicaraan,
emosi dan perilaku. Keyakinan irasional tentang dirinya atau isi pikiran yang
menunjukkan kecurigaan tanpa sebab yang jelas, seperti bahwa orang lain bermaksud
buruk atau bermaksud mencelakainya (Carolina, 2009).
b. Etiologi

Teori tentang penyebab skizofrenia, yaitu (Carolina, 2009):

1) Diathesis-stres model
Teori ini menggabungkan antara faktor biologis, psikososial, dan lingkungan
yang secara khusus mempengaruhi diri seseorang sehingga dapat
menyebabkan berkembangnya gejala skizofrenia. Dimana ketiga faktor
tersebut saling berpengaruh secara dinamis.
2) Faktor biologis
Dari faktor biologis dikenal suatu hipotesis dopamin yang menyatakan bahwa
skizofrenia disebabkan oleh aktivitas dopaminergik yang berlebihan di bagian
kortikal otak dan berkaitan dengan gejala positif dari skizofrenia. Penelitian
terbaru juga menunjukkan pentingnya neurotransmitter lain termasuk
serotonin, norepinefrin, glutamate, dan GABA. Selain perubahan yang
sifatnya neurokimiawi, penelitian menggunakan CT scan ternyata ditemukan
perubahan anatomi otak seperti pelebaran lateral ventrikel, atrofi korteks atau
atrofi otak kecil (cerebellum) terutama pada penderita skizofrenia kronis.
3) Genetika
Faktor genetika telah dibuktikan secara meyakinkan. Resiko masyarakat
umum 1%, pada orang tua resiko 5%, pada saudara kandung 8%, dan pada
anak 12% apabila salah satu orang tua menderita skizofrenia, walaupun anak
telah dipisahkan dari orang tua sejak lahir, anak dari kedua orang tua
skizofrenia 40%. Pada kembar monozigot 47%, sedangkan untuk kembar
dizigot sebesar 12% .
4) Faktor psikososial
5) Teori perkembangan
Ahli teori Sullivan dan Erikson mengemukakan bahwa kurangnya perhatian
yang hangat dan penuh kasih saying di tahun-tahun awal kehidupan berperan
dalam menyebabkan kurangnya identitas diri, salah interpretasi terhadap
realitas dan menarik diri dari hubungan social pada penderita skizofrenia.
6) Teori belajar
Menurut ahli teori belajar (learning theory), anak-anak yang menderita
skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berpikir irasional orang tua yang
mungkin memiliki masalah emosional yang bermakna. Hubungan
interpersonal yang buruk dari penderita skizofrenia akan berkembang karena
mempelajari model yang buruk selama anak-anak.
7) Teori keluarga
Tidak ada teori yang terkait dengan peran keluarga dalam menimbulkan
skizofrenia. Namun beberapa penderita skizofrenia berasal dari keluarga yang
disfungsional.

c. Klasifikasi

Secara umum skizofrenia dibagi dalam 5 tipe atau kelompok yang mempunyai
spesifikasi masing-masing, kriteria pengelompokannya sebagai berikut
(Damayanti, 2012) :

1) Tipe Hebefrenik
2) Tipe ini disebut juga disorganized type atau kacau balau yang dimulai dengan
gejala-gejala antara lain :
a) Inkoherensi yaitu jalan pikiran yang kacau, tidak dapat dimengerti apa
maksudnya. Hal ini dapat dilihat dari kata-kata yang diucapkan tidak ada
hubungannya satu dengan yang lain.
b) Alam perasaan (mood, effect) yang datar tanpa ekspresi serta tidak serasi
(incongrose) atau ketolol-tololan (silly).
c) Perilaku dan tertawa kekanak-kanakan (giggling), senyum yang
menunjukan rasa puas diri atau senyum yang hanya dihayati sendiri.
d) Waham ( delusion ) tidak jelas dan tidak sistimatik (terpecah) tidak
terorganisir suatu satu kesatuan.
e) Halusinasi yang terpecah-pecah yang isi temanya tidak terorganisir sebagai
satu kesatuan.
f) Perilaku aneh, misalnya menyeringai sendiri, menunjukkan gerakan-
gerakan aneh, berkelakar, pengucapan kalimat yang diulang-ulang dan
kecenderungan untuk menarik diri secara ekstrim dari hubungan sosial .

3) Tipe Katatonik

a) Stupor katatonik, yaitu suatu pengurangan hebat dalam reaktivitas


terhadap lingkungan dan atau pengurangan dari pergerakkan atau
aktivitas spontan sehingga nampak seperti patung, atau diam membisu
(mute).
b) Ekolalia atau ekopraksia (pembicaraan yang tidak bermakna).
c) Negativisme katatonik yaitu suatu penolakkan yang nampaknya tanpa
motif terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan bagian
tubuh dirinya.
d) Kekakuan (rigidity) katatonik yaitu mempertahankan suatu sikap kaku
terhadap semua upaya untuk menggerakkan bagian tubuh dirinya.
e) Kegaduhan katatonik, yaitu kegaduhan aktivitas motorik (otot alat
gerak) yang nampaknya tak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh
rangsang luar.
f) Sikap tubuh katatonik yaitu sikap ( posisi tubuh ) yang tidak wajar atau
aneh.

4) Tipe paranoid

a) Waham (delucion) kejar atau waham kebesaran, misi atau utusan sebagai
penyelamat bangsa dunia atau agama, misi kenabian atau mesias, atau
perubahan tubuh. Waham cemburu seringkali juga ditemukan.
b) Halusinasi yang berisi kejaran atau kebeseran.
c) Gangguan alam perasaan dan perilaku, misalnya kecemasan yang tidak
menentu, kemarahan, suka bertengkar dan berdebat kekerasan. Seringkali
ditemukan kebingungan tentang identitas jenis kelamin dirinya (gender
identity) atau ketakutan bahwa dirinya diduga sebagai seorang
homoseksual atau merasa dirinya didekati oleh orang-orang
homoseksual.

5) Tipe Residual
Tipe ini merupakan sisa-sisa (residu) dari gejala skizofrenia yang tidak begitu
menonjol. Misalnya alam perasaan yang tumpul dan mendatar serta tidak
serasi (innappropriate), penarikan diri dari pergaulan sosial, tingkah laku
eksentrik, pikiran tidak logis dan tidak rasional atau pelonggaran asosiasi
pikiran.
6) Tipe tak tergolongkan
Tipe ini tidak dapat dimasukkan dalam tipe-tipe yang telah diuraikan hanya
ganbaran klinisnya terdapat waham, halusinasi, inkoherensi atau tingkah laku
kacau.
d. PenatalaksanaanMedis

Obat antipsikotik digunakan untuk mengatasi gejala psikotik (misalnya perubahan


perilaku, agitasi, agresif, sulit tidur, halusinasi, waham, proses piker kacau). Obat-
obatan untuk pasien skizophrenia yang umum diunakan adalah sebaga berikut :

1) Pengobatan pada fase akut


Dalam keadaan akut yang disertai agitasi dan hiperaktif diberikan injeksi :
a) Haloperidol 3x5 mg (tiap 8 jam) intra muscular.
b) Clorpromazin 25-50 mg diberikan intra muscular setiap 6-8 jam sampai
keadaan akut teratasi.
c) Kombinsi haloperidol 5 mg intra muscular kemudian diazepam 10 mg
intra muscular dengan interval waktu 1-2 menit.
Dalam keadaan agitasi dan hiperaktif diberikan tablet :
d) Haloperidol 2x1,5 – 2,5 mg per hari.
e) Klorpromazin 2x100 mg per hari
f) Triheksifenidil 2x2 mg per hari
2) Pengobaan fase kronis
Diberikan dalam bentuk tablet :
a) Haloperidol 2x  0,5 – 1 mg perhari
b) Klorpromazin 1 x 50 mg sehari (malam)
c) Triheksifenidil 1- 2x 2 mg sehari
3) Efek dan efek samping terapi
a) Klorpromazine
Efek : mengurangi hiperaktif, agresif, agitasi
Efek samping : mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, sedasi,
hipotensi ortostatik.
b) Haloperidol
Efek : mengurangi halusinasi
Efek samping : mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, sedasi,
hipotensi ortostatik.
DAFTAR PUSTAKA

Darmawan & Rusdi (2013).Konsep Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Fitria.(2009). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Strategi Pelaksanaan Tindakan
Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Selemba Medika.
Keliat, C. (2012). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Yogyakarta: EGC
Mukhripah D&Iskandar.(2012). Asuhan Keperawatan Jiwa.Badung: PT Refika Aditama.
Riyadi, & Purwanto, (2009).Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Stuart & Laraia (2010).Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Yosep.(2010). Keperawatan Kesehatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai