Anda di halaman 1dari 353

101.

Filariasis
• Penyakit yang disebabkan cacing Filariidae, dibagi menjadi 3
berdasarkan habitat cacing dewasa di hospes:
– Kutaneus: Loa loa, Onchocerca volvulus, Mansonella streptocerca
– Limfatik: Wuchereria bancroftii, Brugia malayi, Brugia timori
– Kavitas tubuh: Mansonella perstans, Mansonella ozzardi

• Fase gejala filariasis limfatik:


– Mikrofilaremia asimtomatik
– Adenolimfangitis akut: limfadenopati yang nyeri, limfangitis retrograde,
demam, tropical pulmonary eosinophilia (batuk, mengi, anoreksia,
malaise, sesak)
– Limfedema ireversibel kronik

• Grading limfedema (WHO, 1992):


– Grade 1 - Pitting edema reversible with limb elevation
– Grade 2 - Nonpitting edema irreversible with limb elevation
– Grade 3 - Severe swelling with sclerosis and skin changes

Wayangankar S. Filariasis. http://emedicine.medscape.com/article/217776-overview


WHO. World Health Organization global programme to eliminate lymphatic filariasis. WHO Press; 2010.
• Panjang: lebar kepala
sama
WUCHERERIA
• Inti teratur
BANCROFTII
• Tidak terdapat inti di
ekor

• Perbandingan
BRUGIA panjang:lebar kepala
M A L AY I 2:1
• Inti tidak teratur
• Inti di ekor 2-5 buah

• Perbandingan
panjang:lebar kepala
BRUGIA 3:1
TIMORI • Inti tidak teratur
• Inti di ekor 5-8 buah
Distribusi Cacing Filaria di Indonesia

Subdit Fiariasis dan Kecacingan, Direktorat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik
Filariasis: Pemeriksaan dan Terapi
• Pemeriksaan penunjang:
– Deteksi mikrofilaria di darah
– Deteksi mikrofilaria di kiluria dan cairan hidrokel
– Antibodi filaria, eosinofilia
– Biopsi KGB

• Pengobatan:
– Tirah baring, elevasi tungkai, kompres
– Antihelmintik (ivermectin, DEC, albendazole)
– DEC: 6 mg/kgBB/hari selama 12 hari
– Ivermectin hanya membunuh mikrofilaria: 150 ug/kgBB SD/6 bln, atau /tahun
bila dikombinasi dengan DEC SD
– DEC + Albendazol 400 mg/tahun selama 5 tahun
– Suportif
– Pengobatan massal dengan albendazole + ivermectin (untuk endemik
Onchocerca volvulus) atau albendazole + DEC (untuk nonendemik
Onchocerca volvulus) guna mencegah transmisi
– Bedah (untuk kasus hidrokel/elefantiasis skrotal)
– Diet rendah lemak dalam kasus kiluria

Parasitologi Kedokteran, FKUI


102. Skabies
• Penyakit kulit akibat infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei var.
hominis
• Termasuk dalam infeksi menular seksual
• Transmisi: langsung (skin to skin) dan tidak langsung
• Kriteria diagnosis:
➢ Menemukan 2 dari 4 tanda di bawah ini
1. Pruritus nokturnal (gatal terutama di malam hari)
2. Menyerang sekelompok orang
3. Ditemukan kanalikulus berwarna putih/keabuan, lurus/berkelok,
panjang 1 cm, di ujung terowongan ada papul/vesikel. Predileksi: sela
jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku luar, lipat ketiak
depan, areola mammae, umbilikus, bokong, genitalia eksterna, perut
bawah
4. Ditemukan tungau pada kerokan kulit
• Terdapat 2 tipe, yaitu Classic Scabies dan Crusted (Norwegian) Scabies

CDC Treatment Guideline for Scabies 2017


Temuan klinis

• Kanalikuli

• Sarcoptes scabiei
Modalitas pemeriksaan
• Menemukan terowongan (kedua teknik sama
sensitifnya)
1. Burrow Ink Test
- Cara kerja: tinta dioleskan pada kulit dan tinta ini akan
melakukan penetrasi ke stratum korneumdibersihkan
dengan alkoholtinta mewarnai terowongan.
- Metode ini sangat efektif terutama juga pada anak-anak dan
penderita dengan jumlah terowongan yang kecil dan sedikit
2. Tetracycline:
- Cara kerja:Tetrasiklin topikal dioleskan di kulit kemudian
dibersihkan dengan alkohollampu wood: terowongan akan
berwarna kehijauan
- Metode ini lebih disukai karena colorless dan bisa
mendeteksi area kulit yang luas
Modalitas pemeriksaan
(lebih advanced dan butuh tenaga terlatih)

• Skin scraping
- Cara kerja: kulit yang ada terowongan dikerok dengan
scalpeldiperiksa di mikroskopditemukan 1-2 telur atau
tungau
- Hasil sering false negative
• Adhesive tape test
- Cara kerja: beberapa tape ditaruh di kanalikuli kemudian
dilepaskan tiba-tiba dan diperiksa di bawah mikroskop
- Yang dicari sama seperti skin scraping, namun sensitivitas tes ini
lebih bagus dari skin scraping
• Dermatoscopy
- Lebih akurat dibandingkan pemeriksaan adhesive tape test, yaitu
sensitivitasnya 83%
- Butuh tenaga terlatih
Prinsip Tatalaksana
• Classic Scabies
- DOC: Permethrine cream 5% (anak usia<2 bulan tidak boleh)
- Crotamiton lotion/cream 10% (tidak aman untuk anak)
- Sulfur (5-10%) salep aman untuk anak usia <2 bulan
- Lindan lotion 1% pilihan terakhir karena efek sampingnya yang banyak
- Ivermectin 200 µg/kgBB/pemberian, diberikan 2 kali dengan jarak antar
pemberian 1 minggu Jika gagal dengan topikal
• Crusted scabies
- Ivermectin 200 µg/kgBB/pemberian, pembagian dosis berdasarkan
derajat keparahan dan perlu dikombinasi dengan topikal
- Permethrin cream 5%
- Benzyl benzoate 25%
- Keratolitic cream terapi adjuvan
CDC Treatment Guideline for Scabies 2017
Antiskabies

Drugs Possible adverse Effect Efektif


Benzyl benzoat 25% Irritation, anasthesia & hypoesthesia, ocular All stadium
irritation, rash, pregnancy category B
Permethrine 5% Mild &transient burning & stinging, pruritus, All stadium
pregnancy category B, not recomended for
children under 2 months
Gameksan 1% Toksis to SSP for pregnancy and children All stadium
under 6 years old, pregnancy category C
Krotamiton 10% Allergic contact dermatitis/primary irritation, All stadium
pregnancy category C
Sulfur precipitate Erythema, desquamation, irritation, Not efective for
6% pregnancy category C egg state
103. Varicella (Chicken Pox)
• Infeksi akut oleh virus varicella zoster yang menyerang
kulit dan mukosa
• Transmisi secara aerogen

• Gejala
– Masa inkubasi 14-21 hari
– Gejala prodromal: demam subfebris, malaise, nyeri kepala
– Disusul erupsi berupa papul eritematosa  vesikel tetesan
air (tear drops)  pustul  krusta
– Predileksi: badan  menyebar secara sentrifugal

• Pemeriksaan
– Percobaan Tzanck Test  sel Datia Berinti Banyak
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Varicella (Chicken Pox): Terapi
• Pengobatan
– Simptomatik (antipiretik, analgesik, antipruritus)

– Bedak Salicil 2 % (anti pruritus)

– Salep Salicil 2% bila terdapat ulserasi

– Bila Erupsi < 24 jam  antiviral


• Acyclovir: 5 x 800 mg selama 5 hari
• Valacyclovir
– Dosis anak: 2-18 tahun  20 mg/kgBB PO, 3x/hari, 5 hari. Max: 1 g PO,
3x/hari
– Selama 5 hari
Tzank Test

• Fungsinya untuk menentukan


adanya virus herpes. Dari tes ini
akan banyak ditemukan sel-sel epitel
raksasa berinti banyak atau sel
Tzanck.
• Sel Tzanck biasa ditemukan di herpes
simpleks, varicella dan herpes zoster,
Pemphigus vulgaris, dan
Cytomegalovirus.
• Terkadang tes ini disebut Chikenpox
skin test atau herpes skin test karena
sering digunakan pada virus-virus
tersebut.
I L M U P E N YA K I T
DA L A M
104. Atrial flutter
• Atrial flutter  depolarisasi atrium yang reguler
tetapi cepat dengan kecepatan 200-300
denyut/menit.
• Ventrikel tidak dapat mengimbangi kecepatan
secepat ini. Karena periode refrakter jaringan
penghantar lebih lama daripada atrium, maka
nodus AV “menyerah” tidak mampu mengikuti
respons atrium.
• Mungkin hanya satu dari dua atau tiga impuls
yang masuk ke ventrikel melalui nodus AV (2:1
atau 3:1)
EKG atrial flutter
Terapi atrial flutter
Pengobatan yang paling efektif adalah kardioversi dengan low
energy (25-50 Joule).
Bila frekuensi ventrikel sampai meningkat, dapat diturunkan
dengan CCB, beta blocker, atau digitalis yang memblokade
nodus AV. Setelah itu, dapat diberikan anti-aritmia golongan IA
atau IC, atau amiodaron untuk mengubah menjadi irama sinus
normal.
Pencegahan jangan sampai kembali ke fluter atrial
menggunakan anti-aritmia golongan IA, IC, atau golongan III.
Ablasi dengan radiofrekuensi biasanya dilakukan di lokasi
sekitar katup trikuspid. Keberhasilannya mencapai 85%.
105. Anemia Hemolitik
105. Autoimmune Hemolytic Anemia
(AIHA)
• Result from RBC destruction due to RBC
autoantibodies: Ig G, M, E, A
• Most commonly-idiopathic
• Classification
– Warm AI hemolysis:Ab binds at 37degree Celsius
– Cold AI Hemolysis: Ab binds at 4 degree Celsius
1.Warm AI Hemolysis:
– Can occurs at all age groups
–F>M
– Causes:
• 50% Idiopathic
• Rest - secondary causes:
1.Lymphoid neoplasm: CLL, Lymphoma,
Myeloma
2.Solid Tumors: Lung, Colon, Kidney, Ovary,
Thymoma
3.CTD: SLE,RA
4.Drugs: Alpha methyl DOPA, Penicillin , Quinine,
Chloroquine
5.Misc: UC, HIV
• Inv:
– MCV
– P Smear: Microspherocytosis, n-RBC
– Confirmation: Coomb’s Test / Antiglobulin test

• Treatment
– Correct the underlying cause
– Prednisolone 1mg/kg po until Hb reaches 10mg/dl
then taper slowly and stop
– Transfusion: for life threatening problems
– If no response to steroids  Spleenectomy or,
– Immunosuppressive: Azathioprine,
Cyclophosphamide
2. Cold AI Hemolysis
– Usually Ig M
– Acute or Chronic form
– Chronic:
• C/F:
–Elderly patients
–Cold , painful & often blue fingers, toes, ears,
or nose ( Acrocyanosis)
• Inv:
– hemolysis
– P Smear: Microspherocytosis
– Ig M with specificity to I or I Ag
• Other causes of Cold Agglutination:
– Infection: Mycoplasma pneumonia, Infec
Mononucleosis
– Rare cause seen in children in association with
congenital syphilis

• Treatment:
– Treatment of the underlying cause
– Keep extremities warm
– Steroids treatment
– Blood transfusion
106. ACLS

ACLS 2015
• Kompresi 100-120
kali
• Kedalaman
minimal 5 cm
maksimal 6 cm
107.Sindrom Koroner Akut

Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
107. Sindrom Koroner Akut
• Gejala khas
– Rasa tertekan/berat di bawah dada, menjalar ke lengan
kiri/leher/rahang/bahu/ulu hati.
– Dapat disertai berkeringat, mual/muntah, nyeri perut, sesak napas, & pingsan.

• Gejala tidak khas:


– Nyeri dirasakan di daerah penjalaran (lengan kiri/leher/rahang/bahu/ulu hati).
– Gejala lain berupa rasa gangguan pencernaan, sesak napas atau rasa lemah
yang sulit dijabarkan.
– Terjadi pada pasien usia 25-40 tahun / >75thn / wanita / diabetes / penyakit
ginjal kronik/demensia.

• Angina stabil:
– Umumnya dicetuskan aktivtas fisik atau emosi (stres, marah, takut),
berlangsung 2-5 menit,
– Angina karena aktivitas fisik reda dalam 1-5 menit dengan beristirahat &
nitrogliserin sublingual.

Penatalaksanaan STEMI, PERKI


Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
107. Sindrom Koroner Akut
108. Rheumatoid Arthritis
Rheumatoid arthritis (RA)
• Penyakit inflamasi kronik dengan penyebab yang belum diketahui, ditandai
oleh poliartritis perifer yang simetrik.
• Merupakan penyakit sistemk dengan gejala ekstra-artikular.
108. Rheumatoid Arthritis

Current diagnosis & treatment in rheumatology. 2nd ed. McGraw-Hill; 2007.


Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.
108. Rheumatoid Arthritis
• Skor 6/lebih: definite RA.
• Faktor reumatoid: autoantibodi terhadap IgG
Rheumatoid Arthritis
Boutonnoere deformity caused by Swan neck deformity caused by
flexion of the PIP joint with Hyperextension of the PIP joint with
hyperextension of the DIP joint. flexion of the DIP joint .

Ulnar deviation of the fingers with wasting of the


small muscles of the hands and synovial swelling at
Rheumatoid nodules &
the wrists, the extensor tendon sheaths, MCP & PIP.
olecranon bursitis.
108. Rheumatoid Arthritis
• Pilar Pengelolaan Artritis Reumatoid
– Edukasi
– Program/Latihan Rehabilitasi
– Pilihan Pengobatan
• DMARD
• Agen Biologik
• Kortikosteroid
• Obat Anti Inflamasi Non Steroid
– Pembedahan

Konsensus Artritis Reumatoid IRA 2014


OAINS
• Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) dapat
diberikan pada pasien AR dengan dosis efektif
serendah mungkin dalam waktu sesingkat
mungkin.
• OAINS tidak mempengaruhi perjalanan
penyakit ataupun mencegah kerusakan sendi.
• Kombinasi 2 atau lebih OAINS harus dihindari
karena tidak menambah efektivitas tetapi
meningkatkan efek samping

Konsensus Artritis Reumatoid IRA 2014


OAINS
NSAID
109. Cor Pulmonale
• Cor pulmonale adalah kelainan jantung kanan berupa
hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan sekunder karena
hipertensi pulmonal sebagai akibat penyakit parenkim atau
vaskuler paru dan tidak berhubungan dengan kelainan
jantung kiri primer atau kelainan jantung bawaan.
• Etiologi tersering adalah penyakit obstruktif paru kronis,
hipoventilasi kronis, dan kelainan pembuluh darah paru.
• Manifestasi klinis yang paling sering ada;ah sesak napas,
sianosis, bendungan vena leher, barrel chest, dan kelainan
pemeriksaan fisis sesuai dengan kelainan paru dan jantung.
• Pemeriksaan EKG didapatkan RAD/RVH, artimia
supraventrikular/ventrikular.
• Dapat didapatkan polisitemia
109. Cor Pulmonale
• Tatalaksana ditujukan dengan tatalaksana
penyakit paru, hipertensi pulmonal, dan
tatalaksana terhadap jantung.
• Tatalaksana penyakit paru dilakukan dengan
mengobati keadaan dasar
• Perawatan kardiologis dilakukan dengan tirah
baring, diet rendah garam, diuretika, digitalis,
dan vasodilator (inhibitor fosfodiesterase)
110. HIV Diagnostic testing Strategies

• Objective of HIV testing


– Blood and blood product safety
– Screening of sperm, organ, and tissue donnor
– Diagnosis of HIV infection in cilincally suspected cases
– Voluntarily testing after counseling
– Epidemiological surveillance
– Research
• Parameter considered before testing:
– Sensitivity  high sensitivity test to detect all positive sample as
positive, may show false positive
– Specififity  high specificity test preffered for diagnosis of HIV
infection
– Cost effectiveness
– Prevalence of HIV in population

National Guideline HIV testing India, 2015


• recommend where prevalence are
less than or equal to 10%.
• generally recommended when
diagnosis of HIV-related disease
requires HIV testing

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8131248
• to identify asymptomatic HIV-infected individuals where
HIV prevalence in the study population are less than or
equal to 10%
• but strategy 2 will suffice where prevalence are greater
than 10%

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8131248
http://www.searo.who.int/indonesia/topics/hivaids/en/
111. Multiple Myeloma

• Definition:
B-cell malignancy characterised
by abnormal proliferation of
plasma cells able to produce a
monoclonal immunoglobulin
(M protein )

• Incidence:
3 - 9 cases per 100000
population / year
more frequent in elderly
modest male
predominance
111. Multiple Myeloma

• Clinical forms:
multiple myeloma
solitary plasmacytoma
plasma cell leukemia

• M protein:
- is seen in 99% of cases in serum and/or urine
IgG > 50%, IgA 20-25%, IgE i IgD 1-3%
light chain 20%
- 1% of cases are nonsecretory
111. Multiple Myeloma

Clinical manifestations are related to malignant


behavior of plasma cells and abnormalities produced
by M protein

• plasma cell proliferation:


multiple osteolytic bone lesions
hypercalcemia
bone marrow suppression ( pancytopenia )

• monoclonal M protein
decreased level of normal immunoglobulins
hyperviscosity
111. Multiple Myeloma
Clinical symptoms: Laboratory tests:
• ESR > 100
• anaemia, thrombocytopenia
• bone pains, • rouleaux in peripheral blood
pathologic fractures smears
• weakness and fatigue • marrow plasmacytosis > 10
-15%
• serious infection
• hyperproteinemia
• renal failure • hypercalcemia
• bleeding diathesis • proteinuria
• azotemia
111. Multiple Myeloma
112. Pankreatitis Akut

• Definisi
➢proses inflamasi pankreas yg disertai aktivasi
enzim intraprankreas yg dapat mempengaruhi
jaringan luar pankreas dan jaringan/organ lain.
112. Pankreatitis Akut

Robbins & Cotran Pathologic basis of diseases.


Etiologi Pankreatitis
• Gallstones (batu empedu) 40-70%
• Alkohol (25-35%)
• Hipertrigliseridemia, terutama jika > 1000
mg/dL (1-4%)
• Massa jinak atau ganas pada pankreatoilier (5-
14%)
112. Pankreatitis Akut
• Diagnosis pankreatitis akut:
– Klinis
➢Nyeri epigastrium akut menjalar ke punggung, adanya
faktor risiko alkoholisme atau penyakit bilier
– Pemeriksaan laboratorium
➢Peningkatan amilase dan/atau lipase lebih dari 3 kali
– Evaluasi radiologi.
➢CT scan bermanfaat untuk menemukan inflamasi &
menyingkirkan penyakit lain.
112. Pankreatitis Akut
• Enzim pankreas keluar  nekrosis lemak dan inflamasi
retroperitoneal atau perdarahan intraabdomen
• Menyebar melalui ligamen rotundum ke umbilikus  Cullen sign
• Penyebaran dari retroperitoneum ke jaringan subkutan pinggang 
Grey Turner’s sign.
112. Pankreatitis
113. Malaria
• Ditemukan oleh Charles Alphonse Laveran thn1880 di
Aljazair : gametosit plasmodium falciparum ( bentuk
pisang)
• Thn. 1897 0leh Ronald Ross di India: bentuk ookista di
dalam lapisan otot lambung nyamuk anopheles
• 1957- 1969 secara global dilakukan program eradikasi
malaria oleh WHO
• 1973- 1978 munculnya kembali kasus2 malaria secara
tajam
• spesies parasit malaria yang menginfeksi manusia:
plasmodium falciparum, plasmodium vivax,
plasmodium malariae dan plasmodium ovale
113. Malaria
• plasmodium falciparum:
- menyebabkan penyakit malaria tertiana maligna
(malaria tropica)
- sering menjadi bentuk penyakit yang berat/
malaria serebralis
- angka kematian tinggi
- menyebabkan parasitemia yang tinggi
- merozoitnya menginfeksi sel darah merah tua/
muda (segala umur)
- Sebagai penyebab 50 % malaria di di dunia
113. Malaria
• Plasmodium vivax
- menyebabkan malaria tertiana benigna
- disebut juga malaria vivax
- spesies ini memp kecenderungan menginfeksi sel darah merah muda
(retikulosit)
- lebih kurang 43% kasus malaria disebabkan oleh spesies ini

• Plasmodium malariae
- penyebab malaria kuartana ( tidak lazim disebut malaria malariae)
- ditandai dengan serangan panas berulang tiap 72 jam
- diduga mempunyai kecenderungan menginfeksi sel drh merah yang tua
- tingkat parasitemia lebih rendah dibanding spesies lain
- menginfeksi simpanse dan beberapa binatang liar lain
- dijumpai kira-kira 7% dari semua kasus malaria di dunia
113. Malaria
• Plasmodium ovale
- menyebabkan malaria tertiana benigna (
malaria ovale)
- paling jarang dijumpai
- menginfeksi sel darah muda

Ada kemungkinan seorang penderita terinfeksi


oleh lebih dari satu spesies plasmodium
secara bersamaan - disebut infeksi
campuran ( mixed infection)
114. Atritis Septik

• is an inflammatory joint disease


caused by bacterial, viral, and fungal
infection.
Route of infection
• dissemination of pathogens via the blood,
from distant site…. (most common)
• dissemination from an acute osteomylitic
focus
• dissemination from adjacent soft tissue
infection,
• entry via penetrating trauma
• entry via iatrogenic means
Etiology

• The causal organism is usually Staphylococcus


aureus.
• In children under the age of 3 years
Haemophilus influenzae is fairly common
• gram-negative bacilli (a group of bacteria,
including Escherichia coli, or E. coli)
• streptococci (a group of bacteria that can lead
to a wide variety of diseases)
Pathology
• There is an acute synovitis with a purulent joint effusion and
Synovial membrane becomes edematous, swollen and
hyperemic, and produces increase amount of cloudy exudates
contains leukocytes and bacteria
• As infection spread through the joint, articular cartilage is
destroyed by bacterial and cellular enzymes.
• If the infection is not arrested the cartilage may be completely
destroyed.
• Pus may burst out of the joint to form abscesses and sinuses.
• The joint may be become pathologically dislocated.
Clinical presentation

• Typical features are acute pain and swelling in a single


large joint ,commonly the hip in children and the knee in
adults, however any joint can be affected.

• The most commonly involved joint is the knee (50% of cases),


followed by the hip (20%), shoulder (8%), ankle (7%), and
wrists (7%). interphalangeal, sternoclavicular, and sacroiliac
joints each make up 1-4% of cases.
Physical examination

1. Decreased or absent rang of motion.


2. Signs of inflammation: joint swelling, warmth,
tenderness and erythema.
3. Joint orientation as to minimize pain (position of
comfort):
➢ Hip: abducted, flexed and externally rotated.
➢ Knee, ankle and elbow: partially flexed.
➢ Shoulder: abducted and internally rotated
Investigation
Lab studies:

• The diagnosis can usually be confirmed by joint aspiration and


immediate microbiological investigation of the fluid.
• Blood culture may be positive in about 50% of proven cases.
• Non specific features of acute inflammation-
leucocytosis,ESR,CRP-are suggestive but not diagnostic .
gram stain, culture, leukocyte count with differential,
and crystal examination
• leukocyte count:
o generally higher than 50,000/µL, with a
predominance of neutrophils more than 75%
gram stain:
are positive in approximately 75% of patients with
staphylococcal infections; however, results are positive
in only 50% of patients with gram-negative infections
 crystal examination:
 exclude crystal-induced arthritis (may coexist)

 culture:
 The definitive method
 for aerobic and anaerobic organisms.
 are positive in 85-95%

• Synovial fluid glucose, protein, and lactic acid concentration


not specific.
115. DIC
• DIC (aka consumption coagulopathy, defibrination syndrome)
– Systemic process producing both thrombosis and hemorrhage
– Initiated by a number of defined disorders
– Consists of the following components:
• Exposure of blood to procoagulants
• Formation of fibrin in the circulation
• Fibrinolysis
• Depletion of clotting factors
• End-organ damage

• Occurs in approximately one percent of hospital admissions


• Treatment is supportive
– Platelet transfusion
– Factor replacement
Etiology
• Sepsis • Vascular
• Trauma – Giant haemangioma
– Serious tissue injury – Aortic aneurysm
– Fat embolism • Reaction to toxins
• Cancer • Immunological
• Obstetrical disorders
complications – Haemolytic
transfusion reaction
– Transplant rejection
Systemic activation
of coagulation

Intravascular Depletion of platelets


deposition of fibrin and coagulation factors

Thrombosis of small
and midsize vessels
Bleeding
and organ failure
Bachelor of Chinese Medicine
Diagnosis of DIC
• Clinical setting
• Laboratory tests
• Criteria
– Underlying disease known to be associated
– Initial platelet count < 100 X 109/L, or rapid decline in
platelet count
– Prolongation of clotting times (PT & APTT)
– Presence of fibrin degradation products
– Low levels of coagulation inhibitors (e.g. antithrombin)
– Low fibrinogen level in severe cases

Bachelor of Chinese Medicine


Disseminated intravascular coagulation

• Laboratory results:
– Prolonged PT, APTT and TT
– Reduced fibrinogen level
– Increased D-Dimers
– Thrombocytopenia
– Microangiopathic changes in blood film

Bachelor of Chinese Medicine


116. Osteoartritis
• Kartilago: bantalan antara tulang untuk menyerap tekanan & agar
tulang dapat digerakkan.
• Osteoarthritis: degenerasi sendi  fungsi bantalan menghilang 
tulang bergesekan satu sama lain.

Harrison’s principles of internal medicine.


CLASSIFICATION OF OA

• Primary OA Secondary OA

Etiology is unknown Etiology is known


RISK FACTORS FOR PRIMARY OA

• Age
• Sex
• Obesity
• Genetics
• Trauma (daily)
SECONDARY OSTOARTHRITIS

• Trauma
• Previous joint disorders;
• Congenital hip dislocation
• Infection: Septic arthritis, Brucella, Tb
• Inflammatory: RA, AS
• Metabolic: Gout
• Hematologic: Hemophilia
• Endocrine: DM
Pembebanan repetitif, obesitas, usia tua
Heberden’s & Bouchard’s nodes

Penyempitan celah sendi

Penipisan kartilago

Osteofit (spur formation)

Sklerosis

Harrison’s principles of internal medicine.


Ciri OA RA Gout Spondilitis
Ankilosa
Prevalens Arthritis
Female>male, >50
tahun, obesitas
Female>male
40-70 tahun
Male>female, >30
thn, hiperurisemia
Male>female,
dekade 2-3
Awitan gradual gradual akut Variabel

Inflamasi - + + +

Patologi Degenerasi Pannus Mikrotophi Enthesitis

Jumlah Sendi Poli Poli Mono-poli Oligo/poli

Tipe Sendi Kecil/besar Kecil Kecil-besar Besar

Predileksi Pinggul, lutut, MCP, PIP, MTP, kaki, Sacroiliac


punggung, 1st CMC, pergelangan pergelangan kaki & Spine
DIP, PIP tangan/kaki, kaki tangan Perifer besar

Temuan Sendi Bouchard’s nodes Ulnar dev, Swan Kristal urat En bloc spine
Heberden’s nodes neck, Boutonniere enthesopathy
Perubahan Osteofit Osteopenia erosi Erosi
tulang erosi ankilosis

Temuan - Nodul subkutan, Tophi, Uveitis, IBD,


Extraartikular pulmonari cardiac olecranon bursitis, konjungtivitis, insuf
splenomegaly batu ginjal aorta, psoriasis

Lab Normal RF +, anti CCP Asam urat


Tatalaksana OA
• Terapi Non farmakologi
➢ Edukasi pasien. (Level of evidence: II)
➢ Program penatalaksanaan mandiri (self-management
programs):modifikasi gaya hidup. (Level of evidence: II)
➢ Bila berat badan berlebih (BMI > 25), program penurunan
berat badan, minimal penurunan 5% dari berat badan,
dengan target BMI 18,5-25. (Level of evidence: I).
➢ Program latihan aerobik (low impact aerobic fitness
exercises). Level of Evidence: I)
➢ Terapi fisik meliputi latihan perbaikan lingkup gerak sendi,
penguatan otot- otot (quadrisep/pangkal paha) dan alat
bantu gerak sendi (assistive devices for ambulation): pakai
tongkat pada sisi yang sehat. (Level of evidence: II)
➢ Terapi okupasi meliputi proteksi sendi dan konservasi energi,
menggunakan splint dan alat bantu gerak sendi untuk
aktivitas fisik sehari-hari. (Level of evidence: II)
• Terapi Farmakologi: (lebih efektif bila
dikombinasi dengan terapi nonfarmakologi)
• Pendekatan terapi awal
➢Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga
sedang, dapat diberikan salah satu obat berikut
ini, bila tidak terdapat kontraindikasi pemberian
obat tersebut:
• Acetaminophen (kurang dari 4 gram per hari).
• Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS). (Level of
Evidence: II)
Tatalaksana OA
• Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang,
yang memiliki risiko pada sistim pencernaan (usia >60
tahun, disertai penyakit komorbid dengan polifarmaka,
riwayat ulkus peptikum, riwayat perdarahan saluran
cerna, mengkonsumsi obat kortikosteroid dan atau
antikoagulan), dapat diberikan salah satu obat berikut
ini:
➢ Acetaminophen ( kurang dari 4 gram per hari).
➢ Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) topikal
➢ Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) non selektif,
dengan pemberian obat pelindung gaster (gastro-
protective agent).
➢ Cyclooxygenase-2 inhibitor.
117. Penyakit Endokrin
• Struma: pembesaran kelenjar tiroid.
• Defek biosintesis tiroksin & defisiensi iodin:
– hormon tiroid rendah  TSH meningkat  stimulasi tiroid sebagai
kompensasi  struma.

Human Physiology.
117. Penyakit Endokrin
117. Goiter Endemik
• In the fertile soil and vegetation almost no
iodine
• The vegetative and animal food contains not
enough iodine
• Limited consumption of fish and seafood
• Lack of mass iodine prophylaxis through salt
iodization
117. Goiter Endemik
•High prevalence of endemic goiter:
-from 15% to 40% in some regions;
-in mountain areas frequency of goiter rate can
vary from 25-40% to 80%-64.

•The lack of objective information on the


problem of iodine deficiency among the
population
The severity of iodine deficiency
•Mild form - goiter occurs from 10 to 30% of the population,
the average urinary iodine excretion is 50-90 mg / l.
Hypothyroidism and cretinism are missing.

•Medium form - the frequency of goiter and 50%, the level


of urinary iodine excretion is reduced to 20-49% mg / l.
There may be cases of hypothyroidism.

•Severe form - the frequency of goiter can reach almost


100% of the average level of urinary iodine excretion less
than 20 mg / l. Cretinism occurs with a frequency of 1 to
10%.
118. Lymphoma
• Clonal malignant disorders that are derived from
lymphoid cells: either precursor or mature T-cell
or B-cell

• Majority are of B- cell origin

• Divided into 2 main types :


1. Hodgkin’s lymphoma
2. Non - Hodgkin’s lymphoma
Etiologi

• Studies have suggested several infectious agents:


– EBV
– Human Herpes Virus 6
– CMV
• High EBV titers and the presence of EBV genomes
in Reed-Sternberg cells
• Surface markers suggest T cell or B cell lineage
Reed-Sternberg Cell
Hodgkin lymphoma

• Lymphadenopathy
– Enlarged painless lymphnodes
– Supra-diaphragmatic in 90% (cervical, mediastinal)

• Hepato-splenomegaly: initially infrequent


• B symptoms in 25-30%
• Fever, often periodical; classically Pel-Ebstein
• Night sweats
• Weight loss (> 10% within 6 months)
119. Hipoglikemia
• Hipoglikemia 
menurunnya kadar glukosa
darah < 70 mg/dL dengan
atau tanpa gejala otonom
• Whipple triad
– Gejala hipoglikemia
– Kadar glukosa darah rendah
– Gejala berkurang dengan
pengobatan
• Penurunan kesadaran pada
DM harus dipikirkan
hipoglikemia terutama yang
sedang dalam pengobatan
Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2. PERKENI 2015
119. Hipoglikemia
Tanda Gejala
Autonomik Rasa lapar, berkeringat, gelisah, Pucat, takikardia, widened
paresthesia, palpitasi, Tremulousness pulse pressure
Neuroglikopenik Lemah, lesu, dizziness, pusing, Cortical-blindness,
confusion, perubahan sikap, gangguan hipotermia, kejang, koma
kognitif, pandangan kabur, diplopia

• Probable hipoglikemia  gejala hipoglikemia tanpa pemeriksaan


GDS
• Hipoglikemia relatif  GDS>70 mg/dL dengan gejala
hipoglikemia
• Hipoglikemia asimtomatik  GDS<70mg/dL tanpa gejala
hipoglikemia
• Hipoglikemia simtomatik  GDS<70mg/dL dengan gejala
hipoglikemia
• Hipoglikemia berat  pasien membutuhkan bantuan orang lain
untuk administrasi karbohidrat, glukagon, atau resusitasi lainnya
Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2. PERKENI 2015
119. Hipoglikemia
Hipoglikemia ringan Hipoglikemia berat
• Konsumsi makanan tinggi
karbohidrat • Terdapat gejala
• Gula murni
neuroglikopenik  dextrose
• Glukosa 15-20 g (2-3 sdm)
20% sebanyak 50 cc (jika
dilarutkan dalam air tidak ada bisa diberikan
• Pemeriksaan glukosa darah dextrose 40% 25 cc), diikuti
dengan glukometer setelah infus D5% atau D10%
15 menit upaya terapi • Periksa GD 15 menit, jika
• Kadar gula darah normal, belum mencapai target
pasien diminta untuk makan dapat diulang
atau konsumsi snack untuk
mencegah berulangnya • Monitoring GD tiap 1-2 jam
hipoglikemia.

Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2. PERKENI 2015


119. Hipoglikemia
119. Hipoglikemia
120. Monitoring HIV
121. Dengue Fever
122. Community Acquired Pneumonia
• Pneumonia that develops in • Physical findings may include
the outpatient setting or the following:
within 48 hours of admission – Adventitious breath sounds,
to a hospital. such as rales/crackles, rhonchi,
• Signs of bacterial pneumonia: or wheezes
– Hyperthermia (fever, typically – Decreased intensity of breath
>38°C) or hypothermia (< 35°C) sounds
– Tachypnea (>18 – Egophony
respirations/min) – Whispering pectoriloquy
– Use of accessory respiratory – Dullness to percussion
muscles – Tracheal deviation
– Tachycardia (>100 bpm) or – Lymphadenopathy
bradycardia (< 60 bpm) – Pleural friction rub
– Central cyanosis
– Altered mental status
Community Acquired Pneumonia
• Diagnostic:
– Chest radiography
• Sputum evaluation  for
initiating antibiotic therapy
• Assessing illness severity:
– Serum chemistry panel
– Arterial blood gas (ABG)
determination
– Venous blood gas
determination (central
venous oxygen saturation)
– Complete blood cell (CBC)
count with differential
– Serum free cortisol value
– Serum lactate level
– Serum urea level
Bacterial Pneumonia
• The most common etiologies of CAP in the outpatient
setting are as follows (in descending order of freq.): S.
pneumoniae, M. pneumoniae, H.influenza, C.
pneumoniae, and respiratory viruses.
• Streptococcus pneumoniae: Rust-colored sputum
• Pseudomonas, Haemophilus, and pneumococcal
species: May produce green sputum
• Klebsiella species pneumonia: Red currant-jelly sputum
• Anaerobic infections: Often produce foul-smelling or
bad-tasting sputum
Management

American Thoracic Society Guidelines for CAP.


20

American Thoracic Society Guidelines for CAP.


American Thoracic Society Guidelines for CAP.
123. Hipertensi JNC VII
JNC VIII
The National Institute for
Health and Care
Excellence (NICE).2017
124. Anemia
MCV & MCH ↓

GDT

Besi serum

Besi serum ↑ Besi serum N/↑ Besi serum ↓

Besi sumsum tulang  Pemeriksaan Hb F/A2 Kadar ferritin

Ferritin↓ Ferritin N/↑

Anemia sideroblastik Talasemia, Kelainan Hb Defisiensi besi penyakit kronik


124. Anemia
124. Anemia

Hoffbrand essential hematology.


124. Anemia

Harrison’s principles of internal medicine.


Iron Therapy
• Oral ferrous iron salts are the most economical and
effective medication for the treatment of iron
deficiency anemia.
• Ferrous sulfate is the one most commonly used.
• Traditional dosage of ferrous sulfate is 325 mg (65 mg
of elemental iron) orally three times a day, lower doses
(eg, 15-20 mg of elemental iron daily) may be as
effective and cause fewer side effects.
• To promote absorption, patients should avoid tea and
coffee and may take vitamin C (500 units) with the iron
pill once daily.

http://emedicine.medscape.com/article/202333-treatment#d7
125. Emboli Paru

• Definisi
➢Terjadi saat lepasnya trombus menuju pembuluh
darah paru  aliran darah distal dari trombus
terhambat
• Manifestasi klinis
➢nyeri dada pleuritik, sesak dan hipoksia yg terjadi
tiba-tiba.
125. Emboli Paru
125. Emboli Paru
125. Gambaran Radiologis Emboli
Paru
Tanda Patologi
Westermarks sign Area dengan oligemia perifer.
(Oligemia  penurunan aliran darah
karena trombus)
Palla’s sign / Knuckle sign Dilatasi right descending pulmonary
artery (karena adanya trombus)

Hampton’s hump Peripheral wedge shaped opacity with


convexity towards hilum 
menggambarkan adanya infark pada
paru akibat trombus

Melting sign Infarct shows rapid clearing in


contrast to pneumonic consolidation

Fleishner’s sign Hemidiafragma terangkat


Gambaran Skematik Foto Thoraks
Emboli Paru
Gambaran Foto Thoraks Emboli Paru

Hampton hump • Palla’s sign  arrow


• Westermark sign circle
126. Infeksi Saluran Kemih
• Pielonefritis
➢ Inflamasi pada ginjal & pelvis renalis
➢ Demam, menggigil, mual, muntah, nyeri pinggang, diare,
➢ Lab: silinder leukosit, hematuria, pyuria, bakteriuria, leukosit
esterase +.
• Sistitis:
➢ Inflamasi pada kandung kemih
➢ Disuria, frekuensi, urgensi, nyeri suprapubik, urin berbau,
➢ Lab: pyuria, hematuria, leukosit esterase (+) nitrit +/-.
• Urethritis:
➢ Inflamasi pada uretra
➢ Disuria, frekuensi, pyuria, duh tubuh.
➢ Lab: pyuria, hematuria, leukosit esterase (+), nitrit (-).
126. Infeksi Saluran Kemih
• Escherichia coli is by far the most frequent cause
of uncomplicated community-acquired UTIs.

• Other bacteria frequently isolated from patients


with UTIs are:
➢Klebsiella spp.,
➢other Enterobacteriaceae,
➢Staphylococcus saprophyticus, and
➢enterococci.
126. Tatalaksana Sistitis Akut
• Guideline IDSA/EAU
Recommended:
➢ Nitrofurantoin
➢ Trimetoprim-
Sulfametoksazole
➢ Fosfomycin trometamol
➢ Pivmecillinam

• Amoxicillin or ampicillin
should not be used for
empirical treatment given
the relatively poor efficacy
126. Tatalaksana Sistitis Akut
• Berdasarkan pedoman IAUI
• Antibiotik pilihan pada terapi sistitis akut
adalah:
➢Nitrofurantoin, cephalosporin generasi ke 2 dan 3,
fluoroquinolone, Aminopenisilin + BLO (beta
lactamase inhibitor)
126. Tatalaksana Sistitis Akut
• Pada soal tersebut pasien masih termasuk sistitis
akut tanpa komplikasi sehingga cukup diberikan
obat oral
• Cefadroxil  cephalosporin generasi 1
• Amoksisilin tidak direkomendasikan
• Cefotaksim sediaan IV
• Ceftriakson sediaan IV
• Sehingga jawaban paling tepat adalah Cefixime
yang merupakan obat cephalosporin oral
generasi ke-3
127. Polycystic Kidney Disease
Definisi :
• Merupakan kelainan berupa kista pada ginjal tanpa
terjadinya displasia yang diturunkan secara genetik.

Klasifikasi :
• Autosomal Recessive Polycystic Kidney Disease (ARPKD)
• Autosomal Dominant Polycystic Kidney Disease (ADPKD)

Vergese P. Pediatric Polycystic Kidney Disease. Available from http://emedicine.medscape.com/article/983281


127. Polycystic Kidney Disease
ARPKD ADPKD
Diturunkan secara autosomal resesif. Diturunkan secara autosomal dominan.
Kista berasal dari tubulus proksimal 1 dalam 400 hingga 1000 kelahiran di US.
Berhubungan dgn disgenesis bilier dan Mutasi pd gen PKD1 pada kromosom 16.
fibrosis periportal.
1 dalam 20.000 kelahiran.

Manifestasi Klinis Manifestasi Klinis


Prenatal : pembesaran ginjal dan Gejala renal : gross hematuria,massa atau
oligohydramnions. nyeri pada pinggang, poliuria, demam
karena ISK, nefrolitiasis dan hipertensi
Infant : low set dan flattened ears, short, karena peningkatan volume ginjal.
snubbed nose, deep eye crease,
micrognathia, club foot, massa pada Gejala kardio : HT, mitral valve prolapse,
abdomen atau hepatosplenomegali dan regugirtasi aorta.
hipertensi
Gejala ekstrarenal : aneurisma otak, kista
pada pankreas, hepar dan vesika seminalis,
divertikulum kolon serta hernia inguinalis.
Vergese P. Pediatric Polycystic Kidney Disease. Available from http://emedicine.medscape.com/article/983281
127. Polycystic Kidney Disease
ARPKD ADPKD
Radiologi : Radiologi :
Pembesaran ginjal, distensi abdomen • Pembesaran ginjal
Hipoplasia pulmoner, pneumotoraks. • Distorsi kaliks
• Kista bilateral dgn besar yg bervariasi
USG :
Prenatal : ginjal membesar, small bladder, USG :
oligohidroamnion. • Kista multipel pd ginjal
• Ginjal membesar, hiperekoik,
Neonatal : mikro dan makro kista, fibrosis pd • Kista pada ovarium dan pankreas
parenkima hepar.

Dewasa : kista kecil mutiple, pada ginjal yg


berukuran normal, peningkatan ekogenitas
korteks, hilangnya diferensiasi
kortikomedula
Tatalaksana
• Hematuria  bed rest, hidrasi, analgesik
• Batu ginjal  ESWL atau PNL
Vergese P. Polycystic Kidney Disease. Available from
• Infeksi  antibiotik. http://emedicine.medscape.com/article/983281
127. Polycystic Kidney Disease

Sonogram shows cysts with bilaterally Sagittal sonogram shows multiple micro
enlarged kidneys. These findings are cysts in the right kidney which are not
compatible with a diagnosis of communicating with each other in
autosomal dominant polycystic ARPKD
kidney disease (ADPKD).
128. Dengue Fever
129. Classification of Antiemetic Drugs

1. 5-HT3 antagonists
2. D2 receptor antagonists
3. NK1 antagonists
4. H1-receptor antagonists
5. Muscarinic receptor antagonists
6. Cannabinoids
7. Glucocorticoids
D2 receptor antagonists
▪ block D2 dopamine receptors in the CTZ
▪ Two types exist:
1. Prokinetics drugs
2. Neuroleptics (antipsychotics)

▪ Uses of D2 receptor antagonists


▪ are among the most commonly used drug for
nausea and vomiting of non-specific causes.
▪ Effective against vomiting due to drugs,
▪ gastroenteritis, post-operative, toxins, uremia,
radiation.
D2 receptor antagonists
1) Prokinetics drugs
• Drugs as metoclopramide, domperidone
• Both are prokinetic agents due to their 5 HT4
agonistic activity.
• used in GERD (gastroesophageal reflux disease),
gastroparesis.
• Used as antiemetics (blocking D2 receptors)
• Metoclopramide crosses BBB but domperidone
cannot (both have antiemetic effects as CTZ is
outside BBB).
Side effects (only for metoclopramide):

➢ Dyskinesia (extra-pyramidal side effects),


➢ Galactorrhea, menstrual disorders, impotence.
➢ Sedation, postural hypotension.
130. Hepatologi
• Sirosis hepatis adalah stadium akhir fibrosis
hepatik progresif ditandai dengan distorsi
arsitektur hepar dan pembentukan nodul
regeneratif.
• Terjadi akibat nekrosis hepatoseluler
– Sirosis hati kompensatabelum ada gejala klinis
– Sirosis hati dekompensata gejala klinis yang jelas
• Etiologialkohol, hepatitis, biliaris, kardiak,
metabolik, keturunan, obat
– Di Indonesia, 40-50% disebabkan oleh hepatitis B

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam


130. Hepatologi
131. Hyperparathyroidism

• Overproduction of parathyroid hormone results in elevated


levels of plasma calcium.
• Parathyroid hormone also causes phosphaturia, thereby
decreasing serum phosphate levels.
• Hyperparathyroidism is usually subdivided into primary,
secondary, and tertiary hyperparathyroidism.
Metabolisme kalsium dan fosfat
132. Hypertensive Encephalopathy

• Uncommon syndrome
• Acute and reversible
• Results from an abrupt, sustained rise of BP that
exceeds the limits of cerebral autoregulation of the
small resistance arteries in the brain
• Arises from “breakthrough” hyperperfusion and
leakage of fluid thru BBB
Hypertensive Encephalopathy
• Symptoms:
– Mental status change – somnolence, confusion,
lethargy, stupor, coma, seizure
– Headache –
– Nausea and vomiting
• However clinical improvement may lag behind
BP improvement by hours to days
• Agent of choice – SNIP or labetalol
WHY?  Auto-regulation

• Maintains blood flow to


vital organs, despite
variations in systemic BP
• Classically maintained
between MAP 60-
120mmHg
• However, in chronically
Lancet, Hypertensive Emergencies, 2000; hypertensive patients the
356(9227):411-417 curve is shifted to the
right
133. Abses hepar
• Infeksi pada hati disebabkan bakteri, parasit, jamur
maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal.
– Abses hati amebik (AHA)  Entamoeba histolytica
– Abses hati piogenik (AHP)  Enterobactericeae,
streptococci, klebsiella pneumoniae, bacteroides,
fusobacterium, staphylococcus aureus, cancida,
aspergillus, actinomyces, yersinia enterolitica,
salmonella thypii, dll
• AHP dapat terjadi akibat komplikasi apendisitis,
infeksi intraabdominal, infeksi sistem biliaris
• Lobus kanan > lobus kiri
– lobus kanan menerima darah dari a. mesenterika
superior dan vena portal, sedangkan lobus kiri dari a.
mesenterika inferior dan aliran limfatik
133. Abses hepar
• Manifestasi klinis
– Anamnesis
• nyeri perut kanan atas, jalan membungkuk ke depan, demam,
malaise, nyeri pada bahu kanan, batuk atau atelektasis, mual,
muntah, nafsu makan turun, penurunan BB, kelemahan badan,
ikterus, BAB seperti kapur, BAK gelap.
– PF
• febris, hepatomegali, nyeri tekan hepar, splenomegali, asites,
ikterus, tanda hipertensi portal
– Penunjang
• leukositosis, shift to the left, anemia, LED meningkat, peningkatan
alkali fosfatase, peningkatan enzim transaminase, peningkatan
serum bilirubin, penurunan albumin dan PT
• Kultur hasil aspirasi standar emas untuk penegakan diagnosis
miikrobiologi
• Foto thoraks (efusi pleura, diafragma kanan meninggi, empiema,
abses paru), foto abdomen (air fluid level), CT scan abdomen,
MRI, USG abdomen
133. Abses hepar
• USG Abdomen
– Liver abscesses are typically poorly demarcated
with a variable appearance, ranging from
predominantly hypoechoic (still with some
internal echoes however) to hyperechoic.
– Gas bubbles may also be seen
– Colour Doppler will demonstrate absence of
central perfusion.
• Liver cyst  round or ovoid anechoic lesion,
but almost asymptomatic
133. Tatalaksana Abses Hepar
• Antibiotik spektrum luas adalah • Abses hepar dengan diameter < 3
tatalaksana utama dari abses cm cukup diberi antibiotik.
hepar dan harus seera diberikan
setelah diagnosis abses hepar • Abses yang diameternya lebih
ditegakkan. Antibiotik yang dari 3 cm, perlu didrainase.
diberikan harus dapat mengatasi Drainase dapat menggunakan:
bakteri gram positif, gram negatif,
dan bakteri anaerob. – Aspirasi jarum dengan USG-guided
– Ceftriaxone /cefotaxime dan – Laparoskopi
metronidazole – Reseksi abses
– Levofloxacin/ciprofloxacin/ – Drainase per endoskopi bila
moxifloxacin dan metronidazole sumber infeksi dari saluran bilier

• Pada pasien imunokompromais,


terapi empiris untuk Candida
harus diberikan selama minimal 2
minggu.

http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/640/treatment/step-by-step.html
133. TATALAKSANA ABSES HEPAR AMOEBA

• Metronidazole 3x750 mg selama 10 hari

• Pertimbangkan aspirasi abses bila:


– Kavitas >5 cm
– Abses hepar lobus kiri (mortalitas tinggi)
– Tidak respons terhadap terapi selama 5-7 hari
– Klinis sulit dibedakan dengan abses hepar piogenik

http://emedicine.medscape.com/article/183920-treatment#d9
134. Ginekomastia
• Gynaecomastia: benign proliferation of glandular
breast tissue in males
• Drugs cause 25% of gynaecomastia cases in adults1
• Other causes- endocrine disorders, HIV, renal
disease, aging, puberty and hyperthyroidism

[1] Carlos et al. Sao Paulo Med J. 2012; 130(3):189-197. [2] Mira et al. Antiviral Therapy .2004; 9:511-514.
[3]Biglia et al. Clin Infect Dis . 2004; 39:1514-1519
. Ginekomastia
. Ginekomastia
135. FOOD POISONING
STAPHYLOCOCCUS AUREUS CLOSTRIDIUM BOTULINUM
• Gram positive cocci that occurs in singles, • It is a gram positive anaerobic spore bearing
pairs, short chains, tetrads and irregular grape bacilli
like clusters. • Incriminated food: Most cases of botulism
• Food is usually contaminated from infected are associated with home canned or bottled
food handler.
meat, vegetables and fish.
• Incubation period: 12-36 hours
• The food handler with an active lesion or
• Clinical features: Common features include
carriage can contaminate food.
vomiting, thirst, dryness of mouth,
• Custard and cream filled bakery food, ham, constipation, ocular paresis (blurred-vision),
chicken, meat, milk, fish, salads, puddings, pie difficulty in speaking, breathing and
• The bacteria produce enterotoxin while swallowing. Coma or delirium may occur in
multiplying in food. some cases. Death may occur due to
respiratory paralysis within 7 days.
• Clinical features:
– The onset is sudden and is characterized
by vomiting and diarrhea but no fever.
– The illness lasts less than 12 hours.
Botulism
• Botulism is a rare disease with 4 naturally occurring syndromes:
– foodborne botulism is caused by ingestion of foods contaminated with
botulinum toxin,
– wound botulism is caused by Clostridium botulinum colonization of a
wound and in situ toxin production,
– infant botulism is caused by intestinal colonization and toxin
production,
– adult intestinal toxemia botulism is an even rarer form of intestinal
colonization and toxin production in adults.
• The clinical syndrome of botulism is highly distinctive, consisting of
symmetrical cranial nerve palsies, followed by symmetrical
descending flaccid paralysis that may progress to respiratory arrest
• Nausea, vomiting, and diarrhea often precede or accompany
neurologic manifestations; constipation typically follows after
neurologic signs have appeared.
• GI symptoms are more prominent in food-borne botulism and much
less pronounced in cases of wound botulism.
Botulism
136. Patofisiologi Sepsis
136. Patofisiologi Sepsis
137. INTOKSIKASI ASAM JENGKOLAT
• Jengkol mengandung asam jengkolat & sulfur yang dapat mengkristal di
tubulus renal menimbulkan uropati obstruktif, acute kidney injury, atau
penyakit ginjal kronik.

• Intoksikasi akut dapat terjadi 5-12 jam setelah makan jengkol

• Manifestasi klinis:
– Nyeri pinggang
– Kolik abdomen
– Oliguria
– Hematuria

• Terapi:
– Hidrasi agresif untuk meningkatkan aliran urine
– Alkalinisasi (biknat) untuk melarutkan kristal asam jengkolat
138. CARDIAC MARKER (ENZIM
PENANDA JANTUNG)

https://img.medscapestatic.com/pi/meds/ckb/22/34922tn.jpg
139. MIELOFIBROSIS
140. INFARK MIOKARD

http://ecgwaves.com/wp-content/uploads/2016/09/x-infarktlokalisationA-1.jpg
141. TATALAKSANA ANGIOEDEMA &
URTIKARIA
• Most cases of angioedema can be managed well with outpatient treatment
alone. Antihistamines, usually second-generation agents (eg, cetirizine,
desloratadine, fexofenadine, levocetirizine, and loratadine), are often used as
first-line treatment. These agents are also given to help reduce the severity or
frequency of attacks, in dosages often as high as 4 times the standard dosage.

• For moderate-to-severe cases of angioedema, close monitoring is often


necessary. Diphenhydramine 50 mg intramuscularly (IM) or intravenously (IV)
is helpful. Hydrocortisone 200 mg IV or methylprednisolone 40-60 mg IV may
reduce the possibility of relapse.

• For laryngeal swelling and airway obstruction, close monitoring of the airway is
mandatory. Epinephrine (1:1000) should be administered IM at a dose of 0.01
mg/kg or 0.3 mg, repeated every 10-15 minutes if necessary. Occasionally,
intubation, or even tracheostomy, may be necessary. These patients should be
admitted for at least 24 hours of observation.

https://emedicine.medscape.com/article/135208-treatment#d9
142.
ALGORITMA
TAKIKARDIA
143. PEMERIKSAAN PENUNJANG KOLITIS
• When a bacterial cause
(eg, Salmonella species, Shigella species, Campylobacter
species, Yersinia species, E coli, or C difficile) is suspected,
stool samples must be cultured, and Gram staining and
methylene blue staining of the stool are recommended.
WBC counts may be elevated or normal.

• Most of the organisms may be cultured from the stool by


using appropriate media, but enrichment techniques may
be required for Y enterocolitica. Infectious agents, such
as Clostridium perfringens, E coli, and S epidermidis species,
have been recovered from stool cultures in patients with
colitis. Nonetheless, in most cases, no pathogen is
identified.
https://emedicine.medscape.com/article/927845-workup
144. COMPELLING INDICATIONS of
ANTIHYPERTENSIVE DRUGS
145. EDEMA PARU AKUT
146. OBAT YANG DAPAT
MENYEBABKAN HIPERURISEMIA
ILMU
P E N YA K I T
M ATA
147. Contact Lens Related Eye
Infection
• Keratitis is the most • Risk Factor :
serious complication of • Extended wear lenses
contact lens wear • Sleeping in your contact
• Approximately 90% of MK lenses
in CL wearers is • Reduced tear exchange
associated with bacterial under the lens
infection • Enviromental factor poor
hygiene
• Symptomps
• Blurry vision, unusual
redness of the eye, pain in
the eye, tearing or
discharge from eye,
fotofobia, foreign body
sensation
Microbacterial keratitis related
contact lens wear
• Etiology :
• The most common bacterial
pathogens associated with MK
: Staphylococcus and
Pseudomonas species  more
frequent in temperate climate
regions.
• Fungal keratitis  is more
frequent in tropical or sub-
tropical climates. Fusaria are
the most common fungal
pathogen associated with CL
related fungal keratitis.
• Acanthamoeba keratitis seems
to be a growing clinical
problem in CL wearers,
• viral keratitis is poor
understood

Dyavaiah M, et.al Microbial Keratitis in Contact Lens Wearers. JSM Ophthalmol 3(3): 1036 (2015)
Bacterial keratitis Fungal keratitis Acanthamoba
Risk factor - Sleeping with CLs among Possible risk factors of CL storage cases and poor
CL wearers fungal keratitis are ocular hygiene practices such as usage
- Patients with diabetes injury, long-term therapy of homemade saline rinsing
mellitus, dementia or with topical or systemic solutions and rinsing of lenses
chronic alcoholism steroids, with tap water Other risk
appeared to be at higher immunosuppressive agents, factors include CL solution
risk and underlying diseases reuse/topping off, rub to clean
- Trauma was rarely a such as pre-existing corneal lenses, shower wearing lenses,
factor surface abnormality and lens replaced (quarterly), age of
wearing CLs case at replacement (<3
months), extended wear and
lens material type
Clinical The predominant clinical CL associated Fusarium Itching, redness, pain, burning
manifestation features reported in keratitis include central sensation, ring infiltrate in
bacterial keratitis were lesions, paraxial lesions, and corneal, multiple
eye pain and redness the peripheral lesions in the pseudodendritic lesions, loss of
with a decrease in visual eye [31]. Patients with vision. Painless acantamoeba
acuity and stromal Candida infections were keratitis  fotofobia but no
infiltration reported to have a severe ocular pain
visual outcome

Diagnosis Microscopic observation CL associated Fusarium Corneal scraping and CL


of corneal scraping using keratitis include central solution  cyst and
stained smears is useful lesions, paraxial lesions, and trophozoyte
for diagnosis of bacterial the peripheral lesions in the
keratitis. eye [31]. Patients with
Candida infections were
reported to have a severe
visual outcome
148.KATARAK TRAUMATIK

Typical stellate/rosette/flower-shaped cortical


lens opacity
Katarak traumatik
• Katarak Traumatik  akibat cedera benda asing
di lensa atau trauma tumpul pada bola mata.
• terdapat gambaran bintang pada kapsula
posterior
• tatalaksana
– Benda asing intraokular harus segera dikeluarkan
– Antibiotik sistemik dan topikal
– Kortikosteroid topikal
– Atropin sulfat 1%, 1 tetes 3 kali sehari untuk
mencegah sinekia posterior
149. Defisiensi vitamin A
• Vitamin A meliputi retinol, retinil ester, retinal dan
asam retinoat. Provitamin A adalah semua karotenoid
yang memiliki aktivitas biologi β-karoten
• Sumber vitamin A: hati, minyak ikan, susu & produk
derivat, kuning telur, margarin, sayuran hijau, buah &
sayuran kuning
• Fungsi: penglihatan, diferensiasi sel, keratinisasi,
kornifikasi, metabolisme tulang, perkembangan
plasenta, pertumbuhan, spermatogenesis,
pembentukan mukus

Kliegman RM. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011


• Konjungtiva normalnya memiliki sel goblet.
Hilangnya/ berkurangnya sel goblet secara drastis
bisa ditemukan pada xerosis konjungtiva.
• Gejala defisiensi:
• Okular (xeroftalmia): rabun senja, xerosis konjungtiva &
kornea, keratomalasia, bercak Bitot, hiperkeratosis
folikular, fotofobia
• Retardasi mental, gangguan pertumbuhan, anemia,
hiperkeratosis folikular di kulit
Xerophthalmia (Xo)
Stadium :

XN : night blindness (hemeralopia)


X1A : xerosis conjunctiva
X1B : xerosis conjunctiva (with bitot’s spot)
X2 : xerosis cornea
X3A : Ulcus cornea < 1/3
X3B : Ulcus cornea > 1/3, keratomalacea
XS : Corneal scar
XF : Xeroftalmia fundus
Xeroftalmia
XN. NIGHT BLINDNESS
• Vitamin A deficiency can interfere with rhodopsin
production, impair rod function, and result in night
blindness.
• Night blindness is generally the earliest
manifestation of vitamin A deficiency.
• “chicken eyes” (chickens lack rods and are thus
night-blind)
• Night blindness responds rapidly, usually within
24—48 hours, to vitamin A therapy
X1A, X1B. CONJUNCTIVAL XEROSIS
AND BITOT’S SPOT
• The epithelium of the
conjunctiva in vitamin A • Conjunctival xerosis first
deficiency is transformed appears billateraly, in the
from the normal columnar to temporal quadrant, as an
the stratified squamous, with isolated oval or triangular
loss of goblet cells, patch adjacent to the
formation of a granular cell limbus in the interpalpebral
layer, and keratinization of fissure.
the surface.
• Clinically, these changes are
expressed as marked dryness
or unwettability, the affected
area appears roughened,
with fine droplets or bubbles
on the surface.
X1A, X1B. CONJUNCTIVAL XEROSIS
AND BITOT’S SPOT
• In some individuals, keratin • Conjunctival xerosis and
and saprophytic bacilli Bitot’s spots begin to
accumulate on the xerotic resolve within 2—5 days,
surface, giving it a foamy or most will disappear within
cheesy appearance, known 2 weeks.
as Bitot’s spots and they’re
easily wiped off)
• Generalized conjunctival
xerosis, involving the
inferior and/or superior
quadrants, suggests
advanced vitamin A
deficiency.
X2 CORNEAL XEROSIS
• Corneal changes begin early in • Clinically, the cornea develops
vitamin A deficiency, long before classical xerosis, with a hazy,
they can be seen with the naked lustreless, dry appearance, first
eye which characteristic are observable near the inferior
superficial punctate lesions of limbus
the inferior—nasal aspects of the • Corneal xerosis responds within
cornea, which stain brightly with 2—5 days to vitamin A therapy,
fluorescein with the cornea regaining its
• Early in the disease the lesions normal appearance in 1—2
are visible only through a slit- weeks
lamp biomicroscope
• With more severe disease the
punctate lesions become more
numerous, spreading upwards
over the central cornea, and the
corneal stroma becomes
oedematous
X3A, X3B. Corneal
ulceration/keratomalacia
• Ulceration/keratomalacia
indicates permanent • Superficial ulcers heal
destruction of a part or all with little scarring,
of the corneal stroma, deeper ulcers,
resulting in permanent especially perforations,
structural alteration form dense peripheral
• Ulcers are classically round adherent leukomas.
or oval “punched-out” • Localized keratomalacia
defects is a rapidly progressive
• The ulceration may be condition affecting the
shallow, but is commonly full thickness of the
deep cornea
XS. SCARS XF. XEROPHTHALMIC FUNDUS
• Healed sequelae of prior •The small white retinal lesions
described in some cases of vitamin
corneal disease related to A deficiency
vitamin A deficiency include
opacities or scars of varying •They may be accompanied by
constriction of the visual fields and
density (nebula, macula, will largely disappear within 2—4
leukoma), weakening and months in response to vitamin A
outpouching of the therapy
remaining corneal layers •Gambaran funduskopi “ fenomena
(staphyloma, and cendol”
descemetocele), and phthisis
bulbi.
Pemeriksaan Penunjang
• A serum retinol study is a costly • The serum retinol level may be
but direct measure using high- low during infection because of
performance liquid a transient decrease in the RBP.
chromatography. • A zinc level is useful because
• A value of less than 0.7 mg/L in zinc deficiency interferes with
children younger than 12 years
is considered low. RBP production.
• A serum RBP study • An iron panel is useful because
• easier to perform and less iron deficiency can affect the
expensive than a serum retinol metabolism of vitamin A.
study, because RBP is a protein • Albumin levels are indirect
and can be detected by an measures of vitamin A levels.
immunologic assay.
• RBP is also a more stable • Obtain a complete blood count
compound than retinol (CBC) with differential if
• However, RBP levels are less anemia, infection, or sepsis is a
accurate, because they are possibility.
affected by serum protein
concentrations and because
types of RBP cannot be
differentiated.
Therapy & Prevention
• Therapy :
- Day 1 : 100.000 IU im or 200.000 IU oral
- Day 2 : 100.000 IU im or 200.000 IU oral
- Day 14 / worsened / before discharge :
200.000 IU im / oral

• Prevention (every 6 months):


• < 6 months : 50.000 IU oral
• 6 – 12 months : 100.000 IU oral
• > 1 year : 200.000 IU oral
150. HORDEOLUM
• Peradangan supuratif kelenjar kelopak mata
• Infeksi staphylococcus pada kelenjar sebasea
• Gejala: kelopak bengkak dengan rasa sakit dan mengganjal, merah,
nyeri bila ditekan, ada pseudoptosis/ptosis akibat bertambah berat
kelopak
• Gejala
– nampak adanya benjolan pada kelopak mata bagian atas atau
bawah
– berwarna kemerahan.
– Pada hordeolum interna, benjolan akan nampak lebih jelas
dengan membuka kelopak mata.
– Rasa mengganjal pada kelopak mata
– Nyeri takan dan makin nyeri saat menunduk.
– Kadang mata berair dan peka terhadap sinar.
Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas
• 2 bentuk :
➢Hordeolum internum: infeksi kelenjar Meibom di dalam
tarsus. Tampak penonjolan ke daerah kulit kelopak, pus
dapat keluar dari pangkal rambut
➢Hordeolum eksternum: infeksi kelenjar Zeiss atau Moll.
Penonjolan terutama ke daerah konjungtiva tarsal

http://www.huidziekten.nl/zakboek/dermatosen/htxt/Hordeolum.htm

Hordeolum Eksterna Hordeolum Interna


Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas
• Pengobatan
• Self-limited dlm 1-2 mingu
• Kompres hangat selama sekitar 10-15 menit, 4x/hari
• Antibiotik topikal (salep, tetes mata), misalnya:
Gentamycin, Neomycin, Polimyxin B, Chloramphenicol
• Jika tidak menunjukkan perbaikan : Antibiotika oral
(diminum), misalnya: Ampisilin, Amoksisilin,
Eritromisin, Doxycyclin
• Insisi bila pus tidak dapat keluar
• Pada hordeolum interna, insisi vertikal terhadap margo
palpebra supaya tidak memotong kelenjar meibom lainnya
• Pada hordeolum eksterna, insisi horizontal supaya kosmetik
tetap baik
Diagnosis Banding
• Kalazion
– Inflamasi idiopatik, steril, dan kronik dari kelenjar Meibom
– Ditandai oleh pembengkakan yang tidak nyeri, muncul
berminggu-minggu.
– Dibedakan dari hordeolum oleh ketiadaan tanda-tanda inflamasi
akut
– Jika sangat besar, kalazion dapat menekan bola mata,
menyebabkan astigmatisma
• Blefaritis
– Radang kronik pada kelopak mata, disebabkan peradangan
kronik tepi kelopak mata (blefaritis anterior) atau peradangan
kronik kelenjar Meibom (blefaritis posterior)
– Gejala: kelopak mata merah, edema, nyeri, eksudat lengket,
epiforia, dapat disertai konjungtivitis dan keratitis
• Selulitis palpebra
– Infiltrat difus di subkutan dengan tanda-tanda radang akut,
biasanya disebabkan infeksi Streptococcus.

Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007.
151. KONJUNGTIVITIS VERNAL
• Nama lain:
– spring catarrh
– seasonal conjunctivitis
– warm weather conjunctivitis
• Etiologi: reaksi hipersensitivitas bilateral (alergen sulit
diidentifikasi)
• Epidemiologi:
– Dimulai pada masa prepubertal, bertahan selama 5-10 tahun
sejak awitan
– Laki-laki > perempuan
– Paling sering pada Afrika Sub-Sahara & Timur Tengah
– Temperate climate > warm climate > cold climate (hampir tidak
ada)

Vaughan & Asbury General Ophtalmology 17th ed.


• Gejala & tanda:
– Rasa gatal yang hebat,
dapat disertai fotofobia
– Sekret ropy
– Riwayat alergi pada
RPD/RPK
– Tampilan seperti susu pada
konjungtiva
– Gambaran cobblestone
(papila raksasa
berpermukaan rata pada
konjungtiva tarsal)
– Tanda Maxwell-Lyons
(sekret menyerupai benang
& pseudomembran
fibrinosa halus pada tarsal • Komplikasi:
atas, pada pajanan thdp
panas) • Blefaritis & konjungtivitis
– Bercak Trantas (bercak stafilokokus
keputihan pada limbus saat
fase aktif penyakit)
– Dapat terjadi ulkus kornea
superfisial
Vaughan & Asbury General Ophtalmology 17th ed.
Tatalaksana
• Self-limiting • Jangka panjang &
• Akut: prevensi sekunder:
• Steroid topikal (+sistemik • Antihistamin topikal
bila perlu), jangka pendek • Stabilisator sel mast
 mengurangi gatal Sodium kromolin 4%:
sebagai pengganti steroid
(waspada efek samping: bila gejala sudah dapat
glaukoma, katarak, dll.) dikontrol
• Vasokonstriktor topikal • Tidur di ruangan yang
• Kompres dingin & ice pack sejuk dengan AC
• Siklosporin 2% topikal
(kasus berat & tidak
responsif)
• Desensitisasi thdp
antigen (belum
menunjukkan hasil baik)

Vaughan & Asbury General Ophtalmology 17th ed.


Vaughn DG, Oftalmologi Umum, ed.14

152. Ablasio Retina


Funduskopi : adanya robekan
• Gejala & Tanda: retina, retina yang terangkat
• Fotopsia (kilatan cahaya) berwarna keabu-abuan, biasanya
 gejala awal yang ada fibrosis vitreous atau fibrosis
sering preretinal bila ada traksi.
• Defek lapang pandang 
bertambah seiring waktu
• Floaters

Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007.
Etiologi Ablasio Retina
• Rhegmatogenosa: • Serosa / hemoragik:
• Miopia • Hipertensi
• Trauma okular • Oklusi vena retina sentral
• Afakia • Vaskulitis
• Degenerasi lattice • Papilledema
• Traksi: • Tumor intraokular
• Retinopati DM
proliferatif
• Vitreoretinopati
proliferatif
• Retinopati prematuritas
• Trauma okular Ablasio
Rhegmatogenosa

Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology


17th ed. Philadephia: McGraw-Hill, 2007.
153. PTERIGIUM
• Pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva,
bersifat degeneratif dan invasif
• Terletak pada celah kelopak bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang meluas
ke daerah kornea
• Mudah meradang
• Etiologi: iritasi kronis karena debu, cahaya
matahari, udara panas
• Keluhan : asimtomatik, mata iritatif, merah,
mungkin terjadi astigmat (akibat kornea
tertarik oleh pertumbuhan pterigium), tajam
penglihatan menurun
• Tes sonde (-)  ujung sonde tidak kelihatan
pterigium
• Pengobatan : konservatif; Pada pterigium
derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien
dapat diberikan obat tetes mata kombinasi
antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7
hari. Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan
tindakan bedah
DERAJAT PTERIGIUM
• Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
• Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak
lebih dari 2 mm melewati kornea
• Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak
• melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal
(diameter pupil sekitar 3-4 mm)
• Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan
PTERIGIUM – DIAGNOSIS
BANDING
154. Ocular Foreign body
• An ocular foreign body :
• common condition, in which a small particle (such as a piece
of grit or small rust particle) becomes stuck on eye.
• Corneal foreign body  CA stuck on the eye ;
• sub-tarsal foreign body  the object is stuck under your lid
scratches to the surface of your cornea.
• Symptoms
• painful, red, watery and light sensitive and ↓ vision
• Subconjunctival hemorrhage
• Corneal laceration and abrasion  heal within 48 hours after
removal
• if CA is metal, a small ring of rust may form around it  a dark
spot on the white of eye and can cause a scar that may affect
vision
Management
• First aid
• Wash the eye with water or saline. Do not try to remove
a foreign body yourself.  Go straight to doctor
• Emergency departement
1. Local anaesthetic eye drops to numb the eye  pain
may return after the anaesthetic drops wear off, 20 to
60 minutes.
2. Remove the foreign body with a cotton bud or a small
sterile needle
3. Painkiller  PCT or ibuprofen
4. Antibiotic drops or oinment to prevent infection

www.moorfields.nhs.uk
Benda Asing di Konjungtiva
• Penatalaksanaan (menurut buku panduan
• Gejala yang ditimbulkan berupa nyeri, layanan primer IDI & emedicine)
mata merah dan berair, sensasi benda • Berikan tetes mata pantokain 2% sebanyak
1-2 tetes pada mata yang terkena benda
asing, dan fotofobia. asing.
• Faktor Risiko: Pekerja di bidang • Gunakan kaca pembesar (lup) dalam
pengangkatan benda asing.
industri yang tidak memakai kacamata • Periksa lokasi benda asing dengan meminta
pelindung, seperti: pekerja gerinda, pasien melihat ke atas, ke bawah, kiri, dan
pekerja las, pemotong keramik, kanan
pekerja yang terkait dengan bahan- • Periksa inferior conjunctival cul-de-sac
bahan kimia (asam-basa), dll. dengan meminta pasien melihat ke atas
ketika pemeriksa membuka kelopak mata
• Pemeriksaan Fisik bawah
• Biasanya visus normal; • Untuk memeriksa superior conjunctival cul-
de-sac, lakukan eversi kelopak mata atas
• Ditemukan injeksi konjungtiva dengan kapas lidi atau paper clip (seperti
tarsal dan/atau bulbi gambar)
• Angkat benda asing dengan menggunakan
• Pada konjungtiva tarsal superior lidi kapas yang lembab atau jarum suntik
dan/atau inferior, dan/atau ukuran 23G.
konjungtiva bulbi ditemukan • Arah pengambilan benda asing dilakukan
benda asing. dari tengah ke tepi.
• Oleskan lidi kapas yang dibubuhkan betadin
pada tempat bekas benda asing.
• Kemudian, berikan antibiotik topikal (salep
atau tetes mata) seperti kloramfenikol tetes
mata, 1 gtt setiap 2 jam selama 2 hari.
Corneal Foreign Body
• If a corneal foreign body is discovered, it must be
removed to prevent permanent scarring and vision
loss. Saline irrigation is often successful.
• If irrigation is unsuccessful, a topical anesthetic
should be administered and a cotton swab gently
swept over the cornea.
• If the foreign body is superficial, irrigate the eye to
moisten the cornea and attempt to remove the
foreign body by using a gentle rolling motion with
a wetted cotton-tipped applicator.
• Take care not to apply pressure, which may push the
foreign body deeper into the cornea, or scrape, which
may create a large corneal abrasion.
• If swabbing is unsuccessful, foreign body removal
using an eye spud or 25-gauge needle should be
done by a trained, experienced physician.
Emedicine & AAFP
155. Astigmatisme
• SIMPLE ASTIGMATISM
– When one of the principal meridians is focused on the
retina and the other is not focused on the retina (with
accommodation relaxed)
– Terdiri dari
• astigmatisme miopikus simpleks
• astigmatisme hipermetrop simpleks
• COMPOUND ASTIGMATISM
– When both principal meridians are focused either in front or
behind the retina (with accommodation relaxed)
– Terdiri dari
• astigmatisme miopikus kompositus
• astigmatisme hipermetrop kompositus
• MIXED ASTIGMATISM
– When one of the principal meridians is focused in front of
the retina and the other is focused behind the retina (with
accommodation relaxed)
TIPS & TRIK
• Rumus hapalan ini bisa digunakan untuk menentukan jenis jenis
astigmatisme berdasarkan kedudukannya di retina kalau disoal
diberikan rumus astigmatnya sbb
1. sferis (-) silinder (-)  pasti miop kompositus
2. Sferis (+); silinder (+)  pasti hipermetrop kompositus
3. Sferis (tidak ada); silinder (-) pasti miop simpleks
4. Sferis (tidak ada); silinder (+)  pasti hipermetrop simpleks

• Agak sulit dijawab jika di soal diberikan rumus astigmat sbb:


1. Sferis (-) silinder (+)
2. Sferis (+) silinder (-)
 BELUM TENTU astigmatisme mikstus!!
Harus melalui beberapa tahap penjelasan untuk menemui
jawabannya
cara menentukan jenis astigmatisme berdasarkan kedudukannya di
retina kalau disoal diberi rumus S(-) Cyl(+) atau S(+) Cyl(-)

• PERTAMA, rumus kacamata astigmat adalah

SFERIS ± X SILINDER ±Y x AKSIS Z

• Sferis tidak harus selalu ada, kadang jika tidak ada,


nilai sferis akan dihilangkan penulisannya menjadi
C (silinder) ± .… x …..°
atau menjadi
pl (plano) C (silinder) ± …. x …..°
KEDUA, TRANSPOSISI
• Transposisi itu artinya: notasi silinder bisa ditulis dalam nilai minus atau
plus
• Rumus ini bisa ditransposisikan (dibolak-balik) tetapi maknanya sama.
Cara transposisi:
• To convert plus cyl to minus cyl:
– Add the cylinder power to the sphere power
– Change the sign of the cyl from + to –
– Add 90 degrees to the axis is less than 90 or subtract 90 if the original axis is greater
than 90.
• To convert minus cyl to plus cyl:
– add the cylinder power to the sphere
– Change the sign of the cylinder to from - to +
– Add 90 to the axis if less than 90 or subtract if greater than 90

• Misalkan pada soal OD ∫-4,00 C-1,00 X 1800minus cylinder notation yang


jika ditransposisi maknanya sama dengan ∫-5,00 C+1,00 X 900 (plus cylinder
notation)
KETIGA, CARA MEMBACA
• OD ∫-4,00 C-1,00 X 1800 artinya adalah kekuatan
lensa pada aksis 180 adalah -4.00 D. Kemudian
kita transposisikan menjadi ∫-5,00 C+1,00 X 900
artinya kekuatan lensa pada 90 adalah -5,00 D

• OS ∫-5,00 C-1,00 X 900 artinya adalah kekuatan


lensa pada aksis 90 adalah -5.00 D dan Kemudian
kita transposisikan menjadi ∫-6,00 C+1,00 X 1800
artinya kekuatan lensa pada 180 adalah -6,00 D
156. Perdarahan subkonjungtiva
• Perdarahan • Perdarahan
subkonjungtiva adalah subkonjungtiva akan
perdarahan akibat hilang atau diabsorpsi
rupturnya pembuluh dalam 1- 2 minggu
darah dibawah lapisan tanpa diobati.
konjungtiva yaitu • Pengobatan penyakit
pembuluh darah yang mendasari bila
konjungtivalis atau ada.
episklera.
• Dapat terjadi secara
spontan atau akibat
trauma.
Subconjunctival hemorrhage
• Subconjunctival hemorrhage (or subconjunctival
haemorrhage) also known as hyposphagma, is
bleeding underneath the conjunctiva.
• A subconjunctival hemorrhage initially appears bright-
red underneath the transparent conjunctiva.
• Later, the hemorrhage may spread and become green
or yellow, like a bruise.
• In general a subconjunctival hemorrhage is a painless
and harmless condition
• however, it may be associated with high blood
pressure, trauma to the eye, or a base of skull fracture
if there is no posterior border of the hemorrhage
visible.
Subconjunctival hemorrhage

Causes Management
• Eye trauma • Self-limiting that requires
• Whooping cough or other no treatment in the
extreme sneezing or coughing absence of infection or
• Severe hypertension significant trauma.
• Postoperative subconjunctival • Artificial tears may be
bleeding
• Acute hemorrhagic
applied four to six times a
conjunctivitis (picornavirus) day.
• Leptospirosis • Cold compress in the 1st
• Increased venous pressure hour may stop the
(straining, vomiting, choking, bleeding
or coughing)
157. Ulkus kornea
ANAMNESIS

MATA MERAH MATA MERAH MATA TENANG


MATA TENANG VISUS
VISUS NORMAL VISUS TURUN VISUS TURUN
TURUN MENDADAK
• struktur yang PERLAHAN
mengenai media
bervaskuler 
refraksi (kornea, • uveitis posterior • Katarak
sklera konjungtiva •
uvea, atau perdarahan vitreous • Glaukoma
• tidak • Ablasio retina • retinopati
seluruh mata)
menghalangi • oklusi arteri atau vena penyakit sistemik
media refraksi retinal • retinitis
• neuritis optik pigmentosa
• Keratitis
• Konjungtivitis murni • neuropati optik akut • kelainan refraksi
• Keratokonjungtivitis
• Trakoma karena obat (misalnya
• Ulkus Kornea
• mata kering, etambutol), migrain,
• Uveitis
tumor otak
xeroftalmia • glaukoma akut
• Pterigium • Endoftalmitis
• Pinguekula • panoftalmitis
• Episkleritis
• skleritis
Ulkus kornea
Konjungtivitis Keratitis Ulkus kornea Uveitis
Visus N <N <N N/<N
Sakit - ++ ++ +/++
Fotofobia - +++ - +++
Eksudat +/+++ -/+++ ++ -
Sekresi + - + +
Etiologi Bakteri/jamur/virus/a Bakteri/jamur/virus Infeksi, bahan kimia, Reaksi
lergi /alergi trauma, pajanan, imunologik
radiasi, sindrom lambat/dini
sjorgen, defisiensi
vit.A, obat-obatan,
reaksi
hipersensitivitas,
neurotropik
Tatalaksana Obat sistemik/topikal Obat Obat sesuai etiologi Steroid
sesuai etiologi sistemik/topikal
sesuai etiologi

Ilmu Penyakit Mata, Sidarta Ilyas, 2005


ULKUS KORNEA
• Gejala Subjektif
• Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva
• Ulkus kornea adalah hilangnya • Sekret mukopurulen
sebagian permukaan kornea • Merasa ada benda asing di mata
akibat kematian jaringan kornea • Pandangan kabur
• Mata berair
• ditandai dengan adanya infiltrat • Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi
supuratif disertai defek kornea ulkus
bergaung, dan diskontinuitas • Silau
jaringan kornea yang dapat • Nyeri
terjadi dari epitel sampai stroma. • infiltat yang steril dapat menimbulkan
sedikit nyeri, jika ulkus terdapat pada
• Etiologi: Infeksi, bahan kimia, perifer kornea dan tidak disertai dengan
robekan lapisan epitel kornea.
trauma, pajanan, radiasi, sindrom
sjorgen, defisiensi vit.A, obat- • Gejala Objektif
obatan, reaksi hipersensitivitas, • Injeksi siliar
neurotropik • Hilangnya sebagian jaringan kornea, dan
adanya infiltrat
• Hipopion
ULKUS KORNEA
• Berdasarkan lokasi , dikenal ada 2: Penatalaksanaan :
1. Ulkus kornea sentral – harus segera ditangani oleh
spesialis mata
– Ulkus kornea bakterialis – Pengobatan tergantung
– Ulkus kornea fungi penyebabnya, diberikan
– Ulkus kornea virus obat tetes mata yang
mengandung antibiotik,
– Ulkus kornea acanthamoeba anti virus, anti jamur,
2.Ulkus kornea perifer – sikloplegik
– Ulkus marginal – Mengurangi reaksi
peradangan dengan steroid.
– Ulkus mooren (ulkus – Berikan analgetik jika nyeri
serpinginosa kronik/ulkus – Jangan menggosok-gosok
roden) mata yang meradang
– Ulkus cincin (ring ulcer) – Mencegah penyebaran
infeksi dengan mencuci
tangan
Ulkus kornea Bakterial
• Ulkus kornea pneumokokal • Ulkus kornea stafilokokus
• Streptokokus pneumonia • Ulkus sering indolen, mungkin disertai
sedikit infiltrat dan hipopion
• Muncul 24-48 jam setelah
inokulasi pd kornea yg abrasi • Ulkus seringkali superfisial
• Khas sebagai ulkus yang • Obat: vankomisin
menjalar dari tepi ke arah
tengah kornea (serpinginous). • Ulkus kornea pseudomonas
• Ulkus bewarna kuning keabu- • Pseudomonas aeruginosa
abuan berbentuk cakram
dengan tepi ulkus yang • Awalnya berupa infiltrat kelabu/ kuning
menggaung. di tempat yang retak
• Ulkus cepat menjalar ke dalam • Terasa sangat nyeri
dan menyebabkan perforasi • Menyebar cepat ke segala arah krn
kornea, karena eksotoksin adanya enzim proteolitik dr organisme
yang dihasilkan oleh • Infiltrat dan eksudat mungkin berwarna
streptokok pneumonia. hijau kebiruan
• Efek merambat  ulkus • Berhubungan dengan penggunaan soft
serpiginosa akut lens
• Obat: mofifloxacin, • Obat: mofifloxacin, gatifloxacin,
gatifloxacin, cefazolin siprofloksasin, tobramisin, gentamisin
Keratitis/ulkus Fungal
• Gejala  nyeri biasanya dirasakan diawal, namun lama-
lama berkurang krn saraf kornea mulai rusak.
• Pemeriksaan oftalmologi :
• Grayish-white corneal infiltrate with a rough, dry texture and
feathery borders; infiltrat berada di dalam lapisan stroma
• Lesi satelit, hipopion, plak/presipitat endotelilal
• Bisa juga ditemukan epitel yang intak atau sedikit meninggi di atas
infiltrat stroma
• Faktor risiko meliputi :
• Trauma mata (terutama akibat tumbuhan)
• Terapi steroid topikal jangka panjang
• Preexisting ocular or systemic immunosuppressive diseases

Sumber: American Optometric Association. Fungal Keratitis. / Vaughan Oftalmologi Umum 1995.
Keratitis/ ulkus Fungal
• Meskipun memiliki karakteristik, terkadang sulit membedakan
keratitis fungal dengan bakteri.
• Namun, infeksi jamur biasanya localized, dengan “button appearance”
yaitu infiltrat stroma yang meluas dengan ulserasi epitel relatif kecil.
• Pd kondisi demikian sebaiknya diberikan terapi antibiotik
sampai keratitis fungal ditegakkan (mis. dgn kultur, corneal
tissue biopsy).

Stromal infiltrate
Ulkus kornea Jamur

Lesi satelit (panah merah) pada


keratitis jamur

Keratitis fungi bersifat indolen, dengan infiltrat kelabu, sering dengan hipopion,
peradangan nyata pada bola mata, ulserasi superfisial, dan lesi-lesi satelit (umumnya
infiltrat di tempat-tempat yang jauh dari daerah utama ulserasi).

Vaughan DG, dkk. Oftalmologi Umum Edisi 14. 1996.


158. RETINOPATI HIPERTENSI
• Kelainan retina dan pembuluh darah retina akibat tekanan darah tinggi  arteri
besarnya tidak teratur, eksudat pada retina, edema retina, perdarahan retina
• Kelainan pembuluh darah dapat berupa : penyempitan umum/setempat, percabangan
yang tajam, fenomena crossing, sklerose
• Pada retina tampak :
➢ warna pembuluh darah lebih pucat
➢ kaliber pembuluh lebih kecil
➢ akibat sklerose (refleks copper wire/silver wire, lumen pembuluh irreguler, fenomena crossing)
➢ perdarahan atau eksudat retina (gambaran seperti bintang, cotton wool patches)
➢ perdarahan vena (flame shaped)

Ilmu Penyakit Mata, Sidarta Ilyas, 2005


Retinopati Hipertensi
• Pemeriksaan rutin:
➢ Pemeriksaan tajam
penglihatan
➢ Pemeriksaan biomikroskopi
➢ Pemeriksaan fundus
• Pemeriksaan penunjang:
➢ Foto fundus
➢ Fundus Fluorescein
Angiography
• Tatalaksana :
➢ Kontrol tekanan darah dan
faktor sistemik lain (konsultasi
penyakit dalam)
➢ Bila keadaan lanjut terjadi
pendarahan vitreous dapat
dipertimbangkan Vitrektomi.

Panduan Praktik Klinik RSCM Kirana


• Dinding arteriol normalny tidak terlihat;
arteri terlihat sebagai “erythrocyte
column” / “pipa merah” dengan “central • Penebalan yg progresif
light reflex” pada funduskopi  terjadi akan menutup gambaran
penebalan dinding pada retinopati HT  “pipa merah” sepenuhnya
“central light reflex” lebih difus dan lebar menjadi silver wire
memberikan gambaran dinding arteriol yg
kekuningan/copper wire appearance.
• Bersamaan dengan itu,
terjadi fenomena
arteriovenous crossing (AV
crossing)  vena yang
berjalan bersilangan di
bawah arteri yang
mengalami arterosklerosis
mengalami deformitas,
berbelok, bulging,
menyempit seperti jam
pasir, atau tampak seperti
terputus akibat penekanan
dari arteri.
Schema of ophthalmoscopic grading of arteriolar sclerosis. (Scheie HG:
Evaluation of ophthalmoscopic changes of hypertension and arteriolar
sclerosis. Arch Ophthalmol 49:117, 1953) http://www.oculist.net/downaton502/prof/ebook/duanes/pages/v3/v3c013.html

http://www.oculist.net/downaton502/prof/ebook/duanes/pages/v3/ch013/005f.html
http://www.theeyepractice.com.au/optometrist-sydney/high_blook_pressure_and_eye_disease
IKK
159. TEKNIK SAMPLING

Teknik
sampling
yang paling
baik
160. MONITORING & EVALUASI
PROGRAM KESMAS (LOGIC MODEL)
OUTCOMES/I
INPUTS ACTIVITIES OUTPUTS
M PA C T S

what is produced the changes or


what resources go what activities the
through those benefits that result
into a program program undertakes
activities from the program

e.g. increased skills/


e.g. number of knowledge/
e.g. development of
e.g. money, staff, booklets produced, confidence, leading in
materials, training
equipment workshops held, longer-term to
programs
people trained promotion, new job,
etc.

OUTCOME VS IMPACT
Indikator outcome dan impact sering kali disamakan atau dijadikan sebagai satu
kesatuan. Namun pada umumnya indikator outcome lebih menilai luaran jangka
pendek dan untuk wilayah setempat, sedangkan indikator impact lebih menilai
luaran jangka panjang dan dampak untuk wilayah yang lebih luas. Outcome
bersifat dinamis (lebih mudah berubah dibandingkan impact).
161. SISTEM KESEHATAN DAERAH
• Sistem Kesehatan Daerah (SKD) adalah merupakan implementasi sistem
Kesehatan Nasional didaerah, yaitu suatu tatanan yang menghimpun berbagai
upaya pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta di daerah yang secara
terpadu dan saling mendukung, guna menjamin tercapainya derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya dan pada hakekadnya merupakan wujud sekaligus
metode penyelenggaraan kesehatan daerah.

• Pentingnya SKD: agar kondisi dan kebutuhan spesifik daerah dan masyarakat
akan dapat lebih terakomodir.

• SKD juga merupakan ruang sekaligus bentuk pengakuan terhadap potensi


pelaku dibidang kesehatan yang dimiliki daerah (pemerintah, masyarakat,
swasta) yang dengan SKD ini diikat dalam komitmen dan tujuan yang sama
sebagaimana prinsip dasar SKN, yakni : Perikemanusiaan; Hak Azasi Manusia;
Adil dan merata; Pemberdayaan dan kemandirian Masyarakat; Kemitraan;
Pengutamaan dan manfaat; Tata kepemerintahan yang baik.
162. UJI HIPOTESIS
TABEL UJI HIPOTESIS
VARIABEL
U J I S TAT I S T I K U J I A LT E R N AT I F
INDEPENDEN DEPENDEN

Fisher (digunakan untuk tabel


Kategorik Kategorik Chi square 2x2)*
Kolmogorov-Smirnov
(digunakan untuk tabel bxk)*

Kategorik T-test independen Mann-Whitney**


Numerik
(2 kategori)
T-test berpasangan Wilcoxon**

One Way Anova (tdk


Kruskal Wallis**
Kategorik berpasangan)
Numerik
(>2 kategori) Repeated Anova
Friedman**
(berpasangan)
Numerik Numerik Korelasi Pearson Korelasi Spearman**
Regresi Linier
Keterangan:
* : Digunakan bila persyaratan untuk uji chi square tidak terpenuhi
**: Digunakan bila distribusi data numerik tidak normal
163. DESAIN PENELITIAN
Case report

Case series
Deskriptif
Memberi deskripsi Studi ekologi
tentang kejadian
penyakit
Cross
Desain studi
sectional

Observasional Hanya melakukan pengamatan

Analitik
Memberikan perlakuan kepada
Mencari hubungan antara Eksperimental subyek penelitian (misalnya obat)
suatu pajanan dengan
penyakit
Desain Penelitian Analitik
164. BILA RUANG RAWAT PESERTA
BPJS PENUH
• Dalam hal ruang rawat inap yang menjadi hak peserta penuh, peserta
dapat dirawat di kelas perawatan satu tingkat lebih tinggi paling lama 3
(tiga) hari. Selanjutnya dikembalikan ke ruang
perawatan yang menjadi haknya. Bila masih belum ada ruangan sesuai
haknya, maka peserta ditawarkan untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan
lain yang setara atau selisih biaya tersebut menjadi tanggung jawab
fasilitas kesehatan yang bersangkutan.

• Apabila kelas sesuai hak peserta penuh dan kelas satu tingkat diatasnya
penuh, peserta dapat dirawat di kelas satu tingkat lebih rendah paling
lama 3 (tiga) hari dan kemudian dikembalikan ke
kelas perawatan sesuai dengan haknya. Apabila perawatan di kelas
yang lebih rendah dari haknya lebih dari 3 (tiga) hari, maka BPJS
Kesehatan membayar ke FKRTL sesuai dengan kelas dimana
pasien dirawat.

http://www.pasienbpjs.com/2016/08/ketentuan-naik-kelas-dan-turun-kelas-perawatan.html
165. FIVE LEVEL OF PREVENTION
• Dilakukan pada orang sehat
Health promotion • Promosi kesehatan
• Contoh: penyuluhan

• Dilakukan pada orang sehat


Specific • Mencegah terjadinya kesakitan
protection • Contoh: vaksinasi, cuci tangan pakai sabun

• Dilakukan pada orang sakit


Early diagnosis & • Tujuannya kuratif
prompt treatment • Contoh: Pengobatan yang tepat pada pasien TB

• Dilakukan pada orang sakit


Disability • Membatasi kecacatan
limitation • Contoh: pasien neuropati DM latihan senam kaki

• Dilakukan pada orang sakit dengan kecacatan


Rehabilitation • Optimalisasi fungsi tubuh yang masih ada
• Contoh: latihan berjalan pada pasien pasca stroke
166. UJI HIPOTESIS
TABEL UJI HIPOTESIS
VARIABEL
U J I S TAT I S T I K U J I A LT E R N AT I F
INDEPENDEN DEPENDEN

Fisher (digunakan untuk tabel


Kategorik Kategorik Chi square 2x2)*
Kolmogorov-Smirnov
(digunakan untuk tabel bxk)*

Kategorik T-test independen Mann-Whitney**


Numerik
(2 kategori)
T-test berpasangan Wilcoxon**

One Way Anova (tdk


Kruskal Wallis**
Kategorik berpasangan)
Numerik
(>2 kategori) Repeated Anova
Friedman**
(berpasangan)
Numerik Numerik Korelasi Pearson Korelasi Spearman**
Regresi Linier
Keterangan:
* : Digunakan bila persyaratan untuk uji chi square tidak terpenuhi
**: Digunakan bila distribusi data numerik tidak normal
167. PEMBERIAN SPONSORSHIP
KEPADA DOKTER

https://acch.kpk.go.id/images/ragam/headline/pdf/Pemaparan-dan-pembahasan-permenkes-58-2016-dengan-KPK.pdf
168. HAK PASIEN
• Hak-hak pasien diatur dalam pasal 52 UU No.
29/2004 adalah:
– mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang
tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam
pasal 45 ayat (3);
– meminta pendapat dokter atau dokter lain;
– mendapatkan pelayanan sesuai dengan
kebutuhan medis;
– menolak tindakan medis;
– mendapatkan isi rekam medis.
169. PELANGGARAN DALAM
PELAYANAN KEDOKTERAN
• Pelanggaran dapat berupa:
– Pelanggaran etik
– Pelanggaran disiplin
– Pelanggaran hukum (pidana dan perdata)
Pelanggaran Etik
• Dasar: Kode Etik Dokter Indonesia (KODEKI), yang berisi kewajiban
umum, kewajiban terhadap pasien, dan kewajiban terhadap teman
sejawat.

• Alur: Laporan dari institusi pelayanan  komite etik di institusi


pelayanan  MKEK  ditentukan sanksi ringan/ sedang/ berat

• Sanksi dapat berupa : Penasehatan, peringatan lisan, peringatan


tertulis, pembinaan perilaku,reschooling (pendidikan/pelatihan
ulang), atau pemecatan sementara sebagai anggota IDI yang diikuti
dengan mengajukan saran tertulis kepada kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota untuk mencabut izin praktek sementara.

PEDOMAN ORGANISASI DAN TATA LAKSANA KERJA MAJELIS KEHORMATAN ETIK KEDOKTERAN, IDI, 2008
Pelanggaran Disiplin
• Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran
terhadap aturan-aturan dan/atau ketentuan
penerapan keilmuan, yang pada hakikatnya
dapat dikelompokkan dalam 3 hal, yaitu :
– Melaksanakan praktik kedokteran dengan tidak
kompeten.
– Tugas dan tanggung jawab profesional pada
pasien tidak dilaksanakan dengan baik.
– Berperilaku tercela yang merusak martabat dan
kehormatan profesi kedokteran.
Pelanggaran Disiplin
• Alur: delik aduan  MKDKI  sanksi.

• Sanksi Disiplin (Pasal 69 ayat 3, UUPK):


1.Pemberian peringatan tertulis
2.Rekomendasi pencabutan STR atau SIP
3.Kewajiban mengikuti pendidikan atau
pelatihan di institusi pendidikan kedokteran
Pelanggaran Hukum
• Dokter adalah bagian dari komunitas (publik)
sehingga berlaku kepadanya HUKUM PUBLIK.

• Hukum publik dapat berupa pidana atau


perdata.
170. Good Samaritan dalam Kasus
Kegawatdaruratan
• Di USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam
peraturan perundang-undangan pada hampir seluruh
negara bagian. Doktrin tersebut terutama diberlakukan
dalam fase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak yang
secara sukarela beritikad baik menolong seseorang dalam
keadaan gawat darurat. Dengan demikian seorang pasien
dilarang menggugat dokter atau tenaga kesehatan lain
untuk kecederaan yang dialaminya.

• Dua syarat utama doktrin Good Samaritan yang harus


dipenuhi adalah:
– Kesukarelaan pihak penolong.
– Itikad baik pihak penolong.
171. Perlukaan Akibat Kekerasan

PELBAGAI JENIS KEKERASAN


o KEKERASAN BERSIFAT MEKANIK
• KEKERASAN TUMPUL
• KEKERASAN TAJAM
• TEMBAKAN SENJATA API

o KEKERASAN BERSIFAT ALAM


• LUKA AKIBAT API
• LUKA AKIBAT LISTRIK

o KEKERASAN BERSIFAT KIMIAWI


LUKA AKIBAT ASAM KERAS
LUKA AKIBAT BASA KUAT
Luka Akibat Kekerasan Tumpul
• Luka memar: Tampak sebagai bercak,
biasanya berbentuk bulat/lonjong. Luka
memar yang baru terjadi tampak sebagai
bercak biru kemerahan dan agak menimbul.
Proses penyembuhan menyebabkan warna
bercak berubah menjadi kebiruan, kehijauan,
kecoklatan, kekuningan dan akhirnya hilang
saat terjadi penyembuhan sempurna dalam 7-
10 hari.
Luka Akibat Kekerasan Tumpul
• Luka lecet tekan: Tampak sebagai
bagian kulit yang sedikit
mencekung, berwarna kecoklatan.
Bentuknya memberikan gambaran
bentuk benda penyebab luka.

• Luka lecet geser: Bagian yang


pertama bergeser memberikan
batas yang lebih rata, dan saat
benda tumpul meningalkan kulit
yang tergeser berbatas tidak rata.
Tampak goresan epidermis yang
berjalan sejajar.
Luka Akibat Kekerasan Tumpul
• Luka robek: Luka terbuka tepi tidak rata, pada
salah satu sisi dapat ditemukan jejas berupa
luka lecet tekan.
172. ISI REKAM MEDIS
• Menurut PERMENKES No:
269/MENKES/PER/III/2008 yang dimaksud rekam
medis adalah berkas yang berisi catatan dan
dokumen antara lain identitas pasien, hasil
pemeriksaan, pengobatan yang telah diberikan,
serta tindakan dan pelayanan lain yang telah
diberikan kepada pasien. Catatan merupakan
tulisan-tulisan yang dibuat oleh dokter atau
dokter gigi mengenai tindakan-tindakan yang
dilakukan kepada pasien dalam rangka palayanan
kesehatan.
173. Luka Akibat Kekerasan Tajam
• Luka tusuk: Akibat kekerasan tajam yang
mengenai kulit dengan arah kekerasan tegak
terhadap permukaan kulit. Tepi luka rata.
– Lebar luka menggambarkan lebar pisau yang
digunakan.
– Karena elastisitas kulit, dalamnya luka tidak
menggambarkan panjangnya pisau

• Luka sayat: Akibat kekerasan tajam yang bergerak


k.l sejajar dengan permukaan kulit. Panjang luka
jauh melebihi dalamnya luka.
Luka Akibat Kekerasan Tajam
• Luka bacok: Akibat kekerasan tajam dengan
bagian “mata” senjata yang mengenai kulit
dengan arah tegak. Kedua sudut luka lancip
dengan luka yang cukup dalam.
174. Kejahatan Susila
• “Kekerasan seksual didefinisikan sebagai perilaku
seksual, percobaan tindakan seksual, komentar
atau perilaku seksual apapun yang tidak
diinginkan, atau tindakan memperjualbelikan
seksualitas wanita menggunakan paksaan,
ancaman atau kekerasan fisik, yang dapat
dilakukan oleh siapapun dengan hubungan
apapun dengan korban, dalam kondisi apapun,
termasuk namun tidak terbatas pada lingkungan
rumah maupun pekerjaan.” (WHO)

Guidelines for medicolegal care for victims of sexual violence. WHO.


Sexual Assault in Men
• Less frequent than women
• Men most commonly experience sexual
violence in the form of:
– receptive anal intercourse;
– forced masturbation of the perpetrator;
– receptive oral sex;
– forced masturbation of the victim.

Guidelines for medicolegal care for victims of sexual violence. WHO.


Medical-Forensic Examination for
Sexual Violence Cases:
• an initial assessment, including • collection of forensic specimens
obtaining informed consent • labelling, packaging and
• A medical history, including an transporting of forensic
account of the events described specimens to maintain the chain
as sexual violence of custody of the evidence
• “top-to-toe” physical • therapeutic opportunities
examination • arranging follow-up care
• detailed genito-anal • storage of documentation
examination • provision of a medico-legal
• recording and classifying injuries report
• collection of indicated medical
specimens for diagnostic
purposes

Guidelines for medicolegal care for victims of sexual violence. WHO.


Physical Examination
• General precautions for examiner
• Inspect: general appearance,
demeanour and mental functioning
• Vital signs, head to toe examination,
including genitoanal area
• Note and describe in detail any physical
injuries, use body maps to indicate
location and size of injury 
photograph if possible
• Allow family member/friend/chaperone
to accompany the patient as she/he
wishes
• Inform the patient about what you plan
to do and ask for permission
throughout the physical examination Head to toe examination: pemeriksaan
bagian tubuh sesuai urutan angka dan
searah jarum jam

Guidelines for medicolegal care for victims of sexual violence. WHO.


Genitoanal Examination
• Examination of external areas of the genital region, including thighs
and buttocks.
• Swab of external genitalia should be done before any digital
exploration or speculum examination.
• A speculum examination to inspect vaginal walls for signs of injury.
If not conducted  collect blind vaginal swab.
• Genitalia examination is usually done with patient in lithotomy
position, left lateral position, or prone knee-chest position.
• Anal examination usually easier with patient in left lateral position.
• Digital rectal examinations are recommended if there is a reason to
suspect that a foreign object has been inserted in the anal canal,
and should be performed prior to a proctoscopy or anoscopy.
• Proctoscopy need only be used in cases of anal bleeding or severe
anal pain post-assault, or if the presence of a foreign body in the
rectum is suspected.

Guidelines for medicolegal care for victims of sexual violence. WHO.


Interpretation of Anogenital Findings
(Adams Classification, 2015)
Interpretation of
Anogenital Findings
(Adams
Classification, 2015)
Genitoanal injuries related to penetration
• The likelihood and extent of any resultant injuries will
depend on:
– the state of the tissues (i.e. size, lubrication, durability);
– size and characteristics of the penetrating object;
– the amount of force used;
– degree of relaxation in the pelvic and perineal musculature;
– the position of the perpetrator and angle of penetration.
• The posterior fourchette, the labia minora and majora, the
hymen and the perianal folds are the most likely sites for
injury
• Abrasions, bruises and lacerations are the most common
forms of injury

Guidelines for medicolegal care for victims of sexual violence. WHO.


Genitoanal injuries related to penetration

Guidelines for medicolegal care for victims of sexual violence. WHO.


Collection of Specimens

Guidelines for medicolegal care for victims of sexual violence. WHO.


OBSTETRI &
GINEKOLOGI
175. Kehamilan Ektopik Terganggu
• Kehamilan yang terjadi
diluar kavum uteri

• Gejala/Tanda:
– Riwayat terlambat
haid/gejala & tanda hamil
– Akut abdomen
– Perdarahan pervaginam
(bisa tidak ada)
– Keadaan umum: bisa baik
hingga syok
– Kadang disertai febris
176. Kanker Serviks: Diagnostik

• Deteksi Lesi Pra Kanker


– Pelayanan Primer: IVA, VILI (Visual inspection with Lugol's
iodine (VILI), a.k.a Schiller's test), sitologi pap smear
– Pelayanan Sekunder: Liquid base cytology
– Pelayanan Tersier: DNA HPV

• Diagnostik
– Pelayanan primer: anamnesis dan pemeriksaan fisik
– Pelayanan Sekunder: kuret endoserviks, sistoskopi, IVP,
foto toraks dan tulang, konisasi, amputasi serviks
– Pelayanan Tersier: Proktoskopi

Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks, Komite Penanggulangan Kanker (KPKN) 2015
Deteksi Kanker Serviks: IVA
Metode Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA)
• Pemeriksaan oleh
dokter/bidan/paramedik terhadap leher
rahim yang telah diberi asam
asetat/asam cuka 3-5% secara inspekulo
dengan mata telanjang

• Lesi prakanker jaringan ektoserviks rahim


yang diolesi larutan asam asetoasetat
(asam cuka)  berubah warna menjadi
putih (acetowhite)

• Bila ditemukan lesi makroskopis yang


dicurigai kanker, pengolesan asam asetat
tidak dilakukan dan pasien segera dirujuk
ke sarana yang lebih lengkap

• Pemeriksaan IVA mempunyai


kemampuan yang hampir sama dengan
pemeriksaan sitologi dalam mendeteksi
lesi prakanker serviks
177. Ruptur uteri
• Ruptura uteri atau robeknya dinding rahim terjadi akibat
terlampauinya daya regang miometrium. Pada bekas seksio sesarea,
risiko terjadinya ruptura uteri lebih tinggi.
• Diagnosis
– Perdarahan intraabdominal, dengan atau tanpa perdarahan
pervaginam
– Nyeri perut hebat (dapat berkurang setelah ruptura terjadi)
– Syok atau takikardia
– Adanya cairan bebas intraabdominal
– Hilangnya gerak dan denyut jantung janin
– Bentuk uterus abnormal atau konturnya tidak jelas
– Dapat didahului oleh lingkaran konstriksi (Bandl’s ring)
– Nyeri raba/tekan dinding perut
– Bagian-bagian janin mudah dipalpasi
Ruptur Uteri: Gejala & Penemuan Klinis
– Anamnesis & Inspeksi: Kesakitan, napas
dangkal & cepat,takikardia, muntah ec
rangsangan peritoneum, syok, kontraksi
uterus hilang, defans muskular

– Palpasi: Krepitasi pada kulit perut


(emfisema subkutan), teraba bagian
janin langsung dibawah kulit perut, nyeri
tekan perut, Ligamentum rotundum
teraba seperti kawat listrik

– Auskultasi: DJJ sulit terdengar/ tidak


terdengar

– Pemeriksaan Dalam: Robekan dinding


rahim teraba  teraba organ
Tatalaksana Umum
– Berikan oksigen.
– Perbaiki kehilangan volume darah dengan pemberian infus cairan intravena
(NaCl 0,9% atau Ringer Laktat) sebelum tindakan pembedahan.
– Jika kondisi ibu stabil, lakukan seksio sesarea untuk melahirkan bayi dan
plasenta.

Tatalaksana Khusus
– Jika uterus dapat diperbaiki dengan risiko operasi lebih rendah daripada
histerektomi dan tepi robekan uterus tidak nekrotik, lakukan reparasi uterus
(histerorafi) . Tindakan ini membutuhkan waktu yang lebih singkat dan
menyebabkan kehilangan darah yang lebih sedikit dibanding histerektomi.
– Jika uterus tidak dapat perbaiki, lakukan histerektomi subtotal. Jika robekan
memanjang hingga serviks dan vagina, histerektomi total mungkin
diperlukan
178. Emesis Gravidarum
• Emesis gravidarum (nausea and vomiting of
pregnancy /NVP)
– NVP should only be diagnosed when onset is in the first
trimester of pregnancy and other causes of nausea and
vomiting have been excluded.
– Nausea and vomiting of varying severity usually
commence between the first and second missed menstrual
period and continue until 14 to 16 weeks’ gestation

• Hiperemesis gravidarum
– protracted NVP with the triad of more than 5%
prepregnancy weight loss, dehydration and electrolyte
imbalance.
RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
Pregnancy-Unique Quantification of Emesis
(PUQE) index
• Pregnancy-Unique Quantification of Emesis
(PUQE) score can be used to classify the
severity of NVP

RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
179.
Toksoplasma
• Humans can become infected by any of several routes:
– eating undercooked meat of animals harboring tissue cysts .
– consuming food or water contaminated with cat feces or by
contaminated environmental samples (such as fecal-
contaminated soil or changing the litter box of a pet cat) .
– blood transfusion or organ transplantation .
– transplacentally from mother to fetus .
Diagnosis
• The diagnosis of toxoplasmosis is typically made by serologic testing.
– immunoglobulin G (IgG) is used to determine if a person has been infected.
– If it is necessary to try to estimate the time of infection, which is of particular
importance for pregnant women, a test which measures immunoglobulin M
(IgM) is also used along with other tests such as an avidity test.
• Diagnosis can be made by direct observation of the parasite in stained
tissue sections such as : cerebrospinal fluid (CSF), or other biopsy material.
– These techniques are used less frequently because of the difficulty of
obtaining these specimens.
• Isolated from blood or other body fluids (for example, CSF)  difficult
and requires considerable time.
• Molecular techniques (the parasite's DNA detection) in the amniotic fluid
can be useful in cases of possible mother-to-child (congenital)
transmission.
• Ocular disease is diagnosed based on the appearance of the lesions in the
eye, symptoms, course of disease, and often serologic testing.
Tachyzoite : crescent shape, formed by
asexual reproduction in host cells (often
macrophages cells)
Toxoplasma-positive reaction, stained by
immunofluroescence (IFA)
180. Kehamilan Gemelli

• Kehamilan dengan
dua janin atau lebih

• Faktor yang
mempengaruhi:
– Faktor obat-obat
konduksi ovulasi,
faktor keturunan,
faktor yang lain belum
diketahui.
Kehamilan Gemelli: Diagnosis
Anamnesis
• Ibu mengatakan perut tampak lebih buncit dari seharusnya
umur kehamilan
• Gerakan janin lebih banyak dirasakan ibu hamil
• Uterus terasa lebih cepat membesar
• Pernah hamil kembar atau terdapat riwayat keturunan

Pemeriksaan Inspeksi dan Palpasi


• Kesan uterus lebih besar dan cepat tumbuhnya dari biasa
• Teraba gerakan-gerakan janin lebih banyak
• Banyak bagian-bagian kecil teraba
• Teraba 3 bagian besar janin
• Teraba 2 balotemen
Kehamilan Gemelli: Diagnosis
Pemeriksaan Auskultasi
• Terdengar dua denyut jantung janin pada 2
tempat yang agak berjauhan dengan perbedaan
kecepatan sedikitnya 10 denyut per menit

Ultrasonografi
• Terlihat 2 janin pada triwulan II, 2 jantung yang
berdenyut telah dapat ditentukan pada triwulan I
181.Tatalaksana
Abortus Inkomplit Abortus Komplit
• Jika perdarahan ringan atau sedang dan kehamilan usia
kehamilan kurang dari 16 minggu, gunakan jari atau
forsep cincin untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang
• Tidak diperlukan evakuasi lagi.

mencuat dari serviks.
Jika perdarahan berat dan usia kehamilan kurang dari 16 • Konseling untuk memberikan
minggu, lakukan evakuasi isi uterus. Aspirasi vakum
manual (AVM) adalah metode yang dianjurkan. Kuret dukungan emosional dan
tajam sebaiknya hanya dilakukan bila AVM tidak
tersedia.Jika evakuasi tidak dapat segera dilakukan,
berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit
menawarkan KB pasca

kemudian bila perlu).
Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu, berikan infus 40
keguguran.
IU oksitosin dalam 1 liter NaCl 0,9% atau Ringer Laktat
dengan kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu • Observasi keadaan ibu.
pengeluaran hasil konsepsi.
• Lakukan evaluasi tanda vital pascatindakan setiap 30 menit
selama 2 jam. Bila kondisi ibu baik, pindahkan ibu ke ruang • Apabila terdapat anemia
rawat.
• Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan sedang, berikan tablet sulfas
kirimkan untuk pemeriksaan patologi ke laboratorium.
• Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, ferosus 600 mg/hari selama 2
tanda akut abdomen, dan produksi urin setiap 6 jam
selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24 jam. minggu, jika anemia berat
BIla hasil pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat
diperbolehkan pulang berikan transfusi darah.
• Evaluasi keadaan ibu setelah 2
minggu.
182. Ruptur uteri
• Ruptura uteri atau robeknya dinding rahim terjadi akibat
terlampauinya daya regang miometrium. Pada bekas seksio sesarea,
risiko terjadinya ruptura uteri lebih tinggi.
• Diagnosis
– Perdarahan intraabdominal, dengan atau tanpa perdarahan
pervaginam
– Nyeri perut hebat (dapat berkurang setelah ruptura terjadi)
– Syok atau takikardia
– Adanya cairan bebas intraabdominal
– Hilangnya gerak dan denyut jantung janin
– Bentuk uterus abnormal atau konturnya tidak jelas
– Dapat didahului oleh lingkaran konstriksi (Bandl’s ring)
– Nyeri raba/tekan dinding perut
– Bagian-bagian janin mudah dipalpasi
Ruptur Uteri: Gejala & Penemuan Klinis
– Anamnesis & Inspeksi: Kesakitan, napas
dangkal & cepat,takikardia, muntah ec
rangsangan peritoneum, syok, kontraksi
uterus hilang, defans muskular

– Palpasi: Krepitasi pada kulit perut


(emfisema subkutan), teraba bagian
janin langsung dibawah kulit perut, nyeri
tekan perut, Ligamentum rotundum
teraba seperti kawat listrik

– Auskultasi: DJJ sulit terdengar/ tidak


terdengar

– Pemeriksaan Dalam: Robekan dinding


rahim teraba  teraba organ
Tatalaksana Umum
– Berikan oksigen.
– Perbaiki kehilangan volume darah dengan pemberian infus cairan intravena
(NaCl 0,9% atau Ringer Laktat) sebelum tindakan pembedahan.
– Jika kondisi ibu stabil, lakukan seksio sesarea untuk melahirkan bayi dan
plasenta.

Tatalaksana Khusus
– Jika uterus dapat diperbaiki dengan risiko operasi lebih rendah daripada
histerektomi dan tepi robekan uterus tidak nekrotik, lakukan reparasi uterus
(histerorafi) . Tindakan ini membutuhkan waktu yang lebih singkat dan
menyebabkan kehilangan darah yang lebih sedikit dibanding histerektomi.
– Jika uterus tidak dapat perbaiki, lakukan histerektomi subtotal. Jika robekan
memanjang hingga serviks dan vagina, histerektomi total mungkin
diperlukan
183. Cervicitis
• Cervicitis is a general term describing inflammation of
the cervix
• Two major diagnostic signs characterize cervicitis:
– a purulent or mucopurulent endocervical exudate visible in
the endocervical canal or on an endocervical swab
specimen (commonly referred to as mucopurulent
cervicitis) and
– sustained endocervical bleeding easily induced by gentle
passage of a cotton swab through the cervical os
• Cervicitis frequently is asymptomatic, but some
women complain of an abnormal vaginal discharge and
intermenstrual vaginal bleeding (e.g., after sexual
intercourse )
CDC. Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines, 2015
• Etiology
– C. trachomatis or N. gonorrhoeae.
– Cervicitis also can accompany trichomoniasis and
genital herpes (especially primary HSV-2
infection).
– However, in most cases of cervicitis, no organism
is isolated, especially in women at relatively low
risk for recent acquisition of these STDs (e.g.,
women aged >30 years)
• Pada soal kemungkinan pasien mengalami
cervicitis berdasarkan gejala yang muncul.
• Namun karena hanya ada faktor resiko
pemakaian AKDR  maka terapi yang paling
mungkin metronidazole
184. Retensio plasenta
• Plasenta atau bagian-
bagiannya dapat tetap
berada dalam uterus
setelah bayi lahir

• Sebab: plasenta belum


lepas dari dinding uterus
atau plasenta sudah lepas
tetapi belum dilahirkan

• Plasenta belum lepas:


kontraksi kurang kuat atau
plasenta adhesiva (akreta,
inkreta, perkreta)
Retensio plasenta: Terapi

• Plasenta yang belum keluar 30 menit setelah janin lahir dan


dilakukan manajemen kala III maka termasuk retensio
plasenta

• Pada kasus retensio plasenta, manajemen terbaru dari WHO


meliputi:
• Oksitosin IV
• Manual plasenta

Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
185. Prolaps Uteri
Definisi
•Penurunan uterus dari posisi anatomis yang seharusnya

•Insidens: meningkat dengan bertambahnya usia

Gejala dan Tanda


•Manifestasi klinis yang sering didapatkan adalah keluarnya massa dari
vagina dan adanya gangguan buang air kecil hingga disertai hidronefrosis
•Sitokel (BAK sedikit-sedikit, tidak tuntas, stres inkontinensia), rektokel
(konstipasi), koitus terganggu, leukorea (ec jongesti daerah serviks), luka
gesek pada portio, enterokel (rasa berat dan penuh pada panggul),
servisitis (bisa menyebabkan infertilitas), menoragia ec bendungan

Komplikasi
•Keratinasi mukosa vagina dan portio, ulkus dekubitus, hipertrofi serviks,
gangguan miksi & stres inkontinensia, ISK, infertilitas, gangguan partus,
hemoroid, inkarserasi usus
Classification of
Genitourinary Prolapse
• The Pelvic Organ Prolapse Quantification
(POPQ)by The international continence society. It
is based on the position of the most distal portion
of the prolapse during straining
– Stage O: no prolapse
– Satge 1 : more than 1 cm above the hymen
– Stage 2 : witihin 1 cm proximal or distal to the plane
of the hymen
– Stage 3 : more than 1 cm below the plane of the
hymen but protrudes no further than 2 cm less than
the total length of vagina
– Stage 4: there is complete eversion of the vagina
• Baden Walker or Beecham classification
systems:
– 1st degre : cervix is visible when the perineum is
depressed – prolapse is contained within the
vagina
– 2nd degree: cervix prolapsed through the introitus
with the fundus remaining in the pelvis
– 3rd degree: procidentia (complete prolaps)- entire
uterus is outside the introitus
186. Retensio plasenta
• Plasenta atau bagian-
bagiannya dapat tetap
berada dalam uterus
setelah bayi lahir

• Sebab: plasenta belum


lepas dari dinding uterus
atau plasenta sudah lepas
tetapi belum dilahirkan

• Plasenta belum lepas:


kontraksi kurang kuat atau
plasenta adhesiva (akreta,
inkreta, perkreta)
Retensio plasenta: Terapi

• Plasenta yang belum keluar 30 menit setelah janin lahir dan


dilakukan manajemen kala III maka termasuk retensio
plasenta

• Pada kasus retensio plasenta, manajemen terbaru dari WHO


meliputi:
• Oksitosin IV
• Manual plasenta

Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
187. Kista Nabothi
• Etiologi
– Terjadi bila kelenjar
penghasil mukus di
permukaan serviks
tersumbat epitel skuamosa

• Gejala & Tanda


– Berbentuk seperti beras
dengan permukaan licin

• Pemeriksaan
- Pemeriksaan pelvis, kadang dengan kolposkopi

• Terapi: observasi ; Bila simptomatik  drainase


https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001514.htm
188. Imunisasi TT pada Kehamilan
• Pemberian imunisasi pada wanita usia subur atau ibu hamil harus
didahului dengan skrining untuk mengetahui jumlah dosis (dan status)
imunisasi tetanus toksoid (TT) yang telah diperoleh selama hidupnya.
• Pemberian imunisasi TT tidak mempunyai interval (selang waktu)
maksimal, hanya terdapat interval minimal antar dosis TT.
– Jika ibu belum pernah imunisasi atau status imunisasinya tidak diketahui,
berikan dosis vaksin (0,5 ml IM di lengan atas) sesuai tabel berikut.
– Dosis booster mungkin diperlukan pada ibu yang sudah pernah diimunisasi.
Pemberian dosis booster 0,5 ml IM disesuaikan dengan jumlah vaksinasi yang
pernah diterima sebelumnya seperti pada tabel berikut:
Hipertensi Gestasional
- Hipertensi tanpa proteinuria 189.
- TD ≥140/90 mmHg
- Tidak ada riwayat hipertensi sebelum hamil
- Dapat disertai gejala preeklampsia seperti nyeri ulu hati dan
trombositopenia
- Diagnosis pasti ditegakkan pasca persalinan TD normal
setelah melahirkan

Tatalaksana
- Pantau tekanan darah, urin untuk proteinuria, dan kondisi janin
setiap minggu
- Jika tekanan darah meningkat tatalaksana sebagai
preeklampsia
- Kondisi janin memburuk atau pertumbuhan janin
terhambatrawat untuk pemantauan kesehatan janin
- Jika TD stabil bisa persalinan normal
Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
190. Malaria dalam Kehamilan
• Ditemukan parasit pada darah maternal dan darah plasenta

• Pengaruh pada Janin


– IUFD, abortus, prematur, BBLR, malaria placenta, malaria
kongenital

• Gambaran klinis pada wanita hamil


– Non imun: ringan sampai berat
– Imun : tidak timbul gejala  tidak dapat didiagnosa klinis
Kemoprofilaksis Malaria dalam Kehamilan
WHO: Dosis terapeutik anti malaria untuk semua wanita hamil di daerah
endemik malaria pada kunjungan ANC pertama, kemudian diikuti
kemoprofilaksis teratur. Pengobatan malaria di Indonesia hanya
memakai klorokuin untuk kemoprofilaksis pada kehamilan.

Perlindungan dari gigitan nyamuk, kontak antara ibu dengan vektor dapat dicegah
dengan:
• Memakai kelambu yang telah dicelup insektisida (misal: permethrin)
• Pemakaian celana panjang dan kemeja lengan panjang
• Pemakaian penolak nyamuk (repellent)
• Pemakaian obat nyamuk (baik semprot, bakar dan obat nyamuk listrik)
• Pemakaian kawat nyamuk pada pintu-pintu dan jendela-jendela
Penatalaksanaan Umum
1. Perbaiki keadaan umum penderita (pemberian cairan dan perawatan
umum)

2. Monitoring vital sign setiap 30 menit (selalu dicatat untuk mengetahui


perkembangannya), kontraksi uterus dan DJJ juga harus dipantau

3. Jaga jalan nafas untuk menghindari terjadinya asfiksia, bila perlu beri
oksigen

• Pemberian antipiretik untuk mencegah hipertermia

• Parasetamol 10 mg/kgBB/kali, dan dapat dilakukan kompres

• Jika kejang, beri antikonvulsan: diazepam 5-10 mg iv (secara perlahan


selama 2 menit) ulang 15 menit kemudian jika masih kejang;
maksimum 100 mg/24 jam. Bila tidak tersedia diazepam, dapat
dipakai fenobarbital 100 mg im/kali (dewasa) diberikan 2 kali sehari
Farmakologi Terapi Malaria dan Kehamilan
• Malaria Falciparum
– Trimester pertama: kina 3x2 tablet selama 7 hari atau 3x10mg/kgBB selama 7 hari
ditambah dengan Klindamisin 2x300mg atau 2x10mg/kgBB selama 7 hari
– Trimester II-III: artemisin based combination (ACT): DHP (dihidroartemisinin- piperakuin)
1 x 3 tablet (BB 41-59 kg) / 1x4 tablet (BB ≥ 60 kg) selama 3 hari ATAU artesunat 1 x 4
tablet dan amodiakuin 1 x 4 tablet selama 3 hari.
• Malaria non Falciparum
– Trimester I: kina3x2tabletselama7hari atau 3 x 10mg/kgBB selama 7 hari.
– Trimester II & III: artemisin based combination (ACT): DHP (dihidroartemisinin-
piperakuin) 1 x 3 tablet (BB 41-59 kg) / 1x4 tablet (BB ≥ 60 kg) selama 3 hari ATAU
artesunat 1 x 4 tablet dan amodiakuin 1 x 4 tablet selama 3 hari.
• Kontraindikasi: primakuin hemolisis sel darah merah, doksisiklin, tetrasiklin
• Profilaksis
– Klorokuin (sudah banyak resistensi), meflokuin (rekomendasi untuk semua trimester)
– Kontraindikasi: doksisiklin dan primakuin
Tatalaksana Malaria Berat pada Kehamilan

Untuk kehamilan trimester pertama, berikan:


• Loading dose kina: 20 mg garam/kgBB dilarutkan dalam 500 ml dextrose
5% atau NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam pertama. Selanjutnya selama 4
jam kedua hanya diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9%. Setelah itu,
diberikan kina dengan dosis rumatan 10 mg/kgBB dalam larutan 500 ml
dekstrose 5 % atau NaCl selama 4 jam. Empat jam selanjutnya, hanya
diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9%. Dst sampai penderita dapat
minum kina per oral.
• Efek samping: perpanjangan interval QT, Hipoglikemia, dan Hipotensi
• Bila sudah dapat minum obat pemberian kina IV diganti dengan kina tablet
dengan dosis 10 mg/kgBB/kali diberikan tiap 8 jam.
• Kina oral diberikan bersama klindamisin pada ibu hamil.
• Dosis total kina selama 7 hari dihitung sejak pemberian kina per infus yang
pertama
Tatalaksana Malaria Berat pada Kehamilan

• Untuk kehamilan trimester kedua dan ketiga, berikan:


– Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgbb I􏰁
sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan 2,4
mg/kgBB IV setiap 24 jam sampai penderita mampu
minum obat. Pengobatan dilanjutkan dengan regimen
dihydroartemisinin-piperakuin (ACT lainnya) + primakuin,
ATAU
– Artemeter diberikan dengan dosis 3,2 mg/kgBB IM,
dilanjutkan pada hari berikutnya 1,6 mg/kgBB IM satu kali
sehari sampai penderita mampu minum obat. Bila
penderita sudah dapat minum
191. PELVIC INFLAMMATORY DISEASE
• Infeksi pada traktus genital atas wanita yang melibatkan
kombinasi antara uterus, ovarium, tuba falopi, peritonium
pelvis, atau jaringan penunjangnya.
• PID terutama terjadi karena ascending infection dari traktus
genital bawah ke atas
• Patogen: Dapat berupa penyakit akibat hubungan seksual atau
endogen (Tersering: N. Gonorrhea & Chlamydia Trachomatis)
• Faktor Risiko:
➢ Kontak seksual
➢ Riwayat penyakit menular seksual
➢ Multiple sexual partners
➢ IUD

PID:Current concepts of diagnosis and management,Curr Infect Dis Rep, 2012


Salphingitis
• Inflamasi pada tuba fallopi

• Salphingitis akut biasanya disamakan dengan PID karena merupakan bentuk paling sering
dari PID

• Faktor Risiko
– Instrumentasi pada serviks dan uteri (IUD, biopsi, D&C)
– Perubahan hormonal selama menstruasi, menstruasi retrogard

• Gejala dan Tanda


– Spotting, dismenorea, dispareunia, demam, nyeri punggung bawah, sering BAK, mual dan muntah,
nyeri goyang serviks

• Diagnosis
• Nyeri perut bawah, nyeri adneksa bilateral, nyeri goyang serviks
• Tambahan: suhu oral > 38.3 C, keputihan abnormal, peningkatan C rekative protein, adanya bukti
keterlibatan N. gonorrhoeae atau C. trachomatis

• Terapi
– Rawat inap dengan antibiotik IV (cefoxitin dan doksisiklin)
– Rawat jalan dengan cefotixin IM dan Doksisiklin oral
– Operatif bila antibiotik gagal

http://emedicine.medscape.com/article/275463-overview#a2
PID:Current concepts of diagnosis and management,Curr Infect Dis Rep, 2012
PID: Pengobatan
• Harus berspektrum luas
• Semua regimen harus efektif melawan N. gonorrhoeae dan C.
trachomatis karena hasil skrining endoserviks yang negatif tidak
menyingkirkan infeksi saluran reproduksi atas

• Rawat jalan atau rawat inap bergantung pada:


➢ Adanya emergensi (contoh; apendisitis)
➢ Pasien hamil
➢ Pasien tidak berespon baik terhadap antibiotik oral
➢ Pasien tidak memungkinkan untuk menoleransi antibiotik oral
➢ Pasien memiliki penyakit berat, mual-muntah, demam tinggi
➢ Pasien memiliki abses tubo-ovarian

http://www.cdc.gov/std/treatment/2010/pid.htm
192. Polihidramnion
• Volume air ketuban lebih 2000 cc
• Muncul sesudah kehamilan lebih 20 minggu

• Etiologi
– Rh isoimunisasi, DM, gemelli, kelainan kongenital dan idiopatik

• Gejala
– Sering pada trimester terakhir kehamilan
– Fundus uteri ≥ tua kehamilan
– DJJ sulit didengar
– Ringan : sesak nafas ringan
– Berat : air ketuban > 4000 cc
– Dyspnoe & orthopnea
– Oedema pada extremitas bawah

• Diagnosis
– Palpasi dan USG
Buku Saku Pelayanan Ibu, WHO
Polihidramnion: Tatalaksana
• Identifikasi penyebab
• Kronik hidramnion : diet protein ↑, cukup istirahat
• Polihidramnion sedang/berat, aterm → terminasi
• Penderita di rawat inap, istirahat total dan dimonitor
• Jika dyspnoe berat, orthopnea, janin kecil → amniosintesis
• Amniosintesis, 500 – 1000 cc/hari → diulangi 2 – 3 hari
• Bila perlu dapat dipertimbangkan pemberian tokolitik

• Komplikasi
– Kelainan letak janin
– partus lama
– solusio plasenta
– tali pusat menumbung dan
– PPH
– Prematuritas dan kematian perinatal tinggi

Buku Saku Pelayanan Ibu, WHO


193.
Sperma Abnormal

• Azoospermia: tidak terdapat sperma hidup dalam cairan


sperma dalam cairan ejakulat ejakulat
• Oligospermia: jumlah sperma • Astenozoospermia: motilitas <
kurang dari 20 juta per ml normal
cairan ejakulat • Teratozoospermia: morfologi
abnormal
• Necrozoospermia: tidak ada
194. Septic Pelvic trombophleblitis
• Definition: condition characterized by venous thrombosis, inflammation
and bacteremia.
• Septic phlebitis arises as an extension along venous routes and may cause
thrombosis
• suggest that puerperal septic thrombophlebitis is likely to involve one or
both ovarian venous plexuses

• Etiology
– Diverticulitis
– Endometritis
– PID
– Septic abortion
– Childbirth
– Appendicitis
– SC
– Intrabdominal surgery
195. PEB
Preeklampsia Ringan
- TD ≥140/90 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu
- Proteinuria 1+ atau protein kuantitatif >300 mg/24 jam

Preeklampsia Berat
- TD >160/110 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu
- Proteinuria 2+ atau protein kuantitatif >5 g/24 jam
- Atau disertai kelainan organ lain: trombositopenia (<100.000), hemolisis mikroangiopati, peningkatan
SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran atas, sakit kepala, skotoma penglihatan, pertumbuhan janin
terhambat, oligohidroamnion
- Peningkatan SGOT/SGPT+trombositopenia HELLP Syndrome

Superimposed preeklampsia
- Sudah ada hipertensi kronik sebelum hamil atau saat usia kandungan <20 minggu
- Proteinuria 1+ atau trombosit <100.000 pada usia kehamilan <20 minggu

Eklampsia
- Kejang umum dan/atau koma
- Ada tanda preeklampsia
- Tidak ada kemungkinan penyebab lain seperti epilepsi, perdarahan subarachnoid, atau meningitis

Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Pre Eklampsia & Eklampsia: Kejang
• Pencegahan dan Tatalaksana Kejang
– Bila terjadi kejang perhatikan prinsip ABCD
• MgSO4
– Eklampsia  untuk tatalaksana kejang
– PEB  pencegahan kejang

Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
• Syarat pemberian MgSO4: Terdapat refleks patella, tersedia
kalsium glukonas, napas> 16x/menit, dan jumlah urin
minimal 0,5 ml/kgBB/jam
• Antihipertensi

• Pertimbangan terminasi kehamilanharus dilahirkan


dalam 12 jam setelah kejang

Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
196. Persalinan normal
• Rerata durasi kehamilan bila dihitung dari
HPHT adalah 280 hari atau 40 minggu
• Akan tetapi hingga usia 42 minggu kehamilan
masih dapat ditoleransi sebagai kehamilan
normal
• Namun mengingat adanya penurunan fungsi
plasenta setelah usia 40 minggu, sehingga
kehamilan dapat ditunggu hingga usia 41
minggu untuk diterminasi
Perkiraan usia kehamilan
197. Stages of Labor

Friedman curve. Williams Obstetric 24th ed.


Stages of Labor
• Cervical effacement and dilatation
• Latent phase  ends after 3-5 cm of dilatation is achieved
Stage I • Active phase
• Nullipara: maximum duration: 11.7 hours
• Rate of dilatation: 1,2 cm/hour (nulipara); 1,5 cm/hour
(multipara)

Stage II • Fetal expulsion

Stage III • Placental separation and expulsion

Williams Obstetric 24th ed.


Abnormal Labor Patterns

Williams Obstetric 24th ed.


Fetopelvic Disproportion
• Fetopelvic disproportion arises from diminished pelvic
capacity, excessive fetal size, or more usually both.
• Pelvic capacity abnormality:
– Contracted inlet: diagonal conjugate <11.5 cm
– Contracted midpelvis likely if the sum of interspinous and
posterior sagittal diameters of midpelvis ≤ 13.5 cm (N: 15,5
cm)
– Contracted outlet: interischial tuberous diameter of ≤ 8 cm
• Fetal dimensions: size, malposition (asynclitism,
occiput posterior position, face, brow, or compound
presentation).

Williams Obstetric 24th ed.


198. AKDR: Profil
• Sangat efektif, reversibel dan berjangka panjang (dapat
sampai 10 tahun: CuT 380A)
• Haid menjadi lebih lama dan lebih banyak
• Pemasangan dan pencabutan memerlukan pelatihan
• Dapat dipakai oleh semua perempuan usia reproduksi
• Tidak boleh dipakai oleh perempuan yang terpapar pada
infeksi menular seksual (IMS)
• Jenis
• Copper-releasing: Copper T 380A, Nova T, Multiload 375
• Progestin-releasing: Progestasert, LevoNova (LNG-20), Mirena
• AKDR CuT-380A
• Kecil kerangka dari plastik yang fleksibel, berbentuk huruf T diselubungi
oleh kawat halus yang terbuat tembaga (Cu)
• Tersedia di Indonesia dan terdapat di mana-mana
• AKDR lain yang beredar di Indonesia ialah NOVA T (Schering)
Mekanisme Kerja
• Ada beberapa mekanisme cara kerja AKDR:
– Timbulnya reaksi radang radang lokal di dalam cavum uteri sehingga implantasi sel telur yang
telah dibuahi terganggu.
– Produksi lokal prostaglandin yang meninggi, yang menyebabkan terhambatnya implantasi.
– Immobilisasi spermatozoa saat melewati cavum uteri serta merusak sperma

• Copper IUDs work by disrupting sperm motility and damaging sperm (Copper
acts as a spermicide within the uterus)
• The presence of copper increases the levels of copper ions, prostaglandins, and
white blood cells within the uterine and tubal fluids.
• Ova from copper IUD users were distinctive for being without vitellus
(abnormal) and surrounded by macrophages
• Copper can also alter the endometrial lining, this alteration can prevent
implantation
AKDR: Informasi Umum
• AKDR bekerja langsung efektif segera setelah pemasangan

• AKDR bekerja dengan membuat inflamasi ringan pada rahim

• AKDR dapat keluar dari uterus secara spontan, khususnya selama


beberapa bulan pertama

• Kemungkinan terjadi perdarahan atau spotting beberapa hari setelah


pemasangan perdarahan menstruasi biasanya akan lebih lama dan lebih
banyak

• Tidak ada efek samping hormonal dari CuT-380A

• AKDR mungkin dilepas setiap saat atas kehendak kliennya

• Jelaskan pada klien jenis AKDR apa yang digunakan, kapan akan dilepas
dan berikan kartu tentang informasi semua ini
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/budi.iman/material/akdr.pdf
AKDR
Alat kecil yang dipasang dalam rahim • Rangka plastik yang lentur dengan lengan tembaga dan benang.

• Sangat efektif dan tidak tergantung pada daya ingat.


• Cara kerja utama mencegah sperma bertemu telur.
Sangat efektif dan aman • Sebagian besar ibu bisa memakai AKDR, termasuk ibu yang belum
pernah hamil.
.
Rumor yang umum:
• AKDR tidak dapat keluar dari rahim atau berjalan ke seluruh tubuh
• AKDR tidak mengganggu selama bersenggama, walaupun kadang
pasangan merasakan benangnya.
• AKDR tidak berkarat di dalam tubuh, bahkan setelah bertahun-tahun.

Dapat dicabut kapan saja Anda


inginkan • Klien bisa kembali hamil setelah AKDR dilepas.
Bekerja hingga 10 tahun, tergantung • Copper T 380 A bekerja hingga 10 tahun.
jenisnya • Harus dilepas 1 tahun setelah menstruasi terakhir pada menopause.
Dapat menambah pendarahan Efek Samping:
menstruasi atau menyebabkan kram • Biasanya kembali normal setelah 3 bulan.
Tidak melindungi dari AIDS/IMS • Untuk perlindungan terhadap AIDS/IMS, pakai juga kondom.
Yang tidak bisa memakai AKDR
Sebagian besar ibu tidak bisa memakai AKDR, jika:

• Jika ragu, pakai daftar periksa pada Tambahan 1 atau lakukan tes
Kemungkinan hamil kehamilan.
Baru saja melahirkan • Pemasangan AKDR hanya boleh dilakukan sebelum 48 jam dan
(2 – 28 hari pasca persalinan) setelah 4 minggu pasca persalinan.

Mereka yang berisiko terinfeksi IMS/HIV mencakup mereka:


Memiliki risiko IMS (termasuk HIV) • Yang mempunyai lebih dari 1 pasangan tidak selalu memakai
kondom;
• Yang memiliki pasangan dengan HIV/IMS dan tidak selalu memakai
kondom;
• Memakai jarum suntik bersama, atau pasangan memakai jarum
suntik bersama (hanya untuk HIV tetapi tidak untuk IMS)

Menstruasi yang tak biasa • Menstruasi tak biasa harus diases sebelum memasang AKDR.
Infeksi atau masalah dengan organ
• Setiap infeksi harus diobati sepenuhnya sebelum AKDR dipasang.
kewanitaan:
— IMS atau Penyakit Radang Panggul dalam 3 • Obati penyakit radang panggul ataupun IMS dan tunggu 3 bulan
bulan terakhir? sebelum memasang AKDR. Anjurkan agar pasangan juga diobati.

— HIV atau AIDS? • Jika HIV atau AIDS pakai AKDR hanya jika tidak ada metode lain
yang cocok.
— Infeksi setelah melahirkan atau keguguran
— Kanker pada organ kewanitaan atau TB • Jangan memasang AKDR jika klien memiliki kanker rahim,
panggul endometrium atau kanker indung telur; penyakit tropoblas jinak
atau ganas; tbc panggul.
Setelah pemasangan, AKDR bisa diperiksa oleh
akseptor KB sendiri.

• Kapan memeriksa?
• Satu minggu setelah pemasangan
• Kapan saja setiap selesai masa haid

• Bagaimana cara memeriksa benang?


• Cuci tangan, duduk dalam posisi jongkok, masukkan jari ke dalam vagina
dan rasakan benang AKDR di mulut rahim. Jangan menarik benangnya.
Cuci tangan setelah selesai.

• Jika tidak bisa merasakan benang, atau benang terasa lebih panjang atau
pendek secepatnya kembali ke klinik. AKDR mungkin telah terlepas dan perlu
memakai back up.
199. Gangguan Menstruasi
Disorder Definition
Amenorrhea Primer Tidak pernah menstruasi setelah berusia 16 tahun, atau
berusia 14 tahun tanpa menstruasi sebelumnya dan tidak
terdapat tanda-tanda perkembangan seksual sekunder

Amenorrhea Tidak terdapat menstruasi selama 3 bulan pada wanita


Sekunder dengan sklus haid teratur, atau 9 bulan pada wanita dengan
siklus menstruasi tidak teratur
Oligomenorea Menstruasi yang jarang atau dengan perdarahan yang sangat
sedikit
Menorrhagia Perdarahan yang banyak dan memanjang pada interval
menstruasi yang teratur
Metrorrhagia Perdarahan pada interval yang tidak teratur, biasanya diantara
siklus
Menometrorrhagia Perdarahan yang banyak dan memanjang, lebih sering
dibandingkan dengan siklus normal
Gangguan Menstruasi:
Kelainan dan Diagnosis
Gangguan Menstruasi: Etiologi
Penyebab amenore primer:
1. Tertundanya menarke (menstruasi pertama)
2. Kelainan bawaan pada sistem kelamin (misalnya tidak memiliki
rahim atau vagina, adanya sekat pada vagina, serviks yang sempit,
lubang pada selaput yang menutupi vagina terlalu sempit/himen
imperforata)
3. Penurunan berat badan yang drastis (akibat kemiskinan, diet
berlebihan, anoreksia nervosa, bulimia, dan lain lain)
4. Kelainan bawaan pada sistem kelamin
5. Kelainan kromosom (misalnya sindroma Turner atau sindroma
Swyer) dimana sel hanya mengandung 1 kromosom X)
6. Obesitas yang ekstrim
7. Hipoglikemia
Gangguan Menstruasi: Etiologi

Penyebab amenore sekunder:


1. Kehamilan
2. Kecemasan akan kehamilan
3. Penurunan berat badan yang drastis
4. Olah raga yang berlebihan
5. Lemak tubuh kurang dari 15-17%
6. Mengkonsumsi hormon tambahan
7. Obesitas
8. Stres emosional
Algoritma Amenore Primer
Algoritma Amenore Sekunder
Pelvic Inflammatory Disease

http://depts.washington.edu/handbook/syndromesFemale/ch8_pid.html
Sexually active woman presenting with abnormal vaginal
discharge, lower abdominal pain, OR dyspareunia

Uterine tenderness, OR
Adnexal tenderness, OR
Cervical motion tenderness on pelvic exam?

YES NO

1) Perform NAAT for gonorrhea and chlamydia


2) Perform pregnancy testing See Vaginal Discharge algorithm,
3) Perform vaginal microscopy if available consider other organic causes
4) Offer HIV testing

Empiric treatment for PID* if no other organic


cause found (e.g. ectopic pregnancy, appendicitis)

Signs of severe illness (i.e. high fever, nausea/vomiting), OR


Surgical emergency (e.g. appendicitis) not excluded, OR
Suspected to have a tubo-ovarian abscess, OR
Unable to tolerate or already failed oral antibiotics, OR
Pregnant?

YES NO

Inpatient PID treatment: Outpatient PID treatment:


Cefotetan 2g IV Q12 hours OR Ceftriaxone 250mg IM x 1 dose PLUS
Cefoxitin 2g IV Q6 hours, PLUS Doxycycline 100mg PO BID x 14 days,** WITH OR WITHOUT
Doxycycline 100mg PO/IV Q12 hours** Metronidazole 500mg PO BID x 14 days***
(other regimens available****) OR
Cefoxitin 2g IM x 1 dose and Probenecid 1g PO x 1dose together PLUS
Doxycycline 100mg PO BID X 14 days,** WITH OR WITHOUT
Metronidazole 500mg PO BID x 14 days***
(other regimens available****)

1) Hospitalize 24-48 hours to ensure response to treatment Response to treatment


2) Discharge on oral antibiotics to complete 14 day course 72 hours later?

NO YES

See Inpatient treatment Continue treatment for 14 days


200. Kala Persalinan: Kala II
• Dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm) dan
berakhir dengan lahirnya bayi

• Gejala dan tanda kala II persalinan


– Dor-Ran  Ibu merasakan ingin meneran bersamaan dengan
terjadinya kontraksi
– Tek-Num  Ibu merasakan adanya peningkatan tekanan pada
rektum dan/atau vaginanya.
– Per-Jol Perineum menonjol
– Vul-Ka  Vulva-vagina dan sfingter ani membuka
– Meningkatnya pengeluaran lendir bercampur darah

• Tanda pasti kala II ditentukan melalui periksa dalam


(informasi objektif)
– Pembukaan serviks telah lengkap, atau
– Terlihatnya bagian kepala bayi melalui introitus vagina
Kala Persalinan: Kala III
• Dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya
plasenta dan selaput ketuban

• Tanda pelepasan plasenta


– Semburan darah dengan tiba-tiba: Karena penyumbatan
retroplasenter pecah saat plasenta lepas
– Pemanjangan tali pusat: Karena plasenta turun ke segmen
uterus yang lebih bawah atau rongga vagina
– Perubahan bentuk uterus dari diskoid menjadi globular
(bulat): Disebabkan oleh kontraksi uterus
– Perubahan dalam posisi uterus, yaitu uterus didalam
abdomen: Sesaat setelah plasenta lepas TFU akan naik, hal ini
disebabkan oleh adanya pergerakan plasenta ke segmen
uterus yang lebih bawah
(Depkes RI. 2004. Buku Acuan Persalinan Normal. Jakarta: Departemen Kesehatan)
Amniotomy
• If the membranes are intact, there is a great
temptation, even during normal labor, to perform
amniotomy.
• The presumed benefits are more rapid labor, earlier
detection of meconium-stained amnionic fluid, and
the opportunity to apply an electrode to the fetus or
insert a pressure catheter into the uterine cavity for
monitoring.
• Importantly, the fetal head must be well applied to the
cervix and not be dislodged from the pelvis during the
procedure to avert umbilical cord prolapse

Anda mungkin juga menyukai