Anda di halaman 1dari 34

PROPOSAL

HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN KUALITAS TIDUR PENDERITA ASMA DI


RSU KOTA TERNATE

Di Susun dan Di Ketik Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metlit

DOSEN PEMBIMBING:

NS. USWATUN HASANAH, S.KEP, M.KEP

DI SUSUN OLEH

Alda Resma Elvaryani Limatahu

171030100143

PROGRAM STUDY SI KEPERAWATAN

STIKES WIDYA DHARMA HUSADA TANGERANG

TANGERANG SELATAN

2020

1
KATA PENGANTAR
Bismillah, segala puji kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penlis mampu menyelesaikan penysunan proposal penelitian ini dengan
judul “Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Kualitas Tidur Penderita Asma Di RSU Kota
Ternate”.
Tujuan penyusunan proposal ini adalah sebagai syarat wajib dalam pengajuan penyusunan tugas
akhir prodi S1 Keperawatan. System pendukung keputusan diambil sebagai solusi permasalahn
dalam proses perencanaan keungan yang sering dihadapi pihak RSU. Penulis mengucapkan
terima kasih yag sebesar besarnya kepada semua pihak yag telah banyak membantu dan
membimbing penulis dalam penyusuna proposal ini. Pada kesempatan kali ini penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Drs.H. Darsono Selaku Ketua Yayasan STIKes Widya Dharma Husada
Tangerang
2. Ibu Ns. Riris Andriati, S.Kep, M.Kep Selaku Ketua STIKes Widya Dharma Husada
Tangerang
3. Bapak Dr.H.M. Hasan, SKM.,M.Kes Selaku Ketua STIKes Kharisma Persada
4. Ibu Ns. Dewi Fitriana, S.Kep, M.Kep Selaku Ketua Prodi S1 Keperawatan
5. Ibu Ns. Uswatun Hasanah, S.Kep, M.Kep Selaku Dosen Mata Kuliah Metode Penelitian
(Metlit)
6. Berbagai pihak yang tidak bisa penulis sebutkn satu persatu yang sudah banyak
memberikan support baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian
proposal penelitian ini
Penulis menyadari akan banyaknya kekurangan yang ada di proposal penelitian ini. Oleh
karenanya, penulis mengharapkan saran dan kritiknya dari semua pihak guna agar menjadi
bahan perbaikan kedepannya.
Semoga proposal penelitian ini bisa bermanfaat dan dimanfatkan bagi siapapun yang membaca,
Amin.

Ternate, 04 Juli 2020


Penulis
Alda Resma Elvaryani Limatahu

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
1.1 Latar Belakang Masalah..........................................................................
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................
1.3 Tujuan Penelitian......................................................................................
1.4 Manfaat Penelitian....................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................
2.2 Teori dan Konsep Terkait........................................................................
2.2.1 Pengertian Kecemasan..........................................................................
2.2.2 Tingkat Kecemasan...............................................................................
2.2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan...........................................
2.2.4 Pengukuran Tingkat Kecemasan.........................................................
BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFENISI
OPERASIONAL.............................................................................................
3.1. Kerangka Konsep....................................................................................
3.2 Hipotesis.....................................................................................................
BAB IV METODE PENELITIAN................................................................
4.1 Desain Penelitian.......................................................................................
4.2 Populsi dan Sampel...................................................................................
4.3 Tempat dan Waktu Penelitian.................................................................
4.4 Etika Peneltian..........................................................................................
4.5 Pengukuran Variabel...............................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Asma adalah penyakit paru dengan ciri khas yakni saluran nafas sangat mudah bereaksi
terhadap berbagai rangsangan atau pencetus dengan manifestasi berupa serangan asma. Adapun
manifestasi klinis yang ditimbulkan antara lain mengi/wheezing, sesak nafas, dada terasa
tertekan atau sesak, batuk, pilek, nyeri dada, nadi meningkat, retraksi otot dada, nafas cuping
hidung, takipnea, kelelahan, lemah, anoreksia, sianosis dan gelisah (Gina, 2006).
Diagnosa masalah keperawatan yang muncul pada pasien asma salah satunya adalah
ansietas atau kecemasan (NANDA, 2009). Pada beberapa individu, stres atau gangguan emosi
dapat menjadi pencetus serangan asma dan bisa memperberat serangan asma yang sudah ada.
Stres dapat mengantarkan seseorang pada tingkat kecemasan sehingga memicu dilepaskannya
histamin dan leukotrien, yang menyebabkan penyempitan saluran napas di mana di tandai
dengan sakit tenggorokan dan sesak napas, yang pada gilirannya bisa memicu serangan asma
(Sudhita, 2005).
Cemas merupakan hal yang sering terjadi dalam hidup manusia. Cemas juga dapat
menjadi beban berat yang menyebabkan kehidupan individu tersebut selalu dibawah bayang-
bayang kecemasan yang berkepanjangan dan menganggap rasa cemas sebagai ketegangan
mental yang disertai dengan gangguan tubuh yang menyebabkan rasa tidak waspada terhadap
ancaman, Artinya, cemas terjadi ketika seseorang terancam baik fisik maupun psikologis
(Ramaiah, Savitri. 2006,2008).
Pada keadaan sakit dan dirawat dirumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya sering
kali terjadi dua hal yang berlawanan, di satu sisi individu yang sakit. Sementara disisi yang lain
pola tidur seseorang yang masuk dan dirawat di puskesmas dapat dengan mudah berubah atau
mengalami gangguan pola tidur sebagai akibat kecemasan yang kondisi sakitnya atau rutinitas
puskesmas (Potter & Perry, 2010).
Kualias Tidur yang tidak adekuat dan dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan
fisiologi dan psikologi. Dampak fisiologi meliputi penurunan aktivitas sehari-hari, rasa lelah,
lemah, daya tahan tubuh menurun dan ketidakstabilan tanda-tanda vital. Dampak psikologis
meliputi depresi, cemas dan tidak konsentrasi (Potter & Perry, 2010). Kurang tidur dapat
4
mempengaruhi konsentrasi dan merusak kemampuan untuk melakukan kegiatan yang
melibatkan memori, belajar, pertimbangan logis, dan penghitungan matematis. Gangguan tidur
dapat mengakibatkan kemerosotan mutu hidup. Misalnya, gangguan tidur dapat menyebabkan
kelelahan pada siang hari dan mempengaruhi status fungsional dan mutu hidup (Asmadi.2008)
Kurang tidur dapat mengakibatkan dampak negatif. Saat kita terjaga, kita menyimpan suatu
keadaan yang disebut ‘sleep debt’ yang dapat diganti hanya melalui tidur. Hal ini diatur oleh
suatu mekanisme dalam tubuh yang disebut sebagai “sleep homeostat”, yang mengatur
keinginan kita untuk tidur. Jika jumlah ‘sleep debt’ besar, maka “sleep homeostat” akan
memberitahukan pada kita bahwa kita perlu tidur lebih banyak (Lestari, Pemi L (2009)., 2011).
Kurang tidur yang berkepanjangan dapat mengganggu kesehatan fisik dan psikis. Dari
segi fisik, kurang tidur akan menyebabkan muka pucat, mata sembab, badan lemas, dan daya
tahan tubuh menurun sehingga mudah terserang penyakit.
Sedangkan dari segi psikis, kurang tidur akan menyebabkan timbulnya perubahan
suasana kejiwaan, sehingga penderita akan menjadi lesu, lamban menghadapi rangsangan, dan
sulit berkonsentrasi (Alimul H, Aziz.2006).
Setiap tahun diperkirakan sekitar 20%-50% orang dewasa melaporkan adanya gangguan
tidur dan sekitar 17% mengalami gangguan tidur yang serius. Prevalensi gangguan tidur pada
penderita penyakit cukup tinggi yaitu sekitar 67%. Walaupun demikian, hanya satu dari
delapan kasus yang menyatakan bahwa gangguan tidurnya telah didiagnosis oleh dokter (Amir,
2007). Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas maupun kuantitas tidur, salah satu
diantaranya adalah kecemasan (Azizah, Lilik.M. 2011). Kecemasan sering kali mengganggu
tidur. Seseorang yang pikirannya dipenuhi dengan masalah pribadi dan merasa sulit untuk rileks
saat akan memulai tidur. Kecemasan meningkatkan kadar norepinefrin dalam darah melalui
stimulasi sistem saraf simpatis. Perubahan kimia ini menyebabkan kurangnya waktu tidur tahap
IV NREM dan tidur REM serta lebih banyak perubahan dalam tahap tidur lain dan lebih sering
terbangun (Kozier et.al. 2010).
Kota Ternate Berdasarkan data dari RSU, data penderita asma pada tahun 2017
Sebanyak 72 penderita, sedangkan pada tahun 2018 Sebanyak 96 penderita. dan berdasarkan
informasi dari petugas kesehatan RSU Kota Ternate pada bulan Maret tahun 2020 menurun
sebanyak 39 orang yang mengalami penderita asma. Dari hasil itu di pendahuluan peneliti
menemukan bahwa sebagian besar penderita asma cenderung memiliki masalah gangguan

5
kecemasan. Mereka merasa cemas dengan keadaan yang mereka alami. Mereka mengeluhkan
cemas dan takut pada saat terjadi serangan asma, sehingga dengan kondisi itu kualitas tidur
penderita asma tidak terpenuhi secara optimal.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis ingin untuk melakukan penelitian mengenai
hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur pada penderita asma di RSU Kota
Ternate.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan ASMA?
2. Apakah ada pengaruh ASMA terhadap kualitas tidur?
3. Tehknik apa yag cocok untuk meningkatkan kualitas tidur?
4. Apa saja yang menjadi faktor seseorang bisa terkena ASMA?
5. Kapan waktu yang tepat untuk melakukan terapi ASMA?
6. Bagaimana evaluasi dari pengaruh ASMA untuk meningkatkan kualitas tidur?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum:
Menganalisis hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur penderita asma
1.3.2 Tujuan Khusus:
a. Mengidentifikasi karakteristik responden
b. Mengetahui gambaran tingkat kecemasan penderita asma
c. Mengetahui gambaran kualitas tidur penderita asma
d. Menganalisis hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur penderita
asma

1.4 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini peneliti harapkan dapat memberikan manfaat kepada semua pihak,
meliputi :
1. Bagi RS
Sebagai informasi bagi institusi pelayanan kesehatan tentang kecemasan pada pasien
asma yang mempengaruhi pola tidur. Melalui penelitian ini peneliti berharap dapat memperoleh

6
informasi tentang klien dan selanjutnya berdasarkan informasi tersebut dapat pula
dikembangkan bentuk pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu serta standar asuhan
keperawatan dalam pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur pada pasien asma.

2. Bagi Institusi Pendidikan


Sebagai bahan referensi untuk meningkatkan pembelajaran khususnya yang terkait
dengan pengembangan konsep asuhan keperawatan untuk memenuhi kebutuhan istirahat dan
tidur klien.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat di jadikan sebagai dasar pengembangan penelitian lebih lanjut
mengenai hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur penderita asma.
4. Bagi Peneliti
Manfaat bagi peneliti adalah memperoleh pengetahuan dan wawasan mengenai
hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur penderita asma.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Teori dan Konsep Terkait


2.2.1 Pengertian Kecemasan
Kecemasan adalah gangguan alam sadar (effectife) yang ditandai dengan perasaan
ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan
dalam menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA), masi baik, kepribadian masih tetap utuh
(tidak mengalami keretakan kepribadian/splitting of personality), perilaku dapat terganggu tapi
masih dalam batas normal (Hawari,2006).
Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan mental yang
menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak
adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan
yang nantinya akan menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis dan psikologis (Kozier,
Barbara. 2008). Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (Ghufron M. Nur Dan Wati S, Rini.2012)
kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang
normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah
dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup. Kecemasan adalah reaksi yang
dapat dialami siapapun. Namun cemas yang berlebihan, apalagi yang sudah menjadi gangguan
akan menghambat fungsi seseorang dalam kehidupannya.
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pendapat diatas bahwa kecemasan adalah
rasa takut atau khawatir pada situasi tertentu yang sangat mengancam yang dapat menyebabkan
kegelisahan karena adanya ketidakpastian dimasa mendatang serta ketakutan bahwa sesuatu
yang buruk akan terjadi.

2.2.2 Tingkat Kecemasan


Semua orang pasti mengalami kecemasan pada derajat tertentu, Peplau mengidentifikasi
4 tingkatan kecemasan yaitu:
1. Kecemasan Ringan
Kecemasan ini berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Kecemasan dapat
memotivasi belajar menghasilkan pertumbuhan serta kreatifitas. Tanda dan gejala antara lain:

8
persepsi dan perhatian meningkat, waspada, sadar akan stimulus internal dan eksternal, mampu
mengatasi masalah secara efektif serta terjadi kemampuan belajar. Perubahan fisiologi ditandai
dengan gelisah, sulit tidur, hipersensitif terhadap suara, tanda vital dan pupil normal.
2. Kecemasan Sedang
Kecemasan sedang memungkinkan seseorang memusatkan pada hal yang penting dan
mengesampingkan yang lain, sehingga individu mengalami perhatian yang selektif, namun
dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Respon fisiologi : sering nafas pendek, nadi dan
tekanan darah naik, mulut kering, gelisah, konstipasi. Sedangkan respon kognitif yaitu lahan
persepsi menyempit, rangsangan luar tidak mampu diterima, berfokus pada apa yang menjadi
perhatiaannya.
3. Kecemasan Berat
Kecemasan berat sangat mempengaruhi persepsi individu, individu cenderung untuk
memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berfikir tentang hal lain.
Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Tanda dan gejala dari kecemasan
berat yaitu: persepsinya sangat kurang, berfokus pada hal yang detail, rentang perhatian sangat
terbatas, tidak dapat berkonsentrasi atau menyelesaikan masalah, serta tidak dapat belajar secara
efektif. Pada tingkatan ini individu mengalami sakit kepala, pusing, mual, gemetar, insomnia,
palpitasi, takikardi, hiperventilasi, sering buang air kecil maupun besar, dan diare. Secara emosi
individu mengalami ketakutan serta seluruh perhatian terfokus pada dirinya.
4. Panik
Pada tingkat panik dari kecemasan berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan
teror. Karena mengalami kehilangan kendali, individu yang mengalami panik tidak dapat
melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik menyebabkan peningkatan aktivitas
motorik, menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang,
kehilangan pemikiran yang rasional. Kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika
berlangsung lama dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian. Tanda dan gejala dari
tingkat panik yaitu tidak dapat fokus pada suatu kejadian (Hadibroto, Iwan & Syamsir Alam.

9
2.2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan
Faktor – faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah Alimul H, Aziz.(2006):
a. Faktor fisik
Kelemahan fisik dapat melemahkan kondisi mental individu sehingga memudahkan
timbulnya kecemasan.
b. Trauma atau konflik
Munculnya gejala kecemasan sangat bergantung pada kondisi individu, dalam arti
bahwa pengalaman-pengalaman emosional atau konflik mental yang terjadi pada individu akan
memudahkan timbulnya gejala-gejala kecemasan.
c. Lingkungan awal yang tidak baik.
Lingkungan adalah faktor-faktor utama yang dapat mempengaruhi kecemasan individu,
jika faktor tersebut kurang baik maka akan menghalangi pembentukan kepribadian sehingga
muncul gejala-gejala kecemasan.
Cara hidup orang di masyarakat juga sangat mempengaruhi pada timbulnya ansietas.
Individu yang mempunyai cara hidup sangat teratur dan mempunyai. Falsafah hidup yang jelas
maka pada umumnya lebih sukar mengalami ansietas. Budaya seseorang juga dapat menjadi
pemicu terjadinya ansietas. Hasil survey yang dilakukan oleh Mudjadid,dkk tahun 2006 di lima
wilayah pada masyarakat DKI Jakarta didapatkan data bahwa tingginya angka ansietas
disebabkan oleh perubahan gaya hidup serta kultur dan budaya yang mengikuti perkembangan
kota. Namun demikian, faktor predisposisi di atas tidak cukup kuat menyebabkan sesorang
mengalami ansietas apabila tidak disertai faktor presipitasi (pencetus) (Kozier, Barbara. 2008).

2.2.4 Pengukuran Tingkat Kecemasan


Untuk mengukur tingkat kecemasan, peneliti menggunakan kuesioner dengan metode
Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) merupakan instrumen untuk mengukur tingkat
kecemasan. Penilaian berdasarkan skala Likert dari 0-4, dimana skor 4 menggambarkan hal
negatif dengan penilaian : Tidak ada (0) sangat jarang (1), kadang kadang (2), sering (3), selalu
(4). Dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari 14 pertanyaan, Tingkat kecemasan di
kategorikan menjadi 0-4, yaitu : Normal, jika hasil penilaian dari kuisioner di dapatkan nilai 014
Tidak ada cemas Jika hasil penilaian dari kiesioner di dapatkan 14-20, Cemas ringan, jika hasil

10
penilaian dari kuisioner di dapatkan nilai 21-27, Cemas Sedang, jika hasil penilaian dari
kuisioner di dapatkan nilai 28-41, Cemas Berat Jika hasil penilaian dari kiesioner di dapatkan
nilai 42-56,Cemas Berat sekali (Nursalam, 2012).

2.3 Konsep Tidur


2.3.1 Defenisi Tidur
Tidur merupakan keadaan tidak sadar yang relatif lebih responsif terhadap rangsangan
internal. Perbedaan tidur dengan keadaan tidak sadar lainnya adalah pada keadaan tidur
siklusnya dapat diprediksi dan kurang respons terhadap rangsangan eksternal. Otak berangsur
angsur menjadi kurang responsif terhadap rangsang visual, auditori dan rangsangan lingkungan
lainnya. Tidur dianggap sebagai keadaan pasif yang dimulai dari input sensoric walaupun
mekanisme inisiasi aktif juga mempengaruhi keadaan tidur. Faktor homeostatik (faktor S)
maupun faktor sirkadian (faktor C) juga berinteraksi untuk menentukan waktu dan kualitas tidur
(Susanne,2009).
Tidur merupakan aktifitas yang merupakan susunan saraf pusat, saraf perifer, endokrin,
kardiovasakuler, respirasi, dan muskuloskletal (Susanne,2009).

2.3.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tidur


Faktor – faktor yang mempengaruhi tidur antara lain adalah (Alimul, 2006):
a. Penyakit
Sakit dapat mempengaruhi kebutuhan tidur seseorang. Banyak penyakit yang
memperbesar kebutuhan tidur, misalnya : penyakit yang disebabkan oleh infeksi (infeksi limfa)
akan memerlukan lebih banyak waktu tidur untuk mengatasi keletihan. Banyak juga keadaan
sakit yang menjadikan pasien kurang tidur, bahkan tidak bisa tidur (Hadibroto, Iwan & Syamsir
Alam. (2006).).
b. Latihan dan Kelelahan
Keletihan akibat akivitas yang tinggi dapat memerlukan lebih banyak tidur untuk
menjaga keseimbangan energi yang telah dikeluarkan. Hal ini terlihat pada seseorang yang telah
melakukan aktivitas dan mencapai kelelahan. Maka, orang tersebut akan lebih cepat untuk dapat
tidur karena tahap tidur gelombang lambatnya diperpendek Hadibroto, Iwan & Syamsir Alam.
(2006).

11
c. Stres Psikologis
Kondisi psikologis dapat terjadi pada seseorang akibat ketegangan jiwa. Hal tersebut
terlihat ketika seseorang yang memiliki masalah psikologis mengalami kegelisahan sehingga
sulit untuk tidur (Ramaiah, Savitri. 2006).
d. Obat
Obat juga dapat mempengaruhi proses tidur, beberapa jenis obat yang dapat
mempengaruhi proses tidur adalah jenis golongan obat diuretic menyebabkan seseorang
menjadi isomnia, anti depresan dapat menekan REM, kafein dapat meningkatkan syaraf
simpatis yang menyebabkan kesulitan untuk tidur, golongan beta bloker dapat berefek pada
timbulnya insomnia, dan golongan narkotik dapat menekan REM sehingga mudah mengantuk
(Stuart, Gail W. 2006).
e. Nutrisi
Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang cukup dapat mempercepat proses tidur. Protein
yang tinggi dapat mempercepat terjadinya proses tidur, karena adanya trytophan yang
merupakan asam amino dari protein yang dicerna. Demikian juga sebaliknya, kebutuhan gizi
yang kurang juga dapat mempengaruhi proses tidur, bahkan terkadang sulit untuk tidur.
f. Lingkungan
Keadaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seseorang juga dapat mempercepat
terjadinya proses tidur.
g. Motivasi
Motivasi merupakan suatu dorongan atau keinginan seseorang untuk tidur, yang dapat
mempengaruhi proses tidur. Selain itu, adanya keinginan untuk menahan tidak tidur dapat
menimbulkan gangguan proses tidur (Asmadi.2008).

2.3.3 Kualitas Tidur


Kualitas tidur adalah suatu keadaan dimana tidur yang dijalani seorang individu
menghasilkan kesegaran dan kebugaran ketika terbangun. Kualitas tidur mencakup aspek
kuantitatif seperti durasi tidur, latensi tidur, serta aspek subjektif seperti tidur dalam dan
istirahat (Khasanah & Hidayati, 2012).

12
Menurut Hidayat dalam Khasanah & Hidayati (2012), kualitas tidur seseorang dikatakan
baik apabila tidak menunjukan tanda-tanda kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah
dalam tidurnya. Tanda-tanda kekurangan tidur dapat dibedakan menjadi tanda fisik dan tanda
psikologis. Tanda – tanda fisik akibat kekurangan tidur antara lain : ekspresi wajah (area gelap
disekitar mata, bengkak di kelopak mata, konjungtiva kemerahan dan mata terlihat cekung),
kantuk yang berlebihan, tidak mampu berkonsentrasi, terlihat tanda – tanda keletihan.
Sedangkan tanda – tanda psikologis antara lain : menarik diri, apatis, merasa tidak enak badan,
malas, daya ingat menurun, bingung, halusinasi, ilusi penglihatan dan kemampuan mengambil
keputusan menurun. Kualitas tidur dapat diukur menggunakan Pittsburg Quality of Sleep Index
(PSQI). Alat ini merupakan alat untuk menilai kualitas tidur. Alat ini terdiri dari 9 poin
pertanyaan, pertanyaan itu mengkaji secara luas faktor yang berhubungan dengan tidur seperti
durasi tidur, latensi tidur, dan masalah tidur. Setiap komponen skor memiliki rentang nilai 0-3.
kesembilang komponen dijumlahkan sehingga terdapat skor 0-21, dimana skor lebih tinggi dari
5 menandakan kualitas tidur yang buruk (Maulida. 2011.).

2.3.4 Tahapan Tidur


Tahapan tidur terdapat tidur tenang atau nonREM (non rapid eye movement) dan tidur
aktif atau REM, dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Tidur NonREM
Tidur nonREM terdiri dari 4 tahap, dimana setiap tahapnya mempunyai ciri tersendiri.
Pada tidur tahap I terjadi bila merasakan ngantuk dan mulai tertidur. Jika telepon berbunyi atau
ada sesuatu sampai terbangun, sering kali tidak merasakan bahwa sebenarnya kita telah tertidur.
Gelombang listrik otak memperlihatkan ‘gelombang alfa’ dengan penurunan voltase. Tahap I
ini berlangsung 30 detik sampai 5 menit pertama dari siklus tidur. Tidur tahap II, seluruh tubuh
kita seperti berada pada tahap tidur yang lebih dalam. Tidur masih mudah dibangunkan,
meskipun kita benar-benar berada dalam keadaan tidur. Periode tahap II berlangsung dari 10
sampai 40 menit. Kadang-kadang selama tahap tidur II seseorang dapat terbangun karena
sentakan tiba-tiba dari ekstremitas tubuhnya. Ini normal, kejadian sentakan ini, sebagai akibat
masuknya tahapan REM. Tahap III dan IV. Tahap ini merupakan tahap tidur nyenyak. Pada
tahap III, Orang yang tertidur cukup pulas, rileks sekali karena tonus otot lenyap sama. Tahap
IV mempunyai karakter : tanpa mimpi dan sulit dibangunkan, dan orang akan binggung bila

13
terbangun langsung dari tahap ini, dan memerlukan waktu beberapa menit untuk meresponnya.
Pada tahap ini, diproduksi hormone pertumbuhan guna memulihkan tubuh, memperbaiki sel,
membangun otot dan jaringan pendukung. Perasaan enak dan segar setelah tidur nyenyak,
setidak tidaknya di sebabkan karena hormon pertumbuhan bekerja baik. Tahapan NonREM
mempunyai karakter sebagai berikut : NonREM Tahap I kedaan ini masih dapat merespons
cahaya, berlangsung beberapa menit, aktivitas fisik menurun, tanda vital dan metabolisme
menurun, bila terbangun terasa sedang mimpi. NonREM Tahap II tubuh mulai relaksasi otot,
berlangsung 10 – 20 menit, fungsi tubuh berlangsung lambat, dapat dibangunkan dengan
mudah. NonREM Tahap III adalah awal dari keadaan tidur nyenyak, sulit di bangunkan,
relaksasi otot menyeluruh, tekanan darah menurun, berlangsung 15 – 30 menit. NonREM Tahap
IV sudah terdapat tidur nyenyak, sulit untuk di bangunkan, untuk restorasi dan istirahat, tonus
otot menurun, sekresi lambung menurun, gerak bola mata cepat (Ramaiah, Savitri. 2006.).
b. Tidur REM
Tahap tidur REM sangat berbeda dari tidur nonREM. Tidur REM adalah tahapan tidur
yang sangat aktif. Pola nafas dan denyut jantung tak teratur dan tidak terjadi pembentukan
keringat. Kadang-kadang timbul twitching pada tangan, kaki, atau muka, dan pada laki-laki
dapat timbul ereksi pada periode tidur REM. Walaupun ada aktivitas demikian orang masih
tidur lelap dan sulit untuk dibangunkan. Sebagian besar anggota gerak tetap lemah dan rileks.
Tahap tidur ini diduga berperan dalam memulihkan pikiran, menjernihkan rasa kuatir dan daya
ingat dan mempertahankan fungsi sel-sel otak.Siklus tidur pada orang dewasa biasanya terjadi
setiap 90 menit. Pada 90 menit pertama seluruh tahapan tidurnya adalah NonREM. Setelah 90
menit, akan muncul periode tidur REM, yang kemudian kembali ke tahap tidur NonREM.
Setelah itu hamper setiap 90 menit tahap tidur REM terjadi. Pada tahap awal tidur, periode
REM sangat singkat, berlangsung hanya beberapa menit. Bila terjadi gangguan tidur, periode
REM akan muncul lebih awal pada malam itu, setelah kira-kira 30-40 menit. Orang itu akan
mendapatkan tidur tahap III dan IV lebih banyak. Selama tidur, tahapan tidur akan berpindah-
pindah dari satu tahap ke tahapan yang lain, tanpa harus menuruti aturan yang biasanya terjadi.
Artinya suatu malam, mungkin saja tidak ada tahap III atau IV. Tapi malam lainnya seluruh
tahapan tidur akan didapatkannya.
Karakteristik tidur REM meliputi : mata cepat tertutup dan terbuka, kejang otot kecil,
otot besar imobilisasi, pernapasan tidak teratur, kadang dengan apnea, nadi cepat dan ireguler,

14
tekanan darah meningkat atau fluktuasi, sekresi gaster meningkat, metabolisme meningkat,
temperature tubuh naik, siklus tidur : sulit di bangunkan (Ramaiah, Savitri. 2006.).

2.3.5 Pola Tidur Normal


a. Bayi
Pada bayi baru lahir membutuhkan tidur selama 14-18 jam sehari, pernapasan teratur,
gerak tubuh 50% adalah tahap REM dan terbagi dalam 7 periode. Dan pada bayi tidur selama
12-14 jam sehari, sekitar 20-30% tidur REM, tidur lebih lama pada malam hari dan punya pola
terbangun sebentar (Asmadi, 2008).
b. Todler
Kebutuhan tidur pada Todler menurun menjadi 10-12 jam/hari, tahap REM 20-25%.
Tidur siang dapat hilang pada usia 3 tahun karena sering terbangun pada malam hari yang
menyebabkan mereka tidak ingin tidur pada malam hari (Asmadi, 2008).
c. Preschooler
Memerlukan waktu tidur 11-12 jam pada malam hari, tahap REM 20%. Bisa jadi anak
usia 4-5 mengalami kurang istirahat dan mudah sakit jika kebutuhan tidurnya kurang terpenuhi
(Asmadi, 2008).
d. Usia sekolah
Tidur antara 8-12 jam pada malam hari tanpa tidur siang, tahap REM berkurang sekitar
20%. Anak usia 8 tahun membutuhkan waktu kurang lebih 10 jam setiap malam (Asmadi,2008).
e. Adolensia
Tidur 8-10 jam pada malam hari untuk mencegah kelemahan dan kerentanan terhadap
infeksi, tahap REM 20%. Pada remaja laki-laki mengalami Noctural Emission (orgasme dan
mengeluarkan cairan semen pada tidur malam hari) yang biasa kita kenal dengan mimpi basah
(Potter, 2005).
f. Dewasa muda
Pada masa ini umumnya mereka sangat aktif membutuhkan waktu tidur 7-8 jam/hari,
tahap REM 20%. Dewasa muda yang sehat membutuhkan cukup tidur untuk berpartisipasi
dalam kesibukan aktifitas karena jarang sekali mereka tidur siang (Asmadi, 2008).

15
g. Dewasa Akhir
Kebutuhan akan tidur kurang dari 6 jam/hari, tahap REM 20-25% dan tidur tahap IV
mengalami penurunan (Asmadi, 2008).

2.4 Konsep Asma Bronkhial


2.4.1 Pengertian Asma
Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas dimana banyak sel berperan
terutama sel mast, esonofil, limfosit T macropag, neutropil dan sel epitel (Hariadi, 2010). Asma
merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan
kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan kepekaan saluran napas
sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa
tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari
(GINA, 2006). Menurut National Heart Lung and Blood Institute (NHLBI, 2007), pada individu
yang rentan, gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan menyebabkan obstruksi dan
hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang bervariasi derajatnya.

2.4.2 Patofisiologi
Asma merupakan obstruksi jalan napas yang reversibel. Obstruksi tersebut dapat
disebabkan oleh faktor berikut, seperti penyempitan jalan napas; pembengkakan membran pada
bronki; pengisian bronki dengan mucus kental. Beberapa penderita mengalami respon imun
yang buruk terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) menyerang sel-sel
mast dalam paru yang menyebabkan pelepasan sel-sel mast, seperti histamin dan prostaglandin.
Pelepasan ini mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, bronkospasme, pembengkakan
membran mukosa, pembentukan mukus berlebihan (Carpenito, L.J. (2000)).
Penderita asma idiopatik atau nonalergi, ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang
oleh beberapa faktor, seperti udara dingin, emosi, olahraga, merokok, polusi dan infeksi
sehingga jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Peningkatan asetilkolin ini secara
langsung bisa menimbulkan bronkokonstriksi. Penderita dapat mempunyai toleransi rendah
terhadap respon parasimpatis (Carpenito, L.J. (2000).

16
2.4.3 Klasifikasi Asma
a. Berdasarkan berat ringan gejala
Asma dapat dibagi dalam 3 tahap menurut berat ringannya gejala, yaitu asma
intermitten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat (Tabrani
2010).
b. Berdasarkan serangan asma
Klasifikasi ini mencerminkan berbagai kelainan patologi yang menyebabkan gangguan
aliran udara serta mempunyai dampak terhadap pengobatan. Serangan asma ringan timbul
kadang-kadang, tidak terdapat atau ada hiperreaktivitas bronkus yang ringan. Serangan asma
persisten timbul sering dan terdapat hiperreaktivitas bronkus. Penderita asma berat mempunyai
saluran pernafasan yang sensitif, berisiko tinggi untuk mengalami eksaserbasi tiba-tiba yang
berat dan mengancam jiwa (Mudjadid,dkk tahun 2006).
Asma diklasifikasikan berdasarkan etiologi, derajat penyakit asma, serta pola obstruksi
aliran udara di saluran napas. Walaupun berbagai usaha telah dilakukan, klasifikasi berdasarkan
etiologi sulit digunakan karena terdapat kesulitan dalam penentuan etiologi spesifik dari sekitar
pasien (Gina, 2006). Derajat penyakit asama ditentukan berdasarkan gabungan penilaian
gambaran klinis, jumlah penggunaan agonis β2 untuk mengatasi gejala, dan pemeriksaan fungsi
paru pada evaluasi awal pasien. Pembagian derajat penyakit asma menurut Gina adalah sebagai
berikut :
1) Intermitten
Gejala kurang dari 1 kali/minggu. Serangan singkat. Gejala nokturnal tidak lebih dari 2
kali/bulan (≤ 2 kali). FEV1≥80% predicted atau PEF ≥ 80% nilai terbaik individu. Variabilitas
PEF atau FEV1 < 20%.
2) Persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari. Serangan dapat mengganggu
aktivitas dan tidur. Gejala nokturnal >2 kali/bulan. FEV1≥80% predicted atau PEF ≥ 80% nilai
terbaik individu. Variabilitas PEF atau FEV1 20-30%.
3) Persisten sedang
Gejala terjadi setiap hari. Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur. Gejala
nocturnal > 1 kali dalam seminggu. Menggunakan agonis β2 kerja pendek setiap hari. FEV1 60-
80% predicted atau PEF 60-80% nilai terbaik individu. Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%.

17
4) Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari. Serangan sering terjadi. Gejala asma nokturnal sering terjadi.
FEV1 ≤ predicted atau PEF ≤ 60% nilai terbaik individu. Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%.

2.4.4 Tanda dan Gejala


Kejadian utama pada serangan asma adalah obstruksi jalan napas secara luas yang
merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edema mukosa karena sumbatan mukus.
Tanda serangan asma yang dapat kita ketahui adalah napas cepat, merasa cemas dan ketakutan,
tak sanggup bicara lebih dari 1-2 kata setiap kali tarik napas, dada dan leher tampak mencekung
bila tarik napas, bersin-bersin, hidung mampat atau hidung ngocor, gatal-gatal tenggorokan,
susah tidur, turunnya toleransi tubuh terhadap aktivitas (Ramaiah, Savitri. 2006). Tiga gejala
(Trias Asma) yang sering muncul pada asma adalah sesak napas, napas bunyi/wheezing, batuk-
batuk terutama malam hari. Tingkat keparahan serangan asma tergantung pada tingkat obstruksi
saluran napas, kadar saturasi oksigen, pembawaan pola napas, perubahan status mental, dan
bagaimana tanggapan penderita terhadap status pernapasannya (Ramaiah, Savitri. 2006).

2.4.5 Maniefestasi Klinis


Gejala asma pling umum adalah batuk (dengan atau tanpa di sertai produksi mukus),
dispnea, dan mengi (pertama-tama pada ekspirasi, kemudian bisa juga terjadi pada inspirasi
 Serangan asma paling sering terjadi pada malam hari atau pagi hari.
 Eksaserbasi asma sering kali di dahului pleh penigkatan gejala selama berhari hari,namu
dapat pula terjadi secara mendadak.
 Sesak dada dan dispnea
 Di perlukan usaha untuk di melakukan ekspirasi dan ekspirasi memanjang
 Sering proses eksaserbasi,sianosi sentral sekunder akibat hipoksia berat dapat terjadi.
 Gejala tambahan,seperti diaforesis,takikardia,dan pelebaran tekanan nadi mungkin di
jumpai pada pasien asma
 Asma yang di sebabkan oleh latihan fisik : gejala maksimal selama menjalani latihan
fisik,tidak terdapat gejala pada malam hari,dan terkadan hanya muncul gambaran sensasi
seperti ”tercekik” selama menjalani latihan fisik

18
 Reaksi yang parah dan berlangsung terus menerus,yakni status asmatikus,bisa saja
terjadi, kondisi ini dapat mengancam kehidupan.
 Eksema,ruam,dan edema temporer merupakan reaksi alergi yang biasanya menyertai
asma. (Brunner & Suddarth, 2010).

2.4.6 Faktor Resiko Asma


Beberapa faktor resiko timbulnya asma bronkial telah diketahui secara pasti, antara lain:
riwayat keluarga, tingkat sosial ekonomi rendah, etnis, daerah perkotaan, letak geografi tempat
tinggal, memelihara anjing atau kucing dalam rumah, terpapar asap rokok. Secara umum faktor
risiko asma dibagi kedalam dua kelompok besar, factor resiko yang berhubungan dengan
terjadinya atau berkembangnya asma dan faktor resiko yang berhubungan dengan terjadinya
eksaserbasi atau serangan asma yang disebut trigger faktor atau faktor pencetus (Gina,2006).
Adapun faktor resiko pencetus asma bronkial antara lain:
a. Asap Rokok
Asap rokok dapat menyebabkan asma, baik pada perokok itu sendiri maupun orang-
orang yang terkena asap rokok. Suatu penelitian di Finlandia menunjukkan bahwa orang dewasa
yang terkena asap rokok berpeluang menderita asma dua kali lipat dibandingkan orang yang
tidak terkena asap rokok (Ni Komang Ratih), 2012. Studi lain menunjukkan bahwa seseorang
penderita asma yang terkena asap rokok selama satu jam, maka akan mengalami sekitar 20%
kerusakan fungsi paru. Pada anak-anak, asap rokok akan memberikan efek lebih parah
dibandingkan orang dewasa, ini disebabkan lebar saluran pernafasan anak lebih sempit,
sehingga jumlah nafas anak akan lebih cepat dari orang dewasa. Akibatnya, jumlah asap rokok
yang masuk ke dalam saluran pernapasan menjadi lebih banyak dibanding berat badannya.
Selain itu, karena sistem pertahanan tubuh yang belum berkembang, munculnya gejala asma
pada anak anak jauh lebih cepat dibanding orang dewasa (Ramaiah, 2006).
Hasil analisis 4.000 orang anak berumur 0-5 tahun menunjukkan bahwa anak-anak yang
orang tuanya merokok 10 batang perhari, menyebabkan peningkatan jumlah kasus asma serta
mempercepat munculnya gejala asma pada anak-anaknya. Begitu juga anak yang kembali dari
rumah sakit setelah perawatan asma akut, penyembuhan akan terganggu karena orang tua yang
merokok (Basyir 2005). Efek asap rokok ini tidak hanya memberikan efek negatif pada
anakanak yang telah lahir, tapi juga pada janin yang masih ada di dalam rahim. Karena itu, di

19
Negara maju seperti Jepang, diseluruh rumah sakit bersalin tidak tersedia tempat yang bisa
merokok. Ini karena mereka benar-benar mengerti akan bahaya rokok tersebut. Bayi yang akan
dilahirkan dari seorang ibu yang merokok selama dalam masa kehamilan akan lebih sering
mengalami penyakit saluran pernafasan termasuk asma bronkial pada masa anak-anak
(Ramaiah, 2006). Pembakaran tembakau sebagai sumber zat iritan dalam rumah yang
menghasilkan campuran gas yang komplek dan partikel-partikel berbahaya. Lebih dari 4500
jenis kontaminan telah dideteksi dalam tembakau, diantaranya hidrokarbon polisiklik, karbon
monoksida, karbon dioksida, nitrit oksida, nikotin, dan akrolein. (Gina, 2006).
Secara umum tipe perokok di bagi menjadi beberapa kategori yakni tipe perokok yang
berhubungan dengan udara atau asap yang dihirup, tipe perokok berdasarkan jumlah rokok yang
dikonsumsi dalam 1 hari, dan tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan diri. Berdasarkan
udara atau asap yang dihirup, perokok dikategorikan menjadi: Perokok pasif yakni mereka yang
tidak merokok, tetapi berada di sekeliling perokok dan menghirup asap rokok yang di
hembuskan oleh perokok. Perokok aktif, yakni mereka yang menghisap rokok secara langsung
(www.kppk.com). Adapun berdasarkan jumlah rokok yang dikonsumsi, tipe perokok
dikategorikan menjadi ; Perokok sangat berat, adalah jika mengkonsumsi rokok lebih dari 31
batang perhari, Perokok berat yakni mereka yang merokok sekitar 21-30 batang perhari,
Perokok sedang adalah perokok yang menghabiskan rokok 11-21 batang perhari, dan Perokok
ringan yang merokok sekitar 10 batang/hari (Gina, 2006).
b. Tungau Debu Rumah
Tungau debu adalah penyebab paling umum diseluruh dunia. Alergi tungau lebih sering
terjadi di kota dan Negara berkembang. Hal ini terjadi karena rumah modern dan penggunaan
teknik insulasi memuningkankan tungau hidup lebih baik (Sundaru H, Sukamto. (2006)). Asma
bronkial dikaitkan oleh masuknya suatu alergen misalnya tungau debu. Tungau debu akan
mengeluarkan feses yang dilapisi protein pada setiap butir partikelnya. Yang menyebabkan
reaksi alergi bagi penderita asma apabila masuk ke dalam saluran nafas.Ketika tungau ini mati,
tubuhnya yang membusuk bercampur dengan debu rumah tangga (Sundaru H, Sukamto. 2006).
Tungau debu rumah memiliki ukuran 0,1 – 0,3 mm dan lebar 0,2 mm biasanya terdapat di
tempat-tempat atau benda-benda yang banyak mengandung debu (Vitahealth, 2006). Misalnya
debu yang berasal dari karpet dan jok kursi, terutama yang berbulu tebal dan lama tidak
dibersihkan, juga dari tumpukan koran, buku, pakaian lama (Sundaru H, Sukamto. 2006)

20
c. Jenis Kelamin dan usia
Jumlah kejadian asma pada anak laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan anak
perempuan (Sundaru, 2006). Perbedaan jenis kelamin pada insidensi penyakit asma bervariasi,
tergantung usia dan perbedaan karakter biologi. Insidensi penyakit asma pada anak laki-laki usia
2-5 tahun ternyata 2 kali lebih sering dibandingkan anak perempuan sedangkan pada usia 14
tahun risiko asma anak laki- laki 4 kali lebih sering. Kunjungan ke rumah sakit 3 kali lebih
sering dibanding anak perempuan pada usia tersebut, tetapi pada usia 20 tahun kekerapan asma
pada laki-laki merupakan kebalikan dari insiden ini (Yunus, 2006).
Peningkatan resiko pada anak laki-laki disebabkan semakin sempitnya saluran
pernapasan, perubahan pada pita suara, dan mungkin terjadi peningkatan IgE pada laki-laki
yang cenderung membatasi respon bernapas (Sundaru, 2006) Didukung lagi oleh adanya
hipotesis dari observasi yang menunjukkan tidak ada perbedaan ratio diameter saluran
pernafasam laki laki dan perempuan setelah berumur 10 tahun, kemungkinan disebabkan
perubahan ukuran rongga dada yang terjadi pada masa puber laki-laki dan tidak pada
perempuan. Predisposisi perempuan yang mengalami asma lebih tinggi pada laki-laki mulai
ketika masa puber, sehingga prevalensi asma pada anak yang semula laki-laki lebih tinggi dari
pada perempuan mengalami perubahan dimana nilai prevalensi pada perempuan lebih tinggi
dari pada laki-laki (Gina, 2006).
d. Binatang Peliharaan
Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing, hamster, burung dapat menjadi
sumber alergen inhalan. Sumber penyebab asma adalah alergen protein yang ditemukan pada
bulu binatang di bagian muka dan ekskresi. Alergen tersebut memiliki ukuran yang sangat kecil
(sekitar 3-4 mikron) dan dapat terbang di udara sehingga menyebabkan serangan asma, terutama
dari burung dan hewan menyusui karena bulu akan rontok dan terbang mengikuti udara (Depkes
R.I (2009).
e. Jenis Makanan
Alergi makanan seringkali tidak terdiagnosis sebagai salah satu pencetus asma meskipun
penelitian membuktikan alergi makanan sebagai pencetus onkokontriksi pada 2% - 5% anak
dengan asma (Ramaiah, 2006). Meskipun hubungan antara sensitivitas terhadap makanan
tertentu dan perkembangan asma masih diperdebatkan, tetapi bayi dan anak-anak yang sensitif

21
terhadap makanan tertentu atau menderita enteropathy atau colitis karena alergi makanan
tertentu akan cenderung menderita asma (GINA, 2006).
Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu sapi, ikan laut, kacang,
berbagai buah-buahan seperti tomat, strawberry, mangga, durian berperan menjadi pencetus
seranga asma (Gina, 2006). Makanan produk industri dengan pewarna buatan (misal: tartazine),
pengawet (metabisulfit), vetsin (monosodium glutamat-MSG) juga bisa memicu serangan asma.
Makanan yang terutama sering mengakibatkan reaksi yang fatal adalah kacang, ikan laut dan
telor (Gina, 2006). Penelitian di Arab Saudi membandingkan makanan pengidap asma dengan
tidak asma. Anak Arab Saudi yang tinggal di daerah perkotaan banyak menunjukkan gejala
nafas berbunyi atau mengi. Anak-anak ini sering bersantap di gerai-gerai makanan cepat saji
dan secara signifikan kurang mendapatkan asupan makanan tradisional, termasuk sayuran, susu,
makanan yang kaya serat, vitamin dan mineral (Sundaru, 2006).
f. Perabot Rumah Tangga
Bahan polutan indoor dalam ruangan meliputi bahan pencemar biologis (virus, bakteri,
jamur), formadehyde, volatile organic coumpounds (VOC), combustion products (CO1, NO2,
SO2) yang biasanya berasal dari asap rokok dan asap dapur. Sumber polutan VOC berasal dari
semprotan serangga, cat, pembersih, kosmetik, Hairspray, deodorant, pewangi ruangan, segala
sesuatu yang disemprotkan dengan aerosol sebagai propelan dan pengencer (solvent) seperti
thinner. Sumber formaldehid dalam ruangan adalah bahan bangunan, insulasi, furnitur, karpet
(Ramaiah, 2006). Paparan polutan formaldehid dapat mengakibatkan terjadinya iritasi pada
mata dan saluran pernapasan bagian atas. Partikel debu, khususnya respilable dust disamping
menyebabkan ketidak nyamanan juga dapat menyebabkan reaksi peradangan paru.
g. Perubahan Cuaca
Kondisi cuaca seperti temperatur dingin, tingginya kelembaban dapat menyebabkan
asmalebih parah, epidemik yang dapat membuat asma menjadi lebih parah berhubungan dengan
badai dan meningkatnya konsentrasi partikel alergenik (Ramaiah, 2006). Dimana partikel
tersebut dapat menyapu pollen sehingga terbawa oleh air dan udara. Perubahan tekanan
atmosfer dan suhu memperburuk asma sesak nafas dan pengeluaran lendir yang berlebihan. Ini
umum terjadi ketika kelembaban tinggi, hujan, badai selama musim dingin. Udara yang kering
dan dingin menyebabkan sesak di saluran pernafasan (Ramaiah, 2006).

22
Asma berhubungan dengan iklim, Kota besar seperti Auckland, Brisbane, Hongkong
dan New Orleans yang mempunyai suhu panas >24oC dan rata rata curah hujan tahunan
>100cm, mempunyai prevalensi asma yang tinggi. RS Cipto menunjukkan penderita dengan
perubahan udara kemungkinan akan mengalami asma 31.83 x lebih besar dari penderita tanpa
perubahan cuaca. Hal ini diperkuat dengan penelitian di Amerika seikat yang membuktikan
bahwa ada hubungan antara kunjungan asma dengan cuaca dingin dan kering pada musim semi.
h. Riwayat Penyakit Keluarga
Genetik merupakan faktor pendukung timbulnya asma. Bakat alergi merupakan hal yang
diturunkan, meskipun belum di ketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Bakat alergi
ini membuat penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpapar factor
pencetus. Penderita biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga menderita penyakit alergi
(Sundaru, 2006).. Apabila kedua orang tua memiliki riwayat penyakit asma maka hampir 50%
dari anak-anaknya memiliki kecenderungan asma, sedangkan jika hanya salah satu orang tuanya
yang menderita asma maka kecenderungannya hanya 35%. Lebih kurang 25% penderita
penyakit asma, keluarga dekatnya juga menderita asma, meskipun asmanya tidak aktif lagi,
diantara keluarga penderita asma 2/3 memperlihatkan test alergi positif (Sundaru, 2006). Resiko
orang tua dengan asma mempunyai anak dengan asma adalah tiga kali lipat lebih tinggi jika
riwayat keluarga dengan asma disertai dengan salah satu riwayat atopi. Predisposisi keluarga
untuk mendapatkan penyakit asma yaitu kalau anak dengan satu orangtua yang terkena
mempunyai risiko menderita asma 25%, risiko bertambah menjadi sekitar 50% jika kedua orang
tua asmatisk. Asma tidak selalu ada pada kembar monozigot, tingkat stabilitas bronkokontriksi
pada olahraga ada pada kembar identik, tetapi tidak pada kembar dizigot (Sundaru, 2006).
Orang tua asma kemungkinan 8-16 kali menurunkan asma dibandingkan dengan orang tua yang
tidak asma, terlebih lagi bila anak alergi terhadap tungau debu rumah (Sundaru, 2006).
Pencetus yang paling sering memunculkan gejala asma dan eksaserbasi mencakup iritan
jalan napas (misalnya, polutan, suhu dingin, panas, bauh menyengat, asap, parfum),latihan fisik,
stress atau perasaan marah, khinosinusitis dengan post nasal drip, obat-obatan, infeksi firus pada
jalan napas, refluks gastroesofageal.

23
2.4.7 Penatalaksanaan Medis

Terapi Farmakologi
Terdapat 2 golongan medikasi-medikasi kerja-cepat dan kontrol kerja-lambat maupun
produk kombinasi.
 Agonis adrenergik-beta2 kerja pendek.
 Antikolinergik.
 Kortikosteroid: inhaler dosis terukur (MDI).
 Inhibitor pemodifikasi leukotrien/antileukotrien.
 Metilxantin.

24
BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFENISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep


Sesuai dengan judul dalam penilitian ini yaitu “Hubungan Tingkat Kualitas Tidur
Dengan Penderita Asma Di RSU Kota Ternate”, maka yang akan diteliti ada 2 variabel, yaitu
variebel bebas (terapi perilaku kognitif ) dan variebel terikat kualitas tidur pada mahasiswa
stikes wdh).
Simamora (2004:26-27) menyatakan bahwa “istilah lain untuk variable independen
adalah variable bebas variable anteseden, predictor, variable yang mempengaruhi dan stimulus.
Sedangkan variable dependen sering disebut sebagai variable tidak bebas, variable konsekuensi,
variable terpengaruh, criterion atau respons.”

3.2 Hipotesis
Mengacu pada kerangka konsep penelitian, maka yang menjadi hipotesis penelitian ini meliputi:
Ho : Tidak adanya pengaruh CBT terhadap peningkatan kualitas tidur pada penderita Asma
di RSU Kota Ternate.
Ha : Adanya pengaruh CBT terhadap peningkatan kualitas tidur pada penderita Asma di
RSU Kota Ternate.

Variable Defenisi Operasioal Alat Ukur Skala


Terapi Perilaku
Kognitif
Peningkatan Kualitas tidur adalah
kualitas tdur ukuran dimana seseorang
itu dapat kemudahan
dalam memulai tidur dan
untuk mempertahankan
tidur, kualitas tidur
seseorang dapat

25
digamnbarkan dengan
lama waktu tidur, dan
keluhan-keluhan yang
dirasakan saat tidur
ataupun sehabis bangun
tidur . Kebutuhan tidur
yang cukup ditentukan
selain oleh faktor jumlah
jam tidur (kuantitas tidur),
juga oleh faktor
kedalaman tidur (kualitas
tidur). (Potter dan Perry,
2005)

26
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian bahwa penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh Terapi Perilaku Kognitif untuk meningkatkan kualitas tidur pada penderita
insomnia pada mahasiswa STIKes WDH. Oleh karena itu dalam penelitian ini
menggunakan Metode penelitian kuantitatif dengan pendekatan eksperimen. Memberikan
perlakuan kepada subjek penelitian kemudian hasil dari perlakuan tersebut diukur dan
dianalisa (Nursalam, 2011). Penelitian eksperimen adalah penelitian yang memberikan
perlakuan terhadap suatu sampel penelitian yang kemudian mengamati konsekuensi
perlakuan tersebut terhadap obyek penelitian.
Desain rancangan penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:
Kelompok Pre test Intervensi Post test
ekperimen
O1 X O2
Keterangan :
a. O1 : Pengukuran kualitas tidur, sikap negative pasien dan manajemant tidur
b. X : Intevensi pemberian Terapi perilaku kognitif secara terstruktur
c. O2 : Pengukuran kualitas tidur, sikap negative pasien dan manajemant tidur
setelah dilakukan terapi
4.2. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Polulasi Adalah kumpulan lengkap dari seluruh subyek, individu atau elemen lainnya
yang secara implisit akan dipelajari dalam sebuah penelitian (Murti, 2010). Dalam
penelitian ini adalah mahasiswa smt 1-5 STIKes WDH dengan 2 Program studi yang
diambil yaitu S1 keperawatan dan D3 Kebidanan.
b. Sampel
Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi
(Notoatmojo, 2010). Sampel penelitian ini dilakukan kepada15respondendengan teknik
pengambilan sampel Non Probability Sampling dengan jenis Purposive Sampling. Menurut
Roscoe (1982) dalam Sugiono (2010), untuk penelitian eksperimen sederhana jumlah

27
sampel adalah antara 10-20 orang. Untuk penetapan sampel diperlukan kriteria inklusi dan
ekslusi agar responden yang terpilih benar benar memenuhi persyaratan umum subyek
penelitian.
Adapun kriteria sampel penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mahasiswa STIKes WDH
2. Memiliki kewarganegaraab sebagai Warga Negara Indonesia (WNI)
3. Memiliki riwayat insomnia yang kepanjangan
4. Memeliki kualitas yang rendah
5. Bersedia mengikuti arahan dari peneliti
6. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 30 orang
4.3. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan sejak Maret 2020 di STIKes WDH. Pengumpulan data dan
intervensi dilakukan sejak tanggal 20 April- 20 Mei 2020.
4.4. Etika Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan rekomendasi dari institusi tempat
penelitian. Penelitian menggunakan etika sebagai berikut (Loiselle et al., (2004) dalam
Palestin (2007):
1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)
Peneliti mempertimbangkan hak-hak subyek untuk mendapatkan informasi
yang terbuka berkaitan dengan jalannya penelitian serta memiliki kebebasan
menentukan pilihan dan bebas dari paksaan untuk berpartisipasi dalam kegiatan
penelitian (autonomy). Beberapa tindakan yang terkait dengan prinsip menghormati
harkat dan martabat manusia, adalah: peneliti mempersiapkan formulir persetujuan
subyek (informed consent).
2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subyek penelitian (respect for privacy and
confidentiality)
Pada dasarnya penelitian akan memberikan akibat terbukanya informasi individu
termasuk informasi yang bersifat pribadi, sehingga peneliti memperhatikan hak-hak
dasar individu tersebut.
3. Keadilan dan inklusivitas (respect for justice and inclusiveness)

28
Penelitian dilakukan secara jujur, hati-hati, profesional, berperikemanusiaan, dan
memperhatikan faktor-faktor ketepatan, keseksamaan, kecermatan, intimitas,
psikologis serta perasaan religius subyek penelitian. Menekankan kebijakan penelitian,
membagikan keuntungan dan beban secara merata atau menurut kebutuhan,
kemampuan, kontribusi dan pilihan bebas masyarakat. Peneliti mempertimbangkan
aspek keadilan gender dan hak subyek untuk mendapatkan perlakuan yang sama baik
sebelum, selama, maupun sesudah berpartisipasi dalam penelitian.
4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms and
benefits)
Peneliti melaksanakan penelitian sesuai dengan prosedur penelitian guna
mendapatkan hasil yang bennanfaat semaksimal mungkin bagi subyek penelitian dan
dapat digeneralisasikan di tingkat populasi (beneficence). Peneliti meminimalisasi
dampak yang merugikan bagi subyek (nonmaleficence).
4.5. Alat Pengumpulan Data
4.1.1. Data Demografi
untuk membuat data yang relevan dengan tujuan penelitian menggunakan
instrumen pengumpulan data berupa kuesioner dan wawancara. Kuesioner yaitu
suatu cara pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengedarkan suatu daftar
pertanyaan yang berupa formulir (Setiadi,2013) yang berisi 20 pernyataan kepada
mahasiswa semester 1-5 Keperawatan dan kebidanan STIKes WDH serta Proses
mendapatkan keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil
bertatap muka antara pewawancara dan subyek dengan memakai panduan
wawancara.
4.1.2. Kuisioner
Dalam penelitian ini menggunakan kuesioner Mooney Problem Check List.
Alat ukur yang digunakan untuk melihat masalah kualitas tidur pada penderita
insomnia. Mooney Problem Check List tidak mengukur kekuatan ataupun intensitas
masalah yang dihadapi oleh individu. Mooney Problem Check List (MPLC) hanya
mensensus masalah apa saja yang dihadapi oleh individu. Setiap mahasiswa harus
membaca setiap item yang ada kemudian mereka dapat memberi respon dengan
menggaris bawahi atau melingkari pernyataan yang merepresikan keluhan mereka.

29
Masalah yang dilingkari adalah masalah yang menjadi focus perhatian mereka. Pada
akhirnya mereka juga diminta untuk menuliskan secara singkat masalah yang
sedang mereka hadapi saat ini (Monney & Gordon, 1950)
4.6. Pengukuran Variabel
Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat nilai dari orang, objek atau
kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012:61). Pada penelitian ini telah ditentukan
2 variabe, yaitu variable bebas atau variable independen dan variable terikat atau dependen.
Pengukuran variabel adalah proses menentukan jumlah atau intensitas informasi
mengenai orang, peristiwa, gagasan, dan atau obyek tertentu serta hubungannya dengan
masalah atau peluang bisnis.Dengan kata lain, menggunakan proses pengukuran yaitu
dengan menetapkan angka atau tabel terhadap karakteristik atau atribut dari suatu obyek,
atau setiap jenis fenomena atau peristiwa yang mengunakan aturan-aturan tertentu yang
menunjukkan jumlah dan atau kualitas dari faktor-faktor yang diteliti.
Dalam penelitian ini pengurkuran variabelnya menggunakan Skala Ordinal. Skala
Ordinal tidak hanya menyatakan katagori tapi juga menyatakan peringkat katagori tersebut.
Skala Ordinal menjawab atas suatu pertanyaan, responden diminta untuk memberikan
urutan alternatif jawaban yang paling sesuai. Misal rangking jawaban yang dibuat
berdasarkan preferensi Responden:1. Senang sekali, 2. Senang, 3. Kurang senang, 4.
Kurang senang sekali. (beda antara dua titik tidak dapat diukur).
4.7. Uji Validitas dan Reabilitas
4.7.1. Validitas
Pengujian ini dilakukan untuk mengatahui apakah alat ukur yang digunakan
mengukur apa yang perlu diukur. Suatu alat ukur yang validitasnya tinggi akan
mempunyai tingkat kesalahan kecil, sehingga data yang terkumpul merupakan data
yang memadai. Validitas menunjukan sejauh mana suatu alat pengukur itu
mengukur apa yang ingin diukur. Uji validitas dalam penelitian ini digunakan
analisis item, yaitu mengkorelasikan skor tiap butir dengan skor total yang
merupakan jumlah dari tiap skor butir. Jika ada item yang tidak memenuhi syarat,
maka item tersebut tidak akan diteliti lebih lanjut. Syarat tersebut menurut Sugiyono
(2010:178) yang harus dipenuhi yaitu harus memiliki kriteria sebagai berikut:

30
1. Jika koefisien korelasi r 0,30 maka item tersebut dinyatakan valid,
2. Jika koefisien korelasi r 0,30 maka item tersebut dinyatakan tidak valid.

nΣXiYi−( ΣXi)( ΣYi)


r=
√{nΣXi 2−(ΣXi)2 }{nΣYi 2−(ΣYi)2 }
Keterangan:
𝑟 = Koefisien korelasi product moment
𝑋𝑖 = Variabel independen (variabel bebas)
𝑌𝑖 = Variabel dependen (variabel terikat)
𝑛 = Jumlah responden (sampel)
Σ𝑋𝑖𝑌𝑖 = Jumlah perkalian variabel bebas dan variabel terikat
2 = Pangkat 2
4.7.2. Reliabilitas
Untuk melihat reliabilitas masing-masing instrumen yang digunakan,
penulis menggunakan koefisien cronbach alpha (α) dengan menggunakan fasilitas
Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 20 untuk jenis pengukuran
interval. Suatu instrumen dikatakan reliabel jika nilai cronbach alpha lebih besar
dari batasan yang ditentukan yakni 0,6 atau nilai korelasi hasil perhitungan lebih
besar daripada nilai dalam tabel dan dapat digunakan untuk penelitian, yang
dirumuskan:

𝑎=
k
k−1 (
1−
Σsi
st )
Keterangan:
𝑎 = Koefisien reliabilitas
𝑘 = Jumlah item pertanyaan yang diuji
Σsi = Jumlah varian skor tiap item
𝑠𝑡 = Varians total
4.8. Prosedur Pengumpulan data
4.8.1. Data Primer

31
Yaitu data yang diperoleh dari kuisioner yang telah dibagikan dan disis oleh
responden yaitu Umur, jenis kelamin, pekerjaan, penghasilan, pengetahuan, sikap,
manajement tidur, dan kualitas tidur.
4.8.2. Data Sekunder
Yaitu data lain sebagai pendukung, data penelitian yang diperoleh dari
wawancara kepada sampel responden.
4.9. Pengolahan dan Analisis Data
4.9.1. Pengolahan Data
1. Editing
Yaitu kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir atau kuesionar
apakah jawaban yang dikuesioner dan hasil wawancara sudah: Lengkap, Jelas,
Releven, Konsisten
2. Coding
Yaitu kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk
angka/bilangan.
3. Prosesing
a. kuesinoer terisi penuh dan benar pengkodeanmemproses data entry dianlisis.
b. Pemprosesan data dilakukan data dilakukan dengan cara mengentry.
4. Cleaning
Yaitu pengecekan kembali data yang sudah di entry apakah dala kesalahan
atau tidak. Kesalahan tersebut dimungkinkan terjadi pada saat kita meng-entry ke
computer (Program SPSS for Windows).
Adapun cara meng-cleaning data:
a. Mengetahui Missing data
b. Mengetahui variasi data
c. Mengeatahui konsistensi data
4.9.2. Analisa Data
1. Analisis Univariat : Analisis univariat ini dilakukan untuk memperoleh
gambaran/deskripsi pada masing-masing variabel tidak terikat maupun varibel
terikat

32
2. Analisa Bivariat : Analisa ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara cariabel-
variabel independen (X1) dengan variable (Y1). Untuk membuktikan adanya
tidaknya hubungan tersebut, dilakukan statistik uji Chi-Square dengan derajat
kepercayaan 95% ( α =0,05). Pada penelitian ini pengolahan data menggunakan
program software pengolahan data statistik, yang nantinya akan diperoleh nilai p.
Nilai p akan dibandingkan dengan nilai α. Dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Jika nilai p ≤ α (p ≤ 0,05), maka hipotesis (Ho) ditolak, berarti data sampel
mendukung adanya perbedaan yang signifikan.
b. b. Jika nilai p > α (p > 0,05), maka hipotesis (Ho) diterima, berarti sampel tidak
mendukung adanya perubahan yang bermakna.
3. Analisa Multivariat
Pada analisis multivariat, uji statistik yang digunakan adalah regresi berganda.
Uji ini digunakan untuk menganalisis hubungan beberapa variabel independen
dengan satu variabel dependen. Hasil analisis multivariat dapat dilihat dari nilai
expose atau yang disebut odd ratio. Semakin besar nilai odd ratio berarti semakin
besar pengaruhnya terhadap variabel dependen yang dianalisis (Sutanto, 2006)

33
DAFTAR PUSTAKA
1. Marlin Sutrisna, Emmy H Pranggono, Titis Kurniawan. (2018). PENGARUH TEKNIK
PERNAPASAN BUTEYKO TERHADAP ACT (ASTHMA CONTROL TEST ). Universitas
Padjadjaran.
https://doi.org/10.31539/jks.vli2.22

2. Merry Tyas Anggraini, Rihadini, Festi Tsaqofah . (2014). Tingkat Kecemasan


Mempengaruhi Kualitas Tidur pada Penderita Asma Bronkial Usia Lanjut. Semarang:
FK Universitas Muhammadiyah Semarang.
https://jurnal.unimus.ac.id

3. Gisella Tesalonika Tumigolung, Lucky Kumaat, Franly Onibala. (2016). HUBUNGAN


TINGKAT KECEMASAN DENGAN SERANGAN ASMA PADA PENDERITA ASMA DI
KELURAHAN MAHAKERET BARAT DAN MAHAKERET TIMUR KOTA MANADO.
Manado: FK Universitas Sam Ratulangi Manado.
https://ejournal.unsrat.ac.id

4. Yusnik Adi Putra, Ari Udiyono, Sri Yuliawati. (2018). GAMBARAN TINGKAT
KECEMASAN DAN DERAJAT SERANGAN ASMA PADA PENDERITA DEWASA
ASMA BRONKIAL. Studi di WilayahKerja Puskesmas Gunungpati, Kota Semarang
Tahun 2016. Semarang: FKM Universitas Diponegoro.
http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm

5. Michael Hostiadi, Dkk. (2015). Hubungan Antara Tingkat Kecemasan Dengan


Frekuensi Kekambuhan Keluhan Sesak Napas Pada Pasien Asma Bronkial Di SMF
Paru RSD DR. Soebandi Jember. Jember: FK Universita Jember.
https://jurnal.unej.ac.id

34

Anda mungkin juga menyukai