Anda di halaman 1dari 23

WAJAH BURUK PENDIDIKAN DI INDONESIA

Oleh Zulia Ilmawati dkk

(TIM PENDIDIKAN HTI)

Paradigma Pendidikan Nasional

Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini adalah sistem pendidikan yang
sekular-materialistik. Hal ini dapat terlihat antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI
tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis
pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus.
Dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum.
Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia salih yang
berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains
dan teknologi.

Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui madrasah, institut
agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum melalui
sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen
Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan
(iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama.
Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang
tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang perannya sangat
minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh aspek.

Hal ini juga tampak pada BAB X pasal 37 UU Sisdiknas tentang ketentuan kurikulum pendidikan dasar
dan menengah yang mewajibkan memuat 10 bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang
tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang lainnya. Ini jelas tidak akan
mampu mewujudkan anak didik yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan nasional sendiri, yaitu
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Kacaunya kurikulum ini tentu saja berawal dari asasnya yang sekular, yang kemudian mempengaruhi
penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya bagi proses penguasaan
tsaqâfah Islam dan pembentukan kepribadian Islam.

Pendidikan yang sekular-materialistik ini memang bisa melahirkan orang yang menguasai sains-teknologi
melalui pendidikan umum yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan semacam itu terbukti gagal
membentuk kepribadian peserta didik dan penguasaan tsaqâfah Islam. Berapa banyak lulusan
pendidikan umum yang tetap saja 'buta agama' dan rapuh kepribadiannya? Sebaliknya, mereka yang
belajar di lingkungan pendidikan agama memang menguasai tsaqâfah Islam dan secara relatif sisi
kepribadiannya tergarap baik. Akan tetapi, di sisi lain, ia buta terhadap perkembangan sains dan
teknologi. Akhirnya, sektor-sektor modern (industri manufaktur, perdagangan, dan jasa) diisi oleh orang-
orang yang relatif awam terhadap agama karena orang-orang yang mengerti agama terkumpul di
dunianya sendiri (madrasah, dosen/guru agama, Depag), tidak mampu terjun di sektor modern.

Sistem pendidikan yang material-sekularistik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka
dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekular. Dalam sistem sekular, aturan-
aturan, pandangan, dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata
berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Karena itu, di tengah-tengah sistem sekularistik ini
lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama.

Mahalnya Biaya Pendidikan

Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini yang sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang
harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari
Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki
pilihan lain kecuali tidak bersekolah.

Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000,- sampai Rp 1.000.000,- Bahkan ada
yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta. Makin
mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS
(Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk
melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS
selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang
lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai
keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang
dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah.
Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya
menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.

Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP).
Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi
ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat
melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang
sosoknya tidak jelas. Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang
kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan
Tinggi favorit.

Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari
tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar
35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya,
sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong
hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

Dari APBN 2005 hanya 5.82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk
membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id).

Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti


Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan
pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan
formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Seperti
halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional
pendidikan.
Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai
bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan
dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya
sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu
saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu.
Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan
masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan
merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat
Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah
berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum
pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah
negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi badan hukum milik
negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka
argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara
berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah.
Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, tetapi persoalannya siapa yang seharusnya
membayarnya. Kewajiban Pemerintahlah untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan
menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi,
kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak
dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk 'cuci tangan'.

Kualitas SDM yang Dihasilkan Rendah

Akibat paradigma pendidikan nasional yang materialistik-sekularistik, kualitas kepribadian anak didik di
Indonesia semakin memprihatinkan. Maraknya tawuran antar remaja di berbagai kota ditambah dengan
sejumlah perliku mereka yang sudah tergolong kriminal, meningkatanya penyalahgunaan narkoba, dan
pergaulan bebas adalah bukti bahwa pendidikan tidak berhasil membentuk anak didik yang memiliki
kepribadian Islam.

Dari sisi keahlian pun sangat jauh jika dibandingkan dengan negara lain. Bersama dengan sejumlah
negara ASEAN, kecuali Singapura dan Brunei Darussalam, Indonesia masuk dalam kategori negara yang
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)-nya di tingkat medium. Jika dilihat dari indikator indeks
pendidikan, Indonesia berada di atas Myanmar, Kamboja, dan Laos atau ada di peringkat 6 negara
ASEAN. Bahkan indeks pendidikan Vietnam—yang pendapatan perkapitanya lebih rendah dari Indonesia
—adalah lebih baik.

Jika dibandingkan dengan India, sebuah negara dengan segudang masalah (kemiskinan, kurang gizi,
pendidikan yang rendah), ternyata kualitas SDM Indonesia sangat jauh. India dapat menghasilkan
kualitas SDM yang mencengangkan. Berbekal penguasaannya di dalam teknologi, khususnya teknologi
informasi, negeri dengan jumlah penduduk lebih dari 1 miliar itu mempunyai target menjadi negara
maju dan satu dari lima penguasa dunia pada tahun 2020. Mimpi ini tak muluk-muluk jika kita
menengok kekuatan pendidikannya. Meski negara ini masih bergulat dengan persoalan buta huruf dan
pemerataan pendidikan dasar, India punya sederet perguruan tinggi yang benar-benar menjadi pusat
unggulan dengan reputasi internasional. Digerakkan oleh keberadaan pusat-pusat unggulan itu, kini
pemerintah India lebih serius membenahi pendidikan masyarakat bawah.

Prestasi India dalam teknologi dan pendidikan sangat menakjubkan. Jika Indonesia masih dibayang-
bayangi pengusiran dan pemerkosaan tenaga kerja tak terdidik yang dikirim ke luar negeri, banyak orang
India mendapat posisi bergengsi di pasar kerja Internasional. Bahkan di AS, kaum profesional asal India
memberi warna tersendiri bagi negara adikuasa itu. Sekitar 30 persen dokter di AS merupakan warga
keturunan India. Tidak kurang dari 250 warga India mengisi 10 sekolah bisnis paling top di AS. Sekitar 40
persen pekerja microsoft berasal dari India. (Kompas, 4/9/2004).

Berdasarkan peringkat universitas terbaik di Asia versi majalah Asiaweek 2000, tidak satu pun perguruan
tinggi di Indonesia masuk dalam 20 terbaik. UI berada di peringkat 61 untuk kategori universitas
multidisiplin. UGM diperingkat 68, UNDIP diperingkat 77, UNAIR diperingkat 75; sedangkan ITB
diperingkat 21 untuk universitas sains dan teknologi, kalah dibandingkan dengan Universitas Nasional
Sains dan Teknologi Pakistan.

Walaupun angka partisipasi murni SD di Indonesia dalam kurun 20 tahun meningkat dari 40 menjadi 100
persen, kualitasnya sulit dibanggakan. Kini puluhan ribu anak SD harus belajar di sekolah bobrok.
Ironinya, sampai saat ini belum terjawab, bagaimana Pemerintah menangani persoalan yang sangat
kasatmata itu; sementara masih banyak anak usia SD yang putus sekolah atau malah belum terjangkau
sama sekali oleh pelayanan pendidikan. Wajib belajar 9 tahun secara kuantitatif pun sulit bisa
dituntaskan pada tahun 2008.

I. PEDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap bangsa tentu memiliki sistem pendidikan. Dengan sistem pendidikan itu, suatu bangsa
mewariskan segala pengalaman, pengetahuan, keterampilan dan sikap, agama dan ciri-ciri watak khusus
yang dimilikinya dengan cara tertentu kepada generasi penerusnya, agar mereka dapat mewariskannya
dengan sebaik-baiknya. Melalui siStem pendidikan itu, suatu bangsa dapat memelihara dan
mempertahankan nilai-nilai luhur, serta keunggulan-keunggulan mereka dari generasi ke generasi.

Sejalan dengan tumbuhnya perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu sosial pada akhir abad 19, tertuju
perhatian pada pengakuan adanya hubungan yang dinamis antara pendidikan dengan masyarakat atau
negara tertentu. Pendidikan dipandang sebagai cerminan dari suatu masyarakat atau bangsa, dan
sebaliknya suatu masyarakat atau bangsa dibentuk oleh sistem pendidikannya.

Pendidikan komparatif membahas perbandingan secara ilmiah, dan mempunyai tujuan untuk melihat
persamaan dan perbedaan, kerja sama, pertukaran pelajar antar bangsa dalam menciptakan pedamaian
dunia. Pendapat tersebut sebagai usaha menanamkan dan menumbuh-kembangkan rasa saling
pengertian dan kerja sama antar bangsa, demi terpeliharanya perdamaian dunia, melalui peroses
pendidikan. Pendidikan komparatif juga diperlukan, untuk melihat kemajuan, kualiatas pendidikan di
negara maju dibandingkan dengan dengan negara berkembang.

Studi perbandingan pendidikan merupakan salah satu cara untuk mengetahui berbagai aspek yang
berhubungan dengan system pendidikan Negara tertentu, terutama yang berhubungan dengan
kelebihan yang terjadi pada system pendidikan negara tersebut. Untuk itulah pada kesempatan kali ini
penulis mencoba menguraikan perbandingan pendidikan terhadap Negara Korea Selatan, dan Indonesia.
Penulis tertarik untuk mengkaji Negara Korea Selatan ini, dikarenakan Negara ini memiliki kemajuan
yang begitu pesat dalam sektor industri, khususnya industri otomotif dan elektronik. Kemajuan ini tidak
terlepas dari kemajuan pendidikan di Negara ini, terutama dalam penguasaan teknologi industri.

Makalah ini ditulis atas dasar kajian pustaka dari berbagai sumber yang relevan, makalah ini diharapkan
akan dapat menambah bahan, dan kajian penulis tentang pemahaman system pendidikan Negara ini.
Yang menjadi perhatian dalam pembahasan makalah ini, hanyalah beberapa aspek penting dari sistem
pendidikan di Negara Korea Selatan dibandingkan pendidikan Negara Indonesia.

B. Pembatasan Masalah

Dari latar belakang di atas, studi perbandingan pendidikan antara dua negara tentu sangat luas
cakupannya, untuk itu penulis membatasi permasalahan hanya pada: Tujuan pendidikan, jenjang
pendidikan formal, dan manajemen pendidikan secara umum di kedua negara tersebut.

C. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, yang menjadi rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1. Bagaimana tujuan pendidikan di Korea Selatan dibandingkan dengan tujuan pendidikan di Indonesia?

2. Bagaimana jenjang pendidikan formal di Korea Selatan dibandingkan dengan jenjang pendidikan
formal di Indonesia?

3. Bagaimana manajemen pendidikan secara umum di Korea Selatan dibandingkan dengan manajemen
pendidikan secara umum di Indonesia?

D. Tujuan Penulisan Makalah

Penulisan makalah ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui tujuan pendidikan, jenjang pendidikan formal, dan manajemen pendidikan secara
umum di kedua negara.

2. Untuk memberikan wawasan dan masukan yang positif bagi mahasiswa dan guru/tenaga
kependidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Pendidikan di Korea Selatan


Korea Selatan yang didirikan pada tahun 1948 terletak disemenanjung di daratan Asia Timur, dengan
batas-batas wilayah sebelah timur berbatasan dengan lautan pasifik, sebelah selatan berbatasan dengan
selat Jepang, disebelah barat berbatasan dengan demarkasi militer (garis lintang 380) yang memisahkan
Korea Selatan dan Korea Utara. Penduduk Korea Selatan kurang lebih 47 juta jiwa dengan angka
pertumbuhan penduduk rata-rata 1,7%/ tahun dengan kondisi penduduk yang homogen (etnik Korea),
dengan angka literasi 98% (world almanae 2000). Adapun system pemerintahan Korea Selatan bersifat
sentralistik, dengan system sentralistik ini maka kebijakan-kebijakan pemerintah termasuk di bidang
pendidikan dapat dijalankan tanpa harus mendapat persetujuan badan legislative daerah, seperti yang
terdapat pada pemerintahan system desentralisasi.

1. Tujuan Pendidikan di Korea Selatan

Salah satu keputusan Dewan Nasional Republik Korea tahun 1948 adalah menyusun undang-undang
pendidikan. Sehubungan dengan hal ini, maka tujuan pendidikan Korea Selatan adalah untuk
menanamkan pada setiap orang rasa Identitas Nasional dan penghargaan terhadap kedaulatan Nasional,
menyempurnakan kepribadian setiap warga Negara, mengemban cita-cita persaudaraan yang universal,
mengembangkan kemampuan untuk hidup mandiri dan berbuat untuk Negara yang demokratis dan
kemakmuran seluruh umat manusia, dan menanamkan sifat patriotisme.

2. Jenjang Pendidikan di Korea Selatan

Secara umum system pendidikan di korea Selatan terdiri dari empat jenjang pendidikan formal yaitu :
Sekolah dasar, Sekolah Menengah Tingkat Pertama, SLTA dan pendidikan tinggi. Keempat jenjang
pendidikan ini adalah: grade 1-6 (SD), grade 7-9 (SLTP), 10-12 (SLTA), dan grade 13-16 (pendidikan
tinggi/program S1), serta program pasca sarjana (S2/S3).

Visualisasi grade pendidikan yang dimaksud adalah:


a. Sekolah dasar merupakan pendidikan wajib selama 6 tahun bagi anak usia 6 dan 11 tahun, dengan
jumlah lulusan SD mencapai 99,8%, dan putus sekolah SD 0,2%.

b. SMP merupakan kelanjutan SD bagi anak usia 12-14 tahun, selama 3 tahun pendidikan.

c. Kemudian melanjutkan ke SLTA pada grade 10-11 dan 12, dengan dua pilihan yaitu: umum dan
sekolah kejuruan.

Sekolah kejuruan meliputi pertanian, perdagangan, perikanan dan teknik. Selain itu ada sekolah
komperhensif yang merupakan gabungan antara sekolah umum dan sekolah kejuruan, yang merupakan
bekal untuk melanjutkan ke akademik (yunior college) atau universitas (senior college).

d. Pendidikan tinggi/akademik (yunior college) atau universitas program S1 (senior college), pada grade
13-16, dan selanjutnya ke program pasca sarjana (graduate school) gelar master/doktor.

3. Manajemen Pendidikan di Korea Selatan

Sistem manajemen pendidikan di Negara ini bersifat gabungan antara sentralistik dan desentralisasi,
sifat kesentralistiknya hanya terbatas kepada penyusunan panduan dan pedoman semata, sedangkan
operasionalnya secara penuh di serahkan kepada komite/Dewan sekolah secara mandiri untuk mengkaji
proses pendidikan secara keseluruhan.

Kekuasaan dan kewenangan dilimpahkan kepada menteri pendidikan. Di daerah terdapat dewan
pendidikan (board of education). Pada setiap propinsi dan daerah khusus (Seoul dan Busam), masing-
masing dewan pendidikan terdiri dari tujuh orang anggota yang dipilih oleh daerah otonom, lima orang
dipilih dan dua orang lainnya merupakan jabatan yang dipegang oleh walikota daerah khusus atau
gubernur propinsi. Dewan pendidikan diketuai oleh walikota atau gubernur.
a) Anggaran pendidikan.

Anggaran pendidikan Korea Selatan berasal dari anggaran Negara, dengan total anggaran 18,9% dari
Anggaran Negara. Pada tahun 1995 ada kebijakan wajib belajar 9 tahun, sehingga porsi anggaran
terbesar diperuntukan untuk ini, adapun sumber biaya pendidikan, bersumber dari: GNP untuk
pendidikan, pajak pendidikan, keuangan pendidikan daerah, dunia industri khusus bagi pendidikan
kejuruan.

b) Guru/Personalia.

Terdapat dua jenis pendidikan guru, yaitu tingkat akademik (grade 13-14) untuk guru SD, dan pendidikan
guru empat tahun untuk guru sekolah menengah. Dengan biaya ditanggung oleh Pemerintah untuk
pendidikan guru negeri. Kemudian guru mendapat sertifikat yaitu: sertifikat guru pra sekolah, guru SD,
dan guru sekolah menengah. Sertifikat ini diberikan oleh kepala sekolah dengan kategori guru magang,
guru biasa dua (yang telah diselesaikan onjob training) dan lesensi bagi guru magang dikeluarkan bagi
mereka yang telah lulus ujian kualifikasi lulusan program empat tahun dalam bidang engineering,
perikanan, perdagangan, dan pertanian. Sedangkan untuk menjadi dosen yunior college, harus
berkualifikasi master (S2) dengan pengalaman dua tahun dan untuk menjadi dosen di senior college
harus berkualifikasi dokter (S3).

c) Kurikulum.

Reformasi kurikulum pendidikan di korea, dilaksanakan sejak tahun 1970-an dengan mengkoordinasikan
pembelajaran teknik dalam kelas dan pemanfaatan teknologi, adapun yang dikerjakan oleh guru,
meliputi lima langkah yaitu (1) perencanaan pengajaran, (2) Diagnosis murid (3) membimbing siswa
belajar dengan berbagai program, (4) test dan menilai hasil belajar. Di sekolah tingkat menengah tidak
diadakan saringan masuk, hal ini dikarenakan adanya kebijakan walikota daerah khusus atau gubernur
propinsi, ke sekolah menengah di daerahnya.
B. Sistem Pendidikan di Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan yang berbentuk Republik, terletak di kawasan Asia Tenggara.
Indonesia memiliki lebih kurang 17.000 buah pulau dengan luas daratan 1.922.570 km2 dan luas
perairan 3.257.483 km2, pada 800 BB dan 1400 BT. Berdasarkan posisi geografisnya, negara Indonesia
memiliki batas-batas: Utara - Negara Malaysia, Singapura, Filipina, Laut Cina Selatan. Selatan - Negara
Australia, Samudera Hindia. Barat - Samudera Hindia. Timur - Negara Papua Nugini, Timor Leste,
Samudera Pasifik.

Indonesia adalah negara demokratis berasaskan keyakinan, bahwa satu lembaga politik harus menjamin
adanya kebebasan dan persamaan, di samping menjujung tinggi kekuasaan hukum dan sistem
perwakilan rakyat dalam parlemen. Maka tugas pokok negara dan pemerintahan di dalam demokrasi
ialah: a) melindungi bangsa dan negara terhadap agresi dari luar dan pengrorongan dari dalam yang
merusak kesatuan dan persatuan: b) Menegakkan kekuatan hukum dan menjamin keadilan, serta c)
Melaksanakan segenap konvensi dan peraturan, agar tercapai ketenangan, ketenteraman, kedamaian
dan kesejateraan di dalam negeri, sebab hukum merupakan kekuatan pokok guna menegakkan
ketertiban.

Maka membimbing rakyat itu harus diartikan sebagai mendidik semua warga mayarakat, anak, orang
dewasa dan orang lanjut usia, supaya: bisa berkembang dengan bebas dan maksimal, dan mampu
melakukan realisai-diri, bekerja dan hidup sejahtera.

1. Tujuan Pendidikan di Indonesia

Salah satu tugas Pemerintah bekerja sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia adalah
menyusun undang-undang pendidikan, dan sebagai hasilnya adalah Undang-undang Sisdiknas no 20
tahun 2003.

Berdasarkan Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, Pendidikan nasional berlandaskan


Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pendidikan Nasional
berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.

2. Jenjang Pendidikan Formal di Indonesia

Menurut Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, pada bab VI pasa 16 disebutkan bahwa
jenjang pendidikan formal di Indonesia meliputi tiga jenjang, yaitu: pendidikan Dasar, pendidikan
Menengah, dan pendidikan Tinggi.

a. Pendidikan Dasar.

Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
Pemerintah menetapkan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, dan setiap warga negara yang berusia
7 (tujuh) tahun wajib mengikuti belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya. Pendidikan
dasar berbentuk: Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang Sederajat
selama 6 tahun; dan sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain
yang sederajat selama 3 tahun.

b. Pendidikan Menengah.

Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri atas:
Pendidikan menengah umum, berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), atau
bentuk lain yang sederajat; dan Pendidikan menengah kejuruan, berbentuk Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) atau Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat, selama 3 tahun.
c. Pendidikan Tinggi.

Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup
program pendidikan diploma (2-4 tahun); sarjana (4 tahun atau lebih); magister, spesialis, dan doktor (2
tahun atau lebih); yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

Perguruan tinggi dapat berbentuk: Akademi, Politeknik, Sekolah Tinggi, Institut, atau Universitas.
Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat. Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan atau vokasi.

3. Manajemen Pendidikan di Indonesia

Pengelolaan pendidikan di Indonesia merupakan tanggung jawab pemerintah pusat melalui Menteri
Pendidikan Nasional, pemerintah Daerah Provinsi, dan pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Ketentuan
yang menyangkut pendidikan diatur dalam UU RI No.20 TH 2003 (Sisdiknas ).

Ditinjau dari Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 1 ayat (1) yaitu;
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan darinya, masyarakat, bangsa
dan negara. Sedangkan peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan
potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Oleh
karena itu pendidikan dapat diterima dan dihayati sebagai kekayaan yang sangat berharga dan benar-
benar produktif. Pelaksanaan desentralisasi pendidikan nasional di Indonesia memberikan keluasan
kepada pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat utuk turut bertanggung jawab atas kualitas
pendidikan di Indonesia.
a. Anggaran Pendidikan

Dalam UU Nomor 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Untuk memenuhi hak warga
negara, pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.

Untuk mengejar ketertinggalan dunia pendidikan baik dari segi mutu dan alokasi anggaran pendidikan
dibandingkan dengan negara lain, UUD 1945 mengamanatkan bahwa dana pendidikan selain gaji
pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah. Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-VI I 2008, pemerintah harus
menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Anggaran pendidikan adalah alokasi
anggaran pada fungsi pendidikan yang dianggarkan melalui kementerian negara/lembaga dan alokasi
anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah, termasuk gaji pendidik, namun tidak termasuk
anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung
jawab pemerintah.

Sedangkan pengalokasian anggaran pendidikan meliputi alokasi yang melalui beIanja pemerintah pusat
dan melalui transfer ke daerah. Sementara untuk yang melalui anggaran pendidikan melalui transfer ke
daerah adalah DBH Pendidikan, DAK Pendidikan, DAU Pendidikan, Dana Tambahan DAU, dan Dana
Otonomi Khusus Pendidikan.

b. Guru/personalia
Berdasarkan Peraturan Pemerintah no 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pada pasal
28, bahwa Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran,
sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional,
yang dibuktikan dengan ijazah/sertifikat keahlian yang relevan, yang dikeluarkan oleh Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah.

Jenis pendidikan guru yaitu Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang diselenggarakan oleh LPTK yang
terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah, dengan kualifikasi akademik:

1) Pendidik pada jenjang Pendidikan Dasar minimum D-IV atau S1 pendidikan dasar.

2) Pendidik pada jenjang Pendidikan Menengah minimum D-IV atau S1 pendidikan menengah.

3) Pendidik pada jenjang Pendidikan Tinggi minimum: S1 untuk program Diploma, S2 untuk program
sarjana, dan S3 untuk program magister dan program doktor.

c. Kurikulum

Untuk meningkatkan kualitas pendidikan, di Indonesia telah menerapkan enam kali perubahan
kurikulum, yaitu kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984, kurikulum 2004, dan yang sekarang
berlaku yaitu KurikulumTingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang dikeluarkan pemerintah melalui Permen
Dinas Nomor 22 tentang standar isi, Permen Nomor 23 tentang standar lulusan, dan Permen Nomor 24
tentang pelaksanaan permen tersebut, tahun 2006.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan revisi dan pengembangan dari kurikulum
Berbasis Kompetensi, atau kurikulum 2004. KTSP lahir karena dianggap KBK masih sarat dengan beban
belajar dari pemerintah pusat, dalam hal ini Depdiknas masih dipandang terlalu intervensi dalam
pengembangan kurikulum. Oleh karena itu, dalam KTSP bahan belajar siswa sedikit berkurang dan
tingkat satuan pendidikan (sekolah, guru dan komite sekolah) diberikan kewenangan untuk
mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi yang ada di lingkungannya. Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) merupakan bentuk implimentasi dari UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional yang dijabarkan ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 Tentang
Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun
dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: (1) Standar Isi, (2) Standar Proses, (3)
Standar Kompetensi Lulusan, (4) Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, (5) Standar Sarana dan
Prasarna, (6) Standar Pengelolaan, (7) Standar Pembiayaan, dan (8) Standar Penilaian Pendidikan.

III. PEMBAHASAN

Pada kajian tentang tujuan pendidikan, terlihat bahwa tujuan pendidikan di Korea Selatan dan di
Indonesia memiliki hakikat yang sama yaitu memciptakan warga negara yang mandiri, kreatif dengan
mengembangkan potensi diri, dan tetap menjunjung tinggi kehidupan berbangsa pada masing-masing
negara. Walau demikian ada beberapa hal yang membedakannya yaitu penekanan pada ketaqwaan
terhadap tuhan Yang Maha Esa tidak menjadi prioritas dalam tujuan pendidikan di Korea Selatan.

Selanjutnya pada kajian tentang jenjang pendidikan formal, pada dasarnya pola penjenjangan antara
kedua negara hampir sama, namun di Korea selatan pada jenjang pendidikan menengah ada sekolah
yang khusus di persiapkan bagi siswanya yang akan melanjutkan ke pendidikan tinggi (pendidikan pra
perguruan tinggi), sedangkan di Indonesia ini tidak dilakukan. Program ini menurut penulis adalah hal
positif yang dapat dicoba di Indonesia, sehingga siswa yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi betul-
betul telah memiliki persiapan atau modal dasar baginya saat nanti studi di perguruan tinggi.

Kajian berikutnya adalah manajemen pendidikan secara umum di kedua negara, dalam hal ini penulis
membatasi hanya pada segi biaya pendidikan, pendidik/guru, dan kurikulumnya saja.

Sistem manajemen pendidikan di Korea Selatan bersifat gabungan antara sentralistik dan desentralisasi,
sifat kesentralistiknya hanya terbatas kepada penyusunan panduan dan pedoman semata, sedangkan
operasionalnya secara penuh di serahkan kepada komite/Dewan sekolah secara mandiri untuk mengkaji
proses pendidikan secara keseluruhan. Kondisi ini berbeda dengan system pendidikan di Indonesia yang
sebagian besar bersifat sentralistik, tanpa sepenuhnya memberikan kewenangan kepada daerah untuk
mengembangkan proses pendidikan, khususnya aspek anggaran. Sehingga pemerintah harus
mengalokasikan anggaran belanja pusatnya sebesar 20% untuk di transfer ke daerah, dan menetapkan
peraturan yang mengharuskan pemerintah daerah ikut mengalokasikan anggaran daerahnya untuk
pendidikan, yang dalam pelaksanaannya Daerah masih belum manaruh perhatian penuh terhadap
pendidikan. Hal positif yang dapat di contoh dari Korea Selatan adalah bahwa sudah sejak lama
anggaran pendidikan Korea Selatan berasal dari anggaran Negara, dengan total anggaran 18,9% dari
Anggaran Negara dan terus meningkat sejalan dengan kebijakan wajib belajar 9 tahun, sehingga porsi
anggaran terbesar diperuntukan untuk ini, serta sumber biaya pendidikan tidak hanya bersumber dari
GNP untuk pendidikan saja, melainkan juga dari pajak pendidikan, keuangan pendidikan daerah, dan
dunia industri.

Dalam hal pendidik/guru, Indonesia tampaknya mulai berbenah dengan dikeluarkannya Undang-
undang, Peraturan pemerintah, maupun Keputusan Mentri tentang tenaga pendidik, yaitu mulai
diterapkannya standarisasi/kualifikasi profesi guru melalui sertifikasi dan program pendidikan profesi
guru oleh LPTK, yang tentunya berdampak pada kualitas dan kesejahteraan tenaga pendidik. Di Korea
selatan hal ini telah lama dilakukan, dengan biaya pendidikan ditanggung oleh Pemerintah untuk
pendidikan guru negeri. Sedangkan di Indonesia masih menggunakan biaya pendidikan sendiri.

Kajian dalam hal kurikulum, Reformasi kurikulum pendidikan di korea, dilaksanakan sejak tahun 1970-an
dengan mengkoordinasikan pembelajaran teknik dalam kelas dan pemanfaatan teknologi, adapun yang
dikerjakan oleh guru, meliputi lima langkah yaitu (1) perencanaan pengajaran, (2) Diagnosis murid (3)
membimbing siswa belajar dengan berbagai program, (4) test dan menilai hasil belajar. Di Indonesia
untuk mencapai reformasi kurikulum yang di anggap dapat menjawab perkembangan dunia, (yaitu
KTSP) harus melalui enam kali perubahan kurikulum. Kurikulum di Indonesia sekarang ini relatif sama
dengan Korea selatan, hanya saja di Korea selatan faktor pembelajaran teknik dan pemanfaatan
teknologi begitu dominan, sedangkan di Indonesia masih belum merata antara pendidikan di kota dan di
daerah. Hal positif yang dapat di ambil contoh dari Korea Selatan dalam hal kebijakan kurikulum adalah
di sekolah tingkat menengah tidak diadakan saringan masuk, hal ini dikarenakan adanya kebijakan
walikota daerah khusus atau gubernur propinsi, ke sekolah menengah di daerahnya. Bila diterapkan di
Indonesia, maka masing-masing daerah akan memiliki banyak siswa yang berpotensi, yang nantinya
dapat membangun daerahnya masing-masing dan tidak pergi ke daerah lain.

IV. KESIMPULAN.
1. Tujuan pendidikan di Korea Selatan dan di Indonesia memiliki hakikat yang sama yaitu memciptakan
warga negara yang mandiri, kreatif dengan mengembangkan potensi diri, dan tetap menjunjung tinggi
kehidupan berbangsa pada masing-masing negara.

2. Jenjang pendidikan formal, pada dasarnya pola penjenjangan antara kedua negara hampir sama,
namun di Korea selatan pada jenjang pendidikan menengah ada sekolah yang khusus di persiapkan bagi
siswanya yang akan melanjutkan ke pendidikan tinggi (pendidikan pra perguruan tinggi), sedangkan di
Indonesia ini tidak dilakukan.

3. Sistem manajemen pendidikan di Korea Selatan bersifat gabungan antara sentralistik dan
desentralisasi, sifat kesentralistiknya hanya terbatas kepada penyusunan panduan dan pedoman
semata, sedangkan operasionalnya secara penuh di serahkan kepada komite/Dewan sekolah secara
mandiri untuk mengkaji proses pendidikan secara keseluruhan. Kondisi ini berbeda dengan system
pendidikan di Indonesia yang sebagian besar bersifat sentralistik, tanpa sepenuhnya memberikan
kewenangan kepada daerah untuk mengembangkan proses pendidikan.

4. Khususnya aspek anggaran, sumber biaya pendidikan di Indonesia belum memaksimalkan sektor
pajak pendidikan, keuangan pendidikan daerah, dan dunia industri.

5. Dalam hal pendidik/guru, di Indonesia dan Korea Selatan sudah diterapkan standarisasi/kualifikasi
profesi guru melalui sertifikasi dan program pendidikan profesi guru, hanya biaya pendidikan di Korea
Selatan ditanggung oleh Pemerintahnya, sedangkan di Indonesia masih menggunakan biaya pendidikan
sendiri.

6. Kurikulum di Korea Selatan telah lama direformasi dengan penekanan pada bidang teknik dan
pemanfaatan teknologi, dan di Indonesia sekarang sudah menggunakan kurikulum KTSP lebih
memberikan kewenangan sekolah menyusun kurikulumnya sendiri sesuai dengan lingkungan daerahnya
dengan tetap menggunakan rambu-rambu dari pemerintah pusat.
Mutu pendidikan di Indonesia dibandingkan dengan mutu pendidikan di luar negeri sangatlah berbeda
jauh. Pendidikan di Indonesia jauh tertinggal dengan negara-negara maju lainnya. Hal yang dapat kita
lakukan adalah membandingkan dan berkaca diri dengan pendidikan luar negeri. Putrawan (2009)
menyatakan “perbandingan ini dilakukan agar kita memiliki acuan untuk memperbaiki apa yang masih
menjadi kelemahan kita”.

Bangsa Indonesia harus mampu meletakkan pendidikan sebagai prioritas yang utama karena pendidikan
dapat membentuk kepribadian seseorang menjadi cerdas, bermutu dan berakhlak mulia. Soedijarto
(2007) menyatakan sebagai berikut.

Bangsa-bangsa yang sekarang termasuk dalam gugusan negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman,
Jepang, dan sekarang disusul oleh Cina, India, Malaysia, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan adalah
negara-negara yang sejak mulai pembangunannya mendudukkan pendidikan sebagai prioritas pertama.
Negara-negara ini menganut paradigma ‘To Build Nation Build School’.

Banyak negara yang dapat dibandingkan mutu pendidikannya dengan Indonesia dan dapat menjadi
cermin untuk lebih majunya pendidikan di Indonesia. Di kawasan Asia, kita dapat membandingkan
dengan Jepang dan India. Di kawasan Eropa, kita bisa membandingkan dengan Inggris dan Prancis.
Dengan perbandingan, kita dapat mengetahui apa kekurangan pendidikan di Indonesia. Putrawan (2009)
menyatakan “jangan hanya merasa cukup bangga diri ketika misalnya lebih tinggi dari Filipina, Timor
Leste, atau Papua Nugini”. Bangsa Indonesia harus terus maju, berkembang dan bersaing dengan
negara-negara maju lainnya.

Banyak negara yang dapat kita jadikan acuan dan motivasi yang membuat kita semakin maju dalam
pendidikan, salah satunya yaitu India. Putrawan (2009) menyatakan bahwa pemerintah India
memberikan subsidi dalam bidang pendidikan dengan jumlah yang sangat besar diantaranya yaitu
pemberian subsidi kertas. Selain itu, mereka juga melakukan kerja sama dengan penerbit-penerbit luar
negeri seperti Penguin Books yang mempermudah mareka untuk mencetak buku di negeri sendiri.

India yang kita ketahui padat penduduknya bisa melakukan hal yang begitu bermanfaat untuk negaranya
dalam bidang pendidikan yang membuat harga buku di negara mereka menjadi lebih murah. Hal yang
dilakukan India semacam ini dapat kita jadikan contoh untuk perkembangan mutu pendidikan di
Indonesia. Selain itu, di India Putrawan (2009) menyatakan “untuk pelajar, mereka mendapatkan kartu
abonemen … yang dapat digunakan untuk naik bus pemerintah secara gratis, selama empat bulan,
kemana saja. Kartu abonemen itu berlaku untuk pegawai negeri, tentara, manula, dan orang cacat”.

Negara lain yang dapat dijadikan cermin adalah Jepang. Putrawan (dalam cummings, 2009) menyatakan
“keberhasilan Jepang memajukan pendidikan karena beberapa faktor, yakni perhatian terhadap
pendidikan yang muncul dari berbagai pihak, biaya pendidikan di Jepang tidak mahal, tidak ada
diskriminasi terhadap sekolah-sekolah tertentu”. Dengan begitu, anak-anak Jepang menerima
pendidikan yang cukup baik dan layak. Putrawan (2009) menyatakan sebagai berikut.

Kurikulum sekolah di Jepang sangat berat, sekolah juga menjadi bagian penting dari pendidikan, guru
terjamin tidak akan kehilangan jabatan, guru penuh dedikasi, guru memiliki kesadaran wajib memberi
pendidikan ‘manusia seutuhnya’, serta guru di Jepang dapat bersikap adil terhadap seluruh anak
didiknya.

Selain India dan Jepang kita dapat belajar dari keadaan di Inggris yang begitu padat penduduknya. Minat
sekolah anak-anak inggris cukup tinggi. Di Inggris, Tahalele (1975) menyatakan bahwa umur tamat
sekolah ditentukan lima belas tahun … hampir separuh dari jumlah anak-anak secara sukarela tetap
bersekolah setelah berumur limabelas tahun. Jika dibandingkan dengan anak-anak Jepang, semangat
dari anak-anak Indonesia untuk bersekolah juga tidak jauh berbeda. Namun, banyak hambatan-
hambatan yang di hadapi anak-anak Indonesia dalam menggapai cita-cita mereka. Tahalele (1975)
menyatakan bahwa anak-anak Indonesia banyak yang mengalami putus sekolah. Hal itu disebabkan oleh
banyak faktor. Faktor yang paling utama yaitu masalah ekonomi dan fasilitas yang tersedia tidak cukup
untuk menampung mereka.

Dengan perbandingan-perbandingan dari berbagi sudut diharapka mutu pendidikan di Indonesia dapat
menjadi lebih baik dan terus berkebang. Tanpa pendidikan dan tanpa penyesuaian dengan
perkembangan zaman negara Indonesia akan lebih jauh tertinggal dari negara-nagara maju lainnya.
Karena sesungguhnya rakyat yang semakin cerdas, hari sekarang dan hari depan akan semakin lebih
bahagia dan berguna.

DAFTAR RUJUKAN
Bagaimana Seharusnya Wajah Pendidikan di Indonesia?

Sesungguhnya pendidikan merupakan salah satu hal penting bagi seorang manusia, bagi setiap warga
negara dalam upaya mengembangkan diri. Pendidikan juga dapat menaikkan derajat kemanusiaan
seseorang. Pendidikan dapat mengubah seseorang menuju perbaikan diri. Pendidikan pun membuat
seseorang yang semula tidak mengetahui menjadi mengetahui banyak hal.

Namun pada kenyataannnya, fenomena yang ada temyata masih terdapat anak-anak yang tidak
bersekolah. Mereka tidak bersekolah karena sibuk mencari sesuap nasi atau karena keterbatasan yang
mereka miliki, entah itu keterbatasan finansial, fasilitas ataupun fisik. Tak sekadar itu, rasa-rasanya
wajah pendidikan di negeri kita saat ini baru mencapai keberhasilan dalam taraf pengajaran saja. Jadi,
belum sampai pada keberhasilan pendidikan yang sesungguhnya.

Seharusnya, pendidikan sejatinya adalah mengubah pribadi seseorang menjadi lebih baik. Tapi, lihatlah
saat ini, bagaimana pribadi-pribadi para siswa dan mahasiswa yang belum mencerminkan manusia
berpendidikan seutuhnya? Masih terdapat tawuran, seks bebas, penyalahgunaan narkoba, dan aksi
brutal lain. Sungguh memprihatinkan!

Selain itu, wajah pendidikan negeri kita merupakan bentuk pressure bagi masyarakat. Mengapa menjadi
sebuah tekanan? Sebab, masyarakat di Indonesia diwajibkan untuk mengikuti dan memahami sekian
banyak mata pelajaran atau mata kuliah. Padahal sih belum tentu semua masyarakat Indonesia mampu
dan mau mengikuti semua mata pelajaran yang ada dalam kurikulum.

Melalui pendidikan, diharapkan manusia sadar hakikat dan martabatnya dalam interaksi dengan
lingkungan dan sesamanya. Itu berarti pendidikan mengarahkan manusia untuk peduli dengan
lingkungan, budaya, dan martabatnya. Bukan sebaliknya, pendidikan tidak memanusiakan manusia dan
justru tercerabut dari lingkungan dan martabatnya.

Kalau kita telaah kembali... ada tiga permasalahan pendidikan yang pelik. Pertama, pendidikan seringkali
dipraktikkan sebagai deretan instruksi dari guru kepada murid atau dari dosen kepada mahasiswa.
Kedua, pendidikan diidentikkan dengan bank. Otak murid atau mahasiswa dipandang sebagai safe
deposit box, dan pengetahuan guru atau dosen ditransfer ke otak murid. Ketiga, hasil dari model
pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap
zaman.

Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk
manusia peduli lingkungan, budaya, dan martabatnya?

Tentu kita semua telah tahu. Sekolah atau tempat kuliah, sebagai bagian dari sistem pendidikan, adalah
tempat persaudaraan dapat dialami, dimana orang dapat berinteraksi tanpa merasa takut satu sama lain
dan belajar didasarkan pada pertukaran pengalaman dan gagasan kreatif. Oleh karena itu, bagi mereka
yang selesai sekolah atau kuliah, akan mempunyai keinginan yang semakin besar untuk membawa apa
yang mereka alami di sekolah atau kuliah ke dunia yang lebih luas. Sekolah atau kuliah bukanlah arena
latihan untuk mempersiapkan orang masuk ke dalam kekerasan (gaya bank), tetapi merupakan tempat
dimana proses memanusiakan manusia terbangun.

Guru atau dosen tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada peserta didik,
tetapi mereka harus memerankan dirinya sebagai pekerja kultural. Mereka harus sadar, pendidikan
mempunyai dua kekuatan sekaligus. Sebagai aksi kultural untuk pembebasan atau sebagai aksi kultural
untuk dominasi kekuasaan.

Jika pendidikan dipahami sebagai aksi kultural untuk pembebasan, maka pendidikan tidak bisa dibatasi
fungsinya hanya sebatas area pembelajaran di sekolah atau di tempat kuliah saja. Ia harus diperluas
perannya dalam menciptakan kehidupan publik yang lebih demokratis. Dengan demikian, harus ada
semacam kontekstualisasi pembelajaran di kelas. Teks yang diajarkan di kelas harus dikaitkan kehidupan
nyata. Dengan kata lain, harus ada keterkaitan antara teks dan konteks, teks dan realitas.

Begitulah seharusnya wajah pendidikan di negeri kita. Segalanya harus saling berkaitan. Dan tentu wajah
pendidikan ini, bergantung pada kita semua, karena kita lah yang dapat mewarnai pendidikan dengan
lukisan kemajuan atau malah kebobrokan.

Anda mungkin juga menyukai