Anda di halaman 1dari 62

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Banyak konsep dasar matematika yang digunakan dalam berbagai ilmu

pengetahuan lainnya sehingga matematika memiliki peranan penting ditinjau dari

sudut perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak salah matematika

diajarkan disetiap jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar sampai ke

perguruan tinggi. Pembelajaran matematika sering kali di pandang sebagai

pembelajaran yang hanya terbatas di sekolah dan kurang menyentuh kehidupan

sehari-hari. Siswa hanya menghafalkan konsep atau rumus matematika tanpa

melihat langsung masalah-masalah yang ada hubungannya dengan konsep

tersebut. Keadaan ini sering kali membuat siswa kurang tertarik terhadap

pembelajaran yang sedang dipelajari dan cepat bosan hingga akhirnya siswa

kurang memahami konsep secara jelas.

Pendidikan formal merupakan amanah untuk mengembangkan sumber

daya manusia yang dilakukan secara sistematis, praktis dan berjenjang. Dalam

pelaksanaan pembelajaran di sekolah, guru mempunyai peranan yang sangat besar

demi tercapainya proses belajar yang baik. Sehubungan dengan peranan ini, guru

dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai dalam hal pembelajaran.

Rendahnya kompetensi guru menyebabkan pelaksanaan pembelajaran menjadi

kurang efektif yang mengakibatkan siswa tidak senang pada pelajaran sehingga

mereka dapat mengalami berbagai kesulitan belajar dan prestasi belajarnya pun

menurun.
2

Matematika merupakan suatu bahan kajian yang memiliki objek abstrak

dan dibangun melalui proses penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep

diperoleh sebagai konsekuensi logis dari kebenaran sebelumnya sehingga

keterkaitan antar konsep dalam matematika bersifat sangat kuat dan jelas.

Matematika berfungsi untuk mengembangkan kemampuan bernalar melalui

kegiatan penyelidikan, eksplorasi dan eksperimen sebagai alat pemecahan

masalah melalui pola berfikir dan model matematika, serta sebagai alat

komunikasi melalui simbol, tabel, grafik, diagram, dalam menjelaskan gagasan.

Tujuan pembelajaran matematika adalah melatih dan menumbuhkan cara berpikir

secara sistematis, logis, kritis, kreatif dan konsisten, serta mengembangkan sikap

gigih dan percaya diri sesuai dalam menyelesaikan masalah.

Pada dasarnya pelajaran matematika mengarahkan agar siswa dapat

berpikir logis, analitis, sistematis dan kritis serta ilmiah. Matematika juga

merupakan sarana bagi siswa untuk berpikir konsisten sejak siswa menduduki

bangku sekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi lagi.

Fungsi mata pelajaran matematika adalah sebagai alat, pola pikir, dan ilmu

atau pengetahuan (dalam Suherman, 200:56). Ketiga fungsi matematika tersebut

hendaknya dijadikan acuan dalam pembelajaran matematika sekolah. Balajar

matematika bagi para siswa juga merupakan pembentukan pola pikir dalam

pemahaman suatu pengertian maupun dalam penalaran suatu hubungan diantara

pengertian-pengertian itu. Kemampuan penalaran matematis akan berkembang

jika siswa memiliki peran aktif dalam pembelajaran. Dengan belajar aktif, siswa
3

akan mampu bernalar dan memperoleh pengalaman serta pengetahuan sehingga

bisa lebih tanggap terhadap masalah-masalah yang ada disekitarnya.

Departemen Pendidikan Nasional menyatakan bahwa materi matematika

dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu

materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami dan

dilatih melalui belajar materi matematika (Shadiq, 2004:3). Secara etimologis

matematika berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar (Suherman,

2003:16). Dalam hal ini bukan berarti ilmu lain tidak diperoleh melalui penalaran,

akan tetapi dalam matematika lebih menekankan aktivitas dalam dunia rasio

(penalaran), sedangkan dalam ilmu lain lebih menekankan pada hasil observasi

atau eksperimen disamping penalaran. Salah satu bidang studi yang sangat

mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah matematika.

Matematika memiliki peran yang sangat penting dalam bidang pendidikan.

Berdasarkan wawancara dan hasil observasi yang dilakukan peneliti pada

tanggal 16 Februari 2015 dengan beberapa siswa dan guru matematika di SMP

Negeri 1 Kontukowuna Kec. Kabangka Kab. Muna diketahui banyak siswa

beranggapan bahwa mata pelajaran matematika yang diberikan disekolah sangat

sulit untuk dimengerti dan membosankan. Hal ini mengakibatkan banyak siswa

yang kurang tertarik dengan pelajaran matematika. Oleh karena itu, peneliti

tertarik untuk mengetahui kemampuan penalaran matematis siswa di SMP negeri

1 Kontukowuna. Selama ini guru-guru SMP Negeri 1 Kontukowuna belum

menjadikan penalaran matematis siswa sebagai suatu hal yang perlu ditingkatkan

dan dilatih untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah dan hasil


4

belajar siswa. Model pembelajaran konvensional masih banyak digunakan pada

proses pembelajaran di SMP Negeri 1 Kontukowuna. Sehingga kemampuan

memecahkan masalah matematika siswa kurang terlatih. Guru aktif mendominasi

kelas sementara siswa pasif (datang, duduk, nonton, berlatih dan lupa) hanya

menerima bahan jadi dari konsep yang diberikan guru. Akibatnya siswa kurang

terlatih dalam menyusun suatu permasalahan yang disajikan dan menemukan

suatu konsep dalam memecahkan penyelesaian matematika. Hal ini

mengakibatkan siswa cenderung mengerjakan soal terpaku pada contoh soal yang

sebelumnya diberikan tanpa melakukan evaluasi, analisis, sintesis, generalisasi,

koneksi, dan pembuktian. Sehingga kemampuan memecahkan masalah

matematika siswa kurang terlatih.

Seiring dengan hal tersebut, berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan

oleh peneliti pada tanggal 16 Februari 2015 dengan salah seorang guru

matematika SMP Negeri 1 Kontukowuna mengatakan bahwa : Ada beberapa

kesulitan yang dihadapi siswa dalam memecahkan soal cerita. Siswa kurang bisa

menangkap dan mengolah informasi yang baru diperoleh dari soal cerita.

Akibatnya, siswa kurang mampu menentukan apa yang diketahui dan diminta dari

soal dan susah memisalkan unsur dengan suatu variabel. Akibatnya, siswa tidak

bisa menuliskan model matematikanya. Selain itu, ada juga siswa yang tidak bisa

menentukan rencana penyelesaiannya, yaitu menentukan metode atau rumus yang

akan dipakai.

Siswa harus selalu melibatkan penalaran matematis dalam proses

pemecahan masalah. Untuk dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis


5

siswa, kemampuan memecahkan masalah terlebih dahulu harus dibangkitkan.

Dalam proses pemecahan masalah, kemampuan penalaran matematis siswa dapat

dilatih. Untuk itu, diperlukan suatu cara agar siswa senantiasa terlibat dalam

pemecahan masalah yang melibatkan penalaran matematika. Hal ini tentu

berkaitan dengan model pembelajaran yang tepat untuk digunakan dalam proses

pembelajaran.

Pembelajaran matematika tidak hanya sekedar ilmu yang berkisar pada

perhitungan yang abstrak dan menjemukan. Pembelajaran matematika seharusnya

lebih interaktif dengan mengajak siswa ke dunia matematika melalui proses.

Proses pemahaman dapat dilakukan dengan melakukan pembelajaran yang

menarik dengan membuat matematika yang abstrak menjadi matematika yang

menyenangkan sehingga merangsang kemampuan berpikir siswa. Davis (2000)

dalam Rusman (2010: 229) mengemukakan bahwa salah satu kecenderungan yang

sering dilupakan adalah melupakan bahwa hakikat pembelajaran adalah

belajarnya siswa dan bukan mengajarnya guru. Bila meninjau model pembelajaran

yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa,

yakni salah satunya adalah model pembelajaran berbasis masalah.

Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)

merupakan salah satu alternatif model yang dapat mengembangkan keterampilan

berpikir siswa (penalaran, komunikasi dan koneksi) dalam memecahkan masalah.

Kebanyakan siswa menganggap matematika sebagai suatu masalah. Sehingga

model pembelajaran berbasis masalah sangat cocok dalam pembelajaran

matematika. Model pembelajaran berbasis masalah merupakan model


6

pembelajaran yang dapat menjadikan siswa bersikap aktif, kreatif, dan inovatif

dalam memecahkan masalah pada setiap pokok bahasan yang diajarkan serta

kemampuan penalaran matematis siswa dapat ditingkatkan melalui model

pembelajaran berbasis masalah. Selain itu Model pembelajaran berbasis masalah

merupakan model pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi, merangsang

daya nalar dan kemampuan memecahkan masalah siswa. Dengan model

pembelajaran berbasis masalah, siswa diberi kesempatan untuk dapat

memecahkan masalah dengan menggunakan caranya sendiri. Hal ini dapat

mengembangkan kemampuan penalaran Matematis siswa, karena dengan

menggunakan cara mereka sendiri berarti mereka sedang dilatih untuk

mengembangkan kemampuan penalaran Matematis. Selain itu, cara yang mereka

gunakan dalam menyelesaikan masalah dapat menjadi petunjuk mengenai

penalaran Matematis siswa yang sedang berkembang.

Mencermati hal di atas, perlu dicari suatu alternatif pembelajaran yang

dapat meningkatkan aktivitas belajar dan memberikan kesempatan pada siswa

untuk mengungkapkan ide atau gagasan matematik secara optimal sehingga siswa

menjadi lebih aktif. Mengingat pentingnya kemampuan penalaran matematis,

tentunya ada berbagai cara untuk mencapai kemampuan tersebut. Salah satunya

melalui pembelajaran berbasis masalah yang merupakan salah satu model

pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa.

Pembelajaran berbasis masalah yang menekankan pada representasi

matematik merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan keaktifan dan

kreativitas siswa dalam belajar matematika dan menjadi solusi untuk mendorong
7

siswa berpikir dan bekerja ketimbang menghafal dan bercerita. Secara umum

penerapan pembelajaran berbasis masalah mulai dengan adanya masalah yang

harus dipecahkan atau dicari pemecahannya oleh siswa. Masalah tersebut dapat

berasal dari siswa atau mungkin juga diberikan oleh pengajar.

Berdasarkan uraian diatas, Pembelajaran matematika dengan

menggunakan pembelajaran berbasis masalah dan langkah-langkah pemecahan

masalah yang sesuai memungkinkan siswa untuk berfikir logis, kritis dan

sistematis. Selain itu juga, memungkinkan siswa dapat meningkatkan kemampuan

dalam memecahkan suatu masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, pembelajaran berbasis masalah diharapkan dapat meningkatkan

kemampuan penalaran matematik siswa di SMP Negeri 1 Kontukowuna Kec.

Kontukowuna Kab. Muna dalam pelajaran matematika. Maka peneliti merasa

perlu untuk mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh Penerapan Model

Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Kemampuan Penalaran Matematis

Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Kontukowuna”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah dalam penelitian ini

dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kemampuan penalaran matematis siswa sebelum pembelajaran

dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah ?

2. Bagaimana kemampuan penalaran matematis siswa setelah pembelajaran

dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah ?


8

3. Apakah ada pengaruh penerapan model pembelajaran berbasis masalah

terhadap kemampuan penalaran matematis siswa ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan yang ingin dicapai

dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan tingkat kemampuan penalaran matematis siswa

sebelum diajar dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah.

2. Untuk mendeskripsikan tingkat kemampuan penalaran matematis siswa

setelah diajar diajar dengan menggunakan model pembelajaran berbasis

masalah.

3. Untuk mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran berbasis masalah

terhadap kemampuan penalaran matematis siswa

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Bagi siswa, dapat melatih siswa untuk memecahkan berbagai masalah

matematika dengan menggunakan berbagai cara yang melibatkan penalaran

matematis dan juga memberikan nuansa yang berbeda bagi siswa dalam

belajar matematika.

2. Bagi guru, dapat memberikan informasi model pembelajaran berbasis

masalah untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa

sehingga penguasaan matematika siswa dapat meningkat.


9

3. Bagi sekolah, sebagai bahan masukan bagi sekolah yang dijadikan obyek

penelitian ini dalam upaya peningkatan mutu dan kemampuan siswa dalam

bidang studi matematika.


10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritik

1. Proses Belajar Mengajar

Belajar dan Mengajar adalah dua peristiwa yang berbeda tetapi antara

keduanya terdapat keterkaitan yang saling mempengaruhi dan menunjang satu

sama lain dalam keberhasilanan proses belajar mengajar. Untuk memperoleh

pengertian yang obyektif tentang proses belajar mengajar maka perlu lebih dahulu

dikemukakan mengenai proses belajar mengajar itu sendiri, khususnya pengertian

belajar dan mengajar secara umum.

Winkel (2007: 59) menyatakan belajar adalah suatu aktifitas mental/psikis,

yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungannya, yang

menghasilkan sejumlah perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, keterampilan

dan nilai sikap. Sudjana dalam Jihad (2008: 2) menyatakan bahwa belajar adalah

suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang

perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk.

Perubahan memang dapat diamati dan berlaku dalam waktu relatif lama.

Perubahan yang relatif lama tersebut disertai dengan berbagai usaha, sehingga

Hudoyo (2003: 13) mengatakan belajar itu merupakan suatu usaha yang berupa

kegiatan hingga terjadinya perubahan tingkah laku yang relatif lama atau tetap.

Ciri-ciri perubahan tingkah laku tersebut meliputi perubahan secara sadar, bersifat
11

kontinyu dan fungsional, positif dan aktif, tidak bersifat sementara dan mencakup

seluruh aspek tingkah laku.

Sedangkan Menurut Slameto dalam Hadis (2006: 60) “Belajar ialah suatu

proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan

perilaku yang baru secara keselurahan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu

sendiri dalam interaksi individu dengan lingkungannya”. Menurut Surya dalam

Riduwan (2004: 198) belajar adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu

untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,

sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dalam

lingkungannya.

Mengajar didefinisikan oleh Engkoswara (1998: 1) sebagai suatu upaya

menanamkan sikap dan nilai-nilai pengetahuan dan keterampilan dasar dari

seseorang yang telah mengetahui dan menguasainya kepada seseorang, sedangkan

Roestiyah (1994: 44) mengatakan mengajar adalah proses interaksi siswa dengan

siswa dan konsultasi guru, dan guru bertindak selaku organisator belajar siswa

sehingga tujuan belajar dapat tercapai.

Sardiman (2007: 48) mengemukakan bahwa mengajar diartikan sebagai

suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan

menghubungkan dengan anak, sehingga terjadi proses belajar. Lebih lanjut

Sardiman mengungkapkan bahwa mengajar adalah menyampaikan pengetahuan

pada anak didikk. Menurut pengertian ini, berarti tujuan belajar dari sisra itu

hanya sekedar ingin mendapatkan atau menguasai pengetahuan. Mengajar

menurut Alvin W. Howard dalam Slameto (2003: 32) adalah suatu aktifitas untuk
12

mencoba menolong, membimbing seseorang untuk mendapatkan, mengubah atau

mengembangkan skill (keahlian), attitude (sikap), ideals (cita-cita), appreciations

(penghargaan), dan knowledge (pengetahuan). Nasution (1995: 43),

mengemukakan bahwa mengajar pada umumnya usaha guru untuk menciptakan

kondisi-kondisi atau mengatur lingkungan sedemikian rupa, sehingga terjadi

interaksi antara murid dengan lingkungannya, termasuk guru, alat pelajaran, dan

sebagainya sehingga tercapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.

Berdasarkan definisi belajar dan mengajar tersebut dapat dikatakan bahwa

kegiatan belajar dan mengajar mempunyai keterkaitan yang tidak dapat

dipisahkan satu sama lain. Belajar merupakan proses perubahan, sedangkan

mengajar merupakan proses pengaturan agar perubahan itu terjadi.

2. Pembelajaran Matematika

Proses pembelajaran merupakan kegiatan inti dalam pendidikan. Segala

sesuatu yang telah diprogramkan akan dilaksanakan dalam proses pembelajaran.

Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif. Dalam proses

pembelajaran siswa adalah subjek dan objek dari proses pembelajaran (Djamarah,

1997: 10).

Belajar matematika bagi para siswa merupakan pembentukan pola pikir

dalam pemahaman suatu pengertian maupun dalam penalaran suatu hubungan

diantara pengertian-pengertian itu. Pada proses pembelajaran matematika, para

siswa dibiasakan untuk memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang

sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki dari sekumpulan objek (abtraksi).

Melalui pengamatan terhadap contoh-contoh dan bukan contoh diharapkan siswa


13

mampu menangkap pengertian suatu konsep. Selanjutnya dengan abstraksi ini,

siswa dilatih untuk membuat perkiraan, terkaan, atau kecenderungan berdasarkan

kepada pengalaman atau pengetahuan yang dikembangkan melalui contoh-contoh

khusus (generalisasi). Didalam proses penalarannya dikembangkan pola pikir

induktif maupun deduktif. Namun tentu kesemuanya itu harus disesuaikan dengan

perkembangan kemampuan siswa, sehingga pada akhirnya akan sangat membantu

kelancaran proses pembelajaran matematika di sekolah (Suherman, 2003: 57).

Belajar matematika tidak sekedar learning to know (belajar untuk

mengetahui), melainkan harus ditingkatkan menjadi learning to do (belajar untuk

berbuat), learning to be (belajar untuk menjadi), hingga learning to live together

(belajar untuk hidup bersama). Menurut Suhito, filosofi pengajaran matematika

perlu diperbarui menjadi pembelajaran matematika sehingga terjadi pergeseran

paradigma dalam proses belajar mengajar matematika, yaitu:

a. dari teacher centered (berpusat pada guru) menjadi learner centered (berpusat

pada pembelajar)

b. dari teaching centered (pusat mengajar) menjadi learning centered (pusat

pembelajaran)

c. dari content based (berbasis isi) menjadi competency based (berbasis

kompetensi)

d. dari product of learning (hasil pembelajaran) menjadi process of learning

(proses pembelajaran)

e. dari summative evaluation (evaluasi sumatif) menjadi (evaluasi formatif),

(Suhito, 2003:5)
14

Adapun ciri-ciri pembelajaran matematika menurut Krismanto (2003: 12)

adalah sebagai berikut:

a. Pembelajaran didesain berawal dari pemecahan masalah yang ada di sekitar

siswa dan berbasis pada pengalaman yang telah dimiliki siswa →

menggunakan konteks yang nyata sebagai titik awal.

b. Pembelajaran menghadirkan aktivitas atau eksploratif, siswa menciptakan dan

mengelaborasi model-model simbolik dan aktivitas matematika mereka yang

tidak formal sebagai jembatan antara real dan abstrak, misalnya menggambar,

membuat diagram, tabel, mengembangkan notasi informal.

c. Tidak menekankan semata-mata pada komputasi, algoritmis, serta dril.

d. Memberikan penekanan pada pemahaman konsep dan pemecahan masalah.

e. Siswa mengalami proses pembelajaran secara bermakna dan memahami

matematika dengan penalaran.

f. Siswa belajar matematika dengan pemahaman, secara aktif membangun

pengetahuan baru dari pengetahuan awal mereka.

g. Belajar dalam suasana demokratis dan interaktif.

h. Menghargai jawaban informasi siswa sebelum siswa mencapai bentuk formal

matematika.

i. Memberikan perhatian seimbang antara pematematikaan horizontal dan

vertikal.

Berdasarkan uraian tentang belajar dan pembelajaran matematika tersebut,

maka dapat diartikan bahwa belajar matematika merupakan proses aktif dari siswa

untuk membangun pengetahuan matematika, sedangkan pembelajaran matematika


15

berarti membangun pengetahuan matematika. Melalui pembelajaran matematika,

siswa akan memperoleh suatu pengetahuan baru berdasarkan proses interaksi

terhadap pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.

3. Penalaran

Menurut R.G. Soekadijo penalaran adalah suatu bentuk pemikiran.

Adapun Suhartoyo Hardjosatoto dan Endang Daruni Asdi memberikan definisi

penalaran sebagai berikut, “Penalaran adalah proses dari budi manusia yang

berusaha tiba pada suatu keterangan baru dari sesuatu atau beberapa keterangan

lain yang telah diketahui dan keterangan yang baru itu mestilah merupakan urutan

kelanjutan dari sesuatu atau beberapa keterangan yang semula itu.” Mereka juga

menyatakan bahwa penalaran menjadi salah satu kejadian dari proses berfikir.

Penalaran merupakan terjemahan dari reasoning. Penalaran merupakan

salah satu kompetensi dasar matematik disamping pemahaman, Penalaran dan

pemecahan masalah. Kemampuan penalaran setiap individu berjenjang

berdasarkan tingkat perkembangan individu tersebut. Penalaran (reasoning)

merupakan suatu konsep umum yang menunjuk pada salah satu proses berpikir

untuk sampai pada suatu kesimpulan sebagai pernyataan baru dari beberapa

pernyataan lain yang telah diketahui. Kesimpulan yang bersifat umum dapat

ditarik dari kasus-kasus yang bersifat individual. Tetapi dapat pula sebaliknya,

dari hal yang bersifat individual menjadi kasus yang bersifat umum. Bernalar

adalah melakukan percobaan di dalam pikiran dengan hasil dari setiap langkah

dalam untaian percobaan tersebut telah diketahui oleh penalar. Sedangkan


16

menurut Shurter dan Pierce penalaran didefinisikan sebagai proses pencapaian

kesimpulan logis berdasarkan fakta dan sumber yang relevan, (Herdian : 2010).

Ciri-ciri penalaran adalah (1) adanya suatu pola pikir yang disebut logika.

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu proses

berpikir logis. Berpikir logis ini diartikan sebagai berpikir menurut suatu pola

tertentu atau menurut logika tertentu; (2) proses berpikirnya bersifat analitik.

Penalaran merupakan suatu kegiatan yang mengandalkan diri pada suatu analitik.

Kerangka berpikir yang dipergunakan untuk analitik tersebut adalah logika

penalaran yang bersangkutan.

Herdian (2010) menguraikan bahwa kemampuan penalaran meliputi: (1)

penalaran umum yang berhubungan dengan kemampuan untuk menemukan

penyelesaian atau pemecahan masalah; (2) kemampuan yang berhubungan dengan

penarikan kesimpulan, seperti pada silogisme, dan yang berhubungan dengan

kemampuan menilai implikasi dari suatu argumentasi; dan (3) kemampuan untuk

melihat hubungan-hubungan, tidak hanya hubungan antara benda-benda tetapi

juga hubungan antara ide-ide, dan kemudian mempergunakan hubungan itu untuk

memperoleh benda-benda atau ide-ide lain.

4. Kemampuan Penalaran Matematis

Pada aspek penalaran, bahwa materi matematika dan penalaran matematis

merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Materi matematika dipahami

melalui penalaran, dan penalaran dipahami dan dilatih melalui belajar

matematika. Siswa dapat berfikir dan bernalar suatu persoalan matematika

apabila telah dapat memahami persoalan matematika tersebut. Suatu cara


17

pandang siswa tentang persoalan matematika ikut mempengaruhi pola fikir

tentang penyelesaian masalah yang akan dilakukan. Menggunakan penalaran

pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat

generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan

matematika meruapan hal yang sangat penting untuk dapat meningkatkan

kemampuan penalaran siswa tentang suatu materi matematika. Dalam upaya

untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa, ada dua hal yang

sangat berkaitan dengan penalaran yaitu secara induktif dan deduktif, sehingga

dikenal istilah penalaran induktif dan penalaran deduktif.

Penalaran induktif adalah proses berpikir yang berusaha menghubungkan

fakta-fakta atau kejadian-kejadian khusus yang sudah diketahui menuju kepada

suatu kesimpulan yang bersifat umum. Penalaran deduktif merupakan proses

berpikir untuk menarik kesimpulan tentang hal khusus yang berpijak pada hal

umum atau hal yang sebelumnya telah dibuktikan (diasumsikan) kebenarannya.

Penalaran dalam matematika sulit dipisahkan dari kaidah-kaidah logika.

Penalaran-penalaran yang demikian dalam matematika dikenal dengan istilah

penalaran deduktif. Kemampuan penalaran matematis siswa dalam pembelajaran

matematika perlu dikembangkan. Peraturan Dirjen Dikdasmen No.

506/C/PP/2004 Depdiknas (Shadiq, 2009: 14), menyatakan tentang indikator-

indikator penalaran yang harus dicapai oleh siswa. Indikator yang menunjukkan

penalaran antara lain:

a. Kemampuan menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar

dan diagram.
18

b. Kemampuan melakukan manipulasi matematika.

c. Kemampuan memeriksa kesahihan suatu argument.

d. Kemampuan menarik kesimpulan dari pernyataan.

5. Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Problem Based Learning (PBL) merupakan salah satu mdel pembelajaran

yang dapat menolong siswa untuk meningkatkan keterampilan yang dibutuhkan

pada era sekarang ini. Problem Based Learning (PBL) dikembangkan untuk

pertama kali oleh Prof. Howard Barrows sekitar tahun 1970-an dalam

pembelajaran ilmu medis di McMaster University Canada. Model pembelajaran

ini menyajikan suatu masalah yang nyata bagi siswa sebagai awal pembelajaran

kemudian diselesaikan melalui penyelidikan dan diterapkan dengan pendekatan

pemecahan masalah.

Menurut Duch (1995), Problem Based Learning (PBL) merupakan model

pembelajaran yang menantang siswa untuk “ Belajar bagaimana Belajar” bekerja

secara kelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah ini

digunakan untuk mengikat siswa pada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang

dimaksud.

Arends (Trianto, 2007), Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu

pendekatan pembelajaran di mana siswa diharapkan pada masalah autentik (nyata)

sehingga dharapkan mereka dapat menyusun pengetahuannya sendiri,

menumbukembangkan keterampilan tingkat tinggi dan inkuiri, memandirikan

siswa, dan meningkatkan kepercayaan diri.


19

Tan (dalam Rusman 2010: 232) Pengertian Pembelajaran Berbasis

Masalah merupakan penggunaan berbagai macam kecerdasan yang diperlukan

untuk melakukan konfrontasi terhadap tantangan dunia nyata, kemampuan untuk

menghadapi segala sesuatu yang baru dan kompleksitas yang ada. Kedua

pengertian di atas sama-sama menekankan bahwa pembelajaran berbasis masalah

merupakan kemampuan untuk dapat menghadapi setiap permasalahan yang

dihadapi. Tan menegaskan bahwa Pembelajaran berbasis masalah merupakan

inovasi dalam pembelajaran karena dalam PBM kemampuan berpikir siswa betul-

betul di optimalisasikan melalui proses kerja kelompok atau tim yang sistematis,

sehingga siswa dapat memberdayakan, mengasah, menguji, dan mengembangkan

kemampuan berpikirnya secara berkesinambungan, (Rusman, 2010 : 229). Hal

serupa juga dingkapkan oleh Arends (1997) dalam Trianto (2009: 92) bahwa

Pengajaran Berdasarkan Masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran

dimana siswa mengerjakan permasalahan yang autentik dengan maksud untuk

menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan

berpikir tingkat tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri.

Engel (dalam Rochyani, 2004:33) menyatakan bahwa dalam keutamaan

dari pembelajaran berbasis masalah yang membedakannya dari pembelajaran lain

sebagai berikut:

1. Cummulative learning (pembelajaran kumulatif), suatu pembelajaran ditandai

dengan pemberian materi tidak dipelajari secara mendalam pada satu waktu,

tetapi dipelajari secara berulang dan dalam level kompleksitas yang bertingkat

sepanjang pembelajaran.
20

2. Integrated learning (pembelajaran terpadu), subjek diperkenalan sebagai

sesuatu yang berhubungan dengan masalah, tidak terpisah-pisah.

3. Progressive in learning (kemajuan dalam pembelajaran), apa dan bagaimana

siswa belajar mengenai perubahan seiring dengan perkembangan mereka.

4. Consistency in learning (konsistensi dalam pembelajaran), tujuan dari

pembelajaran ini direfleksikan dalam semua aspek, termasuk lingkungan

pembelajaran di kelas.

Ibrahim dan Nur (2000: 13) dan Ismail (2002 : 1) dalam Rusman (2010:

243) mengemukakan bahwa langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah

adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1. Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah


Fas Indikator Tingkah Laku Guru
e
1 Orientasi Siswa Pada Menjelaskan Tujuan Pembelajaran, dan
Masalah memotivasi siswa terlibat pada aktivitas
pemecahan masalah

2 Mengorganisasi siswa Membantu siswa mendefinisikan dan


untuk belajar mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah tersebut
3 Membimbing pengalaman Mendorong siswa untuk mengumpilkan
individu/ kelompok informasi yang sesuai, melaksanakan
eksperimen untuk mendapatkan penjelasan
dan pemecahan masalah
4 Mengembangkan dan Membantu siswa dalam merencanakan dan
menyajikan hasil karya menyiapkan karya yang sesuai seperti
laporan, dan membantu mereka untuk
berbagai tugas dengan temannya
5 Menganalisis dan Membantu siswa untuk melakukan refleksi
mengevaluasi proses atau evaluasi terhadap penyelidikan
pemecahan masalah mereka dan proses yang mereka gunakan
Rusman (2010: 243)
21

Setelah menjalankan langkah-langkah PBM dengan baik dan terstruktur,

diharapkan tujuan pembelajaran dapat tercapai secara maksimal. Untuk dapat

mencapai tujuan tersebut, maka dibutuhkan pula strategi dalam menggunakan

PBM. Yamin (2011:31) mengungkapkan terdapat lima strategi untuk

menggunakan PBM, yaitu:

1. Permasalahan sebagai suatu kajian. Permasalahan di presentasikan pada awal

pembelajaran untuk menarik perhatian peserta didik kedalam proses

pembelajaran.

2. Permasalahan sebagai penjajakan pemahaman. Permasalahan di presentasikan

atau didiskusikan setelah peserta didik selesai membacanya, kemudian

dipergunakan untuk menjajaki pemahaman peserta didik.

3. Permasalahan sebagai contoh. Permasalahan di integrasikan kedalam materi

pelajaran untuk dapat mengilustrasikan suatu prinsip konsep dan prosedur.

4. Permasalahnan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses. Permasalahan

digunakan untuk mendorong berpikir kritis sehingga analisis dapat dijadikan

untuk pemecahan masalah bagi perserta didik.

5. Permasalahan sebagai stimulus aktivitas otentik, permasalahan digunakan

untuk mengembangkan keterampilan dalam memecahkan masalah .

keterampilan bias berupa keterampilan fisik, disebutkan dengan pengetahuan

awal, dan keterampilan metakognisi yang telah berhubungan terhadap proses

pemecahan masalah.

Arends (2004: 393) dalam Yamin (2011: 146) menyatakan tiga hasil

belajar PBM yaitu: (1) Penyelidikan dan keterampilan melakukan pemecahan


22

masalah, (2) belajar model pendekatan orang dewasa (androgogi), (3)

keterampilan belajar mandiri.

Pembelajaran melalui pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu

rangkaian kegiatan belajar yang diharapkan dapat memberdayakan siswa untuk

menjadi seoarang individu yang mandiri dan mampu menghadapi setiap

permasalahan dalam hidupnya di kemudian hari. Selain itu pengajaran

berdasarkan masalah juga diharapkan dapat membantu siswa untuk memproses

informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka

sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya.

Pembelajaran Berbasis Masalah siswa harus memahami konsep suatu

materi diawali dari suatu permasalahan yang tidak terstruktur dengan baik (ill-

structured). Agar sampai pada tahap pemecahan masalah, siswa melakukan

investigasi, inquiry, eksplorasi, konjektur terhadap situasi masalah yang

diberikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa siswa belajar mengalami dan

mengaitkan pengetahuan sebelumnya ke dalam materi yang dipelajari,

mengkonstruksi sendiri pemahamannya, tidak hanya sekedar menghapal dan

diberi oleh orang lain (guru). Guru bertindak sebagai pembimbing, motivator, dan

fasilitator, dalam arti guru membantu siswa pada permulaan dan pada saat-saat

yang diperlukan saja apabila siswa mengalami kesulitan (scaffolding).

B. Penelitian yang Ralevan

1. Dari hasil penelitian yang dilakukan Amalia (2013), menyimpulkan bahwa

kemampuan penalaran matematis siswa kelas XI SMK Swasta Melati


23

Perbaungan pada materi barisan dan deret dapat ditingkatkan melalui

pembelajaran berbasis masalah.

2. Dari hasil penelitian Herman (2007), dengan judul “Upaya Meningkatkan

Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Dengan Menggunakan Model

Pembelajaran Berbasis Masalah Di SLTP Negeri 22 Bandung”. Dari

penelitian tersebut dapat disimpulkan kemampuan penalaran matematis dapat

ditingkatkan melalui pembelajaran berbasis masalah.

3. Dari hasil penelitian Yuli (2012), menyimpulkan bahwa kemampuan

penalaran matematis siswa kelas VIII MTs. Nurul Huda dapat ditingkatkan

melalui pembelajaran berbasis masalah.

4. Dari hasil penelitian Sunar (2015), menyimpulkan bahwa kemampuan

penalaran matematis siswa kelas VIII SMP Negeri 4 Kendari dapat

ditingkatkan melalui pembelajaran berbasis masalah

5. Dari hasil penelitian Wiwin (2015), menyimpulkan bahwa kemampuan

komunikasi matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Kendari dapat

ditingkatkan melalui pembelajaran berbasis masalah

C. Kerangka Berpikir

Pembelajaran merupakan usaha membantu siswa mengkontruksi

pengetahuan melalui proses. Proses pembelajaran dapat menjadi pengalaman bagi

siswa untuk membangun pengetahuan dan kemampuan penalarannya.

Keberhasilan proses pembelajaran khususnya pembelajaran matematika dapat

dilihat dari tingkat pemahaman siswa pada materi yang diajarkan. Proses

pembelajaran memiliki peran yang sangat penting dalam membangun daya nalar
24

dan pemahaman siswa. Dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional,

model pembelajaran berbasis masalah memiliki keunggulan-keunggulan dalam

mengembangkan penalaran dan pemahaman siswa.

Model pembelajaran berbasis masalah merupakan model pembelajaran

yang masih jarang digunakan di sekolah-sekolah. Model pembelajaran berbasis

masalah merupakan model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student

centered). Prinsip dari model pembelajaran berbasis masalah adalah pengetahuan

tidak diterima secara pasif, tetapi dibangun secara aktif oleh siswa. Sehingga

siswa memiliki kesempatan untuk membangun pengetahuannya sendiri. Hal ini

dapat melatih kemampuan penalaran matematis dan pengetahuan siswa serta

meningkatkan daya serap siswa terhadap materi yang diajarkan.

Pada model pembelajaran berbasis masalah, siswa dibagi dalam beberapa

kelompok belajar. Dengan memusatkan pembelajaran pada siswa, maka siswa

dituntut untuk dapat bekerjasama, berdiskusi dengan teman kelompoknya serta

diberi kesempatan untuk dapat mengekspresikan idenya dalam memecahkan

masalah matematika. Dengan cara ini pengetahuan yang diserap akan bertahan

lebih lama serta guru dapat mengetahui bagaimana cara belajar dan tingkat

pemahaman siswa. Selain itu, cara yang digunakan oleh siswa dalam

menyelesaikan masalah dapat menjadi petunjuk mengenai penalaran matematis

siswa yang sedang berkembang.

Dari kajian sebelumnya mengindikasikan bahwa model pembelajaran

berbasis masalah (PBM) merupakan salah satu alternatif model pembelajaran

yang dapat mengembangkan keterampilan berpikir siswa (penalaran, Penalaran


25

dan koneksi) dalam memecahkan masalah. Sebagai salah satu keterampilan

berpikir, penalaran matematis sangat terkait dengan kemampuan memecahkan

masalah. Model pembelajaran berbasis masalah merupakan model yang dapat

meningkatkan kemampuan memecahkan masalah matematika. Sehingga dengan

model pembelajaran berbasis masalah diharapkan dapat meningkatkan

kemampuan penalaran matematis siswa dalam memecahkan masalah matematika.

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dari penelitian ini adalah “Terdapat pengaruh yang signifikan

penerapan Model Pembelajaran berbasis Masalah terhadap kemampuan penalaran

matematis siswa”. Secara statistik hipotesis tersebut dapat dirumuskan sebagai

berikut:

H0 : m =0 lawan H1 : m >0

Keterangan :

m = nilai rata-rata selisih nilai post test dan pretest kemampuan penalaran

matematis siswa

Hipotesis yang diajukan:

H0 = Tidak terdapat pengaruh yang signifikan penerapan model pembelajaran

berbasis masalah terhadap kemampuan Penalaran matematis siswa.

H1 = Terdapat pengaruh yang signifikan penerapan model pembelajaran

berbasis masalah terhadap kemampuan Penalaran matematis siswa.


26

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di kelas VIII SMP Negeri 1 Kontukowuna waktu

pelaksanaannya dilakukan semester Ganjil pada materi Tahun Ajaran 2015/2016.

Tahap pelaksanaan penelitian ini dilakukan mulai tanggal 03 November 2015

sampai 01 Desember 2015. Pembelajaran dilakukan sebanyak enam kali

pertemuan. Pengambilan data dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada pretest

tanggal 03 November 2015 dan posttest tanggal 01 Desember 2015.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII di SMP

Negeri 1 Kontukowuna yang terdaftar pada tahun ajaran 2015/2016 yang

tersebar pada tiga kelas yaitu kelas VIII1, VIII2 dan VIII3.

2. Sampel

Penentuan sampel penelitian dilakukan dengan teknik simple random

sampling yaitu mengambil satu kelas secara acak untuk dijadikan kelas

eksperimen. Dari teknik pengambilan sampel tersebut, kemudian diperoleh

kelas VIII1 dengan jumlah siswa sebanyak 33 orang sebagai kelas eksperimen

yang kemudian diajar menggunakan model pembelajaran berbasis masalah.


27

C. Variabel, Definisi Operasional dan Desain Penelitian

1. Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari satu variabel

terikat dan satu variabel bebas. Variabel terikat disimbolkan dengan Y dan

variabel bebas disimbolkan dengan X.

a. Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu perlakuan berupa pembelajaran

dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah.

b. Variabel terikat dalam penelitian ini yaitu kemampuan penalaran

matematis siswa setelah dilakukan pembelajaran dengan menggunakan

model Pembelajaran Berbasis Masalah (Y).

2. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahan dalam menafsirkan variabel-variabel

dalam penelitian, maka perlu diberikan defenisi operasional sebagai berikut:

a. Model pembelajaran berbasis masalah merupakan model pembelajaran

yang berpusat pada siswa sehingga dapat menjadikan siswa bersikap

aktif, kreatif, dan inovatif dalam memecahkan masalah pada setiap

pokok bahasan yang diajarkan.

b. Kemampuan penalaran matematis siswa merupakan kemampuan untuk

menyelesaikan masalah matematika dalam bentuk; 1) menyajikan

pernyataan matematika, 2) melakukan manipulasi matematika, 3)

memeriksa kesahihan suatu argument dan 4) menarik kesimpulan dari

pernyataan.
28

3. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian One-Group Pretest-

Posttest Design, yaitu penelitian yang dilaksanakan pada satu kelompok saja

tanpa ada kelompok pembanding. Alur dari desain penelitian ini adalah kelas

yang digunakan untuk penelitian (kelas eksperimen) diberi pretest kemudian

dilanjutkan dengan pemberian perlakuan, yaitu penerapan model

pembelajaran berbasis masalah, setelah itu diberi posttest.

Desain ini dapat digambarkan seperti berikut:

O1 X O2

Keterangan:
O1 = Tes awal (Pretest) dilakukan sebelum siswa diberikan perlakuan
dengan model pembelajaran berbasis masalah.
X = Perlakuan (Treatment) diberikan kepada siswa berupa
pembelajaran menggunakan model pembelajaran berbasis masalah.
O2 = Tes akhir (Posttest) dilakukan setelah siswa diberikan perlakuan
dengan model pembelajaran berbasis masalah .
(Ruseffendi, 1994: 47)
D. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah tes kemampuan

Penalaran matematis yang diberikan setelah keseluruhan proses pembelajaran

materi yang diteliti selesai. Tes kemampuan penalaran matematis dalam

penelitian ini berupa tes tertulis dalam bentuk uraian (essay) yang disusun

oleh peneliti bekerjasama dengan guru bidang studi matematika kelas VIII1

SMP Negeri 1 Kontukowuna. Instrumen dalam penelitian ini disusun


29

berdasarkan empat jenis masalah Penalaran Matematis, yaitu: 1) menyajikan

pernyataan matematika, 2) melakukan manipulasi matematika, 3) memeriksa

kesahihan suatu argument dan 4) menarik kesimpulan dari pernyataan.

Adapun pedoman pemberian skor tes kemampuan penalaran

matematis yang diadaptasi dari Noer (2007:54) disajikan pada table berikut :

Tabel 3.1 : Kreteria Skor Penalaran Matematis Siswa

Indikator
Penalaran Reaksi Terhadap Masalah Skor
Matematis
Tidak ada jawaban 0
Tidak menyajikan pernyataan matematika baik secara
tertulis, gambar, ataupun diagram dan melakukan 1
perhitungan tetapi salah
Tidak menyajikan pernyataan matematika baik secara
Menyajikan
tertulis, gambar, ataupun diagram tetapi melakukan 2
pernyataan
perhitungan dengan benar
matematika
Menyajikan pernyataan matematika baik secara
secara lisan,
tertulis, gambar, ataupun diagram dan melakukan 3
tertulis, gambar
perhitungan tetapi salah
dan diagram.
Menyajikan pernyataan matematika baik secara
tertulis,
gambar, ataupun diagram dan melakukan perhitungan 4
dengan
benar
Tidak ada jawaban 0
Tidak Melakukan manipulasi matematika dan
1
melakukan perhitungan tetapi salah
Melakukan Tidak Melakukan manipulasi matematika dan
2
manipulasi melakukan perhitungan dengan benar
matematika Melakukan manipulasi matematika dan melakukan
3
perhitungan tetapi salah
Melakukan manipulasi matematika dan melakukan
4
perhitungan dengan benar
Memeriksa Tidak ada jawaban 0
30

Tidak Memeriksa kesahihan suatu argumen dan


1
melakukan perhitungan tetapi salah
Tidak Memeriksa kesahihan suatu argumen dan
2
kesahihan suatu melakukan perhitungan dengan benar
argument Memeriksa kesahihan suatu argumen dan melakukan
2
perhitungan tetapi salah
Memeriksa kesahihan suatu argumen dan melakukan
4
perhitungan dengan benar
Tidak ada jawaban 0
Tidak menarik kesimpulan dari pernyataan dan
1
melakukan perhitungan tetapi salah
Menarik Tidak menarik kesimpulan dari pernyataan dan
2
kesimpulan dari melakukan perhitungan dengan benar
pernyataan Menarik kesimpulan dari pernyataan dan melakukan
3
perhitungan tetapi salah
Menarik kesimpulan dari pernyataan dan melakukan
4
perhitungan dengan benar

Sebelum instrumen penelitian tersebut digunakan, terlebih dahulu

dilakukan uji panelis. Setelah itu dilakukan uji coba butir soal untuk

mengetahui validitas dan reliabilitasnya berdasarkan hasil tes. Jumlah soal

yang digunakan saat melakukan uji panelis maupun uji coba butir soal

adalah sebanyak delapan nomor. Setelah uji panelis dan uji coba butir soal

lalu diambil empat nomor yang mewakili masing-masing jenis masalah

penalaran matematis untuk diujikan pada pretest dan posttest penelitian.

1. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian

a. Validitas dan reliabilitas penilaian panelis

Analisis validitas penilaian panelis digunakan untuk mengetahui

validitas konsep instrumen melalui penilaian panelis dengan menggunakan

rumus :
31

V
n i l
i o
(Aiken, 1996:91)
N c  1

dimana :

V = Indeks validitas isi


ni = Cacah dari titik skala hasil penilaian rater
i = Titik skala ke-I (I = 1,2,3,4,5)
lo = Titik skala terendah
N = Jumlah rater (Σ ni)
c = Banyaknya titik skala
Nilai V terletak antara 0 dan 1 (valid ≥ 0,6).
Hasil penilaian panelis terhadap validitas instrumen kemampuan

penalaran matematis siswa dengan menggunakan formula dari Aiken

memberikan hasil analisis sebagaimana digambarkan dalam tabel pada

lampiran 14. halaman 161

Suatu tes dikatakan reliabel jika hasil tes tersebut menunjukkan

ketetapan untuk beberapa kali tes. Untuk menguji reliabilitas tes

digunakan rumus Alpha sebagai berikut:

k   Si 
2

 11  1  2 
k 1 
 St  

(Sugiyono, 2013: 365)


Keterangan:

α11 = Koefisien reliabilitas (reliabel ≥ 0,6)


k = Banyak butir
si2 = Varians skor butir
st2 = Varians skor total.
32

b. Validitas dan reliabilitas uji coba instrumen

Uji validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan keshahihan

atau tingkat kevalidan suatu instrumen, dan ini mutlak dilakukan oleh

peneliti untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk tes uraian,

validitas butir tesnya dihitung dengan menggunakan rumus korelasi

product moment sebagai berikut:

rXY 
N  XY   X  Y 
N  X 2
  X  N  Y   Y  
2 2 2

(Arikunto, 2010: 213)

Keterangan:

rxy = Koefisien korelasi antara variabel X dan Y

X = Skor item

Y = Skor total

N = Jumlah subjek.

Adapun kriteria pengujian sebagai berikut:

r
a. Jika r XY ≥ tabel dengan α = 0,05 maka item tersebut valid

r
b. Jika r XY < tabel dengan α = 0,05 maka item tersebut tidak valid

Perhitungan validitas tes hasil uji coba kemampuan penalaran

matematis siswa dapat dilihat pada Lampiran 15 halaman 163.

Berdasarkan perhitungan validitas tes hasil uji coba dengan

r tabel( 0 ,05 ,36−2 )=0,329


pada α = 0,05 diperoleh 7 butir soal yang valid yakni

r xy ≥r tabel (0 ,05,36−2)=0 ,329


butir soal 1,2,4,5,6,7,8 dengan dan 1 butir soal
33

yang tidak valid yakni butir soal 7 sehingga yang dijadikan soal

kemampuan penalaran matematis adalah butir soal nomor 1,2,3,4,5,6 dan

8, dimana butir soal tersebut mewakili masing-masing indikator penalaran

matematis siswa yang diteliti. Dalam penelitian ini hanya 4 butir soal

yang dijadikan tes kemampuan penalaran matematis siswa yang mewakili

masing-masing setiap indikator penelitian

Reliabilitas menunjuk pada satu pengertian bahwa sesuatu

instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul

data. Untuk perhitungan reliabilitas dalam penelitian ini digunakan rumus

Alpha Cronbach sebagai berikut:

[ ][ ∑ σi
]
2
n
r ii = 1− 2
n−1 σt

(Arikunto, 2005: 109).

Keterangan:
rii = koefisien reliabilitas tes
2
σi = varians skor butir yang valid
2
σt = varians skor total
n = Banyaknya butir yang valid

Kriteria pengujian reliabilitas tes menurut Arikunto (2013: 105)

yaitu :

r ii ≥r tabel(α , N−2)
a.Jika dengan α = 0,05 maka item yang diujicobakan

reliabel

r ii <r tabel( α ,N −2)


b. Jika dengan α= 0,05 maka item tersebut yang

diujicobakan tidak reliabel.


34

Selanjutnya dalam pemberian derajat terhadap koefisien reliabilitas tes

(
r ii ) pada umumnya digunakan patokan menurut Arikunto (2008: 75)

sebagai berikut:

r11 ≤ 0,20 reliabilitas : sangat rendah

0,20 < r11 ≤ 0,40 reliabilitas : rendah

0,40 < r11 ≤ 0,70 reliabilitas : sedang

0,70 < r11 ≤ 0,90 reliabilitas : tinggi

0,90 < r11 ≤ 1,00 reliabilitas : sangat tinggi

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes untuk

mengukur kemampuan penalaran matematis siswa pada kelas yang diberi

perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Dalam

penelitian ini, teknik tes digunakan untuk pengambilan data kemampuan awal

dan kemampuan akhir penalaran matematis siswa. Tes yang diberikan berupa

soal uraian untuk mengukur kemampuan penalaran matematis siswa sebelum dan

setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran

berbasis masalah. Sebelum kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model

pembelajaran berbasis masalah dilaksanakan di kelas, maka terlebih dahulu

dilakukan pretest pada materi Persamaan garis Lurus untuk mengetahui

kemampuan penalaran matematis awal siswa. Setelah kegiatan pembelajaran

dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dilakukan, siswa

diberikan posttest pada materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel untuk

mengetahui pengaruh model pembelajaran berbasis masalah terhadap kemampuan


35

penalaran matematis siswa. Kemudian tes tersebut dikerjakan oleh siswa,

selanjutnya hasil pekerjaan siswa dikumpulkan oleh peneliti untuk diperiksa dan

diberi skor. Skor mentah dari hasil pekerjaan siswa sebelum (pretest) dan setelah

(posttest) pembelajaran menggunakan model pembelajaran berbasis masalah

inilah yang dijadikan data dalam penelitian ini.

F. Teknik Analisis Data

Penelitian eksperimen ini menggunakan dua teknik analisis data yaitu

analisis deskriptif dan inferensial.

1. Analisis deskriptif hanya melihat gambaran sampel dalam bentuk banyak

data (n), data terbesar (db), data terkecil (dk), rata-rata ( x ), median (Me),

modus (Mo), varians, dan standar deviasi (ds). Penentuan tingkat

penguasaan siswa terhadap materi yang telah diajarkan diperoleh dengan

mengkonversikan nilai hasil belajar matematika siswa sesuai dengan

Permendikbud No. 81A Tahun 2013 seperti ditunjukkan pada tabel 3.3

dan tabel 3.4 berikut :

Tabel 3.2
Nilai Kemampuan Penalaran Matematis Siswa dengan Skala 0-100
N
Nilai Tingkat Penguasaan Siswa
O
1 0,00 ≤ Y ≤ 33,25 Kurang
2 33,25 < Y ≤ 58,25 Cukup
3 58,25 < Y ≤ 83,25 Baik
4 83,25 < Y ≤ 100,00 Sangat Baik
36

2. Statistik inferensial digunakan untuk pengujian hipotesis penelitian.

Terlebih dahulu melalui tahapan uji yang lain, yaitu uji normalitas dan

uji homogenitas sebagai uji prasyarat untuk melakukan uji hipotesis.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas data dimaksudkan untuk mengetahui populasi

berdistribusi normal atau tidak. Pengujian normalitas data dalam penelitian

ini menggunakan statistik uji Kolmogorov-Smirnov. Langkah-langkah yang

diperlukan dalam pengujian ini adalah sebagai berikut.

1) Data hasil pengamatan variabel Y diurutkan mulai dari data terkecil

sampai data yang terbesar.

2) Menentukan proporsi distribusi frekuensi setiap data variabel yang

sudah diurutkan dan diberi simbol Fa(Y).

3) Menghitung nilai Z dengan rumus:

Y −μ
Z=
σ

Keterangan :

μ = skor rata-rata (digunakan Y )

σ = standar deviasi (digunakan Sx)

4) Menentukan proporsi distribusi frekuensi kumulatif teoretis (luas

daerah dibawah kurva normal) dari variabel Y dinotasikan Fe(Y).

5) Menentukan nilai mutlak dari selisih Fa(Y) dan Fe(Y) yaitu

|Fa ( Y )−Fe(Y )|.


37

6) Membandingkan nilai Dmaks = maks |Fa ( Y ) -Fe(Y)| dengan nilai Dtabel =

1,36
jika n > 35, dimana n adalah banyaknya sampel.
√n
7) Kriteria untuk pengambilan keputusan adalah :

a. Jika Dmaks ≤ Dtabel maka data berasal dari populasi yang berdistribusi

normal.

b. Jika Dmaks > Dtabel maka data berasal dari populasi yang tidak

berdistribusi normal, (Djarwanto, 1995:50).

b. Uji Homogenitas

Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah distribusi data

sampel memiliki varians yang homogen dengan varians populasinya atau

tidak dengan menggunakan Levene Test. Rumus Levene Test yang

digunakan adalah:
k
( N −k ) ∑ N i ( Z̄ i.− Z̄ . .. )2
i=1
W= ni
k
(k −1) ∑ ∑ (Z ij −Z i .)2
i=1 j=1

Kriteria pengujian yang digunakan adalah terima H0 jika

W≤F (α , k−1 , N −k ) , serta tolak H0 jika W >F (α , k −1, N −k ) pada

taraf kesalahan α = 0.05.

Pasangan hipotesis:

H0 : σ 2 = σ 20

H1 : σ 2 ≠ σ 20

Keterangan:
38

H0 = Varians kelompok data homogen terhadap varians populasi

H1 = Varians kelompok data tidak homogen terhadap varians populasi

c. Uji Hipotesis

Uji hipotesis dengan uji-t data berpasangan (Paired Sample t-test)

untuk mengetahui lebih lanjut pengaruh dari pemberian perlakuan model

pembelajaran berbasis masalah (X) terhadap kemampuan penalaran

matematis siswa (Y). Data yang akan diolah dalam uji-t ini menggunakan

data pretest dan posttest.

Uji hipotesis hanya dilakukan jika data berdistribusi normal dan

homogen. Untuk menguji pengaruh penerapan model pembelajaran

berbasis masalah terhadap kemampuan penalaran matematis siswa,

digunakan uji-t data berpasangan. Rumus uji-t yang digunakan adalah:

B
t=
sB / √ n
( Sudjana, 2005:242 )

Keterangan:

B=¿ rata – rata selisih posttest dan pretest


s B=¿ Standar Deviasi
Dengan kriteria pengujian yaitu terima H0 jika thitung ≤ ttabel, dimana

ttabel diperoleh dari daftar distribusi t dengan dk = (n - 1) dan taraf kesalahan

α = 0,05. Untuk harga-harga t lainnya H0 ditolak.


39

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Analisis data merupakan bagian yang sangat penting dalam suatu

penelitian. Analisis data hasil tes kemampuan penalaran matematis siswa kelas

VIII1 SMP Negeri 1 Kontukowuna yang diajar menggunakan model pembelajaran

berbasis masalah dapat dilihat pada hasil penelitian dengan menggunakan dua

analisis yaitu hasil analisis deskriptif dan hasil analisis inferensial dengan

menggunakan bantuan aplikasi SPSS 15.0 for Windows Evaluation Version dan

Microsoft Office XL 2007.

1. Hasil Analisis Deskriptif

a. Analisis Deskriptif Kemampuan Penalaran Matematis Siswa

1) Distribusi Data Pretest Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Sebelum

Pembelajaran Menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Distribusi nilai pretest kemampuan Penalaran Matematis siswa

kelas VIII1 SMP Negeri 1 Kontukowuna merupakan distribusi nilai yang

diperoleh siswa sebelum adanya perlakuan berupa pembelajaran

menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Adapun distribusi

nilai pretest siswa yang dianalisis dengan bantuan Microsoft Office Excel

2007 dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut.

39
40

Tabel 4.1. Distribusi Nilai Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Sebelum


Adanya Perlakuan Berupa Pembelajaran Menggunakan Model
Pembelajaran Berbasis Masalah

Interval Kategori fi %
97 ≤ X ≤ 100 Sangat Tinggi (ST) 0 0
79 ≤ X < 97 Tinggi (T) 4 12.12
60 ≤ X < 79 Cukup (C) 11 33.33
42 ≤ X < 60 Rendah (R) 12 36.36
0 ≤ X < 42 Sangat Rendah (SR) 6 18.18
Berdasarkan tabel 4.1 di atas, maka grafik distribusi data pretest
sebagai berikut.

Gambar 4.1. Distribusi Data pretest Kelas VIII1


Tabel 4.1 dan gambar 4.1 di atas menunjukkan bahwa siswa yang

memiliki tingkat kemampuan Penalaran Matematis sebelum pembelajaran

menggunakan model pembelajaran berbasis masalah tergolong sangat

rendah sebanyak 6 orang atau 18.18%, yang berarti bahwa siswa ini belum

dapat menyelesaikan masalah yang terkait materi Persamaan Garis Lurus.

Siswa yang mempunyai tingkat kemampuan Penalaran Matematis


41

tergolong rendah sebanyak 12 orang atau 36.36%, yang berarti bahwa

masih cukup banyak siswa yang kurang paham tentang materi Persamaan

Garis Lurus serta jawaban yang diperoleh hanya berdasarkan tebakan.

Siswa yang mempunyai tingkat kemampuan Penalaran Matematis

tergolong cukup sebanyak 11 orang atau 33.33%. Hal ini menunjukkan

bahwa sebagian besar siswa belum mampu menunjukkan pemahaman

tentang materi Persamaan Garis Lurus, bahkan beberapa siswa belum

mampu menyusun informasi-informasi yang terdapat pada soal sehingga

kemampuan siswa dalam menyusun strategi untuk menyelesaikan masalah

Penalaran Matematis sangat kurang. Siswa yang mempunyai kemampuan

Penalaran Matematis tergolong tinggi sebanyak 4 orang atau 12.12% yang

berarti bahwa siswa-siswa ini telah memiliki pemahaman yang baik serta

telah mampu menyusun strategi untuk menyelesaikan masalah yang

berkaiatan dengan materi Persamaan Garis Lurus. Siswa yang mempunyai

tingkat kemampuan Penalaran Matematis tergolong sangat tinggi sebesar

0% atau tidak ada orang yang memiliki tingkat kemampuan Penalaran

Matematis sangat tinggi. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa

secara klasikal tingkat kemampuan Penalaran Matematis siswa pada materi

Persamaan Garis Lurus ditinjau dari hasil pretest kemampuan Penalaran

Matematis siswa tergolong rendah.

Berdasarkan hasil analisis deskriptif nilai pretest siswa

menggunakan IBM SPSS Statistics 15 diperoleh data hasil kemampuan

Penalaran Matematis siswa yang disajikan pada tabel 4.2 berikut.


42

Tabel 4.2. Hasil Analisis Deskriptif pretest Menggunakan IBM SPSS


Statistics 15

Berdasarkan tabel hasil analisis deskriptif menggunakan IBM

SPSS Statistics 21 diperoleh bahwa 25 sebagai nilai minimum dan nilai

maksimumnya sebesar 87.5. Nilai rata-rata pada hasil pretest diperoleh

sebesar 57.76. Hal ini menggambarkan bahwa secara keseluruhan

kemampuan Penalaran Matematis siswa tergolong rendah. Median atau

nilai tengah sebesar 56.25. Modus atau nilai yang sering muncul yaitu

56.25. Nilai ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa memiliki

kemampuan Penalaran Matematis yang tergolong rendah. Standar deviasi

sebesar 15.94 dan varians sebesar 253.98. Nilai varians ini menunjukkan

bahwa keragaman kemampuan Penalaran Matematis siswa pada pretest

besar atau tingkat kehomogenan dari data tersebut kecil.

2) Distribusi Data Posttest Kemampuan Penalaran Matematis Siswa


43

Distribusi nilai posttest kelas VIII1 SMP Negeri 1 Kontukowuna

merupakan distribusi nilai yang diperoleh siswa setelah adanya perlakuan

berupa pembelajaran menggunakan model pembelajaran berbasis masalah

pada materi Sistem Persamaan Linear Dua variabel. Adapun distribusi

nilai pretest siswa yang dianalisis dengan bantuan Microsoft Office Excel

2007 dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut.

Tabel 4.3. Distribusi Nilai Kemampuan Penalaran Matematis


Siswa Setelah Adanya Perlakuan Berupa
Pembelajaran Menggunakan Model Pembelajaran
Berbasis Masalah

Interval Kategori fi %
97 ≤ X ≤ 100 Sangat Tinggi (ST) 3 9.09
79 ≤ X < 97 Tinggi (T) 17 51.52
60 ≤ X < 79 Cukup (C) 12 36.36
42 ≤ X < 60 Rendah (R) 1 3.03
0 ≤ X < 42 Sangat Rendah (SR) 0 0
Berdasarkan tabel 4.3 di atas, maka grafik distribusi data posttest

sebagai berikut.
44

Gambar 4.2. Distribusi Data Posttest Kelas VIII1


Tabel 4.3 dan gambar 4.2 tersebut menunjukkan bahwa setelah

dilakukan perlakuan berupa pembelajaran menggunakan model

pembelajaran berbasis masalah diperoleh data siswa yang memiliki tingkat

kemampuan Penalaran Matematis tergolong sangat rendah yaitu sebesar

0% atau tidak terdapat siswa yang kemampuan penalarannya tergolong

sangat rendah, siswa yang memiliki tingkat kemampuan Penalaran

Matematis tergolong rendah sebanyak 1 orang atau 3.03%. Siswa yang

mempunyai tingkat kemampuan Penalaran Matematis tergolong cukup

sebanyak 12 orang atau 36.36%. Siswa yang mempunyai tingkat

kemampuan Penalaran Matematis tergolong tinggi sebanyak 17 orang atau

51.52%, nilai ini menunjukkan bahwa siswa yang sebelumnya sebagian

besar belum cukup mampu menyusun strategi dalam menyelesaikan

masalah Penalaran Matematis, tetapi setelah pembelajaran lebih dari

setengah jumlah siswa telah mampu menyusun strategi pemecahan

masalah dengan baik. Bahkan 3 orang siswa atau 9.09% mempunyai


45

tingkat kemampuan Penalaran Matematis tergolong sangat tinggi, karena

telah memahami materi Sistem Persamaan Linear Dua variabel dengan

sangat baik serta mampu menyusun strategi dan memecahkan masalah

matematik dengan sangat baik pula. Dari uraian hasil analisis tersebut

dapat disimpulkan bahwa secara klasikal tingkat kemampuan Penalaran

Matematis siswa kelas VIII1 SMP Negeri 1 Kontukowuna yang diajar

menggunakan model pembelajaran berbasis masalah ditinjau dari hasil

posttest kemampuan Penalaran Matematis siswa tergolong tinggi karena

17 orang siswa atau 51.52% siswa memperoleh nilai antara 79 sampai

dengan 97.

Berdasarkan hasil analisis deskriptif nilai posttest siswa

menggunakan IBM SPSS Statistics 15 diperoleh data hasil kemampuan

Penalaran Matematis siswa yang disajikan pada tabel 4.4 berikut.

Tabel 4.4. Hasil Analisis Deskriptif posttest Menggunakan IBM


SPSS Statistics 15
46

Berdasarkan tabel hasil analisis deskriptif menggunakan IBM SPSS

Statistics 21 diperoleh bahwa 50 sebagai nilai minimum, dan nilai

maksimumnya adalah 100. Nilai ini menunjukkan bahwa terdapat siswa

yang telah menguasai materi Sistem Persamaan Linear Dua variabel serta

telah mampu menyusun strategi dan menyelesaikan masalah Penalaran

Matematis. Nilai rata-rata yang diperoleh adalah 81.06, yang berarti bahwa

secara keseluruhan kemampuan Penalaran Matematis siswa tergolong

tinggi. Nilai rata-rata pada data nilai hasil posttest ini menunjukkan bahwa

model pembelajaran berbasis masalah dapat diterapkan dengan baik untuk

meningkatan kemampuan Penalaran Matematis siswa. Median atau nilai

tengah sebesar 81.25, modus atau nilai yang sering muncul yaitu 87.5,

Nilai ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa memiliki tingkat

kemampuan Penalaran Matematis tergolong tinggi. Hal ini semakin

mempertegas bahwa setelah pembelajaran berbasis masalah sebagian besar

siswa telah memahami tentang materi Sistem Persamaan Linear Dua

variabel serta mampu membangun strategi dalam menyelesaikan masalah

Penalaran Matematis. Standar deviasi sebesar 12.74, dan varians sebesar

162.32. Nilai varians pada posstest mengalami penurunan dibandingkan

pada pretest, ini menunjukkan tingkat keragaman kemampuan Penalaran

Matematis siswa setelah pembelajaran lebih kecil dibandingkan sebelum

pembelajaran yaitu pada pretest atau tingkat kehomogenan dari data

posstest lebih besar dibadingkan pada preetest.


47

3) Distribusi Data Preetest dan Posttest Berdasarkan Indikator Kemampuan

Penalaran Matematis

Distribusi data pretest dan posttest pada masing-masing indikator

kemampuan Penalaran Matematis dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.5. Tabel Persentase Kemampuan Penalaran Matematis


Per-Indikator
Indikator Indikator Indikator
Indikator 2
1 3 4
PreTest (%) 34.8 86.4 67.4 43.2
PostTest (%) 79.5 87.1 79.5 78.0
Berdasarkan tabel 4.5 di atas, maka grafik persentase kemampuan

Penalaran Matematis per-indikator sebagai berikut.

Gambar 4.3. Perbandingan Kemampuan Penalaran Matematis Per-


Indikator
Keterangan:
Indikator 1: menyajikan pernyataan matematika,
Indikator 2: melakukan manipulasi matematika,
Indikator 3: memeriksa kesahihan suatu argument
Indikator 4: menarik kesimpulan dari pernyataan.
48

Berdasarkan grafik dan tebel persentase kemampuan Penalaran

Matematis per-indikator diperoleh bahwa indikator 1 sebesar 34.8% pada

pretest dan meningkat menjadi 79.5% pada posttest. indikator 2 sebesar

86.4% pada pretest dan meningkat menjadi 87.1% pada posttest. Indikator

3 sebesar 67.4% pada pretest dan meningkat menjadi 79.5% pada posttest.

Indikator 4 sebesar 43.2% pada pretest dan meningkat menjadi 78.0% pada

posttest.

Pencapaian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan siswa telah

mampu menyelesaikan permasalahan matematika yang membutuhkan

kemampuan Penalaran Matematis. Namun, pada indikator 2 kemampuan

Penalaran Matematis awal siswa sudah tergolong tinggi. Berbeda halnya

dengan indikator 2, indikator 1 dan indikator 4 tergolong rendah. Hal ini

disebabkan pada tingkat kesulitan soal pada indikator 2 yang tergolong

lebih mudah dibandingkan dengan indikator-indikator lainnya.

2. Hasil Analisis Inferensial

Tahap selanjutnya dalam analisis data adalah analisis inferensial. Melalui

analisis inferensial kita dapat mengetahui apakah hipotesis dalam penelitian ini

diterima atau ditolak. Dalam analisis inferensial, terdapat beberapa tahap analisis

yang menjadi prasyarat untuk melakukan analisis uji hipotesis yaitu analisis uji

normalitas data dan analisis uji homogenitas data. Uji normalitas data

dimaksudkan untuk mengetahui apakah data berasal dari populasi yang

berdistribusi normal atau tidak, sedangkan uji homogenitas dimaksudkan untuk

mengetahui apakah data yang diperoleh homogen terhadap populasinya atau tidak,
49

setelah melalui syarat uji normalitas dan homogenitas maka dilanjutkan dengan

uji hipotesis. Berikut penjabaran dari tahap analisis inferensial.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas data dalam penelitian ini menggunakan statistik uji

Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan aplikasi IBM SPSS Statistics 21. Dalam

analisis ini akan digunakan nilai pretest dan nilai posttest. Adapun hasil

analisisnya dapat dujabarkan sebagai berikut.

1) Uji Normalitas Nilai Pretest

Hasil perhitungan analisis statistik pada data pretest kemampuan

Penalaran Matematis siswa kelas VIII6 digunakan statistik uji Kolmogorov-

Smirnov dengan bantuan IBM SPSS Statistics 15. Hasil perhitungannya

dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut.

Tabel 4.6. Hasil Analisis Uji Normalitas Data Pretest

Berdasarkan tabel 4.6 diperoleh


Dmaks = 0.101 atau p value = 0.890.

Sehingga
Dmaks = 0.101 ≤ Dtabel =0.237 atau p. value = 0.890 ≥ α= 0.05,

yang berarti bahwa data hasil pretest kemampuan Penalaran Matematis


50

siswa kelas VIII1 SMP Negeri 1 Kontukowuna dengan menggunakan model

pembelajaran berbasis masalah berasal dari populasi data yang berdistribusi

normal.

2) Uji Normalitas Nilai Posttest

Hasil perhitungan analisis statistik pada data posttest kemampuan

Penalaran Matematis siswa kelas VIII1 digunakan statistik uji Kolmogorov-

Smirnov dengan bantuan IBM SPSS Statistics 15. Hasil perhitungannya

dapat dilihat pada tabel 4.7 berikut.

Tabel 4.7. Hasil Analisis Uji Normalitas Data Posttest

Berdasarkan tabel 4.9 diperoleh

Dmaks = 0.148 atau p. value = 0.466. Sehingga Dmaks = 0.148 ≤ Dtabel

= 0.237 atau p. value = 0.466 ≥ α = 0.05, yang berarti bahwa data hasil

posttest kemampuan Penalaran Matematis siswa kelas VIII1 SMP Negeri 1

Kontukowuna dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah

berasal dari populasi data yang berdistribusi normal.


51

b. Uji Homogenitas

Uji homogenitas varians digunakan untuk mengetahui apakah varians

data pretest dan postest kemampuan Penalaran Matematis siswa kelas VIII1

SMP Negeri 1 Kontukowuna homogen atau tidak dengan varians populasinya.

Hasil uji homogenitas varians menggunakan IBM SPSS Statistics 15

dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut.

Tabel 4.8. Hasil Analisis Statistik Uji Homogenitas Data

Berdasarkan tabel 4.10, diperoleh nilai levenne test = 1.131 dengan p.

value = 0.292 ≥ α, = 0.05 maka H0 diterima. Dengan diterimanya H0, dapat

disimpulkan bahwa data pretest dan posttest kemampuan Penalaran Matematis

siswa memiliki varians yang homogen terhadap varians populasinya.

c. Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis menggunakan uji-t data berpasangan (Paired

Sample t-test) dilakukan dengan rumus uji-t data berpasangan menggunakan

IBM SPSS Statistics 15. Adapun hasil analisis uji hipotesis dapat dilihat pada

tabel 4.9 berikut.


52

Tabel 4.9. Analisis Hasil Uji Hipotesis Data Berpasangan

Berdasarkan tabel 4.11, diperoleh bahwa rata-rata siswa sebelum

diberikan perlakuan sebesar 57.765 dan meningkat setelah diberikan perlakuan

berupa pembelajaran model PBL dengan rata-rata sebesar 81.061, selisih rata-

ratanya meningkat sebesar 23.296. Keragaman kemampuan penalaran setelah

perlakuan lebih homogen dibandingkan dengan kemampuan Penalaran

Matematis sebelum diberikan perlakuan berupa pembelajaran berbasis

masalah. Nilai t = 7.228 dengan p = 0.000, tanda negatif menunjukkan bahwa

posttest lebih tinggi dari pada pretest. Karena thit = 7.810 > ttabel = 1.69389 atau

p value = 0.000 < 0.05, maka H0 ditolak. Dengan ditolaknya H0, maka dapat

disimpulkan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan penerapan model

pembelajaran berbasis masalah terhadap kemampuan Penalaran Matematis

siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Kontukowuna pada materi Sistem Persamaan

Linear Dua variabel dengan taraf kepercayaan 95%.

B. Pembahasan

Berdasarkan telaah terhadap pelaksanaan dan hasil proses pembelajaran

matematika di SMP Negeri 1 Kontukowuna, salah satu penyebab sulitnya

mengembangkan kemampuan Penalaran Matematis dalam mata pelajaran

matematika adalah saat siswa dihadapkan pada suatu masalah matematika.

Dimana, sebagian besar siswa hanya sekedar menghafal konsep sehingga siswa
53

belum mampu mengidentifikasikan informasi-informasi yang terdapat pada suatu

masalah matematika terebut. Akibatnya, saat dihadapkan pada suatu masalah

matematika yang membutuhkan pemahaman, siswa tersebut mengalami kesulitan.

Oleh karena itu diperlukan perhatian dalam proses pembelajaran matematika,

terutama kesesuaian antara pendekatan dan model pembelajaran dengan materi

yang diajarkan. Pendekatan maupun model pembelajaran yang menekankan siswa

terlibat aktif salah satunya adalah model pembelajaran berbasis masalah.

Berdasarkan uraian analisis data hasil penelitian dan pengujian hipotesis

sebelumnya, berikut ini dikemukakan pembahasan terhadap beberapa temuan

sehubungan dengan peningkatan kemampuan Penalaran Matematis siswa,

berdasarkan pendekatan pembelajaran yang digunakan.

1. Deskripsi Pelaksanaan Pembelajaran

Selama proses penelitian berlangsung, peneliti menggunakan kelas

VIII1 sebagai sampel penelitian yakni kelas yang diajar dengan menggunakan

model pembelajaran berbasisi masalah. Total pertemuan dalam penelitian ini

yakni sebanyak delapan kali pertemuan dengan enam kali pertemuan

digunakan untuk proses pembelajaran dan dua kali pertemuan digunakan

untuk pelaksanaan pretest dan posttest kemampuan Penalaran Matematis

siswa.

Penelitian ini menggunakan LKS dengan tujuan untuk membantu

siswa menemukan konsep matematika, dimana masalah-masalah yang

disajikan dalam LKS didesain agar siswa mampu menemukan konsep

matematika dari materi yang dipelajari berdasarkan pengalamannya sendiri.


54

Namun dalam pelaksanaan pembelajaran dengan LKS ini ada beberapa siswa

yang mampu menyelesaikan masalah dalam LKS sampai penemuan konsep

dan ada juga siswa yang belum mampu memberikan kesimpulan dari masalah

yang diselesaikan yang disebabkan oleh terbatasnya waktu pembelajaran yang

ditetapkan. Selain itu, konsep awal yang dimiliki oleh siswa terkait materi

Sistem Persamaan Linear Dua variabel masih sangat kurang.

Pertemuan pertama dilakukan kegiatan pendahuluan yang meliputi

membuka pelajaran dan menginformasikan topik pembelajaran yang akan

dibahas, menyampaikan tujuan pembelajaran, memberikan motivasi kepada

siswa, kemudian dilakukan pembagian kelompok secara heterogen. Dalam

proses pembelajaran di kelas ini, siswa dibagi menjadi 6 kelompok yang

terdiri atas 5-6 orang untuk tiap kelompok. Setelah itu, siswa diberikan LKS

untuk dikerjakan pada masing-masing kelompok, sebelum itu masalah dalam

LKS terlebih dahulu diselesaikan secara individu dalam kelompoknya. Pada

tahap ini guru berperan memberikan pengarahan dan membimbing siswa

tanpa menjelaskan materi terlebih dahulu. Setelah siswa menyelesaikan

masalah secara individu, siswa mendiskusikan hasil pekerjaan mereka dengan

teman kelompoknya masing-masing. Setelah semua kelompok telah

mengerjakan LKS yang diberikan sesuai dengan waktu yang ditetapkan,

beberapa siswa dipilih tampil ke depan kelas untuk mempresentasekan hasil

kerja kelompoknya untuk ditanggapi oleh kelompok lain. Guru berperan

memandu jalannya diskusi, memperbaiki jawaban siswa jika ada jawaban

siswa yang keliru dan membantu siswa menyimpulkan alternatif jawaban yang
55

benar dari hasil pemecahan masalah yang dibuat masing-masing kelompok. Di

akhir pertemuan guru mengajak siswa untuk membuat kesimpulan dari materi

yang dipelajarinya. Dan di akhir pelajaran guru memberikan tugas untuk

dikerjakan di rumah secara individu.

Pelaksanaan perlakuan pada pertemuan pertama mengalami sedikit

hambatan. Siswa membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan model

pembelajaran yang baru diterapkan di kelas, terutama pada saat pembentukan

kelompok, sehingga proses ini cukup menyita waktu pembelajaran. Siswa

yang tidak terbiasa dengan pembentukkan kelompok belajar terutama teman

kelompoknya, awalnya kurang antusias dalam proses pembelajaran ini.

Beberapa siswa menunjukkan sikap yang kurang bekerjasama dalam

kelompok, sehingga hanya sedikit siswa yang aktif dalam kelompok belajar

pada saat proses pembelajaran berlangsung. Hal ini mengakibatkan proses

penyerapan materi pembelajaran oleh siswa kurang maksimal. Perlahan-lahan,

hambatan-hambatan yang terjadi dapat diatasi dan diminimalisir. Guru dapat

mengontrol dan mengarahkan siswa dengan sangat baik, sehingga siswa

antusias bekerjasama dalam kelompoknya.

Pada pertemuan kedua dan pertemuan-pertemuan berikutnya, proses

pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan lancar. Meskipun pada

pertemuan kedua sampai keempat, beberapa siswa masih mengalami kesulitan

dalam menggali dan mengolah informasi dari LKS dan sumber belajar

lainnya, sehingga siswa tersebut belum mampu menemukan sendiri

penyelesaian dari masalah yang diberikan. Namun dengan arahan dan


56

bimbingan dari guru, siswa sudah mulai mengerti dengan model pembelajaran

berbasis masalah. Sehingga pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, guru dan

siswa sudah menunjukkan sikap yang antusias dalam proses pembelajaran.

Siswa juga mulai merasa bertanggung jawab dalam kelompok belajarnya,

untuk mengerjakan tugas-tugas kelompok. Selain itu, guru sudah dapat

memberi umpan balik terhadap respon-respon siswa dan mendorong siswa

mengumpulkan informasi untuk mendapatkan solusi dari masalah yang

diberikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, siswa juga memerlukan waktu

untuk beradaptasi terhadap suatu pembelajaran yang baru diterapkan. Ini juga

terlihat dari persentase ketercapaian indikator yang diamati, secara

keseluruhan mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan persentase

pada pertemuan pertama.

2. Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Sebelum dan Sesudah diajar

dengan Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Data kemampuan Penalaran Matematis siswa diperoleh melalui tes

kemampuan Penalaran Matematis siswa. Sebelum siswa diberikan perlakuan

yaitu berupa pembelajaran berbasis masalah, tes yang diberikan terkait salah

satu materi prasyarat dari Sistem Persamaan Linear Dua variabel yaitu

Persamaan Garis Lurus. Sedangkan tes yang diberikan setelah adanya

perlakuan yaitu tes pada materi Sistem Persamaan Linear Dua variabel.

Berdasarkan hasil analisis deskriptif dari data yang diperoleh melalui

tes kemampuan Penalaran Matematis siswa, pada tes awal (pretest) diperoleh

nilai rata-rata yang lebih rendah dari pada nilai rata-rata yang diperoleh pada
57

posttest. Berdasarkan nilai rata-rata, maka kemampuan Penalaran Matematis

siswa sebelum pembelajaran berada pada kategori rendah sedangkan setelah

pembelajaran kemampuan Penalaran Matematis siswa secara keseluruhan

berada pada kategori tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa dari indikator

rata-rata, model pembelajaran berbasis masalah mampu memberikan pengaruh

yang cukup baik dalam meningkatkan kemampuan Penalaran Matematis

siswa. Dari indikator keragaman data (varians), data pretest memiliki varians

lebih besar dibandingkan varians data posttest. Nilai varians dari kedua data

tersebut menunjukkan bahwa kemampuan Penalaran Matematis siswa

sebelum pembelajaran lebih beragam daripada setelah pembelajaran. Median

(nilai tengah) dan nilai yang sering muncul (modus) dari hasil pretest lebih

rendah dibandingkan dengan hasil pada posttest. Nilai yang sering muncul

(modus) pada kedua hasil tes tersebut menggambarkan bahwa kemampuan

Penalaran Matematis siswa sebelum pembelajaran sebagian besar berada pada

kategori rendah, sedangkan setelah pembelajaran sebagian besar siswa

memiliki kemampuan Penalaran Matematis siswa tinggi.

Selanjutnya, jika dibandingkan distribusi hasil tes kemampuan

Penalaran Matematis siswa berdasarkan indikator-indikator kemampuan

Penalaran Matematis pada data pretest dan posttest, maka diperoleh bahwa

tingkat kemampuan Penalaran Matematis mengalami peningkatan pada tiap

indikatornya. Indikator menyajikan pernyataan matematika secara lisan,

tertulis, gambar dan diagram mengalami peningkatan sebesar 44.7%, indikator

melakukan manipulasi matematika mengalami peningkatan sebesar 0.7%,


58

indikator memeriksa kesahihan suatu argument mengalami peningkatan

sebesar 12.1%, dan indikator menarik kesimpulan mengalami peningkatan

sebesar 34.8%. Keempat indikator kemampuan Penalaran Matematis siwa

mengalami peningkatan. Namun, peningkatan pada indikator 2 lebih sedikit

dibadingkan pada indikator-indikator kemampuan penalaran lainnya.. Hal ini

disebabkan pada tingkat kesulitan soal pretest maupun posttest pada indikator

2 tergolong lebih mudah dibandingkan dengan indikator-indikator lainnya.

Distribusi data pretest dan posttest dalam penelitian dapat memberikan

kita kesimpulan sementara bahwa pembelajaran dengan model pembelajaran

berbasis masalah dapat memberikan pengaruh positif yang signifikan

terhadap kemampuan Penalaran Matematis siswa.

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji-t data

berpasangan (Paired Sample t-test). Berdasarkan hasil uji hipotesis dengan

menggunakan uji-t data berpasangan pada lampiran L.22 halaman 169

diperoleh nilai thit = 7.228 > ttabel = 1.69389 sehingga H0 ditolak dengan

demikian kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa terdapat pengaruh yang

siginifikan penerapan model pembelajaran berbasis masalah terhadap

kemampuan Penalaran Matematis siswa SMP kelas VIII pada materi Sistem

Persamaan Linear Dua variabel dengan taraf kepercayaan 95%. Terjadinya

peningkatan kemampuan Penalaran Matematis siswa ini disebabkan oleh

penggunaan model pembelajaran berbasis masalah. Dimana, model

pembelajaran tersebut menuntut peran aktif siswa dan mendorong siswa untuk
59

dapat mengembangkan kemampuan Penalaran Matematis sehingga siswa

lebih mudah memecahkan masalah yang diberikan.

Secara keseluruhan model pembelajaran berbasis masalah

memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan Penalaran Matematis

siswa. Namun dalam penelitian ini terdapat tiga orang siswa yang mengalami

penurunan hasil tes. Dari hasil pengamatan selama penelitian, ketiga siswa

tersebut memiliki karakter cenderung kurang aktif dalam kegiatan kelompok,

selain itu selama pembelajaran berlangsung ketiga siswa ini tidak mengikuti

pembelajaran secara keseluruhan selama 3 kali pertemuan. Karakter siswa ini

kemungkinan menjadi penyebab utama penurunan nilai yang diperolehnya

dari pretest ke posttest. Selain siswa yang memiliki kemampuan Penalaran

Matematis yang menurun, terdapat pula siswa yang mengalami peningkatan

kemampuan Penalaran Matematis dengan kategori tinggi sejumlah 13 orang.

Dari hasil pengamatan selama penelitian, siswa tersebut cenderung memiliki

karakter aktif bertanya, teliti, peduli terhadap teman kelompoknya serta tekun

dalam mengikuti pembelajaran. Hal ini merupakan faktor utama sehingga

siswa ini mengalami peningkatan kemampuan Penalaran Matematis yang

lebih tinggi dari temannya yang lain

Berdasarkan hasil analisis dalam penelitian ini, secara signifikan

penerapan model pembelajaran berbasis masalah mempunyai pengaruh

terhadap kemampuan penalaran matematis siswa pada klasifikasi sedang dan

tinggi. Kenyataan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa model

pembelajaran berbasis masalah dapat diterapkan dan dijadikan sebagai salah


60

satu alternatif untuk membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan

Penalaran Matematis siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Kontukowuna, karena

dengan kemampuan Penalaran Matematis yang tinggi, maka hasil belajar

matematika siswa dapat ditingkatkan.


61

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini,

maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Kemampuan penalaran Matematis siswa Kelas VIII SMP Negeri 1

Kontukowuna sebelum pembelajaran menggunakan pembelajaran berbasis

masalah pada materi persamaan garis lurus tergolong cukup dan rendah

dimana 11 orang atau 33.33%, siswa memperoleh nilai antara 60 dan 79

serta 12 orang atau 36.36%, siswa memperoleh nilai antara 42 dan 60.

2. Kemampuan penalaran Matematis siswa Kelas VIII SMP Negeri 1

Kontukowuna setelah pembelajaran menggunakan model pembelajaran

berbasis masalah pada materi Sistem Persamaan Linear dua Variabel

tergolong tinggi dimana 17 orang atau 51,52% siswa memperoleh skor

antara 79 dan 97.

3. Pembelajaran menggunakan model pembelajaran berbasis masalah

memberikan pengaruh positif yang signifikan terhadap kemampuan

penalaran Matematis siswa pada materi Sistem Persamaan Linear dua

Variabel, kelas VIII semester ganjil SMP Negeri 1 Kontukowuna tahun

ajaran 2015/206.

B. Saran

Dari hasil penelitian ini dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut:

60
62

1. Kepada para guru yang mengajar mata pelajaran matematika sekiranya

dapat menggunakan model pembelajaran berbasis masalah sebagai salah

satu alternatif model pembelajaran dalam pembelajaran matematika untuk

mengoptimalkan kemampuan berpikir siswa (penalaran, komunikasi, dan

koneksi).

2. Hendaknya kemampuan penalaran Matematis siswa mendapat perhatian

yang serius dari pihak guru untuk meningkatkan penguasaan matematika

serta kemampuan memecahkan masalah yang dimiliki siswa.

3. Bagi peneliti yang hendak mengembangkan penelitian ini dapat

melakukannya pada materi atau pokok bahasan lainnya. Namun, lebih

diperhatikan pada tingkat kesulitan soal pada setiap indikator kemampuan

penalaran Matematis, terutama indikator yang saling menunjang satu sama

lainnya.

Anda mungkin juga menyukai