Anda di halaman 1dari 2

PENYELESAIAN BERDASARKAN HUKUM PIDANA

.Dalam kasus tersebut merupakan tindakan euthanasia pasif. Secara yuridis formal
dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal 2 bentuk euthanasia, yaitu euthanasia
yang dilakukan atas permintaan pasien atau korban itu sendiri (aktif) dan euthanasia yang
dilakukan dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap pasien atau korban (pasif)
sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 dan 304 KUHP. Pasal 344 KUHP secara
tegas menyatakan :“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun” Sementara dalam pasal 304 KUHP dinyatakan: “Barang siapa
dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan,
perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu,diancam dengan pidana penjara paling lama
dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Euthanasia pasif terjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja tidak
lagi memberikan bantuan medik kepada pasien yang dapat memperpanjang hidupnya.
Euthanasia pasif dalam kasus tersebut merupakan euthanasia pasif atas permintaan pasien.
Euthanasia pasif atas permintaan pasien berkaitan erat dengan hak-hak pasien. Adapun hak-
hak pasien, antara lain :

1. Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang
berlaku di rumah sakit, pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur
2. Pasien berhak memperoleh pelayanan medis yang bermutu sesuai dengan
standar profesi kedokteran/kedokteran gigi dan tanpa diskriminasi
3. Pasien berhak memperoleh asuhan keperawatan dengan standar profesi
keperawatan
4. Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan
keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit;
dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat klinis dan
pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar
5. Pasien berhak meminta konsultasi kepada dokter lain yang terdaftar di rumah
sakit tersebut (second opinion) terhadap penyakit yang dideritanya
sepengetahuan dokter yang merawat; “privacy” dan kerahasiaan penyakit yang
diderita termasuk data-data medisnya; mendapat informasi yang meliputi:
penyakit yang diderita, tindakan medik yang hendak dilakukan, alternatif
terapi, prognosa, perkiraan biaya, pengobatan
6. Pasien berhak menyetujui/memberikan ijin atas tindakan yang akan dilakukan
oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya;
7. Pasien berhak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan
mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah
memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya
8. Pasien berhak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis
9. Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai agama/kepercayaan yang dianutnya
selama hal itu tidak menggangu pasien lainnya
10. Pasienberhakataskeamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan
di rumah sakit
11. Pasienberhakmengajukan usul, saran dan perbaikan atas perlakuan rumah sakit
terhadap dirinya
12. Pasienberhakmenerima atau menolak bimbingan moril maupun spiritual.

Apabila pasien telah meminta dokter untuk melakukan euthanasia pasif atas dirinya,
maka ia berarti telah menjalankan haknya, yaitu hak untuk menghentikan pengobatan.
Dengan demikian, pasien yang bersangkutan sudah tidak peduli dengan risiko kematiannya.
Dalam hal ini, dokter tidak lagi kompeten untuk melakukan pengobatan terhadap pasiennya.
Walaupun pasien yang bersangkutan segera meninggal dunia setelah dilakukan euthanasia
pasif, dokter tetap bebas dari tuntutan hukum, karena tidak terdapat strafbaarfeit pada dirinya.
Justru, bila dokter tetap memberikan pengobatan (dengan tanpa izin dari pasiennya), maka
dokter terancam telah melakukan penganiayaan.

Anda mungkin juga menyukai