KONSEP KETUHANAN,
MANUSIA, DAN ALAM SEMESTA
A. KONSEP KETUHANAN
Merumuskan konsep ketuhanan dalam Islam bukanlah
pekerjaan mudah, bukan pula pekerjaan yang susah. Tidak mudah
karena memang memerlukan perangkat-perangkat keilmuan yang
memadai, dan tidak pula susah karena term ini sudah sangat populer di
kalangan para pemeluk agama, termasuk di dalamnya agama Islam.
Merumuskan sendiri hakikat Tuhan pun terus dipermasalahkan.
Siapakah dan bagaimanakah Tuhan terus dicari oleh manusia sebagai
fitrah seorang hamba yang akan selalu memerlukan eksistensi tertinggi
yang dapat menjadi tempat bertumpu dan berlindung.
Dalam agama primitif dikenal berbagai macam istilah untuk
melambangkan Tuhan. Dinamisme percaya pada kekuatan gaib yang
misterius. Baginya, ada benda-benda tertentu yang mempunyai
kekuatan gaib dan berpengaruh pada kehidupan manusia sehari-hari.
Kekuatan gaib tersebut ada yang bersifat baik dan ada yang bersifat
jahat. Dalam bahasa ilmiah, kekuatan gaib tersebut disebut mana dan
yang diperoleh seseorang bertambah jauhlah ia dari bahaya dan
bertambah selamat hidupnya. Maka yang diharapkan oleh manusia di
sini adalah mengumpulkan mana sebanyak-banyaknya.
Animisme mengajarkan bahwa tiap-tiap benda, baik yang
bernyawa ataupun tidak mempunyai roh. Roh bagi mereka mempunyai
rupa, umpamanya berkaki, bertangan, berumur dan butuh makanan.
Tujuan manusia di sini adalah mengadakan hubungan baik dengan roh
roh yang ditakuti dan dihormati dengan senantiasa berusaha
menyenangkan hati mereka. Membuat mereka marah haruslah dijauhi,
karena kemarahan roh akan menimbulkan malapetaka.
Dalam paham politeisme, manusia percaya terhadap dewa dewa.
Dewa-dewa dalam paham ini mempunyai tugas-tugas tertentu, maka
tujuan hidup di sini tidak lagi hanya sebatas memberi sesajen dan
persembahan-persembahan kepada dewa-dewa, tetapi juga menambah
Pendidikan Agama Islam | 1
dan berdoa pada mereka untuk menjauhkan amarahnya dari
masyarakat yang bersangkutan.
Kemudian terdapat juga paham henoteisme mengakui satu
Tuhan untuk satu bangsa, dan bangsa-bangsa lain mempunyai
Tuhannya sendiri-sendiri. Henoteisme mengandung paham Tuhan
nasional. Paham ini dapat dilihat pada agama Yahudi yang pada
akhirnya mengakui Yahweh sebagai Tuhan nasional mereka.
Sedangkan masyarakat yang telah meninggalkan fase primitif,
agama yang dianut adalah monoteisme, agama tauhid. Dasar ajaran
monoteisme adalah Tuhan tunggal, Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta
Alam Semesta. Perbedaan mendasar monoteisme dengan henoteisme
adalah bahwa dalam agama henoteisme, Tuhan masih bersifat nasional
sedangkan dalam monoteisme, Tuhan sudah bersifat internasional.
Tujuan hidup dalam agama monoteisme tidak lagi mencari keselamatan
hidup material saja, tetapi juga keselamatan hidup kedua atau hidup
spiritual. Maka letak perbedaan besar dari agama-agama primitif
dengan menoteisme adalah bahwa dalam agama primitif manusia
berusaha menyogok dan membujuk kekuatan supernatural dengan
penyembahan dan saji-sajian supaya mengikuti kemauan manusia,
sedangkan dalam monoteisme manusia sebaliknya tunduk kepada
kemauan Tuhan. Di sinilah Islam mengambil posisinya sebagai agama
monoteisme.
Tentang Tuhan, dalam agama Islam dikenal konsep tauhid yang
tentunya sudah melekat dalam hati umat Islam. Hanya saja kemudian
pemahaman tentang tauhid itu sendiri perlu dikedepankan lagi untuk
lebih menyegarkan ingatan. Tauhid berasal dari bahasa Arab yaitu
wahhada yang berarti menunggalkan, mengesakan. Maka tauhid dapat
dikatakan sebagai sebuah konsep yang harus diyakini bahwa Tuhan
umat Islam (Allah) adalah Esa. Konsep tauhid telah dimulai sejak zaman
Nabi Adam, tetapi kemudian menyimpang yang pada akhirnya
diperkuat ketauhidannya oleh Nabi Ibrahim, maka Nabi Ibrahimlah
yang selalu disebut sebagai “Bapak Tauhid”, pemimpin agama
(organized religion) tauhid yang pertama.
Imam Ibnu Katsir (seorang mufasir ternama) membagi tauhid
secara konseptual dalam dua bentuk, yaitu sebagai berikut. 1. Tauhid
formalis (tauhid ism), yaitu meyakini bahwa Allah adalah Esa secara
otomatis dengan namanya tersebut, maka penyebutan dengan nama
lain selain Allah tidak diperbolehkan.
َّلل َ َٚ َ َ َْ
ُ ُعت ت ه َ ألٛ ُعت تٌ هً ْـ َّ َٓ أًْ ت ْنٛ ثْ ت ْن ٠ّ ٛ
ً ُعت ف
ه
ْ ش
َ ِث َ ٍُٗ ٌَّْٕ َّث ُء تِْٝ ف
تأل
“Serulah Dia Allah atau Ar-Rahman, nama apa pun yang kamu
pakai untuk memanggil-Nya, ingatlah bahwa Dia itu mempunyai
nama-nama yang baik....”.
َّلل َ
َُُ٘ َ ت ه ُ ألٛ ًْـ ٌهد
C. KONSEP MANUSIA
Seperti makhluk-makhluk lainnya, manusia adalah ciptaan
Allah. Ia diciptakan secara alamiah karena Allah menciptakan Adam dari
tanah, jika diorganisir ke dalam diri manusia akan menghasilkan
ekstrak sulalah (air mani). Jika masuk ke dalam rahim, air ini
mengalami sebuah proses kreatif. Secara luas akan disampaikan di
bawah ini.
Manusia berasal dari dua jenis, yaitu dari benda padat dan dari
benda cair. Benda padat berbentuk tanah (turab), tanah liat (thin) dan
tembikar (salsal); benda cair berbentuk air dan mani. Manusia
diciptakan dari tanah terdapat dalam surat Ali Imran 3: 59, Al-Kahfi 18:
37, Al-Haj 22: 5, Ar-Rum 30: 20, Fathir 35: 11, Al-Mu’min 40: 67. Dalam
Ali Imran 3: 59 dinyatakan bahwa Nabi Isa sebagaimana Nabi Adam
berasal dari tanah (turab). Hanya saja, menurut Prof. Dr. Salman Harun,
proses penciptaan antara keduanya mengalami perbedaan. Dalam diri
Nabi Isa terdapat unsur sel telur dari ibunya. Sel telur sendiri berasal
dari darah, darah dari makanan, makanan tumbuh dari tanah.
Sedangkan Nabi Adam langsung diciptakan dari tanah. Demikian juga
dengan ayat-ayat selanjutnya yang sama menyebutkan penciptaan
manusia dari tanah (turab), hanya saja terdapat perbedaan dalam
konteks pembicaraan, isyarat yang dimaksud (madlul) serta informasi
dan pesan yang ingin disampaikan.
Sedangkan kata thin sendiri dapat diartikan dengan tanah yang
sudah bercampur dengan air atau lebih singkat dapat dikatakan sebagai
tanah basah. Dalam surat Al-A’raaf 7: 12 disebutkan:
َْ ٚ َْ
ِ َُٗ
ِ ْٓ مص ٍ َٔ ْٓ ِِ ٟص
ثءي َ َ ٍل َِٕ ٍل م١َغ
ٍٓ ء....
“…. Kau ciptakan aku (iblis) dari api, sedangkan ia Kau ciptakan dari
tanah.” (QS Al-A’raf [7]: 12)
ْ ٟـ ًَ َ
َ َؼٌٚ ٍءء َ ٍّءَٕث ِِ ْٓ تْٟ ٍَْ فََّأث ِء ُو ه
َْ ُِِٕٛ ْ ُ٠ ....
“…. Dan kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup.”
2. Konsep Al-Insan
Kata Al-Insan ini mengacu kepada potensi yang
dianugerahkan Allah kepada manusia, yaitu potensi untuk
bertumbuh dan berkembang biak secara fisik dan juga potensi
untuk bertumbuh dan berkembang secara mental spiritual.
Perkembangan tersebut antara lain meliputi kemampuan untuk
berbicara, menguasai ilmu pengetahuan melalui proses tertentu,
kemampuan untuk mengenal Tuhan. Potensi untuk
mengembangkan dirinya (yang positif) memberi peluang pada
manusia untuk mengembangkan kualitas sumber daya
insaninya. Selain potensi positif, manusia juga dibekali dengan
potensi lain yang memberi peluang kepadanya untuk
mendorong manusia ke arah tindakan, sikap serta perilaku
negatif dan merugikan, antara lain ditampilkan dalam bentuk
kecenderungan manusia mengingkari nikmat, tidak berterima
kasih, sombong bila telah berkecukupan.
Singkatnya, konsep Al-insan ini mengacu pada
bagaimana manusia dapat memerankan dirinya sebagai sosok
pribadi yang mampu mengembangkan dirinya agar menjadi
sosok ilmuwan yang seniman serta berakhlak mulia secara utuh.
Konsep ini diarahkan pada upaya mendorong manusia untuk
berkreasi dan berinovasi. Dari kreativitasnya, manusia dapat
menghasilkan sejumlah kegiatan berupa pemikiran (ilmu
pengetahuan), kesenian, ataupun benda-benda ciptaan.
kemudian melalui kemampuan inovasinya, manusia mampu
merekayasa temuan-temuan baru dalamberbagai bidang.
Dengan demikian, manusia dapat menjadikan dirinya sebagai
makhluk berbudaya dan beradaban.
3. Konsep Al-Nas
Kata ini di dalam Al-Qur’an biasa dihubungkan dengan
fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia diciptakan
sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan
laki-laki dan wanita, kemudian berkembang menjadi suku
bangsa, untuk saling mengenal (QS Al-Hujurat 49: 13). Sejalan
6. Konsep Abd-Allah
Kata Abd-Allah mengandung arti abdi atau hamba Allah.
Menurut M. Quraish Shihab, seluruh makhluk yangmemiliki
potensi berperasaan dan berkehendak adalah Abd-Allah dalam
arti dimiliki Allah. Kepemilikan Allah terhadap manusia
merupakan kepemilikan mutlak dan sempurna. Dengan
demikian, Abd-Allah tidak dapat berdiri sendiri dalam
kehidupan dan seluruh aktivitasnya dalam kehidupan.
Selain itu, kata Abd juga dapat berarti ibadah, sebagai
pernyataan kerendahan diri. Ibadah kepada Allah merupakan
sikap dan pernyataan kerendahan diri yang paling puncak dan
sempurna dari seorang hamba. Ibadah itu sendiri berupa
pengabdian yang hanya diperuntukkan kepada Allah semata
(QS. Yusuf 12:40), dan menurut Ja’far Al-Shadiq pengabdian
kepada Allah baru dapat terwujud bila seseorang dapat
memenuhi tiga hal. Pertama, menyadari sepenuhnya bahwa apa
yang dimilikinya termasuk dirinya sendiri adalah milik Allah
dan berada di bawah kekuasaan Allah. Kedua, menjadikan segala
bentuk sikap dan aktivitasnya senantiasa mengarah pada usaha
untuk memenuhi perintah Allah dan menjauhi segala bentuk
ْٚ ْ ّ َ ً
يخلَ ِْوَ ب َى ِر ُِّٔب َه ٌٍِث َي ِٟ َؼث ِع ٌ ًدِٟ فَر١ ي ِض ٍَِل....
ِ َّف تأل
َ ه ُ ْ َ ٙ َ َ ْ
ٍ َ آن
َِ ُْ عه ٚ َ َُث ظِْ َّث َء ُ ٍو ََ تألَٙ ٌ تَٝع ُْ ُ ب َى ِر فهُ َع ًَ َظ
ِ ََُّٔدث َي أمٟةِٛٔ
ٍ
َ ُ
ْْ ُ ٕوصِِْ َّث ِء َ٘ ُ ء ِخ١َٓنل ِ ِث