Anda di halaman 1dari 6

CORNELIA DE LANGE SYNDROME

Nama
Universitas

Pendahuluan

Anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus adalah anak yang menyimpang dari anak
normal yang sebaya, baik dalam bidang intelegensi, fisik, emosi maupun ciri-ciri sosialnya,
sehingga mereka memerlukan pelayanan secara khusus. Salah satu anak yang termasuk dalam
golongan berkebutuhan khusus adalah anak dengan Cornelia de Lange Syndrome (CdLS).
Menurut Baburao Sonawane dkk (2020) Sindrom Cornelia de Lange (CdLS) pertama kali
dilaporkan oleh Vrolik pada tahun 1849 dan Brachmann pada tahun 1916, diikuti oleh Cornelia
de Lange pada tahun 1933. Menurut Michael J.Ealison dkk (2017) Pada tahun 1933 Cornelia
Catharina de Lange, seorang dokter anak dan ahli saraf dari Amsterdam, pertama kali
menggambarkan dua pasien dengan: typus degenerativus Amsteldamensis (Tipe degenerasi
Amsterdam), sebuah sindrom yang ditandai dengan dismorfisme wajah yang unik, keterlambatan
perkembangan, dan kelainan ekstremitas. kelainan perkembangan bawaan yang langka dengan
presentasi fenotipik yang bervariasi ini dikenal sebagai: Sindrom Cornelia de Lange (CDLS).
Menurut Katharina Merry Apriliani dan Yunias Setiawati (2020) Sindrom Cornelia de Lange
(CdLS) adalah kelainan genetik yang ditandai dengan gangguan perkembangan pada beberapa
sistem organ, antara lain otak, tulang, pencernaan, kekebalan, endokrin, dan lain-lain. Ciri-ciri
lainnya, antara lain: alisnya menyambung, bibir atas tipis dan bentuknya turun ke bawah, jari
tangannya kecil-kecil, rambutnya banyak, tubuhnya kaku, belakang kepala datar, bulu matanya
lentik sekali, pangkal tulang hidung rata, dan lubang hidung mendongak ke atas, suara tangis
yang melengking pelan juga merupakan ciri khasnya. Cornelia de Lange Syndrome (CdLS) ini
berdampak signifikan terhadap kualitas hidup dan fungsi maladaptif pada pasien, serta
menimbulkan gangguan psikologis bagi keluarga.

Pembahasan

Menurut Antonie D. Kline dkk (2018) Sindrom Cornelia de Lange (CdLS) adalah
sindrom genetik pola dasar yang ditandai dengan cacat intelektual, fitur wajah yang jelas,
anomali ekstremitas atas dan pertumbuhan atipikal, di antara banyak tanda dan gejala lainnya.
Hal ini disebabkan oleh varian dalam salah satu dari tujuh gen, yang semuanya memiliki fungsi
struktural atau regulasi dalam kompleks kohesin. Meskipun kemajuan terbaru dalam pengurutan
generasi berikutnya telah meningkatkan diagnostik molekuler, heterogenitas yang nyata ada
dalam pendekatan diagnostik klinis dan molekuler dan praktik perawatan di seluruh dunia.
Berdasarkan jurnal Jay J. Desai dkk (2021) Sindrom Cornelia de Lange (CdLS) adalah kelainan
yang relatif jarang terkait dengan beberapa kelainan kongenital/keterbelakangan mental dengan
etiologi yang tidak diketahui dengan insidensinya bervariasi dari 1:10.000 hingga 1:50.000
kelahiran hidup pada kelompok populasi yang berbeda tanpa ada predileksi ras yang diketahui.
Gambaran klinis utama dari sindrom ini terdiri dari tampilan wajah dismorfik yang khas,
retardasi pertumbuhan, keterlambatan perkembangan, keterbelakangan mental, hirsutisme, dan
anomali pembentukan tulang. Menurut Tri Retno Indah Susanti dkk (2019) Cornelia de Lange
Syndrome (CdLS) merupakan kelainan genetik yang muncul sejak lahir tapi tidak selalu
terdiagnosa saat lahir. Sindrom ini cenderung relatif tidak umum dan menyebabkan
keterlambatan perkembangan dan kognitif yang mendominasi pada individu dengan Cornelia de
Lange Syndrome (CdLS) membutuhkan multidisiplin ilmu untuk mencapai hasil yang
maksimum dan mencegah keterlambatan perkembangan umum bukan kematian. Menurut
Patrizia Sarogni dkk (2020) Sindrom Cornelia de Lange (CdLS) adalah kelainan genetik parah
yang ditandai dengan malformasi multisistemik. CdLS disebabkan oleh varian patogenetik dalam
NIPBL, SMC1A, SMC3, RAD21 dan HDAC8 gen yang termasuk dalam kohesin. Dalam jurnal
Fadel A.Syarief (2020) menyatakan Sindrom Cornelia de Lange adalah kelainan genetik langka
yang ditandai dengan dismorfia kraniofasial, keterlambatan perkembangan, cacat intelektual,
kelainan ekstremitas atas, dan masalah gastrointestinal. Penyakit ini secara genetik heterogen dan
penyebab genetik yang mendasari tidak diketahui pada sekitar 30% kasus.

Menurut Tri Retno Indah Susanti dkk (2019) ada dua fenotipe yang dapat dibedakan dari
Cornelia de Lange Syndrome (CdLS) yakni Cornelia de Lange Syndrome (CdLS) klasik dan
Cornelia de Lange Syndrome (CdLS) yang lebih ringan. Cornelia de Lange Syndrome (CdLS)
klasik Tipe I : Pasien memiliki perubahan wajah dan rangka sesuai gambaran dari kriteria
diagnostic, mereka memiliki kekurangan pertumbuhan prenatal, keterlambatan psikomotor
sedang sampai berat, dan mafformasi besar yang mengakibatkan ketidakmampuan yang berat
atau kematian. Cornelia de Lange Syndrome (CdLS) yang lebih ringan, Tipe II : Pasien memiliki
wajah yang mirip dengan tipe I, mereka memiliki keterlambatan psikomotor ringan sampai
perbatasan, defisiensi pertumbuhan pra-dan postnatal kurang berat, dan tidak adanya (atau
kurang beratnya) tingkat malformasi. Tipe III atau fenokopi Cornelia de Lange Syndrome
(CdLS), termasuk pasien yang memiliki manifestasi fenotipik Cornelia de Lange Syndrome
(CdLS) yang penyebabnya berkaitan dengan perubahan kromosom atau paparan teratogen.
Menurut Marco Grados dkk (2017) Karakteristik fenotipe perilaku dalam CdLS menunjukkan
dominannya fenomena klinis berulang serta defisit verbal ekspresif yang seharusnya
menginformasikan pendekatan pengobatan khusus pada CdLS. Secara khusus, perilaku berulang
yang terkait dengan melukai diri sendiri memiliki dampak negatif yang tinggi pada kualitas
hidup individu dengan CdLS dan keluarganya. Pendekatan pengobatan yang diarahkan untuk
mengelola perilaku berulang dan SIB di CdLS diperlukan dalam kondisi perkembangan ini.
Kehadiran perilaku berulang dan kompulsif (RCB) dan perilaku melukai diri sendiri (SIB) pada
individu dengan CdLS telah menjadi salah satu ekspresi perilaku yang paling konsisten dalam
laporan klinis. Perilaku kompulsif, yang menunjukkan perilaku yang ego-distonik atau tidak
menyenangkan, tetapi pasien merasa harus melakukannya, termasuk SIB. Disabilitas intelektual
(ID) adalah ciri khas CdLS, dengan sebagian besar individu memiliki IQ dengan disabilitas
intelektual sedang dengan IQ di kisaran 55-70. Laporan fenotipe sebelumnya menetapkan bahwa
ID terjadi pada hingga 100% individu dengan CdLS. Namun, fenotipe yang lebih ringan dengan
skor kecerdasan umum yang kurang terpengaruh sekarang banyak dijelaskan dalam literatur.
Laporan klinis individu dengan CdLS telah mencatat tingkat kecemasan yang tinggi pada
sebagian anak-anak dan orang dewasa. Kecemasan sering berupa penghindaran sosial serta
kecemasan yang meningkat ketika rutinitas atau perilaku ritual tidak selesai. Perilaku
penghindaran sosial dapat berupa pengurangan interaksi verbal atau bahkan mutisme
selektif(gangguan berkomunikasi yang biasanya dijumpai pada anak yang memilih tidak
berbicara pada situasi tertentu atau orang tertentu,meskipun ia mampu). kecemasan sosial dicatat
pada anak-anak dengan CdLS dengan pola kontak mata dan berbicara yang ditampilkan, dalam
konteks tuntutan sosial.

Menurut Marco Grados (2017) Anak-anak dengan CdLS memiliki pola tidur terburuk,
dengan 50-75% anak-anak mengalami gangguan ritme sirkadian, dibandingkan dengan 33%
orang dewasa dengan CdLS, tingkatnya jauh lebih tinggi daripada yang dilaporkan pada populasi
umum. Anak-anak juga membutuhkan waktu lebih lama untuk kembali tidur dan lebih sering
terbangun di malam hari. Gangguan pernapasan saat tidur (SDB) juga telah diidentifikasi pada
anak-anak dengan CdLS, menggunakan Pediatric Sleep Questionnaire (PSQ) dan Pediatric
Daytime Sleepiness Scale (PDSS).

Gambar 1. Ciri Anak Penderita Cornelia de Lange Syndrome (CdLS)


Sumber: Google Image

Gambar diatas adalah ciri-ciri anak dengan Cornelia de Lange Syndrome (CdLS) dilihat
dari bentuk wajahnya adalah alis mata yang menyatu di tengah, bulu mata yang panjang, hidung
pendek dengan lubang hidung sedikit menengadah ke atas, jarak antara bibir atas dan hidung
yang panjang, pangkal hidung luas atau datar, dagu kecil atau petak, bibir tipis dengan sudut
menurun (downturn), celah langit langit mulut yang tinggi, gigi jarang atau gigi yang tidak
tumbuh. Menurut Michael J. Eliason (2017) CdLS adalah sindrom bawaan langka yang dapat
hadir dengan kelainan kraniofasial dan gangguan pendengaran. Menurut Katharina Merry
Apriani dan Yunias Setiawati (2020) CdLS merupakan kelainan genetik yang parah, seringkali
memiliki dampak lain selain gangguan perkembangan fisik, dan pada gangguan tingkat
perkembangan/intelektual, gangguan spektrum autisme, perilaku melukai diri sendiri, kondisi
fisik, dan obat-obatan serta kesulitan bicara, kecemasan, hiperaktif dan masalah tidur.

Menurut Gabrielle Oley dkk (2001) Sel-sel dari pasien CdLS tidak memiliki cacat yang
jelas pada kohesi kromatid saudara, dan individu dengan mutasi pada SMC1, SMC 3 dan RAD21
sering dianggap ‘atipikal’ dalam hal penampilan dan pertumbuhan wajah, dan lebih kecil
kemungkinannya untuk memiliki cacat anggota badan dibandingkan mereka yang memiliki
NIPBL mutasi. Ekspresi gen yang tidak diatur telah diusulkan sebagai mekanisme utama yang
mendasari CdLS. Mutasi pada gen yang mengkode regulator kromatin yang tidak terkait dengan
kohesin, seperti ANKRD11, KMT2A, AFF4 dan protein bromodomain dan domain
ekstraterminal (BET) BRD4, telah dilaporkan banyak menyebabkan fenotipe seperti CdLS,
menunjukkan bahwa disregulasi kromatin mungkin berperan dalam CdLS juga. Selain itu,
peningkatan sensitivitas terhadap kerusakan DNA telah dilaporkan pada sel pasien CdLS, tetapi
mekanisme yang mendasari defek ini tidak diketahui dan partisipasinya dalam etiologi penyakit
masih belum jelas. Menurut Tri Retno Indah Susanti dkk (2019) untuk merawat anak dengan
CdLS dimulai dengan aktifitas motorik kasar untuk memperkenalkan gagasan meniru dari
permainan, kemudian memberikan pujian yang akan membentuk perilaku yang positif. Setelah
itu, suruh anak untuk menirukan sebuah kata. Hasil dari penerapan ini terjadi peningkatan
dengan penggunaan bahasa non-verbal dan bahasa isyarat. Pada penggunaan bahasa tertulis tidak
terjadi peningkatan dikarenakan anak belum bisa menulis dan membaca. Pada penggunaan
bahasa lisan juga tidak mengalami peningkatan yang signifikan dikarenakan koleksi kata anak
masih sangat terbatas. Anak dikatakan mampu berkomunikasi bila anak memperhatikan mitra
bicara. Untuk kegiatan kolaboratif bersama ahli terapis wicara, menggunakan latihan komunikasi
dengan menggunakan media gambar dan warna untuk menstimulus perkembangan bahasa
reseptif dan bahasa ekspresif anak. Bahasa reseptif adalah kemampuan untuk mengerti apa yang
dilihat dan apa yang didengar dengan tujuan untuk membantu anak mengembangkan
kemampuan mendengarkan, mengidentifikasi konsep melalui pemahaman pelabelan kata-kata,
dan meningkatkan kemampuan merespon setiap komunikasi. Bahasa ekspresif adalah
kemampuan untuk berkomunikasi secara simbolis baik visual ataupun auditorial dengan tujuan
untuk membantu anak agar dapat mengekspresikan kebutuhannya, keinginannya dan
perasaannya secara verbal.
Gambar 2. Anak Penderita Cornelia de Lange Syndrome (CdLS)
Sumber: Youtube Channel SBSK

Saya menemukan referensi mengenai sindrom Cornelia de Lange (CdLS) dalam channel
youtube yang bernama SBSK (Special Book by Special Kids). Bella didiagnosis dengan sindrom
Cornelia de Lange (CdLS). Ada beberapa gen yang dapat memiliki perubahan saat dibuat dan
menghasilkan Kornelia Delaine, miliknya ada di gen yang paling umum yaitu gen NIPBL dan
perubahan spesifiknya unik untuk dirinya sendiri. Bella suka bermain dan keluarganya percaya
itu adalah hak istimewa bagi orang tua Bella. Ibu Bella berkata bahwa Bella tidak memiliki
sesuatu yang kurang atau lebih dari anak lain, Kita memperlakukannya seperti anak normal pada
umumnya, hanya saja untuk berkomunikasi Bella menggunakan gerakannya. Ayah Bella
berharap untuk masa depan Bella, Ayah dan Ibunya diberi umur yang panjang untuk merawat
Bella dengan tulus, Karena Ayah Belay akin tidak ada orang lain yang bisa merawat Bella selain
Orang Tua Bella sendiri.

Kesimpulan

Sindrom Cornelia de Lange (CdLS) ini merupakan kelainan genetik yang berakibat
terjadinya hambatan fisik, kemampuan kognitif dan kesehatan. Sindrom Cornelia de Lange
(CdLS) adalah kelainan genetik parah yang ditandai dengan malformasi multisistemik. CdLS
disebabkan oleh varian patogenetik dalam NIPBL, SMC1A, SMC3, RAD21 dan HDAC8 gen
yang termasuk dalam kohesin. Mutasi gen-gen tersebut menyebabkan gejala CdLS dengan
mengganggu fungsi kompleks cohesin, yaitu sekelompok protein yang berperan penting dalam
perkembangan bayi sebelum lahir.

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=7KsuHFy2bXo&list=LL&index=2&t=36s

Anda mungkin juga menyukai