Abstrack
Sejak jatuhnya rezim orde baru, maka keberanian untuk menggugat negara kesatuan
mulai bergaung dipentas politik nasional. Munculnya gagasan negara federal (negara
serikat) tersebut merupakan antitesis atas pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia
berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah yang di nilai sangat setralisti., Melalui instrumen hukum ini terdapat kekangan
dan dominasi terhadap kemandirian daerah yang dilakukan begitu ketat dan sistematis.
Padahal secara konseptual sesungguhnya otonomi daerah adalah kebebasan bergerak
(berekspresi) yang harus diberikan kepada daerah otonom untuk melakukan prakarsa
sendiri untuk mengurus kepentingan masyarakat di daerah. Oleh sebab itu terdapat
anggapan dari daerah bahwa pemberlakukan konsep otonomi daerah lewat bentuk
negara kesatuan sama sekali tidak membawa kesejahteraan masyarakat di daerah
karena produk hukum penyelenggaraan pemerintah daerah pada masa orde baru yang
secara konseptual sangat represif, juga dibarengai pula dengan perilaku pemerintah
yang otoriter, melecehkan hak asasi manusia, setralisme kekuasaan yang mengisap
sumber daya daerah ke pusat. Untuk mengatasi hal tersebut, maka solusinya adalah
demokratisasi dan desentralisasi kekuasaan melalui otonomi daerah yang seluas-
luasnya, bukan dengan mengubah ke bentuk negara federalisme, tetapi dengan
mengubah cara penyelenggara negara yang memperhatikan kepentingan-eksistensi
daerah termasuk di dalamnya keadilan pemanfaatan sumber daya alam dan pluralisme
(kemajemukan) daerah. Disinilah pentingnya otonomi daerah sebagai salah satu garda
depan penjaga negara kesatuan Republik Indonesia.
A. PE N D AH U LUAN
Perihal otonomi daerah selalu menarik untuk dijadikan fokus pem-bicaraan dan
terutama juga sebagai sentrum kajian dalam segi akademis. Di samping punya kaitan
(administratiefsrecht) di Indonesia, juga yang tak kalah penting adalah bahwa dalam
masyarakat di daerah.
1
Sebagaimana diketahui bahwa sejak jatuhnya Rezim Orde Baru – yang ditandai
dengan pengunduran diri Presiden Soeharto – pada tanggal 21 Mei 1998, maka
keberanian untuk menggugat bentuk negara kesatuan mulai bergaung di pentas politik
nasional. Tampil pertama dalam menggelindingkan wacana negara federal adalah Amien
Rais1 dan Faisal Basri (yang saat ini sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Partai Amanat
Nasional – PAN). Keduanya melontarkan isu bahwa bentuk ideal negara Indonesia agar
tidak terjerembab ke dalam jurang disintegrasi bangsa ialah dengan kembali ke bentuk
undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah yang dinilai
sangat sentralistis, yang selanjutnya oleh banyak kalangan (baik itu politisi maupun
akademisi) dipahami sebagai kegagalan bentuk negara kesatuan (unitary state). Melalui
instrumen hukum (dalam bentuk undang-undang) ini, kekangan dan dominasi terhadap
kemandirian daerah dilakukan dengan begitu ketat dan sistimatis. Padahal secara
harus diberikan kepada daerah otonom untuk melakukan prakarsa sendiri dalam
Alasan lain yang dikedepankan oleh kalangan yang menuntut bentuk negara
federal bagi Indonesia di era reformasi ialah bahwa resistensi dareah-daerah terhadap
cara penyelenggaraan negara (kebijakan) pemerintah pusat (Jakarta) sebagai akibat dari
2
daerah selama pemerintahan orde baru. Juga pengerukan juga penghisapan sumber
kekayaan daerah oleh pusat tanpa pembagian yang adil dan kurangnya distribusi
pemberlakukan konsep otonomi daerah lewat bentuk negara kesatuan (sama sekali) tidak
membawa kesejateraan masyarakat di daerah. Justru itu, tidak bisa tidak yang harus
terdapat masalah yang berkaitan dengan otonomi. Sebagaimana ditegaskan oleh Kuntana
Magnar5, bahwa :
Bagian memiliki kekukasaan asli (original) yang bukan bersumber dari suatu
Tidak adanya permasalahan otonomi dalam negara federal juga merupakan faktor
federal bagi indonesia kedepan. Apalagi secara kasat mata di negara-negara federal,
rakyatnya.
4
Andi Alfian Malarangeng, Kekuatan Otonomi, dalam : Bonar Simorangkir, et.al (Editor), Otonomi
atau federalisme, Jakarta., Pustaka Sinar Harapan, 2000. Hlm. 103
5
Kuntana Magnar, Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Otonom dan Wilayah Administratif, Bandung,
Armico, 1984. Hlm. 18-19
3
Di samping itu, dari segi yuridis terdapat kelebihan-kelebihan yang dimiliki
berikut :
negara bagian jauh lebih besar (kekuasaan membuat konstitusi dan undang-undang
negara bagian) dari pada Daerah Otonom dalam bingkai dalam bentuk negara kesatuan.
tantangan besar dari pihak-pihak yang tidak setuju dengan negara federal (unitaris).
Antara lain yang tidak setuju adalah Letnan Jenderal (Purn) Sayidiman7 (Mantan
Wakil KASAD dan Gubernur Lemhanas) yang secara jelas menolak ide dikembalikannya
”Yang pertama, daerah belum siap untuk mengatur dirinya sendiri, hal itu
terutama jika dilihat belum adanya sumber daya manusia (SDM) di daerah.
sendiri. Yang kedua, bentuk negara federasi pernah mempunyai cacat sejarah
6
Terkutip dalam : H. Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Sebagai Suatu
Alternatif, Jakarta, Raja Gravindo Persada, 2000. Hlm. 89
7
Anhar Gonggong, Op.Cit. Hlm.xii
4
Maksud Sayidiman tentang ”cacat sejarah” dalam hal ini adalah ”Trauma Van Mook”8
yakni Letnan Gubernur Jenderal Belanda (Van Mook) yang menggagas Republik
Indonesia Serikat (RIS) dengan tujuan untuk memecah belah bangsa Indonesia. ”Trauma
Van Mook” itu juga menjadi semacam psychological barrier (kendala psikologis)9
Terdapat pula alasan lain dari yang menolak bentuk Negara Federal. Sebagaimana
pertentangan etnis”.
Ketakutan akan terjadinya disintegrasi bangsa menjadi argumentasi pokok dari Sudrajat
sehingga menyarankan agar dikaji lebih seksama untung rugi bentuk Negara Federal.
Membahas otonomi daerah dari sudut hukum tata negara, sama sekali tidak bisa
dipisahkan dari kajian-kajian mengenai bentuk suatu negara. Oleh sebab itu, kerangka
Berbicara bentuk negara, maka dalam kajian hukum tata negara dapat
diklasifikasi ke dalam 2 (dua) bentuk, yakni format negara kesatuan dan format negara
8
Istilah ini digunakan Anhar Gonggong sebagai sikap traumatik bangsa Indonesia atas RIS yang dikenal
sebagai ide Letnan Gubernur Jenderal Van Mook untuk memecah belah bangsa. Ibid. Hlm.xii
9
Sudrajat (Mayjen TNI), Federalisme Masih Diperdebatkan, dalam : Bonar Simorangkir, et.al (Editor),
Op.Cit. Hlm. 183
10
Ibid. Hlm.184-185
5
federal11. Hal ini terkait pula dengan klasifikasi konstitusi berdasarkan bentuk negara,
constitution)”.
Menurut C. F. Strong13,
”Salah satu ciri negara federal adalah bahwa ia mencoba menyesuaikan dua
Meskipun terdapat banyak perbedaan penerapan konsep negara federal diberbagai negara,
namun menurut Miriam Budiardjo14, ada satu prinsip yang dipegang teguh, yaitu bahwa
Untuk membentuk suatu negara federal menurut C.F. Strong15 diperlukan dua
syarat, yaitu (1) adanya perasaan sebangsa di antara kesatuan-kesatuan yang hendak
membentuk federasi itu, dan (2). Adanya keinginan pada kesatuan-kesatuan politik yang
hendak mengadakan federasi untuk mengadakan ikatan terbatas, oleh karena apabila
11
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bhakti, 1988. Hlm. 186-169
12
Terkutip dalam :Sri Soemantri Martosoewignyo, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung,
Alumni, 1987 Hlm.63
13
Terkutip dalam : Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1991.
Hlm.141.
14
Ibid. Hlm. 141
15
Ibid. Hlm. 142
6
Sedangkan pengertian negara kesatuan (unitary state) menurut C.F. Strong16
tetapi pada tahap terakhir kekuasaan tertinggi tetap di tangan pemerintah pusat”.
(kursif penulis)
Di sini jelas terlihat bahwa otonomi daerah merupakan konsekwensi logis dari bentuk
negara kesatuan dengan sistem desentralisasi. Juga apabila dilihat dari segi hukum tata
negara, khususnya teori bentuk negara menurut Bagir Manan17, ”otonomi adalah sub
sistem dari negara kesatuan (unitary state, eenheidsstaat). Otonomi adalah fenomena
negara kesatuan. Segala pengertian (begrip) dan isi (materie) otonomi adalah pengertian
Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengurus dan mengatur
satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan
pemerintahan. Urusan pemerintah-an yang boleh diatur dan diurus secara bebas
16
Ibid. Hlm. 140
17
Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945; Perumusan dan Undang-Undang
Pelaksanaannya, Unsika, 1993. Hlm. 2
18
Ateng Syafrudin, Op.Cit. Hlm. 5
19
Bagri Manan, Op.Cit. Hlm. 2
7
dan mandiri itu menjadi atau merupakan urusan rumah tangga satuan
Jelas bahwa hakekat otonomi adalah kebebasan dan kemandirian daerah. Bukan
kemerdekaan dalam arti memisahkan diri dari negara (separatisme). Lebih jelas lagi
menurut Kuntara Magnar,20 ”otonomi daerah adalah bagian keseluruhan dari usaha
B. PEMBAHASAN
negara yang ada di dunia, maka dapat dibedakan konstitusi negara kesatuan dan
konstitusi negara federal. Konstitusi negara federal antara lain terdapat pada Republik
Federal Jerman, Republik Federal India, Kerajaan Malaysia, Australia, Kanada dan
Amerika Serikat. Dari negara-negara yang berbentuk federal ternyata hampir semunya
Dalam hal proses pembentukan negara federal bermula dari beberapa negara-
negara merdeka yang berdaulat, bersepakat menggabungkan diri menjadi suatu negara
baru, yang sering disebut Negara Federal atau Negara Serikat. Dalam kesepakatan itu
20
Kuntana Magnar, Op.Cit. Hlm. 22
21
Sri Soemantri Martosoewignyo, Federalisme di Berbagai Negara, dalam : Bonar Simorangkir, et.al
(Editor), Op.Cit. Hlm. 171
8
yang mereka miliki kepada negara baru, yaitu negara federal yang baru dibentuk, yang
secara tradisional kewenangan yang diserahkan itu terdiri dari kewenangan dibidang
politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, serta kewenangan dalam bidang yang
R. Juniarto23, bahwa :
”Dalam negara federal ada beberapa negara yang semula berdiri sendiri-sendiri,
kerjasama itu”.
Contoh kongkrit yang dapat dipaparkan dalam hal pembentukan negara federal
pada 4 Juli 1776, wilayah daratan Amerika ini merupakan jajahan Inggris. Akibat dari
kebijakan serta tindakan pemerintah Kerajaan Inggris yang sangat membebani rakyat di
wilayah jajahan tersebut sehingga timbul reaksi pada tahun 1774, yakni dengan
negara federal Amerika (United State America) serta pengumuman kemerdekaannya yang
22
H. Rozali Abdullah, Op.Cit. Hlm. 88
23
R. Juniarto, Perkembangan Pemerintah lokal, Bandung, Alumni, 1982. Hlm. 47 – 48
24
Sri Soemantri Martisoewignyo, Federalisme…, Op.Cit. Hlm. 172-173
9
dari 7 (tujuh) koloni. Dalam rancangan konstitusi ini tertuang kesepakatan bahwa bentuk
negara Australia adalah federal, yang selanjutnya diadakan referendum pada tahun 1899
untuk meminta pendapat rakyat Australia tentang bentuk negara. Hasil akhirnya adalah
kewenangan yang mereka miliki kepada negara baru (negara federal). Jadi, pemilik
kepada negara federal. Hal ini berbeda dengan negara kesatuan (unitary state,
maka timbul pertanyaan : apakah bentuk negara (kesatuan) Indonesia dapat diubah
menjadi negara federal?. Untuk mengubah Indonesia kebentuk negara federal, maka yang
(kedaulatan) yang mereka miliki kepada negara-negara federal yang baru dibentuk itu.26
25
Ibid. Hlm. 180
26
H. Rozali Abdullah, Op. Cit. Hlm. 90-91. Bandingkan pula dengan pernyataan Ryaas Rasyid bahwa
untuk menjadi negara federal harus ada negara-negara dulu, baru dikumpulkan untuk membentuk federasi.
Yang berarti dipecah dulu barulah dibentuk federasi. Sudrajat (Letjen TNI), Federalisme Masih
10
Di samping analisis yang menggunakan tolok ukur proses pembentukan suatu
negara federal tersebut di atas, tentang manfaat otonomi dalam bingkai negara kesatuan
dapat pula ditelusuri berdasarkan harapan dari the founding fathers melalui sejarah
(suasana kebathinan) perumusan UUD 1945 oleh BPUPKI dan PPKI. Sebagaimana
diketahui bahwa pada sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945, Soepomo27 sempat
(statenbond)”. Dalam hal ini terungkap bahwa sesungguhnya bentuk negara itupun tetap
menjadi persoalan yang dibahas dalam sidang BPUPKI. Selanjutnya pada sidang
“Segala apa yang saya katakan tadi bukanlah menurut konstitusi negara serikat;
tidak ada disebutkan di dalamnya, bahwa saya hendak memilih aliran-aliran yang
hendak menyusun negara serikat atau negara sekutu, malainkan semua itu adalah
hendak memenuhi syarat negara kesatuan, Negara Serikat tidaklah kuat, tidak
Sebagai salah satu tokoh yang membidangi berdirinya negara ini, M. Yamin juga
menolak konsep negara federal berlaku bagi Indonesia di kemudian hari (setelah
kemerdekaan).
11
Pada akhirnya seluruh anggota BPUPKI menyetujui bahwa pilihan yang paling
tepat bagi bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan (eenheidsstaat). Sebagaimana
dikatakan dalam pidato Soepomo29 pada sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 bahwa :
“Kita telah menyetujui bentuk negara kesatuan (eenheidsstaat). Oleh karena itu,
di bawah Negara Indonesia tidak ada negara bawahan, tidak ada “onderstaat”,
Berdasarkan Isi dari pidato Soepomo dan M. Yamin tersebut, maka dapat dipahami
bahwa the founding fathers punya harapan besar agar Indonesia kedepan tetap berbentuk
negara kesatuan.
Memang patut diakui bahwa bangsa Indonesia pernah merasakan negara federal,
yakni RIS (Republik Indonesia Serikat) sejak tanggal 27 Desember 1949 dan berakhir
pada 17 Desember 1950 yang nota bene berbentuk negara federal. Penerimaan terhadap
bentuk negara federal ini sebenarnya hanyalah siasat dalam menghadapi Agresi Militer
Belanda, yang dengan harapan dikemudian hari akan kembali kebentuk susunan negara
dan pula ternyata bahwa kesadaran akan kesatuan juga semakin kuat. Kesempatan
29
Ibid. Hlm. 271
30
Soehino, Perkembangan Pemerintahan Di Daerah, Yogyakarta, Liberty, 1988. Hlm. 36
12
dan kemudian mengadakan perubahan dalam negeri, yaitu mengubah bentuk
Selain untuk menghadapi agresi militer Belanda, penerimaan terhadap bentuk negara
federal (RIS), juga sebagai langkah diplomasi untuk memperoleh pengakuan kedaulatan
dari pemerintah Belanda. Dalam hal ini H. Rozali Abdullah31 menegaskan bahwa :
Bundah (KMB) di Den Haaq. Bahsa Indonesia menerima bentuk negara RIS
pemerintah Belanda”.
Lahirnya negara federal (RIS) itupun sesungguhnya mendapat perlawanan rakyat yang
pada akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali kebentuk negara
kesatuan.32
Keinginan besar bangsa Indonesia untuk tetap berada dalam bingkai negara
kesatuan ternyata tidak didukung oleh rezim-rezim otoriter yang berkuasa di Indonesia,
baik pada masa orde lama maupun pada masa orde baru. Semua produk hukum otonomi
daerah tidak responsif (ortodoks/konservatif). Pada masa orde lama misalnya, setelah
keluarnya Dektir Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945, Presiden Soekarno
Pemerintah Daerah. Penpres ini memberi jalan bagi semakin ketatnya pengendalian pusat
terhadap daerah. Kepala Daerah diangkat oleh pusat33. Begitu pula dengan Undang-
31
H. Rozali Abdullah, Op. Cit. Hlm. 93 - 94
32
Hasan Zaini, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung, Alumni, 1985, Hlm. 316-319
33
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Pustaka LP3ES Indonesia, 1998, Hlm. 334-335
13
Undang nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang
menurut Moh. Mahfud, MD34 hanya meneruskan Penpres Nomor 6 Tahun 1959.
yang dapat dicirikan dari penggunaan asas otonomi nyata dan bertanggungjawab35.
Termasuk bunyi Penjelasan Umum (butir f) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang
menegaskan bahwa : “..... Jadi pada hakekatnya otonomi daerah ini lebih merupakan
kewajiban dari pada hak, yaitu kewajiban daerah untuk ikut melancarkan jalannya
pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan Rakyat yang harus diterima
masa orde baru yang secara konseptual sangat represif, juga dibarengi pula oleh perilaku
pemerintah yang otoriter, melecehkan hak asasi manusia, sentralisme kekuasaan yang
menghisap sumber daya daerah ke pusat 36. Karena itu, solusinya adalah demokratisasi
dan desentralisasi kekuasaan melalui otonomi daerah yang seluas-luasnya, bukan dengan
negara37. Bahkan dengan otonomi dapat meredam terjadinya disintegrasi bangsa. Dapat
34
Ibid. Hlm. 335
35
Ibid.Hlm. 335
36
Andi Alfian Malarangeng, Op.Cit. Hlm.103
37
Ibid. Hjm. 103
38
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, 2001. Hlm. Vi - vii
14
menjadi pemicu disitegrasi. ... Otonomi adalah salah satu garda depan penjaga
negara kesatuan”.
Walaupun perdebatan tentang otonomi dan bentuk negara sudah menjadi wacana
publik, namun hasil akhirnya adalah pada saat Perubahan Ketiga UUD 1945 disahkan
tanggal 10 November 2001, secara substansial telah mengukuhkan kembali Pasal 1 ayat
(1) UUD 1945 yang berbunyi : ”Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang
berbentuk Republik”. Bahkan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 ini tidak dapat
Keempat UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002, sebagaimana yang
telah ditegaskan dalam Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 sebagai berikut : ”Khusus mengenai
Perdebatan yang panjang dan sangat politis tentang bentuk Negara (apakah
1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3839), yang kemudian diganti dengan Undang-
Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4437) dimana secara
yuridis konsep otonomi dan bentuk negara kesatuan yang menjadi pilihan untuk
Indonesia ke depan. Terlebih lagi substansi asas yang menjadi misi undang-undang ini
adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Tinggal sekarang adalah
terhadap upaya pemberdayaan masyarakat lokal melalui otonomi dan ketaatan pusat
15
dengan produk-produk hukum (penyelenggaraan pemerintahan daerah) yang dibuatnya
sendiri.
C. PENUTUP
Bahwa bentuk negara yang paling tepat bagi Indonesia adalah negara kesatuan
(federal state, bondsstaat). Di samping telah diuji secara historis praktikal, seperti
pemberlakukan Konstitusi RIS, juga yang paling penting adalah akar budaya
Dari segi historis, pada saat perumusan UUD 1945, the founding fathers juga sepakat
akan bentuk negara kesatuan bagi Indonesia. Demikian pula dari segi proses
pembentukan negara, adalah tepat kalau Indonesia tidak merubah bentuk negara
menjadi federalisme.
Bahwa resestensi daerah terhadap pusat bukan karena disebabkan oleh penerapan
konsep bentuk negara, melainkan akibat dari cara penyelenggaraan pemerintah yang
otoriter, militeristik, pelecehan HAM dan penghisapan sumber daya daerah ke pusat
yang dilakukan rezin-rezin otoriter, baik orde lama maupun orde baru.
Jalan keluar dari ketidak senangan daerah terhadap pusat adalah dengan
daerah, melalui pembagian yang adil terhadap sumber kekayaan yang ada di
16
Pemerintah pusat harus memberikan keleluasaan kepada daerah dalam berotonomi
agar (daerah) dapat lebih berekspresi dan mandiri, demi kesejateraan dan
DAFTAR PUSTAKA
17
Anhar Gonggong, 2001, Amandemen Konstitusi, Otonomi Daerah dan Federalisme;
Arif Nasution, M., dkk, 2000, Demokratisasi dan Problema Daerah, Bandung, Manda
Maju.
--------------, 1991, Titik Berat Otonomi Daerah Pada Daerah Tingkat II Dan
Aditama.
Bagir Manan, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945; Perumusan dan Undang-
Bonar Simorangkir, et.al. (Editor), 2000, Otonomi atau Federalisme, Jakarta, Pustaka
Sinar Harapan.
Biro Program Informasi Internasional Departemen Luar Negeri AS, Garis Besar
Desember 2006.
Hasan Zaini, 1985, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung, Alumni.
Jimly Asshiddiqie, 2002, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat,
Indonesia.
18
Joeniarto, R., 1982, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Bandung, Alumni.
Miriam Budiardjo, 1991, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Indonesia.
Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta, Pustaka LP3ES
Indonesia.
Rozali Abdullah, 2000, Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Sebagai Suatu
Bandung, Alumni.
19
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
20
6. Agama : Kristen Protestan
7. Golongan / Pangkat : IV/b, Pembina Tk.I
8. Jabatan Fungsional Akademik : Lektor Kepala
9. Perguruan Tinggi : Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB)
10. Alamat : Jalan Cihampelas no.8 Bandung
11. Telp./Faks. : 4203236
12. Alamat Rumah : Jalan Media II CD 8 Rt.13 Rw 08 Cimahi Utara
13. Telp./Faks. : (022)6612619
14. Alamat e-mail : darwinginting@bdg.centrin.net.id
B. RIWAYAT PENDIDIKAN
1. Sekolah Dasar Negeri III Kabanjahe, Tamat Tahun 1972
2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 108 Kabanjahe, Tamat Tahun 1975
3. Sekolah Menengah atas Negeri II Kota Bogor, Tamat Tahun 1979
4. Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB), Jurusan Hukum Perdata, Tamat Tahun
1984
5. Universitas Padjadjaran Program Pascasarjana, Candidat Notaris, Tamat Tahun 1989
6. Univesitas Padjadjaran Program Pascasarjana (S2) Program Studi Ilmu Hukum,
Tamat Tahun 1995
7. Universitas Padjadjaran, Program Pascasarjana (S3) Program Studi Ilmu Hukum,
Tamat Tahun 2009
C. RIWAYAT PEKERJAAN
1. Sebagai Penasehat Hukum Pada PT Dasatex di Kota Bandung dan PT. Dayasamatex di
Kabupaten Bandung, Tahun 1986 sampai Tahun 1992
2. Staff Ahli Pembebasan Tanah Untuk Lahan Transmigrasi, Departemen Transmigrasi
Republik Indonesia, Tahun 1985 sampai Tahun 1996
3. Sebagai Dosen Sekolah Tinggi Hukum Bandung sejak Tahun 1984 sampai sekarang
4. Sebagai Dosen Sekolah Tinggi Hukum Pasundan Sukabumi sejak Tahun 1995 sampai
sekarang
5. Sebagai Dosen Fakultas Sosial Politik Universitas Parahyangan Bandung sejak Tahun
2000 sampai sekarang
6. Sebagai Dosen Akademi Pariwisata (AKTRIPA) Bandung sejak Tahun 1995 sampai
Tahun 2000
7. Kepala Perpustakaan Sekolah Tinggi Hukum Bandung sejak Tahun 1993 sampai
Tahun 1995
8. Sekretaris Bagian Hukum Perdata Sekolah Tinggi Hukum Bandung sejak Tahun 2000
sampai Tahun 2003
9. Kepala Bagian Hukum Perdata Sekolah Tinggi Hukum Bandung sejak Tahun 2004
sampai tahun 2010
10. Kepala LPPM Sekolah Tinggi Hukum Bandung dari tahun 2010 sampai sekarang
11. Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sejak Tahun 1996 sampai sekarang
NARASUMBER (PEMAKALAH)
21
1. Teknik Pembuatan Perjanjian Kerja dan Kesepakatan Kerja Bersama, Departemen
Tenaga Kerja, Tahun 2000
2. Mengkaji Undang-Undang Tenaga Kerja No.25 Tahun ...., Kanwil Depnaker Jawa
Barat, Tahun 2000
3. Perkembangan Politik Hukum Pertanahan di Indonesia, Bagian Hukum Sekolah Tinggi
Hukum Bandung, Tahun 2001
4. Aspek Hukum Pemasangan Hak Tanggungan, Bank Mandiri Bandung, Tahun 2004
5. Rekonseptualisasi Hak Pakai Dalam Pembaharuan Hukum Pertanahan Di
Indonesia, Bagian Hukum Sekolah Tinggi Hukum Bandung, Tahun 2005
6. Reorientasi Penegakan Hukum Dalam Rangka Memberantas Korupsi Di Indonesia,
STH Bandung, Tahun 2006
7. Perkembangan Hukum Acara Penyelesaian Hubungan Industrial Di Indonesia, Paradi
Pusat Jakarta, Tahun 2007
8. Hukum Jaminan Dan Hukum Pertanahan, Assosiasi Apraisal Jawa Barat,
Tahun 2008
9. Teknik Beracara Dalam Perkara Hubungan Industrial Paradi Pusat Jakarta, Tahun
2009
10 Aspeks Hukum Dalam Pengadaan Tanah Teori dan Praktek PT. Telekomunikasi
Indonesia, Bandung, Tahun 2009
E. PENYUNTING/EDITOR
1. Profesi Hukum (Notaris) Dalam Era Globalisasi, Jurnal Wawasan Hukum, Sekolah
Tinggi Hukum Bandung, Tahun 2005
2. Sistem Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia, Jurnal Wawasan Hukum, Sekolah
Tinggi Hukum Bandung, Tahun 2006
3. Mencari Format Hukum Menuju Reformasi Agraria, Jurnal Wawasan Hukum, Sekolah
Tinggi Hukum Bandung, Tahun 2007
4. Tanggungjawab Negara Dalam Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Diluar
Negeri Menurut Hukum Internasional, Jurnal Wawasan Hukum, Sekolah Tinggi
Hukum Bandung, Tahun 2008
G. BUKU
1. Kepastian Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah Penanaman Modal Bidang
Agribisnis, Penerbit UNPAD PERSS, Tahun 2009.
22
2. Hukum Kepemilian Hak Atas Tanah Bidang Agribisnis, Penerbit GHALIA
INDONEIA, Tahun 2010.
H. PENELITIAN
1. Status Hukum Pegawai PT Persero Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Tahun 2005
2. Perkembangan Politik Hukum Agraria Indonesia, Tahun 2006
3. Pemberian Hak Atas Tanah Bagi Kepentingan Penanaman Modal Dihubungan Sistem
Hukum Tanah Indonesia, Tahun 2008
4. Kepastian Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah Penanaman Modal Bidang
Agribisnis, Tahun 2009
I. PELATIHAN
1. Metode Penelitian dan Pengajaran, Kopertis Wilayah IV Jawa Barat, Tahun 1988
2. Metode Penulisan Dalam Penyusunan Skripsi, Bagian Hukum Sekolah Tinggi Hukum
Bandung, Tahun 2005
3. Metode Penyusunan Kurikulum Berbasis Kompetensi, Sekolah Tinggi Hukum
Bandung, Tahun 2005
4. Pelatihan Pembuatan Akad Syariah (Perjanjian-perjanjian yang berlaku di Bank
Syariah), Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah Bank Indonesia & BTN Syariah, Tahun
2007
K. PESERTA KONFERENSI/SEMINAR/LOKAKARYA/SIMPOSIUM
1. Membedah Berbagai Macam Persoalan Dalam Pelaksanaan UU No.13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan, Seminar Nasional Fakultas Hukum Atmajaya, Yogyakarta,
Tahun 2005
2. Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja Sebagai Sarana Meningkatkan
Produktivitas dan Pengembangan Usaha, Kamar Dagang Dan Industri Daerah Jawa
Barat (Kadin Jabar), Tahun 2005
3. Implikasi Berlakunya Ketentuan Keuangan Negara Terhadap Pengelolaan Asset
Negara, Seminar Nasional Kelompok Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung, Tahun 2006
4. Kepemimpinan Nasional Masa Depan Suatu Hambatan Dan Tantangan, Seminar
Nasional Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung,
Tahun 2006
5. Penyempurnaan Amandemen Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960,
Lokakarya Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Jawa Barat, Tahun 2007
23
6. Urgensi Undang-Undang Pelayanan Publik, Seminar Fakultas Sosial Politik
Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung, Tahun 2007
7. Dispute Settlement Understanding (DSU) In The World Trade Organization (WTO)
System, Seminar Nasional Department of Foreign Affairs of The Republic of
Indonesia & World Trade Organization, Tahun 2008
8. Perspektif Hukum Mengenai Hak Tanggungan Terhadap Hak Guna Bangunan
yang Berada di Atas Hak Pengelolaan, Simposium Pemerintah Daerah Kota Bandung,
Tahun 2008
9. Membedah Undang-Undang Pornografi Hambatan dan Tantangan, Seminar Senat
Mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Bandung, Tahun 2009
10. Pengelolaan Asset Pusat dan Daerah, Lembaga Pengkajian Otonomi Daerah,
Bandung, Tahun 2009
24