Sosial
Era
Demokrasi Parlementer
hingga
Demokrasi Terpimpin
D
I
S
U
S
U
N
oleh:
Latar belakang
Seiring dengan berakhirnya perjuangan untuk mengamankan kemerdekaan Indonesia,
perpecahan di kalangan masyarakat Indonesia mulai muncul. Perbedaan antardaerah
dalam hal adat istiadat, moral, tradisi, agama, pengaruh Marxisme, serta ketakutan akan
dominasi politik Jawa, semuanya berkontribusi pada perpecahan. Sebagai negara baru,
Indonesia memiliki masalah kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, dan tradisi
otoriter.[1] Berbagai gerakan separatis juga muncul untuk menentang Republik
Indonesia: militan Darul Islam memproklamasikan "Negara Islam Indonesia" dan
bergerilya melawan Republik Indonesia di Jawa Barat dari tahun 1948 hingga 1962; di
Maluku, orang-orang Ambon yang dulunya adalah Tentara Kerajaan Hindia
Belanda (KNIL) memproklamasikan kemerdekaan Republik Maluku Selatan; ditambah
dengan pemberontakan di Sumatra dan Sulawesi antara tahun 1955 dan 1961.
GAMBARAN UMUM
Pada masa Soekarno, sistem pemerintahan di Indonesia mengalami beberapa peralihan.
Indonesia pernah menerapkan sistem
pemerintahan presidensial, parlementer (demokrasi liberal), hingga demokrasi
terpimpin. Pada masa pemerintahan Soekarno juga terjadi penyimpangan UUD 1945, di
antaranya perubahan fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dari pembantu
presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN
yang merupakan wewenang MPR.
UUDS 1950 sangat berbeda dengan UUD 1945 dalam banyak hal; ia mengamanatkan
sistem pemerintahan parlementer dan menetapkan secara panjang lebar jaminan
konstitusional untuk hak asasi manusia, yang sangat mengacu pada Pernyataan Umum
tentang Hak-Hak Asasi Manusia oleh PBB tahun 1948.[3]
Konstituante
Konstituante, setelah dipilih pada tahun 1955, mulai bersidang pada bulan November
1956 di Bandung, ibu kota Jawa Barat, untuk membuat UUD yang baru sesuai amanat
UUDS 1950. Perdebatan, permusyawaratan, dan penulisan draf-draf UD berlangsung
selama dua setengah tahun. Perdebatan isu dasar negara (terutama antara golongan
yang mendukung Islam sebagai dasar negara dan golongan yang mendukung Pancasila)
terjadi sangat sengit. Walaupun para pimpinan Konstituante merasa sudah lebih dari
90% materi undang-undang dasar telah disepakati, dan walaupun ada beberapa tokoh
partai politik Islam yang merasa siap berkompromi, Konstituante tidak sempat
menyelesaikan tugasnya.
Akhir
No Perdana Jumlah Awal masa Masa
Nama kabinet masa
. Menteri personel kerja kerja
kerja
6
Mohammad 21 Maret 6 bulan
1. Natsir 18 September
Natsir 1951 15 hari
1950
23
Sukiman- Sukiman 27 April 9 bulan
2. 20 Februari
Suwirjo Wirjosandjojo 1951 27 hari
1952
1 tahun
Ali
Ali 1 Agustus 24 Juli 11
4. Sastroamidjojo 20
Sastroamidjojo 1953 1955 bulan
I
23 hari
Burhanuddin Burhanuddin 12 Agustus 3 Maret 6 bulan
5. 23
Harahap Harahap 1955 1956 19 hari
Ali 11
Ali 24 Maret 14 Maret
6. Sastroamidjojo 25 bulan
Sastroamidjojo 1956 1957
II 19 hari
1 tahun
Djuanda 9 April 5 Juli
7. Djuanda 24 2 bulan
Kartawidjaja 1957 1959
26 hari
Kabinet Natsir
Kabinet Natsir jatuh pada 21 Maret 1951 dalam periode 6,5 bulan dan belum sempat
melaksanakan program-programnya. Jatuhnya kabinet ini karena adanya mosi tidak
percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan
DPRDS. PNI menganggap Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 mengenai DPRD
terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga Natsir
harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
Dalam program Kabinet Natsir, kemudian diterapkan Program Benteng yang didasari
oleh gagasan pentingnya mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi
nasional. Program Benteng resmi berjalan selama tiga tahun (1950–1953) dengan tiga
kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan Wilopo).
Kabinet Sukiman-Suwirjo
Kabinet ini merupakan kabinet kedua pada Era Demokrasi Parlementer. Kabinet ini
bertugas pada masa bakti 27 April 1951 hingga 3 April 1952, tetapi telah didemosioner
sejak 23 Februari 1952. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI.
Program kerja kabinet Sukiman:
Hasil dari program kerja ini tidak terlalu berarti sebab programnya melanjutkan
program Natsir, hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan
programnya, seperti awalnya program menggiatkan usaha keamanan dan
ketenteraman namun selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan
ketenteraman. Beberapa kendala atau masalah yang dihadapi, di antaranya:
Kabinet Sukiman tidak mampu bertahan lama dan jatuh pada bulan Februari 1952.
Penyebab jatuhnya kabinet ini disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran
nota keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta Besar
AS Merle Cochran. Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia
didasarkan pada ikatan Mutual Security Act (MSA). DI dalam MSA, terdapat pembatasan
terhadap kebebasan politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia diwajibkan lebih
memperhatikan Amerika sehingga tindakan Sukiman tersebut dipandang telah
melanggar politik luar negeri yang bebas aktif dan dianggap lebih condong ke blok
Barat. Di samping itu, penyebab lainnya adalah semakin merebaknya korupsi di
kalangan birokrat dan gagalnya Kabinet Sukiman dalam menyelesaikan masalah Irian
Barat.
Kabinet Wilopo
Kabinet Wilopo harus mengakhiri masa tugas karena tidak berhasil menyelesaikan
masalah peristiwa 17 oktober 1952. Peristiwa itu dipicu oleh adanya gerakan yang
diprakarsai oleh sejumlah perwira angkatan darat yang tidak puas terhadap kebijakan
pemerintah. Mereka menghendaki agar Presiden Sukarno membubarkan parlemen.
Kabinet ini jatuh tidak diakibatkan oleh keretakan di dalam tubuh kabinet, juga bukan
karena dijatuhkan oleh kelompok oposisi yang mencetuskan mosi tidak percaya dari
parlemen, tetapi karena merasa tugasnya sudah selesai. Pada tanggal 2 Maret 1956
pukul 10.00 siang, Kabinet Burhanuddin Harahap mengundurkan diri, sekaligus
menyerahkan mandatnya kepada Presiden untuk dibentuk kabinet baru berdasarkan
hasil pemilihan umum. Kabinet ini terus bekerja sebagai kabinet demisioner selama 20
hari sampai terbentuknya kabinet baru yakni Kabinet Ali–Roem–Idham yang dilantik
tanggal 24 Maret 1956 dan serah terima dengan Kabinet Burhanuddin Harahap
dilakukan tanggal 26 Maret 1956.
Kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo II mendapat dukungan penuh dari presiden dan
dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment, yang hasilnya adalah
pembatalan seluruh perjanjian KMB. Kabinet ini pun berumur tidak lebih dari satu
tahun dan akhirnya digantikan oleh Kabinet Djuanda karena mundurnya sejumlah
menteri dari Masyumi yang membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan
mandatnya pada Presiden.
Kabinet Djuanda
Kabinet Djuanda atau juga disebut Kabinet Karya dipimpin oleh Perdana
Menteri Djoeanda Kartawidjaja dari PNI, beserta tiga orang Wakil Perdana Menteri
yaitu Hardi dari PNI, Idham Chalid dari NU, serta Johannes Leimena dari Parkindo.
Kabinet ini memiliki 5 program yang disebut Pancakarya yaitu:
KEBIJAKAN EKONOMI
Pemerintah Indonesia harus menghadapi banyak masalah terkait dengan masalah
keamanan dan pertahanan negara. Masalah tersebut di antaranya adalah kemelut yang
terjadi di tubuh Angkatan Darat seperti upaya-upaya memecah integrasi bangsa dan
sejumlah permasalahan ekonomi negara. Permasalahan yang muncul ini tidak lepas dari
beberapa hal berikut.
Permasalahan lain yang harus dihadapi adalah ekspor Indonesia yang hanya
bergantung pada hasil perkebunan dan angka pertumbuhan penduduk semakin
meningkat dengan tajam. Sumitro Djojohadikusumo, ahli ekonomi Indonesia berhasil
merancang gerakan Benteng sebagai salah satu usaha untuk memperbaiki
perekonomian negara. Tercetusnya Gerakan Benteng didasari atas gagasan penting
untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
Gagasan Sumitro kemudian ditetapkan dalam program Kabinet Natsir Pada bulan April
1950 dengan nama Program Benteng. Program Benteng tahap 1 resmi dijalankan
selama 3 tahun (1950-1953) dengan 3 kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan Wilopo).
Selama 3 tahun, lebih dari 700-an bidang usaha bumiputera memperoleh bantuan
kredit dari program ini. Akan tetapi, hal yang diharapkan dari program ini tidak
sepenuhnya tercapai, bahkan banyak pula yang membebani keuangan negara. Ada
banyak faktor yang menyebabkan kegagalan program ini, salah satunya mentalitas para
pengusaha bumiputera yang konsumtif, besarnya keinginan untuk memperoleh
keuntungan secara cepat, dan menikmati kemewahan.
Program Benteng tahap 2 dimulai pada masa Kabinet Ali pertama. Program Benteng
tahap 2 merancang pemberian kredit dan lisensi pada pengusaha swasta nasional
bumiputera agar dapat bersaing dengan para pengusaha non bumiputera. Jika pada
awal tahun 1943 para importir pribumi hanya menerima 37,9% dari total ekspor impor,
maka mereka telah menerima 80% sampai 90% pada masa Kabinet Ali. Total dari 700
perusahaan yang menerima bantuan menjadi 4000-5000 perusahaan.
Program Benteng gagal karena salah sasaran. Banyak perusahaan bumiputera yang
menjual lisensi impor yang diberikan oleh pemerintah kepada para pengusaha non
bumiputera. Hal ini menimbulkan istilah perusahaan "Alibaba". Sebutan "Ali"
merepresentasikan bumiputera sedangkan "Baba" merepresentasikan non bumiputera.
Bantuan kredit dan pemberian kemudahan dalam menerima lisensi impor kemudian
dinilai tidak efektif. Padahal pemerintah telah menambah beban keuangannya sehingga
menjadi salah satu sumber defisit. Selain itu, Program Benteng diterapkan ketika
industri Indonesia masih lemah dan tingginya persaingan politik program ini
dimanfaatkan oleh sebagian partai politik untuk memperoleh dukungan.
Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) berintikan Masyumi dan PSI dengan
Mohammad Natsir sebagai perdana menteri. Kebijakan-kebijakan Natsir yang
mengutamakan pembangunan perekonomian negara dianggap telah mengabaikan
masalah kedaulatan Papua oleh partai oposisi. Soekarno pun menyetujui bahwa
masalah kedaulatan Papua (yang melalui perundingan tidak mengalami kemajuan)
tidak boleh disepelekan. Kondisi ini membuat Natsir bersikeras agar Soekarno
membatasi dirinya dalam peran presiden yang hanya sebagai lambang saja. Puncaknya,
Natsir menyerahkan jabatannya yang kemudian digantikan oleh Sukiman pada April
1951.
Jatuhnya Kabinet Sukiman disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran nota
keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta Besar AS
Merle Cochran. Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia
didasarkan pada ikatan Mutual Security Act (MSA) yang di dalamnya terdapat
pembatasan terhadap kebebasan politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia
diwajibkan lebih memperhatikan AS sehingga tindakan Sukiman tersebut dipandang
telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif dan dianggap lebih condong ke blok
Barat. Selain itu, penyebab lainnya adalah semakin meluasnya korupsi di kalangan
birokrat dan gagalnya Kabinet Sukiman dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.
Lain halnya dengan Kabinet Ali I (kabinet koalisi antara PNI dan NU), kabinet ini jatuh
karena tidak dapat menyelesaikan kemelut yang ada di tubuh Angkatan Darat dan
pemberontakan DI/TII yang berkobar di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Selain
itu, ada pula konflik antara PNI dan NU yang mengakibatkan NU menarik semua
menterinya yang duduk di kabinet.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan Presiden Soekarno ialah dekrit yang
mengakhiri masa parlementer. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi
Terpimpin
Dekrit Presiden 1959.
Konsep sistem Demokrasi Terpimpin pertama kali diumumkan oleh Presiden Soekarno
dalam pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10 November 1956.[1]Demokrasi
Terpimpin menurut ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 yakni kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang
berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong di antara semua kekuatan
nasional yang progresif revolusioner dengan berporoskan pada Nasakom.
LATAR BELAKANG
Latar belakang dicetuskannya sistem demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno:
Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh
anjuran Soekarno agar Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS
1950 adalah UUD 1945. Namun usulan itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan
anggota konstituante. Sebagai tindak lanjut usulannya, diadakan pemungutan
suara yang diikuti oleh seluruh anggota Konstituante. Pemungutan suara ini dilakukan
pada 30 Mei, 1 Juni, dan 2 Juni 1959 dalam rangka mengatasi konflik yang timbul dari
pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut.
Hasil pemungutan suara hari pertama menunjukan bahwa: 269 orang setuju untuk
kembali ke UUD 1945 dan 119 orang menolak untuk kembali ke UUD 1945. Meskipun
suara terbanyak menyetujui opsi kembali ke UUD 1945, suara tersebut belum mencapai
2/3 dari jumlah suara, yaitu 312 suara sehingga pemungutuan suara harus diulangi.
[3] Pemilihan hari kedua menunjukan bahwa: 264 setuju dan 204 menolak. Adapun
pemilihan hari ketiga menunjukan bahwa: 263 setuju dan 203 menolak.
Melihat dari hasil voting, usulan untuk kembali ke UUD 1945 tidak dapat direalisasikan.
Hal ini disebabkan oleh jumlah anggota konstituante yang menyetujui usulan tersebut
tidak mencapai 2/3 bagian, seperti yang telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950.
Bertolak dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekret yang
disebut Dekret Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekret Presiden 5 Juli 1959:
Tidak berlaku kembali UUDS 1950
Berlakunya kembali UUD 1945
Dibubarkannya konstituante
Pembentukan MPRS dan DPAS
PERANAN PKI
Partai Komunis Indonesia (PKI) menyambut "Demokrasi Terpimpin" Soekarno dengan
hangat dan anggapan bahwa Soekarno mempunyai mandat untuk mengakomodasi
persekutuan konsepsi yang sedang marak di Indonesia kala itu, yaitu antara
ideologi nasionalisme, agama (Islam) dan komunisme yang dinamakan NASAKOM.[7]
Presiden Sukarno kemudian menunjuk DN Aidit dan Nyoto dari PKI sebagai anggota
Front Nasional untuk memperjuangkan Irian Barat.[10]