Anda di halaman 1dari 18

Ilmu Pengetahuan

Sosial
Era

Demokrasi Parlementer
hingga

Demokrasi Terpimpin

D
I
S
U
S
U
N
oleh:

ARIEF ANUGERAH SYAWAL


IX C . 10

Era Demokrasi Parlementer


Era Demokrasi Liberal (1950–1959) yang dikenal pula dengan Era Demokrasi
Parlementer adalah era ketika Presiden Soekarno memerintah menggunakan
konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950. Periode ini
berlangsung dari 17 Agustus 1950 (sejak pembubaran Republik Indonesia Serikat)
sampai 5 Juli 1959 (keluarnya Dekret Presiden). Pada masa ini terjadi sejumlah
peristiwa penting, seperti Konferensi Asia–Afrika di Bandung, pemilihan umum
pertama di Indonesia dan pemilihan Konstituante, serta periode ketidakstabilan politik
yang berkepanjangan, dengan tidak ada kabinet yang bertahan selama dua tahun.

Latar belakang
Seiring dengan berakhirnya perjuangan untuk mengamankan kemerdekaan Indonesia,
perpecahan di kalangan masyarakat Indonesia mulai muncul. Perbedaan antardaerah
dalam hal adat istiadat, moral, tradisi, agama, pengaruh Marxisme, serta ketakutan akan
dominasi politik Jawa, semuanya berkontribusi pada perpecahan. Sebagai negara baru,
Indonesia memiliki masalah kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, dan tradisi
otoriter.[1] Berbagai gerakan separatis juga muncul untuk menentang Republik
Indonesia: militan Darul Islam memproklamasikan "Negara Islam Indonesia" dan
bergerilya melawan Republik Indonesia di Jawa Barat dari tahun 1948 hingga 1962; di
Maluku, orang-orang Ambon yang dulunya adalah Tentara Kerajaan Hindia
Belanda (KNIL) memproklamasikan kemerdekaan Republik Maluku Selatan; ditambah
dengan pemberontakan di Sumatra dan Sulawesi antara tahun 1955 dan 1961.

Perekonomian Indonesia terpuruk setelah tiga tahun pendudukan Jepang, kemudian


empat tahun perang melawan Belanda. Di tangan pemerintahan yang masih muda dan
belum berpengalaman, perekonomian tidak mampu mendorong produksi pangan dan
kebutuhan lain untuk mengimbangi pertambahan penduduk. Sebagian besar penduduk
buta huruf, tidak terampil, dan tidak memiliki kemampuan manajerial. Inflasi
meningkat, banyak penyelundupan yang merugikan pemerintah pusat yang sangat
membutuhkan devisa, dan banyak perkebunan hancur selama pendudukan penjajah
dan perang.[2]

GAMBARAN UMUM
Pada masa Soekarno, sistem pemerintahan di Indonesia mengalami beberapa peralihan.
Indonesia pernah menerapkan sistem
pemerintahan presidensial, parlementer (demokrasi liberal), hingga demokrasi
terpimpin. Pada masa pemerintahan Soekarno juga terjadi penyimpangan UUD 1945, di
antaranya perubahan fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dari pembantu
presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN
yang merupakan wewenang MPR.

Salah satu hasil dari Konferensi Meja Bundar tahun 1949 adalah terbentuknya


Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Pembentukan negara federal yang diprakasai
oleh Belanda untuk melemahkan integrasi Indonesia sebagai negara kesatuan ternyata
tidak didukung masyarakat Indonesia. Banyak negara bagian yang menyatakan ingin
kembali ke negara kesatuan dan pada 15 Agustus 1950, Perdana Menteri Kabinet
RIS Mohammad Hatta menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno.

Mulainya Demokrasi Parlementer

Pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Pemerintahan


Republik Indonesia masih melanjutkan model demokrasi parlementer yang liberal.
Kabinet dipimpin oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan dan
bertanggung jawab kepada parlemen. Presiden hanya berkedudukan sebagai kepala
negara. Sementara itu, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia(UUDS)
1950 digunakan sebagai konstitusi berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950
tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-
Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat
ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini dinamakan
“sementara”, karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituante hasil
pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru.

UUDS 1950 sangat berbeda dengan UUD 1945 dalam banyak hal; ia mengamanatkan
sistem pemerintahan parlementer dan menetapkan secara panjang lebar jaminan
konstitusional untuk hak asasi manusia, yang sangat mengacu pada Pernyataan Umum
tentang Hak-Hak Asasi Manusia oleh PBB tahun 1948.[3]

Konstituante

Pada tahun 1955, Indonesia melaksanakan pemilihan umum nasional yang pertama.


Pada bulan September, rakyat memilih wakil untuk DPR, dan pada bulan Desember
pemilih kembali memilih wakil-wakil yang lebih banyak lagi sebagai anggota
Konstituante.

Konstituante, setelah dipilih pada tahun 1955, mulai bersidang pada bulan November
1956 di Bandung, ibu kota Jawa Barat, untuk membuat UUD yang baru sesuai amanat
UUDS 1950. Perdebatan, permusyawaratan, dan penulisan draf-draf UD berlangsung
selama dua setengah tahun. Perdebatan isu dasar negara (terutama antara golongan
yang mendukung Islam sebagai dasar negara dan golongan yang mendukung Pancasila)
terjadi sangat sengit. Walaupun para pimpinan Konstituante merasa sudah lebih dari
90% materi undang-undang dasar telah disepakati, dan walaupun ada beberapa tokoh
partai politik Islam yang merasa siap berkompromi, Konstituante tidak sempat
menyelesaikan tugasnya.

Berakhirnya Demokrasi Parlementer


Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara demokratis, namun
Konstituante gagal membentuk konstitusi baru sampai berlarut-larut. Presiden
Soekarno lalu menyampaikan konsep Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu
yang berisi ide untuk kembali pada UUD 1945. Pada tanggal 5 Juli 1959, Soekarno
mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959, yang antara lain berisi pembubaran
Konstituante serta penggantian konstitusi dari UUDS 1950 menjadi UUD 1945 kembali.
Peristiwa ini menandai berakhirnya Demokrasi Parlementer dan mulainya Era
Demokrasi Terpimpin. Pemerintah kemudian membentuk lembaga-lembaga MPRS
dalam demokrasi terpimpin yang menerapkan sistem politik keseimbangan. Pada masa
ini Soekarno merencanakan konsep pentingnya persatuan antara kaum nasionalis,
agama, dan komunis.

KABINET-KABINET PADA MASA DEMOKRASI PARLEMENTER


Demokrasi Parlementer dengan banyak partai justru menimbulkan ketidakstabilan
politik. Pada masa ini terjadi banyak pergantian kabinet. Tercatat ada tujuh kabinet
pada masa ini. Kabinet jatuh bangun karena munculnya mosi tidak percaya dari partai
lawan. Di samping itu, terjadi perdebatan dalam Konstituante yang sering menimbulkan
konflik berkepanjangan.

Akhir
No Perdana Jumlah Awal masa Masa
Nama kabinet masa
. Menteri personel kerja kerja
kerja

6
Mohammad 21 Maret 6 bulan
1. Natsir 18 September
Natsir 1951 15 hari
1950

23
Sukiman- Sukiman 27 April 9 bulan
2. 20 Februari
Suwirjo Wirjosandjojo 1951 27 hari
1952

3 April 3 Juni 1 tahun


3. Wilopo Wilopo 18
1952 1953 2 bulan

1 tahun
Ali
Ali 1 Agustus 24 Juli 11
4. Sastroamidjojo 20
Sastroamidjojo 1953 1955 bulan
I
23 hari
Burhanuddin Burhanuddin 12 Agustus 3 Maret 6 bulan
5. 23
Harahap Harahap 1955 1956 19 hari

Ali 11
Ali 24 Maret 14 Maret
6. Sastroamidjojo 25 bulan
Sastroamidjojo 1956 1957
II 19 hari

1 tahun
Djuanda 9 April 5 Juli
7. Djuanda 24 2 bulan
Kartawidjaja 1957 1959
26 hari

Kabinet Natsir

Kabinet Natsir merupakan kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad


Natsir dari Partai Masyumi. Kabinet ini dibentuk pada 6 September 1950 dan
didemisionerkan pada tanggal 21 Maret 1951. Program kerja kabinet Natsir:

 Mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih Dewan


Konstituante
 Menyempurnakan susunan pemerintahan dan membentuk kelengkapan negara
 Menggiatkan usaha mencapai keamanan dan ketenteraman
 Meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan mengembangkan dan memperkuat
ekonomi rakyat
 Menyempurnakan organisasi angkatan perang
 Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat

Hasil kerja kabinet ini yaitu berlangsungnya perundingan antara Indonesia-Belanda


untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat. Sementara kendala atau masalah
yang dihadapi yaitu upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda
mengalami jalan buntu (kegagalan) dan timbul masalah keamanan dalam negeri berupa
pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti gerakan DI/TII, gerakan
Andi Azis, gerakan APRA, dan gerakan RMS.

Kabinet Natsir jatuh pada 21 Maret 1951 dalam periode 6,5 bulan dan belum sempat
melaksanakan program-programnya. Jatuhnya kabinet ini karena adanya mosi tidak
percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan
DPRDS. PNI menganggap Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 mengenai DPRD
terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga Natsir
harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
Dalam program Kabinet Natsir, kemudian diterapkan Program Benteng yang didasari
oleh gagasan pentingnya mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi
nasional. Program Benteng resmi berjalan selama tiga tahun (1950–1953) dengan tiga
kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan Wilopo).

Kabinet Sukiman-Suwirjo

Kabinet Sukiman Suwirjo .

Kabinet ini merupakan kabinet kedua pada Era Demokrasi Parlementer. Kabinet ini
bertugas pada masa bakti 27 April 1951 hingga 3 April 1952, tetapi telah didemosioner
sejak 23 Februari 1952. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI.
Program kerja kabinet Sukiman:

 Menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai negara hukum untuk


menjamin keamanan dan ketenteraman serta menyempurnakan organisasi alat-
alat kekuasaan negara
 Membuat dan melaksanakan rencana kemakmuran nasional dalam jangka
pendek untuk meningkatkan kehidupan sosial dan perekonomian rakyat serta
memperbaharui hukum agraria sesuai dengan kepentingan petani
 Mempercepat usaha penempatan mantan pejuang dalam lapangan
pembangunan
 Mempercepat dan menyelesaikan persiapan pemilihan umum untuk membentuk
dewan konstituante dan menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu yang
singkat serta mempercepat terlaksananya otonomi daerah
 Menyiapkan undang-undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja
sama (collective arbeidsovereenkomst), penetapan upah minimum, dan
penyelesaian pertikaian perburuhan
 Menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif serta menuju perdamaian
dunia, menyelenggarakan hubungan antara Indonesia dengan Belanda yang
sebelumnya berdasarkan asas unie-statuutmenjadi hubungan berdasarkan
perjanjian internasional biasa, mempercepat peninjauan kembali persetujuan
hasil Konferensi Meja Bundar, serta meniadakan perjanjian-perjanjian yang
pada kenyataannya merugikan rakyat dan negara
 Memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia dalam
waktu sesingkat-singkatnya

Hasil dari program kerja ini tidak terlalu berarti sebab programnya melanjutkan
program Natsir, hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan
programnya, seperti awalnya program menggiatkan usaha keamanan dan
ketenteraman namun selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan
ketenteraman. Beberapa kendala atau masalah yang dihadapi, di antaranya:

 adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia


Soebadjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cockran mengenai
pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika Serikat
kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA) . Dimana di
dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI
diwajibkan untuk memperhatikan kepentingan Amerika.
 adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada
setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
 masalah Irian Barat belum juga teratasi
 hubungan Sukirman dengan militer kurang baik, ditunjukkan dengan kurang
tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Sulawesi.

Kabinet Sukiman tidak mampu bertahan lama dan jatuh pada bulan Februari 1952.
Penyebab jatuhnya kabinet ini disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran
nota keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta Besar
AS Merle Cochran. Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia
didasarkan pada ikatan Mutual Security Act (MSA). DI dalam MSA, terdapat pembatasan
terhadap kebebasan politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia diwajibkan lebih
memperhatikan Amerika sehingga tindakan Sukiman tersebut dipandang telah
melanggar politik luar negeri yang bebas aktif dan dianggap lebih condong ke blok
Barat. Di samping itu, penyebab lainnya adalah semakin merebaknya korupsi di
kalangan birokrat dan gagalnya Kabinet Sukiman dalam menyelesaikan masalah Irian
Barat.

Kabinet Wilopo

Program kerja kabinet Wilopo:

 Mempersiapkan dan melaksanakan pemilihan umum


 Berupaya untuk mengembalikan Irian Barat agar kembali menjadi wilayah
Republik Indonesia
 Meningkatkan keamanan dan kesejahteraan
 Memperbarui bidang pendidikan dan pengajaran
 Melaksanakan politik luar negeri bebas aktif
Kabinet Wilopo banyak mengalami kesulitan, yaitu:

 Mengatasi gerakan separatisme yang terjadi di berbagai daerah


 Penekanan Presiden Soekarno yang dilakukan oleh sejumlah perwira Angkatan
Darat pada tanggal 17 Oktober 1952 agar parlemen dibubarkan
 Kejadian Tangjung Morawa yang terjadi di Sumatra Utara. Peristiwa Tanjung
Morawa terjadi akibat persetujuan pemerintah sesuai dengan KMB agar
memberikan izin kepada pengusaha asing agar dapat mengusahakan tanah
perkebunan di Indonesia lagi. Tanah ini sebelumnya digarap oleh para pertani
karena bertahun tahun telah ditinggalkan oleh pemiliknya pada saat Kabinet
Sukiman. Saat itu juga Mr. Iskaq Cokroadisuryo selaku menteri dalam negeri
memberikan persetujuan agar tanah Deli dikembalikan. Tanah tersebut berhasil
dikembalikan saat masa Kebinet Wilopo. Kemudian pada tanggal 16 Maret 1953,
pihak polisi mengusir penggarap sawah yang tidak mempunyai izin. Akibat
pengusiran tersebut, banyak terjadi bentrokan bersenjata yang menewaskan 5
orang petani. Peristiwa bentrokan itu mendapatkan sorotan yang tajam dari
pihak parlemen maupun pers. Hal inilah yang tentunya menjadi penyebab
jatuhnya kabinet wilopo. Akibatnya Kabinet Wilopo memperoleh mosi tidak
percaya dari Sidik Kertapati dari Serikat Tani Indonesia atau Sakti. Lalu Wilopo
mengembalikan mandatnya kepada Presiden pada tanggal 2 Juni 1953.

Kabinet Wilopo harus mengakhiri masa tugas karena tidak berhasil menyelesaikan
masalah peristiwa 17 oktober 1952. Peristiwa itu dipicu oleh adanya gerakan yang
diprakarsai oleh sejumlah perwira angkatan darat yang tidak puas terhadap kebijakan
pemerintah. Mereka menghendaki agar Presiden Sukarno membubarkan parlemen.

Kabinet Ali Sastroamidjojo I

Program kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo I yang disebut juga Ali-Wongsonegoro:

 Menumpas pemberontakan DI/TII di berbagai daerah


 Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta melaksanakan pemilihan
umum
 Memperjuangkan kembalinya Irian Barat kepada RI
 Menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika
 Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB
 Penyelesaian pertikaian politik

Pada masa kabinet Ali-Wongsonegoro, gangguan keamanan makin meningkat, antara


lain munculnya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Daud Beureuh Aceh, dan Kahar
Muzakar di Sulawesi Selatan. Meskipun dihinggapi berbagai kesulitan, kabinet Ali-
Wongsonegoro berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika. Oleh karena itu,
kabinet Ali-Wongsonegoro ikut terangkat namanya. Selain berhasil menyelenggarakan
Konfereni Asia Afrika, pada masa ini juga terjadi persiapan pemilu untuk memilih
anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955. Kabinet Ali-
Wongsonegoro akhirnya jatuh pada bulan Juli 1955 dalam usia 2 tahun (usia
terpanjang). Penyebab jatuhnya kabinet Ali-Wongsonegoro adalah perselisihan
pendapat antara TNI-AD dan pemerintah tentang tata cara pengangkatan Kepala Staf
TNI-AD.

Pada masa pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo I, diselenggarakan Konferensi


Asia-Afrika di Bandung pada 18-25 April 1955. Konferensi ini dihadiri 29 negara Asia
dan Afrika yang kemudian membawa pengaruh penting bagi terbentuknya solidaritas
dan perjuangan kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia-Afrika. Pemilihan umum
pertama yang diselenggarakan pada 1955 juga merupakan rancangan kabinet ini, tetapi
pelaksanaannya kemudian dilanjutkan oleh kabinet berikutnya.

Kabinet Burhanuddin Harahap

Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap dari Masyumi serta


Wakil Perdana Menteri yaitu R. Djanu Ismadi dari PIR-Hazairin dan Harsono
Tjokroaminoto dari PSII. Presiden Soekarno sebenarnya kurang merestui kabinet ini
karena yang menunjuk Burhanuddin Harahap sebagai kepala pemerintahan kabinet ini
adalah Wakil Presiden Mohammad Hatta. Program kerja Kabinet Burhanuddin Harahap
yaitu

 mengembalikan kewibawaan moral pemerintah, dalam hal ini kepercayaan


Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah;
 melaksanakan pemilihan umum, desentralisasi, memecahkan masalah inflasi,
dan pemberantasan korupsi; serta
 memperjuangkan pengembalian Irian Barat.

Keberhasilan kabinet ini di antaranya mengadakan perbaikan ekonomi, termasuk


mengendalikan harga dengan menjaga agar tidak terjadi inflasi dan sebagainya. Dalam
masalah ekonomi, kabinet ini telah berhasil cukup baik. Dapat dikatakan bahwa
kehidupan rakyat semasa kabinet ini cukup makmur karena harga-harga barang
kebutuhan pokok tidak melonjak naik akibat inflasi. Dalam periode kabinet ini,
pemilihan umum pertama tahun 1955 dilaksanakan untuk memilih anggota-anggota
DPR. Selain itu, kabinet ini juga mengembalikan wibawa pemerintah Republik Indonesia
di mata pihak Angkatan Darat.

Kabinet ini jatuh tidak diakibatkan oleh keretakan di dalam tubuh kabinet, juga bukan
karena dijatuhkan oleh kelompok oposisi yang mencetuskan mosi tidak percaya dari
parlemen, tetapi karena merasa tugasnya sudah selesai. Pada tanggal 2 Maret 1956
pukul 10.00 siang, Kabinet Burhanuddin Harahap mengundurkan diri, sekaligus
menyerahkan mandatnya kepada Presiden untuk dibentuk kabinet baru berdasarkan
hasil pemilihan umum. Kabinet ini terus bekerja sebagai kabinet demisioner selama 20
hari sampai terbentuknya kabinet baru yakni Kabinet Ali–Roem–Idham yang dilantik
tanggal 24 Maret 1956 dan serah terima dengan Kabinet Burhanuddin Harahap
dilakukan tanggal 26 Maret 1956.

Kabinet Ali Sastroamidjojo II

Kabinet Ali Sastroamidjojo II disebut pula Kabinet Ali–Roem–Idham karena dipimpin


oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dari PNI beserta dua Wakil Perdana Menteri
yakni Mohamad Roem dari Masyumi dan Idham Chalid dari NU. Program pokok kabinet
ini adalah pembatalan Konferensi Meja Bundar, pemulihan keamanan dan ketertiban,
dan melaksanakan keputusan Konferensi Asia–Afrika. Program kerjanya disebut
rencana pembangunan lima tahun yang memuat program jangka panjang, yaitu

menyelesaikan pembatasan hasil Konferensi Meja Bundar;

 menyelesaikan masalah Irian Barat;


 membentuk Provinsi Irian Barat;
 menjalankan politik luar negeri bebas aktif;
 membentuk daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-
anggota DPRD;
 mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai;
 menyehatkan keseimbangan keuangan negara; dan
 mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.

Kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo II mendapat dukungan penuh dari presiden dan
dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment, yang hasilnya adalah
pembatalan seluruh perjanjian KMB. Kabinet ini pun berumur tidak lebih dari satu
tahun dan akhirnya digantikan oleh Kabinet Djuanda karena mundurnya sejumlah
menteri dari Masyumi yang membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan
mandatnya pada Presiden.

Kabinet Djuanda

Kabinet Djuanda atau juga disebut Kabinet Karya dipimpin oleh Perdana
Menteri Djoeanda Kartawidjaja dari PNI, beserta tiga orang Wakil Perdana Menteri
yaitu Hardi dari PNI, Idham Chalid dari NU, serta Johannes Leimena dari Parkindo.
Kabinet ini memiliki 5 program yang disebut Pancakarya yaitu:

 membentuk Dewan Nasional,


 menormalisasi keadaan Republik Indonesia,
 melanjutkan pembatalan Konferensi Meja Bundar,
 memperjuangkan Irian Barat, dan
 mempercepat pembangunan.

KEBIJAKAN EKONOMI
Pemerintah Indonesia harus menghadapi banyak masalah terkait dengan masalah
keamanan dan pertahanan negara. Masalah tersebut di antaranya adalah kemelut yang
terjadi di tubuh Angkatan Darat seperti upaya-upaya memecah integrasi bangsa dan
sejumlah permasalahan ekonomi negara. Permasalahan yang muncul ini tidak lepas dari
beberapa hal berikut.

 Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda yang diumumkan pada 27


Desember 1949, bangsa Indonesia dinyatakan menanggung beban ekonomi dan
keuangan yang cukup besar seperti yang diputuskan dalam Konferensi Meja
Bundar.
 Ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh jatuh bangunnya kabinet
berdampak pada ketidakberlanjutan program sehingga pemerintah harus
mengeluarkan anggaran untuk mengatasi biaya operasional pertahanan dan
keamanan negara.

Permasalahan lain yang harus dihadapi adalah ekspor Indonesia yang hanya
bergantung pada hasil perkebunan dan angka pertumbuhan penduduk semakin
meningkat dengan tajam. Sumitro Djojohadikusumo, ahli ekonomi Indonesia berhasil
merancang gerakan Benteng sebagai salah satu usaha untuk memperbaiki
perekonomian negara. Tercetusnya Gerakan Benteng didasari atas gagasan penting
untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.

Gagasan Sumitro kemudian ditetapkan dalam program Kabinet Natsir Pada bulan April
1950 dengan nama Program Benteng. Program Benteng tahap 1 resmi dijalankan
selama 3 tahun (1950-1953) dengan 3 kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan Wilopo).
Selama 3 tahun, lebih dari 700-an bidang usaha bumiputera memperoleh bantuan
kredit dari program ini. Akan tetapi, hal yang diharapkan dari program ini tidak
sepenuhnya tercapai, bahkan banyak pula yang membebani keuangan negara. Ada
banyak faktor yang menyebabkan kegagalan program ini, salah satunya mentalitas para
pengusaha bumiputera yang konsumtif, besarnya keinginan untuk memperoleh
keuntungan secara cepat, dan menikmati kemewahan.

Sebenarnya pemberian kredit impor yang diberikan kepada para pengusaha


bumiputera dimaksudkan untuk memicu pertumbuhan perekonomian nasional. Akan
tetapi, kebijakan ini ternyata tidak mampu meruntuhkan dominasi para pengusaha
asing. Oligopoli yang dibangun oleh para pengusaha dari perusahaan Inggris, Belanda,
dan Tiongkok yang pandai memanfaatkan peluang ternyata tetap menguasai pasar.

Program Benteng tahap 2 dimulai pada masa Kabinet Ali pertama. Program Benteng
tahap 2 merancang pemberian kredit dan lisensi pada pengusaha swasta nasional
bumiputera agar dapat bersaing dengan para pengusaha non bumiputera. Jika pada
awal tahun 1943 para importir pribumi hanya menerima 37,9% dari total ekspor impor,
maka mereka telah menerima 80% sampai 90% pada masa Kabinet Ali. Total dari 700
perusahaan yang menerima bantuan menjadi 4000-5000 perusahaan.
Program Benteng gagal karena salah sasaran. Banyak perusahaan bumiputera yang
menjual lisensi impor yang diberikan oleh pemerintah kepada para pengusaha non
bumiputera. Hal ini menimbulkan istilah perusahaan "Alibaba". Sebutan "Ali"
merepresentasikan bumiputera sedangkan "Baba" merepresentasikan non bumiputera.
Bantuan kredit dan pemberian kemudahan dalam menerima lisensi impor kemudian
dinilai tidak efektif. Padahal pemerintah telah menambah beban keuangannya sehingga
menjadi salah satu sumber defisit. Selain itu, Program Benteng diterapkan ketika
industri Indonesia masih lemah dan tingginya persaingan politik program ini
dimanfaatkan oleh sebagian partai politik untuk memperoleh dukungan.

Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) berintikan Masyumi dan PSI dengan
Mohammad Natsir sebagai perdana menteri. Kebijakan-kebijakan Natsir yang
mengutamakan pembangunan perekonomian negara dianggap telah mengabaikan
masalah kedaulatan Papua oleh partai oposisi. Soekarno pun menyetujui bahwa
masalah kedaulatan Papua (yang melalui perundingan tidak mengalami kemajuan)
tidak boleh disepelekan. Kondisi ini membuat Natsir bersikeras agar Soekarno
membatasi dirinya dalam peran presiden yang hanya sebagai lambang saja. Puncaknya,
Natsir menyerahkan jabatannya yang kemudian digantikan oleh Sukiman pada April
1951.

Jatuhnya Kabinet Sukiman disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran nota
keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta Besar AS
Merle Cochran. Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia
didasarkan pada ikatan Mutual Security Act (MSA) yang di dalamnya terdapat
pembatasan terhadap kebebasan politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia
diwajibkan lebih memperhatikan AS sehingga tindakan Sukiman tersebut dipandang
telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif dan dianggap lebih condong ke blok
Barat. Selain itu, penyebab lainnya adalah semakin meluasnya korupsi di kalangan
birokrat dan gagalnya Kabinet Sukiman dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.

Lain halnya dengan Kabinet Ali I (kabinet koalisi antara PNI dan NU), kabinet ini jatuh
karena tidak dapat menyelesaikan kemelut yang ada di tubuh Angkatan Darat dan
pemberontakan DI/TII yang berkobar di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Selain
itu, ada pula konflik antara PNI dan NU yang mengakibatkan NU menarik semua
menterinya yang duduk di kabinet.

Jatuh bangunnya kabinet dalam waktu yang singkat menimbulkan ketidakstabilan


politik yang mengakibatkan program-program kabinet tidak berjalan dengan baik.
Kondisi ini yang kemudian membuat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden
pada 5 Juli 1959.    

DEKRET PRESIDEN 5 JULI 1959


Kata dekrit berasal dari bahasa Latin decemere yang berarti mengakhiri atau
memutuskan. Kata dekrit, kemudian digunakan untuk menunjukkan adanya perintah
dari kepala negara atau kepala pemerintahan untuk mengakhiri atau memutuskan
sesuatu yang terkait dengan sistem pemerintahan yang berjalan. Dekrit yang
dikeluarkan Presiden Soekarno berisi:

 Pembubaran Konstituante hasil Pemilu 1955;


 Pemberlakuan kembali UUD 1945 menggantikan UUDS 1950;
 Pembentukan MPRS yang terdiri dari para anggota DPR  ditambah dengan para
utusan daerah dan golongan.

Beberapa alasan mengapa Presiden Soekarno harus mengeluarkan dekrit adalah


sebagai berikut.

 Kegagalan Konstituante untuk membuat UUD baru meskipun sudah berkali-kali


bersidang. Padahal, UUD sangat dibutuhkan sebagai pedoman hukum yang
penting dalam melaksanakan pemerintahan.
 Situasi politik dan ketidakstabilan keamanan dalam negara semakin memburuk.
 Konflik antarpartai yang terus-menerus terjadi sangat mengganggu stabilitas
nasional.
 Para politisi partai yang saling berbeda pendapat sering bersikap membenarkan
segala cara agar tujuan kelompok/partai tercapai.
 UUDS 1950 yang menerapkan Demokrasi Liberal dianggap tidak sesuai dengan
kondisi masyarakat Indonesia.
 Sejumlah pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia semakin
mengarah kepada gerakan separatis.

Sisi positif dari adanya dekrit ini:

 Memberikan pedoman yang jelas bagi kelangsungan negara melalui perintah


untuk kembali ke UUD 1945;
 Menyelamatkan negara dari disintegrasi dan krisis politik yang berkepanjangan;
 Memprakarsai pembentukan lembaga-lembaga tinggi negara (MPRS dan DPAS)
yang selama masa Demokrasi Liberal tertunda pembentukannya.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan Presiden Soekarno ialah dekrit yang
mengakhiri masa parlementer. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi
Terpimpin
Dekrit Presiden 1959.

Rapat PPKI 18 Agustus


1945.

Era Masa Terpimpin


Sejarah Indonesia (1959–1965) adalah masa ketika sistem Demokrasi
Terpimpin sempat berjalan di Indonesia. Demokrasi terpimpin adalah sebuah
sistem demokrasi yang seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpin
negara, kala itu Presiden Soekarno.

Konsep sistem Demokrasi Terpimpin pertama kali diumumkan oleh Presiden Soekarno
dalam pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10 November 1956.[1]Demokrasi
Terpimpin menurut ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 yakni kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang
berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong di antara semua kekuatan
nasional yang progresif revolusioner dengan berporoskan pada Nasakom.

LATAR BELAKANG
Latar belakang dicetuskannya sistem demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno:

 Dari segi keamanan nasional: Banyaknya gerakan separatis pada


masa demokrasi liberal, menyebabkan ketidakstabilan negara.
 Dari segi perekonomian: Sering terjadinya pergantian kabinet pada masa
demokrasi liberal menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet
tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat.
 Dari segi politik: Konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk
menggantikan UUDS 1950.

Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh
anjuran Soekarno agar Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS
1950 adalah UUD 1945. Namun usulan itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan
anggota konstituante. Sebagai tindak lanjut usulannya, diadakan pemungutan
suara yang diikuti oleh seluruh anggota Konstituante. Pemungutan suara ini dilakukan
pada 30 Mei, 1 Juni, dan 2 Juni 1959 dalam rangka mengatasi konflik yang timbul dari
pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut.

Hasil pemungutan suara hari pertama menunjukan bahwa: 269 orang setuju untuk
kembali ke UUD 1945 dan 119 orang menolak untuk kembali ke UUD 1945. Meskipun
suara terbanyak menyetujui opsi kembali ke UUD 1945, suara tersebut belum mencapai
2/3 dari jumlah suara, yaitu 312 suara sehingga pemungutuan suara harus diulangi.
[3] Pemilihan hari kedua menunjukan bahwa: 264 setuju dan 204 menolak. Adapun
pemilihan hari ketiga menunjukan bahwa: 263 setuju dan 203 menolak.

Melihat dari hasil voting, usulan untuk kembali ke UUD 1945 tidak dapat direalisasikan.
Hal ini disebabkan oleh jumlah anggota konstituante yang menyetujui usulan tersebut
tidak mencapai 2/3 bagian, seperti yang telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950.

Bertolak dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekret yang
disebut Dekret Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekret Presiden 5 Juli 1959:
 Tidak berlaku kembali UUDS 1950
 Berlakunya kembali UUD 1945
 Dibubarkannya konstituante
 Pembentukan MPRS dan DPAS

Setelah diberlakukannya Dekrit Presiden diberlakukan, keterlibatan militer dalam


politik dan lembaga politik kian meluas. Pada 10 Juli 1959, Sukarno
mengumumkan Kabinet Kerja, sepertiganya menteri berasal dari militer.

PERANAN PKI
Partai Komunis Indonesia (PKI) menyambut "Demokrasi Terpimpin" Soekarno dengan
hangat dan anggapan bahwa Soekarno mempunyai mandat untuk mengakomodasi
persekutuan konsepsi yang sedang marak di Indonesia kala itu, yaitu antara
ideologi nasionalisme, agama (Islam) dan komunisme yang dinamakan NASAKOM.[7]

Pada 19 Desember 1961, Soekarno mengumandangkan Tri Komando Rakyat. Soekarno


kemudian membentuk Komando Mandala Pembebasan irian Barat yang dipimpin
Soeharto.[8] Menurut Aco Manafe, PKI menjadi pendukung utama Trikora untuk meraih
simpati Soekarno.[9] PKI juga mendukung penekanan terhadap perlawanan penduduk
adat yang tidak menghendaki integrasi dengan Indonesia.[butuh rujukan]

Presiden Sukarno kemudian menunjuk DN Aidit dan Nyoto dari PKI sebagai anggota
Front Nasional untuk memperjuangkan Irian Barat.[10]

KETERLIBATAN AMERIKA SERIKAT


Di era Demokrasi Terpimpin, antara tahun 1959 dan tahun 1965, Amerika
Serikat memberikan 64 juta dollar dalam bentuk bantuan militer untuk jenderal-
jenderal militer Indonesia. Menurut laporan di media cetak "Suara Pemuda Indonesia":
Sebelum akhir tahun 1960, Amerika Serikat telah melengkapi 43 batalyon angkatan
bersenjata Indonesia. Tiap tahun AS melatih perwira-perwira militer sayap kanan. Di
antara tahun 1956 dan 1959, lebih dari 200 perwira tingkatan tinggi telah dilatih di AS,
dan ratusan perwira angkatan rendah terlatih setiap tahun. Kepala Badan untuk
Pembangunan Internasional di Amerika pernah sekali mengatakan bahwa bantuan AS,
tentu saja bukan untuk mendukung Soekarno dan bahwa AS telah melatih sejumlah
besar perwira-perwira angkatan bersenjata dan orang sipil yang mau membentuk
kesatuan militer untuk membuat Indonesia sebuah "negara bebas".

DAMPAK KE SITUASI POLITIK


Era "Demokrasi Terpimpin" diwarnai kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan
kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen
kaum buruh dan petani Indonesia. Kolaborasi ini tetap gagal memecahkan masalah-
masalah politis dan ekonomi yang mendesak Indonesia kala itu.
Pendapatan ekspor Indonesia menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik
dan korupsi kaum birokrat dan militer menjadi wabah sehingga situasi politik
Indonesia menjadi sangat labil dan memicu banyaknya demonstrasi di seluruh
Indonesia, terutama dari kalangan buruh, petani, dan mahasiswa.

Pemilihan Umum Tahun


1955.

Pemilu 1955 Tonggak


Sejarah Demokrasi Indonesia.
Presiden Soekarno
meninjau sukarelawan Dwikora di Pasar Minggu.

Anda mungkin juga menyukai