Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Apotek dan Fungsi Apoteker Pengelola Apotek


Apotek

adalah

suatu

tempat

tertentu

dilakukan

pekerjaan

kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan


lainnya kepada masyarakat. Sediaan farmasi yang dimaksud adalah
obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik. Perbekalan kesehatan
adalah

semua

bahan

dan

peralatan

yang

diperlukan

untuk

menyelenggarakan upaya kesehatan, yang bertanggung jawab dalam


mengelola apotek adalah seorang apoteker yang telah diberi Surat Izin
Apotek (SIA). (Keputusan Menkes RI Nomor 1027/MenKes/SK/IX/2004)
(6).
Berdasarkan PP No. 51 Tahun 2009, tugas dan fungsi apotek
adalah (6):
a.

Tempat

pengabdian

profesi

seorang

apoteker

yang

telah

mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.


b. Sarana yang digunakan untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian
c. Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan distribusi sediaan
farmasi antara lain obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan
kosmetika.
d. Sarana pembuatan dan pengendalian mutu Sediaan Farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau
4

penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep


dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional.
Berdasarkan

KepMenKes

RI

No.

1027/MenKes/SK/IX/2004,

apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi yang
telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang
berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia
sebagai apoteker (6).
Apoteker merupakan tenaga kesehatan profesional yang banyak
berhubungan langsung dengan masyarakat sebagai sumber informasi
obat. Oleh karena itu, informasi obat yang diberikan pada pasien haruslah
informasi yang lengkap dan mengarah pada orientasi pasien bukan pada
orientasi produk. Dalam hal sumber informasi obat seorang apoteker
harus mampu memberi informasi yang tepat dan benar sehingga pasien
memahami dan yakin bahwa obat yang digunakannya dapat mengobati
penyakit yang dideritanya dan merasa aman menggunakannya. Dengan
demikian peran seorang apoteker di apotek sungguh-sungguh dapat
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat (6).
Selain memiliki fungsi sosial sebagai tempat pengabdian dan
pengembangan jasa pelayanan pendistribusian dan informasi obat
perbekalan kesehatan, apotek juga memiliki fungsi ekonomi yang
mengharuskan suatu apotek memperoleh laba untuk meningkatkan mutu
pelayanan dan menjaga kelangsungan usahanya. Oleh karena itu

apoteker sebagai salah satu tenaga professional kesehatan dalam


mengelola apotek tidak hanya dituntut dari segi teknis kefarmasian saja
tapi juga dari segi manajemen (6).
II.2 Penggolongan Obat
Penggolongan Obat berdasarkan:
1. Mekanisme Aksi (7)
a. Mengatasi penyebab penyakit:
Antibiotik, antivirus
b. Mencegah keadaan patologis dari penyakit:
Serum, vaksin
c. Menghilangkan gejala penyakit:
Analgetik, antipiretik
d. Mengganti/menambah fungsi zat yang kurang:
Vitamin, hormone.
2. Lokasi pemakaian (7)
a. Obat dalam (per oral/per enteral):
Melalui saluran cerna, contoh: sirup, tablet
b. Obat luar:
Tidak melalui saluran cerna, contoh: salep, krim .
c. Rute pemberian (7)
a. Oral:
Melalui mulut, masuk ke saluran gastrointestinal.

b. Sublingual:
Dibawah lidah, absorpsi melalui membran mukosa.
c. Topikal:
Melalui permukaan kulit.
d. Intranasal:
Melalui hidung
e. Intrarespiratorial:
Melaui paru-paru
f. Intraocular:
Melaui mata
g. Aural:
Melalui telinga
h. Rectal:
Melaui rectum atau dubur
i. Vaginal, uretral, Parenteral:
Melalui injeksi dengan cara intravena, intramuscular, subcutan,
intrakardial, intrakutan, dll.
j. Efek yang ditimbulkan (7)
a. Lokal:
Efek obat hanya bekerja setempat, contoh: obat topical, intranasal,
uretral, vaginal, rectal.

b. Sistemik:
Obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, contoh: obat
oral, rectal, inhalasi, parenteral.
c. Konsistensi (7)
a. Gas:
Gas, aerosol/aerodispersion
b. Cair:
Larutan, suspensi, emulsi, infusa, lotio, saturasi.
c. Semi-solid/semipadat:
Tidak berbentuk seperti krim, salep, pasta, gel
Berbentuk seperti suppositoria, ovula
d. Asal mula bahan baku (7)
a. Modern:
1. Berasal dari zat kimia/dari sintesis ramuan zat kimia.
2. Jika tidak sesuai akan ditolak tubuh (timbul efek samping)
b. Tradisional:
1. Berasal

dari

tumbuh-tumbuhan,

hewan

dan

mineral

yang

digunakan berdasarkan pengalaman turun temurun dari nenek


moyang.
2. Efek samping ada tetapi jarang .
c. Jenis dalam pelayanan (7)
a. Sintetik:
1. Obat generik (Unbranded Drug)

Obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam Farmakope


Indonesia untuk zat berkhasiat yang dikandungnya.
2. Obat bernama dagang (Branded Drug)
Obat yang menggunakan nama milik produsen obat yang
bersangkutan.
b. Alami:
1. Jamu (Empiric Based)
2. Obat Herbal Terstandar (Scientific Based)
3. Fitofarmaka (Clinical Based).
2. Perundang-undangan (4,5,9)
a. Obat bebas
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli
tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat
bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam.
Contoh: parasetamol.

Gambar 1 . Logo Obat Bebas (Depkes RI, 1983)


b. Obat bebas terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat
keras tetapi masih dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan
disertai dengan tanda peringatan. Contoh: Bromhexin, difenhidramin.

10

Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah
lingkarang biru dengan garis tepi berwarna hitam (12).

Gambar 2. Logo Obat Bebas Terbatas (Depkes RI, 1983)


Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas ter
peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas,
berupa empat persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang 5
(lima)

sentimeter,

lebar

(dua)

sentimeter

dan

pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut:

Gambar 3. Tanda Peringatan (Depkes RI, 1983)

memuat

11

Beberapa contoh obat bebas terbatas berdasarkan Keputusan Menteri


Kesehatan RI yaitu :
P No. 1
1. Anti Histamin
Sediaan anti histaminum yang nyata-nyata dipergunakan untuk obat
tetes hidung/semprot hidung.
2. Choroquinum
Sediaan Cholroquinum atau garamnya yang dihitung sebagai basa
tidak lebih dari 160 mg setiap takaran dalam 60 ml tiap botol.
3. Sulfaguanidium,Phtalylsulfathiazolum dan Succinylsulfa Thazolum :
Tablet yang mengandung tidak lebih dari 600 zat berkhasiat tiap
tabletnya dan tidak lebih dari 20 tablet tiap bungkus atau wadah.
P No. 2
1. Kalii chloras dalam larutan
2. Zincum, obat kumur yang mengandung persenyawaan zincum
P No. 3
1. Air Burowi

12

2. Merchurochromum dalam larutan


P No. 4
1.

Rokok dan serbuk untuk penyakit bengek untuk dibakar yang mengandung
scopolamin
P No. 5
1. Amonia 10 % ke bawah
2. Sulfanilamidum steril dalam bugkusan tidak lebih dari 5 mg
bungkusnya
P No. 6
1. Suppositoria
c. Obat keras
Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan
resep dokter. Menurut undang-undang obat keras No. 419 tanggal 22
Desember 1949 pasal 1, obat-obat keras yaitu obat-obatan yang tidak
digunakan

untuk

keperluan

teknik,

yang

mempunyai

khasiat

mengobati, menguatkan, membaguskan, mendesinfeksikan, dan lainlain tubuh manusia. Obat-obat ini berkhasiat keras dan bila dipakai
sembarangan bisa berbahaya bahkan meracuni tubuh, memperparah

13

penyakit atau menyebabkan mematikan.Oleh sebab itu obat-obat ini


diberikan sesuai dengan resep dokter.
Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah antibiotik
(tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), obat-obatan yang mengandung
hormon, obat diabetes, simvastatin, ranitidin, klonidin, piroksikam,
pyrazinamid, omeprazol, antalgin, dan metilergometrin obat penenang,
dan lain-lain. Sediaan parenteral temasuk dalam golongan obat keras,
harus diberikan oleh tenaga yang profesional karena obat yang
diberikan langsung masuk ke dalam pembuluh darah sehingga apabila
tejadi kesalahan dapat membahayakan. Tanda khusus pada kemasan
dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi
berwarna hitam.

Gambar 4 . Logo Obat Keras (Depkes RI, 1983)


d. Obat Keras Tertentu (Psikotropika)
Menurut Undang Undang No.5 Tahun 1997, psikotropika yaitu zat
atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf
pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku.
Penggolongan obat psikotropik dapat di lihat pada lampiran 1 tentang surat

edaran BPOM tentang pelaporan psikotropika.

14

e. Obat Wajib Apotek


Obat wajib apotek (OWA) merupakan obat keras yang dapat
diberikan oleh Apoteker Pengelola Apotek (APA) kepada pasien.
Walaupun APA boleh

memberikan

obat

keras,

namun

ada

persyaratan yang harus dilakukan dalam penyerahan OWA, yaitu:


1. Apoteker wajib memenuhi ketentuan jenis dan jumlah yang boleh
diberikan kepada pasien. Contohnya hanya jenis oksitetrasiklin
salep saja yang termasuk OWA, dan hanya boleh diberikan
1 tube.
2. Apoteker wajib melakukan pencatatan yang benar mengenai data
pasien (nama, alamat, umur) serta penyakit yang diderita.
3. Apoteker
mencakup:

wajib

memberikan

indikasi,

informasi

kontra-indikasi,

obat

cara

secara

pemakain,

benar
cara

penyimpanan dan efek samping obat yang mungkin timbul serta


tindakan yang disarankan bila efek tidak dikehendaki tersebut
timbul.
Tujuan OWA adalah memperluas keterjangkauan obat oleh
masyarakat yaitu obat-obat yang diperlukan bagi kebanyakan penyakit
yang

diderita

pasien.

Antara

lain:

obat

antiinflamasi

(asam

mefenamat), obat alergi kulit (salep hidrokortison), infeksi kulit dan


mata (salep oksitetrasiklin), antialergi sistemik (CTM), obat KB
hormonal.

15

Sesuai permenkes No.919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat


yang dapat diserahkan:
1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil,
anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan
risiko pada kelanjutan penyakit.
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang
harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.
4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya
tinggi di Indonesia.
5. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.
f. Obat Narkotika
Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, Narkotika adalah zat
atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintesis ataupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan,
yang dibedakan menjadi beberapa golongan beradasarkan pasal 6
ayat 1 UU No. 35 Tahun 2009.
1.

Narkotika Golongan 1

16

Golongan ini dilarang penggunaannya dalam pelayanan kesehatan,


melainkan digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk reagensia diagnostic dan reagensia laboratorium
setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Kesehatan atas
rekomendasi
Golongan

ini

Kepala

Badan

memiliki

Pengawas

potensi

sangat

Obat

dan

Makanan.

tinggi

mengakibatkan

ketergantungan. Contoh: Tanaman Papaver Somniferum L. dengan


zat/senyawa heroin di dalamnya, opium mentah, opium masak,
tanaman koka, daun koka, kokain mentah, kokaina, tanaman ganja,
tetrahydrocannabinol, heroin, katinona, MDMA dan lainnya.

2.

Narkotika Golongan II
Golongan ini berkhasiat pengobatan dan digunakan sebagai pilihan
terakhir dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan sehingga potensi untuk menimbulkan ketergantungan
juga tinggi. Contohnya: Fentanil, alfasetilmetadol, Pethidin, morfin
dan garam-garamnya

3.

Narkotika Golongan III


Golongan ini berkhasiat pengobatan sehingga sangat luas digunakan
dalam terapi dan mengakibatkan ketergantungan ringan. Golongan
ini juga digunakan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan

17

distribusinya

diatur

oleh

pemerintah.

Contoh:

Kodein

dan

asetildihidrokodein.
Penandaan obat narkotika adalah:

Gambar 6. Logo Narkotika

Berdasarkan

Keputusan

Menteri

Kesehatan

RI

No.199/MenKes/SK/X/1996, pedagang besar farmasi (PBF) Kimia


Farma depot sentral dengan alamat kantor dan alamat gudang
penyimpanan di Jalan Rawa Gelam V Kawasan Industri Pulo
Gadung Jakarta Timur sebagai importir tunggal di Indonesia untuk
kepentingan

pengobatan

dan

ilmu

pengetahuan

dengan

penanggungjawab yang ditetapkan oleh Badan Pengawasan Obat


dan Makanan. Sentralisasi ini dimaksudkan untuk memudahkan
pengendalian dan pengawasan narkotika oleh pemerintah.
Penggunaan Narkotika (15)
Penggunaan narkotika menurut undang-undang No.35 Tahun
2009 Tentang Narkotika, bagian ketiga pasal 13: (14)
Bagian Ketiga
Narkotika untuk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pasal 13
(1) Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan
dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan yang

18

diselenggarakan
memperoleh,

oleh

pemerintah

menanam,

ataupun

menyimpan,

dan

swasta

dapat

menggunakan

Narkotika untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi


setelah mendapatkan izin Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara untuk
mendapatkan izin dan penggunaan Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pelaporan Narkotika (15)
Undang-undang

No.35

tahun

2009

pasal

14

ayat

(2)

menyatakan bahwa industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana


penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat
kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu
pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan
laporan berkala mengenai pemasukan dan/ atau pengeluaran
narkotika yang berada dalam penguasaannya.
Apotek berkewajiban menyusun dan mengirimkan laporan yang
ditandatangani oleh APA. Laporan tersebut terdiri dari laporan penggunaan
bahan baku narkotika, laporan penggunaan sediaan jadi narkotika dan
laporan khusus yang menggunakan morfin, petidin, dan derivatnya. Laporan
dikirim ke kepala Dinas kesehatan kabupaten/Kota setempat selambatlambatnya tanggal 10 bulan berikutnya, dengan tembusan kepada Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi, Badan/Balai Besar POM, dan sebagai arsip.

II.3 Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (9,12)

19

Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya


dari obat ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care.
Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada
pengelolaan

obat

sebagai

komoditi

menjadi

pelayanan

yang

komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari


pasien.
Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker
dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku
agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk
interaksi

tersebut

antara

lain

adalah

melaksanakan

pemberian

informasi, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan


akhirnya sesuai harapan dan terdokumerotasi dengan baik. Apoteker
harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan
pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Oleh sebab itu
apoteker dalam menjalankan praktik harus sesuai standar. Apoteker
harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam
menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional.
II.3.1

Pelayanan Resep (9,12)


Defenisi Resep Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 Resep adalah permintaan tertulis dari dokter,
dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan
menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Resep yang baik merupakan resep yang ditulis dengan jelas dan dapat
dibaca. Tulisan yang sukar dibaca sangat rawan terhadap kesalahan yang

20

berbahaya. Secara etika kertas resep warna putih dengan ukuran minimal 11 x
17 cm.

Sebagai apoteker sebelum meracik, menyiapkan, membungkus, dan


menempatkan obat dalam wadah atau bungkus yang cocok dan
memeriksa serta memberi etiket dengan teliti maka harus melakukan
skrining resep.
II.3 Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
II.3.1 Skrining Resep (9)
Apoteker melakukan skrining resep meliputi :
1. Persyaratan Administratif :
- Nama, SIP dan alamat dokter
- Tanggal penulisan resep
- Tanda tangan/paraf dokter penulis resep
- Nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien
- Cara pemakaian yang jelas
- Informasi lainnya
2. Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas,
inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.
3. Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian
(dosis, durasi, jumlah obat dan lain lain). Jika ada keraguan terhadap
resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan
memberikan

pertimbangan

dan

alternatif

seperlunya

menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.

bila

perlu

21

II.3.2 Penyiapan obat (9)


1. Peracikan
Merupakan kegiatan menyiapkan menimbang, mencampur, mengemas
dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan
obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis,
jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.
2. Etiket
Etiket harus jelas dan dapat dibaca.
3. Kemasan Obat yang Diserahkan
Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok
sehingga terjaga kualitasnya.

4. Penyerahan Obat
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan
akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat
dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan
konseling kepada pasien
5. Informasi Obat
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah
dimengerti, akurat, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada
pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara
penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan
dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

22

6. Konseling
Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi,
pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat
memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar
dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah. Untuk
penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC,asma
dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling
secara berkelanjutan.
7. Monitoring Penggunaan Obat
Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan
pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti
kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya.
II.3.3 Promosi dan Edukasi (9).
Dalam

rangka

pemberdayaan

masyarakat,

apoteker

harus

memberikan edukasi apabila masyarakat ingin mengobati diri sendiri


(swamedikasi) untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat yang sesuai
dan apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi.
Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan
penyebaran leaflet/brosur, poster, penyuluhan, dan lain lainnya.
II.3.4 Pelayanan Residensial (Home Care) (9).
Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan
pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk
kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.

23

Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan


pengobatan (medication record).

Anda mungkin juga menyukai