TINJAUAN PUSTAKA
3
4
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa
resep dokter, baik di apotek, toko obat berizin atau di toko dan warung. Contoh:
parasetamol, Antasida Doen, Guafenesin.
P. No. 1 P. No. 2
Awas ! Obat Keras Awas ! Obat Keras
Bacalah aturan Hanya untuk kumur, jangan
ditelan
memakainya
6
P. No. 3 P. No. 4
Awas ! Obat Keras Awas ! Obat Keras
Hanya untuk bagian luar Hanya untuk dibakar
dari badan
P. No. 5 P. No. 6
Awas ! Obat Keras Awas ! Obat Keras
Tidak boleh ditelan Obat wasir, jangan
ditelan
a. Pemesanan (9)
Surat pesanan narkotika hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) jenis
narkotika, surat pesanan tersebut harus terpisah dari pesanan barang lain.
b. Penyerahan (9)
1. Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan dalam bentuk
obat jadi.
12
c. Penyimpanan (9)
Tempat penyimpanan narkotika dalam bentuk barang baku dapat berupa
gudang, ruangan, atau lemari khusus dan tidak boleh dicampurkan dengan jenis
obat lain dan dalam penguasaan apoteker.
Kriteria tempat penyimpanan yang dimaksud sebagai berikut:
1. Gudang khusus harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Dinding dibuat dari tembok dan hanya mempunyai pintu yang dilengkapi
dengan pintu dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda;
b. Langit-langit dapat terbuat dari tembok beton atau jeruji besi;
c. Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi.
d. Gudang tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker
penanggung jawab, dan
e. Kunci gudang dikuasai oleh apoteker penanggung jawab dan pegawai lain
yang dikuasakan.
2. Ruang khusus harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Dinding dan langit-langit terbuat dari bahan yang kuat;
b. Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi;
c. Mempunyai satu pintu dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda;
13
d. Pelaporan (9)
Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga
Ilmu Pengetahuan, dan dokter praktik perorangan wajib membuat, menyimpan,
dan menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan/penggunaan Narkotika
setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan
Kepala Balai setempat. Pelaporan sebagaimana dimaksud paling sedikit terdiri
atas :
1. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika
2. Jumlah persediaan awal dan akhir bulan
3. Jumlah yang diterima
4. Jumlah yang diserahkan.
Laporan sebagaimana disampaikan paling lambat setiap tanggal 10 bulan
berikutnya.
7. Prekursor (15)
14
Prekursor Farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang
dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi
industri farmasi atau produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang
mengandung ephedrine, pseudoephedrine, norephedrine/phenylpropanolamine,
ergotamin, ergometrine, atau Potasium Permanganat. Menurut Peraturan Menteri
Kesehatan No. 3 tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan
pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor farmasi.
Pengaturan Prekursor bertujuan untuk :
1. Melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Prekursor;
2. Mencegah dan memberantas peredaran gelap Prekursor;
3. Mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan Prekursor; dan
4. Menjamin ketersediaan Prekursor untuk industri farmasi, industri non farmasi,
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Golongan dan Jenis Prekursor
1. Acetic Anhydride, N-Acetylanthranilic Acid,
Ephedrine, Ergometrine, Ergotamine, Isosafrole, Lycergic Acid, 3,4-
Methylenedioxyphenyl-2-propanone, norephedrine, 1-Phenyl-2-propanone,
Piperonal, Potassium Permanganat, Pseudoephedrine, dan Safrole.
2. Acetone, Anthranilic Acid, Ethyl Ether, Hydrochloric Acid, Methyl Et
hyl Ketone, Phenylacetic Acid, Piperidine, Sulphuric Acid, Toluene.
2. SP harus:
a. Asli dan dibuat tindasan sebagai arsip
b. Ditandatangani oleh Apoteker Penanggung Jawab Apotek/Apoteker
Pendamping dengan mencantumkan nama lengkap dan nomor SIPA,
nomor dan tanggal SP, dan kejelasan identitas pemesan (antara lain nama
dan alamat jelas, nomor telepon/faksimili, nomor ijin, dan stempel);
c. Mencantumkan nama dan alamat Industri Farmasi/Pedagang Besar
Farmasi (PBF) tujuan pemesanan; Pemesanan antar apotek
diperbolehkan dalam keadaan mendesak misalnya pemesanan sejumlah
obat yang dibutuhkan untuk memenuhi kekurangan jumlah obat yang
diresepkan;
d. Mencantumkan nama obat mengandung Prekursor Farmasi, jumlah,
bentuk dan kekuatan sediaan, isi dan jenis kemasan;
e. Diberi nomor urut tercetak dan tanggal dengan penulisan yang jelas atau
cara lain yang dapat tertelusur, dan
f. Khusus untuk pesanan obat mengandung Prekursor Farmasi dibuat
terpisah dari surat pesanan obat lainnya dan jumlah pesanan ditulis
dalam bentuk angka dan huruf.
g. Apabila pemesanan dilakukan melalui telepon (harus menyebutkan nama
penelpon yang berwenang), faksimili, email maka surat pesanan asli
harus diberikan pada saat serah terima barang, kecuali untuk daerah-
daerah tertentu dengan kondisi geografis yang sulit transportasi dimana
pengiriman menggunakan jasa ekspedisi, maka surat pesanan asli
dikirimkan tersendiri.
3. Apotek yang tergabung di dalam satu grup, masing-masing Apotek harus
membuat SP sesuai kebutuhan kepada Industri Farmasi/PBF.
4. Apabila SP tidak dapat digunakan, maka SP yang tidak digunakan tersebut
harus tetap diarsipkan dengan diberi tanda pembatalan yang jelas.
5. Apabila SP Apotek tidak bisa dilayani, Apotek harus meminta surat penolakan
pesanan dari Industri Farmasi/PBF.
6. Pada saat penerimaan obat mengandung Prekursor Farmasi, harus dilakukan
pemeriksaan kesesuaian antara fisik obat dengan faktur penjualan dan/atau
Surat Pengiriman Barang (SPB) yang meliputi:
16
a. Pengkajian Resep
Kegiatan pengkajian Resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan
pertimbangan klinis.
1. Kajian administratif meliputi:
a. Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan
b. Nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan
paraf.
c. Tanggal penulisan Resep.
2. Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
a. Bentuk dan kekuatan sediaan
b. Stabilitas
c. Kompatibilitas (ketercampuran Obat)
b. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi
obat.Setelah melakukan pengkajian resep dilakukan hal sebagai berikut:
a. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep:
1. Menghitung kebutuhan jumlah obat sesuai dengan resep.
2. Mengambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
memperhatikan nama obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik obat.
b. Melakukan peracikan obat bila diperlukan.
c. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:
1. warna putih untuk obat dalam/oral
2. Warna biru untuk obat luar dan suntik
3. Menempelkan label kocok dahulu pada sediaan bentuk suspense atau
emulsi.
d. Memasukkan Obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk Obat yang
berbeda untuk menjaga mutu Obat dan menghindari penggunaan yang salah.
Setelah penyiapan obat dilakukan hal sebagai berikut:
1. Sebelum Obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan
kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta
jenis dan jumlah obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan resep)
2. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien.
3. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien.
4. Menyerahkan Obat yang disertai pemberian informasi Obat.
20
d. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan
kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan
menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling,
Apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien
dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker
harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami
Obat yang digunakan.
Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling yaitu sebagai
berikut:
1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau ginjal,
ibu hamil dan menyusui).
22
2. Pasien dengan terapi jangka kronis (misalnya: TB, DM, AIDS, epilepsi).
panjang/penyakit
3. Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus (penggunaan
kortikosteroid dengan tappering down/off).
4. Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,
fenitoin, teofilin).
5. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa Obat untuk indikasi
penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari
satu Obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis
Obat.
6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
Tahap kegiatan konseling:
a) Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien.
b) Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui Three Prime
Questions, yaitu:
- Apa yang disampaikan dokter tentang obat Anda?
- Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian obat Anda?
- Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan setelah
Anda menerima terapi Obat tersebut?
c) Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien
untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat
d) Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
penggunaan obat.
e) Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien
Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan pasien
sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan dalam konseling
dengan menggunakan Formulir 7 sebagaimana terlampir.
pemilihan obat yang tidak tepat, dosis terlalu tinggi, dosis terlalu rendah,
terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan atau terjadinya interaksi obat.
4. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan menentukan
apakah masalah tersebut sudah atau berpotensi akan terjadi.
5. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi rencana
pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan
meminimalkan efek yang tidak dikehendaki.
6. Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh
apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga kesehatan terkait untuk
mengoptimalkan tujuan terapi.
7. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi obat dengan
menggunakan formulir yang telah ditetapkan.
orang lain tersebut mengerti betul apa yang dimaksud oleh menyampai pikiran-
pikiran atau informasi.
Komunikasi antar farmasis dan pasien berbeda dari komunikasi dengan
teman. Komunikasi profesional dengan pasien adalah alat untuk menjamin
hubungan pengobatan agar farmasis efektif memberikan pelayanan kesehatan.
Proses komunikasi antara farmasis dengan pasien menjalankan dua fungsi utama
yaitu mendapatkan hubungan tentang farmasis dan pasien, memberikan
pertukaran informasi yang dibutuhkan untuk menilai kondisi kesehatan pasien.
Edukasi adalah pembelajaran dan pengembangan untuk memberikan
keterampilan dan pengetahuan. Apoteker yang efektif harus mampu memotivasi
pasien untuk belajar dan berpartisipasi aktif dalam regimen terapinya. Apoteker
merupakan profesional kesehatan terakhir yang menemui pasien. Apoteker
memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pasien mengerti maksud dari terapi
obat dan cara penggunaannya yang tepat.
Apoteker dapat menerapkan berbagi metode edukasi pada pasien mulai dari
metode ceramah, dialog, dan diskusi, informasi cetak sampai metode audiovisual,
simulasi video, dan belajar menggunakan bantuan komputer. Dengan
perkembangan internet, sekarang semakin banyak sumber informasi kesehatan
tersedia untuk apoteker dan pasien.
Informasi obat adalah setiap data yang diuraikan secara ilmiah dan
terdokumentasi mencakup farmakologi, toksikologi, dan penggunaan terapi obat.
Pada saat menyerahkan obat kepada pasien, setidaknya harus diberikan
informasi mengenai hal-hal sebagai berikut :
2. Nama obat
3. Indikasi
4. Aturan pakai : dosis, rute (oral, topical), frekuensi
penggunaan, waktu minum obat (sebelum/sesudah makan, tidak bersamaan
dengan obat lain)
5. Berapa lama obat harus digunakan
6. Cara menggunakan :
- Sediaan berbentuk sirup/suspensi harus dikocok terlebih dahulu
26