Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Apotek dan Apoteker

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 9 Tahun 2017 Apotek, Apotek


adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh
Apoteker. Fasilitas Kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk melakukan
pekerjaan kefarmasian. Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan
pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis
Kefarmasian. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker
dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. (3)

Dalam ketentuan umum Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang


Pekerjaan Kefarmasian dijelaskan bahwa pekerjaan kefarmasian adalah perbuatan
meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengadaan,
penyimpanan, dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan
obat, bahan obat, dan obat tradisional (1).

Apotek adalah tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian, penyaluran sediaan


farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Adapun pekerjaan
kefarmasian tersebut meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional. Dalam peraturan ini
seorang Apoteker bertanggung jawab atas pengelolaan Apotek, sehingga
pelayanan obat kepada masyarakat akan lebih terjamin keamanannya, baik
kualitas maupun kuantitasnya (2).

3
4

2.2. Tugas dan Fungsi Apotek


Tugas dan fungsi apotek menurut Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009
adalah (1) :
1 Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah
jabatan Apoteker.
2 Sarana yang digunakan untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian.
3 Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan distribusi sediaan farmasi
antara lain obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetika.
4 Sarana pembuatan dan pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat,
pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat,
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan
telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan
berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker. Apoteker
merupakan tenaga kesehatan profesional yang banyak berhubungan langsung
dengan masyarakat sebagai sumber informasi obat. Oleh karena itu, informasi
obat yang diberikan pada pasien haruslah informasi yang lengkap dan mengarah
pada orientasi pasien bukan pada orientasi produk. Dalam hal sumber informasi
obat seorang apoteker harus mampu memberi informasi yang tepat dan benar
sehingga pasien memahami dan yakin bahwa obat yang digunakannya dapat
mengobati penyakit yang dideritanya dan merasa aman menggunakannya. Dengan
demikian peran seorang apoteker di apotek sungguh-sungguh dapat dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat (1).

2.3. Penggolongan Obat

Adapun penggolongan obat dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan


ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi. Berdasarkan perundang-
undangan, obat digolongkan menjadi:

1. Obat Bebas (4,5)


5

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa
resep dokter, baik di apotek, toko obat berizin atau di toko dan warung. Contoh:
parasetamol, Antasida Doen, Guafenesin.

Gambar 1. Logo obat bebas (4,5)

Penandaan obat bebas diatur berdasarkan SK MenKes RI Nomor


2380/A/SK/VI/83 tentang Tanda Khusus untuk Obat Bebas dan untuk Obat Bebas
Terbatas. Obat bebas diberi tanda berupa lingkaran dengan diameter tertentu,
warna lingkarannya hijau dengan garis tepi warna hitam.

2. Obat Bebas Terbatas (4,5)


Obat bebas terbatas (daftar W = warschuwing = peringatan) adalah obat
yang sebenarnya termasuk obat keras, tetapi masih dijual atau dibeli bebas tanpa
resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan. Contoh: Difendhidramin,
Theophiline, Allerin, Pseudoefedrin HCl.

Gambar 2. Logo obat bebas terbatas (4,5)

Penandaannya diatur berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI


No.2380/A/SK/VI/83 tanda khusus untuk obat bebas terbatas berupa lingkaran
berwarna biru dengan garis tepi berwarna hitam. Tanda peringatan selalu
tercantum pada kemasan obat bebas terbatas, berupa empat persegi panjang
berwarna hitam berukuran panjang 5 cm, lebar 2 cm dan memuat pemberitahuan
berwarna putih.

P. No. 1 P. No. 2
Awas ! Obat Keras Awas ! Obat Keras
Bacalah aturan Hanya untuk kumur, jangan
ditelan
memakainya
6

P. No. 3 P. No. 4
Awas ! Obat Keras Awas ! Obat Keras
Hanya untuk bagian luar Hanya untuk dibakar
dari badan

P. No. 5 P. No. 6
Awas ! Obat Keras Awas ! Obat Keras
Tidak boleh ditelan Obat wasir, jangan
ditelan

Gambar 3. Tanda peringatan obat bebas terbatas (4,5)

Beberapa contoh obat bebas terbatas :

P No.1 : CTM, Komix, Neozep, Decolgen, Etaflusin, Benadryl


P No.2 : Betadine Gargle , Albothyl, Molexdine MW, Tantum Verde.
P No.3 : Canesten krim, Caladine Lotion, Micrem krim.
P No.4 : Rokok dan serbuk untuk penyakit asma, yang dibakar dan mengandung
scopolaminum.
P No.5 : Rivanol kompres yang digunaakan untuk kompres luka
P No.6 : Dulcolax suppositoria.

3. Obat Keras (6)


Menurut Undang-undang obat keras No. 419 tanggal 22 Desember 1949,
obat yang masuk ke dalam golongan obat keras ini adalah obat yang dibungkus
sedemikian rupa yang digunakan secara parenteral, baik dengan cara suntikan
maupun dengan cara pemakaian lain dengan jalan merobek jaringan, obat baru
yang belum tercantum dalam kompendial/ farmakope terbaru yang berlaku di
Indonesia serta obat-obat yang ditetapkan sebagai obat keras melalui keputusan
MenKes RI.
Obat-obat yang termasuk dalam daftar G antara lain antibiotika (tetrasiklin,
penisilin, dan sebagainya), obat-obatan yang mengandung hormon, obat kanker,
obat diabetes, obat jantung, tekanan darah tinggi, obat anti pembekuan darah, obat
penenang dan lain-lain. Untuk sediaan parentral yang termasuk obat golongan
keras, harus diberikan oleh tenaga kesehatan professional karena obat yang
7

diberikan langsung masuk ke pembuluh darah sehingga apabila terjadi kesalahan


dapat membahayakan.

Gambar 4. Logo obat keras (6)

Penandaannya diatur berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia No. 02396/A/SKAV/III/86 yaitu lingkaran bulat berwarna merah
dengan garis tepi berwarna hitam dengan huruf K yang menyentuh garis tepi
seperti pada gambar 4.

4. Psikotropika (Obat Keras Tertentu) (7)


Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan RI No. 35 tahun 2009 tentang
Narkotika pasal 153 menyatakan bahwa (8):
Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah
dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang ini,dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 3 tahun 2015 Psikotropika
adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika,
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat
yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. (9)
Berdasarkan Undang-Undang RI No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika
pasal 2 ayat (2), Psikotropika digolongkan menjadi 4 golongan yaitu:
1. Psikotropika golongan I
Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta
mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh :
lisergida (LCD/extasy), MDMA (Metilen Dioksi Metil Amfetamin), meskalina,
psilosibina, katinona.
2. Psikotropika golongan II
Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
8

mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh :


Amfetamin, metamfetamin (sabu-sabu), metakualon, sekobarbital, metamfetamin,
fenmetrazin.
3. Psikotropika golongan III
Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh :
fenobarbital, amobarbital, siklobarbital
4. Psikotropika golongan IV
Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Kesehatan RI No. 9 Tahun 2015 tentang


perubahan penggolongan psikotropika dengan menambahakan satu jenis
psikotropika Golongan IV yaitu Zolpidem. Contoh : Diazepam (frisium),
allobarbital, barbital, bromazepam, klobazam, klordiazepoksida, meprobamat,
nitrazepam, triazlam, alprazolam.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 3 Tahun 2017 tentang
perubahan penggolongan psikotropika dengan menambahakan jenis psikotropika
Golongan II yaitu Amineptina, Metilfenidat dan Sekobarbital. Dan dengan
menambahakan satu jenis psikotropika Golongan IV yaitu Fenazepam.
Pemesanan Psikotropika (9)
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 3 tahun 2015, pemesanan
psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan :
1) Surat pemesanan (SP) khusus psikotropika
2) Surat pemesanan psikotropika dapat digunakan untuk satu atau beberapa jenis
psikotropika dan harus terpisah dari pesanan barang lain.

Penyimpanan Psikotropika (9)


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 3 tahun 2015, lemari
khusus penyimpanan psikotropika harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1) Terbuat dari bahan yang kuat
2) Tidak mudah dipindahkan
9

3) Diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum


4) Kunci lemari khusus dikuasai oleh apoteker penanggung jawab atau apoteker
yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.

Pelaporan Psikotropika (9)


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 3 tahun 2015 pasal 45
ayat 6 dan 7 menyatakan bahwa:
1. Apotik wajib menyampaikan laporan
pemasukan dan penyerahan/penggunaan psikotropika setiap bulan kepada
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai
setempat dan disampaikan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
2. Pelaporan penyerahan/penggunaan
psikotropika terdiri atas:
a) Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan psikotropika
b) Jumlah persediaan awal dan akhir bulan
c) Jumlah yang diterima
d) Jumlah yang diserahkan

5. Obat Wajib Apotek (10)


Obat wajib apotek (OWA) merupakan obat keras yang dapat diberikan oleh
APA kepada pasien. Walaupun Apoteker Pengelolah Apotek boleh memberikan
obat keras, namun ada persyaratan yang harus dilakukan dalam penyerahan OWA
(Obat Wajib Apotik), yaitu:
1. Apoteker wajib memenuhi ketentuan jenis dan jumlah yang boleh
diberikan kepada pasien. Contohnya hanya jenis oksitetrasiklin salep saja yang
termasuk OWA (Obat Wajib Apotik), dan hanya boleh diberikan 1 tube.
2. Apoteker wajib melakukan pencatatan yang benar mengenai data pasien
(nama, alamat, umur) serta penyakit yang diderita.
3. Apoteker wajib memberikan informasi obat secara benar mencakup:
indikasi, kontra-indikasi, cara pemakain, cara penyimpanan dan efek samping
obat yang mungkin timbul serta tindakan yang disarankan bila efek tidak
dikehendaki tersebut timbul.
Tujuan OWA (Obat Wajib Apotik) adalah memperluas keterjangkauan obat
oleh masyarakat yaitu obat-obat yang diperlukan bagi kebanyakan penyakit yang
diderita pasien. Antara lain: obat asam mefenamat, obat alergi kulit (salep
10

hidrokortison), infeksi kulit dan mata (salep oksitetrasiklin), antialergi (CTM),


obat KB hormonal.
Sesuai Permenkes Nomor 919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang
dapat diserahkan adalah sebagai berikut (11) :
1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di
bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada
kelanjutan penyakit.
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan.
4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di
Indonesia.
5. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.

Golongan Obat Wajib Apotek (OWA) (12,13,14):


1. Daftar Obat Wajib Apotek NO. 1 berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
No.347/MenKes/SK/VII/1990 tentang daftra obat wajib apotek N0.1 dan
Peraturan Menteri Kesehatan No.925 / MenKes / PER / X / 1993 tentang daftar
perubahan golongan obat NO. 1 contohnya Etinodiol diasetat- mestranol,
Mg.trisilikat AL. hidroksida + Papaverin HCl, diazepam.

2. Daftar Obat Wajib Apotek NO. 2 berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan


925/MenKes/SK/VII/1993 tentang daftar obat wajib apotek no. 2 contohnya
aminophyllin, diphenhidramin dan bromhexin cetrimide.
3. Daftar Obat Wajib Apotek NO. 2 berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
1176/ MENKES/PER/X/1999 tentang daftar obat wajib apotek no. 3 contohnya
albendazol, dexamethason, diklofenak, ibuprofen dan methylprednisolon.

6. Obat Narkotika (8)


Menurut undang-undang Nomor 35 tahun 2009, Narkotika adalah zat atau
obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun
semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan. Penandaan obat narkotika seperti gambar 5.
11

Gambar 5. Logo obat narkotika (13)


Narkotika digolongkan ke dalam 3 golongan, yaitu :
a. Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan berpotensi tinggi mengakibatkan
ketergantungan, contoh : tanaman Papaver somniferum L., opium mentah,
opium masak, tanaman koka, daun koka, kokain mentah, kokaina, tanaman
ganja, tetrahydrocannabinol, heroin, dan lainnya.
b. Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan
sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan. Contoh : Alfasetilmetadol, Difenoksilat,
Dihidromorfina, Ekgonina, Fentanil, Metadon, Morfin, Opium, Petidin, Tebain,
Tebakon, dan lain-lain.
c. Narkotika golongan III adalah narkotik yang berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dala terapi dan atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan menyebabkan ketergantungan.
Contoh : Asetilhidrokodeina, Dekstroproksifena, Dihidrokodein, Kodein,
Nikodikodina, Norkodein, Propiram, dan lain-lain.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 2 Tahun 2017 tentang
perubahan penggolongan Narkotika dengan menambahakan 21 senyawa
Narkotika Golongan I yaitu 5-FAPINACA, Metoksimetamina, Metilfentanil dll.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2015
pengelolaan sediaan Narkotika antara lain meliputi: (9)

a. Pemesanan (9)
Surat pesanan narkotika hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) jenis
narkotika, surat pesanan tersebut harus terpisah dari pesanan barang lain.

b. Penyerahan (9)
1. Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan dalam bentuk
obat jadi.
12

2. Penyerahan Narkotika kepada pasien, harus dilaksanakan


oleh Apoteker di fasilitas pelayanan kefarmasian sesuai dengan standar
pelayanan kefarmasian.
3. Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh: apotek,
puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, dan
dokter
4. Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan untuk
memenuhi kekurangan jumlah Narkotika berdasarkan resep yang telah
diterima.
5. Penyerahan Narkotika oleh Apotek kepada Dokter hanya dapat dilakukan
dalam hal : Dokter menjalankan praktik perorangan dengan memberikan
Narkotika melalui suntikan, dokter menjalankan tugas atau praktik di daerah
terpencil yang tidak ada Apotek atau sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Penyerahan Narkotika tersebut harus berdasarkan
surat permintaan tertulis yang ditandatangani oleh dokter yang menangani
pasien .

c. Penyimpanan (9)
Tempat penyimpanan narkotika dalam bentuk barang baku dapat berupa
gudang, ruangan, atau lemari khusus dan tidak boleh dicampurkan dengan jenis
obat lain dan dalam penguasaan apoteker.
Kriteria tempat penyimpanan yang dimaksud sebagai berikut:
1. Gudang khusus harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Dinding dibuat dari tembok dan hanya mempunyai pintu yang dilengkapi
dengan pintu dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda;
b. Langit-langit dapat terbuat dari tembok beton atau jeruji besi;
c. Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi.
d. Gudang tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker
penanggung jawab, dan
e. Kunci gudang dikuasai oleh apoteker penanggung jawab dan pegawai lain
yang dikuasakan.
2. Ruang khusus harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Dinding dan langit-langit terbuat dari bahan yang kuat;
b. Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi;
c. Mempunyai satu pintu dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda;
13

d. Kunci ruang khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab/Apoteker


yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan;dan
e. Tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker penanggung
jawab/Apoteker yang ditunjuk.
3. Lemari khusus harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Terbuat dari bahan yang kuat;
b. Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah kunci yang
berbeda;
c. Harus diletakkan dalam ruang khusus di sudut gudang, untuk instalasi
farmasi pemerintah;
d. Diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum, untuk
apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, instalasi farmasi klinik,
dan lembaga ilmu pengetahuan ; dan
e. Kunci lemari khusus dikuasai oleh apoteker penanggung jawab/apoteker
yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan

d. Pelaporan (9)
Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga
Ilmu Pengetahuan, dan dokter praktik perorangan wajib membuat, menyimpan,
dan menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan/penggunaan Narkotika
setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan
Kepala Balai setempat. Pelaporan sebagaimana dimaksud paling sedikit terdiri
atas :
1. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika
2. Jumlah persediaan awal dan akhir bulan
3. Jumlah yang diterima
4. Jumlah yang diserahkan.
Laporan sebagaimana disampaikan paling lambat setiap tanggal 10 bulan
berikutnya.

7. Prekursor (15)
14

Prekursor Farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang
dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi
industri farmasi atau produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang
mengandung ephedrine, pseudoephedrine, norephedrine/phenylpropanolamine,
ergotamin, ergometrine, atau Potasium Permanganat. Menurut Peraturan Menteri
Kesehatan No. 3 tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan
pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor farmasi.
Pengaturan Prekursor bertujuan untuk :
1. Melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Prekursor;
2. Mencegah dan memberantas peredaran gelap Prekursor;
3. Mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan Prekursor; dan
4. Menjamin ketersediaan Prekursor untuk industri farmasi, industri non farmasi,
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Golongan dan Jenis Prekursor
1. Acetic Anhydride, N-Acetylanthranilic Acid,
Ephedrine, Ergometrine, Ergotamine, Isosafrole, Lycergic Acid, 3,4-
Methylenedioxyphenyl-2-propanone, norephedrine, 1-Phenyl-2-propanone,
Piperonal, Potassium Permanganat, Pseudoephedrine, dan Safrole.
2. Acetone, Anthranilic Acid, Ethyl Ether, Hydrochloric Acid, Methyl Et
hyl Ketone, Phenylacetic Acid, Piperidine, Sulphuric Acid, Toluene.

Pemesanan Prekursor Farmasi


Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 3 tahun 2015 mengatakan bahwa
pemesanan pekursor farmasi hanya dapat dilakukan berdasarkan: (9)
a. Surat pemesanan (SP) khusus prekursor farmasi
b. Surat pemesanan prekursor farmasi hanya dapat
digunakan untuk satu atau beberapa jenis prekursor dan harus terpisah dari
pesanan barang lain
Pengelolaan Prekursor Farmasi berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 3 tahun
201:
a. Pengadaan
1. Pengadaan obat mengandung Prekursor Farmasi harus berdasarkan Surat
Pesanan (SP).
15

2. SP harus:
a. Asli dan dibuat tindasan sebagai arsip
b. Ditandatangani oleh Apoteker Penanggung Jawab Apotek/Apoteker
Pendamping dengan mencantumkan nama lengkap dan nomor SIPA,
nomor dan tanggal SP, dan kejelasan identitas pemesan (antara lain nama
dan alamat jelas, nomor telepon/faksimili, nomor ijin, dan stempel);
c. Mencantumkan nama dan alamat Industri Farmasi/Pedagang Besar
Farmasi (PBF) tujuan pemesanan; Pemesanan antar apotek
diperbolehkan dalam keadaan mendesak misalnya pemesanan sejumlah
obat yang dibutuhkan untuk memenuhi kekurangan jumlah obat yang
diresepkan;
d. Mencantumkan nama obat mengandung Prekursor Farmasi, jumlah,
bentuk dan kekuatan sediaan, isi dan jenis kemasan;
e. Diberi nomor urut tercetak dan tanggal dengan penulisan yang jelas atau
cara lain yang dapat tertelusur, dan
f. Khusus untuk pesanan obat mengandung Prekursor Farmasi dibuat
terpisah dari surat pesanan obat lainnya dan jumlah pesanan ditulis
dalam bentuk angka dan huruf.
g. Apabila pemesanan dilakukan melalui telepon (harus menyebutkan nama
penelpon yang berwenang), faksimili, email maka surat pesanan asli
harus diberikan pada saat serah terima barang, kecuali untuk daerah-
daerah tertentu dengan kondisi geografis yang sulit transportasi dimana
pengiriman menggunakan jasa ekspedisi, maka surat pesanan asli
dikirimkan tersendiri.
3. Apotek yang tergabung di dalam satu grup, masing-masing Apotek harus
membuat SP sesuai kebutuhan kepada Industri Farmasi/PBF.
4. Apabila SP tidak dapat digunakan, maka SP yang tidak digunakan tersebut
harus tetap diarsipkan dengan diberi tanda pembatalan yang jelas.
5. Apabila SP Apotek tidak bisa dilayani, Apotek harus meminta surat penolakan
pesanan dari Industri Farmasi/PBF.
6. Pada saat penerimaan obat mengandung Prekursor Farmasi, harus dilakukan
pemeriksaan kesesuaian antara fisik obat dengan faktur penjualan dan/atau
Surat Pengiriman Barang (SPB) yang meliputi:
16

a. Kebenaran nama produsen, nama Prekursor Farmasi/obat mengandung


Prekursor Farmasi, jumlah, bentuk dan kekuatan sediaan, isi dan jenis
kemasan;
b. Nomor bets dan tanggal daluwarsa;
c. Apabila butir a, b dan/atau kondisi kemasan termasuk segel dan
penandaan rusak, terlepas, terbuka dan tidak sesuai dengan SP, maka
obat tersebut harus dikembalikan kepada pengirim disertai dengan bukti
retur/surat pengembalian dan salinan faktur penjualan serta dilengkapi
nota kredit dari Industri Farmasi/PBF pengirim.
8. Setelah dilakukan pemeriksan pada butir 6 di atas, Apoteker Penanggung
Jawab atau tenaga teknis kefarmasian wajib menandatangani faktur
penjualan dan/atau Surat Pengiriman Barang (SPB) dengan
mencantumkan nama lengkap, nomor SIPA / SIKTTK dan stempel
Apotek.
b. Penyerahan dan Penyimpanan
Penyerahan dan penyimpanan sama halnya dengan narkotika dan
psikotropika, namun, prekursor dalam bentuk obat jadi bebas terbatas dapat
diserahkan oleh Tenaga teknis kefarmasian di toko obat.
c. Pencatatan dan Pelaporan
1. Pencatatan dilakukan terhadap setiap tahapan pengelolaan mulai dari
pengadaan, penyimpanan, penyerahan, penarikan kembali obat (recall),
dan pemusnahan secara tertib dan akurat serta disahkan oleh Apoteker
Penanggung Jawab.
2. Catatan sebagaimana dimaksud pada butir 1 sekurang-kurangnya memuat:
a. Nama, jumlah, bentuk dan kekuatan sediaan, isi dan jenis kemasan,
nomor bets, tanggal daluwarsa, dan nama produsen
b. Jumlah yang diterima, diserahkan, dan sisa persediaan;
c. Tujuan penyerahan.
3. Apoteker Penanggung Jawab Apotek wajib membuat dan menyimpan
catatan serta mengirimkan laporan pemasukan dan pengeluaran obat
mengandung Prekursor Farmasi Efedrin dan Pseudoefedrin dalam
bentuk sediaan tablet/kapsul/kaplet/injeksi
4. Laporan sebagaimana dimaksud pada butir 3 adalah:
17

a. laporan pemasukan dan pengeluaran obat mengandung Prekursor


Farmasi Efedrin dan Pseudoefedrin dalam bentuk sediaan
tablet/kapsul/kaplet/injeksi;
b. laporan kehilangan dan
c. laporan pemusnahan obat mengandung Prekursor Farmasi
5. Pelaporan pada butir 4.a. dikirimkan kepada Badan POM cq. Direktorat
Pengawasan Napza dengan tembusan ke Balai Besar/Balai POM.
6. Setiap apotek wajib menyimpan dokumen dan informasi seluruh kegiatan
terkait pengelolaan obat mengandung Prekursor Farmasi dengan tertib,
akurat dan tertelusur.
7. Dokumentasi meliputi:
a. Pengadaan;
b. Penyimpanan;
c. Penyerahan;
d. Penanganan obat kembalian;
e. Pemusnahan dan
f. Pencatatan dan Pelaporan.
8. Dokumen pengadaan meliputi SP, faktur pembelian, SPB, bukti retur, nota
kredit dari Industri Farmasi/PBF/Apotek pengirim, wajib diarsipkan
menjadi satu berdasarkan nomor urut atau tanggal penerimaan barang
dan terpisah dari dokumen obat lain.
9. Dokumentasi selain berbentuk manual dapat juga dilakukan secara sistem
elektronik yang tervalidasi harus mudah ditampilkan dan ditelusuri pada
saat diperlukan. Apabila memiliki dokumentasi dalam bentuk manual
dan elektronik, data manual harus sesuai dengan data elektronik.
10. Apabila dokumentasi hanya dilakukan secara sistem elektronik, harus
tersedia Standar Prosedur Operasional terkait penanganan sistem
tersebut jika tidak berfungsi.

2.4. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (3)


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmarsian di Apotek, Pelayanan Kefarmasian dapat
diartikan suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang
berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
18

meningkatkan mutu kehidupan pasien. Supaya pelayanan prima dapat selalu


diwujudkan suatu perusahaan dalam hal ini adalah apotek, maka perlu ditetapkan
standar pelayanan farmasi di apotek.
Tujuan dari standar pelayanan ini adalah :
a Melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional
b Melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar
c Pedoman dalam pengawasan praktek apoteker
d Pembinaan serta meningkatkan mutu pelayanan farmasi di apotek
Pelayanan farmasi klinik di Apotek merupakan bagian dari Pelayanan
Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan
dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Pelayanan farmasi klinik meliputi pengkajian resep, dispensing, Pelayanan
Informasi Obat (PIO), konseling, pelayanan kefarmasian di rumah (home
pharmacy care), Pemantauan Terapi Obat (PTO) dan Monitoring Efek Samping
Obat (MESO).

a. Pengkajian Resep
Kegiatan pengkajian Resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan
pertimbangan klinis.
1. Kajian administratif meliputi:
a. Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan
b. Nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan
paraf.
c. Tanggal penulisan Resep.
2. Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
a. Bentuk dan kekuatan sediaan
b. Stabilitas
c. Kompatibilitas (ketercampuran Obat)

3. Pertimbangan klinis meliputi:


a. Ketepatan indikasi dan dosis Obat
b. Aturan, cara dan lama penggunaan Obat
19

c. Duplikasi dan/atau polifarmasi


d. Reaksi Obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat, manifestasi
klinis lain)
e. Kontra indikasi
f. Interaksi.
Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka apoteker
harus menghubungi dokter penulis Resep.

b. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi
obat.Setelah melakukan pengkajian resep dilakukan hal sebagai berikut:
a. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep:
1. Menghitung kebutuhan jumlah obat sesuai dengan resep.
2. Mengambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
memperhatikan nama obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik obat.
b. Melakukan peracikan obat bila diperlukan.
c. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:
1. warna putih untuk obat dalam/oral
2. Warna biru untuk obat luar dan suntik
3. Menempelkan label kocok dahulu pada sediaan bentuk suspense atau
emulsi.
d. Memasukkan Obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk Obat yang
berbeda untuk menjaga mutu Obat dan menghindari penggunaan yang salah.
Setelah penyiapan obat dilakukan hal sebagai berikut:
1. Sebelum Obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan
kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta
jenis dan jumlah obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan resep)
2. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien.
3. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien.
4. Menyerahkan Obat yang disertai pemberian informasi Obat.
20

5. Memberikan informasi cara penggunaan Obat dan hal-hal yang terkait


dengan Obat antara lain manfaat Obat, makanan dan minuman yang harus
dihindari, kemungkinan efek samping, cara penyimpanan Obat dan lain-lain.
6. Penyerahan Obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang
baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin emosinya tidak
stabil.
7. Memastikan bahwa yang menerima Obat adalah pasien atau keluarganya.
8. Membuat salinan Resep sesuai dengan Resep asli dan diparaf oleh Apoteker
(apabila diperlukan).
9. Menyimpan resep pada tempatnya.
10. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien dengan menggunakan format
yang telah ditentukan.
Apoteker di apotek juga dapat melayani obat non resep atau pelayanan
swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang
memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat bebas
atau bebas terbatas yang sesuai.

c. Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak,
dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan
obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat.Informasi mengenai
obat termasuk obat Resep, obat bebas dan herbal.
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metoda
pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi,
keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi,
stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari Obat dan lain-lain.
Kegiatan Pelayanan Informasi Obat di Apotek sebagai berikut:
1. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan.
2. Membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan masyarakat
(penyuluhan).
3. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien.
21

4. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi yang


sedang praktik profesi.
5. Melakukan penelitian penggunaan Obat.
6. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah.
7. Melakukan program jaminan mutu.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi pelayananInformasi
Obat yaitu sebagai berikut:
1. Topik Pertanyaan
2. Tanggal dan waktu Pelayanan Informasi Obat diberikan.
3. Metode Pelayanan Informasi Obat (lisan, tertulis, lewat telepon).
4. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain seperti riwayat
alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui, data laboratorium).
5. Uraian pertanyaan
6. Jawaban pertanyaan
7. Referensi
8. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, per telepon) dan data apoteker
yang memberikan Pelayanan Informasi Obat.

d. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan
kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan
menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling,
Apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien
dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker
harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami
Obat yang digunakan.
Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling yaitu sebagai
berikut:
1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau ginjal,
ibu hamil dan menyusui).
22

2. Pasien dengan terapi jangka kronis (misalnya: TB, DM, AIDS, epilepsi).
panjang/penyakit
3. Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus (penggunaan
kortikosteroid dengan tappering down/off).
4. Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,
fenitoin, teofilin).
5. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa Obat untuk indikasi
penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari
satu Obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis
Obat.
6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
Tahap kegiatan konseling:
a) Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien.
b) Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui Three Prime
Questions, yaitu:
- Apa yang disampaikan dokter tentang obat Anda?
- Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian obat Anda?
- Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan setelah
Anda menerima terapi Obat tersebut?
c) Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien
untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat
d) Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
penggunaan obat.
e) Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien
Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan pasien
sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan dalam konseling
dengan menggunakan Formulir 7 sebagaimana terlampir.

e. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (home pharmacy care)


Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan
Pelayanan Kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk
kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.
23

Jenis Pelayanan Kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh Apoteker,


meliputi :
1. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan
pengobatan
2. Identifikasi kepatuhan pasien
3. Pendampingan pengelolaan Obat dan/atau alat kesehatan di rumah, misalnya
cara pemakaian Obat asma, penyimpanan insulin
4. Konsultasi masalah Obat atau kesehatan secara umum
5. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan Obat
berdasarkan catatan pengobatan pasien
6. Dokumentasi pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di rumah dengan
menggunakan Formulir 8 sebagaimana terlampir.

f. Pemantauan Terapi Obat (PTO)


Pemantauan terapi obat (PTO) merupakan proses yang memastikan bahwa
seorang pasien mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan
memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping (8).
Kriteria pasien (8):
1. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
2. Menerima obat lebih dari 5 (lima) jenis.
3. Adanya multidiagnosis.
4. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
5. Menerima obat dengan indeks terapi sempit.
6. Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi obat yang
merugikan.
Kegiatan (8):
1. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
2. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan pasien yang terdiri
dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat dan riwayat alergi; melalui
wawancara dengan pasien atau keluarga pasien atau tenaga kesehatan lain.
3. Melakukan identifikasi masalah terkait obat. Masalah terkait obat antara lain
adalah adanya indikasi tetapi tidak diterapi, pemberian obat tanpa indikasi,
24

pemilihan obat yang tidak tepat, dosis terlalu tinggi, dosis terlalu rendah,
terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan atau terjadinya interaksi obat.
4. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan menentukan
apakah masalah tersebut sudah atau berpotensi akan terjadi.
5. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi rencana
pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan
meminimalkan efek yang tidak dikehendaki.
6. Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh
apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga kesehatan terkait untuk
mengoptimalkan tujuan terapi.
7. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi obat dengan
menggunakan formulir yang telah ditetapkan.

g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)


Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan
setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi
pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis,
diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.
Kegiatan:
1. Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami
efek samping obat.
2. Mengisi formulir monitoring efek samping obat (MESO).
3. Melaporkan ke pusat monitoring efek samping obat nasional dengan
menggunakan formulir yang telah ditetapkan.
Faktor yang perlu diperhatikan(8) :
1. Kerja sama dengan tim kesehatan lain
2. Ketersediaan formulir monitoring efek samping obat (MESO).

2.5. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (15)


Komunikasi merupakan sebuah proses penyampaian pikiran-pikiran atau
informasi dari seseorang kepada orang lain melalui suatu cara tertentu sehingga
25

orang lain tersebut mengerti betul apa yang dimaksud oleh menyampai pikiran-
pikiran atau informasi.
Komunikasi antar farmasis dan pasien berbeda dari komunikasi dengan
teman. Komunikasi profesional dengan pasien adalah alat untuk menjamin
hubungan pengobatan agar farmasis efektif memberikan pelayanan kesehatan.
Proses komunikasi antara farmasis dengan pasien menjalankan dua fungsi utama
yaitu mendapatkan hubungan tentang farmasis dan pasien, memberikan
pertukaran informasi yang dibutuhkan untuk menilai kondisi kesehatan pasien.
Edukasi adalah pembelajaran dan pengembangan untuk memberikan
keterampilan dan pengetahuan. Apoteker yang efektif harus mampu memotivasi
pasien untuk belajar dan berpartisipasi aktif dalam regimen terapinya. Apoteker
merupakan profesional kesehatan terakhir yang menemui pasien. Apoteker
memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pasien mengerti maksud dari terapi
obat dan cara penggunaannya yang tepat.
Apoteker dapat menerapkan berbagi metode edukasi pada pasien mulai dari
metode ceramah, dialog, dan diskusi, informasi cetak sampai metode audiovisual,
simulasi video, dan belajar menggunakan bantuan komputer. Dengan
perkembangan internet, sekarang semakin banyak sumber informasi kesehatan
tersedia untuk apoteker dan pasien.
Informasi obat adalah setiap data yang diuraikan secara ilmiah dan
terdokumentasi mencakup farmakologi, toksikologi, dan penggunaan terapi obat.
Pada saat menyerahkan obat kepada pasien, setidaknya harus diberikan
informasi mengenai hal-hal sebagai berikut :
2. Nama obat
3. Indikasi
4. Aturan pakai : dosis, rute (oral, topical), frekuensi
penggunaan, waktu minum obat (sebelum/sesudah makan, tidak bersamaan
dengan obat lain)
5. Berapa lama obat harus digunakan
6. Cara menggunakan :
- Sediaan berbentuk sirup/suspensi harus dikocok terlebih dahulu
26

- Tablet sublingual diletakkan dibawah lidah, bukan ditelan langsung, tablet


bukal diletakkan diantara gusi dan pipi bukan ditelan langsung.
- Teknik khusus digunakan dalam menggunakan inhaler, obat tetes mata,
telinga, hidung dan suppositoria.
7. Cara penyimpanan
8. Kemungkinan terjadinya efek samping yang akan
dialami dan bagaimana cara mencengah atau meminimalkannya.

Anda mungkin juga menyukai