Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

Mata Kuliah Dosen pembimbing


Ulumul Hadist Drs,H,Encep,MA

SEJARAH PERTUMBUHAN & PERKEMBANGAN HADIST

Oleh Kelompok:

Nama Nim
Abdul Jalil Afif 21.1.2151
Achol Hasani Achmad 21.1.2154
Muhammad Fahri 21.1.2229
Syaidina Ali Putra Akbar 21.1.2273

FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL KARIMIYAH
SAWANGAN-DEPOK
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subabanahu wa ta’ala,


Karena berkat rahma-Nya kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Sejarah
Pertumbuhan & Perkembangan Hadist,Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas
mata kuliah Ulumul Hadist,

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga makalah ini dapat di selesaikan tepat pada waktunya, Makalah ini masih
jauh dari sempurna.Oleh karena itu, Kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.

Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan


bermanfaat untuk membangun wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi
kita semua.

Depok, September 2021

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah perkembangan hadist merupakan massa atau periode yang telah


dilalui oleh hadist dari massa lahirnya dan tumbuh dalam
pengenalan,penghayatan,dan pengalaman umat dari generasi ke generasi,Mengkaji
perkembangan hadits secara dasar sangat penting sebelum mengkaji lebih jauh
tentang hadist,

Dalam sejarah pertumbuhan dan pengembangan hadist mengalami


perkembangan yang agak lamban dan bertahap di bandingkan perkembangan Al
Quran. Hal ini wajar saja karena Al Quran pada massa Nabi sudah tercatat
keseluruhanya sekalipun sangat sederhana,dan mulai di bukukan pada massa Abu
Bakar Khalifah pertama dari Khulafa Ar Rasyidin sekalipun dalam
penyempurnaanya pada massa Utsman bun Affan,

Sedangkan penulisan hadist pada massa nabi secara umum justru malah di
larang.Massa pembukuanya pun terlambat sampai abad ke 2 Hijriyah dan
mengalami kejayaan pada abad ke 3 Hijriyah.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penulisan makalah ini adalah,sebagai berikut:


1.Bagaimana sejarah hadist pada masa pertumbuhan?
2.Bagaimana sejarah hadist pada massa perkembanganya?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:


1. Mengetahui sejarah hadist pada massa perumbuhan
2. Mengetahui sejarah hadis pada massa perkembanganya
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hadits Pada Masa Rasulullah SAW


Hadis pada masa Nabi dikenal dengan „Ashr al-Wahy wa al-Takwin, yaitu
masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam.2 Keadaan ini sangat
menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran
Islam. Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepadanya dijelaskannya melalui
perkataan, perbuatan, dan taqrirnya. Sehingga apa yang didengar, dilihat, dan
disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah
mereka.3
1. Kebjaksanaan Rasulullah SAW tentang Hadits
Ketika Rasulullah SAW masih hidup, sikap dan kebijaksanaan beliau
tentang hadits ialah sebagai berikut:
a. Rasulullah SAW memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal,
menyampaikan dan menyebarkan hadits-hadits. Dalil yang menunjukkan perintah
ini yaitu:
“Dan ceritakanlah daripadaku. Tidak ada keberatan bagimu untuk
menceritakan apa yang kamu dengar daripadaku. Barangsiapa berdusta pada
diriku, hendaklah dia bersedia menempati kediamannya dineraka.” (HR. al-
Bukhari dan Muslim).
Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat
dalam kegiatan menghafal hadits. Pertama, karena kegiatan menghafal merupakan
budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak pra Islam dan mereka terkenal
kuat hafalannya. Kedua, Rasulullah SAW banyak memberikan spirit melalui doa-
doanya. Ketiga, seringkali ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka yang
menghafal hadits dan menyampaikannya kepada orang lain.4
2 Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2010), 31.
3 Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 70-71.
4 Ibid.
b. Rasulullah SAW melarang para sahabat untuk menulis hadits-haditsnya.
Dalil yang menunjukkan perintah ini yaitu:
“Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal daripadaku, terkecuali al-
Qur‟an. Dan barangsiapa telah menulis daripadaku selain al-Qur‟an,
hendaklah ia menghapusnya.” (HR. Ahmad dan Muslim).
2. Cara Rasulullah SAW Menyampaikan Hadits
Umat Islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadits dari
Rasulullah SAW sebagai sumber hadits. Tempat pertemuan antara Rasulullah SAW
dan sahabatnya, seperti di Masjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika dalam
perjalanan, dan ketika muqim (berada di rumah). Melalui tempat tersebut
Rasulullah SAW menyampaikan hadits yang disampaikan melalui sabdanya yang
didengar oleh para sahabat (melalui musyafahah), dan melalui perbuatan serta
taqrirnya yang disaksikan oleh para sahabat (melalui musyahadah).
Ada beberapa cara Rasulullah SAW menyampaikan hadits kepada para sahabat,
yaitu:
a. Melalui majlis al-‟ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi
Muhammad SAW untuk membina para jama‟ah. Melalui majlis ini para sahabat
memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha
untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang
diberikan oleh Rasulullah SAW.
b. Dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW juga menyampaikan haditsnya
melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain.
Jika yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis (terutama yang
menyangkut hubungan suami istri), ia sampaikan melalui istri-istrinya.
c. Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada‟ dan
Fath Makkah.5 Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H (631 M), Nabi
Muhammad SAW menyampaikan khatbah yang sangat bersejarah di depan ratusan
ribu kaum muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya terkait dengan bidang
muamalah, ubudiyah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia yang meliputi
kemanusiaan,
5 Munzier Suparta, Ilmu Hadits, 72-73.
persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan, dan solidaritas isi khatbah
itu antara lain larangan menumpahkan darah kecuali dengan hak dan larangan
mengambil harta orang lain dengan batil, larangan riba, menganiaya, persaudaraan
dan persamaan diantara manusia harus ditegakkan, dan umat Islam harus selalu
berpegang teguh kepada Al-Qur‟an dan Hadits.6
3. Perbedaaan Para Sahabat dalam Menguasai Hadits
Diantara para sahabat tidak sama perolehan dan penguasaan hadits. Hal ini
tergantung kepada beberapa hal. Pertama, perbedaan mereka dalam soal
kesempatan bersama Rasulullah SAW. Kedua, perbedaan mereka dalam soal
kesanggupan bertanya kepada sahabat lain. Ketiga, perbedaan mereka karena
berbedanya waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasulullah
SAW.
Ada beberapa sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima
hadits dari Rasulullah SAW dengan beberapa penyebabnya, antara lain:
a. Para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sabiqun Al-Awwalun (yang mula-mula
masuk Islam), seperti Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Utsman Ibn Affan, Ali Ibn
Abi Thalib dan Ibn Mas‟ud.
b. Ummahat Al-Mukminin (Istri-Istri Rasulullah SAW), seperti Siti Aisyah dan
Ummu Salamah. Hadits-hadits yang diterimanya, banyak yang berkaitan dengan
soal keluarga dan pergaulan suami istri.
c. Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasulullah SAW juga
menuliskan hadits-hadits yang diterimanya, seperti Abdullah Amr Ibn Al-„Ash.
d. Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasulullah SAW, akan tetapi banyak
bertanya kepada para sahabat lainnya secara sungguh-sungguh, seperti Abu
Hurairah.
e. Para sahabat yang secara sungguh-sungguh yang mengikuti majlis Rasulullah
SAW, banyak bertanya kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang hidup
lebih lama dari wafatnya Rasulullah SAW, seperti Abdullah Ibn Umar, Anas Ibn
Malik dan Abdullah Ibn Abbas.
6 Idri, Studi Hadis, 35.
Sementara itu, menurut Muhamad Musthafa „Azami, bahwa para sahabat menerima
hadits dari Rasulullah SAW melalui tiga macam cara, yaitu:
1) Melalui metode hafalan. Secara historis masyarakat Arab secara umum adalah
masyarakat yang kuat daya hafalannya sehingga terlepas apakah mereka pandai
mengenal baca tulis (ummi) atau tidak, akan membantu dalam menerima dan
memahami hadis dari Rasulullah SAW. Di sisi lain, beliau juga sering mengulang-
ulang apa yang telah diucapkannya.
2) Metode tulisan. Di antara para sahabat Nabi Muhammad SAW yang setelah
menerima hadis dari beliau, mereka langsung menuliskannya. Metode ini hanya
bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memiliki kemahiran dalam menulis
saja.
3) Metode praktik. Para sahabat mempraktikkan secara langsung hadis-hadis yang
diterima dari Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehai-hari, dan jika terjadi
perbedaan, maka mereka dapat langsung mengkonfirmasikannya kepada
Rasulullah SAW.7
4. Penulisan Hadis Masa Rasulullah SAW dan Khulfa’ Rasyidin
Sa‟ad bin Ubaidah al-Anshar pernah memiliki himpunan hadis Rasulullah
SAW. Ibnu Hajar memastikan bahwa beliau adalah salah seorang penulis jaman
jahiliyah. Putranya meriwayatkan hadis dari catatannya tersebut. Al-Bukhari
mengatakan bahwa catatan itu merupakan salinan dari catatan Abdullah bin Abi
Aufa yang menulis sendiri hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.
Selain itu, pada masa Rasulullah SAW, tulisan Abdullah bin „Amr bin al-„Ash
termasuk sebagai ash-Shahifah ash-Shadiqah. Abdullah bin „Amr mencatat dari
sumbernya, yakni Rasulullah sendiri. Yang terhimpun seribu hadis Rasulullah
SAW. Shahifah dalam tulisan tangan beliau tidak ditemui sekarang, namun isinya
terhimpun di dalam kitab-kitab Hadis terutama di dalam Musnad Ahmad.8
Sebagian Sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan
oleh Abdullah bin „Amr. Mereka beralasan,
Rasulullah SAW telah bersabda, “Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu
dengar dari aku. Dan barangsiapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al-
Qur‟an, hendaklah ia menghapuskannya.” (HR. Muslim).
7 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN Maliki Press, 2010), 38-41.
8 Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011), 63-64.
Dan mereka berkata kepadanya, “Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari
Nabi Muhammad SAW, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu
beliau menuturkan ssuatu yang tidak dijadikan syariat umum.” Mendengar ucapan
mereka, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. Mengenai hal tersebut
Rasulullah SAW kemudian bersabda,
Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku berada di
tangan-Nya, tidak keluar dari muutku, selain kebenaran.9
B. Hadits Pada Masa Khulafa’ Rasyidin
Periode kedua sejarah perkembangan hadits adalah masa Khulafa‟ Rasyidin
(Abu Bakar, Umar Ibn al-Khattab, Usman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Thalib) yang
berlangsung sekitar tahun 11 H s/d 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat
besar.
Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan
penyebaran Al-Qur‟an, maka periwayatan hadits belum begitu berkembang dan
kelihatannya berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama
dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan.10
Pembatasan penyederhanaan hadis, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan
sikap kehati-hatiannya menggunakan dua jalan dalam meriwayatkan hadits dari
Nabi Muhammad SAW, yaitu:
5. Periwayatan Lafzhi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya
persis seperti yang diwurudkan Rasulullah SAW, dan hanya bisa dilakukan apabila
mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasulullah SAW.
6. Periwayatan Maknawi adalah periwayatan hadis yang matannya tidak persis
sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah SAW, akan tetapi isi atau maknanya
tetap terjaga
9 M. Agus Solihin dan Agus Suyadi, UlumulHadis (Bandung: Pustaka Setia, 2013), 59.
10 Munzier Suparta, Ilmu Hadits, 79
secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW, tanpa ada
perubahan sedikitpun.11
Dengan demikian, para sahabat Nabi Muhammad SAW sangat kritis dan hati-hati
dalam periwayatan hadits. Tradisi tersebut menunjukkan bahwa mereka sangat
peduli tentang kebenaran dalam periwayatan hadits, diantaranya:
a. Para sahabat, bersikap cermat dan hati-hati dalam menerima suatu riwayat. Ini
dikarenakan meriwayatkan hadits Nabi Muhammad SAW merupakan hal penting,
sebagai wujud kewajiban taat kepadanya.
b. Para sahabat melakukan penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun
isi riwayat itu sendiri.
c. Para sahabat, sebagaimana dipelopori Abu Bakar, mengharuskan adanya saksi
dalam periwayatan hadits.
d. Para sahabat, sebagaimana dipelopori Ali Ibn Abi Thalib, meminta sumpah dari
periwayatan hadits.
e. Para sahabat menerima riwayat dari satu orang yang terpercaya.
f. Diantara para sahabat terjadi penerimaan dan periwayatan hadis tanpa
pengecekan terlebih dahulu apakah benar dari Nabi atau perkataan orang lain
dikarenakan mereka memiliki agama yang kuat sehingga tidak mungkin berdusta.12
C. Hadits Pada Masa Tabi’in
Pada era tabi‟in, keadaan sunnah tidak jauh berbeda dari era sahabat.
Namun pada masa ini, Al-Qur‟an telah dikodifikasi dan disebarluaskan ke seluruh
negeri Islam, maka tabi‟in dapat memfokuskan diri dan mempelajari sunnah dari
para sahabat. Kemudahan lain, yang diperoleh tabi‟in karena sahabat Nabi
Muhammad SAW telah menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam. Sehingga,
mereka mudah mendapatkan informasi tentang sunnah.
1. Pusat-pusat Pembinaan Hadits
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadits,
sebagai tempat tujuan para tabi‟in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut ialah
Madinah Al-Munawwarah, Makkah Al-Mukarramah, Kuffah, Basrah, Syam,
Mesir, Maghribi dan
11 Munzier Suparta, Ilmu Hadits, 83-84.
12 Idri, Studi Hadits, 40-41
Andalusia, Yaman dan Khurasan. Ada beberapa orang yang meriwayatkan hadis
pada kota-kota tersebut, antara lain Abu Hurairah, Abdullah Ibn Umar, Anas Ibn
Malik, Aisyah, Abdullah Ibn Abbas, Jabir Ibn Adillah dan Abi Sa‟id Al-Khudri.
Pusat pembinaan pertama adalah Madinah, karena disinilah Rasulullah SAW
menetap setelah hijrah dan Rasulullah SAW juga membina masyarakat Islam yang
didalamnya terdiri atas Muhajirin dan Anshar. Para sahabat yang menetap disini,
diantaranya Khulafa‟ Rasyidin, Abu Hurairah, Sii Aisyah, Abdullah Ibn Umar dan
Abu Sa‟id Al-Khudri, dengan menghasilkan para pembesar Zuhri, Ubaidillah Ibn
„Utbah Ibn Mas‟ud dan Salim Ibn Abdillah Ibn Umar. tabi‟in, seperti Sa‟id Ibn Al-
Musyayyab, „Urwah Ibn Zubair, Ibn Syihab Al-Zuhri. Di antara ulama hadits yang
menghimpun hadits pada masa ini adalah: Ibnu Juraij (w. 150 H di Makkah), Al-
Awza‟I di Syiria (w. 159 H), Sufyan at-Tsawri di Kufah (w. 161 H), Imam Malik
al-Muwaththa‟ di Madinah (w. 174 H), dan lain-lain.13
2. Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadits
Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya
perang Jamal dan perang Siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali Ibn Abi
Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut dengan terpecahnya umat
Islam ke dalam beberapa kelompok (Khawarij, Syi‟ah, Mu‟awiyah, dan golongan
mayoritas yang tidak masuk ke dalam ketiga kelompok tersebut).
Demikian, dari pergolakan politik tersebut memberikan pengaruh negatif, yakni
dengan munculnya hadis-hadis palsu (mawdhu‟) untuk mendukung kepentingan
politiknya masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-
lawannya. Sedangkan pengaruh positifnya ialah lahirnya rencana dan usaha yang
mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis, sebagai upaya penyelamatan
dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.14
13Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), 70.
14 Munzier Suparta, Ilmu Hadits, 85-88
3. Perkembangan Pembukuan Hadis
Perkembangan pembukuan hadis pada masa ini ada 3 bentuk, yaitu sebagai
berikut:
a. Musnad, yaitu menghimpun semua hadis dari tiap-tiap sahabat tanpa
memperhatikan masalah atau topiknya, tidak per bab seperti fiqh dan kualitas
hadisnya ada yang shahih, hasan, dan dha‟if.
b. Al-Jami‟, yaitu teknik pembukuan hadis yang mengakumulasi sembilan masalah,
yakni aqa‟id, hukum, perbudakan (riqaq), adab makan minum, tafsir, tarikh dan
sejarah, sifat-sifat akhlak (syama‟il), fitnah dan sejarah (manaqib).
c. Sunan, yaitu teknik penghimpunan hadis secara bab seperti fiqh, setiap bab
memuat beberapa hadis dalam satu topik, seperti Sunan An-Nasa‟i, Sunan Ibnu
Madjah, dan Sunan Abu Dawud. Di dalam kitab ini ada yang shahih, hasan, dan
dha‟if, tetapi tidak terlalu dha‟if seperti hadis Munkar.15
D. Masa Kodifikasi Hadis
1. Definisi Kodifikasi Hadis
Kata kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tadwin yang berarti
codification, yaitu mengumpulkan dan menyusun. Secara istilah, kodifikasi adalah
penulisan dan pembukuan hadis Nabi Muhammad SAW secara resmi berdasar
perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personel yang ahli dalam masalah
ini, bukan yang dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi.
Dengan kata lain, kodifikasi hadis (tadwin hadis) adalah penghimpunan, penulisan,
dan pembukuan hadis Nabi atas perintah resmi dari penguasa negara (khalifah),
bukan dilakukan atas inisiatif sendiri. Tujuannya untuk menjaga hadis Nabi
Muhammad SAW dari kepunahan dan kehilangan baik karena banyaknya
periwayat penghafal hadis yang meninggal maupun karena adanya hadis palsu yang
dapat mengacaubalaukan keberadaan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.
Jadi, kodifikasi hadis disini adalah penulisan, penghimpunan, dan pembukuan hadis
Nabi Muhammad SAW yang dilakukan berdasar perintah resmi khalifah „Umar Ibn
„Abd al-Aziz, khalifah kedelapan Bani Umayyah yang kemudian kebijakannya itu
15 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2012), 64-65
ditindaklanjuti oleh para ulama di berbagai daerah hingga pada masa berikutnya
hadis terbukukan dalam kitab hadis.16
2. Sejarah dan Perkembangan Kodifikasi Hadis
a. Kodifikasi Hadis Abad II Hijriyah
1) Tokoh-tokoh hadis abad ke-2 hijriyah
Di antara tokoh-tokoh hadis yang masyhur dalam abad ke-2 Hijriyah ialah Malik,
Yahya Ibn Said al-Qaththan, Waki‟ Ibn al-Jarrah, Sufyan ats-Tsaury, Ibnu
Uyainah, Syu‟bah Ibn Hajjaj, Abd ar-Rahman Ibn Mahdy, Al-Auza‟y, Al-Laits,
Abu Hanifah, Asy-Syafi‟y.
2) Kitab-kitab hadis yang terkenal dalam abad ke-2 hijriyah
Adapun kitab-kitab hadis yang telah dibukukan dan terkenal di kalangan ahli
hadis, ialah:
a) Al-Muwaththa‟, susunan Imam Malik (95-179 H).
b) Al-Maghazi wa as-Siyar, susunan Muhammad Ibn Ishaq (150 H).
c) Al-Jami‟, susunan Abd ar-Razzaq ash-Shan‟any (211 H).
d) Al-Mushannaf, susunan Syu‟bah Ibn Hajjaj (160 H).
e) Al-Mushannaf, susunan Sufyan Ibn Uyainah (198 H).
f) Al-Mushannaf, susunan Al-Laits Ibn Sa‟ad (175 H).
g) Al-Mushannaf, susunan Al-Auza‟y (150 H).
h) Al-Mushannaf, susunan Al-Humaidy (219 H).
i) Al-Maghazi an-Nabawiyah, susunan Muhammad Ibn Waqid al-Aslamy (130-
207 H).
j) Al-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H).
k) Al-Musnad, susunan Zaid Ibn Ali
l) Al-Musnad, susunan Imam Asy-Syafi‟y (204 H).
m) Mukhtalif al-Hadis, susunan Imam As-Syafi‟y.
3) Kedudukan dan keadaan kitab-kitab hadis abad ke-2 hijriyah
16 Idri, Studi Hadis, 93.
Di antara kitab-kitab abad ke-2 yang mendapat perhatian ulama secara umum
adalah Al-Muwaththa‟ (susunan Imam Malik), Al-Musnad dan Mukhtalif al-Hadis
(susunan Imam Asy-Syafi‟y) serta As-Sirah an-Nabawiyah atau Al-Maghazi wa as-
Siyar (susunan Ibnu Ishaq).
Al-Muwaththa‟ paling terkenal dan mendapat sambutan yang sangat besar dari
ulama dan para ahli karena banyak yang membuat syarah (penjelasannya) dan
mukhtashar (ringkasannya). Kitab ini mengandung 1.726 rangkaian khabar dari
Nabi SAW, sahabat, dan tabi‟in. Khabar yang musnad sejumlah 600, yang mursal
sejumlah 228, yang mauquf sejumlah 613 dan yang maqthu‟ 285. 17
b. Kodifikasi Hadis Abad III Hijriyah
Abad ketiga Hijriyah merupakan puncak usaha pembukuan hadis (Masa
Keemasan). Ulama‟ hadits yang muncul pada abad ini digelari Muqaddimin, yang
mengumpulkan hadis dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiri dan
pemeriksaan sendiri dengan menemui para penghapalnya yang tersebar di setiap
pelosok dan penjuru Negara Arab, Persia, dan lain-lain.18
1) Tokoh-tokoh hadis abad ke-3 hijriyah
Di antara tokoh-tokoh hadis yang lahir pada masa ini ialah Ali Ibn al-Madiny, Abu
Hatim ar-Razy, Muhammad Ibn Jarir ath-Thabary, Muhammad Ibn Sa‟ad, Ishaq
Ibn Rahawaih, Ahmad, Al-Bukhary, Muslim, An-Nasa‟y, Abu Daud, Ibnu Madjah,
Ibnu Qutaibah, Ad-Dainury.
2) Kitab-kitab hadis yang tersusun dalam abad ke-3 hijriyah
Kitab-kitab hadis yang tersusun dalam abad ke-3 hijriyah di antaranya:
a) Al-Musnad, susunan Musa Ibn Abdillah al-Abasy
b) Al-Musnad, susunan Musaddad Ibn Musarhad.
c) Al-Musnad, susunan Abu Daud ath-Thayalisy (kitab ini dikumpulkan oleh para
penghafal hadis berdasar kepada riwayat Yunus Ibn Habib dari Ath-Thayalisy).
17 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009), 55-58.
18 Agus Solahudin, Ulumul Hadis (Bandung; Pustaka Setia, 2008), 45
d) Al-Musnad, susunan Nu‟aim Ibn Hammad.
e) Al-Musnad, susunan Abu Ya‟la al-Maushily.
f) Al-Musnad, susunan Al-Humaidy.
g) Al-Musnad, susunan Ali al-Madiny.
h) Al-Musnad, susunan Abed Ibn Humaid.
i) Al-Musnad al-Mu‟allal, susunan Al-Bazzar.
j) Al-Musnad, susunan Baqy Ibn Makhlad (201-296 H). musnad ini paling luas
isinya daripada musnad-musnad yanng lain.
k) Al-Musnad, susunan Ibnu Rahawaih (237 H).
l) Al-Musnad, susunan Ahmad Ibn Hanbal.
m) Al-Musnad, susunan Muhammad Ibn Nashr al-Marwazy.
n) Al-Musnad, susunan Abu Bakar Ibn Abi Syaibah (235 H).
o) Al-Musnad, susunan Abu al-Qasim al-Baghawy (214 H).
p) Al-Musnad, susunan Utsman Ibn Abi Syaibah (293 H).
q) Al-Musnad, susunan Abu al-Husain Ibn Muhammad al-Masarkhasy (298 H).
Dalam musnad ini dikumpulkan seluruh hadis Az-Zuhry.
r) Al-Musnad, susunan Ad-Darimy. Musnad ini disusun menurut bab demi bab).
Seharusnya digolongkan ke dalam mushannaf. Dinamakan musnad karena hadis
yang diriwayatkannya secara musnad. Al-Bukhary pun menamai kitabnya dengan
Al-Musnad ash-Shahih.
s) Al-Musnad, susunan Said Ibn Manshur.
t) Al-Musnad, susunan Al-Imam Ibn Jabir.
Maka dengan usaha ulama besar abad ke-3, tersusunlah kitab hadis dalam tiga
macam, yaitu:
a) Kitab-kitab shahih ialah kitab-kitab yang penyusunannya tidak memasukkan ke
dalamnya, selain hadis-hadis yang shahih saja.
b) Kitab-kitab sunan ialah kitab-kitab yang penulisnya tidak dimasukkan ke dalam
hadis-hadis yang munkar dan yang sepertinya.
c) Kitab-kitab musnad ialah kitab-kitab yang penyusunannya memasukkan ke
dalamnya segala rupa hadis-hadis yang diterima, dengan tidak menyaring dan
tidak menerangkan erajat-derajatnya. Oleh karena itu, derajatnya di bawah derajat
kitab sunan.19
Pada masa ini tersusun 6 kitab hadits terkenal yang bisa disebut Kutub al-Sittah,
yaitu:
a) Al-Jami‟al-Shahih karya Imam al-Bukhari (194-252 H).
b) Al-Jami‟ al-Shahih karya Imam Muslim (204-261 H).
c) Al-Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud (202-261 H).
d) Al-Sunan karya al-Tirmidzi (200-279 H).
e) Al-Sunan karya al-Nasa‟ie (215-302 H).
f) Al-Sunan karya Ibn Madjah (207-273 H).20
c. Kodifikasi Hadits Abad IV-VII H
Masa ini adalah masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan
(„ashr al-tahzib wa al-tartib wa al-istidrak wa al-jam‟u) dan berlangsung sekitar
dua setengah abad, yaitu antara abad keempat sampai pertengahan abad ketujuh
Masehi, saat jatuhnya Dinasti Abbasiyah ke tangan Khulagu Khan tahun 656
H/1258 M. Gerakan ulama hadis pada masa ini sebenarnya tidak jauh beda dengan
gerakan ulama pada masa sebelumnya.
1) Kitab-kitab yang tersusun dalam abad IV-VII H
a) Kitab Syarah ialah kitab hadis yang memperjelas dan mengomentari hadits-
hadits tertentu yang sudah tersusun dalam beberapa kitab hadits sebelumnya.
b) Kitab Mustakhrij ialah kitab hadits yang metode pengumpulan haditsnya dengan
cara mengambil hadits dari ulama tertentu lalu meriwayatkannya dengan sanad
sendiri yang berbeda dari sanad ulama hadits tersebut.
c) Kitab Athraf ialah kitab hadis yang hanya memuat sebagian matan hadits, tetapi
sanadnya ditulis lengkap.
d) Kitab Mustadrak ialah kitab yang memuat hadits-hadits yang memenuhi syarat-
syarat Bukhari dan Muslim atau syarat salah satu dari keduanya.
e) Kitab Jami‟ ialah kitab yang memuat hadits-hadits yang telah termuat dalam
kitab-kitab yang telah ada.
19 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, 59-70.
20 Atang Abd. Hakim & Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2012), 92
2) Tokoh-tokoh hadits abad IV-VII H
Di antara ulama hadits yang terkenal dalam masa ini adalah Sulaiman bin Ahmad
al-Thabari, „Abd al-Hasan Ali bin Umar bin Ahmad al-Daruquhni, Abu Awanah
Ya‟kub al-Safrayani, Ibnu Khuzaimah Muhammad bin Ishaq, Abu Bakr Ahmad bin
Husain Ali al-Baihaqi, Majuddin al-Harrani, Al-Syaukani, Al-Munziri, Al-
Shiddiqi, Muhyiddin Abi Zakaria al-Nawawi.
d. Kodifikasi Hadis Abad ketujuh Hijriyah sampai Sekarang
Masa ini adalah masa persyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan („Ahd al-
syarh wa al-jamu‟ wa al-takhrij wa al-bahts). Ulama pada masa ini mulai
mensistemisasi hadits-hadits menurut kehendak penyusun, memperbarui kitab-
kitab mustakhraj dengan cara membagi hadits menurut kualitasnya.21
1) Tokoh-tokoh hadis dalam abad ke-7 Hijriyah sampai sekarang
Di antara ulama hadis yang terkenal dalam masa ini ialah Az-Zahaby (748 H), Ibnu
Sayyid an-Nas (734 H), Ibnu Daqiq al-Ied, Mughlathai (862 H), Al-Asqalany (852
H), Ad-Dimyaty (705 H), Al-Ainy (855 H), As-Sayuthy (911 H), Az-Zarkasy (794
H), Al-Mizzy (742 H), Al-Ala‟y (761 H), Ibnu Katsir (744 H), Az-Zaila‟y (762 H),
Ibnu Rajab (795 H), Ibnu Mulaqqin (804 H), Al-Bulqiny (805 H), Al-Iraqy (806
H), Al-Haitsamy (807 H), Abu Zur‟ah (806 H).
2) Kitab-kitab hadits yang tersusun dalam abad ke-7 Hijriyah sampai sekarang
a) Kitab hadits yang disusun dalam abad ke-7 Hijriyah
- Ath-Targhib, susunan Al-Hafizh Abdul Azhim Ibn Abd al-Qawy Ibn Abdullah al-
Mundziry (656 H).
- Al-Jami‟ baina ash-Shahihain, susunan Ahmad Ibn Muhammad al-Qurthuby,
yang terkenal dengan nama Ibnu Hujjah (642 H).
- Muntaqa Al-Akhbar fi al-Ahkam, susunan Majduddin Abul Barakah Abd as-Salam
Ibn Abdillah Ibn Abi al-Qasim al-Harrany (652 H).
- Al-Mukhtarah, susunan Muhammad Ibn Abdil Wahid al-Maqdisy (643 H) yang
mentashih hadis yang belum ditashih oleh ulama sebelumnya.
21 Atang Abd. Hakim & Jaih Mubarok,Metodologi Studi Islam, 93
Riyadh ash-Shalihin, oleh Imam An-Nawawy. Kitab ini telah disyarahkan oleh Ibnu
Ruslan ash-Shiddiqy dalam kitab Dalil al-Falihin.
- Al-Arbain, oleh An-Nawawy dan telah disyarahkan oleh banyak ulama, di
antaranya Ahmad Hijazy al-Faryany dalam kitab Al-Majelis ats-Tsaniyah „ala al-
Arba‟in an-Nawawiyah.
b) Kitab hadis yang disusun dalam abad ke-8 Hijriyah
- Jami‟ al-Masanid was-Sunan al-Hadis ila Aqwami Sanan, susunan Al-Hafizh
Ibnu Katsir.
- Al-„Ilmam fi Ahadis al-Ahkam, susunan Al-Imam Ibnu Daqiq al-Ied (792 H).
Kitab ini telah disyarahkan oleh penulisnya dalam kitabnya Al-Imam.
c) Kitab hadis yang disusun dalam abad ke-10 Hijriyah
- Ith-haf al-Khiyar bi Zawa‟id al-Masanid al-„Asyrah, susunan Muhammad Ibn
Abu Bakar al-Baghawy (804 H).
- Bulugh Al-Maram, susunan Al-Hafizh Al-Asqalany. Di dalamnya dikumpulkan
sejumlah 1.400 hadis.
- Majma‟ az-Zawa‟id wa Mamba‟ al-Fawa‟id, susunan Al-Hafizh Abu al-Hasan
Ali Ibn Abi Bakr Ibn Sulaiman asy-Syafi‟y al-Haitamay (1303 H). Di dalamnya
dikumpulkan Zawa‟id dari musnad-musnad Ahmad, Abu Ya‟la, Al-Bazzar dan
mu‟jam Ath-Thabrany.22
3. Perkembangan Pembukuan Hadis
Perkembangan pembukuan hadis pada abad 4-6 H ialah sebagai berikut:
a. Mu‟jam, artinya penghimpunan hadits yang diperleh berdasarkan nama sahabat
secara abjad seperti Al-Mu‟jam Al-Kabir Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabrani (ww.
360 H).
b. Shahih, artinya metode pembukuannya mengikuti metode pembukuan hadis
Shahihayn (Bukhari dan Muslim) yang hanya mengumpulkan hadits yang shahih
saja menurut penulisnya seperti Shahih Ibnu Hibban Al-Bas‟ti (w. 354 H), dan lain-
lain.
22 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, 88-93.
c. Al-Mustadrak, artinya menambah beberapa hadis shahih yang belum disebutkan
dalam kitab Bukhari dan Muslim serta menurutnya telah memenuhi persyaratan
keduanya, seperti Al-Mustadrak „ala Al-Shahihayn yang ditulis Abi Abdullah Al-
Hakim An-Naisaburi (w. 405 H).
d. Sunan, metode penulisannya seperti kitab Sunan abad sebelumnya, yaitu
cakupannya hadis-hadis tentang hukum seperti fiqh dan kualitasnya meliputi
shahih, hasan, dha‟if, seperti Muntaqa Ibnu Al-Jarud (w. 307 H), Sunan Ad-
Daruquthni (w. 385 H) dan Sunan Al-Bayhaqi (w. 458 H).
e. Syarah, yaitu penjelasan hadis baik yang berkaitan dengan sanad atau matan,
terutama maksud dan makna matan hadis atau pemecahannya jika terjadi
kontradiksi dengan ayat atau dengan hadis lain, misalnya Syarh Ma‟ani Al-Atsar,
dan Syarah Musykil Al-Atsar yang ditulis Ath-Thahawi (w. 321 H).
f. Mustakhraj adalah seorang penghimpun hadis mengeluarkan beberapa buah hadis
dari sebuah hadis seperti yang diterima dari gurunya sendiri dengan menggunakan
sanad sendiri, misalnya Mustadrakhraj Abi Bakr Al-Isma‟ili „ala Shahih Bukhari
(w. 371 H).
g. Al-Jam‟u, gabungan dua atau beberapa buku hadis menjadi satu buku, Al-Jam‟u
Bayn Ash- Shahihayn yang ditulis oleh Isma‟il bin Ahmad yang dikenal dengan
Ibnu Al-Furat (w. 401 H) Al-Jam‟u Bayn Ash-Shahihayn ditulis Al-Husin bin
Mas‟ud Al-Baghawi (w. 516 H), At-Tajrid li Ash-Shahah wa As-Sunan gabungan
Shahihayn, Al-Muwaththa‟, dan kitab-kitab Sunan selain Ibnu Madjah, ditulisoleh
Abu Al-Hasan Razin bin Mu‟awiyah As-Sirqisthi (w. 535 H) dan Jami‟ Al-Ushul
li Ahadis Ar-Rasul yang ditulis oleh Ibnu Al-Atsir Al-Jazari (w. 606 H) gabungan
6 kitab hadis.23
Perkembangan penulisan hadits pada abad intinya adalah menyusun kembali kitab-
kitab hadis terdahulu secara tematik, baik dari segi matan dan sanadnya untuk
memudahkan bagi umat Islam untuk mempelajarinya ialah sebagai berikut:
a. Al-Mawdhu‟at, yaitu menghimpun hadis-hadis yang mawdhu‟ saja ke dalam
sebuah buku, seperti Al-Mawdhu‟at ditulis oleh Al-Asbahani (w. 414 H), Al-
23 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, 66-67
Mawdhu‟at ditulis oleh Ibnu Al-Jauzi (w. 597 H) dan Al-La‟ali Al-Mashnu‟at fi
Al-Ahadits Al-Mawdhu‟at oleh Jalaludin As-Suyuthi (w. 911 H).
b. Al-Ahkam, yaitu menghimpun hadis-hadis tentang hukum saja seperti fiqh,
misalnya Al-Ahkam Al-Kubra ditulis oleh Ibnu Al-Kharath (w. 581 H), „Umdah
Al-Ahkam oleh Al-Maqdisi (w. 600 H) Dan Bulugh Al-Maram oleh Al-Asqalani
(w. 852 H).
c. Al-Athraf, artinya teknik pembukuan hadis dengan menyebutkan permulaan
hadisnya saja, misalnya Athraf Al-Kutub As-Sittah ditulis oleh Al-Maqdish dikenal
Ibnu Al-Qisrani (w. 507 H).
d. Takhrij, yaitu seorang muhaddits mengeluarkan beberapa hadis yang ada dalam
buku hadis atau pada buku lain dengan menggunakan sanad sendiri atau ditelusuri
sanad dan kualitasnya. Missal, Irwa‟ Al-Ghalil fi Takhrij Ahadits Mannar As-Sabil,
oleh Nashiruddin Al-Albani.
e. Zawa‟id, yaitu penggabungan beberapa kitab tertentu seperti Musnad dan
Mu‟jam ke beberapa buku induk hadis. Missal, Majma‟ Az-Zawa‟id wa Manba‟
Al-Fawa‟id ditulis oleh Al-Haitami (w. 807 H). Zawa‟id diartikan mengumpulkan
hadis-hadis yang tidak terdapat dalam kitab-kitab yang sebelumnya ke dalam
sebuah kitab seperti Zawa‟id Ibnu Madjah dan Zawa‟id As-Sunan Al-Kubra
disusun oleh Al-Bushri (w. 840 H).
f. Jawami‟ atau Jami‟, sebuah kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis Nabi
secara mutlak, seperti Al-Jami‟ Al-Kabir yang dikenal dengan sebutan Jami‟ Al-
Jawami‟ dan Al-Jami‟ Ash-Shaghir tulisan As-Suyuthi (w. 911 H).
Dengan demikian, mulai abad terakhir ini sampai sekarang dapat dikatakan tidak
ada kegiatan yang berarti dari para ulama dalam bidang hadis, kecuali hanya
membaca, memahami, takhrij, dan memberikan syarah hadis yang telah terhimpun
sebelumnya.24
24 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, 68-70.
4. Kodifikasi Hadis Secara Resmi
Kodifikasi hadis secara resmi ialah pengumpulan dan penulisan hadis atas
perintah Khalifah atau penguasa daerah untuk disebarkan kepada msyarakat. Para
ulama hadis sepakat mengatakan bahwa kodifikasi hadis mulai dilakukan oleh
Khalifah Umar bin „Abd „Aziz yang memerntahkan pada tahun 99-101 H.
Berdasarkan beberapa riwayat, bahwa kekhawatiran akan hilangnya hadis dan
lenyapnya para ulama hadis merupakan faktor utama yang menyebabkan Khalifah
Umar bin „Abd „Aziz untuk melakukan kodifikasi hadis. Faktor yang lain adalah
timbulnya hadis maudhu‟ sebagai akibat meluasnya wilayah Islam dan terjadinya
perselisihan di kalangan kaum Muslimin mendorong khalifah untuk menghimpun
dan membukukan hadis. Faktor-faktor penyebab dilakukannya kodifikasi hadis
tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a. Faktor Internal
1) Pentingnya menjaga autentisitas dan eksistensi hadis, serta petunjuk untuk
keselamatan dalam menempuh kehidupan dunia akhirat.
2) Semangat untuk menjaga hadis, sebagai salah satu warisan Nabi yang sangat
berharga, yakni Al-Qur‟an dan Hadis. Jika umat Islam berpegang pada keduanya
mereka tidak akan tersesat selamanya.
3) Adanya kebolehan dan izin untuk menulis hadis pada saat itu.
4) Para penghafal dan periwayatan hadis semakin berkurang karena meninggal
dunia baik disebabkan adanya peperangan maupun yang lainnya.
5) Rasa bangga dan puas ketika mampu menjaga hadis Nabi dengan menghafal dan
kemudian meriwayatkannya.
b. Faktor Eksternal
1) Penyebaran Islam dan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sehingga
banyak periwayatan hadis yang tersebar ke berbagai daerah.
2) Kemunculan dan meluasnya pemalsuan hadis yang disebabkan oleh perbedaan
politik dan aliran.25
Jadi, dari beberapa faktor tersebut, dapat disimpulkan bahwa adanya penulisan
hadis karena kekhawatiran hilangnya hadis dan kemurnian hadis. Kodifikasi hadis
25 Idri, Studi Hadits, 104-105.
secara resmi dilanjutkan dengan pembukuan hadis yang dilakukan para penguasa
Bani Umayyah dan para ulama.26
Selanjutnya, Syihab Az-Zuhri (09-124 H) mulai melaksanakan pembukuan hadis
sekaligus dilakukan usaha penyeleksian hadis yang maqbul dan mardud dengan
metode sanad dan isnad. Kemudian pembukuan hadis dilanjutkan secara lebih teliti
oleh Imam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa‟i, Abu Dawud, Ibnu
Majah, dan lain-lain. Dari mereka kita kenal dengan Kutubus Sittah, yaitu Shahih
Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan An-Nasa‟i, Abu Dawud, Ibnu Majah.27

26 Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Medan: Citapustaka Media Perintis, 2011), 67-76.
27 Agus Solahudin, Ulumul Hadits, 62-63.
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Sejarah perkembangan hadist merupakan massa/periode yang di
lalui oleh hadist dari massa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan,
penghayatan dan pengamalan umat dari generasi ke generasi. Ada beberapa
periode dalam sejarah perkembangan hadist,antara lain;

Hadist Perkembangan Karakteristik Model Buku


Penulisan
Masa Rasul Larangan Hadist di hafal Catatan
penulisan di luar kepala kepentingan
pribadi dalam
bentuk
lembaran
Khulafa Penyederhanaan Disertai sumpah Catatan pribadi
Rasyidin hadist dan saksi pada dalam bentuk
masa kini lembaran
Tabi’in Penghimpunan Bercampur Mushannaf
hadist antara hadis nabi ,Muwattha,
dan fatwa Musnad jam’i
sahabat dan
aqwal sahabat
Kodifikasi Penghimpunan Referensi pada Mu’jam.
dan penertiban buku-buku Mustadarak,
secara sistematik sebelumnya Zawa’id, jami
dan lain-lain

Faktor-faktor penyebab di lakukanya kodifikasi hadist, yaitu kekhawatiran


hilangnya hadist dan kemurnian hadist.
B. Saran
Berkaitan dengan sejarah perkembangan hadist. Kami menyadari
dari berbagai referesnsi yang ada masih banyak kesalahan dan kekurangan
dalam segi penulisan sehingga terjadi kesalah pahaman dalam konsep
sejarah perkembangan hadist. Dan kami berharap dari refisisan dari
makalah ini semoga bermanfaat untuk pembaca dan barokah aamiin.
DAFTAR PUSTAKA

As-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.


Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.

Hakim, Atang Abd & Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2012.

Idri. Studi Hadis. Jakarta: Kencana, 2010.

Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2012.

PL, Noor Sulaiman. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada Press, 2009.

Solahudin, Agus. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN Maliki Press, 2010.

Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Press, 2010.

Wahid, Ramli Abdul. Studi Ilmu Hadis. Medan: Citapustaka Media Perintis,
2011.

Anda mungkin juga menyukai